Page 9 of 16 FirstFirst ... 5678910111213 ... LastLast
Results 121 to 135 of 229

Thread: 2. suling emas

http://idgs.in/730827
  1. #121

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 121
    Nona paling muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya kepada kedua
    orang encinya, lalu bangkit berdiri menghampiri Kam Si Ek. Ia menuangkan
    arak dan menjura kepada jenderal muda itu sambil berkata, suaranya halus
    merdu penuh rayuan.
    Maaf, maafKam‐goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang seakan‐akan
    lupa bahwa saat ini bukanlah saat untuk bicara tentang urusan negara yang
    berat‐berat. Kasihan sekali suasana menjadi begini panas, sebaliknya
    masakan menjadi dingin. Kam‐goanswe, mari kita lanjutkan makan minum
    sambil membicarakan hal‐hal yang menyenangkan. Sudilah kau menerima
    secawan arak dariku sebagai cawan minta maaf!Ia melangkah maju,
    Tergopoh‐gopoh Kam Si Ek balas menjura dan ia pun tersenyum.
    Hihiap benar, maaf. Aku sampai lupa diri.Ia menerima cawan itu dan sekali
    tenggak habislah isinya. Si Baju Hijau tersenyum manis dan menuangkan
    arak lagi. Untuk kedua kalinya kuharap kau suka menerima secawan sebagai
    tanda persahabatanDengan sikap yang amat mesra ia menyerahkan cawan
    dan dalam kesempatan ini jari‐jarinya yang halus menyentuh tangan Kam Si
    Ek. Pemuda itu kelihatan bingung dan kikuk, alisnya yang berbentuk golok
    dan hitam itu bergerak‐gerak, agaknya ia ragu‐ragu bagaimana harus
    menghadapi wanita yang tiba‐tiba berubah sikap ini.
    Cukup cukup katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu lama
    tangannya terpegang jari‐jari halus mungil.
    Ah, Kam‐goanswe, masa tidak mau menerima penghormatanku?Si Baju Hijau
    berkata manja dan berdiri makin mendekat sehingga sebagian tubuhnya
    merapat, dadanya sengaja menyentuh lengan kiri Kam Si Ek. Hampir saja
    pemuda ini meloncat pergi, akan tetapi sebagai tuan rumah ia masih
    mempertahankan diri, hanya mengisar kaki menjauhi lalu berkata, Baiklah,
    kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!Ia minum lagi arak dari
    cawannya.
    Akan tetapi alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia melihat nona muda
    cantik berpakaian hijau ini tidak kembali ke bangkunya di seberang,

  2. Hot Ad
  3. #122

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 122
    melainkan menyeret sebuah bangku dan duduk di sampingnya ! Ini
    dilakukan sambil tersenyum‐senyum, matanya mengerling tajam penuh arti.
    Daripada berdebat yang bukan‐bukan, yang sebetulnya tidak ada artinya
    sama sekali, bukankah lebih baik kita berteman ? Kam‐goanswe, kami sudah
    lama mendengar nama besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam
    Si Ek yang gagah perkasa dan menjadi idaman setiap orang wanita di
    propinsi Shan‐si ! Kami bertiga enci adik tidak mempunyai niat buruk
    terhadap jenderal, melainkan hendak membantu usahamu, hendak
    menyerahkan jiwa raga mengabdi kepadamu, Kam‐goanswe! Sambil berkata
    demikian, dengan lagak genit si baju hijau ini menggeser bangkunya sampai
    mepet dengan bangku Kam Si Ek.
    Si Baju Merah dan kuning segera tertawa‐tawa dan mengitari meja, menarik
    bangku dan mengisi cawan arak. Betul sekali kata adikku yang bungsu. Kamgoanswe,
    kami menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani! kata yang
    tertua sambil menyerahkan secawan arak dan tangan kirinya memegang
    pundak pemuda tampan itu.
    Percayalah, kami bertiga sanggup mengangkatmu menjadi yang dipertuan di
    daerah ini.Kata si baju kuning yang memeluk leher Kam Si Ek dari belakang !
    Dirayu dan dikeroyok tiga orang gadis‐gadis cantik yang berbau harum ini,
    sejenak Kam Si Ek tertegun saking kaget dan herannya. Kemudian ia serentak
    bangkit dari bangkunya, melangkah mundur tiga tindak, mukanya merah
    sekali dan ia berkata, suaranya keren.
    sam‐wi ini apa maksudnya bersikap seperti ini? Maksud kami sudah jelas,
    masa Goanswe tidak tahu ? Sudah lama kami kagum dan sekarang begitu
    berjumpa kami jatuh cinta, apakah kau tidak menghargai perasaan suci kami
    ini ?kata Si Baju Merah tanpa malu‐malu lagi.
    Kam‐goanswe, ribuan orang pemuda tergila‐gila kepada kami dan semua
    kami tolak, sekarang melihatmu, kami bertiga sekaligus jatuh hati. Bukankah
    ini jodoh yang baik sekali ?kata Si Baju Kuning.

  4. #123

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 123
    Dengan kepandaian kami bertiga digabung kepandaianmu, apa sukarnya
    merampas kedudukan raja di waktu orang pandai sedang memperebutkan
    kekuasaan ini ? Goanswe mempunyai tentara yang cukup banyak dan
    kuat.Kata Si Baju Hijau.
    Gila!Kam‐goanswe berseru marah. Pergilah kalian ! Pergi dan jangan ganggu
    aku lagi. Pergi !Kam Si Ek marah bukan main, akan tetapi kemarahan ini
    agaknya belum menyamai kemarahan Liu Lu Sian yang mengintai di atas
    genteng. Gadis ini marah sekali kepada tiga orang perempuan yang dianggap
    tak tahu malu itu. Juga disamping kemarahannya ia pun kagum kepada Kam
    Si Ek ! Sungguh jantan ! Sungguh gagah dan keras hati, tidak tunduk oleh
    gadis‐gadis cantik yang tergila‐gila kepadanya.
    Dinggg!!Tampak kilatan tiga batang pedang yang dicabut berbareng oleh tiga
    orang gadis jelita itu.
    Pilihan kami hanya dua. Kau menerima kerja sama dengan kami atau kau
    serahkan kepalamu untuk kami hadiahkan kepada Raja Muda Kerajaan
    Liang!
    Bagus!Kam Si Ek melangkah mundur dua tindak dan mencabut goloknya
    yang berkilauan saking tajamnya. Telunjuk tangan kirinya menuding dan ia
    berkata bengis, Kalian tiga orang wanita muda tak tahu malu. Kalian datang
    mengaku sebagai See‐liong‐sam‐ci‐moi (Tiga Enci Adik Naga Barat), berlagak
    pendekar wanita yang bermaksud membantu karena melihat kesengsaraan
    rakyat dalam jaman perang perebutan kekuasaan. Aku menerima kalian
    dengan baik dan hormat. Kiranya kalian mengandung maksud hati yang
    kotor dan hina. Kalau aku memberi tanda, alangkah mudahnya anak buahku
    yang ribuan orang banyaknya datang menangkap kalian untuk dijatuhi
    hukuman mati. Akan tetapi aku Kam Si Ek seorang laki‐laki sejati, tidak
    mengandalkan jumlah orang banyak. Majulah, dan sudah sepatutnya golokku
    mengakhiri riwayat kalian yang tersesat ke dalam jurang kenistaan!
    "Manusia sombong!" Si Baju Merah meloncat dan bagaikan kilat menyambar
    pedangnya menusuk, berikut tubuhnya yang melayang ke depan, benarbenar
    seperti seekor naga menyambar. Hebat serangan ini, akan tetapi Kam
    Si Ek yang sudah siap dengan goloknya, menangkis keras.

