Pemberangusan atas kritik terhadap pemerintah Indonesia, telah mengiringi pembatasan mobilitas dan penguncian wilayah selama pandemi COVID-19 di Indonesia.

Pada Juni 2021, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia membagikan unggahan Instagram yang mengkritisi Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo sebagai “king of lip service”. Para aktivis mahasiswa merasa frustrasi dengan kurangnya upaya Jokowi mewujudkan janji-janjinya, mulai dari memerangi korupsi hingga bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia.

“Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya,” tulis kritik tersebut, “tetapi realitanya sering kali tidak selaras. Katanya begini, faktanya begitu.”

Unggahan BEM UI tersebut terbilang berani, mengingat undang-undang keamanan siber yang kejam di Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melarang fitnah dan ujaran kebencian online. Para pejabat telah menyalahgunakan undang-undang itu untuk menindak suara-suara kritis.

Para aktivis mahasiswa itu tentu bukan yang pertama menuduh Jokowi melontarkan janji manis tanpa wujud nyata, tetapi kritik mereka dengan cepat viral. Jokowi menanggapi dalam video yang diunggah tiga hari kemudian. Jokowi tampak tersenyum tenang, seolah menepis kritik para mahasiswa.

“Ini adalah negara demokrasi, jadi tentu saja kritik diperbolehkan,” katanya, sebelum meminta agar masyarakat “tidak lupa bahwa kita memiliki budaya sopan santun, budaya kesopanan.” Usulan “budaya kesopanan” mengkhawatirkan beberapa kritikus Jokowi. Bagaimana jika kritik mereka dilayangkan secara tidak sopan?

Bahkan sebelum pandemi COVID-19, demokrasi Indonesia tampak semakin rapuh, menurut analisis Kate Walton di Foreign Policy.

Pemerintahan Jokowi semakin menargetkan para kritikus, mulai dari pembela hak asasi manusia hingga nelayan yang memprotes, tak lupa juga mengabaikan masyarakat. Pandemi telah memperburuk tren itu dengan mengancam hak kebebasan berekspresi rakyat Indonesia.

Meskipun Jokowi menegaskan pemerintahannya menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi, tanpa transparansi dan akuntabilitas yang ditingkatkan, politik Indonesia dapat terjerumus lebih dalam ke arah otoritarianisme.

Pandemi masuk ke Indonesia kurang dari setahun setelah Jokowi bergulat untuk terpilih kembali dalam periode kedua di Pilpres 2019. Lawannya Prabowo Subianto, menantu mantan diktator Soeharto, awalnya menolak untuk mengakui kekalahan hingga ibu kota DKI Jakarta dilanda protes kekerasan.

Ketika Jokowi menawari Prabowo peran menteri pertahanan beberapa bulan kemudian, pemerintahan Jokowi membingkainya sebagai isyarat persatuan nasional. Banyak kalangan masyarakat justru melihatnya sebagai ancaman bagi demokrasi: Prabowo memiliki masa lalu abu-abu dan dicurigai mendorong para pendukungnya di Pilpres 2019 untuk melakukan kerusuhan.


Sumber: https://www.matamatapolitik.com/anal...ndemi-covid-19