PART 221
"Bagus ! Nah, kauperhatikan baik‐baik ilmu ini untuk bekal!" Kakek itu lalu
menggerak‐gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi
petunjuk bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan.
Agaknya kedua orang bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran
ini dan sekarang mereka mendapatkan petunjuk tentang rahasia‐rahasianya,
maka dalam waktu setengah malam, mereka sudah berhasil menyelesaikan
pelajaran ilmu silat yang luar biasa itu. Liu Lu Sian demikian tertariknya
sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam suntuk. Ia
mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu
kepada dua orang bekas pemikulnya, merupakan ilmu pilihan yang termasuk
tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biarpun baginya sendiri ilmu itu masih tidak
usah mendatangkan kuatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas
pemikul ini tentu merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan
berbahaya. Ilmu silat tadi gerakan‐gerakannya seperti ilmu silat Sin‐coa‐kun,
agaknya ciptaan Si Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula. Teringat ini,
ia membayangkan betapa hebatnya kepandaian Si Kakek Lumpuh, dan kalau
dibanding dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang
tidak akan dapat menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada
Kwee Seng, tentu ia akan berani keluar mencoba‐coba. Hanya ayahnya, atau
Kwee Seng, yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini dalam
pertandingan yang luar biasa tegang dan ramainya.
Menjelang pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya
matahari yang sudah mengirim lebih dulu cahaya merahnya, dua orang bekas
pemikul itu berpamit, kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat
itu. Kong Lo Sengjin lalu merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan,
kemudian ia... berjalan dengan langkah‐langkah lebar, dengan kedua kaki
masih bersila, tergantung di antara dua batang bambu yang menggantikan
sepasang kakinya. Biarpun kedua kakinya terganti bambu yang terpegang
kedua tangannya, namun dibandingkan dengan orang yang tidak lumpuh,
jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan dengan ahli‐ahli
ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh ! Sebentar saja
bayangannya lenyap ke arah timur dari mana malam tadi muncul.
Liu Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng di situ.
Kalau ada, agaknya pemuda sakti itu tidak akan mau melepaskan kakek
lumpuh itu begitu saja. Berbeda sekali dengan dia. Andaikata dia selihai Kwee
Seng, ia akan mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali‐kali untuk
membalaskan kematian sekian banyaknya pengungsi yang menjadi korban,
melainkan untuk diukur kepandaiannya, karena ia memang mempunyai
watak tidak mau kalah oleh siapapun juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu
PART 222
Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia
kecewa. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang pemuda tampan dan
menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang teman
seperjalanan yang lumayan, daripada sekarang ini berjalan tanpa teman !
Akan tetapi setelah wajah Kam Si Ek terbayang lenyaplah segala kekecewaan
dan pemikiran tentang Kwee Seng, dan tiba‐tiba ia teringat akan keadaan
Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia
meninggalkan tempat itu untuk cepat‐cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan
Liang, yaitu kota raja Lok‐yang yang terletak di Propinsi Honan.
Karena ia sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan di sepanjang jalan tak
seorang pun pernah melihat jenderal muda ini, Lu Sian menduga bahwa
andaikata benar pemujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan
Liang, agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan
sungai. Maka ia pun segera mencari tukang perahu dan menyewa perahu itu
ke timur. Kota raja Lok‐yang letaknya masih di Lembah Sungai Kuning,
namun agak jauh dari sungai, di sebelah selatan.
Pada saat itu, Sungai Kunimg airnya penuh, bahkan di beberapa bagian
membanjir, meluap sampai jauh dari sungai, menyelimuti ratusan hektar
sawah ladang. Dusun‐dusun yang berada di lembah, yang terlalu dekat
sungai, sudah banyak yang dilanda banjir. Namun karena airnya mengalir
tenang, Si Tukang Perahu berani melayarkan perahunya menurut aliran air.
Keadaan di kanan kiri sungai amat menyedihkan dan perjalanan dengan
perahu kali ini bagi Lu Sian benar‐benar tidak menyenangkan sama sekali.
Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan yang
mengenaskan, sungguhpun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana
alam ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia
memikirkan nasib Kam Si Ek.
"Tahan perahumu, minggir ke sana...!" tiba‐tiba Lu Sian memerintah tukang
perahu ketika ia melihat sebuah perahu besar berlabuh di sebelah kanan. Ia
merasa curiga. Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu
nelayan miskin, patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang
pesiar. Saat seperti itu sama sekali bukan saat yang patut untuk berpesiar,
maka adanya perahu di tempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya.
Apalagi ketika ia melihat bahwa dusun di tempat itu juga sudah tenggelam
oleh air bah, hanya satu‐satunya rumah gedung yang berada di dusun, yang
kebetulan letaknya di tempat agak tinggi masih belum kemasukan air. Tak
seorang pun manusia tampak di dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua
PART 223
penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau demikian halnya, mengapa perahu
besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada orangnya ?
Setelah perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa
perahu besar itu benar‐benar kosong ia berkata, "Kautunggu di sini, aku
hendak menyelidiki kemana perginya orang‐orang dari perahu ini!" Tanpa
menanti jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas
wuwungan rumah ke rumah yang terendam air, kemudian dengan
kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dai rumah, kadang‐kadang
melalui pohon yang juga terendam air, menuju ke rumah gedung yang masih
belum terendam air. Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik ia sudah
mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita kang‐ouw yang
pandai ilmu silat, kalu tidak demikian tak mungkin gadis muda dan cantik
jelita ini berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini
membawa pedang ! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian seorang gadis yang
pandai main pedang seperti biasa dipertunjukan para penjual obat, siapa kira
gadis ini dapat berloncatan seperti itu. Jangan‐jangan dia bukan manusia,
pikir Si Tukang Perahu. Di waktu sungai banjir meluap‐luap seperti itu,
menurut cerita rakyat, siluman‐siluman pada bermunculan, juga para dewidewi
yang sengaja turun dari khayangan untuk menggempur para siluman
yang hendak merusak manusia dengan air banjir. Biarpun rakyat tak pernah
melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan hebat antara para dewadewi
melawan siluman‐siluman, dan betapapun juga dewa‐dewi yang
menang dan air yang digerakkan siluman mengamuk ke dusun‐dusun itu
kembali ke sungai pula seperti biasa ! Kini melihat gadis penyewa perahunya
pandai "terbang" melayang‐layang dari rumah ke rumah, Si Tukang Perahu
bergidik.
"Tidak tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam
mengerikan. Lebih baik aku pegi sebelum ia kembali!" Melihat Lu Sian
berloncatan makin jauh, diam‐diam tukang perahu segera mendayung
perahunya ke tengah lagi dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat
itu ! Ia tidak peduli bahwa uang sewa perahu belum dibayar, ia sudah merasa
lega dan puas dapat meninggalkan gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia
menerima pembayaran, malah dia harus membayar nyawa.
Liu Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya,
karena ia sedang berloncatan mendekati gedung dengan hati berdebar penuh
harapan akan dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat ke atas genteng gedung
itu dan dari atas genteng ia mengintai ke dalam. Ternyata di dalamnya
terdapat enam orang anak perahu. Mereka duduk menghangatkan tubuh du
PART 224
dekat tempat perapian sambil makan roti kering dan dendeng. Terdengar
mereka bersungut‐sungut. "Kita ditinggalkan di sini, untuk apa ? Kalau banjir
makin besar, ke mana kita harus bawa perahu ? Ah, lebih enak menjadi
pegawai di darat kalau begini. Banyak teman dan aman. Masa untuk
mengawal seorang tawanan saja harus menggunakan pasukan lima puluh
orang lebih ? Dan keadaan tawanan itu lebih enak daripada kita!"
"Sam‐lote, jangan kaubilang begitu." Cela temannya. "Tawanan itu memang
seorang penting, siapa tidak mengenal Jenderal Kam Si Ek ? Malah aku
mendengar dari anggota pasukan, bahwa komandan mereka menerima
perintah khusus dari kota raja untuk menghormati Kam‐goanswe sebagai
tamu agung. Kita hanya petugas‐petugas biasa, mau apa lagi?"
Mendengar percakapan mereka ini. Lu Sian girang sekali. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, ia meninggalkan tempat itu tanpa ada yang
mengetahui. Gedung itu letaknya di tempat tinggi maka tidak terlanda banjir,
di bagian belakang gedung merupakan kaki sebuah bukit kecil dan ke sinilah
Lu Sian mengambil jalan ke selatan, ke kota raja Lok‐yang. Tak lama
kemudian ia sampai di jalan besar dan segera mempercepat larinya. Sayang
kudanya ia tinggalkan ketika ia mempergunakan jalan sungai, akan tetapi
karena ilmu lari cepatnya juga sudah mencapai tingkat tinggi, Lu Sian segera
mempergunakan Ilmu Lari Cepat Liok‐te‐hui‐teng sehingga tubuhnya
berkelebat seperti terbang cepatnya, tidak kalah cepatnya, oleh larinya
seekor kuda biasa !
Perjalanan selanjutnya melalui pegunungan yang biarpun jalannya lebar,
namun banyak naik turun dan amat sunyi. Ini pegunungan Fu‐niu yang
puncaknya menjulang tinggi. Dari atas puncak ini tampaklah gunung‐gunung
yang memang banyak mengepung daerah itu. Di utara tampak puncakpuncak
Pegunungan Luliang‐san dan ***‐hang‐san, di sebelah barat tampak
Pegunungan Cin‐ling‐san, di selatan samar‐samar tampak dibalik mega
puncak Pegunungan Tapa‐san. Biasanya Lu Sian amat suka menikmati
tamasya alam di pegunungan, akan tetapi kali ini ia tidak mempunyai
perhatian terhadap semua keindahan itu karena hati dan pikirannya penuh
oleh bayangan Kam Si Ek yang hendak ditolongnya.
Ketika ia membelok di sebuah lereng, tiba‐tiba ia melihat banyak tubuh orang
menggeletak di pinggir jalan. Golok dan pedang malang melintang, darah
berceceran dan dua belas orang itu sudah menjadi mayat. Mereka ini
kelihatan sebagai orang‐orang kang‐ouw yang gagah, dan melihat betapa
Share This Thread