  5. #124

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 124
    "Tranggg!!" Wanita baju merah itu terpental ke samping, akan tetapi dengan
    gerakan indah ia membuat loncatan salto dua kali. Adapun kedua orang
    adiknya juga sudah menerjang maju dengan loncatan‐loncatan tinggi dan
    menyerang dengan pedang selagi tubuh mereka masih di udara. Kam Si Ek
    terkejut sekali. Tiga orang wanita ini benar‐benar patut dijuluki Naga Barat,
    karena gerakan mereka benar‐benar lincah dan cepat laksana naga
    menyambar. Ia cepat mengelak sambil memutar golok sehingga berhasil
    menangkis tusukan pedang dari kanan kiri. Akan tetapi tiga orang enci adik
    itu sudah mendesaknya dengan serangan pedang bertubi‐tubi. Kam Si Ek
    cepat memutar goloknya dan mainkan ilmu silat keturunan keluarga
    Kam.Pertahanannya kuat sekali, namun didesak oleh tiga batang pedang yang
    bekerja sama baik sekali, ia hanya mampu menangkis sambil berloncatan ke
    sana ke mari, sebentar saja terdesak hebat.
    Namun, sebagai seorang jantan Kam Si Ek berpegang kepada kata‐katanya. Ia
    tidak mau berteriak minta bantuan para penjaga yang berada di luar gedung
    itu dan tetap mempertahankan diri dengan goloknya. Sewaktu pedang Si Baju
    Merah menusuk tenggorokan dan ia menangkis dengan golok, pedang Si Baju
    Kuning sudah membabat penggangnya. Cepat ia bergerak dengan jurus
    Burung Walet Membalikkan Tubuh, membuat gerakan memutar untuk
    mengelak sambil memutar goloknya melindungi tubuh belakang. Ia berhasil
    mengelak dan sekaligus menangkis babatan pedang Si Baju Hijau tepat pada
    waktunya. Akan tetapi kembali pedang Si Baju Merah sudah menerjang
    datang, disusul dua buah pedang yang lain ! Karena ketiga orang gadis lihai
    itu kini menghujankan serangan di tiga bagian, yaitu bawah tengah dan atas,
    maka sibuk jugalah Kam Si Ek. Dengan ilmu golok emasnya yang diputar
    merupakan benteng melindungi tubuhnya, ia hanya dapat melindungi bagian
    atas dan tengah saja, sehingga menghadapi penyerangan pedang d! i ! bagian
    bawah, ia harus meloncat‐loncat yang membuat gerakan pemutaran
    goloknya terganggu. Setelah lewat tiga puluh jurus, pemuda ini mulai
    berputar‐putar dan terdesak ke sana ke mari, semua jalan keluar telah
    dihadang oleh tiga orang gadis yang tertawa‐tawa mengejek.
    "Jenderal sombong, daripada mati di ujung pedang, bukankah lebih baik kau
    memeluk tiga orang gadis jelita ? Ah, alangkah ****** engkau ! Mana bisa
    engkau melawan See‐liong‐sam‐ci‐moi ? Kami benar‐benar mencintaimu,
    Kam‐goanswe !"

  6. #125

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 125
    "Lebih baik aku mati !" teriak Kam Si Ek ganas dan melihat kesempatan selagi
    Si Baju Merah bicara, golok emasnya menyambar dengan pembalasan
    serangan dahsyat. Namun tiga batang pedang sudah menangkisnya dan
    kembali ia terkepung tiga gulungan sinar berkilau yang mematikan semua
    jalan ke luar itu.
    Liu Lu Sian yang menonton dari atas genteng, segera mengetahui bahwa
    biarpun Kam Si Ek memiliki tenaga yang cukup kuat, namun di bidang ilmu
    silat agaknya belum dapat diandalkan benar, jauh di bawah tingkat tiga orang
    gadis itu. Kemarahannya memuncak dan kekagumannya terhadap Kam Si Ek
    juga memuncak. Ia segera mengambil jarum‐jarum rahasianya dan tiga kali
    tangannya bergerak disertai pengerahan sin‐kang yang sepenuhnya. Senjata
    rahasia jarum ini adalah ajaran ayahnya, penggunaannya amat sukar karena
    jarum‐jarum itu kecil dan ringan sekali, harus disambitkan dengan sin‐kang
    tertentu baru dapat meluncurcepat melebihi anak panah. Dan sekali jarumjarum
    ini meluncur, sama sekali tidak mendatangkan suara, kalaupun ada,
    suara itu halus sekali sukar ditangkap telinga.
    Hebat sekali kesudahannya. Terdengar jerit melengking dan tiga orang gadis
    iti seperti disambar petir. Si Baju Merah melepaskan pedangnya dan
    berputar‐putar seperti mabok, disusul Si Baju Kuning yang melemparkan
    pedang dan mencekik lehernya sendir, kemudian Si Baju Hijau terjungkal dan
    melingkar‐lingkar di atas lantai. Tiga orang gadis itu berkelojotan di atas
    lantai dan beberapa menit kemudian tak bergerak lagi. Si Baju Merah
    kemasukan jarum tepat di ubun‐ubunnya, Si Baju Kuning terkena lehernya
    dan Si Baju Hijau terserang dadanya. Jarum‐jarum itu mengandung racun
    kelabang yang gigitannya menewaskan seketika, maka bukan main hebatnya.
    Kam Si Ek berdiri dengan golok melintang di depan dada, matanya terbelalak
    lebar. Pada saat itu berkelebat bayangan memasuki pintu dan muncullah
    seorang wanita berpakaian serba putih, wajahnya cantik dan terang, usianya
    sebaya dengan Kam Si Ek. Wanita ini memegang sebatang pedang dan tangan
    kirinya menjambak rambut dua orang laki‐laki berpakaian tentara lalu ia
    mendorong dua orang itu sehingga terguling di atas lantai, terus berlutut di
    situ dengan tubuhmenggigil.
    "Eh, Sute siapa mereka ini ... ah, bukankah ini See‐liong‐sam‐ci‐moi yang
    menjadi tamu kita ? Dan ... ah, mereka sudah tewas dan ... kau memegang
    golok ! Apa yang terjadi, Sute ?"

