Kendati mendapat sambutan baik dari sebagian warga negara Indonesia, rencana pelaksanaan pengampunan pajak jilid 2 mendapat catatan kritis dari beberapa pihak.​

Pada Kamis (7/10), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang. Undang-undang ini mengandung 8 poin utama, antara lain: Bersifat Omnibus, NIK menjadi NPWP, Pajak Orang Kaya, Tarif PPN Naik, Tax Amnesty, Pajak Karbon, Pelanggaran Cukai, dan UU Pengampunan Pajak. Putusan itu disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021–2022.

Dikutip dari dari Bisnis.com, mewakili pemerintah dalam rapat paripurna, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menyatakan, pemerintah akan menjalankan salah satu poin program yang dikenal dengan istilah pengampunan pajak. Tujuannya adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan menambah pendapatan negara. Pemerintah sendiri mengklaim, kebijakan ini bakal disambut baik oleh sebagian warga negara karena berdampak baik untuk warga negara dan negara.

Kendati mendapat sambutan baik dari sebagian warga negara Indonesia, rencana pelaksanaan pengampunan pajak jilid 2 mendapat catatan kritis dari beberapa pihak. Pertama, rencana pelaksanaan kebijakan ini merupakan bukti bahwa pemerintah menunjukkan sikap inkonsistensi. Ketika pelaksanaan pertama mulai berjalan di era Presiden Joko Widodo dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia (MENKEU RI) memperingatkan warga negara Indonesia untuk menggunakan kebijakan tersebut sebaik-baiknya karena menjadi pertama dan terakhir di Indonesia. Jika tidak, maka warga negara kembali menggunakan tarif pajak normal beserta sanksi-sanksi terhadap pelanggaran tertentu yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

Kemudian, dikutip dari Cnbcindonesia.com, Jokowi pada 2016 menekankan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pemerintah akan mengejar pengemplang pajak (oknum-oknum yang tidak patuh pajak dengan kesengajaan, manipulasi penghasilan, dan menggunakan skema transfer pricing) tersebut tanpa pengampunan pajak lagi.

Kenyataan ini membuat Ahmad Tauhid, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berpendapat, pemerintah sedang menjilat ludah sendiri atau tidak konsisten dengan komitmen pelaksanaan Tax Amnesty, yang pada tahun 2016 dijanjikan hanya diterapkan sekali. Imbas inkonsistensi pemerintah terkait kebijakan ini mengakibatkan penurunan kepercayaan dari warga negara Indonesia, terutama warga yang masuk dalam kelompok atau kategori patuh pajak. Ketika tax amnesty diterapkan berulang-ulang, maka kelompok tidak patuh pajak diselamatkan terus oleh pemerintah.


Sumber: https://www.matamatapolitik.com/news...iginal-polling