PART 31
seorang. Pula, tantangannya ini merupakan akal untuk menilai mereka. Yang
mau datang mengeroyoknya manandakan seorang laki‐laki pengecut dan
yang tidak boleh dihargai sama sekali, perlu cepat ditundukkan sekaligus.
Han Bian Ki girang melihat majunya dua orang yang semaksud itu. Kini
terbuka kesempatan pula baginya untuk mencari kemenangan, atau
setidaknya tentu berhasil menyentuh kulit badan Si Nona atau beradu
lengan. Maka ia tidak mau kalah semangat dan biarpun sudah sejak tadi ia
dipermainkan, kini ia memperlihatkan sikap galak dan menerjang Liu Lu Sian
dengan seruan nyaring.
Dua orang yang baru naik itu pun tidak membuang kesempatan ini,
membarengi dengan serangan‐serangan mereka karena mereka tahu bahwa
serangan tiga orang secara berbarengan tentu akan lebih banyak
memungkinkan hasil baik.
"Menjemukan...!" Liu Lu Sian berseru dan terjadilah penglihatan yang amat
menarik. Tiga orang pemuda itu menyerang dari tiga jurusan, serangan
mereka galak dan ganas, apalagi Si Muka Kuning Bhong Siat yang ternyata
merupakan seorang ahli ilmu silat yang mempergunakan tenaga dalam.
Pukulan‐pukulannya mendatangkan angin yang bersiutan. Namun hebatnya,
tak pernah enam buah tangan dan enam buah kaki itu menyentuh ujung baju
Lu Sian.
Gadis itu dalam pandangan tiga orang pengeroyoknya lenyap dan berubah
menjadi bayangan yang berkelebatan seperti sambaran burung walet yang
amat lincah. Dan dalam pertandingan kurang dari dua puluh jurus, terdengar
teriakan‐teriakan dan secara susul‐menyusul tubuh tiga orang pemuda itu
"terbang" dari atas panggung, terlempar secara yang mereka sendiri tidak
tahu bagaimana. Mereka jatuh tunggang‐langgang dan berusaha untuk
merangkak bangun.
"Hemm, orang‐orang tak tahu malu. Hayo lekas pergi dari sini!" terdengar
suara keras membentak di belakang mereka dan sebuah lengan yang kuat
sekali memegang tengkuk mereka dan tahu‐tahu tubuh mereka seorang demi
seorang terlempar keluar. Tanpa berani menoleh lagi kepada Ma Thai Kun
PART 32
yang melemparkan mereka keluar, tiga orang itu terus saja lari sempoyongan
keluar dari halaman gedung.
Para tamu menyambut kemenangan Liu Lu Sian dengan tepuk tangan riuh
rendah. Para muda yang tadinya ada niat untuk mencoba‐coba, makin
kuncup hatinya dan hampir semua membatalkan niat hatinya, menhibur hati
yang patah dengan kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat menandingi
nona yang amat lihai itu!
Akan tetapi ternyata masih seeorang laki‐laki muda yang dengan langkah
tegap dan tenang menghampiri panggung, kemudian dengan gerakan lambat
melompat naik. Ketika kedua buah kakinya menginjak panggung, Lu Sian
merasa tergetar kedua telapak kakinya, tanda bahwa yang datang ini
memiliki lwee‐kang yang cukup hebat. Ia menjadi tertarik, akan tetapi ketika
mengangkat muka memandang, ia merasa kecewa.
Laki‐laki ini sikapnya gagah dan pakainnya sederhana, mukanya
membayangkan kerendahan hati dan kejujuran, namun sama sekali tidak
tampan, matanya lebar dan alisnya bersambung hidungnya pesek!
"Saya yang bodoh Lie Kung dari pegunungan ***‐liang. Sebetulnya saya tidak
ada harga untuk memasuki sayembara, akan tetapi karena sudah sampai di
sini dan saya amat tertarik dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat
Nona, perkenankanlah saya memperlihatkan kebodohan sendiri." Katakatanya
merendah akan tetapi jujur dan sederhana.
