Luhut lagi-lagi bikin gaduh setelah mengumumkan penghapusan indikator kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Apa maksud dia sebenarnya?

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan penghapusan indikator kematian dalam asesmen leel PPKM. Hasilnya, beberapa daerah otomatis diturunkan statusnya jadi PPKM level 2 dan 3, kendati angka kematian sebenarnya bisa jadi masih tinggi.

Adapun alasan Luhut menghapus data kematian lantaran adanya input data yang tidak update, sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian. Pemerintah lantas menetapkan 26 kabupaten/kota turun status dari PPKM level 4 menjadi level 3, hanya dengan lima indikator lain asesemen, yakni angka keterisian tempat tidur, kasus konfirmasi, perawatan di rumah sakit, tracing, testing, dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat.

Merespons ini, Jodi Mahardi, sang juru bicara berujar, indikator kematian dalam asesmen level PPKM tak dihapus.

“Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian,” ujarnya lewat keterangan tertulis yang diterima redaksi Mata Mata Politik, Rabu (11/8).

Terkait kritik publik soal ini, Jodi menyebut pemerintah akan kembali memasukkan indikator kematian dalam penilaian level PPKM setelah data kematian diperbaiki.

“Sedang dilakukan clean up data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan dimasukkan indikator kematian ini jika data sudah rapi,” ujarnya.

PANEN KRITIK
Beragam kritik pun datang usai Luhut mengumumkan putusannya itu. Analis Data LaporCovid-19, Said Fariz Hibban misalnya mengatakan, ketidakakuratan data kematian yang ada seharusnya tidak menjadi alasan pembenaran bagi pemerintah untuk mengabaikan data tersebut.

“Dengan menyadari bahwa data kematian itu tidak akurat, pemerintah seharusnya berupaya segera memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat,” ujar Said kepada Tempo, Rabu (11/8).

Terlebih, imbuhnya, data kematian yang selama ini diumumkan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk menggambarkan betapa besarnya dampak pandemi COVID-19. LaporCovid-19 sendiri telah menemukan jumlah kematian yang diumumkan pemerintah pusat masih jauh lebih sedikit dibanding data yang dilaporkan pemerintah daerah.

Sebelas dua belas, Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menilai pemerintah terkesan ingin mengeluarkan data yang kualitasnya tak bagus dari indikator penilaian. Padahal menurut dia, semua data menyangkut COVID-19 patut dipertanyakan kualitasnya.

“Semua distorsi. Karena apa, kualitas datanya tidak bisa dipercaya. Jadi perbaiki input datanya,” kata Pandu.

Pandu mengatakan pemerintah harusnya tak menghapus indikator, apabila data yang ada tak sesuai. Sebab menurut dia, apabila penanganan pandemi belum menunjukkan hasil yang diharapkan, indikator harus konsisten diterapkan hingga berhasil.

Dicky Budiman juga sepakat dengan Pandu. Langkah pemerintah yang tidak memperhitungkan angka kematian sebagai indikator berbahaya sekali. Pasalnya, ujar Dicky, tingkat keparahan situasi wabah hanya bisa diukur dari angka kematian.

“Itu pemahaman mendasar di epidemiologi. Jadi kalau itu hilang, ya kita hilang. Sudah kita terbatas kapasitas testing dan tracing surveilans, hilang data mortality ini dapat membuat kita makin gelap dalam pengendalian pandemi ini. Ini berbahaya sekali,” ujarnya.


Sumber: https://www.matamatapolitik.com/hapu...-telisik-news/