PART 46
"Nona, tidak apa‐apa, aku senang melakukan perjalanan ini. Ah arak ini
wangi sekali!"
Lu Sian cemberut dan tidak menjalankan kudanya. "Uh, wangi arak yang
menjemukan ! Masa kau tidak bosan‐bosan minum setalah tiga hari tiga
malam terus minum bersama ayah ? Kwee‐koko, aku" aku pernah disebut
ayah bunga kecil harum dan orang‐orang di sana semua mengatakan bahwa
ada ganda harum sari seribu bunga keluar dari tubuhku. Apakah kau tidak
mencium ganda harum itu?"
Kwee Seng tersentak kaget. Alangkah beraninya gadis ini ! Alangkah
bebasnya dan genitnya ! Mengajukan pernyataan dan pertanyaan macam itu
kepada seorang pemuda. Dia sendiri yang mendengarnya menjadi merah
wajahnya, akan tetapi secara jujur ia berkata, "Memang ada aku mencium
bau harum itu, nona, semenjak kita bertanding ganda harum itu tidak eh,
tidak pernah terlupa olehku. Eh, bagaimana ini!" Ia tergagap dan untuk
menutupi malunya kembali ia menenggak araknya. Lu Sian menahan
tawanya dan hatinya makin gembira. Kiranya laki‐laki ini tiada bedanya
dengan yang lain, mahluk lemah dan bodoh, canggung dan kaku kalau
berhadapan dengan gadis ayu ! Alangkah akan senang hatinya dapat
mempermainkan laki‐laki ini, mempermainkan pendekar yang memiliki
kepandaian tinggi, yang kesaktiannya menurut ayahnya ketika membisikkan
pesan tadi, tidak berada di sebelah bawah tingkat ayahnya !
"Kwee Seng, berhenti!!" Tiba‐tiba terdengar bentakan dari belakang pada
saat Kwee Seng sedang minum araknya di awasi oleh Lu Sian. Gadis itu
terkejut karena mengenal suara bentakan. Cepat ia membalikkan tubuh
diatas punggung kudanya.
"Ma‐susiok (Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok menyusul
kami?" Biarpun masih duduk di atas kudanya membelakangi mereka yang
baru datang, Kwee Seng tahu bahwa yang datang adalah dua orang.
Kemudian ia merasa heran juga ketika mendengar suara Ma Thai Kun
berubah sama sekali dalam jawaban pertanyaan Lu Sian.
"Lu Sian, kau menjauhlah dulu. Urusan ini adalah urusan antara Kwee Seng
dengan aku dan percayalah, tindakanku ini sesungguhnya demi kebaikan
dirimu."
PART 47
Kwee Seng adalah seorang pemuda yang amat halus perasaanya. Ia maklum
orang macam bagaimana adanya sute ke dua dari Pat‐jiu Sin‐ong ini, seorang
kasar dan pemarah, sombong dan tinggi hati. Mengapa tiba‐tiba terkandung
getaran halus yang amat berlawanan dengan wataknya itu ketika bicara
terhadap Lu Sian ?
Tiba‐tiba ia teringat akan semua peristiwa di Nan‐cao dan keningnya
berkerut. Tahulah ia sekarang sebabnya dan sekaligus terbongkar sudah
olehnya semua rahasia pembunuhan di Beng‐kauw. Hal ini mendatangkan
marah di hatinya dan ia berkata.
Nona, lebih baik kau menuruti permintaan susiokmu. Kau minggirlah, dan
biar aku bicara dengannya.Liu Lu Sian tersenyum dan menjauhkan kudanya
dengan wajah berseri. Hal inilah yang tidak dimengerti oleh Kwee Seng.
Mengapa gadis itu malah tersenyum seperti orang bergembira padahal jelas
bahwa paman gurunya mempunyai niat tidak baik terhadap dirinya ? Ia tidak
peduli, lalu meloncat turun dari atas kudanya dengan guci arak masih di
tangan kiri, sambil membalik sehingga ketika kedua kakinya menginjak
tanah, ia berhadapan dengan Ma Thai Kun dan seorang laki‐laki muda yang
sikapnya tenang sungguh‐sungguh, berpakaian sederhana memakai caping
dan punggungnya terhias sebatang cambuk. Ma Thai Kun merah mukanya,
alisnya berkerut dan sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan.