Lu Sian tersenyum mengejek. "Siapa pun juga boleh saja mencoba
kepandaian karena memang saat ini merupakan kesempatan. Nah, silakan
saudara Lie maju!"
"Nona menjadi nona rumah dan seorang wanita, saya merasa sungkan untuk
membuka serangan." Jawab Lie Kung.
"Hemm, kalau begitu sambutlah ini!" Secara tiba‐tiba Liu Lu Sian menyerang,
pukulannya amat cepat, gerakannya indah akan tetapi bersifat ganas karena
PART 33
pukulan itu mengarah bagian berbahaya di pusar, merupakan serangan maut
! Lie Kung berseru keras dan kaget. Tak sangkanya nona yang demikian
cantiknya begini ganas gerakanya, maka cepat ia melompat mundur dan
mengibaskan tangan dan menangkis dengan kecepatan penuh.
Lu Sian tidak sudi beradu lengan, menarik kembali tangannya dan menyusul
dengan pukulan angan miring dari samping mengarah lambung. Sekali
merupakan terjangan maut yang amat erbahaya, Lie Kung ternyata gesit
sekali karena jungkir balik ia dapat menyelamatkan diri!
Tepuk tangan menyambut gerakan ini karena sekarang para tamu merasa
mendapat suguhan yang menarik, tidak seperti tadi di mana tiga orang
pemuda sama sekali tidak dapat mengimbangi permainan Liu Lu Sian yang
gesit. Pemuda pesek ini benar‐benar cepat gerakannya walaupun tampaknya
lambat dan tenang.
Setelah diserang selama lima jurus dengan hanya mengelak, mulailah dia
mengembangkan gerakannya untuk balas menyerang. Telah ia duga bahwa
pemuda ini merupakan seorang ahli lwee‐kang, dan ternyata benar.
Pukulan pemuda ini berat dan antep, hanya sayangnya pemuda ini berlaku
sungkan‐sungkan, buktinya yang diserang hanya bagian‐bagian yang tidak
berbahaya. Marahlah Lu Sian. Sikap pemuda yang hanya mengarahkan
serangan pada pundak, pangkal lengan dan bagian‐bagian lain yang tidak
berbahaya itu, baginya diterima salah. Dianggap bahwa pemuda ini
terlampau memandang rendah padanya, seakan‐akan sudah merasa pasti
akan menang sehingga tidak mau membuat serangannya berbahaya.
Setelah lewat tiga puluh jurus mereka serang‐meyerang, tiba‐tiba Lu Sian
mengeluarkan suara kelengking tinggi yang mengejutkan semua orang.
Gerakannya tiba‐tiba berubah lambat dan aneh, pukulannya merupakan
gerakan yang melingkar‐lingkar.
"Bagaimana kaulihat pemuda itu?" Pat‐jiu Sin‐ong bertanya ketika ia melihat
Kwee Seng menoleh dan menonton pertandingan, tidak seperti tadi ketika
tiga orang pemuda mengeroyok Lu Sian. Kwee Seng memandang acuh tak
acuh.
PART 34
"Lumayan juga. Bakatnya baik dan kalau ia tidak terlalu banyak kehendak, ia
dapat menjadi ahli lwee‐keh yang tangguh."
"Ha‐ha, kaulihat . Puteriku sudah mulai mainkan Sin‐coa‐kun ciptaanku yang
terakhir. Pemuda itu takkan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus!"
Diam‐diam Kwee Seng memperhatikan. Ilmu Silat Sin‐coa‐kun (Silat Ular
Sakti) memang hebat, mengandung gerakan‐gerakan ilmu silat tinggi yang
disembunyikan dalam gaya kedua tangan yang gerakannya seperti ular
menggeliat‐geliat dan melingkar‐lingkar.
Namun dalam ilmu silat ini terkandung sifat yang amat ganas, dan kembali
sepasang alis pemuda ini berkerut saking kecewa. Sungguh sayang sekali,
kecantikan seperti bidadari itu, dirusak sifat‐sifat liar dan ganas, diisi ilmu
yang amat keji.
Untuk mengusir kekecewaan yang menggeregoti hatinya, pemuda ini
menuangkan arak sepenuhnya dan mengangkat cawan. "Minum biar puas!"
lalu sekali tenggak habislah arak itu. Pat‐jiu Sin‐ong tertawa bergelak dan
minum araknya pula.
