Masa jabatan terakhir Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo ini menghadirkan pertanyaan tentang apakah ia akan menggunakan kerangka strategis yang sama dalam mendorong pembangunan negara, dan apakah konsep Poros Maritim Dunia (Global Maritime Fulcrum/GMF) akan tetap berlaku, menurut analisis Tiola di The Diplomat.

Di awal masa kepresidenannya pada 2014, Jokowi menyoroti visinya untuk mengubah Indonesia menjadi pusat maritim global, yang didorong oleh gagasan bahwa Nusantara yang luas telah terlalu lama mengabaikan manfaat laut.

Dimensi ekonomi
Kemajuan konsep Poros Maritim Dunia saat ini dapat dinilai dalam tiga bidang utama: dimensi ekonomi dan bagaimana konsep tersebut diterjemahkan ke dalam konektivitas maritim dan ekonomi berbasis maritim; dimensi pertahanan dan militer; serta implikasi kebijakan luar negeri.

Dari sisi ekonomi, sudah ada peningkatan signifikan dalam infrastruktur dan konektivitas maritim. Namun, terlepas dari pidato di awal kepresidenan Jokowi tentang bagaimana Indonesia terlalu lama melupakan laut, intensitas pembangunan maritim itu masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan infrastruktur berbasis lahan.

Proyek prioritas lainnya masih sangat menekankan pada infrastruktur darat, termasuk enam proyek jalan raya besar-besaran dan empat proyek kereta api. Namun, hal itu masih bisa dimaklumi, mengingat infrastruktur pertanahan negara ini belum berkembang dengan baik.

Sayangnya, dampak pembangunan tersebut masih terbatas karena dua alasan utama. Pertama, proyek pembangunan pelabuhan tidak diiringi upaya memadai untuk memperbaiki regulasi berbelit-belit dan birokrasi tidak efisien. Meskipun berbagai reformasi peraturan di sektor logistik telah diluncurkan, banyak aspeknya masih tunduk pada mekanisme berbeda di bawah pemerintah daerah.

Banyaknya otoritas yang terlibat dalam suatu persoalan dengan adanya tumpang tindih masih menghambat efisiensi pergerakan barang. Selain itu, integrasi layanan rantai pasokan belum terwujud, karena banyak pendaftaran perlu dilakukan di berbagai instansi pemerintah.

Kedua, beberapa proyek yang dirancang untuk menghasilkan manfaat ekonomi masih disubsidi pemerintah, karena kurangnya hubungan langsung antara proyek dan kegiatan ekonomi lokal. Banyak kapal menuju ke daerah-daerah terpencil di Indonesia sering membawa muatan penuh, tetapi perjalanan pulang membawa jauh lebih sedikit karena rendahnya produksi di pulau-pulau terpencil. Perjalanan pulang yang mahal telah mendorong pemerintah untuk menuangkan subsidi besar ke dalam program tersebut.

Pemerintah telah berupaya mengatasi sepinya perjalanan pulang pergi dengan mendirikan Rumah Kita, rumah logistik untuk menampung barang dan mendistribusikannya secara bertahap ke berbagai wilayah Indonesia. Dampak dari kebijakannya belum terlihat, tetapi selama kegiatan ekonomi di Indonesia bagian barat dan timur tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan, program Tol Laut kemungkinan akan mengandalkan subsidi untuk sementara waktu. Pemerintah mengklaim program tersebut berhasil menurunkan harga komoditas di luar Jawa, khususnya Papua, di mana harga bahan pokok selalu lebih tinggi daripada sebagian besar wilayah Indonesia karena tingginya biaya logistik.


Sumber: https://www.matamatapolitik.com/anal...dunia-original