Ma Thai Kun, katakanlah kehendak hatimu sekarang. Kwee Seng, kau seorang
yang telah menghina Beng‐kauw ! Kau tidak memandang mata kepada tokohtokoh
Beng‐kauw, mengandalkan kepandaian mengalahkan seorang wanita
muda, mengandalkan mulut manis mengelabuhi seorang tua. Twa‐suheng
boleh saja kau kelabuhi, akan tetapi aku Ma Thai Kun takkan membiarkan
kau pergi menggondol keponakanku begitu saja untuk melaksanakan niatmu
yang kotor!
Wah‐wah ! Hatimu dan pikiranmu sendiri berlepotan noda, kau masih bicara
tentang niat kotor orang lain. Bagus sekali mengenal tangan mautmu yang
telah kau pergunakan untuk membunuh tujuh orang pemuda di rumah
penginapan dan tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Nona Liu Lu Sian!
PART 48
Ma‐susiok ! Betulkah itu?Tiba‐tiba Lu Sian yang mendengar kata‐kata ini
bertanya dengan suara terdengar gembira. Benar‐benar Kwee Seng tidak
mengerti dan sekali lagi ia terheran‐heran atas sikap Lu Sian ini.
Merah wajah Ma Thai Kun. Memang betul aku membunuh mereka. Cacingcacing
tanah itu tak tahu malu dan berani mengharapkan yang bukan‐bujan,
orang‐orang macam mereka mana patut memikirkan Lu Sian ? Aku
membunuh mereka apa sangkut‐pautnya dengan kau, Kwee Seng?
Suheng Kenapa kau lakukan kekejaman itu ? Bukankah Ji‐suheng sudah
melarang kitaOrang muda bertopi runcing itu bertanya, suaranya penuh
kekuatiran.
Sute, tak usah kauturut campur ! Kau anak kecil tahu apa!
Kwee Seng tertawa bergelak. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa orang
muda yang menjadi adik seperguruan Ma Thai Kun ini seorang yang jauh
bedanya dengan saudara‐saudara seperguruannya, jauh lebih bersih
batinnya.
Ma Thai Kun, memang urusan dengan pemuda itu tiada sangkut‐pautnya
dengan aku, akan tetapi pembunuhan keji itu tak boleh kudiamkan saja tanpa
menegurmu. Apalagi, kau masih menitipkan sebuah benda kepadaku, apakah
kau tidak ingin memintanya kembali?Sambil berkata demikian, Kwee Seng
mengeluarkan sebatang jarum merah dari saku bajunya. Kau mengenal ini ?
Kau menghadiahkan ini kepadaku selagi aku tidur, dan untuk kebaikan hati
itu aku belum membalasnya.Kwee Seng menyindir.
Berubah wajah Ma Thai Kun. Kau kaukah jahanam itu ?bentaknya dan tanpa
memberi peringatan lagi ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan kedua
tangannya mengirim serangan maut dengan pukulan‐pukulan yang
mengandung tenaga sin‐kang sepenuhnya.
iii . aiih. inikah tangan maut yang mengandung racun merah itu ?Kwee Seng
mengelak sambil mengejek dan tiba‐tiba dari dalam guci arak itu meleset
PART 49
keluar bayangan merah dari arah yang mencrat dan menyerang muka Ma
Thai Kun. Biarpun hanya benda cair, karena arak itu digerakkan oleh tenaga
lwee‐kang, terasa seperti tusukan jarum. Ma Thai Kun cepat mengibaskan
tangannya dan hawa pukulannya membuat arak itu pecah bertebaran. Akan
tetapi mendadak sebuah guci arak yang sudah kosong melayang ke arah
kepalanya. Ma Thai Kun menangkis dengan tangan kirinya.Brakkk !guci itu
pecah pula berkeping‐keping. Namun Kwee Seng sudah merasa puas.
Serangannya yang mendadak dapat memecahkan rahasia gerakan Ma Thai
Kun, maka ia sudah dapat menyelami dasarnya. Maka ketika Ma Thai Kun
menerjangnya lagi, ia menyambut dengan gerakan kedua tangan yang sama
kuatnya. Kwee Seng tidak mengeluarkan senjata melihat lawannya juga
bertangan kosong.
Memang di antara para saudara seperguruannya, Ma Thai Kun terkenal
seorang ahli silat tangan kosong yang tak pernah menggunakan senjata.
Namun, kedua tangannya merupakan sepasang senjata yang mengandung
racun, menggila dahsyat dan ampuhnya ! Jarang ia menemui tandingan,
apalagi kalau lawannya juga bertangan kosong. Baru beradu lengan
dengannya saja sudah merupakan bahaya bagi lawan.
