PART 121
Nona paling muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya kepada kedua
orang encinya, lalu bangkit berdiri menghampiri Kam Si Ek. Ia menuangkan
arak dan menjura kepada jenderal muda itu sambil berkata, suaranya halus
merdu penuh rayuan.
Maaf, maafKam‐goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang seakan‐akan
lupa bahwa saat ini bukanlah saat untuk bicara tentang urusan negara yang
berat‐berat. Kasihan sekali suasana menjadi begini panas, sebaliknya
masakan menjadi dingin. Kam‐goanswe, mari kita lanjutkan makan minum
sambil membicarakan hal‐hal yang menyenangkan. Sudilah kau menerima
secawan arak dariku sebagai cawan minta maaf!Ia melangkah maju,
Tergopoh‐gopoh Kam Si Ek balas menjura dan ia pun tersenyum.
Hihiap benar, maaf. Aku sampai lupa diri.Ia menerima cawan itu dan sekali
tenggak habislah isinya. Si Baju Hijau tersenyum manis dan menuangkan
arak lagi. Untuk kedua kalinya kuharap kau suka menerima secawan sebagai
tanda persahabatanDengan sikap yang amat mesra ia menyerahkan cawan
dan dalam kesempatan ini jari‐jarinya yang halus menyentuh tangan Kam Si
Ek. Pemuda itu kelihatan bingung dan kikuk, alisnya yang berbentuk golok
dan hitam itu bergerak‐gerak, agaknya ia ragu‐ragu bagaimana harus
menghadapi wanita yang tiba‐tiba berubah sikap ini.
Cukup cukup katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu lama
tangannya terpegang jari‐jari halus mungil.
Ah, Kam‐goanswe, masa tidak mau menerima penghormatanku?Si Baju Hijau
berkata manja dan berdiri makin mendekat sehingga sebagian tubuhnya
merapat, dadanya sengaja menyentuh lengan kiri Kam Si Ek. Hampir saja
pemuda ini meloncat pergi, akan tetapi sebagai tuan rumah ia masih
mempertahankan diri, hanya mengisar kaki menjauhi lalu berkata, Baiklah,
kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!Ia minum lagi arak dari
cawannya.
Akan tetapi alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia melihat nona muda
cantik berpakaian hijau ini tidak kembali ke bangkunya di seberang,
PART 122
melainkan menyeret sebuah bangku dan duduk di sampingnya ! Ini
dilakukan sambil tersenyum‐senyum, matanya mengerling tajam penuh arti.
Daripada berdebat yang bukan‐bukan, yang sebetulnya tidak ada artinya
sama sekali, bukankah lebih baik kita berteman ? Kam‐goanswe, kami sudah
lama mendengar nama besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam
Si Ek yang gagah perkasa dan menjadi idaman setiap orang wanita di
propinsi Shan‐si ! Kami bertiga enci adik tidak mempunyai niat buruk
terhadap jenderal, melainkan hendak membantu usahamu, hendak
menyerahkan jiwa raga mengabdi kepadamu, Kam‐goanswe! Sambil berkata
demikian, dengan lagak genit si baju hijau ini menggeser bangkunya sampai
mepet dengan bangku Kam Si Ek.
Si Baju Merah dan kuning segera tertawa‐tawa dan mengitari meja, menarik
bangku dan mengisi cawan arak. Betul sekali kata adikku yang bungsu. Kamgoanswe,
kami menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani! kata yang
tertua sambil menyerahkan secawan arak dan tangan kirinya memegang
pundak pemuda tampan itu.
Percayalah, kami bertiga sanggup mengangkatmu menjadi yang dipertuan di
daerah ini.Kata si baju kuning yang memeluk leher Kam Si Ek dari belakang !
Dirayu dan dikeroyok tiga orang gadis‐gadis cantik yang berbau harum ini,
sejenak Kam Si Ek tertegun saking kaget dan herannya. Kemudian ia serentak
bangkit dari bangkunya, melangkah mundur tiga tindak, mukanya merah
sekali dan ia berkata, suaranya keren.
sam‐wi ini apa maksudnya bersikap seperti ini? Maksud kami sudah jelas,
masa Goanswe tidak tahu ? Sudah lama kami kagum dan sekarang begitu
berjumpa kami jatuh cinta, apakah kau tidak menghargai perasaan suci kami
ini ?kata Si Baju Merah tanpa malu‐malu lagi.
