Mencalonkan diri sebagai presiden di Indonesia tampaknya juga berarti harus menunjukkan komitmen terhadap Islam.
Pilpres 2014 dan 2019 menampilkan penggunaan simbol budaya dan ritual Islam yang menonjol. Baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto menunjukkan hubungan mereka dengan Islam melalui kesalehan publik. Keduanya juga mencari dukungan dari parpol Islam, tokoh agama, ponpes, dan ormas untuk meningkatkan elektabilitas mereka, tulis Pipip Ahmad Rifa'i Hasan dalam analisisnya di The Conversation pada 2014.
Jokowi terbang ke Mekah tiga hari sebelum pemilihan presiden 2014 untuk umrah, berupaya membantah kampanye kotor bahwa dia diam-diam adalah seorang Kristen keturunan Tionghoa.
Mengapa Islam berperan besar dalam pemilu? Apakah ini selalu terjadi di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia?
Warisan Orde Baru
Sebenarnya, pada 1950-an, Indonesia memiliki lanskap ideologis yang lebih beragam daripada saat ini, Pipip Ahmad Rifa'i Hasan menerangkan.
Pada pemilihan umum 1955, banyak partai politik berbasis Islam dengan bebas menggunakan Islam sebagai landasan ideologis mereka, dan berjuang untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Pada saat yang sama, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai sekuler lainnya biasanya menentang partai-partai Islam.
Kebangkitan Suharto setelah tersingkirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, mengubah lanskap ideologis. Rezim Orde Baru Suharto (1966-1998) juga menekan Islam politik.
Dia menggabungkan partai-partai Islam menjadi satu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan memaksa mereka untuk meninggalkan cita-cita mereka untuk meresmikan dan melegalkan Islam sebagai ideologi negara. PPP harus menerima Pancasila sebagai ideologi partainya.
Walau Islam sebagai ideologi politik mengalami kemunduran, ia berkembang secara kultural, lanjut Pipip Ahmad Rifa'i Hasan.
Generasi muda Muslim Indonesia pada akhir 1960-an dan awal 1970-an memainkan peran besar dalam menjadikan Islam sebagai kekuatan spiritual, budaya, dan intelektual bangsa. Hal ini terlihat pada tagline yang dipopulerkan oleh mendiang ulama Nurcholish Madjid: “Islam Ya, Partai Islam No”.
Sejak saat itu hingga jatuhnya Suharto, Islam Indonesia tidak lagi mengedepankan aspirasi formal dan legal. Ini malah menekankan prinsip-prinsip moral dan etika, seperti keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan kebaikan bersama. Ini adalah prinsip-prinsip universal yang ada, baik dalam Islam maupun dalam konstitusi Indonesia.
Islam milik semua orang
Pelarangan komunisme berperan dalam meningkatkan sentimen Islam dalam politik Indonesia, Pipip Ahmad Rifa'i Hasan melanjutkan.
Kecemasan masyarakat tentang ketimpangan sosial tidak bisa lagi disalurkan melalui bahasa perang kelas, karena kiri Indonesia tersingkir dalam pogrom 1965-1966. Orang-orang dijauhkan dari ideologi kiri karena stigma yang diciptakan oleh propaganda pemerintah.
Akibatnya, di bawah Orde Baru, orang Indonesia yang berpendidikan hanya bisa menggunakan Islam sebagai bahasa ideologis yang kuat, untuk memprotes ketimpangan sosial dan ekonomi.
Share This Thread