Namun kali ini Ma Thai Kun kecelik. Lawannya biarpun masih muda, namun
telah memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi sekali. Biarpun ia tidak
mengisi kedua lengannya itu telah kebal terhadap hawa‐hawa beracun yang
betapa ampuhnya pun juga, karena ketika ia merantau dan berguru
kepadanya pertapa‐pertapa di Pegunungan Himalaya, ia telah melatih dan
menggembleng kedua lengannya dengan obat‐obat mujijat, juga di dalam
pertempuran berat ia selalu Mengisi kedua lengannyadengan hawa sakti dari
dalam tubuhnya.
Pertandingan itu hebat bukan main. Setiap gerakan tubuh, baik tangan
maupun kaki, membawa angin dan menimbulkan getaran, bahkan tanah yang
mereka jadikan landasan serasa tergetar oleh tenaga‐tenaga dalam yang
tinggi tingkatnya. Beberapa kali Ma Thai Kun menggereng dalam
pengerahkan tenaga racun merah, disalurkan sepenuhnya ke dalam lengan
yang beradu dengan lengan lawan. Namun akibatnya, dia sendiri yang
terpental dan merasa betapa hawa panas di lengannya membalik. Makin
merahlah ia dan terjangannya makin nekat.
Ma Thai Kun, manusia macam kau ini semestinya patut dibasmi. Akan tetapi
mengingat akan persahabatan dengan Pat‐jiu Sin‐ong, melihat pula muka
PART 50
nona Liu Lu Sian yang masih terhitung murid keponakan dan melihat muka
adik seperguruanmuyang bersih hatinya, aku masih suka mengampunkan
engkau. Pergilah!
Sambil berkata demikian, tiba‐tiba Kwee Seng merendahkan tubuhnya,
setengah berjongkok dan kedua lengannya mendorong ke depan. Inilah
sebuah serangan dengan tenaga sakti yang hebat. Tidak ada angin bersiut,
akan tetapi Ma Thai Kun merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga yang
hebat dan dahsyat. Ia pun merendahkan diri, mendorongkan kedua
lengannya untuk bertahan, namun akibatnya, terdengar bunya berkerotokan
pada kedua lengannya dan tubuhnya terlempar seperti layang‐layang putus
talinya, lalu ia roboh terguling dan kedua lengannya menjadi bengkakbengkak.
Orang she Kwee, kau melukai suhengku, terpaksa aku membelanya!kata
orang muda bertopi runcing sambil melepaskan cambuknya dari punggung.
Saudara yang baik, siapakah namamu?Kwee Seng bertanya, suaranya
halus."Aku bernama Kauw Bian, saudara termuda dari Twa‐suheng Liu
Gan.Hemm, kaulihat kau seorang yang jujur dan baik. Mengapa engkau
henndak membela orang yang meyeleweng daripada kebenaran?
Tindakan Sam‐suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sutenya,
melihat seorang suhengnya terluka lawan, bagaimana aku dapat diam ?
Kewajibankulah untuk membelanya ! Orang she Kwee, hayo keluarkan
senjatamu dan lawanlah cambukku ini!Setelah berkata demikian, Kauw Bian
menggerakkan cambuknya keatas dan terdengar bunyi Tar‐tar‐tar!nyaring
sekali. Diam‐diam Kwee seng kagum sekali. Cambuk itu biarpun kelihatan
seperti cambuk biasa, namun ditangan orang ini dapat menjadi senjata yang
ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi jawaban yang membayangkan kejujuran
budi dan kesetiaan yang patut dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan
berjata.
Kauw‐enghiong, sikapmu membuat aku lemas dan aku mengaku kalah
terhadapmu. Maafkanlah, aku tidak mungkin mengangkat senjata melawan
seorang yang benar, dan aku pun percaya kau tidak seperti Suhengmu untuk
menyerang seorang yang tidak mau melawan.Setelah berkata demikian,
PART 51
Kwee Seng melompat keatas kudanya, menoleh kepada Lu Sian sambil
berkata.
Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku atau
tidak.Lalu ia melarikan kudanya pergi dari situ. Liu Lu Sian tercengang
sejenak lalu tersenyum dan membedal kudanya pula, mengejar. Tinggal
Kauw Bian yang masih memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan
hanya dapat memandang dua buah bayangan yang makin lama makin kecil
dan akhirnya lenyap itu.
Kauw Bian‐sute ! Adik macam apa kau ini ? Kenapa tidak serang dia?Kauw
Bian terkejut dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di
belakangnya, meringis kesakitan dan ke dua lengannya masih bengkakbengkak.
Tidak mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa
menyerang orang yang tidak mau melawan?
Ahhh, dasar kau lemah. Mendadak Ma Thai Kun menghentikan omelannya
karena mendadak bertiup angin dan sesosok tubuh tinggi besar melayang
turun.
Kiranya Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa tokoh ini marah,
sepasang matanya melotot memandang Ma Thai Kun dan begitu kakinya
menginjak tanah, ia lalu membentak.
Ma Thai Kun ! Bagus sekali perbuatanmu, ya ? Kau layak dipukul seperti
******!Tangan kiri Liu Gan bergerak dan Plakkk, plakkk!telapak dan
punggung tangan sudah menampar cepat sekali mengenai sepasang pipi Ma
Thai Kun yang terhuyung‐huyung ke belakang. Pucat muka Ma Thai Kun dan
matanya menyipit berbahaya ketika berdongak memandang.
Twa‐suheng, apa kesalahanku? Masih bertanya tentang kesalahannya lagi ?
****** hina kau ! Kau, tua bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada
PART 52
puteriku, keponakanmu ? Penghinaan besar sekali ini, tidak dapat
diampunkan!
Suheng, apa buktinya? ***** alas ! Kaukira aku tidak tahu akan segala
perbuatanmu ? Sebelum kau membunuhi pemuda‐pemuda itu, pada malam
hari itu kau membujuk‐bujuk Lu Sian dengan kata‐kata merayu, kau
menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan mau diadakan
pemilihan jodoh. Huh, tak malu ! Dan kau begitu cemburu dan membunuhi
para pemuda yang tergila‐gila kepada Lu Sian, malah engkau membunuh tiga
orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau berani
mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya
menampar mukaku. *******!!
Mendengar ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat
saking heran, terkejut, dan bingung mendengar kelakuan Sam‐suheng (Kakak
Seperguruan ke Tiga). Namun Ma Thai Kun malah tersenyum.
Twa‐suheng, semua itu memang benar ! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku
mencinta Lu Sian ! Dia wanita dan aku laki‐laki ! Agama kita tidak melarang
akan hal ini, tidak melarang perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita
hanya ada hubungan keluarga seperguruan. Twa‐suheng, memang aku
mencinta Lu Sian dengan sepenuh jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah
mendengar pengakuanku, mengapa Suheng marah‐marah?
Gemertak bunyi gigi dalam mulut Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan. Jahanam hina ! Apa
kau kira menjadi tanda bahwa dia membalas cintamu ? Huh, ****** dan hina
! Lu Sian selalu akan gembira mendengar orang laki‐laki jatuh cinta
kepadanya, karena ia ingin menikmati kelucuan badut‐badut itu ! Kau sama
sekali tidak memandang mukaku, maka kau harus binasa sekarang juga!Liu
Gan sudah bergerak maju, akan tetapi ia menarik kembali tangannya ketika
melihat Kauw Bian melompat ke tengah menghalanginya.
Kauw Bian Sute, mau apa?? Maaf, Twa Suheng. Terus terang saja siauwte
seendiri tidak setuju perbuatan Ma‐suheng itu. Akan tetapi, Twa‐suheng,
betapapun besar kesalahannya, kiranya tidaklah baik kalau Twa‐suheng
menjatuhkan hukuman mati kepada Ma‐suheng. Pertama, mengingat akan
saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi buah tertawaan dunia
kang‐ouw dan merendahkan nama besar Twa‐suheng, malah menyeret pula
PART 53
nama Beng‐kauw yang kita cintai. Betapa dunia kang‐ouw akan gempar kalau
mendengar bahwa Ketua Beng‐kauw membunuh adik seperguruannya
sendiri.
Liu Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sutenya
yang paling muda dan memang paling ia saying itu. Ah, Siauw‐sute ! Kau
masih begini muda namun pandanganmu luas, pikiranmu sedalam lautan.
Untung ada engkau yang dapat menahan kemarahan ku. Eh, Ma Thai Kun,
minggatlah kau ! Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi melihat mukamu dan
kalau kau berani muncul di depanku, hemmm, aku tidak peduli lagi, pasti aku
akan membunuhmu !
Ma Thai Kun menjura dalam‐dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di
antara pohon‐pohon. Kauw Bian menarik napas panjang dan mengusap dua
titik air matanya dari pipi.
