27 Oktober
Belakangan ini, lebih tepatnya sejak tiga hari yang lalu, Akito merasa bahwa dirinya diam-diam sedang diikuti. Pada awalnya, ia merasa kalau ‘stalker’ yang membuntutinya ini hanya salah satu dari sekian banyak orang yang ingin balas dendam padanya.
Terhitung sejak pertama kali ia beranjak ke sekolah menengah pertama, dirinya sudah aktif terlibat dalam perkelahian, baik disekolah maupun dijalanan. Atas dasar itu, ia tidak akan terkejut kalau terkadang ada satu atau dua orang membuntutinya, untuk kemudian menyergapnya ketika ia ‘terlihat’ lengah. Yah, sesekali ia memang sengaja membiarkan dirinya terlihat lengah dengan pura-pura memainkan ponselnya, agar orang yang membuntutinya segera muncul.
Namun, apa yang kali ini terjadi benar-benar tidak biasa. Orang ini tidak menyergapnya bahkan setelah Akito memberikannya banyak peluang.
Mungkin ia masih belum yakin, atau mungkin karena orang ini memang tidak berniat menyerangku? Akito mulai menduga-duga.
Dan, dugaan terakhirnya tepat sasaran.
Akito sadar kalau ia juga diawasi saat disekolah, bahkan didalam kelas. Karena hal itu, tidak butuh waktu lama untuk Akito mengetahui identitas sang ‘stalker’.
Detik itu juga, ia tidak bisa berpikir apa-apa lagi.
Akito akhirnya tahu siapa orang yang sejak kemarin membuntutinya, tapi kini ia bertanya,
Kenapa?
Akito membuang dugaan kalau sang ‘stalker’, mengikutinya karena ingin menghajarnya. Menyedihkan sekali ia tidak dapat memikirkan hal lain diluar kemungkinan itu. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk membiarkan sang ‘stalker’ membuntutinya sampai berhari-hari. Lama kelamaan, hal ini mulai membebani pikirannya. Tidak ada orang yang tahan diawasi karena alasan yang tidak jelas, jadi Akito memutuskan untuk mengakhiri semuanya hari ini.
Akito berhenti berjalan, kemudian berbalik. Sepintas tidak ada seorangpun di jalanan sepi itu, namun ia membuka mulutnya dan berkata, “Tolong hentikan sekarang juga, Hisakaki-san.”, Agak lambat meng-ejanya, namun ia yakin ia tidak salah melafalkan nama dari siswi yang baru saja pindah ke-sekolahnya, tepat tiga hari yang lalu itu.
Akito mendengar nama itu, saat Hisakaki Azusa memperkenalkan dirinya didepan kelas, di hari kepindahannya.
Menjawab panggilannya, sesosok gadis, perlahan muncul dari balik persimpangan yang kosong. Tinggi gadis itu mungkin hanya berkisar 160 cm. Sepasang mata yang menghiasi wajah manis seputih salju, dengan anggun menatap pria yang berhasil menyadari keberadaannya. Hisakaki tidak terkejut setelah namanya dipanggil begitu saja. Ia bahkan tersenyum lembut pada Akito, dan berkata,
“Hisashiburi.. Onii-chan.”
**
“Sugoi neee.. Onii-chan benar-benar hidup seorang diri di apartemen ini?”, Azusa berkomentar.
“Begitulah..”, Akito menjawab pelan.
Tidak pernah sekalipun terpikir dalam benaknya ia akan bertemu kembali dengan adiknya dengan cara seperti ini. Ia bahkan sudah lupa kalau ia masih memiliki adik kandung.
Sepuluh tahun yang lalu, kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya membawa Azusa untuk tinggal di luar negeri, sementara Akito hidup berdua dengan ibunya di apartemen kecil ini. Namun tujuh tahun setelah perceraian, ibunya meninggal karena leukimia. Akito yang saat itu masih berumur 14 tahun, menolak tawaran dari keluarga yang bersedia memungutnya, dan lebih memilih untuk hidup seorang diri.