Kam‐goanswe, ribuan orang pemuda tergila‐gila kepada kami dan semua
kami tolak, sekarang melihatmu, kami bertiga sekaligus jatuh hati. Bukankah
ini jodoh yang baik sekali ?kata Si Baju Kuning.
PART 123
Dengan kepandaian kami bertiga digabung kepandaianmu, apa sukarnya
merampas kedudukan raja di waktu orang pandai sedang memperebutkan
kekuasaan ini ? Goanswe mempunyai tentara yang cukup banyak dan
kuat.Kata Si Baju Hijau.
Gila!Kam‐goanswe berseru marah. Pergilah kalian ! Pergi dan jangan ganggu
aku lagi. Pergi !Kam Si Ek marah bukan main, akan tetapi kemarahan ini
agaknya belum menyamai kemarahan Liu Lu Sian yang mengintai di atas
genteng. Gadis ini marah sekali kepada tiga orang perempuan yang dianggap
tak tahu malu itu. Juga disamping kemarahannya ia pun kagum kepada Kam
Si Ek ! Sungguh jantan ! Sungguh gagah dan keras hati, tidak tunduk oleh
gadis‐gadis cantik yang tergila‐gila kepadanya.
Dinggg!!Tampak kilatan tiga batang pedang yang dicabut berbareng oleh tiga
orang gadis jelita itu.
Pilihan kami hanya dua. Kau menerima kerja sama dengan kami atau kau
serahkan kepalamu untuk kami hadiahkan kepada Raja Muda Kerajaan
Liang!
Bagus!Kam Si Ek melangkah mundur dua tindak dan mencabut goloknya
yang berkilauan saking tajamnya. Telunjuk tangan kirinya menuding dan ia
berkata bengis, Kalian tiga orang wanita muda tak tahu malu. Kalian datang
mengaku sebagai See‐liong‐sam‐ci‐moi (Tiga Enci Adik Naga Barat), berlagak
pendekar wanita yang bermaksud membantu karena melihat kesengsaraan
rakyat dalam jaman perang perebutan kekuasaan. Aku menerima kalian
dengan baik dan hormat. Kiranya kalian mengandung maksud hati yang
kotor dan hina. Kalau aku memberi tanda, alangkah mudahnya anak buahku
yang ribuan orang banyaknya datang menangkap kalian untuk dijatuhi
hukuman mati. Akan tetapi aku Kam Si Ek seorang laki‐laki sejati, tidak
mengandalkan jumlah orang banyak. Majulah, dan sudah sepatutnya golokku
mengakhiri riwayat kalian yang tersesat ke dalam jurang kenistaan!
"Manusia sombong!" Si Baju Merah meloncat dan bagaikan kilat menyambar
pedangnya menusuk, berikut tubuhnya yang melayang ke depan, benarbenar
seperti seekor naga menyambar. Hebat serangan ini, akan tetapi Kam
Si Ek yang sudah siap dengan goloknya, menangkis keras.
PART 124
"Tranggg!!" Wanita baju merah itu terpental ke samping, akan tetapi dengan
gerakan indah ia membuat loncatan salto dua kali. Adapun kedua orang
adiknya juga sudah menerjang maju dengan loncatan‐loncatan tinggi dan
menyerang dengan pedang selagi tubuh mereka masih di udara. Kam Si Ek
terkejut sekali. Tiga orang wanita ini benar‐benar patut dijuluki Naga Barat,
karena gerakan mereka benar‐benar lincah dan cepat laksana naga
menyambar. Ia cepat mengelak sambil memutar golok sehingga berhasil
menangkis tusukan pedang dari kanan kiri. Akan tetapi tiga orang enci adik
itu sudah mendesaknya dengan serangan pedang bertubi‐tubi. Kam Si Ek
cepat memutar goloknya dan mainkan ilmu silat keturunan keluarga
Kam.Pertahanannya kuat sekali, namun didesak oleh tiga batang pedang yang
bekerja sama baik sekali, ia hanya mampu menangkis sambil berloncatan ke
sana ke mari, sebentar saja terdesak hebat.