Ramalan Pat‐jiu Sin‐ong ternyata terbukti. Tepat sepuluh jurus, setelah
pemuda she Lie itu terdesak dan bingung menghadapi dua lengan halus yang
seperti sepasang ular mengamuk, lehernya kena dihantam tangan miring. Ia
mengaduh dan terhuyung‐huyung ke belakang, akan tetapi tepat pada saat
lehernya dihantam, ia dapat mengibaskan tangannya mengenai lengan Lu
Sian sehingga menimbulkan suara "plakk!" dan gadis itu menyeringai
kesakitan, lengannya terasa panas sekali.
Biarpun ia sudah tahu bahwa pukulannya mengenai leher lawan dengan
tepat, karena lengannya tertangkis tadi, Lu Sian menjadi marah dan cepat ia
maju lagi mengirim pukulan yang agaknya akan menamatkan riwayat
pemuda itu.
PART 35
"Cukup...!!" tiba‐tiba sesosok bayangan meloncat ke atas panggung dan
dengan cepat menangkis tangan Lu Sian yang mengirim pukulan maut.
"Dukkk!" Dua buah lengan tangan bertemu dan keduanya terhuyung ke
belakang sampai tiga langkah.
Dengan kemarahan meluap‐luap Lu Sian memandang orang yang begitu
lancang berani menangkis pukulannya tadi. Ia membelalakkan matanya dan...
tiba‐tiba ia merasa seakan‐akan jantungnya diguncang keras, kemarahannya
lenyap dan ia terpesona. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang
pemuda yang begini ganteng!
Rambutnya hitam tebal diikatkan ke atas dengan sehelai sutera kuning.
Pakaiannya indah dan ringkas, membayangkan tubuhnya yang tegap berisi,
dadanya yang bidang. Alisnya berbentuk golok, hitam seperti dicat, hidung
mancung, mulut berbentuk bagus membayangkan watak gagah dan hati
keras.
Pendeknya, wajah dan bentuk badan seorang jantan yang tentu akan
meruntuhkan hati setiap orang gadis remaja! Seketika Lu Sian jatuh hatinya,
akan tetapi mengingat perbuatan lancang pemuda ini, untuk menjaga harga
dirinya, ia menegur juga, hanya tegurannya tidak seketus yang
dikehendakinya.
"Kau siapa, berani lancang turun tangan mencampuri pertandingan ?"
Pemuda itu menuntun Lie Kung sampai ke pinggir panggung, menyuruhnya
mengundurkan diri, Lie Kung menjura ke arah Liu Lu Sian lalu melompat
turun, terus pergi meninggalkan tempat itu. Setelah itu, baru pemuda yang
membawa sebuah golok disarungkan dan digantungkan pada pinggangnya
itu membalikkan tubuh menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
"Maaf, Nona. Memang saya tadi berlaku lancang. Akan tetapi sekali‐kali
bukan dengan maksud hati yang buruk, hanya untuk mencegah terjadinya
pertumpahan darah. Sudah terlalu jiwa melayang...ah, sayang sekali.
Kunasihatkan kepadamu, Nona. Hentikan cara pemilihan suami seperti ini.
Tiada guna! Dan kasihan kepada yang tidak mampu menandingimu. Nah,
sekali lagi maafkan kelancanganku tadi!" Ia menjura dan hendak pergi.
PART 36
"Eh orang lancang! Bagaimana kau biasa pergi begitu saja setelah
menghinaku ? Hayo maju kalau kau memang berkepandaian!" Lu Sian
sengaja menantang karena hatinya sudah jatuh dan ingin ia menguji
kepandaian laki‐laki yang menarik hatinya ini. Kalau memang benar seperti
dugaannya, bahwa laki‐laki ini seperti terbukti ketika menagkisnya tadi,
memiliki kepandaian tinggi, ia akan merasa puas mendapat jodoh setampan
dan segagah ini.
Kwee Seng memang tampan pula tetapi terlalu tampan seperti perempuan,
kalah gagah oleh pemuda ini. Dan biarpun ia tahu ilmu kepandaian Kwee
Seng mungkin hebat, akan tetapi sikap pemuda itu terlalu halus, terlalu
lemah lembut, kurang "jantan!"
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, kembali menjura kepada Lu Sian sambil
berkata, suaranya perlahan. "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku
menjadi pemenang.. akan tetapi... bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona,
biarlah aku mengaku kalah terhadapmu!" Sambil melempar pandang tajam
yang menusuk hati Lu Sian, pemuda itu hendak mengundurkan diri.
"Apakah engkau begitu pengecut, berani berlaku lancang tidak berani
memperkenalkan diri ? Siapakah kau yang sudah berani... menghinaku?
Dimaki pengecut, pemuda itu menjadi merah mukanya. "Aku bukan
pengecut! Kalau Nona ingin benar tahu, namaku adalah Kam Si Ek dari Shansi."
Setelah berkata demikian, pemuda gagah bernama Kam Si Ek itu lalu
meloncat turun dari panggung dan cepat‐cepat lari keluar dari halaman
gedung.
Sampai beberapa saat lamanya Liu Lu Sian berdiri bengong di atas panggung,
merasa betapa semangatnya seakan‐akan melayang‐layang mengikuti
kepergian pemuda ganteng itu, "Pat‐jiu Sin‐ong, kau baru saja kehilangan
seorang calon mantu yang hebat!" Kwee Seng berkata sambil menyambar
daging panggang dengan sumpitnya.
PART 37
"Kau maksudkan bocah ganteng tadi? Siapakah dia? Namanya tidak pernah
kudengar," jawab Pat‐jiu Sin‐ong.
"Ha‐ha‐ha! Kam Si Ek adalah panglima muda di Shan‐si dan hanya karena
adanya pemuda itulah maka Shan‐si terkenal daerah yang amat kuat dan
membuat gubernurnya yang bernama Li Ko Yung terkenal. Cocok sekali dia
dengan puterimu. Puterimu menjadi perebutan pemuda‐pemuda, sebaliknya
entah berapa banyaknya gadis di dunia ini yang ingin menjadi istrinya! Haha‐
ha!" Terang bahwa Kwee Seng sudah mulai terpengaruh arak.
Memang sebetulnyalah kalau pemuda itu tadi mengatakan bahwa dia tidak
bias minum arak banyak‐banyak. Akan tetapi karena kerusakan hatinya
menghadapi cinta terhadap Liu Lu Sian berbareng kecewa, ia sengaja nekat
minum terus tanpa ditakar lagi.
"Huh, apa artinya panglima bagiku? Dia memang tampan, akan tetapi kalau
disuruh memilih kau, Kwee Seng!"
Liu Lu Sian tersentak kaget dan membalikkan tubuh, masih berdiri di tengah
panggung. Juga para tamu mrndengar percakapan yang dilakukan dengan
suara keras itu. Kini mereka memandang ke arah mereka, terutama sekali
Kwee Seng menjadi pusat perhatian.
Pemuda ini sudah bangkit berdiri, cawan arak di tangan kanannya. Hatinya
berguncang keras ketika ia mendengar ucapan ketua Beng‐kauw itu. Betapa
tidak ? Jelas bahwa Ketua Beng‐kauw ini agaknya suka memilih dia sebagai
mantu. Dan dia sendiri pun sudah jelas mencintai gadis jelita itu, hal ini tidak
dapat ia bantah, seluruh isi hati dan tubuhnya mengakui.
Mau apa lagi? Tinggal mengalahkan gadis itu, apa sukarnya? Akan tetapi di
balik rasa cinta, di sudut kepalanya di mana kesadarannya berada, terdapat
rasa tak senang yang menekan kembali rasa cinta kasihnya dengan bisikanbisikan
tentang kenyataan betapa keadaan gadis itu dan keluarganya sama
sekali tidak cocok, bahkan berlawanan dengan pendirian dan wataknya.
PART 38
Ia jatuh cinta kepada seorang dara yang berwatak liar dan ganas, sombong
dan tinggi hati, licik dan keji, gadis yang menjadi puteri tunggal Ketua Bengkauw
yang sakti, aneh dan sukar diketahui bagaimana wataknya. Gadis yang
menjadi sebab kematian banyak pemuda yang tak berdosa!
Kesadarannya membisikkan bahwa betapa pun ia mencintai gadis itu,
cintanya hanya karena pengaruh kejelitaan gadis itu dan kalau ia menuruti
cintanya yang terdorong nafsu, kelak akan tersiksa hatinya. Akan tetapi
perasaannya membantah kalau ia boleh membawa pergi gadis itu
bersamanya, mungkin ia bisa membimbingnya menjadi seorang isteri yang
baik dan cocok dengan sifat‐sifat dan wataknya.
"Lo‐enghiong, jangan main‐main!"
"Ha‐ha, siapa main‐main ? Kwee‐hiantit hanya kaulah yang agaknya pantas
bertanding dengan puteriku. Hayo kau kalahkan dia, kalau tidak anakku itu
akan makin besar kepala saja dan para tamu tentu akan mengira aku hendak
menang sendiri! Ha‐ha‐ha!"
"Hemmm, puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, akupun ingin
sekali menguji kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo‐enghiong, harap
jangan salah sangka. Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah
menarik hatiku. Akan tetapi, perjodohan melalui pertandingan memang
kurang tepat, yang perlu hati masing‐masing.
Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki
sayembara pemilihan jodoh, hanya sekedar main‐main menguji kepandaian
belaka?" Ucapan ini dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.
Akan tetapi Ketua Beng‐kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara
keras pula. "Ha‐ha‐ha‐ha! Aku mengerti,kau memang seorang yang teliti dan
cermat, terlalu berhati‐hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar
dan siapa melanggar harus didenda!"
PART 39
Kwee Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya
bagaimana? Kau harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan
untuk mengalahkan puteriku itu kepadanya."
"Aku. Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."
"Boleh. Nah, orang muda, kau cobalah!"
Hati Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan
antara ayahnya dan pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi
ketika ia melihat Kwee Seng berjalan menghampirinya dengan langkah
sempoyongan dan mukanya yang berkulit putih halus itu kelihatan merah
sekali, tanda‐tanda seorang mabuk!
"Apakah Kwee‐kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran
kepandaian?" Liu Lu Sian menegur dengan kata‐kata dingin. Ternyata gadis
ini masih mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng
sudah membikin basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa
dalam adu tenaga secara diam‐diam itu, pemuda ini sudah memang setingkat
daripadanya.
"Cuma kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari
kemenangan dan seorang yang mabok!" Dengan kata‐kata ketus ini, Liu Lu
Sian hendak menebus rasa malunya tadi.
Kwee Seng tersenyum dan diam‐diam mengagumi wajah yang demikian
eloknya, mulut yang biarpun menghamburkan kata‐kata pedas dan pahit,
namun tetap manis didengar. Matanya yang agak mabok itu seakan‐akan
lekat pada bibir itu dan sejenak Kwee Seng terpesona, tak dapat berkata apaapa,
tak dapat bergerak memandang ke arah mulut dara jelita.
Bibir merah basah menantang Bentuk indah gendewa terpentang Hangat
lembut mulut juita Sarang madu sari puspita Senyum dikulum bibir gemetar
Tersingkap mutiara indah berjajar Segar sedap lekuk di pipi Mengawal suara
merdu sang dewi!
PART 40
"Heh, kenapa kau melongo saja?" tiba‐tiba Lu Sian membentak, lenyap
sikapnya menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.
Kwee Seng sadar dari lamunannya. "Eh..., ohh... Nona, kau tahu, aku
sebetulnya tidak ingin memasuki sayembara... dan aku ...aku lebih suka
bertanding dengan si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia
menoleh, matanya mencari‐cari.
"Cukup! Tak perlu banyak bicara lagi Kwee‐kongcu. Aku sudah mendengar
bahwa kalau aku kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi
bersamamu!" kata pula Lu Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi
jangan kira akan mudah mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, gadis
itu berkelebat cepat dan tahu‐tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang
terletak diatas meja dan secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi
Kwee Seng.
Pemuda itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah
mengejek dan setengah kagum begitu cepatnya gadis itu bergerak dan
menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah. Lu Sian merasakan ejekan
ini dan dengan gemas ia berkata," Menghadapi seorang sakti seperti engkau
ini, Kwee‐kongcu, tidak bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi.
Aku mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!" Sambil
berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar
berkelebat, putih menyilaukan mata.
"Lu Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu
memberi hajaran!" Tiba‐tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee
Seng dan sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.
"Wutttt!" Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat
cepat.
PART 41
"Hemm, aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari
telunjuknya menotok ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya.
Akan tetapi secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya
sehingga dalam dua gebrakan ini mereka berkesudahan nol‐nol atau sama
cepatnya.
"Ji‐sute, mundur kau!" kembali Liu Gan berseru keras dan biarpun matanya
melotot marah, Ma Thai Kun tidak berani membantah perintah suhengnya
dan ia mundurkan diri dengan kemarahan di tahan‐tahan.
Orang She Kwee, kau terlalu sombong. Lihat pedangku!" bentak Liu Lu Sian
sambil menggerakan pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah
menjadi segulung sinar putih yang membuat lingkaran‐lingkaran lebar,
makin lama lingkaran itu makin lebar mengurung tubuh Kwee Seng. Namun
pemuda ini hanya menggerakkan sedikit tubuhnya dan selalu ia terhindar
daripada kilat yang berpencaran keluar dari sinar pedang itu.
"Lu Sian, jangan pandang ringan dia! Gunakan Toa‐hong Kiam‐hoat (Ilmu
Pedang Angin Badai)!" seru Liu Gan dengan suara gembira, wajahnya berseri
dan matanya bersinar‐sinar.
Begitu gebrakan pertama dan selanjutnya secara cepat berlangsung, Lu Sian
sudah mengerti bahwa Kwee Seng ini benar‐benar amat lihai. Pedangnya
yang menyambar‐nyambar seperti hujan cepatnya itu ternyata dapat
dielakkan secara aneh dan sama sekali tidak tampak tergesa‐gesa, seakanakan
gerakan‐gerakannya ini masih terlampau lambat bagi Kwee Seng.
Oleh karena ini, begitu mendengar seruan ayahnya, ia segera mengerahkan
tenaga dan berlaku hati‐hati, cepat ia mainkan ilmu pedang ajaran ayahnya,
yaitu Toa‐hong Kiam‐hoat. Gadis ini mengerti bahwa kali ini ia tidak saja
harus menjaga harga dirinya, melainkan juga menjaga muka ayahnya.
Melihat perubahan ilmu pedang gadis itu yang kini menderu‐deru seperti
angin badai mengamuk, diam‐diam Kwee Seng kaget dan kagum. Tak
percuma Ketua Beng‐kauw mendapat julukan Pat‐jiu Sin‐ong dan tidak
percuma pula gadis itu menjadi puteri tunggalnya karena ilmu pedang ini
PART 42
amat cepat dan hebat berbahaya sehingga tak mungkin dihadapi
mengandalkan kecepatan belaka.
Pemuda sakti ini maklum pula bahwa Pt‐jiu Sin‐ong seorang yang amat licik
dan aneh. Tentu sekarang Ketua Beng‐kauw itu menyuruh anaknya
mengeluarkan ilmu pedang simpanan agar terpaksa ia mengeluarkan
ilmunya yang sejati pula untuk mengalahkan Lu Sian.
Kwee Seng maklum pula bahwa janji untuk menurunkan ilmunya yang
mengalahkan Lu Sian, adalah janji yang amat licik dari Pat‐jiu Sin‐ong, yang
membayangkan sifat loba seorang ahli silat yang ingin sekali menguasai
seluruh ilmu yang paling sakti di dunia ini.
Melalui puterinya, Ketua Beng‐kauw ini hendak memancing‐mancing ilmu
silatnya untuk menambah perbendaharaan ilmu Pat‐jiu Sin‐ong! Karena tidak
ingin menggunakan ilmu simpanannya untuk mengalahkan Lu Sian agar ia
tidak usah menurunkan ilmu itu pada gadis ini, kembali Kwee Seng
mengandalkan gin‐kang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi
daripada kepandaian gadis itu untuk meleset kesana kemari, menyelinap di
antara sambaran pedang Lu Sian yang seperti badai mengamuk itu. Akan
tetapi belum lima belas jurus Lu Sian mainkan Ilmu Pedang Toa‐hong‐kian,
ayahnya sudah berseru lagi.
"Lu Sian, pergunakan Pat‐mo Kiam‐hot!" Ilmu pedang Pat‐mo‐kiam (Pedang
Delapan Iblis) ini sengaja diciptakan oleh Pat‐jiu Sin‐ong untuk mengimbangi
Ilmu Pedang Pat‐sian‐kiam (Pedang Delapan Dewa) yang pernah ia hadapi
dahulu. Hebatnya bukan kepalang. Lu Sian kembali menurut perintah
ayahnya dan gerakan pedangnya berubah lagi.
Kini pedangnya tidak mengandalkan kecepatan, melainkan lebih
mendasarkan serangan pada penggunaan tenaga sin‐kang (tenaga sakti).
Setiap tusukan atau bacokan mengandung tenaga mujijat sehingga anginnya
saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat.
Kembali Kwee Seng kaget dan kagum. Seperti juga sifatnya Pat‐sian‐kiam
yang ia kenal, ilmu pedang ini rapi sekali, seakan‐akan dimainkan oleh
delapan orang, namun Pat‐mo‐kiam mengandung sifat yang lebih ganas dan
PART 43
keji. Mendadak ia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Biarpun Pat‐mokiam
diciptakan untuk menghadapi Pat‐sian‐kiam, namun ilmu silat hanya
sekedar teori atau peraturan gerakan belaka yang terpenting adalah
orangnya. Karena tingkatnya lebih tinggi daripada tingkat Lu Sian, maka ia
merasa sanggup mengalahkan Pat‐mo‐kiam yang dimainkan gadis ini dengan
ilmu pedang Pat‐sian‐kiam.
Ia berseru keras dan tahu‐tahu tangannya sudah mencabut keluar sebuah
kipas yang di sembunyikan di dalam bajunya. Cepat ia mainkan Ilmu Pedang
Pat‐sian‐kiam, kipasnya mengeluarkan angin yang kuat sekali sehingga
gulungan sinar pedang putih terdesak dan tiba‐tiba Lu Sian berseru keras
karena siku kanannya terkena totokan gagang kipas.
Seketika tangannya kejang dan hampir saja ia melepaskan pedang, baiknya
dengan gerakan yang cepat bukan main Kwee Seng sudah memulihkan
totokan lagi sehingga gadis itu dapat menyambar pedangnya yang sudah
terlepas tadi.
Dasar gadis yang tak dapat menerima kekalahan, begitu pedangnya
terpegang lagi ia terus menyerang dengan hebat!
"Aiihh...!" Kwee Seng berseru dan tubuhnya berkelebat. Terpaksa ia
mempergunakan ilmunya yang hebat, yaitu Pat‐sian Kiam‐hoat yang sudah ia
gabung dengan Ilmu Kipas Lo‐hain San‐hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).
Kipasnya mengebut pedang lawan dan selagi pedang itu miring letaknya,
gagang kipasnya menotok dan... kini seluruh tubuh Lu Sian menjadi kaku tak
dapat digerakkan lagi!
Kwee Seng cepat menempel pedang lawan dengan kipasnya, merampas
pedang itu di antara kipas sambil jari tangan kirinya membebaskan totokan!
Lu Sian dapat bergerak lagi akan tetapi pedangnya sudah terampas. Gadis itu
marah bukan main, siap menerjang dengan tangan kosong berdasarkan
kenekatan.
"Lu Sian, cukup ! Haturkan terima kasih kepada calon suami atau gurumu!
Ha‐ha‐ha!" teriak Pat‐jiu Sin‐ong sambil melompat ke atas panggung. Tepuk
PART 44
tangan riuh menyambut kemenangan Kwee Seng ini, sedangkan Lu Sian lari
ke dalam tanpa menoleh lagi.
Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat‐jiu Sin‐ong berkata lantang kepada
para tamunya. "Sahabat mudaku Kwee Seng telah menang mutlak atas
puteriku dan dia berhak menjadi calon mantuku. Akan tetapi, karena dia pun
seorang aneh, tidak kalah anehnya dengan aku sendiri, hanya dia yang dapat
menentukan apakah perjodohan ini diteruskan atau tidak.
Betapapun juga, ia sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang tadi
mengalahkan puteriku kepada Liu Lu Sian. Suami atau guru, apa bedanya?
Ha‐ha‐ha‐ha‐ha!"
Orang tua itu menggandeng tangan Kwee Seng untuk di ajak minum
sepuasnya. Sedangkan para tamu mulai menaruh perhatian dan
mempercakapkan pemuda pelajar yang tampaknya lemah‐lembut itu.
Beberapa orang tokoh tua segera mengenal Kwee Seng sebagai Kim‐mo‐eng
dan mulai saat itu, terkenallah nama Kim‐mo‐eng Kwee Seng.
Tiga hari kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan menunggang dua ekor
kuda keluar dari kota raja Kerajaan Nan‐cao. Seperti telah ia janjikan, setelah
menangkan pertandingan, ia akan mengajarkan ilmu kepada Lu Sian dan
gadis itu harus menyertai peraturannya sampai menerima pelajaran itu.
Pat‐jiu Sin‐ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut seguci arak kepada
Kwee Seng karena selama tiga hari di tempat itu, pemuda ini siang malam
hanya makan minum dan mabuk‐mabukan saja, manjadi seorang peminum
yang luar biasa.
Betapapun juga, melihat mereka naik kuda berendeng, memang keduanya
merupakan pasangan yang amat setimpal. Wajah Lu Sian nampak berseri,
karena betapapun juga, menyaksikan sikap Kwee Seng, gadis ini dapat
menduga bahwa sebetulnya pemuda yang tampan dan sakti ini jatuh hati
kepadanya.
PART 45
Pandang mata pemuda itu dapat ia rasakan dan diam‐diam merasa girang
sekali. Memang sudah menjadi waatak Lu Sian, makin banyak pria jatuh hati
kepadanya makin giranglah hatinya, apalagi kalau kemudian ia dapat
mematahkan hati orang‐orang yang mencintainya itu!
"Kwee‐koko (Kakanda Kwee), kemanakah kita menuju?" Tanya Lu Sian
dengan suara halus dan manis, bahkan mesra. Kwee Seng memeluk guci
araknya dan menoleh ke kiri. Melihat wajah ayu itu menengadah, mata
bintang itu menatapnya dan mulut manis itu setengah terbuka, hatinya
tertusuk dan cepat‐cepat ia membuang muka sambil memejamkan matanya,
"Ke mana pun boleh!" jawabnya tak acuh, lalu menenggak araknya sambil
duduk di punggung kuda tanpa memegangi kendalinya.
"Eh, bagaimana ini? kau yang mengajak aku. Biarlah kita ke timur, sampai
ditepi sungai Wu‐kiang yang indah. Bagaimana koko?" "Hemm, baik. Ke
lembah Wu‐kiang!" jawab Kwee Seng.
Lu Sian membedal kudanya dan Kwee Seng masih tetap duduk sambil minum
arak, akan tetapi kudanya dengan sendirinya mencongklang mengikuti kuda
yang dibalapkan Lu Sian.
Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari daerah kota raja, memasuki
hutan. Kembali Lu Sian menahan kudanya, dan kuda Kwee Seng juga ikut
berhenti.
"Kwee‐koko, mengapa kau hanya minum saja? Kita melakukan perjalanan
sambil bercakap‐cakap, kan menyenangkan? Apa kau tidak suka melakukan
perjalanan bersamaku? Kwee‐koko, hentikan minummu, kau pandanglah
aku!"
Mulai jengkel hati Lu Sian yang merasa diabaikan atau tidak diacuhkan. Kwee
Seng menoleh lagi ke kiri, makin terguncang jantungnya dan kembali ia
menenggak araknya!
Share This Thread