PART 166
orang‐orang kang‐ouw, pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam
istana raja‐raja !
Ketika merasa pundaknya sakit dan ketika diliriknya ia melihat pundaknya
sudah dibalut, dan tidak ada rasa kaku maupun gatal tanda bahwa pengaruh
racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan
penolongnya. Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja
ia terjungkal saking lemahnya tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena
nenek itu tetap duduk bersila.
"Locianpwe (Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada
saya orang muda yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi
kebaikan ini."
Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi
mulutnya, gerakan khas wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara
terbuka di depan siapapun juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang
halus dengan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan,
"Saling tolong tidak mengenal tua dan muda, dan akupun tidak bermaksud
menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan membutuhkan
pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, mahluk berjiwa apapun juga yang
terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan tetapi
engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah ***** yang
mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"
"Maaf, Locianpwe, saya kira bukan ***** yang Locianpwe maksudkan. Tentu
Tuhan yang telah melindungi saya..."
"Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan,
terlalu banyak hati ini memohon, terlalu sering mulut ini menyebut, akan
tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada
diriku...." Bukan main pahitnya suara dalam kata‐kata ini dan Kwee Seng
dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup
yang amat luar biasa sehingga hatinya seakan‐akan menjadi beku dan penuh
penyesalan mengapa hidupnya selalu menderita seakan‐akan Tuhan tidak
mempedulikannya. Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti
dan malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walaupun ia
merasa penasaran dan terheran‐heran mengapa seorang nenek tua yang
PART 167
sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, begitu dangkal pandangannya
tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.
"Bolehkah saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?" akhirnya ia
bertanya.
"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah
berada di sini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama
untukku. Sipa saja terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut
menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan
cekatan, "Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar, untung pada musim seperti
ini, daun kelabang di bawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan suburnya.
Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat
kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih bukan main
lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu
yang duduk bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga
jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentusaja
amat janggal, seorang nenek berbau harum ? Apakah memakai minyak bunga
? Dan mata nenek itu. Bukan main ! Diam‐diam meremang bulu tengkuk
Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih
hidupkah dia ? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka
dimana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang iblis betina ?
Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka
Bumi ! Gerak‐geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi
suaranya begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari
perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada
cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal
mata ini ! Ah, tak mungkin !
Tiba‐tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya
bergema di seluruh ruangan, "Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar
kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab‐kitab
tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara ini menyadarkan Kwee Seng daripada lamunannya. Mengapa ia harus
merasa ngeri ? Manusia maupun *****, nenek itu telah membuktikan niat
PART 168
baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai,
merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan
makanan untuknya. Kitab‐kitab kuno ? Lebih baik melihat‐lihat daripada
duduk menanti orang masak, karena teringat akan masakan, perutnya yang
perih akan makin terasa. Ia bangkit berdiri, menahan napas dan
mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa lemahnya
tubuh, seakan‐akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat
baik, kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini,
tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan
terhuyung‐huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan
terowongan mencari kamar kitab‐kitab itu.
Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum.
Dinding kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri banyak sekali
kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat
tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal ! Sebelum menjadi ahli silat,
Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitabkitab
kuno yang mengandung filsafat‐filsafat berat. Kini melihat kitab kuno
berderet‐deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa
ia akan semua kelemahan tubuhnya, setengah tubuhnya, setengah meloncat
ia mendekati rak buku batu itu dan jari‐jari tangannya gemetar ketika ia
memeriksa judul‐judul buku. Ternyata kitab‐kitab itu adalah kitab‐kitab
mengenai Agama To, sebagian pula merupakan kitab dongeng‐dongeng rajaraja
jaman dahulu, kitab berisi syair‐syair para pujangga kuno. Sampai
bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan.
Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau mengambil sebuah
diantaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab
untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu
kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak dan
gerakan‐gerakan bintang‐bintang.
Yang mula‐mula ia buka dan baca adalah kitab tentang samadhi itu dan
alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu
benar‐benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana
dijelaskan tentang pelbagai ilmu samadhi, cara‐caranya dan segala yang
berhubungan dengan samadhi mengenai peredaran jalan darah, pernapasan
dan lain‐lain. Ia pernah melatih diri bersamadhi untuk melatih lwee‐kang dan
memperkuat sin‐kangnya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu
amatlah dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini.
Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai
harganya, Kwee Seng membawa kitab Samadhi dan Perbintangan itu keluar
dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapapun juga, ia harus
PART 169
minta ijin dulu dari Si Pemilik Kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata
wanita itu bukan sembarang orang ! Dengan memiliki kitab‐kitab seperti ini,
jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi !
Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya
nama, bahkan minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya !
Ia sedang tekun membalik‐balik lembaran kitab Samadhi ketika nenek itu
yang muncul membawa mangkok‐mangkok batu dengan masakan yang
masih mengebul dan masih menyiarkan bau yang sedap‐sedap aneh. Cepat
Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata, "Mohon maaf
sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu Locianpwe yang
budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia mengambil dua
buah kitab ini. Apabila Locianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua
ini untuk saya baca."
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok‐mangkok masakan
di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab
itu, "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit‐sedikit berlutut seperti
itu. Kita berdua seakan‐akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia
ramai, mengapa harus memakai banyak tatacara yang palsu? Kwee Seng,
duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab‐kitab itu ? Hemm, kitab
tentang Samadhi dan kitab Perbintangan ? Ah, justeru dua kitab itu yang aku
sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimatkalimatnya
amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau
bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng. "Locianpwe amat mulia, terima kasih
atas pemberian ...." "Siapa memberi ? Kitab‐kitab itu sudah berada di sini
sebelum aku lahir ! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan
bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng
tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu
adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur‐sayuran yang berwarna
hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa
malu‐malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan
bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan
hidangan aneh itu.
PART 170
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok
batu, akan tetapi cepat‐cepat Si Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok
adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai
membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi."
Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng mengikutinya,ternyata Neraka
Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang
jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daundaunnya
berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Tidak kekurangan
kayu bakar di situ, agaknya dari kayu‐kayu dan ranting‐ranting yang terbawa
aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana terdapat
sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan
tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali ! Mereka
telah terkurung hidup‐hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu
saja jalan keluar masuk neraka ini ! Untuk memasukinya saja
mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu
deras, agaknya tidak mungkin lagi. Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu
dan duka, akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta,
ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk
menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak
kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti
penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih
terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal‐tebal yang agaknya tak mungkin
dapat habis biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi
?
Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng.
Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi,
setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk‐petunjuk isi kitab,
Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya
cepat pulih kembali, behkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab
itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya
terasa nyaman selalu. Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadangkadang
saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun
menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintangbintang
ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang
ilmu pedangnya Cap‐jit‐seng‐kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) !
PART 171
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu
kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya
yang robek‐robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng
memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau
mengaku namanya maupun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk
mendesak, nenek itu bersungut‐sungut dan menjawab dengan suara kesal.
"Sudahlah, kausebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kausebut
sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?"
Tertegun Kwee Seng kadang‐kadang menyaksikan sikap nenek ini. Begitu
mudah ngambul dan marah, kadang‐kadang diam termenung seperti orang
menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia
menghilangkan panggilan locianpwe dan memanggilnya nenek. Anehnya
kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan
yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu
memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat
bernyala‐nyala dan amat tajam, ia merasa seakan‐akan pernah melihat mata
macam ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi
karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang
nenek yang begini aneh.
Dengan mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak terasa lagi oleh
Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam samadhi dan
memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah
terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari ! Tiga tahun
lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan
kemajuan ilmu silatnya. Tenaga sin‐kangnya hebat sekali sehingga ketika ia
mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air
yang deras untuk beberapa detik ! Dengan latihan‐latihan berdasarkan ilmu
perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk "mendaki" naik
sepanjang dinding tebing yang licin dan keras dengan cara menancapnancapkan
dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor
kelabang !
Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu Si Nenek
memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar‐benar ia merasa
seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri !
Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan
keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu‐sedu !
PART 172
"Kalau kau pergi ... aku... aku mati saja..." Si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa
mendapatkan jalan keluar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini
dan..."
"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai ? Aku mau mati
di sini!"
Kwee Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu.
"Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!"
"Jangan sentuh aku!" Tiba‐tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan
Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang
cukup hebat. Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang
hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu
tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sin‐kang nenek ini
agaknya tidak akan melebihi tenaga sin‐kangnya sendiri. Hal ini amatlah
mengherankan.
"Nenek yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu
bertumpuk‐tumpuk, sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu.
Oleh karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan keluar dan membawamu
di dunia ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek
atau ibu sendiri, dan aku akan berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu
untuk membalas budi..."
"Cukup ! Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan
sikap marah. Kwee Seng duduk terlongong, terheran‐heran. Akan tetapi sikap
nenek itu tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari jalan keluar.
Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur diri
sampai mati di tempat itu ?
PART 173
Tiba‐tiba terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan
menjadi gelap. Cepat‐cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari minyak yang
dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi remang‐remang.
Nenek itu datang berjalan perlahan.
"Suara apakah itu, Nek?" "Hujan ! Agaknya akan datang musim hujan besar.
Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak cahaya matahari, gelap di sini
dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."
"Wah, celaka ! Tentu di sini terendam air, Nek?"
"Jangan kuatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan.
Tak pernah banjir di sini, akan tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum
banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumulkan ikan untuk
bahan makan, juga mengumpulkan sayur."
Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan
mengumpulkan kayu bakar, sayur‐sayur. Kemudian tibalah musim gelap dan
hujan yang dikuatirkan. Air yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi
liar dan besar, batu‐batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan
itu, bergema menakutkan. Lubang di atas melalui tebing‐tebing tinggi itu
tidak dijenguk matahari lagi. Gelap pekat, hanya diterangi lampu minyak
yang hanya kadang‐kadang kalau perlu saja dinyalakan, harus seringkali
dipadamkan, apalagi di waktu mereka tidur, untuk menghemat minyaknya. Si
Nenek tidak marah‐marah lagi. Dalam keadaan terancam itu mereka
seringkali duduk bercakap‐cakap.
Pada hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan,
nenek itu bertanya suaranya halus menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng,
apakah masih ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"
Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat kuatir
ditinggalkan. "Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus
mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar
harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat
pula keluar bersamaku."
PART 174
Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau
lebih tepat melihat matanya, karena wajah nenek yang keriputan itu tak
pernah membayangkan isi hatinya. Akan tetapi matanya dapat
membayangkan. Namun di dalam gelap itu ia hanya menanti, tak dapat
melihat apa‐apa.
"Kwee Seng..." tertahan lagi. "Ya, Nek ? Ada apa ?" "Kau bilang hendak
merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang macam apa
kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di tempat
ini. Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."
Kwee Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita.
Bukankah nenek itu pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula
menceritakan tentang dirinya ? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan.
Agaknya Si Nenek hendak menimbang‐nimbang untuk ia ajak keluar di dunia
ramai !
"Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil.
Aku hidup mengabdi kepada orang‐orang, menjadi buruh tani, menggembala
kerbau. Di dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang
mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta
huruf pun bukan. Lebih senang ilmu silat, itu pun serba tanggung‐tanggung."
"Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu." Bantah Si
Nenek.
"Ah, agaknya mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau
pinjamkan, Nek." Kemudian Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya,
karena makin banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia menganggap
seakan‐akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri. Segala
dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia tumpahkan karena justeru selama ini
ia membutuhkan seorang yang dapat ia ceritakan untuk menumpahkan
semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang‐siauw‐hwa,
kembangnya ******* di see‐ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia bercerita
pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan
PART 175
pertempurannya melawan Pat‐jiu Sin‐ong yang mengakibatkan ia terjungkal
ke dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.
"Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng
mendongkol dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya
sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas !
Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara
yang serak seperti orang menangis.
"Nek, mengapa kau menangis?" "Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng.
Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas kaucinta ? Agaknya... agaknya
lebih patut kau mencinta Ang‐siauw‐hwa."
"Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami
kebahagiaan yang takkan terlupa olehku selamanya bersama Ang‐siauw‐hwa,
walaupun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia
muda..."
"Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi *******, apakah baiknya ? Hina
sekali itu ! Lebih baik mati ! Akan tetapi, apakah... kau dapat mencintanya
andai kata ia tidak mati?"
"Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat ! Dan wataknya... ah,
jauh lebih menyenangkan daripada Liu Lu Sian..."
Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu
terisak‐isak menangis, ia mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu
masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak
menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya,
seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga mendengar semua
penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka ! Akan tetapi setelah lewat
satu jam nenek itu masih saja terisak‐isak, Kwee Seng menjadi kuatir juga.
"Nek, apa kau menangis ? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan
hati, Nek."
PART 176
Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir.
Jangan‐jangan nenek yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena
kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering,
menyalakan pelita. Akan tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin
yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam. Kiranya Si Nenek
meniupnya dari jauh, memadamkan api.
Kwee Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkuatirkan hatiku karena
menangis sejak tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"
Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda,
akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri
telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa
menit kemudian terdengar suara Si Nenek, agak jauh dari tempat ia
berbaring.
"Kwee Seng..." "Ya, Nek. Ada apa?" "Kalau kau keluar dari sini..." berhenti
seakan sukar dilanjutkan. "Ya....?" Kwee Seng mendesak. ".... Aku tidak akan
ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan..." "Ya... ? Permintaan
apa, Nek ? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan
sanggup untuk membalas budi dengan merawatku selamanya?"
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut..."
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama
hidup. Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit.."
"Apa, Nek ? Katakanlah." Hening kembali sampai lama, menegangkan hati
Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek itu.
PART 177
"Ya, Nek ? Bagaimana kehendakmu?" "Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap
ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."
"Ya, betul agaknya. Lalu?" "Selama itu kau tidak boleh mencoba keluar..."
Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya ? Gila benar. Mengapa
bersusah‐susah mengucapkannya ? "Ha‐ha‐ha ! Tentu saja, Nek. Tidak usah
meminta pun bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat
mengamuk?"
"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini dan..." "Ya... ??" Kwee Seng mulai
tidak sabar. ".... dan ... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa ??" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah.
Begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu, saking kagetnya. Ia
terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak
dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat
keluar dari mulutnya hanya, "... apa ...? ?... ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya
kepada telinganya sendiri.
Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu.
"Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau
berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya.
"Apa ?? Gila ini ! Tak mungkin!!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu‐sedu menangis, ditahantahan
sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang
kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras.
Kemudian terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara tangisnya,
"Ah, aku tahu...kau tentu menolak..."
PART 178
Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu, ada sejam lebih tak bergerakgerak,
seakan‐akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu‐sedan
nenek itu seakan‐akan pisau menusuk‐nusuk jantungnya. Apakah nenek itu
sudah menjadi gila ? Nenek‐nenek yang melihat keriput di mukanya tentu
berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya ?
Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila‐gilaan ini ? Menjemukan
sekali ! Sialan ! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang
mencintanya, seorang nenek‐nenek hampir mati ! Mana mungkin ia
membalas cinta seorang nenek‐nenek yang buruk rupa ? Teringat ia akan
Ang‐siauw‐hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis puteri Beng‐kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila‐gila
kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut
teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci,
sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguhsungguh
penuh kasih sayang selama seribu hari ! Dan dia menolak cinta
nenek itu. Menolak begitu saja ! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki
pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya ! Ah, betapa sakit hati
nenek itu, dapat ia membayangkannya. Ia menjadi seorang yang tak kenal
budi ! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya
ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih daripada itu. Mungkin nenek itu,
ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang‐kenangan manis
untuk dibawa mati ! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian
pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti
bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai ! Sebagai
wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul
keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku
sebagai suaminya ! Ah, betapa bodohnya. Apa sih artinya pengorbanan
sekecil ini ? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri,
bicara manis dan menghibur dengan kata‐kata penuh sayang. Kiranya cukup
bagi Si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih daripada itu.
Berjam‐jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya
sendiri, sedangkan suara sedu‐sedan nenek itu tetap terdengar olehnya
makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan pengalamannya
bersama Ang‐siauw‐hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih
dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan
seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus
yang menyatakan cinta kasih Ang‐siauw‐hwa, melihat mata indah dari dekat,
mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata
yang..! Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu ! Mata nenek itu ! Itulah mata
Ang‐siauw‐hwa ! Tak salah lagi. Mata Ang‐siauw‐hwa Si Kembang *******
PART 179
Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya
pun sama. Mata Ang‐siauw‐hwa ! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal
mata itu apabila Si Nenek memandangnya.
"Ahhh...!" terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya. Akan
tetapi Ang‐siauw‐hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja.
Banyak mata wanita yang cantik‐cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini
dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik
jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa
artinya usia ? Apa artinya keburukan rupa ?
Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu
bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali
nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling
jauh dalam "rumah tinggal" itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit
dan mati, maka akulah pembunuhnya ! Aku membalas budinya dengan
menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini !
Kwee Seng berdiri, meraba‐raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api,
akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalaukalau
nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena untuk
melakukan "sandiwara" yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di
dalam gelap, tanpa melihat wajah Si Nenek! Ia meraba‐raba dan akhirnya
kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ, membawanya ke depan
pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak‐isak perlahan.
"Nek... aku datang..." "... pergi ! Mau apa lagi kau datang ? Kalau kau
mengejekku, mau menghinaku..., demi *****... akan kubunuh kau!"
"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku
sampai hati melukai hatimu ? Aku datang kepadamu untuk... untuk
memenuhi permintaanmu..."
Tiba‐tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali.
Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan‐akan nenek itu tidak hanya
berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas ! Kemudian tedengar gerakan
nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.
PART 180
"Apa...? Kau.. kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai...
sebagai isterimu...?"
"Ya!" jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara
terbaik untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku
menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walaupun kita sama
tahu bahwa aku tidak mencintamu." Hal inilah yang mengganggu perasaan
hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak
merasa seperti seorang penipu.
"Ah, terimakasih...!" Nenek itu tahu‐tahu sudah merangkulnya dan menangis,
mendekapkan muka pada dadanya, berbisik‐bisik, "Terimakasih... Kwee‐koko
(Kanda Kwee)... sekarang matipun aku tidak akan penasaran lagi..."
Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin
mendapatkan kenang‐kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia
memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena
bukankah tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi
permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama sekali bukan karena cinta ?
Betapapun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek
itu menyebutnya "kakanda"!
"Niocu.." katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang
bersandar di dadanya. Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya
itu ketika mendengar sebutan "niocu". "Karena keadaan tidak mengijinkan,
maka kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan
pernikahan kita tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku,
Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."
"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi
suamiku... ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini ! Hampir gila
aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!"
Nenek itu memeluknya makin erat.
Share This Thread