"Karena korupsi itu extraordinary crime (kejahatan luar biasa), sehingga harus diperketat. Jangan disamakan dengan maling ayam."
Berbagai kantor media pemberitaan mulai mengubah diksi Koruptor menjadi Maling dalam artikelnya seperti Kompas dan 170 media di bawah Forum Pimred Pikiran Rakyat Media Network (PRMN), setelah Remotivi mengusulkan perubahan sebutan itu.
Mahfud MD rupanya telah membahas ini pada 2016 lalu melalui Twitternya, di mana menurut ia, keduanya berbeda esensi dalam definisinya.
“Beda. Korupsi itu mencuri uang negara secara melawan hukum. Kalau mencuri milik rakyat ya mencuri, merampok, menipu,” tulis Mahfud melalui @mohmahfudmd (12/3/2016).
Hal senada dikatakan oleh Plt Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi terkait penyamaan sebutan koruptor dengan maling.
"Karena korupsi itu extraordinary crime (kejahatan luar biasa),sehingga harus diperketat. Jangan disamakan dengan maling ayam," kata Johan kepada Antara (18/3/2015).
Sementara itu, menurut JPIC-OFM Indonesia, kedua definisi ini dianggap berbeda secara faktor tindakan, bukan makna hakiki tindakan, yakni para koruptor memanfaatkan peluang karena posisi, kekuasaan, dan sarana yang melekat kepadanya.
“Seorang maling umumnya tidak memiliki peluang seperti itu. Koruptor selalu terhubungkan dengan pejabat publik dan barang atau benda yang dikorupsi adalah milik umum (negara). Seorang maling bukanlah pemangku jabatan publik,” tulis JPIC-OFM Indonesia.
Sebagai informasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengategorikan korupsi sebagai kasus luar biasa (extraordinary crime). Hal ini berdasarkan pendataan tentang praktik korupsi di Indonesia, dengan hasil 50 persen kasus korupsi di Indonesia berbentuk penyuapan, dilansir Republika.
Lebih lanjut, Penasihat KPK Abdullah Hehamahua pada 2012 lalu mengatakan, ada tiga faktor mengapa korupsi di Indonesia menjadi kejahatan luar biasa.
Pertama, korupsi di Indonesia bersifat transnasional.
"Koruptor Indonesia banyak kirim uangnya ke negara lain," ujar Abdullah pada Republika.
Merujuk hasil pendataan KPK 2012 lalu, 40 persen saham di Singapura justru dimiliki oleh orang Indonesia. Ia juga menjelaskan hal ini yang menjadikan Singapura tidak menginginkan adanya ratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Share This Thread