“Doushita.. Onii-chan?”
“Aah?”
Akito terbangun dari ingatan masa lalunya. Saat ini, Azusa, adik yang sudah sepuluh tahun lamanya terpisah, duduk bersebrangan meja dengannya. Tidak hanya lupa dengan wajahnya, ia bahkan tidak mengenali namanya saat Azusa memperkenalkan diri di kelas. Akito mengganti nama marganya dengan marga ibunya setelah perceraian, dan melupakan marga ayahnya seiring waktu berlalu.
“Onii-chan kelihatannya tidak bersemangat..”, Azusa berkata pelan, ada nada khawatir tersirat didalam kalimatnya.
Akito menggelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa. Hanya teringat sedikit masa lalu..”
“Heee.. Aku yakin Onii-chan bahkan sudah lupa kalau Onii-chan masih memiliki adik, kan?”
Bull’s eye.
“Di hari kepindahanku, Onii-chan tidak bereaksi saat mendengar namaku.”
“Apa itu artinya, saat dikelas kamu langsung bisa mengenaliku?”, Akito berkata pelan, namun dengan sedikit nada menantang.
“Tentu saja, tidak sekalipun wajah Onii-chan luput dalam ingatanku. Meski harus kuakui, Onii-chan sudah saaaaangat berubah.”
Mengesampingkan fakta bawa manusia pasti berubah dalam sepuluh tahun karena pertumbuhan, Akito mengangguk setuju sambil tersenyum masam. Berbeda dengan anak laki-laki normal di sepuluh tahun yang lalu, dilihat bagaimanapun, penampilan Akito yang sekarang tidak ubahnya dengan berandalan.
Sebaliknya, Azusa sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Kulit putih dan rambut hitam halus yang pastinya membuat iri seluruh gadis disekolahnya, sekaligus melelehkan hati setiap pria yang dapat menyaksikan keindahan tubuh rampingnya yang terbalut seragam SMA.
“Meski bersudara, kita tidak mirip sama sekali. Bukan hanya itu, siapa yang sangka aku bisa sekelas dengan adikku sendiri.”, Akito kembali bicara.
“Aku tamat SMP hanya dalam dua tahun. Karena umur kita beda setahun, tentu saja kita seangkatan saat ini.”
Tidak hanya cantik, dia juga pintar.
“Kita memang tidak mirip satu sama lain, tapi Onii-chan sangat mirip dengan Otou-san.”
Akito agak tercengang dengan pernyataan tersebut. Sekarang ia juga berpikir kalau Azusa sangat mirip dengan ibunya.
“Itu juga yang menjadi alasan kenapa aku bisa langsung mengenali Onii-chan.”, Azusa tersenyum bangga.
Akito tidak tahu harus bereaksi apa setelah mendengar hal itu. Ia juga sudah melupakan kalau ia masih memiliki Ayah.
“Hey.. Azusa.”
“Hmm?”
“Apa kamu kembali kesini, untuk bertemu denganku?”
“Uun..”, Azusa menunduk, rona merah mulai mewarnai wajahnya.
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak segera menyapaku dihari pertama?”
“A.. aku takut, Onii-chan tidak mengenaliku. Jadi aku menunggu saat yang tepat untuk menemui Onii-chan, kemudian memberitahu semuanya.”
“Begitu.. maaf ya, Azusa. Salahku aku tidak langsung mengenalimu hari itu.”
“Uh-humm..”, Azusa menggelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa, yang penting kita bisa bertemu lagi sekarang.”
“Terimakasih.. tapi sebaiknya kamu tidak sering-sering berdekatan denganku.”
“Eeeeh? Kenapa??”, Tentu saja Azusa sangat terkejut mendengar pernyataan ini.
Keadaanku yang sekarang.. sudah jauh melebihi bayanganmu. Akito berkata dalam volume yang mungkin hanya bisa ia dengar sendiri.
“Aku punya banyak sekali musuh, akan berbahaya sekali kalau mereka mulai mengincarmu karena kamu perempuan.”, Akito berkata dengan suara yang bisa terdengar sekarang.
“Heee..”, Sambil mendesah protes, Azusa mengerutkan dahinya. “Aku tidak peduli, aku datang jauh-jauh dari Amerika untuk bertemu dengan Onii-chan! Apalagi, aku juga ingin merayakan natal bersama Onii-chan!”
Natal? sejak kematian ibunya, ia tidak pernah menganggap hari itu berbeda dengan hari-hari lainnya. Ditambah lagi, ia juga tidak ingin Azusa terlibat dalam ‘kegelapan’ yang saat ini menyelimuti hidupnya.
Akan lebih baik kalau kamu juga melupakanku.. Azusa. Gumaman Akito terhenti ketika tangan Azusa dengan lembut menangkap tangannya.
“Lagi pula, aku percaya kalau Onii-chan pasti akan melindungiku.”, Azusa berkata sambil menggenggam erat tangan Akito dengan kedua tangannya. “Seperti dulu, Onii-chan..”
Seketika itu, Akito merasa seperti melihat sesuatu dalam bayangannya.
Di bawah langit sore yang kemerahan, dua orang anak, masing-masing laki-laki dan perempuan, berjalan berdampingan sambil bergandengan tangan. Keduanya sama-sama berambut hitam. Rambut panjang milik si anak perempuan melambai dengan indah ditengah hembusan angin musim dingin.
Aku tidak akan pernah meninggalkan Azusa.
“D.. Doushita.. Onii-chan!!”, Azusa berkata panik.
“A.. Aahh? Ya?” Akito menjawab dengan canggung. Pemandangan itu hanya terlintas sekilas, namun perasaan nostalgik yang menyesakkan dada kini membanjiri dirinya.
“Onii-chan terlihat seperti sedang menderita barusan, apa Onii-chan sedang sakit?”
Akito memandang wajah adiknya dengan tatapan sayu. Matanya beralih pada tangan kanannya yang kini sedang berada dalam genggaman Azusa.
“Tidak apa-apa, hanya sedikit pusing.”, Akito dengan lembut menarik kembali tangannya. “Hey, Azusa.. apa kamu pindah kekota ini bersama dengan ayahmu?”
Azusa mengangguk perlahan. Ia masih terlihat khawatir.
“Kalau begitu, sebaiknya kamu pulang sekarang. Kamu tidak mau membuatnya khawatir, kan.”
Azusa menggeleng, “Aku akan bilang kalau aku bersama Onii-chan. Outo-san pasti mengerti..”
“Azusa!”, Akito memanggil namanya agak keras kali ini.
“Tolong.. aku ingin istirahat.”
Ekspresi Azusa berubah sedih. Ia kemudian menunduk sejenak, “Aku mengerti.. kita akan bertemu lagi besok Onii-chan.”, Ia
berkata sambil memaksakan senyum, kemudian berjalan pergi.
Akito berniat mengantarnya keluar, namun kedua kakinya seperti tidak mau menuruti perintahnya. Begitu ia mendengar suara pintu ditutup, sebagian bebannya tubuhnya seperti terangkat keudara. Akito berdiri perlahan, berjalan menuju kamarnya, kemudian membuka laci meja belajarnya.
Ia mengambil sebuah plastik berukuran mini. Plastik yang dilengkapi segel perekat, biasa digunakan untuk menyimpan obat jenis pil. Benda yang ada didalam plastik itu adalah pil, namun bukan digunakan untuk mengobati penyakit.
Ia memejamkan matanya sejenak. Pemandangan itu tidak muncul lagi, hanya ada kegelapan, namun rasa sesak masih melanda dadanya.
Apa itu.. ingatan?
Aku.. tidak butuh masa lalu.
Aku yang sekarang ini, tidak punya masa lalu.
Begitu juga masa depan..
Akito mengeluarkan sebutir pil dari plastik mini itu, kemudian menelannya begitu saja.
Share This Thread