​Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tiba-tiba menjadi sorotan publik karena Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo menerbitkan aturan baru mengenai pembangunan proyek tersebut, CNN Indonesia melaporkan.

Aturan itu berbentuk Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta-Bandung. Melalui aturan itu, Jokowi mengubah beberapa kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan proyek yang kemungkinan besar menelan dana sampai Rp 114 triliun tersebut.

Dikutip dari CNN Indonesia, beberapa perubahannya mulai dari pimpinan konsorsium proyek dari semula PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Ada pula perubahan trase jalur pembangunan proyek dari Jakarta-Walini-Bandung menjadi Jakarta-Padalarang-Bandung. Selanjutnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ditunjuk menjadi pimpinan komite percepatan proyek.

Yang kontroversial, pemerintah kemudian merestui penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui penyertaan modal negara (PMN) dan penjaminan pemerintah dalam proyek tersebut, padahal sebelumnya Jokowi pernah berjanji proyek tersebut tidak akan menggunakan dana negara.

Serangkaian perubahan aturan tersebut pun menimbulkan polemik dan mengangkat kembali berbagai masalah sebelumnya yang mewarnai pelaksanaan proyek tersebut hingga kian terbuka ke publik, CNN Indonesia mencatat.

1. Masalah pendanaan
Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menilai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebagai proyek yang mubazir, bahkan dia memperkirakan pendanaan proyek tersebut tidak akan balik modal hingga kiamat.

“Sebentar lagi rakyat membayar kereta cepat. Barang kali nanti tiketnya Rp400.000 sekali jalan. Diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal,” tutur Faisal dalam dialog virtual pada Rabu (13/10), Bisnis.com melaporkan.

Menurut Faisal Basri, pengerjaan infrastruktur tersebut hanya membuang anggaran negara, apalagi saat ini kabarnya akan didanai dari APBN setelah tersandung masalah pembengkakan biaya hingga Rp 27,74 triliun.

Faisal menyebutkan bahwa sejak awal proyek kereta cepat itu sudah ditolak saat rapat koordinasi pada tingkat pemerintah berdasarkan kajian konsultan independen Boston Consulting Group. Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu Rini Soemarno berjuang agar proyek tersebut dapat berjalan. Alhasil, kesalahan langkah tersebut kini berimbas pada masyarakat yang harus ikut membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung melalui APBN.

“Boston Consulting Group ini dibayar Bappenas bekerja untuk 2 minggu senilai US$150.000, menolak dua proposal (termasuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung), tetapi Rini Soemarno yang berjuang. Menteri lainnya banyak menolak, tapi Rini ngotot,” tukas Faisal Basri.


Sumber: https://www.matamatapolitik.com/list...ndung-original