AKHIR pekan lalu tepatnya pada tanggal 11 November, saya dan suami pergi jalan-jalan sore ke pelataran Masjid Raya Bandung. Kami duduk-duduk di taman dan menikmati segelas jus yang kami pesan dari pedagang kaki lima. Beberapa saat setelah kami menikmati pemandangan air mancur yang berada di tengah taman, kami dihampiri seorang pengemis wanita yang menggendong balita. Umurnya kira-kira 30 tahun.
Pakaian pengemis itu compang-camping, wajahnya lusuh dan badannya kurus kering. Sedangkan balita yang ada di pangkuannya tidak memakai celana serta bertelanjang kaki. Balita itu terlihat kelelahan, matanya sayu seakan ia ingin cepat-cepat memejamkan mata.
Pengemis itu lalu menyodorkan bekas gelas air mineral kosong yang berisi uang recehan. Lalu ia mengoceh, “Kasihan Pak, kami belum makan 2 hari,” ucap pengemis itu. Kami pun merasa iba dan langsung mencari uang recehan di saku celana dan dompet. Tak berapa lama, terdengar ringtone handphone dengan nada lagu milik grup band yang sedang naik daun, Ungu.
Di tengah-tengah kesibukan kami mencari uang recehan, tiba-tiba pengemis itu berjalan mundur lalu membelakangi kami. Kami pun heran ketika akan memberikan selembar uang lima ribuan, tetapi ternyata pengemis tersebut malah pergi. Kami malah sempat berpikir apa uang yang kami beri tidak cukup?
Pengemis wanita itu lalu berdiri di pojok tembok. Karena saya penasaran, saya mengamati gerak-gerik pengemis tersebut. Dengan tergesa-gesa ia mencari sesuatu dalam tasnya yang terbuat dari karung goni. Lalu sebuah benda dengan lampu berkelap-kelip dan mengeluarkan suara khas milik Pasha, sang vokalis Ungu, yang ternyata handphone, digenggam oleh pengemis itu.
Tak percaya akan pemandangan yang saya lihat, saya pun mendekatkan pandangan saya padanya. Ternyata pengemis tersebut sedang menerima telefon dengan handphone seri terbaru yang ngetren di kalangan anak muda dan berkamera 3 megapixel.
Saya pun terkejut, karena handphone saya pun kalah dengan milik seorang pengemis. Lalu dengan santainya, pengemis itu berkata, “Nanti telefon lagi ya, aku lagi kerja nih,” ucapnya dengan suara pelan. Lalu ia pun menyudahi obrolannya dan pergi melenggang untuk meminta-minta lagi pada orang-orang yang ada di taman itu. Sungguh ironis, memanfaatkan rasa iba seseorang untuk mengais uang.
Saya benar-benar melihat bahwa mengemis kini telah menjadi profesi. Jika makin banyak orang yang seperti ini dengan dalih impitan ekonomi atau makin sempitnya lahan pekerjaan, mau jadi apa generasi penerus bangsa ini? Mungkin tak ada salahnya juga jika Bandung memberlakukan Perda K3 seperti di Jakarta yakni dilarang memberi uang kepada pengemis.
Kepada Wali Kota Bandung, Dada Rosada, tolong tertibkan pengemis-pengemis seperti ini. Setidaknya, persempitlah lahan mereka untuk mengemis dengan banyak melakukan razia dan memberlakukan perda seperti di Jakarta, agar mereka kapok dan tidak ada lagi anak jalanan.
Kepada Redaksi Pikiran Rakyat, terima kasih atas dimuatnya surat ini.
Nita R. Anggraini
Mahasiswa Fikom Unpad
Jurusan Jurnalistik
Jln. Sukawarna Baru F-2
Cicendo Bandung
Sumber:
http://eepinside.com/?p=630
Wkwkwkkw, kalo gini alih profesi jadi pengemis aja ya
Share This Thread