PART 181
Biarpun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya !
Akan tetapi hidungnya kembang‐kempis, bau harum yang selalu ia rasakan
apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum
mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan
lengan yang merangkulnya begitu halus ! Begitu halus dan hangat. Dan ia
teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya. Di dalam gelap itu,
terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali
dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang‐siauwhwa.
Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia
menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang
menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.
Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang‐siauwhwa
ketika dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia
mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati !
Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan
seorang nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk
Ang‐siauw‐hwa ! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya
ini, tangannya meraba‐raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini
Ang‐siauw‐hwa ! Akan tetapi Ang‐siauw‐hwa sudah meninggal dunia ! Mana
mungkin ?
"Kwee‐koko... ah, betapa cintaku kepadamu..." Nenek itu berbisik‐bisik dan
terisak penuh kebahagiaan dan haru.
Suaranya pun suara Ang‐siauw‐hwa ! "Kwee‐koko, betapa rindunya aku
kepadamu..."
Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai.
Tangannya meraba‐raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga
bunga api berpijar‐pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar
terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar
bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung bibir
merah mata indah. Muka Ang‐siauw‐hwa!
"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu..." Dalam gelap Kwee Seng
terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang,
penuh kerinduan yang selama ini ditekan‐tekannya.
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 10:37.
PART 182
"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang‐siauw‐hwa... alangkah rinduku
kepadamu!"
Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan
cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu
Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu ! Kesadarannya kadang‐kadang
memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang
nenek akan tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut
perasaannya ia berkasih‐kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang
dalam anggapannya kadang‐kadang seperti Ang‐siauw‐hwa dan kadangkadang
seperti Liu Lu Sian !
Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia,
mahluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan‐penyelewengan,
mahluk yang selemah‐lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja
kelemahannya di samping kebaikan‐kebaikannya. Pemuda ini dahulunya
tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan
tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng‐kauw,
ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya,
seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasihkasihan
dengan seorang nenek ? Dalam anggapannya, ia memperisteri
seorang wanita yang muda dan cantik jelita ! Inilah kelemahan Kwee Seng,
pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah,
mudah terpengaruh.
Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih‐kasihan dengan
nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Angsiauw‐
hwa setengah Liu Lu Sian ! Tak pernah nenek itu membolehkan dia
menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab,
dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan
makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng
merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua
renta yang berkeriputan kedua pipinya.
Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasihkasihan
itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan
senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti
wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 10:38.
PART 183
dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu
cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita !
Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sum‐sum, membuatnya
setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan
remang‐remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba‐raba
dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk
isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.
Tiba‐tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi ! Ia berada dalam
kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi ? Ada
cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti ! Ia
dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibatlibat
tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya.
Kegelapan yang mengerikan telah pergi !
Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak
memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia
membungkuk dan... tiba‐tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur
seakan‐akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin,
tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau,
pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia
anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh
keriput !
Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora
nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasihkasihan
dengan seorang nenek‐nenek ! Bukan lagi mengorbankan diri untuk
menyenangkan hati nenek‐nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk
membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah
yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra ! Dialah yang seakan‐akan
tergila‐gila, dan ternyata ia telah tergila‐gila kepada seorang nenek‐nenek !
Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya
sendiri, "Plak‐plak‐plak‐plak!" Begitu terus menerus berkali‐kali sampai
kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak‐bengkak, kemudian ia lari
keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa‐tawa. Cepat sekali ia lari
seperti dikejar *****. Memang ia dikejar *****. ***** bayangan pikirannya
sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi *****
yang mengejar‐ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu ! Malu dan
harus ia pergi dari situ cepat‐cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak
PART 184
mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggilmanggilnya.
Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut
yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir
panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran ***** itu segera
meloncat ke tengah.
"Byuuur!" Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun ke dalam
air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejarngejarnya
dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan
kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sin‐kangnya.
Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan
menangis, memanggil‐manggil namanya dengan suara mengharukan,
seorang wanita yang rambutnya riap‐riapan; rambut yang hitam halus dan
panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal‐tambalan, yang mukanya
basah air mata, muka yang cantik jelita kedua pipinya kemerahan hidungnya
mancung bibirnya merah matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee
Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di
tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia
terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan
kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit yang amat
halus buatannya, topeng seorang nenek‐nenek tua renta..!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya
merupakan tokoh penting, kalau tidak yang terpenting, dalam cerita ini.
Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak
gara‐gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti
perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut
pulang dengan ayahnya, Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan, yang memeberi waktu satu
tahun kepadanya untuk merantau dan "memilih suami". Gadis itu masih
berdiri termangu‐mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang
dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapapun juga, ia merasa kasihan
kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia
menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu
sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik."
Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia
kembali menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan
berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena penduduknya
PART 185
mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak
jauh dari situ.
Sewaktu Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat
menentramkan pikirannnya yang terguncang dan sambil makan ia
mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya, ia
mendengar derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung
kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar orang berteriak‐teriak. Tadinya
Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda,
mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan
bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia
menengok ke jalan, orang‐orang sudah lari cerai‐berai bersembunyi.
"Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan
takut.
"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera barsembunyi
dan kalau nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."
"Ada apakah ? Barisan apa yang datang itu?"
"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang
banyak sekali lewat kampung ini, dan pada saat seperti sekarang ini, semua
pasukan merupakan perampok‐perampok yang jahat, apalagi kalau melihat
wanita cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti
Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang !
Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia
takutkan ? Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik‐baik,
akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah ? Boleh coba‐coba ganggu
kalau hendak berkenalan dengan pedangnya ! Akan tetapi ketika mendengar
derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya
untuk ke luar warung menonton.
PART 186
Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan
berkuda, dengan kuda yang bagus‐bagus, dipimpin oleh seorang komandan
muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian
keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana
terdapat seorang wanita muda sedang membetot‐betot tangan puteranya
yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya
orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda,
usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya
kuning bersih.
"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku,
malam ini bersenang‐senang denganku. Ha‐ha‐ha!" Penunggang kuda itu
membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu
sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit
ketakutan.
"Tar‐tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat
tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan
kembali ! Di wilayah Kam‐goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan
namaku ? Orang *****!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah
Si Opsir Muda. Wanita itu cepat‐cepat menggendomg anaknya yang menangis
dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian,
jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi
agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin
barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan
tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke
arahnya, tersenyum‐senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia
masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk
termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar‐benar
seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu
suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri
dari orang‐orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan
serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.
PART 186
Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan
berkuda, dengan kuda yang bagus‐bagus, dipimpin oleh seorang komandan
muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian
keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana
terdapat seorang wanita muda sedang membetot‐betot tangan puteranya
yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya
orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda,
usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya
kuning bersih.
"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku,
malam ini bersenang‐senang denganku. Ha‐ha‐ha!" Penunggang kuda itu
membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu
sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit
ketakutan.
"Tar‐tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat
tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan
kembali ! Di wilayah Kam‐goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan
namaku ? Orang *****!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah
Si Opsir Muda. Wanita itu cepat‐cepat menggendomg anaknya yang menangis
dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian,
jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi
agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin
barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan
tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke
arahnya, tersenyum‐senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia
masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk
termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar‐benar
seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu
suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri
dari orang‐orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan
serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.
PART 187
Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur‐angsur penduduk kembali
ke rumah masing‐masing jalan penuh lagi oleh orang‐orang yang hilir mudik.
Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran‐heran melihat Lu Sian
masih duduk di situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona ? Hebat, benar‐benar
Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat
dengan benteng Kam‐goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun
ini sejak lama seperti dusun‐dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti
itu terhadap rakyat?"
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si
komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti
Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang
seperti Kam‐goanswe diberi panjang umur!"
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari
keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan
Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal‐hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau
dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam
Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya
berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika
panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng‐kauw untuk menolong
seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang di telinganya kata‐kata Kam Si
Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi
pemenang .... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah
aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata‐katanya, kata‐kata yang jelas
merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati"
terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah
menghias diri serapi‐rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat
menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa
penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin,
bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan
sedang bermain kartu di bawah sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu
melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit
kemudian ia telah berloncatan ke atas genteng.
PART 188
Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek
yang berada di tengah‐tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara
orang berkata‐kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia
berindap dan dengan hati‐hati melayang ke bawah memasuki gedung dari
belakang, dan di lain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan
di mana terjadi pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba
putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui
Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya
kemerahan metanya berapi‐api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga
orang perwira, dengan muka tertawa‐tawa mengejek. Seorang di antaranya,
yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat
Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
"Lai Li‐hiap , sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li‐hiap (Nona Yang
Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami,
Li‐hiap tidak berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah
kekerasan Kam‐goanswe. Sekarang Phang‐ciangkun (Panglima Phang) yang
memegang komando di benteng ini, Lai‐hiap tidak berhak mencampuri
urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah
terlalu banyak Li‐hiap biasanya mencampuri urusan ketenteraan, sewenangwenang
menghukum anak buah kami padahal biarpun Li‐hiap adalah kakak
sepergurun Kam‐goanswe namun Li‐hiap tetap seorang biasa, bukan
anggauta ketentaraan."
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang
bekas pembntu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia‐manusia yang
pada dasarnya sesat ! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum
tentara menyeleweng, itu sudah semestinya ! Dan aku membantu Suteku
menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan
penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang
gagah. Di depan Sute, kalian berpura‐pura baik, sekarang , baru setengah hari
Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya
serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang
buruk ! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta
benda rakyat. Orang‐orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara ?
Pantasnya dikirim ke neraka !"
PART 189
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok
mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata,
memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di
mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi
komandan baru benteng itu, Phang‐ciangkun yang tinggi besar dan berkulit
hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan
"Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa
semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi
komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona,
sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu
akan peraturan‐peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah
tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona
sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona
melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada
komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita
bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal‐hal tidak baik dan memalukan
kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum
bersama dan bersenang‐senang!" Setelah demikian, komandan muda itu
memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri‐seri
mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu
bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam
kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul
Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah
berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam
rumah itu.
Tiga orang perwira itu tertawa‐tawa bergelak. "Ha‐ha‐ha, perempuan galak
itu pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau
tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha‐ha‐ha!" kata
seorang yang duduk di kiri.
Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang
ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul,
biarlah ditangkap sekali. Phang‐ciangkun, mari kita bersenang‐senang makan
minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa
ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha‐ha‐ha!"
PART 189
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok
mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata,
memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di
mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi
komandan baru benteng itu, Phang‐ciangkun yang tinggi besar dan berkulit
hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan
"Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa
semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi
komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona,
sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu
akan peraturan‐peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah
tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona
sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona
melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada
komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita
bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal‐hal tidak baik dan memalukan
kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum
bersama dan bersenang‐senang!" Setelah demikian, komandan muda itu
memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri‐seri
mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu
bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam
kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul
Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah
berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam
rumah itu.
Tiga orang perwira itu tertawa‐tawa bergelak. "Ha‐ha‐ha, perempuan galak
itu pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau
tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha‐ha‐ha!" kata
seorang yang duduk di kiri.
Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang
ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul,
biarlah ditangkap sekali. Phang‐ciangkun, mari kita bersenang‐senang makan
minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa
ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha‐ha‐ha!"
PART 190
Mereka bertiga tertawa‐tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena
secara tiba‐tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata.
Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas
sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung
ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan
sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul,
ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang
pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.
Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada
sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga
terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phangciangkun
agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari
sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami
pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman,
maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan
berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ?
Apakah hendak menemaniku makan minum?"
Akan tetapi tiba‐tiba ia berteriak kaget karena tahu‐tahu meja di depannya
telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya
kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya,
Phang‐ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua
sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah
sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali.
Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di
tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!" teriak Phang‐ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada
gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan
ingin menawannya hidup‐hidup. Dua orang temannya menahan golok dan
meloncat mundur.
PART 190
Mereka bertiga tertawa‐tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena
secara tiba‐tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata.
Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas
sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung
ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan
sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul,
ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang
pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.
Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada
sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga
terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phangciangkun
agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari
sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami
pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman,
maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan
berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ?
Apakah hendak menemaniku makan minum?"
Akan tetapi tiba‐tiba ia berteriak kaget karena tahu‐tahu meja di depannya
telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya
kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya,
Phang‐ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua
sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah
sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali.
Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di
tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!" teriak Phang‐ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada
gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan
ingin menawannya hidup‐hidup. Dua orang temannya menahan golok dan
meloncat mundur.
PART 191
"Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada
permusuhan di antara kita!"
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka
hitam itu. "Ihh, manusia ******* ! Kau masih bisa bilang tidak ada
permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya,
menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa‐apa?"
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahutahu
pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung‐gulung
dan menyambar ke arah Phang‐ciangkun. Perwira ini kaget bukan main.
Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang
kiam‐hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya,
dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri
membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang‐orang kasar yang
pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran
untuk bertindak sewenang‐wenang, yang hanya berani dan sombong karena
mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang
Toa‐hong‐kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng
secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phangciangkun
sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun
terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi
sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum
roboh tiga orang itu sempat berteriak‐teriak memanggil bala bantuan, akan
tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya
melihat Pang‐ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak
bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para
penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela
yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan
gebreng dipukul bertalu‐talu karena tadinya mereka itu semua bersenangsenang
karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si
Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil
mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba
di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas
tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang
menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut mintaminta
ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa
bertindak sewenang‐wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di
PART 191
"Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada
permusuhan di antara kita!"
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka
hitam itu. "Ihh, manusia ******* ! Kau masih bisa bilang tidak ada
permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya,
menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa‐apa?"
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahutahu
pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung‐gulung
dan menyambar ke arah Phang‐ciangkun. Perwira ini kaget bukan main.
Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang
kiam‐hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya,
dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri
membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang‐orang kasar yang
pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran
untuk bertindak sewenang‐wenang, yang hanya berani dan sombong karena
mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang
Toa‐hong‐kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng
secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phangciangkun
sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun
terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi
sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum
roboh tiga orang itu sempat berteriak‐teriak memanggil bala bantuan, akan
tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya
melihat Pang‐ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak
bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para
penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela
yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan
gebreng dipukul bertalu‐talu karena tadinya mereka itu semua bersenangsenang
karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si
Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil
mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba
di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas
tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang
menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut mintaminta
ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa
bertindak sewenang‐wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di
Share This Thread