Keberadaan penyelenggara fintech peer to peer lending atau pinjaman online (pinjol) ilegal masih marak, CNN Indonesia melaporkan. Misalnya, menjelang libur lebaran hari raya Idulfitri 2021, Satgas Waspada Investasi (SWI) di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang beranggotakan 13 kementerian dan lembaga, memblokir 86 pinjol ilegal.

Faktanya sepanjang 2020, sudah ada 1.200 fintech bodong yang ditutup. Menurut SWI, kemunculan serangkaian fintech ilegal yang baru diblokir itu konon memanfaatkan momentum peningkatan kebutuhan masyarakat menjelang lebaran.

“Fintech lending dan penawaran investasi ilegal ini masih tetap muncul di masyarakat. Menjelang Lebaran dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat, kewaspadaan masyarakat harus ditingkatkan agar tidak menjadi korban,” tutur Ketua SWI Tongam Lumban Tobing, dikutip dari CNN Indonesia.

Bhima Yudhistira Adhinegara dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengakui ,salah satu kerugian menjamurnya pinjaman online adalah kemunculan pinjol ilegal. Meski SWI sudah berulang kali memblokir aplikasinya, pinjol-pinjol ilegal terus bermunculan dengan nama-nama baru.

“Dalam beberapa tahun terakhir ini seiring perkembangan aplikasi digital muncul fintech ilegal, ini kalau sudah diblokir dengan satu nama, dia akan muncul lagi dengan nama yang beda, tapi modelnya tetap sama,” papar Bhima kepada CNN Indonesia pada 18 Mei 2021.

Menurut Bhima, sebenarnya mudah mengidentifikasi pinjol ilegal, salah satu indikasinya adalah bunga kredit tinggi. Namun, di sisi lain pinjol ilegal menawarkan kemudahan pencairan dana, sehingga siapapun yang terdesak bisa saja mengabaikan perhitungan bunga kredit, asalkan cepat menerima uang yang dibutuhkan.

Bhima menyatakan bahwa belum ada regulasi spesifik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai bunga pinjol. Untuk saat ini, ketentuannya baru sebatas dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang menetapkan batas maksimal biaya atau bunga pinjaman sebesar 0,8 persen.

AFPI juga memberikan pembatasan maksimal bagi para penyelenggara untuk tidak menerapkan biaya pinjaman berupa beban bunga, denda, administrasi, dan lain-lain sampai hari ke-90. Lebih dari hari ke-90, biaya pinjaman adalah maksimal 100 persen dari pinjaman pokok.

Misalnya, untuk pinjaman pokok Rp 1 juta, ketika peminjam menunggak pembayaran lebih dari 90 hari, peminjam wajib mengembalikan maksimal Rp 2 juta. Fintech tidak dapat menagih lebih dari itu. Sayangnya, aturan itu baru sebatas anggota AFPI saja, sementara pinjol ilegal masih mematok tarif lebih tinggi.

“Tidak ada aturan spesifik tentang bunga yang wajar, maka pinjol bisa saja bunganya lebih tinggi dari pinjaman bank yang paling tinggi risikonya seperti BPR atau koperasi. Bisa jadi ada fintech yang memberikan bunga sampai 40 persen setahun,” tukas Bhima.

Bhima menambahkan, belum ada aturan mengenai perlindungan data pribadi, sehingga pinjol terutama yang ilegal bisa saja mengakses data debitur dalam ponsel secara ilegal.

Saat ini, OJK baru mengatur bahwa pinjol hanya boleh mengakses kamera, mikrofon, dan lokasi debitur. Namun, belum ada aturan spesifik mengenai perlindungan data pribadi. Wilayah abu-abu itu pun dimanfaatkan oleh pinjol ilegal untuk mengakses data debitur secara ilegal serta memanfaatkannya untuk penagihan dengan cara teror yang tidak pantas.


Sumber: https://www.matamatapolitik.com/opin...nesia-original