Page 11 of 28 FirstFirst ... 78910111213141521 ... LastLast
Results 151 to 165 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #151

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 150
    Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh orangorang
    di dalam gedung. Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung.
    Benar saja, terdengar pekik susul‐menyusul dan begitu melewati pintu
    depan, dia sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan
    berserakan di sana‐sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan mata
    terbelalak dia melihat lima orang selirnya telah mati semua, dahi mereka
    juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka
    mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi sekali di dalam gedung itu,
    kesunyian yang penuh rahasia. Lu‐san Lo‐jin! Pat‐jiu Kai‐ong teringat dan dia
    cepat lari ke dalam tempat tahanan, hanya untuk melihat bahwa kakek itu
    pun telah tewas dan di dahinya terdapat pula tanda tapak tiga jari tangan dan
    semua lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam! Kini dia benarbenar
    bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu‐san Lojin seperti
    yang disangkanya semula! Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam
    ruangan besar di mana dia tadi makan minum dengan Lu‐san Lojin dan dua
    anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu
    memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya
    ada yang menambah lampu penerangan. Ketika dia melihat, benar saja
    bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua
    lampu penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas
    kursinya yang tadinya ditinggalkan kosong, kini tampak duduk seorang
    wanita! Di depan wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak
    laki‐laki berusia sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh
    selidik. Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan indah, anak itu pun tampan
    dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua
    orang di gedungnya? Tak mungkin agaknya. wanita itu usianya paling banyak
    tiga puluh lima tahun, cantik dan kelihatan halus gerak‐geriknya, hanya
    sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali. "Ibu, dia
    inikah orangnya?" Tiba‐tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring,
    memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam. "Benar, dialah Si
    Bedebah Pat‐jiu Kai‐ong." Wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi
    dingin menyeramkan. "Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas
    membunuhnya?" Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin
    cantik, akan tetapi juga makin dingin menyeramkan, kemudian bangkit
    berdiri berlahan‐lahan. "Kau lihat sajalah ibumu menundukan Si jembel
    busuk ini." Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping dan ketika
    melangkah maju, tampak gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat‐jiu Kaiong
    sudah dapat menguasai hatinya dan timbul keberaniannya setelah
    melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang
    kelihatan lemah pula, bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali.
    "Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang‐orangku dan apa hubunganmu
    dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?" Wanita itu kini tiba di depan
    Pat‐jiu Kai‐ong sehingga raja pengemis ini dapat mencium bau harum
    semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu. "Akulah Ratu
    Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua mahluk hidup di dalam

  2. Hot Ad
  3. #152

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 151
    gedungmu, semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat‐jiu Kai‐ong. Aku harus
    membunuhmu berlahan‐lahan, menyiksamu sampai puas hatiku."
    Mendengar ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan
    keras itu, menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan
    semua rasa jerih dan dia membentak, "Perempuan sombong! Siapakah
    engkau dan mengapa engkau memusuhi Pat‐jiu Kai‐ong?" Pat‐jiu Kai‐ong,
    agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk‐tumpuk sehingga engkau
    tidak dapat mengenal korban‐korbanmu lagi. Pandanglah aku baik‐baik dan
    kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang terjadi di kaki pegunungan
    Jeng‐hoa‐san sepuluh tahun yang lalu?" Pat‐jiu Kai‐ong memandang dan
    terbayanglah peristiwa di Jeng‐hoa‐san sebelum dia naik ke puncak gunung
    itu untuk mencari Sin‐tong. Kini dia dapat mengenal wajah ini, wajah cantik
    yang pernah merintihrintih dan memohon pembebasan, namun yang dia
    permainkan secara kejam. "Kau... kau... Cap‐she Sin‐hiap...?" Tanyanya raguragu.
    "Benar. Aku adalah anggauta paling muda dari Cap‐sha Sin‐hiap. Dua
    belas orang suhengku telah kaubunuh. Ingatkah sekarang kau?" Pat‐jiu Kaiong
    tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah
    diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari Cap‐sha Sinhiap,
    perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam
    ilmunya selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut? "Ha‐ha‐ha,
    kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat kepadamu, siapa
    bisa melupakan kenang‐kenangan manis selama tiga hari itu? Ha‐ha‐ha,
    betapa mesranya!" Jahanam! Kematian sudah di depan mata dan kau masih
    berlagak? Pat‐jiu Kai‐ong, aku telah datang dan rasakanlah pembalasanku,
    aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!"
    "Perempuan sombong, mampuslah!" Pat‐jiu Kai‐ong sudah menerjang
    dengan tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan
    tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak depat
    wanita itu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis. "Trakk!" Tongkat
    itu menyeleweng dan terkejutlah Pat‐jiu Kai‐ong. Ternyata lawannya ini
    benar‐benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki sinkang
    yang tak boleh dipandang ringan. Tentu saja! Wanita itu bukan lain adalah
    The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri
    Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah
    menggembleng diri, di bawah petunjuk suaminya yang amat mencintainya.
    Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu‐ilmu yang khusus untuk
    menghadapi ilmu tongkat Pat‐jiu Kai‐ong dan ilmu mujijat Hiat‐ciang Hoatsut
    dari Raja Pengemis ini atas permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biarpun
    ada sebatang pedang menepel di punggungnya, The Kwat Lin tidak
    menggunakan senjata melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi
    tongkat dan memang kedua ujung lengan baju ini yang merupakan sepasang
    senjata yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu.
    Seperti telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan
    kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka, untuk
    meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah bertahun‐tahun dia citacitakan. Dia