  7. #126

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 126
    Kam Si Ek menggunakan tangan kirinya menggosok mata lalu menyusut
    peluh di dahinya, menggeleng‐geleng kepala. "Bukan aku yang membunuh
    mereka, Suci. Tapi mereka patut tewas, mereka mempunyai niat busuk
    terhadap aku. Akan tetapi ....agaknya ada orang pandai membantu dan
    membunuh mereka.."
    Wanita itu membanting‐banting kakinya. "Celaka ! Mereka adalah tamu‐tamu
    kita, mana patut tewas di sini ? Kalau ada orang yang membunuh mereka
    secara bersembunyi, belum tentu berniat baik. Kita harus cari dia untuk
    mempertanggungjawabkan perbuatannya!" Wanita baju putih itu meloncat
    keluar lagi. "Nanti dulu, Suci. Dua orang ini ... ada apakah ?"
    "Hemm, sialan benar. Dia dan lima orang lain melakukan pemerasan kepada
    beberapa orang pengungsi, malah mengganggu wanita. Yang lima kulukai,
    yang dua ini pemimpinnya, kubawa ke sini untuk kau adili."
    "Jahanam !" Kam Si Ek menggerakkan kakinya menendang dan dua orang
    yang sial itu terlempar, kepala mereka membentur tembok,pecah dan tewas
    seketika. Beginilah watak Kam Si Ek yang benci akan penyelewenganpenyelewengan.
    Akan tetapi kakak seperguruannya, wanita baju putih itu
    sudah meloncat pergi ke luar untuk mencari pembunuh See‐liong‐sam‐cimoi.
    Kam Si Ek juda cepat lari ke luar setelah menyambar gendewa dan anak
    panahnya. Dalam ilmu silat boleh jadi dia kurang pandai, akan tetapi ilmu
    panahnya terkenal di seluruh Shansi, di samping ilmunya mengatur siasat
    perang dan ilmu menunggang kuda.
    Ketika Kam Si Ek tiba di luar gedung, ia melihat para penjaga sudah ributribut
    memandang ke atas. Ketika ia berdongak, ia melihat bahwa sucinya
    telah bertanding pedang dengan hebatnya melawan seorang gadis yang
    gerakannya lincah sekali. Bulan malam itu menerangi jagat, akan tetapi dari
    bawah ia tidak dapat melihat siapa adanya gadis yang bertanding melawan
    enci seperguruannya itu.
    "****** !" terdengar wanita itu memaki, suaranya nyaring dan merdu,
    melengking menembus kesunyian malam. "Beginikah kalian membalas
    pertolongan orang ?"

  8. #127

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 127
    "Kau harus menyerah, tak boleh sembarangan membunuh orang di tempat
    kami," jawab sucinya dengan suaranya yang tegas.
    Pada saat itu, entah mengapa , tiba‐tiba sucinya kehilangan keseimbangan
    tubuhnya, terhuyung di atas genteng dan sesosok bayangan yang bergerak
    seperti terbang telah menyambar tubuh wanita itu.
    Lu Sian kaget melihat lawannya wanita baju putih itu tiba‐tiba menghentikan
    penyarangannya dan terhuyung, kemudian ia lebih kaget lagi ketika
    tubuhnya tibq‐tibq menjadi lemas dan tahu‐tahu ia telah disambar orang dan
    dipanggul pergi ! Ketika melihat bahwa yang memanggulnya adalah Kwee
    Seng, ia meronta‐ronta, namun tidak berhasil melepaskan diri. Ingin ia
    menusukkan pedangnya pada punggung pemuda ini, namun totokan tadi
    membuat tubuhnya terlalu lemas.
    Kam Si Ek sudah sejak tadi merasa berhutang budi kepada wanita yang
    ternyata telah menolongnya kalau tidak segera tertolong, rasanya ia takkan
    mampu menangkan See‐liong‐sam‐ci‐moi. Tadinya ia sudah hendak meloncat
    naik mencegah sucinya menyerang wanita itu, sekarang melihat seorang lakilaki
    muda berpakaian pelajar memondong wanita itu, ia menyangka bahwa
    tentulah pemuda itu, seorang jahat. Cepat ia memberi aba‐aba untuk
    menyerang pemuda itu dengan anak panah, sedangkan ia sendiri pun lalu
    mementang gendawanya.
    Akan tetapi pemuda itu hanya menengok sambil tersenyum. Wajah yang
    tampan itu tersinar bukan dan hatinya Kam Si Ek tercengang. Pemuda itu
    tampan bukan main dan senyumnya manis sekali ! Tentu sebangsa jai‐hwacat
    (penjahat *****) yang hendak melarikan gadis dengan maksud kotor dan
    rendah !
    "Lihat panah !" bentaknya dan sekali gendawanya menjepret, lima batang
    anak panah menyambar ke arah tubuh belakang Kwee Seng !
    "Bagus !" Kwee Seng yang masih menengok itu tersenyum lebar dan memuji,
    karena kepandaian melepas panah itu benar‐benar hebat. Lima anak panah

  9. #128

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 128
    itu menuju ke lima bagian jalan darah di punggung dan kakinya, dan dengan
    kecepatan yang luar biasa !
    Cepat tangan kirinya mencabut kipasnya dan ia harus mengerahkan lweekangnya
    untuk mengebut dan meruntuhkan anak‐anak panah itu. Akan tetapi
    kini para perajurit panah sudah pula ikut melepaskan anak panah, sedangkan
    Kam Si Ek dengan kecepatan luar biasa sudah pula menghujankan anak
    panahnya. Terpaksa Kwee Seng kembali mengebut sambil mengerahkan sinkang‐
    nya, kemudian sekali berkelebat tubuhnya sudah meloncat jauh,
    kemudian berlari cepat setelah tubuhnya melayang turun dan sekali ia
    menggerakkan kakinya, ia telah meloncat ke atas tembok benteng. Hujan
    anak panah lagi dari kanak kiri, namun pelepasan anak panah oleh para
    perajurit itu tentu saja tidak begitu di hiraukan oleh Kwee Seng. Sekali
    kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah membuat semua anak panah
    menyeleweng arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia meloncat keluar
    tembok dan lenyap !
    "Suci ... ! Dimana kau ... ?" Kam Si Ek berseru, akan tetapi ia tidak melihat
    kakak seperguruannya itu. Namun ia mempunyai banyak pekerjaan, maka ia
    tidak mencarinya lagi, melainkan cepat mengatur anak buahnya untuk
    melakukan penjagaan yang lebih kuat dan memerintah orang‐orang untuk
    mengurus lima buah mayat yang menggeletak di lantai ruangan gedung.
    Malam itu juga ia mengadili lima orang lain yang dilukai encinya dan
    menggunakan kesempatan ini untuk mengancam para tentara dengan
    hukuman berat apabila ada yang berani melakukan penyelewengan.
    Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan duduk termenung. Ia maklum
    bahwa tidak semua anggota bala tentaranya setia kepadanya, karena
    sesungguhnya, ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka.
    Banyak diantara mereka yang diam‐diam ingin rupanya dia mengabdi
    kepada Raja Liang atau kepada Gubernur Li yang juga sudah mengangkat diri
    sendiri sebagai raja muda di Shan‐si.
    "Tidak," bantah suara hatinya, "sebelum muncul pemimpin yang betul‐betul
    akan membuat rakyat Shan‐si khususnya hidup aman tentran dan makmur,
    aku tidak akan mengabdi kepada siapapun juga !"
    Sementara itu, Lu Sian terus meronta‐ronta, kedua kakinya di gerakgerakkan
    danakhirnya Kwee Seng menurunkannya di dalam hutan tempat
    mereka tadi beristirahat sambil membebaskan totokannya. Dengan pedang di
    depan dada Lu Sian meloncat maju dan membentak.

  10. #129

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 129
    "Kwee Seng, kali ini kau terlalu ! Mengapa kau mengganggu urusanku ?
    Apakah kau hendak pamer kepandaianmu ?"
    "Eh, Sian‐moi ..., aku hanya hendak mencegah kau menimbulkan keributan di
    tempat orang, aku ... aku hanya bermaksud menolongmu ... "
    "Siapa butuh pertolongan mu? Siapa sudi ? Kwee Seng, agaknya di samping
    kelemahan hatimu, kau juga memiliki kesombongan memandang rendah
    orang lain. Apa yang kulakukan, kau peduli apakah ?"
    "Sian‐moi, mengapa kau berkata demikian ? Bagaimana aku dapat tidak
    mempedulikan apa yang kau lakukan ? Sian‐moi ... kau sudah tahu akan
    perasaan hatiku, tak perlu kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu ! Nah,
    sekarang terlepaslah sudah ganjalan hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku
    tak dapat membiarkanmu terancam bahaya atau melakukan hal‐hal yang
    tidak semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati, seorang gagah perkasa,
    tak boleh diganggu..."
    "Cukup ! Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum berhak untuk
    mengurusi persoalanku. Aku bukan apa‐apamu, tahu ? Kau boleh mencintaku
    sampai mampus, akan tetapi aku tidak mencintaimu ! Dengar baik‐baik,
    Kwee Seng, aku tidak cinta kepadamu ! Kau memang tampan, kau memang
    gagah perkasa, memiliki kesaktian tinggi melebihi aku, akan tetapi kau lemah
    ! Kau bukan laki‐laki sejati, hatimu lemah, mudah jatuh. Kaukira aku cinta
    kepadamu ? Ihh ! Aku suka ikut bersamamu karena mengharapkan
    kepandaianmu yang kaujanjikan kepadaku di depan ayah. Nah kau dengar
    sekarang ? Setelah kauketahui pendirianku, apakah kau kini hendak menarik
    janjimu lagi seperti layaknya seorang pengecut ?"
    Bukan main hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng, seakan‐akan ribuan
    batang jarum berbisa menusuk‐nusuk jantungnya. Wajahnya sebentar pucat
    sebentar merah, tubuhnya gemetar, bibirnya menggigil, matanya sayu dan
    dua butir air mata membasahi pipinya. Kemudian ia menggertak gigi
    mengeraskan perasaan, menguatkan hatinya, mengepal tangan dan berkata
    sambil menengadahkan muka ke langit.

  11. #130

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 130
    "Bagus sekali ! Memang kau patut menjadi puteri Pat‐jiu‐ Sin‐ong ! Aku yang
    bodoh. Ha‐ha‐ha, aku yang *****. Orang macamku mana berharga
    menjatuhkan hati padamu ? Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik janjiku !
    Kapan saja kau minta, akan kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan
    kau di panggung Beng‐kauw ketika itu. Memang aku cinta kepadamu, dan kau
    tidak mencintaiku sama sekali. Ha‐ha‐ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati
    yang rakus ini, oleh pikiran yang pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol
    merindukan bulan, ha‐ha‐ha!"
    Senang bukan main hati Liu Lu Sian. Memang beginilah watak gadis puteri
    Beng‐kauwcu ini. Mungkin karena semenjak kecil terlalu dimanja, atau
    memang memiliki watak aneh keturunan ayahnya yang terkenal sebagai
    tokoh aneh di dunia kang‐ouw, gadis ini suka sekali melihat laki‐laki,
    sebanyak‐banyaknya, jatuh hati kepadanya. Suka Ia menggoda, menonjolkan
    kejelitaannya agar mereka makin dalam terperosok, kemudian akan ia
    kecewakan mereka, akan ia permainkan mereka dan melihat mereka
    menderita, ia akan mentertawakannya !
    "Untung engkau masih belum terlalu rendah untuk menarik kembali janjimu.
    Kwee Seng, aku menuntut janjimu itu pada besok malam, tepat tengah
    malam, di sini juga. Aku akan menjumpaimu di sini dan ... "
    "Tidak, Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin ada orang lewat dan
    akan melihat kita. Kau lihat bukit di sana itu. Tampaknya sukar didatangi,
    terjal dan liar. Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya mau
    menurunkan ilmuku kepadamu di puncak bukit itu. Besok malam tengah
    malam tepat, aku menantimu di sana !"
    Lu Sian menengok ke arah timur. Matahari mulai muncul dan tampaklah
    bayangan sebuah bukit yang tak berapa jauh dari tempat itu. Bukit yang
    bentuknya aneh, puncaknya mencuat tinggi bentuknya seperti kepala naga
    atau kepala mahluk aneh.
    "Baik, besok malam aku akan berada di pumcak itu!" Setelah berkata
    demikian, Lu Sian meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu pergi
    meninggalkan Kwee Seng.

  12. #131

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 131
    Pemuda itu berdiri tegak seperti patung, mendengarkan derap kaki kuda
    yang yang makin lama makin jauh, lalu ia meramkan matanya, serasa perih
    hatinya, serasa jantungnya dirobek dan serasa semangatnya terbang
    melayang mengikuti suara derap kaki kuda yang membawa lari Lu Sian, gadis
    yang selama ini memenuhi hatinya. Tiba‐tiba ia tertawa dan menampar
    kepalanya sendiri. "Ha‐ha‐ha, ***** ! Gila perempuan!!" Kwee Seng lalu
    mengambil guci araknya dan minum dari guci araknya dan minum dari guci
    itu tanpa takaran lagi. Arak menggelok memasuki kerongkongannya.
    Tiba‐tiba ia berhenti minum dan menengok memandang ke arah gerombolan
    pohon kembang kecil yang belim kebagian sinar matahari pagi, masih gelap.
    Biarpun perasaannya terganggu batinnya terpukul hebat, namun telinga
    pemuda ini masih amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap
    bahaya. Ia mendengar ferakan orang disitu, maka tegurnya, "Siapakah
    mengintai disitu?"
    Sesosok bayangan putih berkelebat keluar dari belakang pohon‐pohon dan
    seorang gadis berdiri di hadapan Kwee Seng dengan muka merah dan sinar
    mata membayangkan rasa malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat
    sambil berkata.
    "Harap Taihiap sudi memaafkan. Sesungghnya bukan maksud saya untuk
    mengintai, akan tetapi keadaan tadi membuat saya tidak berani untuk keluar
    memperkenalkan diri."
    Kwee Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian
    serba putih ini. Gadis bermata jernih, bermuka terang dan bersikap gagah,
    yang belum pernah ia kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah
    agaknya Si Bayangan Putih yang bertempur melawan Lu Sian di atas genteng
    benteng tadi.
    "Hemm, kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi
    memperkenalkan diri, tentu Nona sudah mengetahui segalanya!" kata Kwee
    Seng dengan hati mengkal karena adegan Lu Sian yang amat memalukan,
    yang merendahkan dirinya.

  13. #132

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 132
    "Sekali lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua
    dan sekarang tahulah saya bahwa gadis lihai yang secara aneh mendatangi
    benteng adik seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri
    Beng‐kauwcu yang amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah
    kami duga, dan andaikata dia datang memperkenalkan diri secara wajar,
    sudah pasti kami akan menyambutnya dengan segala kehormatan. Akan
    tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa bersalah terhadap Kweetaihiap
    yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh karena itu, saya
    peresilakan Kwee‐taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat
    persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal."
    Diam‐diam Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita, seorang gadis
    muda, namun nona ini benar‐benar jauh bedanya dengan wanita‐wanita yang
    ia temui. Nona ini membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan‐santun
    dan hati‐hati, seperti sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu
    teringat bahwa ia belum menanyakan nama, dan sebagai seorang yang begitu
    luas pandangannya seperti nona ini, tentu saja tak mungkin akan
    memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
    "Terima kasih, Nona baik sekali. Setelah nona mengetahui namaku, agaknya
    boleh juga aku mengenal nama nona yang terhormat?"
    "Saya yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu perjuangan Kam‐sute
    (Adik Seperguruan Kam). Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam‐sute,
    akan tetapi saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu
    silat keluarga Kam."
    Kembali jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah, kalau saja Liu Lu
    Sian mempunyai watak dan sikap seperti nona baju putih ini, pikirnya.
    "Sekali lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan
    tetapi, sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman Nona dan
    Kam‐goanswe. Tadi pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal‐hal
    yang mendatangkan kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan
    kesalahan turun tangan terhadap Nona, karena maksud saya hanya
    menghentikan pertandingan."

  14. #133

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 133
    Kui Lan menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali. Akan tetapi ia
    menjawab dengan sikap sederhana merendah, "Ilmu kepandaian Kweetaihiap
    telah membukla mata saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam‐sute juga,
    kami persilakan Kwee‐taihiap untuk singgah dan menerima penghormatan
    kami."
    "Tidak bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga." Setelah
    berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua tangan memberi hormat,
    lalu melompat ke atas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah
    kosong. Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak
    pedulian, sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya.
    Setelah pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung di tempat itu.
    Berkali‐kali ia menarik napas panjang, kemudian pandang matanya bertemu
    dengan guci arak. Ia melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak
    itu. Tanpa ia sadar, ia menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia
    meramkan matanya seakan‐akan guci arak yang tadi ia lihat diminum oleh
    Kwee Seng itu mewakili diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya
    menggetar‐getar itu. Kalau Lu Sian memandang rendah dan menghina Kwee
    Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini sekaligus jatuh cinta saking kagumnya
    melihat Kwee Seng dalam segebrakan merobohkan dia !
    Memang aneh‐aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut asmara yang
    mengamuk di hati orang‐orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah dan
    polos ini sekali jumpa jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang
    dicintanya tidak tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian.
    Sebaliknya Lu Sian tidak mau membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar
    ini kagum kepada Kam Si Ek !
    Ketika Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi
    makin merah dan beberapa butir air mata terlontar keluar dari pelupuk
    matanya. Teringat akan keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali
    pendekar itu. Jatuh cinta kepada puteri Beng‐kauwcu. Ia sudah mendengar
    akan Liu Lu Sian puteri Beng‐kauwcu, gadis jelita dan perkasa yang sudah
    menjatuhkan hati entah berapa banyak pemuda. Ia mendengar pula tentang
    para muda yang menjadi korban di Beng‐kauw. Dan kini agaknya pendekar
    sakti Kwee Seng menjadi korban pula. Kemudian ia teingat akan sutenya,
    Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kan Si Ek. Sutenya itu pun
    menjadi rebutan para gadis, membuat banyak gadis tergila‐gila, akan tetapi
    sutenya tetap tidak mau menerima cinta seorang di antara mereka. Banyak

  15. #134

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 134
    pula yang menjadi korban asmara, di antaranya tiga orang enci adik Seeliong‐
    sam‐ci‐moi‐itu !
    Teringat pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok
    tengah malam di puncak bukit sebelah timur, ia merasa ngeri. Bukit itu
    terkenal dengan nama Liong‐kui‐san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan
    sebuah di antara gunung‐gunung besar, namun di daerah itu amat terkenal
    sebagai bukit yang sukar didatangi orang, serem dan dikabarkan banyak
    setannya. Kam Si Ek sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu, karena
    memang keadaannya amat berbahaya dan harus diakui bahwa ada sesuatu
    yang membuat puncak bukit itu kelihatan aneh. Banyak jurang‐jurang yang
    tak terukur dalamnya, dan di sana mengalir pula sungai yang deras airnya,
    sungai yang sumbernya dari dalam gunung dan yang kemudian menggabung
    dengan sungai Wu‐kiang. Sungai ini pun oleh penduduk diberi nama Lionghiat‐
    kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu sinar matahari
    membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah !
    Kemudian Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil
    mendekap guci arak. Semangatnya seolah‐olah melayang pergi mengikuti
    bayangan Kwee Seng Si Pendekar Muda yang sakti dan tampan !
    Kwee Seng yang merana hatinya oleh ppengakuan Liu Lu Sian yang tidak
    membalas cintakasihnya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng
    Jendral Kam Si Ek. Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu
    membelokkan kudanya ke arah timur dan hatinya lega ketika memasuki
    sebuah dusun tak jauh dari kaki gunung, sebuah dusun yang cukup ramai,
    bahkan di situ terdapat sebuah rumah penginapan sederhana yang membuka
    pula sebuah restoran. Untung baginya, rumah penginapan itu dalam keadaan
    kosong tidak ada tamu sehingga keadaan sunyi dan ia tidak benyak
    menunggu.
    Kwee Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian
    ia minum mabok‐mabokan sambil bernyanyi‐nyanyi untuk mengusir pergi
    kerinduan dan kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel
    memberinya nama Sastrawan Pemabok ! Dalam maboknya Kwee Seng
    menyanyikan sajak‐sajak romantis ciptaan penyair terkenal Li *** Po.

  16. #135

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 135
    Pada senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah
    penginapan, memandang sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak
    sinar merah kekuningan menerangi angkasa barat. Tangan kanannya
    memegang sebuah tempat arak terbuat daripada kulit labu kering. Ia
    bersandar kepada langkan, memandangi angkasa barat yang berwarna indah
    sekali sambil sekali‐kali meneguk arak dari tempat itu. Teringat ia akan sajak
    karangan Li *** Po, maka sambil mengangkat muka dan menggerak‐gerakan
    tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak itu,
    Kunikmati arak hingga tak sadar akan datangnya senja rontokan daun bunga
    memenuhi lipatan bajuku mabok kuhampiri anak sungai mencerminkan
    bulan ohhh, burung terbang pergi, sunyi dan rawan
    Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak
    sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak
    melayang‐layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya
    menangkap suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak
    menetes‐netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik ke sebelah kanan. Ia masih
    berdiri bersandarkan langkan.
    "Heh‐heh‐heh, matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..." Ia berkatakata
    seorang diri akan tetapi diam‐diam ia memperhatikan orang‐orang yang
    baru datang. Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan ?
    Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang
    gadis, ia tidak berani memandang langsung, melainkan mengerling dan
    memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal
    wanita itu. Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak
    seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek ! Pakaiannya masih sutra putih seperti
    pagi tadi, wajahnya masih terang dan manis seperti tadi, akan tetapi ada
    keanehan pada diri gadis ini. Kalau pagi tadi Lai Kui Lan amat peramah dan
    sinar matanya bening terang, kini gadis itu sama sekali tidak menengok ke
    arahnya, seakan‐akan tidak mengenalnya atau tidak melihatnya, padahal tak
    mungkin tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada orang lain. Dan
    sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak sewajarnya ! Apalagi
    lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda yang memandang
    penuh curiga kepadanya.

Page 9 of 16 FirstFirst ... 5678910111213 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •