PART 345
siluman Yang Kui Hui! Kalau tidak, mari kita bunuh saja semua!" "Tidak!
Tidaaaaaakkk....! Persetan....!!" Kaisar berteriak dan lengan kirinya merangkul
leher selirnya, seolah‐olah dia hendak melindungi kekasih tercinta itu. "Dordor‐
dorrrr...." pintu digedor dari luar. "Hancurkan saja Raja lalim dan
lemah....!" "Bakar saja rumah ini kalau yang Kui Hui tidak dihukum mati!"
Keadaan sudah amat berbahaya dan menegangkan. Semua bangsawan yang
berada di situ sudah menjadi pucat. Pangeran mahkota segera menjatuhkan
diri berlutut di depan Kaisar.
"Dalam keadaan seperti ini, mengapa Paduka masih kukuh?" putera mahkota
itu menangis. Para pembesar yang setia kepada kaisar juga membujuk,
bahkan kepala thaikam yang menjadi kepercayaan Kaisar dan yang diamdiam
secara pribadi memusuhi Yang Kui Hui, berkata, "Harap Paduka suka
mempertimbangkan dengan tenang. Memang menyakitkan hati sekali
tuntutan mereka. namun, mereka tidak dapat dibendung dan kalau ditolak,
tentu Paduka akan terancam bahaya, bahkan seluruh keluarga Paduka.
Apakah Paduka hendak mengorbankan keselamatan Paduka sendiri dan
seluruh keluarga hanya untuk satu orang yang toh tidak akan dapat Paduka
selamatkan juga?" Putera mahkota menoleh kepada Yang Kui Hui dan
berkata, suaranya keras dan penuh tuntutan, "Seorang yang selama puluhan
tahun memperoleh kemuliaan dan anugerah kebaikan Kaisar, apakah di
waktu terancam lalu melupakan budi yang besarnya melebihi nyawa itu?"
Yang Kui Hui menjadi pucat wajahnya dan dia menjatuhkan diri berlutut di
depan Kaisar, memeluk kaki Kaisar sambil menangis dan berkata, "Biarlah
hamba membalas segala budi kebaikan Paduka....." "Tidak....! Tidak....ohhh,
Kui Hui, tidak....! Jangan....!" akan tetapi banyak tangan merenggut tubuh selir
cantik itu dari pelukan Kaisar, lalu menyerahkannya kepada kepala thaikam.
Selir itu diseret oleh kepala thaikam ke atas pagoda dan tak lama kemudian,
terdengarlah sorak‐sorai para pasukan melihat tubuh selir cantik jelita itu
tergantung di pagoda, tergantung lehernya dan berkelojotan sebentar lalu
terdiam. "Hidup kaisar....!!" "Biang keladi kelemahan telah tewas....!!" "Kita
akan mengawal Kaisar sampai titik darah terakhir!" Di sebelah dalam, Kaisar
yang tadinya menangis itu terbelalak mendengar teriakan yang sama sekali
berlainan itu. Dia bingung tidak tahu apa yang terjadi, memandang ke kanan
kiri. "Di mana dia....? Mana Yang Kui Hui....!" Semua keluarganya menjatuhkan
diri berlutut. "Dia..... telah mengorbankan nyawa demi keselamatan paduka
sekeluarga...." "Kui Hui....!!" Kaisar berlari naik ke loteng, kemudian roboh
pingsan melihat tubuh kekasihnya yang diam tidak bergerak, tergantung di
pagoda itu. Peristiwa ini merupakan peristiwa bersejarah yang kemudian
terkelan di seluruh Tiongkok sampai berabad‐abad lamanya. Bagi mereka
yang ikut merasa berduka dan terharu mendengar cerita tentang pemutusan
hubungan cinta yang amat menyedikan ini, menganggap Kaisar itu lemah dan
telah melakukan kesalahan besar. Peristiwa ini menjadi terkenal sekali
ratusan tahun kemudian, bahkan dijadikan cerita drama yang dipangungkan
dan menjadi bahan karangan cerita tentang peristiwa itu yang tak terhitung
banyaknya. Lebih terkenal sekali setelah sastrawan Po Cu I menulisnya
PART 346
dengan judul "Kesalahan Abadi". Dengan lesu dan penuh duka, rombongan
Kaisar melanjutkan perjalanan mengungsi ke Secuan dan kematian selir
tercinta itu melumpuhkan seluruh gairah hidup Kaisar yang sudah tua itu.
Akan tetapi, di tengah perjalanan, kembali terjadi peristiwa hebat. Ketika
rombongan itu sedang beristirahat dan bermalam di sebuah dusun kecil di
daerah yang sepi di perbatasan Secuan, malam itu tiba‐tiba heboh karena
terjadinya pembunuhan atas diri seorang di antara para pengeran yang ikut
mengungsi. Pangeran ini adalah adik pangeran mahkota. Di waktu malam
yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan berkelebat di atas genteng rumahrumah
yang dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar. Mereka ini bukan
lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki. Keduanya, sebagai mata‐mata An
Lu Shan, setelah berhasil mengasut anak buah pasukan pengawal sehingga
terbunuhnya Yang Kui Hui dan kakaknya, diam‐diam terus mengikuti dan
membayangi rombongan itu, mencari kesempatan baik untuk membunuh
Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan merupakan
kemenangan besar bagi An Lu Shan. Akan tetapi, mereka berdua salah
masuk! Mereka memasuki kamar pangeran muda yang berada di sebelah
kamar Kaisar. Ketika dua batang pedang di tangan mereka bergrak, tubuh di
atas pembaringan, di dalam kelambu yang tertusuk pedang dan
mengeluarkan pekik maut bukanlah tubuh Kaisar, melainkan tubuh pangeran
itu! barulah kedua orang ini tahu bahwa mereka telah keliru, dan cepat
mereka meloncat dan keluar dari dalam kamar itu melalui jendela. "Tangkap
penjahat!" "Tangkap pembunuh!!" Dalam sekejap mata saja kedua orang
mata‐mata itu dikepung oleh belasan orang pengawal dan disergap. Tentu
saja Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki membela diri dan membalas dengan
serangan‐serangan dahsyat. Terjadilah pertandingan keroyokan di ruangan
yang cukup terang itu dan makin lama makin banyaklah pengawal yang
datang mengeroyok. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali pengawal
yang berkepandaian tinggi, dua orang itu menjadi repot juga. Dengan berdiri
saling membelakangi, Swi Nio dan Toan Ki saling melindungi, pedang mereka
bergerak cepat menyambar‐nyambar ke depan, kanan dan kiri menangkis
semua senjata yang datang bagaikan hujan ke arah mereka. Suara beradunya
senjata nyaring diselingi teriakan‐teriakan para pengeroyok memecah
kesunyian malam di dusun itu. Tidak kurang dari delapan orang pengeroyok
roboh oleh pedang mereka dan kini para pengawal atas komando perwira
atasan mereka mengurung dan mengatur barisan. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk menggeser kakinya mundur sampai
punggungnya beradu dengan punggung Liem Toan Ki. Kemudian dia
berbisik, suaranya mengandung keharuan, "Maaf, Koko. Aku yang
membujukmu ke sini sehingga kau juga menghadapi bahaya maut...."
"Hushhh...., mati atau hidup kita berdua, Moi‐moi...." "Aku tak takut mati,
tapi.... aku belum sempat membalas segala kebaikanmu, Koko...." "Tidak ada
kebaikan di antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita
mati bersama!" Ucapan Toan Ki ini membangkitkan semangat di dalam hati
Swi Nio. Sambil memengang pedang erat‐erat dan tangan kirinya dikepal, dia
PART 347
berkata. "Aku akan merasa bangga denganmu, Koko!" Percakapan bisik‐bisik
itu dihentikan karena kini para pengeroyok yang tadi mengurung mereka
telah mulai menyerang. Kini pengeroyokan mereka teratur, dan serangan
datang bertubi‐tubi, berantai karena mereka mengelilingi dua orang ini
sampai tiga empat baris. Swi Noi dan Toan Ki kembali harus menggerakan
pedang masing‐masing untuk menangkis dan melindungi tubuh mereka,
namun karena datangnya serangan tidak seperti tadi, kadang‐kadang
bertubi‐tubi dan susul menyusul, mereka berdua menjadi repot sekali dan
tiba‐tiba terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketikabahu kirinya terkena
hantaman gagang tombak. Biarpun keduanya telah terluka, namun mereka
terus mengamuk, pedang mereka menyambar‐nyamabar dan kembali
robohlah empat orang pengeroyok, sungguhpun mereka berdua sendiri juga
mengalami lukaluka bacokan. Maklumlah keduanya bahwa menghadapi
pengeroyokan demikian banyak pengawal, Mereka tidak mungkin dapat
meloloskan diri, maka mereka mengamuk untuk dapat membunuh sebanyak
mungkin musuh sebelum mereka berdua dirobohkan.Mereka berdua sudah
bertekad untuk melawan sampai mati. Akan tetapi tiba‐tiba terjadi
perubahan. Para pengurung dan pengeroyok menjadi kacau balau dan
terdengar suara meledak‐ledak nyaring serta disusul pekik‐pekik kesakitan
dan robohlah beberapa orang pengeroyok yang kena disambar oleh sebatang
cambuk berduri. Juga ada para pengeroyok yang dilempar‐lemparkan
sepasang lengan yang amat kuat. Swi Nio dan Toan Ki terkejut dan girang
sekali karena maklum bahwa ada bala bantuan datang. Mereka tadinya
menduga bahwa yang datang tentulah teman‐teman mereka, para mata‐mata
yang disebar oleh An Lu Shan. Akan tetapi mereka menjadi terheran‐heran
dan kagum sekali ketika menyaksikan bahwa yang mendatangkan kekacauan
pada pihak para pengeroyok hanyalah dua orang, seorang pemuda tinggi
besar yang gagah perkasa, yang menggunakan kedua tangannya melemparlemparkan
para pengawal, dan seorang dara yang amat cantik jelita dan
gagah, dara yang mengamuk dengan sebatang cambuk berduri dan sebatang
pedang, gerakannya cepat dan ganas. Siapakah dua orang yang tidak dikenal
oleh Swi Nio dan Toan Ki itu? Mereka adalah Ouw Soan Cu, gadis Pulau
Nereka yang lihai itu, dan pemuda tinggi besar Kwee Lun, murid Lam‐hai
Seng‐jin yang tinggal di Pulau Kura‐kura di laut selatan. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, mereka berdua saling berjumpa di puncak Awan
Merah di Pegunungan ***‐hang‐san, yaitu di tempat tinggal Tee‐tok
Siangkoan Houw. Ouw Soan Cu gadis Pulau Neraka itu datang bersama Sin
Liong sedangkan Kwee Lun yang menjadi teman seperjalanan dan sahabat
Swat Hong datang pula bersama gadis itu. Tadinya, sebelum Sin Liong pergi
bersama Swat Hong untuk mencari The Kwat Lin di Bu‐tong‐pai, pemuda ini
yang merasa kasihan kepada Soan Cu menitipkan gadis itu kepada Tee‐tok
Siangkoan Houw. Akan tetapi melihat Sin Liong pergi bersama Swat Hong,
Soan Cu tidak mau tinggal di tempat itu, lalu dia pun pergi hendak mencari
ayahnya. Dan Kwee Lun, yang merasa tertarik kepada gadis cantik jelita dan
galak serta jujur itu, segera berpamit dan cepat lari mengejar Soan Cu. Di kaki
PART 348
pegunungan ***‐hang‐san, barulah Kwee Lun mampu menyusul Soan Cu
karena gadis itu memperlambat larinya dan berjalan dengan termenung.
Setelah kini mulai melakukan perjalanan seorang diri, barulah Soan cu
merasa bingung sekali. tadinya, melakukan perjalanan bersama Sin Liong, dia
tidak tahu apa‐apa, hanya ikut saja dan segeralah hal diputuskan oleh
pemuda itu. Setelah kini sadar bahwa dia berada seorang diri di dunia yang
luas ini, dia merasa kesepian dan bingung. Dia tidak mengenal tempat dan
tidak tahu harus menuju ke mana untuk mencari ayahnya! Teringat akan
semua ini, hatinya kecil dan gelisah, juga marah. Marah kepada Sin Liong
yang meninggalkanya. "Nona Ouw, perlahan dulu.....!" Karena termenung dan
hatinya gelisah, Soan Cu sama sekali tidak memperhatikan keadaan
sekitarnya maka dia tidak tahu bahwa ada orang membayanginya di
belakang. Barulah dia terkejut ketika mendengar seruan itu dan cepat dia
membalikkan tubuhnya memandang. Dia cemberut melihat bahwa yang
memanggilnya adalah pemuda tinggi besar yang pernah bertempur dengan
dia di Puncak Awan Merah karena pemuda ini memembela Swat Hong dan
dia membela Sin Liong. Teringat akan peristiwa itu, tiba‐tiba saja dia merasa
gelisah dan menahan ketawanya dengan senyum lebar, lalu menutupi
mulutnya. Melihat gadis itu menahan ketawa, namun jelas sinar mata gadis
itu mentertawakannya, Kwee Lun mengerutkan alisnya yang tebal, akan
tetapi dia pun tersenyum dan berkata sambil menjura, "Nona Ouw, mengapa
engkau menahan ketawa dan menyembunyikan senyum? Menyambut
seorang kenalan dengan senyum lebar di bibir merupakan penghormatan
paling besar. Senyum adalah seperti matahari pagi, menghidupkan
menenteramkan, penuh damai dan bahagia....." Mendengar ucapan pemuda
itu yang diatur seperti orang membaca sajak, Soan Cu tertawa dan dia kagum
juga. Terdengar amat indah kata‐kata tadi. Akan tetapi timbul pula
kenakalannya dan dai menjawab dengan nada mengejek, "Orang She Kwee,
aku tertawa bukan menyambutmu, melainkan teringat akan peristiwa yang
amat lucu. Engkau datang bersama Han Swat Hong, membelanya matimatian,
akan tetapi sekarang di manakah dia? Engkau ditinggalkan begitu
saja! Betapa lucunya! Lucu ataukah menyedihkan?" Alis tebal itu makin
dalam berkerut, akan tetapi kemudian Kwee Lun tersenyum lagi dan
menganggukangguk. "Memang lucu sekali! Ha‐ha‐ha‐ha, lucu sekali!" Melihat
pemuda itu tidak tersinggung malah tertawa‐tawa, Soan Cu menjadi
penasaran. "Apa yang lucu?" bentaknya. "Kau..... eh, kita berdua.... yang lucu.
Mengapa bisa begini kebetulan?" "Apa yang kebetulan?" Soan Cu makin
penasaran karena ejekannya itu kini agaknya malah dibalikan oleh pemuda
itu kepadanya. "Bukankah kebetulan sekali nasib kita amat serupa? Aku
datang bersama Nona Swat Hong dan aku ditinggalkan, sebaliknya engkau
pun datang bersama Sin Liong dan engkau ditinggalkan pula. Nasib kita
benar serupa, bukankah ini amat lucunya?" Wajah Soan Cu menjadi merah
sekali. "Sratttt!" Pedang Coa‐kut‐kiam yang bersinar‐sinar telah berada di
tangan kanannya.Kwee Lun terkejut bukan main, hanya memandang
bengong karena sama sekali tidak menyangka bahwa gadis yang dianggapnya
PART 349
jujur dan lincah gembira ini demikian mudah tersinggung! "Eh, Nona Ouw.....
kau.... marah oleh godaanku tadi?" "Siapa marah? Hayo cabut pedangmu, kita
lanjutkan pertempuran kita yang terhenti ketika di Puncak Awan Merah. Aku
masih belum kalah olehmu!" Kwee lun penarik napas panjang, hatinya lega.
Tepat dugaannya, nona ini sama sekali bukan tersinggung oleh godaannya,
melainkan karena memiliki watak aneh, ingin melanjutkan pertempuran
ketika mereka saling membela sahabat masing‐masing di Puncak Awan
Merah. "Wah, berat, Nona. Aku terima kalah. Dalam geberakan‐geberakan
yang pernah kita lakukan itu saja aku sudah tahu bahwa ilmu kepandaianmu
jauh lebih tinggi daripada aku. Pula kita bukanlah musuh. terserah kalau
Nona hendak menganggap aku musuh, akan tetapi aku Kwee Lun sama sekali
tidak menganggap kau sebagai musuhku. Bahkan sebaliknya, di antara kita,
mau atau tidak telah terdapat ikatan persahabatan yang amat erat." "Hemm,
jangan kau mencoba untuk membujuku. Persahabatan dari mana? Enak saja
kau bicara!" ""Eh, apakah kau hendak menyangkal bahwa engkau adalah
sahabat baik dari Kwa Sin Liong, Nona?" "memang, dia adalah sahabat
baikku, bukan engkau!" "Nah, kalau engkau sahabat baik dari dari Kwa Sin
Liong, berarti engkau adalah sahabat baikku pula. Kwa Sin Liong adalah
Suheng dari Han Swat Hong, dan Nona itu adalah sahabatku. Sahabat dari Si
Suheng tentu juga menjadi sahabat baik dari sahabat Si Sumoi, bukan?"
"Hemm, kau memang pandai bicara." Soan Cu menyarungkan kembali
pedangnya. "Bilang saja bahwa kau tidak berani melawan aku!" "Tentu saja
tidak berani, karena memang pedangku bukan untuk melawan, melainkan
untuk membantumu mencari kembali Ayahmu. Bukankah kau hendak
mencari Ayahmu, Nona? Tahukah kau ke mana kau harus mencarinya?"
Ditegur seperti itu, Soan Cu menjadi bingung lagi. Memang tadi dia sedang
termenung bingung, tidak tahu harus pergi ke mana, dengan matanya yang
indah terbelalak gadis itu memandang kepada Kwee Lun dan menggelengkan
keplanya, lalu dia berkata, "Apakah kau tahu?" "Tentu saja aku tidak tahu,
Nona. Aku belum mengenal Ayahmu itu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis
muda, sungguh tidak leluasa bagimu untuk mencari sendiri. Aku dapat
membantumu, aku sering merantau dengan guruku dahulu , dan aku banyak
mengenal daerah‐daerah, tahu pula dunia kang‐ouwse sehingga agaknya
akan lebih menguntungkan bagimu dan menyenangkan bagiku kalau kita
melakukan perjalanan bersama. Tentu saja kalau kau suka....." Sampai lama
Soan Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghela napas, berkata,
"Engkau baik sekali, seperti Sin Liong. Tentu saja engkau tidak dapat
kuandalkan seperti dia, kepandaianmu tidak sehebat dia. Akan tetapi engkau
juga gagah perkasa, jujur dan itu sudah cukup untuk meyakinkan aku bahwa
engkau tentu dapat menjadi seorang sahabat." "Ha‐ha‐ha, terima kasih, haha‐
ha! Sudah kuduga bahwa engkau adalah seorang gadis yang luar biasa,
polos dan tidak berpura‐pura, cantik dan gagah perkasa. Ha‐ha‐ha!" Kwe Lun
tertawa dengan bebas dan terkejutlah Soan Cu ketika , melihat betapa air
PART 350
mata mengalir di kedua pipi pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan ini.
"Eh, kau menangis??" Kwee Lun menghentikan tawanya, mengusap air mata
dengan ujung lengan bajunya sambil menggeleng kepala. "Ini adalah
penyakitku, Nona. Aku selalu mengeluarkan air mata kalau tertawa terlalu
gembira. Akan tetapi, kalau dilihat kenyataannya, apa sih bedanya antara
tawa dan tangis? Apakah bedanya antara senang dan susah, antara nyeri dan
nikmat? Kesemuanya adalah dua muka dari satu tangan, tak terpisahkan.
Mencari yang satu, pasti akan ketemu dengan yang ke dua." "Wah, kau
memang seorang manusia aneh, Kwee‐toako. Kau gagah perkasa, pemberani,
pandai bersajak, pandai filsafat, dan.... cengeng!" Girang bukan main hatinya
mendengar gadis itu menyebutnya toako, tanda bahwa gadis itu benarbenar
mau menerima persaudaraan atau persahabatan diantara mereka. "Ouwsiocia.....
atau engkau lebih senang kusebut adik?" "Sebut saja namaku Soan
Cu." "Bagus! Kau hebat! Soan Cu kau percayalah, aku Kwee Lun bukanlah
seorang yang berarti palsu. Engkau tidak akan kecewa menaruh kepercayaan
kepadaku dan sudi menerima uluran tangan persahabatan dariku. Aku akan
berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencari Ayahmu itu. Siapakah nama
beliau?" "Ayahku bernama Ouw Sian Kok, tokoh besar dari Pulau Neraka
yang sudah belasan tahun meninggalakn Pulau Neraka." Tiba‐tiba Kwee Lun
memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah agak pucat,
bibirnya bergetar ketika dia menegaskan. "Pu.... Pulau..... Neraka?" Soan Cu
tersenyum. "Apakah kau masih mau menganggap aku sahabat setelah kau
tahu aku adalah seorang gadis dari Pulau Neraka?" "Eh‐eh, jangan salah
paham, Soan Cu. Aku..... hanya terkejut sekali mendengar ada pulau yang
namanya seperti itu. Pernah guruku, Lam‐hai Sengjin mengatakan bahwa di
dalam dongeng yang tersebar diantara kaum kang‐ouw, terdapat sebutan
dua pulau. Pertama adalh Pulau Es....." "Tempat tinggal Sin Liong dan Swat
Hong!" "Benar, dan aku sudah merasa bahagia bukan main telah bertemu
dengan seorang puteri Pulau Es. dan Ke dua, menurut Suhu adalah pulau yng
tentu tidak pernah ada dan hanya ada dalam dongeng, adalah Pulau
Neraka........" "Bukan dongeng. Akulah gadis Pulau Neraka." Ouw Soan Cu lalu
menceritakan dengan singkat keadaan Pulau Neraka, juga tentang ayahnya
yang minggat dari pulau ketika ibunya tewas melahirkan dia. "Ah, kasihan
sekali engkau, Soan Cu." "Ayahku yang patut dikasihani." "Tidak! Ayahmu
telah melakukan hal yang amat keliru. Perbuatannya lari dari Pulau Neraka
itu jelas membayangkan betapa ayahmu hanyalah mngingat akan dirinya
sendiri saja." "Kwee Lun! Apa yang kaukatakan ini? kau berani menghina
nama ayah di depanku?" Soan Cu melotot marah. "Maaf, Soan Cu. Aku sama
sekali tidak menghina siapa pun. Aku hanya bicara berdasarkan kenyataan.
Ibumu meninggal duni ketika melahirkanmu, apakah beliau itu salah? Engkau
sendiri yang dilahirkan dan kelahiran itu mengakibatkan kematian ibumu,
apakah engkau pun bersalah? Tentu saja tidak! Mendiang ibumu dan engkau
sama sekali tidak bersalah dan kematian itu adalah suatu hal yang wajar,
yang sudah semestinya dan lumrah karena hidup dan mati hal yang biasa.
Akan tetapi ayahmu. Beliau malah lari meninggalkan pulau, meninggalkan
PART 351
anaknya yang baru terlahir! Apakah perbuatan ini harus kubenarkan saja?
Kalau aku berbuat demikian, berarti aku bukan membenarkan secara jujur,
melainkan menjilat untuk menyenangkan hatimu." Lenyap kemarahan Soan
Cu. Dia menunduk. "kau aneh, Kwee‐toako, aneh dan terlalu terus terang.
Habis andaikata benar seperti yang kau katakan bahwa Ayah terlalu
mementingkan diri sendiri apakah aku, sebagai anaknya tidak boleh mencari
Ayahku?" "Bukan begitu, Soan Cu. Tentu saja engkau harus mencari Ayahmu
dan aku akan membantumu sampai kita berhasil menemukan Ayahmu.
Mudah‐mudahan saja kita akan berhasil karena harus diakui betapa akan
sukarnya mencari seorang yang tidak kita ketahui berada di mana. Akan
tetapi aku percaya bahwa kalau memang Ayahmu yang telah pergi selama
belasan tahun itu berada di daratan, sebagai seorang tokoh besar, tentu ada
orang kang‐ouw yang mengetahuinya." Demikanlah, kedua orang muda ini
melakukan perjalanan bersama dan makin eratlah hubungan diantara
mereka. Dalam diri masing‐masing mereka menemukan sahabat yang cocok
kepribadian yang serasi dengan watak masing‐masing, terbuka, jujur dan
tidak bisa bermanis‐manisan muka. Soan Cu mulai tertarik sekali kepada
pemuda tinggi besar yang tampan, jujur, jenaka dan biarpun kelihatan kasar,
namun ternyata pandai bernyanyi dan membaca sajak‐sajak indah. Di lain
pihak, Kwee Lun juga tertarik sekali oleh pribadi Soan Cu, seorang gadis yang
kadang‐kadang kelihatan liar dan ganas, tidak pernah menyembunyikan
perasaan, namun kadang‐kadang begitu lembut dan penuh sifat keibuan.
makin akrab hubungan mereka, makin terobatlah hati yang tadinya luka oleh
asmara. Kwee Lun mulai dapat melupakan Swat Hong yang dikaguminya,
sedangkan Soan Cu mulai dapat melupakan Sin Liong. Kwee Lun bersama
Soan Cu melakukan penyelidikan sampai jauh ke barat, karena dia
mendengar dari seorang tokoh Kangouw bahwa nama Ouw Sian Kok pernah
muncul dibarat. Akan tetapi, pada waktu mereka melakukan perjalanan ke
barat untuk mencari jejak tokoh Pulau Neraka itu, keadaan sudah kacau
balau oleh perang dan arus manusia ke barat amat banyak. Kedua orang
muda itu terbawa harus manusia dan mereka pun seperti dua orang yang
sedang mengungsi ke barat. Ketika mendengar bahwa rombongan Kaisar
yang melarikan diri berada di depan, mendengar pula tentang kematian selir
terkenal Yang Kui Hui bersama kakaknya yang menjadi perdana menteri,
Kwee Lun berkata kepada temannya, "Soan Cu, mari kita melihat keadaan
Kaisar. Aku tidak mencampuri urusan perang, akan tetapi siapa tahu,
rombongan keluarga bangsawan tertinggi yang melarikan itu akan menarik
perhatian orang‐orang kang‐ouw, termasuk Ayahmu." Seperti biasa selama
melakukan perjalanan bersama, Soan Cu hanya menyetujui karena dia
sendiri tidak tahu apa‐apa. Hanya mengharapkan untuk bertemu dengan
ayahnya mulai menipis karena sampai saat itu belum juga ada keterangan
yang jelas dan meyakinkan tentang diri ayahnya. Malam itu mereka dapat
menyusul rombongan Kaisar yang berada dalam keadaan berduka setelah
terjadi peristiwa pembunuhan Yang Kui Hui karena Kaisar selalu murung dan
berduka sekali. Dan seperti diceritakan di bagian depan, pada malam itu
PART 352
terjadi lagi peristiwa hebat yang menimpa rombongan Kaisar, ketika Bu Swi
Nio dan Liem Toan Ki diam‐diam menyelinap ke dalam temapat penginapan
dan hendak membunuh Kaisar akan tetapi salah masuk dan sebaliknya
membunuh seorang pangeran muda. Ketika Soan Cu dan Kwee Lun melihat
dua orang muda yang dengan gagah perkasa mengamuk dan dikepung ketat
oleh para pengawal, telah menderta luka‐luka namn masih terus mengamuk
hebat, Kwee Lun menjadi kagum dan berbisik, "Melihat gerakannya, pemuda
gagah itu tentu murid Hao‐san‐pai adalah orang gagah, pendekar sejati, maka
sepatutnya kita menolong mereka." Soan Cu mengangguk."Memang tidak adil
sekali dua orang dikeroyok puluhan orang perajurit seperti itu. Gadis itu pun
gagah dan cantik. Mari, Toako, kita bantu mereka meloloskan diri." Mereka
lalu melayang turun dari atas pohon dari mana mereka tadi mengintai, dan
tak lama kemudian gegerlah para pengeroyok ketika dua orang muda ini
menyerbu dari luar kepungan dan merobohkan para pengeroyok dengan
amat mudahnya. Kwee Lun tidak mencabut pedangnya, melainkan
menggunakan kedua tangannya yang kuat menangkapi dan melemparlemparkan
pengawal yang menghadang di depannya, sedangkan Soan Cu
mengamuk dengan cabuk berduri di tangan kri dan sebatang pedang di
tangan kanan. Gerakan dara ini bukan main ganasnya, cambuknya meledakledak
dan setiap ledakan disusul robohnya seorang pengeroyok, pedangnya
membuat gerakan cepat sehingga tampak sinar bergulung‐gulung yang
merontokan semua senjata lawan. "Harap Ji‐wi mundur dan cepat lari, biar
kami menahan mereka!" kata Kwee Lun sambil menggerakkan sikunya yang
kuat merobohkan seseorang pengawal yang menerjangnya dari belakang.
"Terima kasih atas bantuan Ji‐wi (Anda Berdua)!" seru Liem Toan Ki dengan
girang karena dia khawatir sekali akan keadaan kekasihnya. Sambil
menggerakkan pedang , mereka lalu mundur dan membuka jalan darah,
merobohkan mereka yang berani menghadang dan karena kini para
pengawal itu dikacaukan oleh Kwee Lun dan Soan Cu, tidak sukar bagi Swi
Nio dan Toan Ki untuk meloloskan diri dari kepungan yang sudah terpecah
belah itu. Setelah melihat dua orang itu menghilang, Kwee Lun juga mengajak
Soan Cu meninggalkan gelanggang pertempuran dan menghilang di dalam
gelap, mengejar bayangan dua orang yang mereka tolong itu. Menjelang pagi,
Soan Cu dan Kwee Lun melihat dua orang yang ditolongnya tadi sedang
menanti mereka di luar sebuah hutan besar. Melihat dua orang penolong
mereka, Swi Nio dan Toan Ki cepat maju dan memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk. "Banyak terima
kasih kami haturkan atas bantuan Ji‐wi yang mulia," kata Toan Ki. "Kalau
tidak mendapat bantuan Ji‐wi, tentu kami berdua telah tewas di tangan para
pengawal Kaisar itu." "Ah, diantara kita, bantu membantu merupakan hal
yang sudah sewajarnya," jawab Kwee Lun. "kami sendiri juga mengharapkan
bantuan Ji‐wi." "Bantuan apa? Kami akan bergembira sekali kalau dapat
membantu Ji‐wi," seru Liem Toan Ki yang telah merasa berhutang budi.
"Kami berdua sedang mencari seorang tokoh bernama Ouw Sian Kok, tokoh
dari Pulau Neraka. Barangkali Ji‐wi dapat membantu kami di mana adanya
PART 353
Ouw‐locianpwe itu?" Kaget juga Swi Nio dan Toan Ki mendengar disebutnya
Pulau Neraka, mereka saling pandang dan menggelengkan kepala. "Sayang,
kami sendiri belum pernah mendengar nama Ouw Sian Kok dari Pulau
Neraka. Akan tetapi kami akan membantu sekuat tenaga. Di manakah adanya
beliau yang terakhir kalinya, dan apakah Ji‐wi sudah mendapatkan jejaknya?"
"Itulah sukarnya. Kami tidak tahu beliau berada di mana maka
mengharapkan keterangan dari orang‐orang kang‐ouw." "Kalau begitu, mari
Ji‐wi ikut dengan kami ke timur. Saya kira, mencari seorang tokoh besar di
dunia kangouw akan bisa kita dapatkan keterangan selengkapnya di sekitar
kota raja. Apalagi sekarang, setelah perjuangan An Lu Shan ***‐ciangkun
berhasil, tentu banyak tokoh kang‐ouw muncul di kota raja dan kita dapat
bertanya‐tanya kepada mereka." "Akan tetapi kabarnya di sana terjadi
perang, bahkan banyak orang mengungsi ke Secuan." Toan Ki tersenyum.
"Jangan khawatir, kami berdua adalah orang‐orang dalam! Kami berdua
bekerja untuk An‐taiciangkun, maka kami mempunyai banyak kenalan di
sana. Sekarang Tiang‐an telah diduduki, dan agaknya keadaan tentu telah
aman kembali. " Mereka bercakap‐cakap dan terdapatlah kecocokan di
antara mereka. Juga Soan Cu menjadi akrab dengan Swi Nio. Gadis Pulau
Neraka yang masih hijau ini senang sekali mendengar penuturan Swi Nio
yang sudah berpengalaman, sebaliknya Swi Nio juga kagum terhadap dara
cantik yang ternyata adalah seorang dari Pulau Neraka yang hanya dikenal
dalam dongeng, kagum menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Soan Cu
tadi dan jug ngeri menyaksikan senjata‐senjata yang ampuh dan ganas itu.
Berangkatlah mereka berempat, kembali ke timur menuju ke Tiang‐an, kota
raja pertama yang telah terjatuh ke tangan An Lu Shan. Setelah berhasil
menduduki Lok‐yang ibu kota kedua itu melalui pertempuran yang seru, An
Lu Shan memimpin pasukan intinya menuju ke Tiang‐an. Kembali dia harus
menghadapi perlawanan gigih di Lembah Tung Kuan, akan tetapi setelah
lembah ini didudukinya, pasukan‐pasukan terus menekan dan bergerak
menuju ke Tiang‐an. Demikianlah, Tiang‐an, ibu kota yang megah itu, diserbu
dan didudukinya dengan amat mudah, hampir tidak ada perlawanan sama
sekali. Hal ini adalah karena banyak kaki tangan dan mata‐matanya yang
dipimpin oleh Ouwyang Cin Cu dan The Kwat Lin, telah lebih dulu melakukan
kekacauan‐kekacauan sehingga melemahkan pertahanan, juga Kaisar
melarikan diri meninggalkan kota raja Tiang‐an, hal ini membuat para
pasukan penjaga menjadi kehilangan semangat dan sebagian besar di anatara
mereka menyatakan takluk tanpa melalui peperangan yang lama, ada pula
yang melarikan diri menyusul rombongan Kaisar ke barat. Seperti biasa
terjadi di waktu perang, dari jaman dahulu sebelum sejarah tercatat sampai
sekarang, akibat‐akibat yang mengerikan terjadi dan menimpa diri pihak
yang kalah perang. Demikian pula nasib para bangsawan di kota raja yang
tidak sempat melarikan diri. Banyak orang dibunuh hanya oleh tudingan jari
tangan orang lain yang memfitnahnya, mengatakan bahwa orang itu adalah
mata‐mata pemrintah. Mayat bergelimpangan di sepanjang jalan dan
anggauta‐anggauta pasukan pemberontak yang menang perang itu berpesta
PART 354
pora mengangkuti harta benda dan wanita dari pihak yang kalah. Jerit tangis
wanita‐wanita yang dipaksa dan diperkosa, membumbung tinggi ke angkasa,
bercampur baur dengan sorak dan tawa kemenangan. Dan An Lu Shan,
seorang yang ahli dalam hal memimpin pasukan, sengaja membiarkan saja
hal itu terjadi agar darah yang bergolak di dada para anak buahnya dapat
diredakan. Beberapa hari kemudian, setelah anak buahnya sepuas‐puasnya
dan sekenyang‐kenyangnya mengganggu wanita dan merebutkan harta
benda yang ditinggal lari, barulah muncul perintah yang melarang perbuatan
seperti itu. Namun An Lu Shan juga tidak melupakan janji‐janjinya kepada
para pembantunya yang telah berjasa. Dengan royal dia lalu membagibagikan
pangkat, gedung bekas tempat tinggal para bangsawan yang
melarikan diri atau terbunuh, membagi‐bagikan harta benda dan para puteri
cantik yang menjadi tawanan. Maka selama beberapa bulan lamanya
berpesta poralah para kaki tangan An Lu Shan yang menerima hadiah‐hadiah
itu. Tentu saja An Lu Shan lebih lagi memperhatikan para pembantu yang
tangguh dan yang masih diharapkan bantuan mereka. Kepada mereka ini dia
memberi hadiah yang lebih besar lagi. Dia tidak mengingkari janjinya
terhadap para pembantu yang berjasa besar seperti The Kwat Lin bekas Ratu
Pulau Es itu, maka setelah Tiang‐an diduduki, putera The Kwat Lin yang
bernama Han Bu Ong lalu diberi anugerah pangkat pangeran! The Kwat Lin
sendiri diangkat menjadi seorang panglima pengawal, sedangkan Ouwyang
Cin Cu diangkat menjadi koksu (guru penasihat negara). Dapat dibayangkan
betapa girangnya hati The Kwat Lin. Cita‐citanya tercapai, puteranya telah
menjadi pangeran dan kalau dia pandai mengatur kelak siapa tahu terbuka
kesempatan bagi para puteranya untuk menjadi Kaisar! Tidaklah
mengherankan apa yang terkandung dalam hati The Kwat Lin sebagai citacita
ini. Sudah lajim bagi kita manusia di dunia ini untuk selalu menjadi
hamba dari cita‐cita kita sendiri. Seluruh kehidupan ini seolah‐olah dikuasai
dan diatur oleh cita‐cita kita masing‐masing. Kita tenggelam dalam khayal
dan cita‐cita, tidak tahu betapa cita‐cita amatlah merusak hidup kita . Citacita
membuat pandang mata kita selalu memandang jauh ke depan penuh
harapan untuk mencapai sesuatu yang kita cita‐citakan. Pandang mata yang
selalu ditujukan ke masa depan yang belum ada ini, tangan yang
dijangkaukan ke depan untuk selalu mengejar apa yang belum kita miliki
membuat kita hidup seperti dalam bayangan. Kita tidak mungkin dapat
menikmati hidup, padahal hidup adalah saat demi saat, sekarang ini, bukan
masa depan yang merupakan bayangan khayal atau masa lalu yang sudah
mati. Sekali kita menghambakan diri kepada cita‐cita, selama hidup kita akan
terbelenggu oleh cita‐cita karena tidak ada cita‐cita yang dapat terpenuhi
sampai selengkapnya, dan kita terseret ke dalam lingkaran ***** yang tak
berkeputusan. Mendapat satu ingin dua, memperoleh dua mengejar tiga dan
selanjutnya, itulah cita‐cita! Dan semua itu akan kita kejar terus sampai
kematian merenggut kehidupan kita, bahkan di ambang kubur sekali pun di
waktu mendekati kematian, kita masih terus di cengkeram cita‐cita, yaitu
cita‐cita untuk masa depan sesudah mati! Betapa mungkin kita dapat
PART 355
menikmati hidup ini kalau mata kita selalu memandang masa datang yang
belum ada? Sebaliknya, orang yang bebas dari cita‐cita, bebas dari masa lalu
dan masa depan, dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Demikian pula
dengan The Kwat Lin. Cita‐citanya tercapai dengan diangkatnya puteranya
menjadi pangeran, akan tetapi sudah habis di situ sajakah citacitanya? Sama
sekali belum! jauh dari pada cukup atau habis! Bahkan cita‐cita barunya yang
lebih hebat baru saja dia mulai, yaitu cita‐cita melihat puteranya menjadi
kaisar! Karena cita‐cita ini, maka keadaannya pada saat itu tidak terasa
membahagiakan, bahkan terasa amat kurang. Hanya pangeran! hanya
panglima pengawal! Jauh dibandingkan dengan puteranya menjadi kaisar
dan dia menjadi ibu suri! Banyak orang membantah, mengatakan bahwa citacita
mendatangkan kemajuan, tanpa cita‐cita kita tidak akan maju. Apakah
cita‐cita itu? Apakah kemajuan itu? Cita‐cita adalah keinginan akan sesuatu
yang belum terdapat oleh kita. Dan keinginan seperti ini merupakan
dorongan nafsu yang tak mengenal kenyang, makin dituruti makin lapar dan
haus, menghendaki yang lebih. Dan akhirnya akan sukar dibedakan lagi
dengan ketamakan, kerakusan yang mendatangkan pertentangan,
permusuhan dan kesengsaraan. Dan apakah kemajuan itu? Sudah menjadi
pendapat umum bahwa kemajuan adalah keduniawian, harta benda,
kedudukan, nama besar. Apakah "kemajuan" seperti ini mendatangkan
kebahagiaan" hanya mereka yang telah memiliki nama terkenal saja yang
mampu menjawab, dan jawabannya pasti TIDAK! Bahkan sebaliknya malah.
makin banyak kedudukan atau nama besar, makin ketat kita melekat kepada
duniawi, makin banyak pula kesengsaraan hidup yang kita derita berupa
kekecewaan, pertentangan dan kekhawatiran. karena yang sudah pasti saja,
hanya mereka yang masih memiliki lahir batin yang akan kehilangan! Dan
kehilangan berarti kekecewaan, kedukaan dan sebelumnya terjadi
kehilangan, kita digerogoti kekhawatiran. Akan tetapi pada waktu itu tidak
nampak seorang pun karena pada waktu itu, rakyat penghuni ibu kota
sedang dicengkeram ketakutan hebat. Seperti biasa setelah perang berakhir,
rakyat yang menjadi sasaran mereka yang memperoleh kemenangan. Para
anggauta pasukan baru berkeliaran keluar masuk perkampungan, keluar
masuk rumah orang seperti rumahnya sendiri, bahkan tidak jarang terjadi
mereka memasuki kamar tidur orang seperti memasuki kamar tidur sendiri
sambil menyeret nyonya rumah yang masih muda atau anak gadis mereka!
Seperti para atasannya yang mengadakan pesta besar‐besaran, kaum
rendahan juga berpesta dengan gayanya tersendiri. Seperti biasanya pula,
penduduk hanya pandai menangis dan mengeluh mengadu kepada Thian
sebagai hiburan satu‐satunya. Menjelang tengah malam, pesta masih amat
ramai. Ouwyang Cin Cu sebagai seorang yang berkedudukan tinggi sekali
sekarang, seorang koksu, datang juga hanya sekedar memberi selamat dan
tidak tinggal lama. Akan tetapi para pengawal baru, tentu saja mereka yang
berpangkat perwira ke atas, masih berpesta pora karena memang The Kwat
Lin ingin mengambil hati para rekannya ini yang kelak dia harapkan bantuan
mereka. Bahkan ketika para tamu orang penting sudah meninggalkan tempat
PART 356
pesta dalam keadaan setengah mabok dan tempat itu mulai sepi, The Kwat
Lin masih menahan para pembesar pengawal yang jumlahnya belasan orang
itu untuk diajak berunding mengenai tugas mereka yang baru sebagai
pengawal‐pengawal istana, bahkan mereka merupakan dewan pimpinannya.
Lewat tengah malam, para tamu sudah pulang dan yang tinggal hanyalah
empat belas orang pimpinan pengawal yang kini dijamu dan diajak
berunding di ruangan dalam, adapun ruangan luar tempat pesta mulai
dibersih‐bersihkan oleh sejumlah pelayan yang kelihatan lelah dan
mengantuk. Pada saat itulah berkelebat bayangan tiga orang. Para pelayan
yang membersihkan tempat bekas pesta itu hanyalah melihat bayangan
berkelebat dan tahu‐tahu di tempat itu kelihatan dua orang wanita cantik
dan seorang laki‐laki gagah sudah berdiri dengan sikap angker! Tentu saja
para pelayan terkejut sekali dan mengira bahwa orang‐orang aneh yang
bergerak amat cepatnya ini tentulah sahabat majikan mereka yang juga
terkenal lihai bukan main, maka seorang di antara mereka menyambut
sambil menjura dan berkata, "Sam‐wi yang terhormat agak terlambat karena
pesta telah bubar." "Kami tidak ingin pesta," jawab wanita yang setengah tua
dengan sikap keren. "Kami ingin berjumpa dengan majikan kalian." Melihat
sikap yang keren penuh wibawa ini, para pelayan menjadi gentar dan dua
orang di antara mereka cepat memasuki ruangan dalam di mana The Kwat
Lin sedang mengadakan perundingan dengan rekanrekannya. Diam‐diam
wanita itu, Liu Bwee, memberi isyarat dengan matanya kepada Swat Hong,
puterinya. Swat Hong mengangguk dan dengan gerakan yang amat cepat
dara ini sudah meloncat dan menyelinap lenyap dari situ, sedangkan ibunya
dan Ouw Sian Kok sudah menerjang ke dalam ruangan ketika melihat
pelayan tadi pergi melapor. Baru saja dua orang pelayan itu memasuki
ruangan dalam dan belum sempat mengeluarkan kata‐kata, pintu telah
terbuka lebar dan Liu Bwee bersamaa Ouw Sian Kok telah menerjang ke
dalam. "Heiii! Siapa....!!" Bentakan The Kwat Lin terhenti dan wajahnya
berubah pucat ketika dia melihat munculnya wanita yang tentu saja amat
dikenalnya itu. Dia menjadi pucat ketakuan karena mengira bahwa bekas
suaminya, Han Ti Ong Raja Pulau Es yang amat ditakutinya itu muncul. Akan
tetapi ketika melihat bahwa laki‐laki yang datang bersama Liu Bwee itu
bukanlah Han Ti Ong, hatinya menjadi lega dan dengan tabah dia meloncat ke
depan, dua kali menendang membuat dua orang pelayannya terlempar
keluar ruangan, kemudian menghadapi Liu Bwee sambil tersenyum
mengejek. "Aih, kiranya wanita buangan yang datang mengacau dan
mengantarkan nyawa!" bentaknya. "Perempuan hina yang berhati iblis!
engkau telah menerima budi kebaikan dari suamiku, mengangkatmu dari
lembah kehinaan ke tempat mulia, malah membalasnya dengan khianat!
Engkau dan anak harammu itu harus mampus di tanganku!" "Mulut busuk!"
The Kwat Lin balas memaki dan sekali tanganya bergerak, tampak sinar
merah dari Pedang Ang‐bwe‐kiam di tangan kananya, kemudian tanpa
menanti lagi, sinar merah itu sudah meluncur ke depan menyerang Liu Bwee.
PART 357
sambil memandang Ouw Sian Kok yang telah menangkis pedangnya dengan
sebatang pedang di tangan, tangkisan yang membuat lengannya tergetar,
tanda bahwa laki‐laki yang datang bersama Liu Bwee ini memiliki
kepandaian tinggi pula. "Siapa engkau?" Bentaknya, sementara para
rekannya, empat belas orang perwira dan panglima pengawal, telah
mencabut senjata masing‐masing dan mengurung, menanti saat bantuan
mereka diperlukan oleh The Kwat Lin. Ouw Sian Kok yang mengerti bahwa
dia bersama Liu Bwee dan Han Swat Hong telah memasuki guha harimau dan
berada dalam ancaman bahaya besar, sengaja mengulur waktu untuk
memberi kesempatan kepada Swat Hong yang oleh ibunya ditugaskan
menyelinap ke dalam istana untuk mencari dan merampas kembali pusakapusaka
Pulau Es, karena hanya dengan jalan demikian saja kiranya
pusakapusaka itu dapat dirampas kembali. Dia tertawa dan mengelus
jenggotnya, seadngkan Liu Bwee siap dan berdiri saling membelakangi
punggung dengan Ouw Sian Kok, maklum bahwa mereka tentu akan
menghadapi pengeroyokan dan karenanya harus dapat saling melindungi.
"Ha‐ha‐ha! engkau tanya siapa aku? Aku pun seorang buangan! namaku Ouw
Sian Kok dari Pulau Neraka!" Mendengar ini The Kwat Lin diam‐diam merasa
terkejut dan heran juga. Dia sudah mendengar dari bekas suaminya, Raja
Pulau Es, bahwa para buangan di Pulau Neraka bukanlah orang‐orang
sembarangan, bahkan banyak di antara mereka memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Akan tetapi karena dia percaya akan kepandaiannya sendiri, juga
merasa aman berada di antara para pengawal dan lebih lagi berada di dalam
istananya di kota raja, dia memandang rendah. "Huh, kiranya adalah buangan
rendah dan hina dari Pulau Neraka." Ouw Sian Kok yang ingin mengulur
waktu, kembali tertawa untuk mengalihkan perhatian The Kwat Lin. "Ha‐haha!
Biarpun kami para penghuni Pulau Neraka adalah orang‐orang buangan,
namun kiranya sukar dicari seorang pun di antara kami yang memiliki watak
rendah untuk mengkhianati orang yang telah menolong dan melimpahkan
kebaikan kepada kami seperti yang dilakukan olehmu, The Kwat Lin!"
"Manusia hina! Mampuslah!!" "Sing‐sing‐singggg....!!" Ouw Sian Kok maklum
akan kelihaian wanita ini, maka cepat ia mengelak, menangkis dan membalas
menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya, dan
mengeluarkan ilmu‐ilmu simpanannya. Terjadilah duel yang amat hebat di
antara kedua orang berilmu tinggi ini. Melihat betapa Ouw Sian Kok yang
memang seperti direncanakan harus menghadapi The Kwat Lin lihai, Liu
Bwee cepat memutar pedangnya dan menghadapi pengeroyokan belasan
orang pengawal itu. Pedangnya bergerak dahsyat sekali, dan dalam sepuluh
jurus saja dia telah merobohkan dua orang pengawal. yang lain tetap
mengepungnya karena tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani
membantu The Kwat Lin, melihat betapa bayangan wanita itu dan bayangan
lawannya lenyap menjadi satu digulung oleh sinar pedang mereka. Mulai
cemas rasa hati The Kwat Lin ketika mendapatkan kenyataan bahwa Ouw
Sian Kok merupakan lawan yang berat dan seimbang dengannya. Sedangkan
PART 358
mengimbangi amukan Liu Bwee sehingga berturut‐turut roboh pula
beberapa orang di antara mereka! "Cari bantuan dari benteng!" Terpaksa The
Kwat Lin berteriak keras dan mendengar ini, seorang di antara para
pengawal itu segera lari keluar untuk minta bala bantuan. Melihat gelagat
yang berbahaya ini, Ouw Sian Kok menjadi khawatir juga. Mengapa Swat
Hong belum juga kembali? "Lekas robohkan mereka dan bantu aku
mengalahkan dia ini!" Katanya kepada Liu Bwee ketika melihat betapa Liu
Bwee tidak begitu sukar untuk mendesak para pengeroyoknya. Liu Bwee
maklum pula akan kelihaian The Kwat Lin dan tahulah dia bahwa betapapun
lihainya Ouw Sian Kok, menghadapi wanita itu amat sukar untuk mencapai
kemenangan. Maka dia memutar pedangnya makin cepat, merobohkan lagi
tiga orang. Pada saat itu, berkelebat bayangan yang gesit dan tampaklah Swat
Hong yang membawa sebatang pedang dan di punggungnya tampak sebuah
buntalan kain sutera merah. "Ibu, aku berhasil....!" teriakan sambil menerjang
maju merobohkan dua orang pengeroyok ibunya. Melihat ini, The Kwat Lin
menjadi marah sekali. Maklumlah dia bahwa dia kena diakali dan dia dapat
menduga apa isi buntalan sutera merah itu, sutera merah yang amat
dikenalnya. Pusaka‐pusaka Pulau Es telah berada di tangan Swat Hong!
"Bedebah! Kembalikan pusaka‐pusaka itu!" bentaknya dan tubuhnya secara
tiba‐tiba sekali mencelat ke arah Swat Hong, pedangnya menusuk
tenggorokan tangan kirinya meraih ke arah punggung. "Trangggg....!" Liu
Bwee yang menangkis pedang The Kwat Lin, terhuyung dan hampir roboh,
Seorang pengawal menubruknya akan tetapi pengawal itu terlempar dengan
dada pecah karena ditendang oleh Liu Bwee, sedangkan Swat Hong sudah
dapat menangkis pedang The Kwat Lin yang kembali menyerangnya. Ouw
Sian Kok sudah meloncat pula dan menerjang The Kwat Lin sehingga kembali
mereka bertanding dengan hebat . "Hong‐ji, kauselamatkan dulu pusakapusaka
itu!" tiba‐tiba Liu Bwee berteriak kepada puterinya. "Kita akan cepat
menyusul pergi!" kata pula Ouw Sian Kok kepada Swat Hong. Swat Hong yang
melihat bahwa jumlah pengawal tinggal hanya tinggal lima orang dan mereka
bukanlah lawan berat bagi ibunya, sedangkan Ouw Sian Kok juga dapat
menahan Kwat Lin, mengangguk dan sekali berkelebat dia meloncat ke luar.
"Tahan dia.....! Jangan larikan pusaka Pulau Es....!" Kwat Lin berteriak marah
akan tetapi dia tidak dapat mengejar karena sinar pedang Ouw Sian Kok
menghalanginya dengan serangan‐serangan dahsyat. Terpaksa dia
mengerahkan tenaganya untuk mendesak Ouw Sian Kok dan dalam
kemarahan yang amat hebat ini tenaga The Kwat Lin bertambah sehingga
Ouw Sian Kok berseru kaget dan mundur karena pundak kirinya berdarah,
terluka sedikit kena diserempet sinar pedang kemerahan. Ketika Swat Hong
berlari cepat sekali keluar, dia terkejut setengah mati melihat sepasukan
pengawal berbondong datang memasuki istana itu dari pintu luar, bersenjata
lengkap, dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu! Bingunglah dia. Pusaka
memang harus diselamatkan, akan tetapi betapa mungkin dia meninggalkan
ibunya yang terancam bahaya maut? Selagi dia meragu dan mengintai dari
tempat bersembunyi, tiba‐tiba dia melihat berkelebatnya bayangan empat
PART 359
orang, dan ketika dia mengenal dua orang di antara mereka adalah Kwee Lun
dan Soan Cu, dia menjadi girang sekali. Cepat dia meloncat keluar, berseru
lirih, "Kwee‐toako! Soan Cu....!!" Soan Cu dan Kwee Lun terkejut dan berhenti,
juga Swi Nio dan Liem Toan Ki yang datang bersama mereka. Ketika melihat
bahwa orang yang muncul dari balik pohon di luar istana itu adalah Swat
Hong, Kwee Lun menjadi girang sekali, akan tetapi Soan Cu cemberut.
Bagaimana hatinya dapat merasa girang bertemu dengan dara yang
menimbulkan iri di hatinya dahulu itu? Akan tetapi, Swat Hong yang girang
sekali tentu saja tidak dapat melihat wajah cemberut di tempat yang remangremang
itu, maka cepat dia berkata, "Soan Cu, Ayahmu berada di dalam,
bersama ibuku, sedang dikepung para pengawal." Seketika pucat wajah Soan
Cu dan dia memandang bengong, sampai lama baru dapat berkata gagap, "A....
Ayah.... ku....?" "Benar! Kita harus membantunya," kata lagi Swat Hong. "Kalau
begitu tunggu apa lagi? mari kita membantu orang tua kalian!" Kwee Lun
berkata. "Nanti dulu.... siapakah dua orang ini?" Swat Hong bertanya sambil
menuding kepada Swi Nio dan Liem Toan Ki. "Namaku Bu Swi Nio, Adik Han
Swat Hong. Aku sudah mendengar namamu dari kedua saudara ini dan aku
merasa kagum sekali. Ketahuilah bahwa aku dahulu adalah murid The Kwat
Lin, akan tetapi sekarang aku hendak mencari dan membunuhnya." Swi Nio
berkata penuh semangat. "Dan aku tadinya mata‐mata Jenderal An Lu Shan,
akan tetapi aku berjuang bukan untuk mencari pangkat, melainkan untuk
membalas dendam. Sekarang aku hendak membantu dia....eh, tunanganku ini
untuk menghadapi The Kwat Lin." Tiba‐tiba Swat Hong bergerak maju, kedua
tangannya bergerak cepat sekali, yang kanan menyerang ke arah leher Liem
Toan Ki, sedangkan yang kiri menotok ke arah dada Swi Nio. "Eiihhh...."
"Haiiiittt......!" Toan Ki Dan Swi Nio yang terkejut sekali cepat mengelak,
namun tetap saja mereka terhuyung dan hampir jatuh terdorong sambaran
kedua tangan Swat Hong. "Eh‐eh.... apa yang kaulakukan itu?"
Kwee Lun dan Soan Cu menegur heran dan juga marah. "Aku hanya menguji
mereka. Maafkan aku, Enci Swi Nio dan Liem‐toako. Melihat tingkat
kepandaian kalian, lebih baik kalian tidak ikut masuk. Musuh amat kuat, dan
ada tugas yang lebih penting lagi bagi kalian, kalau benar kalian suka
membantu kami dari Pulau Es." Swi Nio dan Toan Ki yang tadinya terkejut
dan marah, menjadi lega bahwa kiranya gadis yang amat lihai itu hanya
menguji mereka. Biarpun ucapan itu merendahkan tingkat kepandaian
mereka, namun harus mereka akui bahwa ilmu kepandaian mereka masih
jauh kalau dibandingkan dengan Kwee Lun, Soan Cu, apalagi Swat Hong ini.
"kami berdua siap membantu!" Toan Ki berkata, hampir berbareng dengan
Swi Nio. Tanpa ragu‐ragu lagi karena mengkhawatirkan keadaan ibunya,
Swat Hong melepaskan ikatan buntalan dari punggungnya, menyerahkannya
kepada Toan Ki. Dia lebih percaya kepada Toan Ki daripada kepada Swi Nio,
hal ini karena tadi dia mendengar bahwa Swi Nio adalah bekas murid The
Kwat Lin! "Inilah pusaka kami dari Pulau Es yang seharusnya kuselamatkan.
Akan tetapi karena Ibuku dan Ayah Soan Cu terkurung di dalam, aku harus
membantu mereka dan kuharap kalian suka menyelamatkan pusakapusaka
Share This Thread