Definisi IQ (Intelligence Quotient) adalah seberapa cerdas seseorang,
sedangkan definisi EQ (Emotional Quotient) adalah seberapa baik seseorang
mempergunakan kecerdasan yang dimilikinya.
Peter Salovey, seorang psikolog Yale dan pencetus istilah EQ menyatakan bahwa
IQ menyebabkan seseorang mendapat suatu pekerjaan, sedangkan EQ menyebabkan
seseorang mendapatkan promosi dalam pekerjaan itu. Beliau juga menyarankan
pentingnya mendefinisikan, dalam dunia kita yang kompleks, apa artinya menjadi
cerdas.
Singkatnya, ketika seseorang akan memprediksi sukses yang akan datang,
kekuatan otak sebagaimana diukur oleh IQ dan achievement test, sesungguhnya
lebih kecil dibanding karakter, atau EQ-nya.
Salovey menunjukkan sebuah tes sederhana dimana anak-anak berusia 4 tahun
diundang masuk kedalam suatu ruangan dan diberi instruksi sbb:
Siapa yang mau 1 buah permen marshmallow sekarang ini bisa langsung
mendapatkannya; tapi jika ada yang mau menunggu boleh mendapat 2 buah setelah
saya kembali nanti. Kemudian, si peneliti itu meninggalkan ruangan tersebut.
Kelompok anak pertama seketika itu juga mengambil marshmallow saat peneliti
keluar ruangan, sementara kelompok yang kedua menunggu peneliti kembali.
Kemudian hasil pengelompokan anak dicatat dan para peneliti menunggu anak-anak
tersebut tumbuh berkembang sampai memasuki usia sekolah lanjutan.
Rupanya terjadi perbedaan yang berarti di antara kedua kelompok anak
tersebut. Kelompok anak yang memperoleh 2 buah marshmallow memiliki kemampuan
adaptasi yang lebih baik, lebih populer, berjiwa petualang, percaya diri dan
mandiri ketimbang kelompok yang pertama. Sedangkan kelompok anak yang pertama
lebih bersifat menyendiri, mudah frustasi, keras kepala, tidak tahan stres,
pemalu dan menghindari tantangan.
Ketika kedua kelompok mengambil tes bakat yang berhubungan dengan pelajaran
akademik sekolah, kelompok kedua yang mampu bertahan, mendapat nilai lebih
besar 210 poin ketimbang kelompok yang pertama (nilai tes bervariasi mulai dari
yang terendah 200 poin sampai dengan tertinggi 800 poin, dengan angka rata-rata
500 poin untuk seluruh murid).
Pernahkah Anda bertanya bagaimana seorang anak yang tercerdas di suatu kelas
koq bisa tidak mengalami suatu akhir yang sukses? Atau, mengapa ada orang yang
berhasil bertahan saat menghadapi trauma besar sementara yang lainnya tidak?
Mungkin ini diakibatkan oleh karena perbedaan EQ dari seseorang.
EQ bukan merupakan lawan dari IQ, dan jelas setiap orang sangat mengharapkan
untuk dianugrahi kemampuan keduanya yang cukup besar. Namun, ada sedikit
keraguan bahwa orang dengan tingkat EQ yang kurang mencukupi akan menemui
kesulitan dalam bertahan dalam kehidupannya.
Selama lima generasi, para peneliti terus berdiskusi apakah memungkinkan
meningkatkan IQ seseorang? Secara genetis jawabnya adalah Tidak. Tapi ketika
para peneliti kekuatan otak (brainpower) masih berdebat mengenai hal ini, para
peneliti ilmu sosial menyimpulkan kemungkinan peningkatan EQ seseorang, dan
secara khusus, keterampilan seseorang, seperti misalnya: empati, luwes,
kemampuan untuk membaca situasi sosial.
Para ahli sosial secara kontinyu menekankan situasi di mana pengalaman telah
mengubah EQ seseorang. Contohnya, peneliti bidang pendidikan mengindikasikan
bahwa ketika murid normal diperkenalkan dengan anak seusia tapi cacat, mereka
yang masuk kategori Kelompok Pertama dapat meningkatkan kemampuan empati dan
luwesnya secara dramatis.
Selanjutnya, jika diperkenalkan dengan murid yang memiliki perilaku 'bandel'
dalam sebuah kelas seusia, kategori Kelompok Kedua akan meningkatkan
kemampuannya untuk belajar membaca situasi sosial. Kemajuan lebih pesat malah
terjadi juga dalam kelompok anak yang memiliki perilaku 'bandel' tersebut.
Ahli sosial menyimpulkan bahwa penelitian EQ barangkali sangat cocok
dilakukan pada orang-orang yang dikategorikan sebagai pesimistis dan
optimistis. Orang yang optimis memiliki EQ yang tinggi dan melihat kendala
merupakan hal yang minor, sebaliknya berlaku juga bagi kelompok pesimistis
dengan EQ rendah. Dalam lingkaran penelitian sosial, EQ tinggi menunjukkan
kemampuan seseorang untuk bertahan, dan di sini mungkin terjadi persilangan di
antara EQ, IQ, genetika dan lingkungan.
Mengutip kata-kata Charles Darwin: The biggest, the smartest, and the
strongest are not the survivors. Rather, the survivors are the most adaptable.
Di antara kita yang bisa bertahan dan maju berkembang dalam dunia yang
kompleks ini bukan hanya mereka yang paling bisa beradaptasi, namun juga yang
paling optimistik dan ini sepertinya adalah mereka yang paling memiliki EQ
tinggi.
adaptasi dari llaporan R. Rubadeau.
Share This Thread