Pada musim gugur 2020, ketika Armenia dan Azerbaijan berperang brutal di wilayah Nagorno-Karabakh yang diperebutkan, drone buatan Turki dan tentara bayaran Suriah yang direkrut oleh Turki mendukung militer Azerbaijan di garis depan.

Walau kedatangan pejuang Suriah di Kaukasus mungkin merupakan perkembangan yang mengejutkan, itu adalah simbol dari model baru perang hibrida yang telah digunakan Turki untuk mempengaruhi konflik regional, dan memajukan kebijakan luar negeri Presiden Recep Tayyip Erdogan yang semakin tegas.

Melalui penggunaan drone produksi dalam negeri berbiaya rendah dan pasukan proksi tentara bayaran Suriah, Turki telah mengubah gelombang konflik di Suriah, Libya, dan Kaukasus, dan memajukan kepentingan strategis jangka panjangnya, catat The National Interest.

Meskipun pendekatan ini mungkin merupakan alat yang efektif sejauh menyangkut pemerintah Turki, pendekatan ini memiliki konsekuensi brutal bagi mereka yang terkena dampak langsung.

Dari mengeksploitasi warga miskin Suriah yang direkrutnya (dengan berbohong tentang gaji mereka dan betapa berbahayanya tugas mereka) hingga membantai warga sipil dengan serangan pesawat tak berawak, intervensi Turki baru-baru ini telah meninggalkan jejak penderitaan di belakang mereka.

Sayangnya, model ini akan digunakan lebih sering, seiring Turki berupaya memperluas pengaruh regionalnya dan industri pertahanan domestik Turki menjadi lebih mandiri.

Evolusi Industri Pertahanan Turki
Pengembangan model ini didorong oleh kemajuan pesat Turki dalam teknologi drone dan keinginan Erdogan untuk meningkatkan kemandirian industri pertahanan Turki.

Sejak mengambil alih kekuasaan pada 2003, Erdogan telah menjadikan perluasan industri pertahanan Turki sebagai titik fokus dari kebijakan domestik dan luar negerinya, mengambil kendali langsung atas badan pengadaan militer dan mengejar kemitraan erat antara pemerintah dan perusahaan pertahanan Turki.

Sebagai hasil dari upaya Erdogan, antara 2002 hingga 2019, ekspor pertahanan Turki meningkat dari US$248 juta menjadi US$2,74 miliar, dan jumlah perusahaan pertahanan Turki meningkat dari 56 menjadi 1.500, tulis The National Interest.

Dengan teknologi drone yang berkembang di awal tahun 2000-an, Turki dengan bersemangat membeli drone dari Israel untuk menargetkan militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Namun, Turki segera menjadi tidak puas dengan drone Israel, dan berkomitmen untuk mengembangkannya sendiri.

Menyadari kendala yang diciptakan oleh ketergantungannya pada senjata asing, terutama impornya dari negara-negara seperti Amerika Serikat yang tidak setuju dengan keputusan kebijakan luar negerinya baru-baru ini, Turki telah memprioritaskan pengurangan ketergantungannya pada teknologi pertahanan impor.


Sumber: https://www.matamatapolitik.com/mili...n-turki-perang