  4. #153

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 152
    menjadi istri Han Ti Ong hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya,
    akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau
    Es dan benda‐benda berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik
    untuk meninggalkan pulau, tentu saja meninggalkan untuk selamanya karena
    pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di
    Pulau Es yang membosankan itu, jauh dari dunia ramai? Pergilah dia
    mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es sewaktu
    suaminya tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan
    menyusul suaminya yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun
    berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya yang
    sudah tinggi, dia berhasil mendarat. Berbulan‐bulan dia menyelidiki dan
    akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal musuh besarnya di lereng
    Heng‐san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan puteranya,
    dia menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi Nio, dia
    tertarik sekali, maka dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam
    hutan di mana Bu Hong menanti ibunya. "Kalian kuselamatkan dengan
    maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi muridku ," dia berkata
    tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian pilih, mati atau hidup. Kalau ingin
    mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di gedung Pat‐jiu Kai‐ong.
    karena sekarang belum malam, maka kalian belum mestinya dibunuh dan
    karenanya boleh pula kukeluarkan dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus
    suka menjadi muridku. Bagaimana?" Tentu saja dua orang muda itu ingin
    hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap
    subo sudi menolong Ayah kami...." kata Swi Liang. "Kalian tinggal saja di sini
    menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti." The Kwat
    Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian
    mulailah dia turun tangan membunuh‐bunuhi semua binatang peliharaan
    gedung raja Pengemis itu lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir
    dan juga Lusan Lojin dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh
    semua orang di dalam gedung itu, apalagi dia tahu bahwa kalau tidak
    dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi penghalang baginya mengambil murid
    Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya. Akhirnya dia keluar dari
    gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan. Akhirnya
    bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu
    setelah membunuh semua orang di dalam gedung. Han Bu Ong anak laki‐laki
    yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton
    pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali
    tidak merasa takut atau khawatir. Dia percaya penuh kepada kelihaian
    ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan
    kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu. Melihat
    kekejaman‐kekejaman yang terjadi, dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan
    merasa gembira! Barulah hati Pat‐jiu kai‐ong terkejut sekali setelah selama
    lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus
    pertahanan sepasang ujung lengan baju lawannya. Bahkan lawannya
    terkekeh‐kekeh mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan ujung

  5. #154

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 153
    lengan baju, namun ternyata tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama
    sekali tidak berdaya! "*******, mampuslah!" Tiba‐tiba Pat‐jiu Kai‐ong
    berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh
    ruangan itu. Han Bu Ong terplanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini
    sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan, menutup pendengaran.
    Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga
    dengan dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga
    dan menghadapi auman Sai‐cu Ho‐kang dari Pat‐jiu Kai‐ong! Padahal lawan
    yang tidak begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai‐cu Ho‐kang yang
    berdasarkan Khi‐kang yang amat kuat ini, sudah akan roboh. Sementara itu,
    The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan diri, sudah
    mengeluarkan suara terkekeh‐kekeh dan lawannya terkejut bukan main
    karena dari suara ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan
    menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman Sai‐cu Hokang
    dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Pat‐motung‐
    hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat. The Kwat Lin memang
    hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan
    mengelak. Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya
    dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan akan roboh olehnya
    sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati!
    Dan memang usahanya ini berhasil. Keringat dingin membasahi muka pat‐jiu
    Kai‐ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat saja, dia tidak
    akan menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan
    diperkosanya selama tiga hari tiga malam itu. Maka dia lalu mengerahkan
    tenaganya, menggerakan sinkang dan tiba‐tiba dia memekik dan
    menghantamkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. The Kwat
    Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan menggunakan ilmu
    Hiat‐ciang Hoatsut ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu
    mujijat ini, maka dia bersikap hati‐hati dan tidak berani memandang rendah.
    Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar, merasakan
    getaran mujijat dan mencium bau amis darah yang memuakan, dia terkejut
    sekali dan cepat dia menekuk kedua lututnya sedikit, kemudian
    mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari tangan
    diluruskan. Hawa dingin meluncur keluar dari telapak tangannya
    menyambut hawa pukulan Hiat‐ciang Hoat‐sut. "Dess!"dua benturan tenaga
    mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat! Kiranya tenaga
    Hiatciang Hoat‐sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan
    tenaga ini, Pat‐jiu Kai‐ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin. Kalau
    kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali,
    sebaliknya The Kwat Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat
    melawan hawa ini dan berkali‐kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat
    telapak tangan mereka . Tiba‐tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin
    menyambar kearah ubun‐ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali
    dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan
    The Kwat Lin menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap

  6. #155

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 154
    tongkat. Pat‐jiu Kai‐ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan
    tenaga Hiat‐ciang Hoat‐sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini
    sudah diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat
    yang dicengkramnya menangkis. "Krekkkk!" Tongkat raja pengemis itu
    hancur terkena pukulannya sendiri dan selagi dia terkejut bukan main, tahutahu
    ujung lengan baju kanan wanita itu sudah menyambar ke arah matanya!
    Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan tetapi ternyata ujung lengan baju
    itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok
    lehernya. "Auggghh...!" Kalau orang lain yang terkena totokan yang tepat
    mengenai jalan darah, tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat‐jiu
    Kai‐ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia
    terhuyung ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua
    tangannya bergerak dengan cepat sekali dan biarpun raja pengemis itu sudah
    berusaha mati‐matian membela diri, namun karena totokan pertama
    membuat pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi
    kurang cepat, dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari
    tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan!
    Ketika dia siuman. Pat‐jiu Kai‐ong mendapatkan dirinya sudah rebah
    terlentang di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki tangannya,
    bahkan tidak mampu mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah
    yang membuatnya menjadi lumpuh, juga urat ganggu di lehernya telah
    ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada di
    tangan lawan, dan dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin
    mengampuni kesalahannya.Maka dia memejamkan mata menanti datangnya
    kematian. "Bret‐bret‐brettt..., hi‐hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang ini!" Patjiu
    Kai‐ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh
    pakaiannya direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan
    telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab
    seorang datuk macam Pat‐jiu Kai‐ong juga tidak mengenal takut, dia
    menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu matanya. Dia
    melihat anak laki‐laki turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa.
    "Heh‐heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!" The
    Kwat Lin tertawa‐tawa, kemudian sekali ujung lengan bajunya bergerak
    menyambar ke arah leher Patjiu Kai‐ong, kakek ini terbebas dari totokan urat
    ganggunya dan dapat mengeluarkan suara. "Perempuan hina, mau bunuh
    lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah. "Hi‐hik, enak saja!
    Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta‐minta mati kepadamu? Tidak,
    engkau harus mengalami siksaan, mati sekarat demi sekarat! Bu Ong, dia
    inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam . Maukah kau
    membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?" "Tentu saja! Akan
    kubunuh ****** tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak ini
    memandang dengan muka bengis. "Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak
    baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang dari suhengku,
    dia harus menderita satu macam siksaan. Jari tangannya. Hi‐hak, jari‐jari
    tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua

  7. #156

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 155
    buah daun telinganya itu untuk kedua suheng yang lain," The Kwat Lin
    mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa‐tawa,
    kemudian dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya
    yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat‐jiu Kai‐ong, akan
    tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya, "Pat‐jiu Kai‐ong , tahukah
    kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari
    perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kaulihatlah anakmu, darah
    dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!" Sepasang mata Pat‐jiu Kaiong
    terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali
    memperoleh keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia
    sudah berganti‐ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak
    pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara tidak sengaja dia telah
    memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan
    menghampirinya, siap untuk menyiksanya! Tadi dia terheran melihat betapa
    bekas anggauta Cap‐sa Sin‐hiap, murid Bu‐tong‐pai yang terkenal gagah itu
    menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kira‐kira
    wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan
    tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu
    seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan
    membunuh ayah sendiri! "Anak... jangan...dengarkanlah...." "Pratttt...!" Pat‐jiu
    Kai‐ong tidak dapat melanjutkan kata‐katanya yang tadinya hendak
    mmperingatkan anak laki‐laki itu karena urat ganggunya dileher telah
    ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh menyeringai. "Pat‐jiu
    Kai‐ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai
    seorang datuk? Lihatlah baik‐baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong,
    pergunakan pedang itu . Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk
    Twa‐supek dan Ji‐supekmu!" "Baik, Ibu!"Bu Ong lalu melangkah maju dan
    dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai
    menggunakan pedang itu dan buntunglah kedua daun telinga Pat‐jiu Kai‐ong
    ! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek
    itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya! "Ha‐ha, ibu! Lihat, dia
    menangis !" Anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu.
    "He‐he, seperti teling ****!" Memang Pat‐jiu Kai‐ong menangis! Akan tetapi
    bukan menangis karena rasa nyaeri dan pedih karena kedua daun telinganya
    buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih hebat lagi melihat betapa
    anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini
    bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut
    sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi siksaan dan kematian di
    tangan anaknya sendiri, benar‐benar merupakan tekanan batin yang hampir
    tak kuat dia menanggungnya . "Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang
    Supekmu yang belum dibalaskan sakit hatinya.Jari‐jari tangannya yang
    sepuluh itu! Perlahan‐lahan saja, satu demi satu buntungkan!" Mulailah
    penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu‐ong. Anak ini
    seolah‐olah telah menjadi gila, dengan tertawa‐tawa dia membuntungi
    semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari,

  8. #157

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 156
    dia bersorak kegirangan. Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini
    dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat‐jiu Kai‐ong dan
    diceritakan betapa Pat‐jiu Kai‐ong telah membunuh dua belas orang
    suhengnya dan betapa raja pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak
    harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu samasekali tidak menaruh
    rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu. Dapat
    dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat‐jiu Kai‐ong. Namun dia tidak
    menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan
    perbuatan sewenang‐wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini
    sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran adalah
    melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri.
    Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh
    tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam! Kini The Kwat
    Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu
    kaki tangannya dapat bergerak, Pat‐jiu Kai‐ong meloncat dan menerkam ke
    arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang
    berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar
    kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi
    sebuah tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat
    dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu
    menggeliat‐geliat. "Mundurlah, Bu‐ong. lihat sekarang ibumu yang akan
    turun tangan. Aku akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku
    terdahulu!" The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan.
    "Pat‐jiu Kai‐ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu?
    Bayangkanlah,hi‐hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa
    menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau
    yang menderita . Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!" Bertubitubi
    pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu
    bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung
    pedang itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat
    ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai
    ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa namun
    menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan
    darah, mukanya dipenuhi oleh kerut‐merut menahan nyeri. "Hi‐hik,
    bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!" Kembali pedang itu
    digerakan, kini menusuknusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung pedang
    bertubi‐tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga
    menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar makin
    banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu
    berkelojotan seperti dalam sekarat. "Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata
    dan ujung pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita itu tertawa
    bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa
    sambil berdongak ke atas. "suheng sekalian, terutama Twa‐suheng, lihatlah
    musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh
    yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam

  9. #158

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 157
    keadaan tersiksa di antara mayat‐mayat yang membusuk, selama tiga hari
    tiga malam!" The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong,
    kautunggu di sini sebentar!" Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu
    dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat‐mayat para pengawal,
    selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat‐mayat yang dia
    lemparkan ke sekeliling tubuh Pat‐jiu Kai‐ong yang mandi darah. JILID 10
    Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!" The Kwat Lin lalu
    menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi meninggalkan gedung itu.
    Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan
    Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh harapan. "Mana Ayah,
    Subo?" Swi Liang bertanya. "Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya.
    "Ayah kalian telah tewas...." Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi
    Liang mengepal tinjunya dan berkata, "Si jahanam Patjiu Kai‐ong! aku harus
    membalas kematian Ayah!" "Subo, bantulah kami..." kata pula Swi Nio, "kami
    harus menuntut balas!" "Heh‐heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian.
    Pat‐jiu Kai‐ong telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara
    tumpukan mayat, he‐he‐heh! Wah, aku mendapat bagian pesta tadi. Akulah
    yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya.
    Menyenangkan sekali!" Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute"
    ini. Ucapan anak itu benar‐benar membuat mereka merasa serem. Memang,
    mendengar kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin
    tentu dilakukan oleh Pat‐jiu Kai‐ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin
    membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka
    menurut pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua
    daun telinga dan sepuluh jari tangannya, dan perbuatan itu dianggap
    menyenangkan sekali dan berpesta, benar‐benar membuat mereka bergidik!
    "Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak
    memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku
    sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian." Swi Liang dan Swi Nio
    menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka sambil bercucuran air
    mata. "Terima kasih subo..." Kata mereka di antara tangis mereka.
    "Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, "kata pula Swi Liang. "Tidak
    perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar
    gedung itu." Biarpun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka,
    kedua orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak
    membantah. Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut
    pula di lempar oleh The kwat Lin di dekat tubuh Pat‐jiu Kai‐ong untuk ikut
    menyiksa musuh besar ini! Memang Pat‐jiu Kai‐ong tersiksa hebat bukan
    main. Ketika tadi anaknya membuntungi jari‐jari tangannya, dia melihat
    muka anaknya itu berubah‐ubah menjadi muka banyak anak laki‐laki yang
    menjadi korbanya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki‐laki yang menjadi
    korbannya itu seolah‐olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan
    kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri sampai menusuk‐nusuk
    tulang, dia ditinggalkan di antara mayat‐mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya
    yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia tidak menjadi

  10. #159

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 158
    pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat pingsan atau mati sekali,
    tentu dia tidak akan menderita sehebat itu. Mayat‐mayat itu mulai
    mengeluarkan bau yang memuakan pada hari ke dua. Bau darah yang
    mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya, masih
    diganggu lagi oleh bayangan anak‐anak yang dahulu menjadi korbanya,
    membuat Pat‐jiu Kai‐ong menangis di dalam hatinya, menyesali
    perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti
    itu. Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa
    bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati. Senang sekali hatinya.
    Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di antara mayat‐mayat suhengnya
    selama tiga hari tiga malam, dan kini dia dapat membalas secara memuaskan
    sekali. "Hi‐hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya. "Nah, mampuslah kau.
    Pat‐jiu Kai‐ong!" pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah
    pusar kakek itu dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin.
    Setelah merasa puas melihat mayat musuh besarnya, barulah dia membuat
    api dan membakar gedung itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata
    bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio memandang nyala api yang membakar
    gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar. "Ayahmu telah
    sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo kalian ikut
    bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak kalian tidak akan
    mengalami penghinaan orang lagi." Dengan hati berat namun karena tidak
    ada orang lain yang mereka pandang setelah ayah mereka meninggal, dua
    orang muda itu terpaksa mengikuti The Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi
    meninggalkan Hen‐san. Bu‐tong‐pai adalah sebuah perkumpulan silat yang
    besar, merupakan sebuah di antara "partaipartai" persilatan yang terkenal.
    Akan tetapi pada saat itu, Bu‐tong‐pai sedang berkabung. Di markas
    perkumpulan itu yang letaknya di lereng pegunungan Bu‐tong‐san, dari pintu
    gerbang sampai rumah‐rumah para tokoh dan murid kepala, tampak kibaran
    kain‐kain putih menghias pintu, tanda bahwa Bu‐tong‐pai sedang berkabung.
    Siapakah yang meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu‐tong‐pai yang
    sudah berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok San‐jin yang meninggal dunia dalam usia
    delapan puluh tahun. Baru saja upacara penguburan selesai dilakukan oleh
    para anak murid Bu‐tong‐pai, para tamu telah meninggalkan Pegunungan Butong‐
    san, akan tetapi semua anak buah murid Bu‐tong‐pai masih berkumpul
    di sekitar kuburan baru itu. Suasana penuh pergabungan dan masih tampak
    beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui Bhok San‐jin terkenal
    sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang dicintai oleh para anak
    murid Bu‐tong‐pai. "Suhu...!" Seruan ini membuat semua orang menengok
    dan tampaklah seoang wanita cantik berlari mendatangi, diikuti oleh seorang
    muda‐mudi remaja dan seorang anak laki‐laki. Wanita itu tidak menoleh ke
    kanan kiri, melainkan langsung berlari menghampiri kuburan baru dan
    menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan sambil menangis. "Ahh,
    bukankah dia Sumoi The Kwat Lin....?" Seorang murid Kui Bhok San‐jin yang
    usianya lima puluhan berseru. Semua orang memandang dan kini mereka
    pun mengenal wanita yang berpakaian indah seperti seorang nyonya

  11. #160

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 159
    bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja mereka semua kini teringat.
    Bukankah The Kwat Lin merupakan seorang anak murid Bu‐tong‐pai yang
    amat terkenal, sebagai orang termuda dari Cap‐sha Sin‐hiap yang sudah
    bertahun‐tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak? "Benar, dia orang termuda
    dari Cap‐Sha Sin‐hiap!" terdengar seruan‐seruan setelah mereka mengenal
    wanita cantik itu. Mendengar suara‐suara itu, wanita ini lalu bangkit berdiri,
    menyusuti air matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil
    berkata, "Benar, aku adalah The Kwat Lin, orang termuda dari Cap‐Sha Sinhiap.
    Masih baik kalian mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal dunia,
    siapakah yang akan menggantikannya sebagai ketua Bu‐tong‐pai?" Para
    tokoh Bu‐tong‐pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara mereka,
    terdapat delapan orang yang terhitung suheng‐suheng dari The Kwat Lin,
    dan orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek berpakaian seperti
    pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini mengerutkan alisnya setelah
    mendengar bahwa wanita itu adalah seorang muda dari Cap‐sha Sin‐hiap,
    maka kini mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah maju dan berkata,
    "Sian‐cai..., tak pernah pinto sangka bahwa anggauta termuda dari Cap‐sha
    Sin‐hiap akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari
    mendiang suheng, dan kalau engkau ingin mengetahi, pinto yang dipilih oleh
    anak murid Bu‐tong‐pai, juga telah ditunjuk oleh mendiang suheng menjadi
    ketua di Bu‐tong‐pai." Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu
    bertubuh kecil sedang, dan biarpun mukanya penuh keriput, namun matanya
    bersinar terang dan jenggotnya yang terpelihara baik mengitari mulutnya itu
    masih hitam semua, demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk
    konde dari perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang pendeta To
    yang longgar. "Siapakah Totiang?" "Ha‐ha‐ha‐ha, sungguh lucu kalau seorang
    murid keponakan tidak mengenal susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto
    adalah Kui Tek Tojin, satu‐satunya saudara seperguruan dari mendiang Kui
    Bhok San‐jin." Kwat Lin sudah pernah mendengar nama susioknya (paman
    gurunya) ini, seorang tosu perantau, sute termuda dan satu‐satunya yang
    masih hidup dari mendiang suhunya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah
    dengan gaya mengejek, kemudian berkata dengan suara lantang, "Ah, kiranya
    Susiok Kui Tek Tojin yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu‐tong‐pai?
    Sungguh keputusan yang sama sekali tidak tepat! Aku tidak setuju sama
    sekali kalau Susiok yang menjadi ketua!" Tosu itu membelalakan matanya
    dan memandang kaget, heran dan penasaran. Akan tetapi sebelum dia
    mengeluarkan kata‐kata, seorang tosu lain yang bernama Souw Cin Cu, murid
    tertua dari Kui Bhok San‐jin, melangkah maju dan berkata, "Sumoi, apa yang
    kaukatakan ini? Betapa beraninya engkau mengatakan demikian! Keputusan
    ini tidak saja sesuai dengan petunjuk suhu, juga telah menjadi keputusan
    kami semua. Pula, Susiok merupakan satu‐satunya saudara seperguruan
    mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi dan usianya paling tua
    di antara kita. Siapa lagi kalau bukan Beliau yang menggantikan Suhu
    menjadi ketua kita?" "Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak tersangkasangka,
    juga pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid

  12. #161

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 160
    mendiang Suheng, dia berhak berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Butong‐
    pai. The Kwat Lin, bukankah demikian namamu tadi? Kalau menurut
    pendapatmu, siapa gerangan yang patut dijadikan ketua Bu‐tong‐pai
    menggantikan Suheng yang telah tidak ada?" "Harap maafkan aku, Susiok.
    Bukan sekali‐kali aku memandang rendah kepada Susiok, akan tetapi
    penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang matang." Kwat Lin berkata
    kepada calon ketua Bu‐tong‐pai itu, mengejutkan dan mengherankan semua
    orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat dari wanita itu.
    "Pertama‐tama sejak dahulu Susiok selalu merantau, tidak pernah
    memperdulikan keadaan Bu‐tong‐pai, apalagi Susiok adalah seorang tosu
    sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu‐tong‐pai, ada bahayanya Butong‐
    pai akan berubah menjadi perkumpulan Agama To! Berbeda sekali
    dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun
    terdiri dari bermacam‐macam golongan. Selain itu, selama ini Bu‐tong‐pai
    makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan ejekan dan bahan penghinaan
    orang lain." "Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana‐sini dan Souw
    Cin Cu kembali berkata penasaran, "Sumoi aku benar‐benar merasa heran
    mendengar kata‐katamu dan melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan
    para suhengmu menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang yang
    lain. Seperti langit dengan bumi bedanya antara engkau dahulu dan engkau
    sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu‐tong‐pai menjadi lemah dan
    menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain. Apa artinya ini?" "Souw Cin
    Cu Suheng, selama bertahun‐tahun ini Cap‐sha Sin‐hiap telah lenyap, tahukah
    engkau apa yang terjadi dengan mereka?" "Kami telah berusaha menyelidiki
    namun tidak dapat menemukan kalian." "Hemm, itulah tandanya bahwa Butong‐
    pai amat lemah, sehingga semua suhengku, tokoh‐tokoh Cap‐sha Sinhiap,
    dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu‐tong‐pai!" Semua orang terkejut
    sekali mendengar bahwa dua belas orang dari Cap‐sha Sin‐hiap telah
    dibunuh orang! "Siapa yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya
    dengan suara marah sekali. Hati siapa yang takkan menjadi panas dan marah
    mendengar bahwa dua belas orang saudara seperguruannya dibunuh orang?
    "Hemm, terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh Pat‐jiu Kaiong
    ketua Pat‐jiu Kai‐pang di Heng‐san." "Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin berseru
    kaget, "Pat‐jiu Kai‐ong...?? Mengapa...??" Kwat Lin tersenyum mengejek.
    "Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama besarnya dan menjadi gentar,
    bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah membunuh
    dua belas orang Suhengnya. dan peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas
    orang tokoh Bu‐tong‐pai mengalami penghinaan, dan Butong‐ pai sendiri
    diam saja. Apalagi berusaha membalas dendam, bahkan tahupun tidak akan
    peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu‐tong‐pai lemah! Kini Bu‐tong‐pai
    hendak diketahui oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum pendeta
    Tosu dan menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan
    membunuh musuh‐musuh besar kami, membunuh Pat‐jiu Kai‐ong dan
    membasmi Pat‐jiu Kai‐pang di Heng‐san. Melihat kelemahan Bu‐tong‐pai, aku
    tidak setuju kalau mendiang Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui

  13. #162

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 161
    Tek To‐jin harus diganti oleh orang yang memiliki kepandaian tinggi dan
    dapat memajukan dan memperkuat Bu‐tong‐pai, barulah tepat!" Kwat Lin
    bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit halus itu
    kemerahan, sepasang matanya bersinar‐sinar dan dengan tajamnya menyapu
    wajah semua anak murid Bu‐tong‐pai yang hadir di situ. Pandang mata bekas
    orang termuda Cap‐sha Sin‐hiap ini membuat banyak anak murid Butong‐ pai
    merasa gentar dan mereka hanya menunduk untuk menghindarkan pandang
    mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat Lin memandang
    dengan marah dan penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan
    mengelus jenggotnya sambil mengangguk‐angguk, matanya memandang
    wajah wanita itu penuh selidik. "The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat
    terhadap kedudukan Bu‐tong‐pai. Andaikata benar semua kata‐katamu itu,
    habis siapakah yang kaupandang tepat untuk menjadi ketua Bu‐tong‐pai?"
    Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang. "Untuk waktu ini, kiranya
    tidak ada orang lain lagi dari Bu‐tong‐pai kecuali aku sendiri!" Kini benarbenar
    terkejut dan terheran‐heranlah semua anak murid Bu‐tong‐pai yang
    berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak dapat disangkal lagi
    bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok
    Sanjin dan orang termuda Cap‐sha Sin‐hiap, akan tetapi pada waktu itu dia
    bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu‐tong‐pai. Sama sekali
    bukan! Di atas dia masih ada delapan orang suhengnya, murid‐murid Kui
    Bhok San‐jin yang lebih tua, dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin
    yang tentu saja memiliki tingkat jauh lebih tinggi karen tosu ini adalah
    paman gurunya! "Murid Murtad!!" Tiba‐tiba Souw Cin Cu membentak garang
    dan meloncat maju, diikuti pula oleh sutesutenya. Telunjuk kirinya menuding
    ke arah muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut
    menjadi murid Bu‐tong‐pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun
    hanya untuk pulang sebagai iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya
    sendiri. Dan kami berkewajiban untuk mengajar seorang murid murtad!"
    Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat.
    Souw Cin Cu merupakan murid pertama atau paling tua dari Kui Bhok Sanjin.
    sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat
    paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya sejajar dengan orang‐orang
    tertua dari Cap‐sha Sin‐hiap dan sebenarnya masih lebih tinggi setingkat jika
    dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih menjadi
    orang termuda Cap‐sha Sin‐hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat Lin sekarang
    sama sekali tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang lalu.
    Dia telah mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari Pulau Es!
    Tingkatnya sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang
    ketika suhengnya itu menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar
    jurus yang dipergunakan oleh suhengnya, jurus dari ilmu silat Ngo‐heng‐kun.
    Ketika tangan kiri Souw Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan
    kanan tosu itu menampar pelipis, dia diam saja seolah‐olah dia hendak
    menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan tetapi setelah hawa
    sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba‐tiba tangan kirinya

  14. #163

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 162
    bergerak dari bawah ke atas. "Plak‐plak‐plak!!" Kedua lengan Souw Cin Cu
    telah terpental, bahkan tubuh tosu ini terpelanting ketika tangan Kwat Lin
    yang tadi sekaligus menangkis kedua lengan itu melanjutkan gerakannya
    dengan tamparan pada pundaknya. Tamparan yang perlahan saja, akan
    tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San‐jin terpelanting!
    Diam‐diam Kui Tek Tojin terkejut heran menyaksikan gerakan tangan wanita
    itu, gerakan yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali tidak
    dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Butong‐ pai! Akan tetapi
    tujuh orang sute dari Suow Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa
    dikomando lagi mereka menerjang maju. Akan tetapi The Kwat Lin tertawa,
    tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya dan berturut‐turut tujuh orang ini
    pun terguling roboh di dekat Suow Cin Cu! Mereka sendiri tidak tahu
    bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu‐tahu terpelanting dan
    bagian yang tertampar tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai patah tulang,
    akan tetapi amat nyeri. Padahal tamparan itu perlahan saja. Bagaimana
    andaikata wanita itu menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya, sukar
    dibayangkan akibatnya. Betapapun juga, delapan orang murid utama dari Butong‐
    pai ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu mudah dan mereka sudah
    meloncat bangun dan mencabut senjata masing‐masing! "Ibu, mengapa tidak
    dibunuh saja tikus‐tikus menjemukan ini?" Tiba‐tiba Bu Ong berteriak. Anak
    ini sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para pengeroyok
    ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat‐erat oleh Swi Liang dan Swi
    Nio, suheng dan sucinya, tentu dia sudah menerjang maju membantu ibunya.
    Akan tetapi memang sebelumnya, Swi Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh
    subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini
    mencampuri urusannya dengan orang‐orang Bu‐tong‐pai. Kwat Lin
    tersenyum mengejek melihat delapan orang suhengnya itu mengeluarkan
    senjata. "Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng tidak
    melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan
    andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi
    aku." "*******...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju,
    akan tetapi tiba‐tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!"
    Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati
    perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri
    wanita yang tersenyum‐senyum itu. "Siancai... kiranya engkau telah memiliki
    kepandaian tinggi maka berani menentang Bu‐tong‐pai! The kwat Lin, selama
    ini engkau telah mempelajari ilmu silat dari luar Bu‐tong‐pai, tidak tahu dari
    perguruan manakah?" "Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak
    perlu aku menceritakan kepada siapapun juga." "Hei, tosu bau! Ibu adalah
    Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?" "Bu Ong...!" Kwat Lin membentak
    puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur bicara dan bukan main
    kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu‐tong‐pai mendengar ini.
    Pulau Es hanya disebut‐sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar
    tokoh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang‐ouw.
    Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di

  15. #164

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 163
    hadapannya itu juga merupakan anak murid Bu‐tong‐pai, maka dia menekan
    perasaannya dan berkata, "The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku
    sebagai murid Bu‐tong‐pai, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau
    harus tunduk kepada pimpinan Bu‐tong‐pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah
    mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang
    Bu‐tong‐pai, engkau tidak berhak mencampuri urusan dalam dari Bu‐tongpai."
    Kwat Lin tersenyum mengejek. " Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi
    bahwa aku telah membelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat
    kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Butong‐ pai.
    Akan tetapi aku bukan saja masih mengaku orang Bu‐tong‐pai, bahkan ingin
    memimpin Bu‐tongpai menjadi perkumpulan terkuat di dunia. Akan
    kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu‐tong‐pai agar tidak ada lagi
    golongan lain yang berani memandang rendah Bu‐tong‐pai, apalagi menghina
    anak murid Bu‐tong‐pai seperti yang terjadi kepada Cap‐sha Sin‐hiap sepuluh
    tahun yang lalu." "Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu‐tong‐pai,
    terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin." "Dengan
    cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?" "Dengan
    mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu‐tong‐pai lebih penting dari pada
    nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini
    dengan kepandaian kita ." The Kwat Lin tersenyum. "Susiok, betapapun
    mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh para suheng dan membunuh
    semua orang yang menentangku. Akan tetapi, aku bahkan ingin menolong
    kalian, ingin mengangkat nama Bu‐tong‐pai, maka biarlah aku hanya akan
    mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu." Ucapan ini malah merupakan
    penghinaan yang luar biasa sekali, karena mengalahkan lawan tanpa
    membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan
    oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari
    lawannya! Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh murid
    keponakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari
    Bu‐tong‐pai, sebagai calon ketua Bu‐tong‐pai, dihina oleh seorang anggauta
    muda Bu‐tong‐pai! Oleh karena itu, tosu tua ini mengambil keputusan untuk
    mengadu nyawa dengan wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai
    anggauta Bu‐tong‐pai lagi, melainkan sebagai seorang musuh yang hendak
    mengacau Bu‐tong‐pai. "The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu‐tong‐pai,
    pinto menyediakan nyawa untuk mempertahankan kehormatan Bu‐tong‐pai
    terhadap siapapun juga , dan saat ini pinto akan mempertahankannya
    terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian tosu tua berjenggot
    lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan
    bajunya melambai panjang. Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu
    cendana yang harum dan menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi
    tongkat pusaka para ketua Bu‐tong‐pai sejak dahulu. Dia maklum pula bahwa
    tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan ketua belaka, namun dalam
    hal ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya
    dari pada tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah
    memiliki tingkat tertinggi dari Bu‐tong‐pai, dan telah memiliki sinkang yang

  16. #165

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 164
    amat kuat sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai
    senjata ampuh yang dapat menghadapi senjata apapun juga dari lawan, dapat
    dibikin kaku keras seperti besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat
    melakukan totokan‐totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan!
    Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan
    pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya
    melakukan pukulan dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan
    tenaga sinkang Swat‐im Sin‐jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke
    depan menyerang kakek itu. Swat‐im Sin‐jiu adalah tenaga dalam inti salju
    yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bukan main karena hawa
    yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang mendatangkan rasa
    dingin. "Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa hawa yang
    menyambar dari depan amat dinginnya, membuat tangannya ketika
    mendorong kembali terasa membeku. Maka dia lalu mengerakan tongkat di
    tangan kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang panjang,
    menghantam ke arah kepala wanita itu dari samping. "Wuuuuttt... plakkkk!"
    Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk
    memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat itu
    dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan
    kembali tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa lengan kanannya yang
    memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam
    satu detik pada saat lawan masih terkejut dan belum sempat mengerahkan
    sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan menarik ke bawah,
    bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan
    kananya, kini menggerakan tenaga sinkang yang berhawa panas! "Ouhhh...!"
    Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang dan tentu saja
    tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan
    getaran melalui tongkat, dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi
    pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan, ternyata
    luar biasa kuat dan panasnya, mengejutkannya karena perubahan sinkang
    yang berlawanan itu tidak disangka‐sangkanya, maka untuk menyelamatkan
    diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan tongkatnya. Kwat
    Lin sudah melompat kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan kedua
    tangan di atas kepala sambil tertawa dan berkata, "Hi‐hik, tongkat pusaka
    telah berada di tanganku, berarti akulah ketua Bu‐tong‐pai! "Kembalikan
    tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak
    ketika tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan
    bajunya bergerak seperti kilat menyambar‐nyambar dan dalam segebrakan
    itu, Kwat Lin telah dihujani sembilan kali totokan yang amat berbahaya!
    Sukarlah membebaskan diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan
    andaikata Kwat lin bukan seorang pewaris ilmu‐ilmu dari Pulau Es, tidak
    mungkin dia dapat menghindarkan diri lagi. Dia menggunakan ginkangnya
    berloncatan menghindar, akan tetapi sebuah totokan yang meleset masih
    mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat pusaka itu terlepas dari
    peganganya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah dicabutnya, yaitu

Page 11 of 28 FirstFirst ... 78910111213141521 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •