PART 61
Tak perlu aku menyangkal, Moi‐moi. Aku memang jatuh hati kepadamu. Kau
terlalu cantik jelita, pribadimu mengeluarkan daya tarik seperti besi
sembrani yang tak dapat kulawan. Kini aku balas bertanya, apakah kau tidak
mencintaiku?
Lu Sian kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini menggerak‐gerakkan
kepalanya, matanya bersinar‐sinar dan ia tertawa sambil menengadahkan
muka ke atas. Aku ? Mencintaimu ? Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku takkan
begitu tergesa‐gesa seperti engkau mengambil keputusan tentang cinta.
Belum cukup lama aku mengenalmu. Kau terlalu lemah lembut, terlalu
muram. Biarlah aku mempelajarimu lebih dulu. Bukankah ayah telah
memberi kesempatan kepadamu untuk mengawiniku, mengapa kau menolak
dan malah berjanji akan menurunkan ilmu kepadaku?
Aku memang cinta kepadamu, Sian‐moi, akan tetapi tentang kawin ah, terlalu
banyak aku melihat kekejian‐kekejian di Beng‐kauw, terlalu banyak aku
melihat keganjilan‐keganjilan yang mengerikan. Dan kau sendiriah, kurasa
takkan mungkin kau bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta
pribadimu, tapi mungkin aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!
Kembali Lu Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kwee
Seng makin heran. Benar‐benar gadis yang aneh. Aneh dan berbahaya sekali.
Ia tadi sengaja berterus terang untuk membalas agar gadis ini merasa
terpukul. Akan tetapi kiranya gadis itu malah mentertawakannya !
Hi‐hik, kau lucu, Kwee‐koko. Aku pun belum percaya akan cintamu kalau kau
belum buktikan dengan berlutut menyembah‐nyembah kakiku!Setelah
berkata demikian, gadis itu berseru keras dan menyendal kendali kudanya
sehingga binatang itu terkejut dan membalap ke depan. Kwee Seng terheranheran,
lebih heran daripada terhina oleh ucapan aneh itu, akan tetapi ia
merasa lega bahwa gadis itu mengakhiri percakapan yang menyakiti hatinya,
maka ia pun lalu membedal kudanya mengejar, memasuki kota Kwei‐siang.
Hari telah menjelang senja ketika mereka berdua memasuki kota Kwei‐siang.
Mereka mencari sebuah rumah penginapan yang juga membuka rumah
makan di bagian depan. Seorang pelayan penginapan tergopoh‐gopoh
menyambut mereka, merawat kuda dan memberi dua buah kamar yang
mereka minta. Setelah ke dua orang muda ini membersihkan diri daripada
PART 62
debu dan keringat, berganti pakaian bersih, mereka lalu mengambil tempat
duduk di rumah makan dan memesan makanan. Kwee Seng yang masih
belum lenyap rasa tekanan hatinya, lebih dulu memesan seguci arak yang
paling baik.
Wah, kau mau mabok‐mabokan lagi Koko ? Benar‐benar menjengkelkan !
Aku malam ini ingin sekali bercakap‐cakap denganmu sampai semalam
suntuk!
Sambil menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng menjawab, memaksa
senyum, karena kadang‐kadang, seperti sekarang ini sikap Lu Sian yang
kekanak‐kanakan mengelus dan menghibur hatinya, melenyapkan rasa sakit
akibat ucapan‐ucapan yang menusuk dari gadis itu pula.
Biarpun minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja hinggap padaku
semenjak aku berjumpa denganmu, Moi‐moi, akan tetapi aku tak akan begitu
mudah mabok. Bercakap‐cakap sambil minum kan dapat juga.
Ahhh, siapa bilang ? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau lebih
mencurahkan perhatianmu pada arak, dan.. eh, koko, lihat mereka itu. Tibatiba
Lu Sian menghentikan kata‐katanya ketika melihat beberapa orang lakilaki
muncul seorang demi seorang dari pintu depan dengan gerak‐gerik
mencurigakan sekali. Yang pertama masuk adalah seorang laki‐laki yang
berwajah muram, mukanya licin tidak berjenggot, pakaiannya kumal, di
punggungnya terselip sebatang golok telanjang, usianya kurang lebih empat
puluh tahun. Orang ini berjalan dengan gerakan kaki ringan seperti seekor
kucing, dan ketika memasuki pintu, matanya mengerling ke arah tempat
duduk Kwee Seng dan Lu Sian.
Karena Kwee Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian yang
berhadapan dengannya lebih dulu melihat dan tertarik. Apalagi ketika
berturut‐turut masuk lima orang laki‐laki lain di belakang Si Pembawa Golok.