Namun, sebagai seorang jantan Kam Si Ek berpegang kepada kata‐katanya. Ia
tidak mau berteriak minta bantuan para penjaga yang berada di luar gedung
itu dan tetap mempertahankan diri dengan goloknya. Sewaktu pedang Si Baju
Merah menusuk tenggorokan dan ia menangkis dengan golok, pedang Si Baju
Kuning sudah membabat penggangnya. Cepat ia bergerak dengan jurus
Burung Walet Membalikkan Tubuh, membuat gerakan memutar untuk
mengelak sambil memutar goloknya melindungi tubuh belakang. Ia berhasil
mengelak dan sekaligus menangkis babatan pedang Si Baju Hijau tepat pada
waktunya. Akan tetapi kembali pedang Si Baju Merah sudah menerjang
datang, disusul dua buah pedang yang lain ! Karena ketiga orang gadis lihai
itu kini menghujankan serangan di tiga bagian, yaitu bawah tengah dan atas,
maka sibuk jugalah Kam Si Ek. Dengan ilmu golok emasnya yang diputar
merupakan benteng melindungi tubuhnya, ia hanya dapat melindungi bagian
atas dan tengah saja, sehingga menghadapi penyerangan pedang d! i ! bagian
bawah, ia harus meloncat‐loncat yang membuat gerakan pemutaran
goloknya terganggu. Setelah lewat tiga puluh jurus, pemuda ini mulai
berputar‐putar dan terdesak ke sana ke mari, semua jalan keluar telah
dihadang oleh tiga orang gadis yang tertawa‐tawa mengejek.
"Jenderal sombong, daripada mati di ujung pedang, bukankah lebih baik kau
memeluk tiga orang gadis jelita ? Ah, alangkah ****** engkau ! Mana bisa
engkau melawan See‐liong‐sam‐ci‐moi ? Kami benar‐benar mencintaimu,
Kam‐goanswe !"
PART 125
"Lebih baik aku mati !" teriak Kam Si Ek ganas dan melihat kesempatan selagi
Si Baju Merah bicara, golok emasnya menyambar dengan pembalasan
serangan dahsyat. Namun tiga batang pedang sudah menangkisnya dan
kembali ia terkepung tiga gulungan sinar berkilau yang mematikan semua
jalan ke luar itu.
Liu Lu Sian yang menonton dari atas genteng, segera mengetahui bahwa
biarpun Kam Si Ek memiliki tenaga yang cukup kuat, namun di bidang ilmu
silat agaknya belum dapat diandalkan benar, jauh di bawah tingkat tiga orang
gadis itu. Kemarahannya memuncak dan kekagumannya terhadap Kam Si Ek
juga memuncak. Ia segera mengambil jarum‐jarum rahasianya dan tiga kali
tangannya bergerak disertai pengerahan sin‐kang yang sepenuhnya. Senjata
rahasia jarum ini adalah ajaran ayahnya, penggunaannya amat sukar karena
jarum‐jarum itu kecil dan ringan sekali, harus disambitkan dengan sin‐kang
tertentu baru dapat meluncurcepat melebihi anak panah. Dan sekali jarumjarum
ini meluncur, sama sekali tidak mendatangkan suara, kalaupun ada,
suara itu halus sekali sukar ditangkap telinga.
Hebat sekali kesudahannya. Terdengar jerit melengking dan tiga orang gadis
iti seperti disambar petir. Si Baju Merah melepaskan pedangnya dan
berputar‐putar seperti mabok, disusul Si Baju Kuning yang melemparkan
pedang dan mencekik lehernya sendir, kemudian Si Baju Hijau terjungkal dan
melingkar‐lingkar di atas lantai. Tiga orang gadis itu berkelojotan di atas
lantai dan beberapa menit kemudian tak bergerak lagi. Si Baju Merah
kemasukan jarum tepat di ubun‐ubunnya, Si Baju Kuning terkena lehernya
dan Si Baju Hijau terserang dadanya. Jarum‐jarum itu mengandung racun
kelabang yang gigitannya menewaskan seketika, maka bukan main hebatnya.
Kam Si Ek berdiri dengan golok melintang di depan dada, matanya terbelalak
lebar. Pada saat itu berkelebat bayangan memasuki pintu dan muncullah
seorang wanita berpakaian serba putih, wajahnya cantik dan terang, usianya
sebaya dengan Kam Si Ek. Wanita ini memegang sebatang pedang dan tangan
kirinya menjambak rambut dua orang laki‐laki berpakaian tentara lalu ia
mendorong dua orang itu sehingga terguling di atas lantai, terus berlutut di
situ dengan tubuhmenggigil.
"Eh, Sute siapa mereka ini ... ah, bukankah ini See‐liong‐sam‐ci‐moi yang
menjadi tamu kita ? Dan ... ah, mereka sudah tewas dan ... kau memegang
golok ! Apa yang terjadi, Sute ?"
PART 126
Kam Si Ek menggunakan tangan kirinya menggosok mata lalu menyusut
peluh di dahinya, menggeleng‐geleng kepala. "Bukan aku yang membunuh
mereka, Suci. Tapi mereka patut tewas, mereka mempunyai niat busuk
terhadap aku. Akan tetapi ....agaknya ada orang pandai membantu dan
membunuh mereka.."
Wanita itu membanting‐banting kakinya. "Celaka ! Mereka adalah tamu‐tamu
kita, mana patut tewas di sini ? Kalau ada orang yang membunuh mereka
secara bersembunyi, belum tentu berniat baik. Kita harus cari dia untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya!" Wanita baju putih itu meloncat
keluar lagi. "Nanti dulu, Suci. Dua orang ini ... ada apakah ?"
"Hemm, sialan benar. Dia dan lima orang lain melakukan pemerasan kepada
beberapa orang pengungsi, malah mengganggu wanita. Yang lima kulukai,
yang dua ini pemimpinnya, kubawa ke sini untuk kau adili."
"Jahanam !" Kam Si Ek menggerakkan kakinya menendang dan dua orang
yang sial itu terlempar, kepala mereka membentur tembok,pecah dan tewas
seketika. Beginilah watak Kam Si Ek yang benci akan penyelewenganpenyelewengan.
Akan tetapi kakak seperguruannya, wanita baju putih itu
sudah meloncat pergi ke luar untuk mencari pembunuh See‐liong‐sam‐cimoi.
Kam Si Ek juda cepat lari ke luar setelah menyambar gendewa dan anak
panahnya. Dalam ilmu silat boleh jadi dia kurang pandai, akan tetapi ilmu
panahnya terkenal di seluruh Shansi, di samping ilmunya mengatur siasat
perang dan ilmu menunggang kuda.
Ketika Kam Si Ek tiba di luar gedung, ia melihat para penjaga sudah ributribut
memandang ke atas. Ketika ia berdongak, ia melihat bahwa sucinya
telah bertanding pedang dengan hebatnya melawan seorang gadis yang
gerakannya lincah sekali. Bulan malam itu menerangi jagat, akan tetapi dari
bawah ia tidak dapat melihat siapa adanya gadis yang bertanding melawan
enci seperguruannya itu.
"****** !" terdengar wanita itu memaki, suaranya nyaring dan merdu,
melengking menembus kesunyian malam. "Beginikah kalian membalas
pertolongan orang ?"
PART 127
"Kau harus menyerah, tak boleh sembarangan membunuh orang di tempat
kami," jawab sucinya dengan suaranya yang tegas.
Pada saat itu, entah mengapa , tiba‐tiba sucinya kehilangan keseimbangan
tubuhnya, terhuyung di atas genteng dan sesosok bayangan yang bergerak
seperti terbang telah menyambar tubuh wanita itu.
Lu Sian kaget melihat lawannya wanita baju putih itu tiba‐tiba menghentikan
penyarangannya dan terhuyung, kemudian ia lebih kaget lagi ketika
tubuhnya tibq‐tibq menjadi lemas dan tahu‐tahu ia telah disambar orang dan
dipanggul pergi ! Ketika melihat bahwa yang memanggulnya adalah Kwee
Seng, ia meronta‐ronta, namun tidak berhasil melepaskan diri. Ingin ia
menusukkan pedangnya pada punggung pemuda ini, namun totokan tadi
membuat tubuhnya terlalu lemas.
Kam Si Ek sudah sejak tadi merasa berhutang budi kepada wanita yang
ternyata telah menolongnya kalau tidak segera tertolong, rasanya ia takkan
mampu menangkan See‐liong‐sam‐ci‐moi. Tadinya ia sudah hendak meloncat
naik mencegah sucinya menyerang wanita itu, sekarang melihat seorang lakilaki
muda berpakaian pelajar memondong wanita itu, ia menyangka bahwa
tentulah pemuda itu, seorang jahat. Cepat ia memberi aba‐aba untuk
menyerang pemuda itu dengan anak panah, sedangkan ia sendiri pun lalu
mementang gendawanya.