Kau menangis, Sute ?Liu Gan bertanya heran. Dengan suara serak Kauw Bian
menjawab, masih membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai
Kun. Perbuatan manusia selalu mendatangkan kebaikan dan keburukan,
Twa‐suheng. Kalau kita mengingat yang buruk‐buruk saja memang dapat
menimbulkan benci. Akan tetapi saya teringat akan kebaikan‐kebaikan Masuheng
selama menjadi kakak seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan
sedih melihat dia pergi untuk selamanya ? Betapapun juga, beginilah agaknya
yang paling baik. Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapapun juga Masuheng
pergi membawa serta dendam dan kebencian yang hebat, yang tentu
akan membuatnya nekat dan melakukan hal‐hal yang berbahaya. Akan tetapi
karena Twa‐suheng mengusirnya, berarti bahwa semua perbuatannya tiada
sangkut‐pautnya dengan Beng‐kauw.
Mendengar kata‐kata ini, berkerut kening Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan. Hemmm,
agaknya benar lagi pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada
perbuatan manusia. Kwee Seng kelihatan seorang yang pilihan, akan tetapi
siapa tahu sewaktu‐waktu sifat buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian
Sute, kau kembalilah dan bantulah Suhengmu Liu Mo menjaga Beng‐kauw
dan beri laporan kepada Sri Baginda bahwa aku akan merantau selama dua
tiga bulan.
PART 54
Twa‐suheng hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian ? Itu
baik sekali, Twa‐suheng, karena perjalanan bersama antara seorang pri dan
wanita, sungguh merupakan bahaya besar yang bahayanya lebih banyak
mengancam si wanita daripada si pria.
Sute, kau benar‐benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi !Pat‐jiu Sinong
Liu Gan berkelebat, angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan
Kauw Bian. Pemuda yang berpakaian sederhana seperti pengembala ini
menarik napas panjang saking kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi
dari hutan itu.
Musim dingin telah tiba dan melakukan perjalanan pada musim dingin
bukanlah hal yang menyenangkan atau mudah. Apalagi kalau hanya
menunggang kuda tanpa ada tempat untuk berlindung dari serangan hawa
dingin yang menusuk tulang, tidak mengenakan baju bulu yang tebal, tentu
perjalanan itu akan mendatangkan sengsara dan juga bahaya mati
kedinginan.
Namun, tidak demikian agaknya bagi Kwee Seng dan Liu Lu Sian. Dua orang
muda ini bukanlah orang‐orang biasa, melainkan pendekar‐pendekar yang
sudah gemblengan yang dengan ilmunya telah dapat menyelamatkan diri
daripada serangan hawa dingin tanpa bantuan benda luar seperti baju tebal
dan selimut. Mereka melakukan perjalanan seenaknya dan hanya mengaso
kalau kuda yang mereka tumpangi sudah lelah dan kedinginan.
Pada siang hari itu, mereka mengaso di pinggir Sungai Wu‐kiang yang
mengalirkan airnya perlahan‐lahan ke jurusan timur. Airnya tampak tenang
dan sedikit pun tidak bergelombang, membayangkan bahwa sungai itu amat
dalam. Lu Sian menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh dua
ekor kuda mereka, juga dengan bantuan api, mereka merasa nikmat dan
hangat.
Kwee‐koko, sudah dua pekan kita melakukan perjalanan, akan tetapi belum
juga kau penuhi dua permintaanku.Lu Sian berkata sambil mengorek‐orek
kayu membesarkan nyala api.
PART 55
Nona ? Nah, yang dua belum dipenuhi, yang satu dilanggar pula. Berapa kali
sudah kukatakan supaya kau jangan menyebut Nona kepadaku ? Wah, pelajar
apakah kau ini, Begitu pikun dan kurang perhatian ? Mana bisa maju
mempelajari sastra begitu sulitnya!
Kwee Seng menarik napas panjang. Gadis ini memang hebat. Tidak saja
benar‐benar mempunyai kecantikan yang asli dan gilang‐gemilang, yang
cukup meruntuhkan hatinya, namun juga memiliki watak yang kadangkadang
membuat ia bertekuk lutut karena ia jatuh hatinya. Watak yang
berandalan, namun seakan‐akan dapat menambah terangnya sinar matahari,
menambah merdu kicau burung, menambah meriah suasana dan menjadikan
segala apa yang tampak berseri‐seri. Akan tetapi, juga makin yakin hatinya
bahwa di balik segala keindahan, segala hal‐hal yang menjatuhkan hatinya
ini, tersimpan sifat‐sifat lain yang amat bertentangan dengan hatinya. Sifat
kejam dan ganas, tidak mempedulilkan orang lain, terlalu cinta kepada diri
sendiri, dan tidak mau kalah, ingin selalu menang dan berkuasa saja.
Memang aku seorang pelajar yang gagal, tidak lulus ujian.Ia menjawab
kemudian menambahkan. au minta aku menceritakan riwayatku, apakah
gunanya ? Aku tidak ada riwayat yang pantas menjadi cerita, aku seorang
sebatang kara, yatim piatu, miskin dan gagal. Apalagi ? Tentang
permintaanmu ke dua mempelajari ilmu silat yang sedikit‐sedikit aku bisa,
nantilah, belum tiba saatnya.
Wah, kau jual mahal, Koko!Lu Sian mengejek dan mengisar duduknya
mendekati pemuda itu. Memang demikianlah selalu sikap Lu Sian, terhadap
siapapun juga. Jinak‐jinak merpati, tampaknya jinak tapi tak mudah didekati !
Hawa begini dingin, kalau ditambah sikapmu, bukankah kita akan menjadi
beku ? Eh, Kwee‐koko, kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah seorang ahli
silat yang lihai, kau ini pelajar gagal dan murung mengingatkan aku akan
seorang penyair yang sama segalanya dan sama murungnya dengan engkauhi
hikGadis ini menutup mulutnya dengan tangan, akan tetapi matanya jelas
mentertawakan Kwee Seng.
Penyair mana yang kau maksudkan?Biarpun tahu gadis itu hanya
menggodanya, namun bicara tentang syair dan menyair menimbulkan
kegembiraan selalu bagi Kwee Seng.
PART 56
Siapa lagi kalau bukan Tu Fu ! Pernah aku mendengar ayah bicara tentang
syair‐syairnya, mengerikan!
Mengapa mengerikan kalu dia selalu mencurahkan isi hatinya berdasarkan
kenyataan dan terdorong oleh rasa kasihan kepada sesamanya?
Bukan rasa kasihan kepada sesamanya, Koko, Melainkan rasa kasihan kepada
diri sendiri ! Karena keadaannya miskin terlantar, dia pandai bicara tentang
kemiskinan. Coba dia itu kaya raya, atau andaikata tidak kaya harta benda,
sedikitnya kaya akan cinta kasih kepada alam seperti penyair yang seorang
lagieh, siapa itu yang suka memuji‐muji alam, yang sukamabok‐mabokan, gila
arak seperti kau pula
Kau maksudkan penyair Li Po? Na, dia itulah. Kalau Seperti Li Po yang
memandang dunia dari segi keindahan, tentu dalam kemiskinannya Tu Fu
takkan begitu pahit dan pedas sajak‐sajaknya. Wah, aku seperti mengajar itik
berenang ! Kau tentu lebih tahu dan pandai. Aku paling ngeri mendengar
syair Tu Fu tentang anggur, daging dan tulang. Bagaimana bunyinya, Kweekoko?
Kwee Seng meramkan mata, menengadahkan mukanya yang tampan ke atas
lalu mengucapkan syair ciptaan Tu Fu dengan suara bersemangat,
terpengaruh oleh isi sajak yang memaki‐maki keadaan pada waktu itu.
Di sebelah dalam pintu gerbang merah hangat indah serba mewah anggur
dan daging bertumpuk‐tumpuk sampai masam rusak membusuk ! Di sebelah
luar pintu gerbang merah dinding kotor serba miskin berserakan tulangtulang
rangka mereka yang mati kedinginan dan kelaparan!
Iiiihhh ! Itu bukan sajak namanya!Lu Sian mencela, kelihatan jijik dan ngeri,
Tidak enak benar mendengarkan sajak seperti itu.
Memang sajak itu keras dan tegas, agak berlebihan, namun mengandung
kegagahan yang tiada bandingnya, Noneh, Moi‐moi.
PART 57
Sepasang bibir indah merah terbelah memperlihatkan kilatan gigi seperti
mutiara ketika Lu Sian mendengar sebutan moi‐moi (dinda) itu. Diam‐diam
ia mentertawakan Kwee Seng di dalam hatinya. Katakanlah kau menang
dalam ilmu silat, boleh kau mengira dirimu gagah perkasa dan tampan,
namun alangkah mudahnya kalau aku mau menjatuhkanmu, membuatmu
bertekuk lutut di depan kakiku ! Demikianlah nona ini berkata dalam hatinya.
Ah, apakah dia itu pun pandai ilmu silat seperti kau, Kwee‐koko?Biarpun aku
juga hanya seorang bodoh, akan tetapi sedikit banyak mengerti ilmu silat,
sedangkan mendiang Tu Fu benar‐benar seorang sastrawan yang tak tahu
bagaimana caranya memegang gagang pedang, tahunya hanya memegang
gagang pensil.
Kalau begitu dia orang lemah. Bagaimana gagah tiada bandingnya?$BE.(Boimoi,
kau tidak tahu. Biarpun orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali
pada waktu itu, tak mungkin ia berani melontarkan kata‐kata yang seperti
bunyi sajak itu, karena dapat dicap sebagai pemberontak dan di hukum mati!
Tapi aku lebih kagum kepada penyair Li Po. Masih teringat aku akan sajaknya
yang benar‐benar membayangkan kegagahan, kalau tidak salah begini :
Alangkah inginku dapat terbangdengan pedang sakti di tanganmenyebrangi
samudera untuk membunuh ikan paus pengganggu nelayan!
Ketika mengucapkan sajak ini, Lu Sian bangkit berdiri, kedua kakinya
terpentang, tubuhnya tegak dada membusung penuh semangat dan kelihatan
gagah dan cantik jelita. Suaranya
bersemangat, merdu dan penuh perasaan sehingga Kwee Seng melihat dan
mendengar dengan mata terbelalak dan mulut ternganga ! Ia berada dalam
keadaan seperti itu dan baru tersipu‐sipu membuang muka ketika Lu sian
memandangnya dan bertanya.Kau kenapa, Koko?
Tidak apa‐apa, tidak apa‐apakau pandai membaca sajak, Moi‐moi kata Kwee
Seng gagap. Akan tetapi terdengar gadis itu terkekeh tertawa, suara ketawa
PART 58
yang mengandung banyak arti dan gadis itu masih tersenyum‐senyum dan
sinar matanya mengerling tajam penuh ejekan ketika mereka bangkit berdiri
dan berhadapan, Lu Sian menggerakkan kakinya perlahan mendekati, sampai
dekat benar, sampai terasa benar oleh hidung Kwee Seng keharuman yang
luar biasa keluar dari tubuh gadis itu.
Wajah jelita itu dekat sekali dengan wajahnya, wajah yang berseri dengan
mata bersinar‐sinar dan bibir terbuka menantang dikulum senyum. Serasa
terhenti detik jantung Kwee Seng, bobol pertahanannya dan dengan nafsu
yang memabokkan pikirannya didekapnya pundak Lu Sian dalam rangkulan
dan ditundukkannya mukanya untuk mencium.
Akan tetapi tiba‐tiba Lu Sian menundukkan mukanya sehingga yang tercium
oleh Kwee Seng hanyalah rambutnya, rambut yang harum menyengat
hidung, dan tiba‐tiba terdengar gadis itu bertanya, suaranya dingin aneh,
penuh cemooh. Hai, Kwee Seng pendekar muda yang sakti, pertapa belia
tahan tapa dan si teguh hati, apakah yang akan kau perbuat ini?
Seakan disiram air salju mukanya, Kwee Seng gelagapan, mukanya menjadi
pucat lalu berubah merah, dilepaskannya dekapan tangannya dan ia
membuang muka lalu menundukannya. Maaf ah, maafkan aku. Seperti sudah
gila aku tadi ah, Nona Liu, maafkan aku. Kenapa kau begitubegitu jelita dan..
dan.. keji
Liu Lu Sian tertawa, suara tawanya merdu sekali, akan tetapi juga penuh
dengan ejekan.
Kwee‐koko, kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu menularimu.
Mari kita lanjutkanTiba‐tiba Kwee Seng mendorong gadis itu yang segera
meloncat, bermodal tenaga dorongan Kwee Seng yang juga sudah meloncat
ke belakang dengan gerakan cepat. Sambil mengeluarkan bunyi berciutan
menyambarlah lima batang senjata piauw (pisau terbang) dan menancap ke
dalam batang pohon. Tidak hanya berhenti disitu saja penyerangan gelap ini
karena dari tiga penjuru menyambarlah bermacam‐macam senjata rahasia
menghujani tubuh Kwee Seng dan Lu Sian. Akan tetapi, kini dua orang muda
yang berilmu tinggi itu kini sudah siap sedia dan waspada, dengan mudah
mereka menyelamatkan diri. Lu Sian sudah mencabut pedangnya dan dengan
putaran pedangnya secara indah dan cepat, semua piauw jarum dan senjata
PART 59
rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh. Adapun Kwee Seng sendiri
hanya dengan menggerak‐gerakkan kedua lengannya saja, ujung lengan
bajunya mengeluarkan angin pukulan, cukup membuat semua senjata!
rahasia menyeleweng dan tidak mengenai dirinya.
Tiba‐tiba terdengar derap kaki kuda dan ternyata dua ekor kuda mereka
yang dilarikan orang. ******* hina dina!Lu Sian melompat, pedangnya
berkelebat dan dua orang yang menunggang kuda mereka terjungkal, tak
bernyawa lagi !
Ah, Moi‐moi, kenapa begitu ganas?Kwee Seng menegur penuh sesal sambil
memegangi kendali kudanya yang terkejut dan akan memberontak.
Penjahat rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu hendak mencuri
kuda, sudah sepatutnya dibunuh.Kata Lu Sian dengan suara dingin sambil
menyarungkan kembali pedangnya.
Kwee Seng membungkuk sambil memeriksa dua orang itu. Pakaian mereka
tidak menunjukkan orang‐orang miskin, juga rapi tidak seperti malingmaling
kuda biasa. Akan tetapi, bekas tusukan pedang Lu Sian hebat sekali,
mereka itu sudah mati dan tak dapat ditanya lagi.
Justeru karena mereka mengandalkan banyak orang dan secara menggelap
menyerang kita, perlu kita ketahui apa latar belakangnya. Dua ekor kuda kita,
biarpun merupakan kuda pilihan, kiranya belum patut menggerakkan hati
orang‐orang kang‐ouw untuk merampasnya. Tentu saja ada apa‐apa di
belakang semua ini, namun sayang, mereka sudah mati tak dapat ditanya lagi.
Mari kita lanjutkan perjalanan, dua mayat ini tentu akan diurus oleh temantemannya
yang kurasa tidak kurang dari lima orang banyaknya melihat
datangnya senjata‐senjata rahasia tadi. Kau hati‐hatilah, Moi‐moi, kurasa
orang‐orang yang memusuhi kita takkan berhenti sampai disini saja.
Lu Sian mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali kepada
ancaman musuh, lalu melompat ke atas punggung kudanya. Dua orang muda
itu segera menjalankan kuda ke timur di sepanjang lembah sungai Wu‐kiang.
Melihat Kwee Seng naik kuda dengan wajah muram dan alis berkerut, diam
PART 60
tak mengeluarkan kata‐kata dan sama sekali tak pernah menoleh kepadanya,
Lu Sian bertanya.
Koko, apakah kau masih marah kepadaku?Tanpa menoleh Kwee Seng
berkata lirih, Kenapa marah ? Tidak!
Diam pula sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka yang berjalan
congklang. Dari jauh tampak tembok sebuah kota. Itulah kota Kwei‐siang
yang terletak di tepi sungai.
Kwe‐koko, hemm, ada apakah kau lihat aku. Tidak enak bicara dengan orang
yang tunduk saja. Apa kau tidak sudi memandang mukaku lagi?
Mau tidak mau Kwee Seng menoleh dan wajahnya seketika menjadi merah
ketika ia melihat wajah gadis itu berseri‐seri, sepasang matanya
mengeluarkan cahaya yang bersinar tajam menembusi jantungnya, yang
seakan‐akan mengandung penuh pengertian, yang menjenguk isi hatinya
sehingga Kwee Seng merasa seperti ditelanjangi, seperti telah terungkapkan
semua rahasia perasaan dan hatinya.
Sian‐moi, (adik Sian), kau mau bicara apakah?Kwee Seng mengeraskan
hatinya, menekan perasaan.
Kwee‐koko, kau telah jatuh hati kepadaku, bukan ? Kau mencintaiku sepenuh
hatimu!
Sejenak Kwee Seng menjadi pucat wajahnya. Bukan main, pikirnya. Gadis ini
benar‐benar berwatak siluman ! Pertanyaan macam benar‐benar tak
mungkin diajukan oleh gadis manapun juga. Ia tahu bahwa pertanyaan ini
disengaja oleh Lu Sian, dan ia maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor
kucing, hendak mempermainkannya seperti seekor tikus. Ia merasa betapa
jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee Seng adalah pemuda gemblengan.
Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan mukanya berubah merah
kembali.
Share This Thread