Dua orang berpakaian tosu (pendeta To), seorang laki‐laki setengah tua yang
tampan dengan rambut digelung ke atas, kemudian seorang pemuda tampan
yang pakaiannya seperti pelajar akan tetapi di pinggangnya tergantung
pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio (pendeta Buddha)
berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi yang berat. Enam
PART 63
orang ini terang bukanlah orang‐orang sembarangan karena gerak‐gerik
mereka ringan dan gesit.
Koko, kau lihat mereka, bisik pula Lu Sian. Moi‐moi, mari kita minum, hal‐hal
lain tidak perlu dihiraukan.Kata Kwee Seng yang sikapnya tetap tenang
seakan‐akan tidak ada apa‐apa, kemudian pemuda ini minum araknya dari
cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tahu‐tahu sudah
mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja. Liu Lu Sian tersenyum
dan kembali memperhatikan makanan yang tersedia diatas meja tanpa
menghiraukan orang‐orang itu. Ia maklum bahwa tanpa ia peringatkan, Kwee
Seng juga sudah tahu akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia
kagum akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala
macam ancaman, lebih baik bersikap tenang sehingga dapat menentukan
sikap dengan tepat.
Betapapun juga, Lu Sian tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat
dengan kerling sudut matanya ke arah orang‐orang itu. Ternyata mereka
sekarang memperlihatkan sikap yang cukup jelas. Orang pertama sudah
mencabut golok, Si Hwesio mengangkat tongkatnya sedangkan yang lain juga
sudah bersiap seperti orang hendak bertempur. Jelas bahwa enam orang itu
hendak mencari perkara karena pandang mata mereka semua kini terarah
kepadanya !Dengan gerakan penuh ancaman enam orang itu kini makin
mendekat dan akhirnya mereka mengurung meja yang dihadapi Kwee Seng
dan Lu Sian. Namun, Kwee Seng tetap tenang sambil minum araknya, melirik
pun tidak ke arah mereka. Lu Sian juga bersikap tenang, namun hatinya
berdebar. Tidak biasanya ia bersikap seperti yang diambil Kwee Seng ini.
Biasanya, begitu ada orang memusuhinya, ia segera menurunkan tangan besi
dan baginya, lebih cepat merobohkan lawan lebih baik.
Para pengurus rumah makan sudah lari ketakutan menyaksikan enam orang
itu mengeluarkan senjata dan beberapa orang tamu yang tadinya sedang
menikmati hidangan, juga cepat‐cepat membayar harga makanan dan segara
pergi. Semua orang sudah melihat gelagat tidak baik, hanya Kwee Seng yang
seakan‐akan tidak tahu akan kesibukan itu semua dan enak‐enak minum.
Siluman betina ! Kau harus mengganti nyawa puteraku!tiba‐tiba Si Pemegang
Golok yang berwajah muram itu membentak sambil menudingkan
telunjuknya ke arah muka Lu Sian.
Gadis ini mendongkol bukan main, akan tetapi ia tetap duduk dan tersenyum
mengejek, kemudian dengan mata berseri‐seri memandang kepada pemuda
PART 64
tampan yang membawa pedang. Pandang mata Lu Sian yang tajam, sekali
lihat sudah tahu bahwa pemuda tampan itu sejak tadi memandang
kepadanya penuh rasa kagum, dan hal inilah yang membuat matanya berseri
dan senyumnya mengejek. Sengaja ia mengedip‐negedipkan mata kirinya
lebih dulu kepada pemuda tampan itu sebelum menjawab.
Siapakah puteramu dan siapa engkau ? Mengapa pula aku harus mengganti
nyawa puteramu?
***** betina ! Masih kau hendak berpura‐pura tidak tahu sedangkan tadi
dengan kejam kau membunuh pula dua orang pembantuku?
hihhh hihhh jadi kalian ini golongan pencuri‐pencuri kuda ? Sungguh sayang.
Gadis ini menggeleng‐gelengkan kepalanya sambil memandang kepada
pemuda tampan yang tiba‐tiba menjadi merah mukanya karena Lu Sian
seakan‐akan menunjukan kata‐kata sayangitu kepadanya.
Siluman sombong ! Puteraku dengan baik‐baik memasuki sayembara karena
dia begitu bodoh tergila‐gila kepada kecantikanmu, dan andaikata di dalam
pertandingan itu dia kalah, apakah salahnya ? Kenapa dia masih harus
dibunuh secara penasaran ? Apakah tiap laki‐laki yang gagal mengalahkanmu
harus mati seperti anakku Lauw Kong itu?
Teringatlah kini Lu Sian akan tiga orang pemuda yang mengeroyoknya di
atas panggung. Memang seorang diantara mereka bernama Lauw Kong, yang
bermuka hitam dan mengaku datang dari kota Kwi‐san yang letaknya tidak
jauh dari kota Kwei‐siang ini.
Oh, Si Muka Hitam itukah puteramu ? Memang aku sudah mengalahkannya,
akan tetapi aku tidak membunuhnya!
Kau ***** betina ! Siluman cantik ! Banyak pemuda terbunuh karena engkau
tapi kau masih pura‐pura, dasar perempuan rendahan
PART 65
Cukup, ayah. Dengan maki‐makian urusan takkan beres!Pemuda tampan
yang membawa pedang itu mencela dan maju ke depan menghadapi Lu Sian.
Wajahnya yang tampan itu kurang menarik ketika ia bicara, dan setelah
mendekat Lu Sian melihat bahwa mata pemuda itu agak kuning. Nona, kami
tahu bahwa kau adalah nona Liu Lu Sian puteri Ketua Beng‐kauw. Aku adalah
Lauw Sun, dan kakakku Lauw Kong telah mencoba memenangkan sayembara
beberapa pekan yang lalu. Memang dia kalah oleh nona, Dan bukan nona pula
yang membunuhnya, akan tetapi ternyata ia terbunuh dengan pukulan
beracun dan hal ini tentu saja sepengetahuan nona. Karena itu, ayah dan
kami minta pertanggungan jawabamu!
Muak rasa perut Lu Sian, dan ia mendongkol sekali melihat Kwee Seng masih
enak‐enak minum arak saja, seolah‐olah tidak perduli dirinya dimaki‐maki
orang. Hemm, pikirnya, apakah tanpa kau aku tidak mampu membereskan
buaya‐buaya ini ? Tiba‐tiba kakinya menghentak lantai dan tubuhnya sudah
melayang ke belakang, kedua kakinya hinggap di atas sebuah meja yang
masih penuh sisa hidangan dan arak bekas para tamu tadi, yang tidak sempat
dibersihkan oleh para pelayan yang sudah lari ketakutan. Dengan gerakan
indah ringan Lu Sian meloncat ke belakang dan kedua kakinya sama sekali
tidak menyentuh mangkok cawan, kini ia berdiri di atas kedua ujung kakinya,
pedangnya sudah berada di tangan kanan melintang di depan dada, matanya
bersinar‐sinar, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia berkata.
Orang She‐lauw, menghadapi orang‐orang kasar macam kalian ini aku tidak
sudi banyak bicara. Kalau kalian hendak mengeroyokku, inilah aku Liu Lu
Sian ! Kalau aku tidak berhasil membikin mampus kalian berenam tanpa
turun dari meja ini, jangan sebut lagi aku puteri Ketua Beng‐kauw!
Ucapan ini benar‐benar membayangkan keangkuhan dan kesombongan, akan
tetapi diam‐diam Kwee Seng maklum bahwa sama sekali ucapan itu bukan
kesombongan kosong karena ia tahu, kalau enam orang itu nekat
mengeroyok, takkan sukar bagi Lu Sian untuk membuktikan ancamannya.
Ia dapat menduga mereka bahwa mereka itu adalah jago‐jago dari kota Kwisan,
bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam usahanya menuntut balas
PART 66
atas kematian puteranya, telah minta bantuan seorang hwesio dan dua orang
tosu, agaknya tokoh‐tokoh dalam kuil di kota itu.
Bagus ! Kau harus menebus nyawa anakku dan dua orang temanku!seru Si
Pemegang Golok dan dengan gerakan cepat ia bersama enam orang
temannya menyerbu ke arah meja di mana Lu Sian berdiri. Gadis itu
menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek. Tiba‐tiba sekali,
tanpa kelihatan gadis itu menggerakkan kakinya, cawan arak, mangkok dan
piring beterbangan ke arah enam orang dibarengi bentakan Lu Sian.
Nih, makanlah sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!Hebat sekali
serangan lu Sian ini. Gadis itu dengan sin‐kangnya yang sudah amat kuat,
hanya menggunakan ujung kakinya menyentil barang‐barang diatas meja dan
beterbanganlah mangkok dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak,
ke arah enam orang lawannya. Demikian cepatnya sambaran benda‐benda ini
sehinngga enam orang itu sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri dan
setidaknya pakaian mereka menjadi kotor tersiram kuah sayur dan arak,
bahkan muka si Hwesio terkena hantaman mangkok penuh masakan daging !
Tentu saja hwesio itu gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya
pantang makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka dan
banyak kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah !
Sebetulnya, melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu tahu diri, mereka
sudah akan maklum bahwa gadis itu bukan lawan mereka. Akan tetapi
agaknya kemarahan meluap‐luap membuat mereka mata gelap dan segera
menggerakkan senjata masing‐masing mengepung meja itu dan menyerang
dari semua jurusan, Lu Sian tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja,
melainkan pedangnya kadang‐kadang menyambar untuk menangkis senjata
pengeroyok yang terlalu dekat. Kadang‐kadang ia hanya mengangkat sebelah
kaki menghindarkan golok yang menyambar atau merendahkan tubuh untuk
membiarkan tongkat melayang melalui atas kepalanya. Gadis ini hanya
menanti kesempatan baik untuk membuktikan ancamannya, yaitu
membunuh mereka tanpa turun dari meja.
Mendadak saja, enam orang itu berturut‐turut mengeluarkan teriakan kaget
dan senjata semua runtuh ke atas lantai karena tanpa mereka ketahui
mengapa, tahu‐tahu tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang
yang menyebabkan mereka terpaksa melepaskan senjata masing‐masing.
Tercium oleh mereka bau arak dan tepat pada jalan darah disiku lengan
PART 67
mereka basah. Dengan kaget dan heran mereka saling pandang dan
terdengarlah suara Kwee Seng yang masih saja duduk minum arak.
Menyerang orang secara menggelap dengan senjata rahasia untuk
membunuh sudah termasuk perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok
seorang gadis mengandalkan tenaga enam orang laki‐laki, sungguh amat
memalukan. Apakah kalian masih belum mau insyaf dan tidak tahu diri,
menantang maut yang sudah membayang di depan mata ? Lekas pungut
senjata dan pergi barulah perbuatan orang yang berakal sehat!
Tahulah enam orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka semua
terpaksa melepaskan senjata adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak
dengan tenangnya, sahabat puteri Ketua Beng‐kauw itu. Tentu saja hal ini
membuat mereka menjadi gentar. Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk
dikalahkan, apalagi dengan adanya seorang yang demikian saktinya, yang
tanpa bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan keasyikannya
minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti senjata
mereka !
Orang she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman‐temannya lalu
ia menjura ke arah Kwee Seng. Siauw‐enghiong (Pendekar Muda),
kepandaianmu membuat mata kami yang bodoh, membuat kami terpaksa
menelan hinaan dan menderita kekalahan. Bolehkah kami mengetahui siapa
nama dan julukan Siauw‐enghiong yang gagah?
Kwee seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan cawan penuh
arak di tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi dengan lagak
seorang mabok.
$BE"(Bngin kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri suara suling
mengusir harimau dan menentramkan hati nama harta kepandaian tiada
artinya yang penting adalah pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!
Enam orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal pemuda ini
karena mereka pun tidak pernah mendengar nyanyian itu. Lu Sian tertawa
dan dari atas meja itu ia berkata nyaring.
PART 68
"Sebangsa cacing macam kalian ini mana mengenalnya ? Dia bersama Kwee
Seng, para locianpwe mengenalnya sebagai kim‐mo‐eng. Hanya dia
seoranglah yang mampu menandingi aku. Biarpun begitu, masih belum tentu
ia bisa menjadi jodohku ! Apalagi orang‐orang macam anakmu hendak
memperisteri aku. Cih Bukankah itu lucu sekali?
Enam orang itu kelihatan kaget dan tanpa bicara apa‐apa lagi mereka lalu
meninggalkan tempat itu. Pelayan‐pelayan mulai muncul kembali,
memandang takut‐takut ke arah Kwee Seng dan Lu Sian. Kwee Sng
menyatakan kesanggupannya membayar harga barang‐barang yang rusak,
mereka kelihatan senang dan melayani sepasang orang ini dengan
kehormatan berlebihan.
Lu Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya selalu
tersenyum, matanya bersinar‐sinar, wajahnya berseri dan tiada hentinya ia
menatap wajah Kwee Seng dengan sikap menggoda. Sebaliknya Kwee Seng
sama sekali tidak kelihatan gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi,
akan tetapi melihat cara ia berkali‐kali memenuhi cawan arak dan
meminumnya habis sekali tenggak, terang bahwa perasaan hatinya amat
terganggu. Memang demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya,
hampir ia meloncat bangun untuk lari meninggalkan gadis ini. Ia merasa
betapa gadis ini sengaja menggodanya, sengaja hendak mempermainkannya.
Ucapan Lu Sian tadi benar‐benar menikam jantungnya. Gadis itu di depan
orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee Seng yang mampu
menandinginya, namun betapapun juga, pemuda itu belum tentu bisa
menjadi jodohnya ! Ia merasa makin tak senang ,muak dan benci
menyaksikan sikap Lu Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah
pasti akan membunuh enam orang lawanny! a ! kalau saja ia tidak cepatcepat
turun tangan. Ia makin benci, akan tetapi juga makin cinta ! Makin lama
ia berdekatan dengan gadis ini, makin besar pula daya tariknya menguasai
hatinya.
Kwee‐koko, dalam nyanyianmu tadi kau menyebut‐nyebut tentang kipas dan
suling. Tentang kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu kelihaiannya.
Akan tetapi tentang suling, adakah kau mempunyai suling, dan pandaikah
kau meniup suling dan mempergunakannya sebagai senjata?
PART 69
Aku seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas‐kipas
mendinginkan kepala panas lalu menghibur diri dengan suara suling.
Memang tadinya aku memiliki sebuah suling, akan tetapi benda itu hancur
ketika aku bertemu dengan Ban‐pi Locia (Dewa Locia Berlengan Selaksa) di
telaga See‐ouw (Telaga Barat).
Terbelalak sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan ingin tahu.
Apa ? Kau betul‐betul bertemu dengan ok‐hengcia (pendeta jahat) itu ? Aku
pernah mendengar dari ayah bahwa pendeta perkasa itu amat ***** dan keji,
akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah
bentrok dengan Ban‐pi Lo‐cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak
ada yang kalah atau menang. Hanya karena khawatir kalau pertandingan
dilanjutkan keduanya akan tewas, maka mereka menghentikan pertandingan.
Dan kaukau bertemu dengannya ? Bertanding ? Dan sulingmu hancur
olehnya ? Ah, Kwee‐koko, apakah kau kalah olehnya?
Kwee Seng mengipas‐ngipas lehernya yang terasa panas oleh pengaruh arak.
Dia memang hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara kebetulan saja
aku bertemu dengannya ketika aku berpesiar di telaga See‐ouw. Pemuda itu
lalu menceritakan pengalamannya seperti berikut.
Beberapa bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak mempunyai
tujuan tertentu, tibalah Kwee Seng di telaga See‐ouw, Telaga Barat ini
amatlah terkenal semenjak dahulu, karena luasnya, karena indahnya, dan
karena segar nyaman hawanya.
Air berkeriput biru sehalus beledu tilam pembaringan berkasur bulu bunga
teratai aneka warna penghias indah dicumbu rayu ikan‐ikan emas berwarna
cerah berperahu di telaga barat mandi sinar bulan minum arak sesudah itu
mati pun tak penasaran!
Nyanyian ini banyak dinyanyikan tukang‐tukang perahu yang menyewakan
perahu mereka untuk para pelancong. Pelancong yang tergolong miskin
cukup merasa puas dengan berjalan‐jalan disekitar telaga, yang tergolong
cukup merasa puas dengan menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak.
Akan tetapi bagi para pelancong kaya raya, acaranya bermacam‐macam. Yang
sudah pasti mereka itu akan menyewa perahu besar yang mempunyai bilik
yang terlindung dan tertutup, memesan hidangan arak dan masakan lezat
PART 70
mewah, kemudian memanggil pula *******‐******* untuk melayani mereka
makan minum sambil mendengarkan beberapa orang perempuan penyanyi
menabuh yangkim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir diadakan setiap
malam diwaktu musim tiada hujan, sehingga keadaan telaga barat amat
meriah.
Ketika Kwee Seng tanpa disengaja tiba di telaga See‐ouw, keadaan di situ
sedang meriah sekali karena musim panas telah tiba. Di waktu musim panas
mengamuk, banyak orang‐orang kaya dan pembesar‐pembesar merasa tidak
betah tinggal di kota dan banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau
pekan lamanya ke Telaga See‐ouw di mana mereka dapat menghibur tubuh
dan pikiran, dan baru ingat pulang kalau uang sudah habis dihamburkan !
Begitu melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian pelajar yang cukup
rapi datang seorang diri, segera para tukang perahu merubungnya,
menawarkan perahu mereka.
"Mari, Kongcu (Tuan Muda), perahu saya bersih dan kosong ! Saya pesankan
arak Hang‐ciu yang paling baik ! Kongcu perlu hidangan yang paling lezat ?
Restoran Can‐lok atau rombongan penyanyi ? Anak buah Bibi Congcantikcantik,
muda dan suaranya emas atau Kongcu suka ehmm ditemani bidadari
jelita ? Tinggal pilih menurut selera Kongcu.
Demikianlah, ribut mereka menawarkan perahu sampai *******. Kwee Seng
tersenyum dan menggerak‐gerakkan tangan menyuruh mereka jangan bicara
sambung‐menyambung membikin bising.
Dengar baik‐baik, jangan ribut sendiri!katanya tertawa. Aku hanya
membutuhkan sebuah perahu kecil yang dapat dipakai duduk berdua, tanpa
pendayung. Perahu kecil yang bersih dan tidak bocor, terbuka tanpa bilik.
Kemudian, boleh sediakan arak dan dua cawannya, beberapa macam
masakan yang panas‐panas dan kemudian boleh panggil seorang *******
yang pandai bicara, pandai main yangkim meniup suling, pandai bernyanyi
dan pandai bermain catur.
PART 71
Wah, mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa pakai perahu kecil
terbuka, Siangkong (Tuan Muda)? Saya mempunyai yang besar, ada biliknya
yang bersih dan enak, tidak terganggu dari luar
Kembali Kwee Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah. Pemuda ini
tidak pantang bersenang‐senang dengan wanita, akan tetapi hanya sampai
pada batas mengobrol dan bercakap‐cakap gembira, bersenda‐gurau dan
main catur atau mendengarkan si cantik bernyanyi atau menabuh yangkim
meniup suling saja.
Aku ingin menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung, ada tidak? Ada!
Ada! Jangan khawatir, Kongcu, perahu saya kecil bersih, dicat biru dan
tanggung tidak bocor. Lima belas cni saja untuk semalam suntuk!
Dan perempuan yang kukehendaki itu ada tidak ? Pandai bicara, pandai main
musik, bernyanyi dan pandai main catur, tidak menolak minum arak!
Wah, wah yang sepandai itu agaknya, hanyalah Ang‐siauw‐hwa (Bunga Kecil
Merah) seorang . Seorang bidadari yang tercantik dan termahal disini!
Bagus ! Kaupanggil Ang‐siauw‐hwa untukku,kata Kwee Seng, senang hatinya.
Ah, tidak mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil si Kim‐bwe (Bunga Bwee
Emas) yang juga pandai segala biarpun tidak secantik Ang‐siauw‐hwa atau si
Kim‐lian (Teratai Emas) yang pandai meniup suling dan cantik jelita, akan
tetapi tidak pandai main catur dan tidak suka minum arak
Hati Kwee Seng sudah kecewa. Tidak, aku menghendaki Ang‐siauw‐hwa itu.
Mengapa tidak mungkin memanggil dia ? Berapa harganya ? Aku sanggup
bayar!
Orang‐orang itu menggeleng kepala dan seorang yang setengah tua berkata,
suaranya perlahan seperti takut terdengar orang lain, Kongcu, kau tidak tahu.
Ang‐siauw‐hwa amat terkenal disini dan setiap ada pembesar pesiar, tentu
dia dipesan. Aneh memang, biarpun Ang‐siauw‐hwa merupakan kembangnya
semua wanita disini, namun dia bukanlah ******* sembarangan. Dia hanya
PART 72
mau melayani bicara dan bernyanyi, main catur atau minum arak, bahkan
mengarang syair, akan tetapi belum pernah terdengar Ang‐siauw‐hwa mau
diajak yang bukan‐bukan.
Bagus, dialah pilihanku ! Panggil dia!Kwee Seng tertarik sekali. Akan tetapi
orang‐orang itu menggeleng kepala. Sekarang dia berada di perahu Limwangwe
(Hartawan Lim) yang perahunya kelihatan di sana itu.Ia menuding
ke arah tengah telaga di mana tampak sebuah perahu Lim‐wangwe sendiri
yang mengadakan pesta bersama lima orang pendekar yang menjadi
tamunya. Sejak pagi tadi Ang‐siauw‐hwa berada di sana, mungkin sampai
semalam suntuk mereka berpesta. Nah, dengar, itu suara suling tiupan Angsiauw‐
hwa.
Kebetulan angin bersilir dari arah telaga dan tertangkaplah oleh telinga Kwee
Seng tiupan suling yang merdu dan halus.
Lebih baik jangan panggil dia, kongcu. Yang lain masih banyak, boleh Kongcu
pilih sendiri. Ang‐siauw‐hwa hanya mendatangkan ribut belaka.
Ah, kenapa?Kwee Seng terheran. Beberapa orang memberi isyarat akan
tetapi pembicara itu agaknya sudah terlanjur dan berkata, Pagi tadi timbul
keributan karena dia, Lo Houw (Macan Tua), Seorang tukang pukul yang
terkenal di daerah ini, memaksa hendak mengajak Ang‐siauw‐hwa dan
biarpun perempuan itu sudah lebih dulu dipanggil Lim‐wangwe, Lo houw
tidak mau peduli dan hendak merampas Ang‐siauw‐hwa, bahkan
mengeluarkan kata‐kata memaki Lim‐wangwe. Kemudian ia mendatangi
Lim‐wangwe dengan perahunya dan kami semua sudah merasa kuatir. Kami
mengenal kekejaman dan kelihaian Lo Houw, dan kami saying kepada Limwangwe
yang berbudi halus dan suka menolong kami yang miskin. Akan
tetapi, apa terjadi ? Lo Houw menyerang ke sana dengan perahu, akan tetapi
ia kembali ke pantai dengan basah kuyup!Orang itu tertawa dan yang lain
juga tertawa, biarpun ketawanya sambil menoleh ke kanan kiri, kelihatan
takut kalau‐kalau mereka terlihat orang.
Ah, apa yang tejadi?Kwee Seng makin tertarik.
PART 73
Kabarnya menurut tukang perahu yang kebetulan berada di dekat sana, Lo
Houw meloncat ke perahu besar dan memaki‐maki. Akan tetapi tiba‐tiba
muncul seorang di antara tamu Lim‐wangwe dan dalam beberapa gebrakan
saja Lo Houw yang terkenal itu terlempar ke dalam air!
Ha‐ha, dia harus berenang ke tepi!kata seorang lain. Kwee Seng tersenyum.
Hal semacam itu tidaklah aneh baginya yang sudah biasa bertemu dengan
peristiwa pertempuran yang lebih hebat lagi. Biarlah, kalau ia sedang
melayani hartawan itu, aku pun tidak jadi mengajaknya menemaniku. Beri
saja sebuah perahu kecil yang baik, sediakan satu guci arak da cawannya
bersama sedikit daging panggang, tiga macam sayur dan sedikit nasi. Nih
uangnya, lebihnya boleh kau miliki.Kwee Seng mengeluarkan dua potong
uang perak yang diterima dengan tubuh membongkok‐bongkok oleh tukang
perahu setengah tua itu yang merasa kejatuhan rejeki.
He, tukang perahu jembel ! Lekas sediakan perahu terbaik, lima guci arak
wangi, lima kati daging, lima macam sayur, mi lima kati dan nona‐nona manis
lima orang yang cantik‐cantik dan muda‐muda ! Eh, kembang ******* yang
kalian obrolkan tadi, siapa namanya?
Kwee Seng membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara yang besar dan
nyaring ini. Ketika melihat orangnya, ia tertegun. Bukan hanya Kwee Seng
yang terperanjat, juga semua tukang perahu memandang dengan mata
terbelalak, tak seorangpun menjawab.
Pembicara ini adalah seorang laki‐laki tinggi besar, sekepala lebih tinggi
daripada orang yang berukuran tinggi umum. Melihat pakaiannya yang
sederhana dan longgar, apalagi melihat kepalanya yang gundul, orang tentu
mengatakan bahwa ia seorang hwesio (pendeta Buddha). Akan tetapi yang
meragukan, kalau benar ia seorang pendeta, mengapa ia memesan daging,
arak, bahkan ******* ? Anehnya pula, dia itu seorang diri, mengapa memesan
demikian banyaknya makanan dan minuman yang serba lima takar, juga
memesan lima orang perempuan lacur ? Pertanyaan‐pertanyaan inilah
agaknya yang membanjiri pikiran para tukang perahu sehingga sampai lama
mereka terheran‐heran tak mampu menjawab.
PART 74
Heh ! Jembel‐jembel busuk, mengapa kalian diam saja ? Apakah kalian tuli
dan gagu?Laki‐laki tinggi besar gundul yang usianya tentu lima puluh tahun
itu membentak.
Seorang tukang perahu yang agak tabah hatinya menjura sambil tertawatawa.
Maaf eh, Lo‐suhutapitapi yang Lo‐suhu pesan begitu banyak
Hwesio itu menyeringai dan melirik ke arah Kwee Seng yang berdiri dengan
tenang, menaksir‐naksir dan mengasah otak untuk mengenal siapa gerangan
hwesio aneh ini.
Heh‐heh, seorang pelajar melarat saja mampu menyewa perahu dan
membayar arak, apakah kau kira aku seorang perantau lain tidak mempunyai
uang?Ia menggulung kedua lengan bajunya yang lebar sehingga tampaklah
lengannya kekar kuat penuh bulu. Ia merogoh ke balik jubahnya dan
keluarlah sebuah pundi‐pundi berisi penuh uang. Dibukanya tali pundi‐pundi
itu danhwesio itu memperlihatkan potongan‐potongan uang emas dan perak
! Para tukang perahu memandang melotot dan menelan ludah. Belum pernah
selama hidup mereka tampak sekian banyaknya uang.
maaf, maaf, Lo‐suhu, bukan sekali‐kali saya meragukan Lo‐suhu takkan dapat
membayar. Hanya, Lo‐suhu seorang diri, Pesanannya begitu banyak, apalagi
pakai lima orang bidadari
Heh..heh, ****** ! Apa salahnya ? Malah kembangnya ******* itu harus pula
melayani aku, berapapun biayanya akan ku bayar.
Tapi, Lo‐suhu, Ang‐siauw‐hwa telah disewa Lim‐wangwe di perahu mewah
yang berada di sana tukang perahu itu menunjuk. Hwesio tinggi besar
memandang dan mulutnya yang berbibir tebal mengejek.
Biarlah nanti kujemput sendiri dia. Sekarang sediakan pesananku semua.
Cepat dan nih uangnya, lebihnya boleh kalian bagi‐bagi!Hwesio itu
mengeluarkan belasan potong uang perak dan melemparnya kepada tukang
perahu seperti orang melempar sampah saja.
PART 75
Gegerlah para tukang perahu. Benar‐benar hari itu mereka kejatuhan rejeki
besar. Seperti berlumba mereka lari kesana‐kemari untuk memenuhi
pesanan hwesio aneh. Akan tetapi Kwee Seng sudah merasa muak perutnya
dan begitu pesanannya tiba, ia segera naik ke perahu kecil yang sudah terisi
makanan dan minuman pesanannya, kemudian ia mendayungnya ke tengah
telaga tanpa mempedulikan lagi hwesio tadi.
Hemmmm, Menjemukan sekali.Pikirnya. Kalau para pembesar negeri suka
mencuri uang negara dan makan sogokan seperti ******‐****** kelaparan,
kalau para pendetanya melanggar pantangan, minum arak, makan daging
dan main perempuan, akan bagaimanakah jadinya bangsa dan
negara?Berpikir sampai disini hati Kwee Seng merasa kecewa sekali. Akan
tetapi pemandangan telaga itu benar‐benar indah sehingga kekecewaannya
terobati. Hari menjelang senja dan matahari di ujung barat tampak tenggelam
ke dalam air telaga, kemerah‐merahan dan indah sekali. Kwee Seng mulai
makan daging dan sayur, dan minum araknya sedikit demi sedikit memang ia
tidak begitu suka minum arak.
Makin gelap cuaca tanda malam tiba, makin indah di situ. Bulan muncul
dengan cahayanya yang gilang gemilang, langit bersih tak tampak sedikitpun
awan, permukaan air telaga bermandikan cahaya bulan, seakan‐akan
terbakar menjadi emas, berkilauan. Angin bersilir membuat air emas itu
berombak sedikit dan bunga‐bunga teratai yang berkelompok disana‐sini
mulailah menari‐nari menggoyang‐goyangkan pinggang ke kanan kiri.
Perahu‐perahu yang berkeliaran di permukaan telaga mulai memasang
lampu yang dihias dengan beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning,
menambah indahnya pemandangan di telaga itu.
Tiba‐tiba telinga Kwee Seng tertarik oleh lengking suara suling yang sayup
sampai, suaranya mengalun tinggi rendah sesuai dengan gerak air. Kwee
Seng tertarik dan mendayung perahunya ke arah suara. Ternyata suara
suling itu keluar dari sebuah perahu besar dan mewah, dan kini Kwee Seng
dapat mendengar suara suling dengan jelas sekali. Akan tetapi ia segera
menjadi kecewa. Suara itu tadi indah kedengarannya karena dipermainkan
oleh angin. Setelah mendengar dari dekat, ia mendapat kenyataan bahwa
biarpun peniupnya menguasai lagu dan irama, namun tiupannya kurang
tenaga dan amat lemah, tidak membawakan perasaan hati peniupnya. Akan
tetapi di samping kekecewaannya, timbul dugaan yang mendebarkan
jantungnya. Perahu besar dan mewah inilah agaknya perahu Lim‐wangwe
Share This Thread