Akan tetapi pemuda itu hanya menengok sambil tersenyum. Wajah yang
tampan itu tersinar bukan dan hatinya Kam Si Ek tercengang. Pemuda itu
tampan bukan main dan senyumnya manis sekali ! Tentu sebangsa jai‐hwacat
(penjahat *****) yang hendak melarikan gadis dengan maksud kotor dan
rendah !
"Lihat panah !" bentaknya dan sekali gendawanya menjepret, lima batang
anak panah menyambar ke arah tubuh belakang Kwee Seng !
"Bagus !" Kwee Seng yang masih menengok itu tersenyum lebar dan memuji,
karena kepandaian melepas panah itu benar‐benar hebat. Lima anak panah
PART 128
itu menuju ke lima bagian jalan darah di punggung dan kakinya, dan dengan
kecepatan yang luar biasa !
Cepat tangan kirinya mencabut kipasnya dan ia harus mengerahkan lweekangnya
untuk mengebut dan meruntuhkan anak‐anak panah itu. Akan tetapi
kini para perajurit panah sudah pula ikut melepaskan anak panah, sedangkan
Kam Si Ek dengan kecepatan luar biasa sudah pula menghujankan anak
panahnya. Terpaksa Kwee Seng kembali mengebut sambil mengerahkan sinkang‐
nya, kemudian sekali berkelebat tubuhnya sudah meloncat jauh,
kemudian berlari cepat setelah tubuhnya melayang turun dan sekali ia
menggerakkan kakinya, ia telah meloncat ke atas tembok benteng. Hujan
anak panah lagi dari kanak kiri, namun pelepasan anak panah oleh para
perajurit itu tentu saja tidak begitu di hiraukan oleh Kwee Seng. Sekali
kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah membuat semua anak panah
menyeleweng arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia meloncat keluar
tembok dan lenyap !
"Suci ... ! Dimana kau ... ?" Kam Si Ek berseru, akan tetapi ia tidak melihat
kakak seperguruannya itu. Namun ia mempunyai banyak pekerjaan, maka ia
tidak mencarinya lagi, melainkan cepat mengatur anak buahnya untuk
melakukan penjagaan yang lebih kuat dan memerintah orang‐orang untuk
mengurus lima buah mayat yang menggeletak di lantai ruangan gedung.
Malam itu juga ia mengadili lima orang lain yang dilukai encinya dan
menggunakan kesempatan ini untuk mengancam para tentara dengan
hukuman berat apabila ada yang berani melakukan penyelewengan.
Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan duduk termenung. Ia maklum
bahwa tidak semua anggota bala tentaranya setia kepadanya, karena
sesungguhnya, ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka.
Banyak diantara mereka yang diam‐diam ingin rupanya dia mengabdi
kepada Raja Liang atau kepada Gubernur Li yang juga sudah mengangkat diri
sendiri sebagai raja muda di Shan‐si.
"Tidak," bantah suara hatinya, "sebelum muncul pemimpin yang betul‐betul
akan membuat rakyat Shan‐si khususnya hidup aman tentran dan makmur,
aku tidak akan mengabdi kepada siapapun juga !"
Sementara itu, Lu Sian terus meronta‐ronta, kedua kakinya di gerakgerakkan
danakhirnya Kwee Seng menurunkannya di dalam hutan tempat
mereka tadi beristirahat sambil membebaskan totokannya. Dengan pedang di
depan dada Lu Sian meloncat maju dan membentak.
PART 129
"Kwee Seng, kali ini kau terlalu ! Mengapa kau mengganggu urusanku ?
Apakah kau hendak pamer kepandaianmu ?"
"Eh, Sian‐moi ..., aku hanya hendak mencegah kau menimbulkan keributan di
tempat orang, aku ... aku hanya bermaksud menolongmu ... "
"Siapa butuh pertolongan mu? Siapa sudi ? Kwee Seng, agaknya di samping
kelemahan hatimu, kau juga memiliki kesombongan memandang rendah
orang lain. Apa yang kulakukan, kau peduli apakah ?"
"Sian‐moi, mengapa kau berkata demikian ? Bagaimana aku dapat tidak
mempedulikan apa yang kau lakukan ? Sian‐moi ... kau sudah tahu akan
perasaan hatiku, tak perlu kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu ! Nah,
sekarang terlepaslah sudah ganjalan hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku
tak dapat membiarkanmu terancam bahaya atau melakukan hal‐hal yang
tidak semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati, seorang gagah perkasa,
tak boleh diganggu..."
"Cukup ! Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum berhak untuk
mengurusi persoalanku. Aku bukan apa‐apamu, tahu ? Kau boleh mencintaku
sampai mampus, akan tetapi aku tidak mencintaimu ! Dengar baik‐baik,
Kwee Seng, aku tidak cinta kepadamu ! Kau memang tampan, kau memang
gagah perkasa, memiliki kesaktian tinggi melebihi aku, akan tetapi kau lemah
! Kau bukan laki‐laki sejati, hatimu lemah, mudah jatuh. Kaukira aku cinta
kepadamu ? Ihh ! Aku suka ikut bersamamu karena mengharapkan
kepandaianmu yang kaujanjikan kepadaku di depan ayah. Nah kau dengar
sekarang ? Setelah kauketahui pendirianku, apakah kau kini hendak menarik
janjimu lagi seperti layaknya seorang pengecut ?"
Bukan main hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng, seakan‐akan ribuan
batang jarum berbisa menusuk‐nusuk jantungnya. Wajahnya sebentar pucat
sebentar merah, tubuhnya gemetar, bibirnya menggigil, matanya sayu dan
dua butir air mata membasahi pipinya. Kemudian ia menggertak gigi
mengeraskan perasaan, menguatkan hatinya, mengepal tangan dan berkata
sambil menengadahkan muka ke langit.
PART 130
"Bagus sekali ! Memang kau patut menjadi puteri Pat‐jiu‐ Sin‐ong ! Aku yang
bodoh. Ha‐ha‐ha, aku yang *****. Orang macamku mana berharga
menjatuhkan hati padamu ? Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik janjiku !
Kapan saja kau minta, akan kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan
kau di panggung Beng‐kauw ketika itu. Memang aku cinta kepadamu, dan kau
tidak mencintaiku sama sekali. Ha‐ha‐ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati
yang rakus ini, oleh pikiran yang pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol
merindukan bulan, ha‐ha‐ha!"
Senang bukan main hati Liu Lu Sian. Memang beginilah watak gadis puteri
Beng‐kauwcu ini. Mungkin karena semenjak kecil terlalu dimanja, atau
memang memiliki watak aneh keturunan ayahnya yang terkenal sebagai
tokoh aneh di dunia kang‐ouw, gadis ini suka sekali melihat laki‐laki,
sebanyak‐banyaknya, jatuh hati kepadanya. Suka Ia menggoda, menonjolkan
kejelitaannya agar mereka makin dalam terperosok, kemudian akan ia
kecewakan mereka, akan ia permainkan mereka dan melihat mereka
menderita, ia akan mentertawakannya !
"Untung engkau masih belum terlalu rendah untuk menarik kembali janjimu.
Kwee Seng, aku menuntut janjimu itu pada besok malam, tepat tengah
malam, di sini juga. Aku akan menjumpaimu di sini dan ... "
"Tidak, Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin ada orang lewat dan
akan melihat kita. Kau lihat bukit di sana itu. Tampaknya sukar didatangi,
terjal dan liar. Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya mau
menurunkan ilmuku kepadamu di puncak bukit itu. Besok malam tengah
malam tepat, aku menantimu di sana !"
Lu Sian menengok ke arah timur. Matahari mulai muncul dan tampaklah
bayangan sebuah bukit yang tak berapa jauh dari tempat itu. Bukit yang
bentuknya aneh, puncaknya mencuat tinggi bentuknya seperti kepala naga
atau kepala mahluk aneh.
"Baik, besok malam aku akan berada di pumcak itu!" Setelah berkata
demikian, Lu Sian meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu pergi
meninggalkan Kwee Seng.
PART 131
Pemuda itu berdiri tegak seperti patung, mendengarkan derap kaki kuda
yang yang makin lama makin jauh, lalu ia meramkan matanya, serasa perih
hatinya, serasa jantungnya dirobek dan serasa semangatnya terbang
melayang mengikuti suara derap kaki kuda yang membawa lari Lu Sian, gadis
yang selama ini memenuhi hatinya. Tiba‐tiba ia tertawa dan menampar
kepalanya sendiri. "Ha‐ha‐ha, ***** ! Gila perempuan!!" Kwee Seng lalu
mengambil guci araknya dan minum dari guci araknya dan minum dari guci
itu tanpa takaran lagi. Arak menggelok memasuki kerongkongannya.
Tiba‐tiba ia berhenti minum dan menengok memandang ke arah gerombolan
pohon kembang kecil yang belim kebagian sinar matahari pagi, masih gelap.
Biarpun perasaannya terganggu batinnya terpukul hebat, namun telinga
pemuda ini masih amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap
bahaya. Ia mendengar ferakan orang disitu, maka tegurnya, "Siapakah
mengintai disitu?"
Sesosok bayangan putih berkelebat keluar dari belakang pohon‐pohon dan
seorang gadis berdiri di hadapan Kwee Seng dengan muka merah dan sinar
mata membayangkan rasa malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat
sambil berkata.
"Harap Taihiap sudi memaafkan. Sesungghnya bukan maksud saya untuk
mengintai, akan tetapi keadaan tadi membuat saya tidak berani untuk keluar
memperkenalkan diri."
Kwee Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian
serba putih ini. Gadis bermata jernih, bermuka terang dan bersikap gagah,
yang belum pernah ia kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah
agaknya Si Bayangan Putih yang bertempur melawan Lu Sian di atas genteng
benteng tadi.
"Hemm, kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi
memperkenalkan diri, tentu Nona sudah mengetahui segalanya!" kata Kwee
Seng dengan hati mengkal karena adegan Lu Sian yang amat memalukan,
yang merendahkan dirinya.
PART 132
"Sekali lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua
dan sekarang tahulah saya bahwa gadis lihai yang secara aneh mendatangi
benteng adik seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri
Beng‐kauwcu yang amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah
kami duga, dan andaikata dia datang memperkenalkan diri secara wajar,
sudah pasti kami akan menyambutnya dengan segala kehormatan. Akan
tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa bersalah terhadap Kweetaihiap
yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh karena itu, saya
peresilakan Kwee‐taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat
persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal."
Diam‐diam Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita, seorang gadis
muda, namun nona ini benar‐benar jauh bedanya dengan wanita‐wanita yang
ia temui. Nona ini membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan‐santun
dan hati‐hati, seperti sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu
teringat bahwa ia belum menanyakan nama, dan sebagai seorang yang begitu
luas pandangannya seperti nona ini, tentu saja tak mungkin akan
memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
"Terima kasih, Nona baik sekali. Setelah nona mengetahui namaku, agaknya
boleh juga aku mengenal nama nona yang terhormat?"
"Saya yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu perjuangan Kam‐sute
(Adik Seperguruan Kam). Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam‐sute,
akan tetapi saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu
silat keluarga Kam."
Kembali jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah, kalau saja Liu Lu
Sian mempunyai watak dan sikap seperti nona baju putih ini, pikirnya.
"Sekali lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan
tetapi, sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman Nona dan
Kam‐goanswe. Tadi pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal‐hal
yang mendatangkan kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan
kesalahan turun tangan terhadap Nona, karena maksud saya hanya
menghentikan pertandingan."
PART 133
Kui Lan menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali. Akan tetapi ia
menjawab dengan sikap sederhana merendah, "Ilmu kepandaian Kweetaihiap
telah membukla mata saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam‐sute juga,
kami persilakan Kwee‐taihiap untuk singgah dan menerima penghormatan
kami."
"Tidak bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga." Setelah
berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua tangan memberi hormat,
lalu melompat ke atas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah
kosong. Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak
pedulian, sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya.
Setelah pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung di tempat itu.
Berkali‐kali ia menarik napas panjang, kemudian pandang matanya bertemu
dengan guci arak. Ia melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak
itu. Tanpa ia sadar, ia menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia
meramkan matanya seakan‐akan guci arak yang tadi ia lihat diminum oleh
Kwee Seng itu mewakili diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya
menggetar‐getar itu. Kalau Lu Sian memandang rendah dan menghina Kwee
Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini sekaligus jatuh cinta saking kagumnya
melihat Kwee Seng dalam segebrakan merobohkan dia !
Memang aneh‐aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut asmara yang
mengamuk di hati orang‐orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah dan
polos ini sekali jumpa jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang
dicintanya tidak tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian.
Sebaliknya Lu Sian tidak mau membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar
ini kagum kepada Kam Si Ek !
Ketika Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi
makin merah dan beberapa butir air mata terlontar keluar dari pelupuk
matanya. Teringat akan keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali
pendekar itu. Jatuh cinta kepada puteri Beng‐kauwcu. Ia sudah mendengar
akan Liu Lu Sian puteri Beng‐kauwcu, gadis jelita dan perkasa yang sudah
menjatuhkan hati entah berapa banyak pemuda. Ia mendengar pula tentang
para muda yang menjadi korban di Beng‐kauw. Dan kini agaknya pendekar
sakti Kwee Seng menjadi korban pula. Kemudian ia teingat akan sutenya,
Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kan Si Ek. Sutenya itu pun
menjadi rebutan para gadis, membuat banyak gadis tergila‐gila, akan tetapi
sutenya tetap tidak mau menerima cinta seorang di antara mereka. Banyak
PART 134
pula yang menjadi korban asmara, di antaranya tiga orang enci adik Seeliong‐
sam‐ci‐moi‐itu !
Teringat pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok
tengah malam di puncak bukit sebelah timur, ia merasa ngeri. Bukit itu
terkenal dengan nama Liong‐kui‐san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan
sebuah di antara gunung‐gunung besar, namun di daerah itu amat terkenal
sebagai bukit yang sukar didatangi orang, serem dan dikabarkan banyak
setannya. Kam Si Ek sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu, karena
memang keadaannya amat berbahaya dan harus diakui bahwa ada sesuatu
yang membuat puncak bukit itu kelihatan aneh. Banyak jurang‐jurang yang
tak terukur dalamnya, dan di sana mengalir pula sungai yang deras airnya,
sungai yang sumbernya dari dalam gunung dan yang kemudian menggabung
dengan sungai Wu‐kiang. Sungai ini pun oleh penduduk diberi nama Lionghiat‐
kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu sinar matahari
membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah !
Kemudian Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil
mendekap guci arak. Semangatnya seolah‐olah melayang pergi mengikuti
bayangan Kwee Seng Si Pendekar Muda yang sakti dan tampan !
Kwee Seng yang merana hatinya oleh ppengakuan Liu Lu Sian yang tidak
membalas cintakasihnya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng
Jendral Kam Si Ek. Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu
membelokkan kudanya ke arah timur dan hatinya lega ketika memasuki
sebuah dusun tak jauh dari kaki gunung, sebuah dusun yang cukup ramai,
bahkan di situ terdapat sebuah rumah penginapan sederhana yang membuka
pula sebuah restoran. Untung baginya, rumah penginapan itu dalam keadaan
kosong tidak ada tamu sehingga keadaan sunyi dan ia tidak benyak
menunggu.
Kwee Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian
ia minum mabok‐mabokan sambil bernyanyi‐nyanyi untuk mengusir pergi
kerinduan dan kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel
memberinya nama Sastrawan Pemabok ! Dalam maboknya Kwee Seng
menyanyikan sajak‐sajak romantis ciptaan penyair terkenal Li *** Po.
PART 135
Pada senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah
penginapan, memandang sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak
sinar merah kekuningan menerangi angkasa barat. Tangan kanannya
memegang sebuah tempat arak terbuat daripada kulit labu kering. Ia
bersandar kepada langkan, memandangi angkasa barat yang berwarna indah
sekali sambil sekali‐kali meneguk arak dari tempat itu. Teringat ia akan sajak
karangan Li *** Po, maka sambil mengangkat muka dan menggerak‐gerakan
tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak itu,
Kunikmati arak hingga tak sadar akan datangnya senja rontokan daun bunga
memenuhi lipatan bajuku mabok kuhampiri anak sungai mencerminkan
bulan ohhh, burung terbang pergi, sunyi dan rawan
Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak
sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak
melayang‐layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya
menangkap suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak
menetes‐netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik ke sebelah kanan. Ia masih
berdiri bersandarkan langkan.
"Heh‐heh‐heh, matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..." Ia berkatakata
seorang diri akan tetapi diam‐diam ia memperhatikan orang‐orang yang
baru datang. Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan ?
Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang
gadis, ia tidak berani memandang langsung, melainkan mengerling dan
memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal
wanita itu. Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak
seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek ! Pakaiannya masih sutra putih seperti
pagi tadi, wajahnya masih terang dan manis seperti tadi, akan tetapi ada
keanehan pada diri gadis ini. Kalau pagi tadi Lai Kui Lan amat peramah dan
sinar matanya bening terang, kini gadis itu sama sekali tidak menengok ke
arahnya, seakan‐akan tidak mengenalnya atau tidak melihatnya, padahal tak
mungkin tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada orang lain. Dan
sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak sewajarnya ! Apalagi
lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda yang memandang
penuh curiga kepadanya.
Share This Thread