PART 192
tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya,
ia tidak akan merasa malu‐malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.
"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phangciangkun
untuk mencelakakan Kam Si Ek ! Sekali kau membohong, pedangku
akan memenggal lehermu!"
Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara
tergagap‐gagap perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar
Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut‐ikut...! Yang mengatur
semua adalah Phang‐ciangkun dan teman‐temannya di Shan‐si. Karena iri
terhadap nama besar dan kekuasaan Kam‐goanswe, untuk diajak berunding
mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang‐ciangkun
yang mengundang Kam‐goanswe ke ibu kota, akan tetapi di sana ia telah
bersekongkol dengan teman‐temannya untuk menangkap Kam‐goanswe dan
melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam‐goanswe tidak mau menghadap
dan malah merencanakan pemberontakan."
"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. Hayo katakan
di mana Kam Si Ek akan di tahan !"
"Saya... saya tidak tahu betul, hanya ... hanya mendengar dari Phang‐ciangkun
bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam
Kelenteng Tee‐kong‐bio di kota itu ... dan ... ahh!!" jerit terakhir ini
mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Yoa‐hong‐kiam
memisahkan kepala dari badannya.
Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya
ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya
mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan
pakaiannya, bahkan memukuli Si Pemilik rumah penginapan dan merampas
harta benda orang itu pula.
Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang
terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa kuatir sekali karena Jenderal
Kam sudah pergi, dan diam‐diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian.
Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang‐orang tua
PART 193
para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian
untuk membebaskan gadis‐gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap ke
dalam gelap, dengan hati panas ia kembali ke benteng !
Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam
benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda
yang paling baik, tunggangan Phang‐ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan,
telah lenyap ! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib
gadis‐gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu
mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati‐matian untuk
membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan
orang lain ia sama sekali tidak peduli.
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan‐si, kota yang cukup besar dan
ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan
makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin‐ling‐san, juga di sebelah
selatan kota ini mengalir Sungai Wei‐ho yang airnya cukup untuk keperluan
para petani di daerah itu. Pintu gerbang‐pintu gerbang kota selalu terbuka
lebar dan orang‐orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikutkereta‐
kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota
pelabuhan sungai, banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan
sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia
tunggangi adalah kuda milik Pang‐ciangkun yang mungkin akan dikenal
orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia
menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah
selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah
perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai
itu sambil berjalan perlahan.
Akan tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada,
selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota
Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki‐laki, yang terpesona
oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini
sungguhpun keadaan macam ini selau mendatangkan rasa bangga di dalam
hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki‐laki
menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu
masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar.
Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang
PART 194
di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan
tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan !
Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil
seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah
tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee‐kong bio di kota
ini ? Aku hendak pergi bersembahyang ke sana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut‐kerut, lalu Si Pelayan
menengok ke kanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan.
"Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng‐kelenteng ternama
di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan‐im‐bio di sebelah
timur jembatan besar, atau ke Hai‐ong‐bio di dekat sungai atau..."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee‐kong‐bio." Jawab Lu Sian
yang sudah menduga bahwa agaknya Tee‐kong‐bio merupakan tempat yang
tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku
hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee‐kong‐bio. Di
manakah letaknya kelenteng itu?" Memang tentu saja tidak sukar mencari
kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanyatanya
orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah
mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"memang, Siocia (Nona), bukan sekali‐kali saya hendak mencampuri urusan
nona. Akan tetapi sungguh‐sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk
didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah
ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah
kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah
orang‐orang gelandangan, hwesio‐hwesio yang suka minta derma paksa
dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di
sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona
jangan pergi ke sana..."
"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu
Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu
PART 195
melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi
sambil mengangkat pundak.
Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar
dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di
punggung. Kembali banyak pasang mata laki‐laki menoleh ke arahnya,
bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang
mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya
memperlihatkan senyum mengejek. Ketika ia lewat di jalan yang menuju ke
utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari
lima orang yang tadinya bercakap‐cakap di pinggir jalan, saling berbisik
ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap
yang menjemukan. Melihat mereka itu ia tidak takut biarpun ia membawabawa
pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang‐orang yang
mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka
hendak menggodanya.
Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan‐urusan kecil. Ia
menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa
gunanya melayani segala macam laki‐laki kurang ajar seperti mereka itu ! Ia
mengerahkan lwee‐kangnya dan terus melangkah dengan tindakan gagah,
sama sekali tidak melirik ke arah mereka. Sebaliknya, lima orang laki‐laki itu
membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti
dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih
melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar
melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan
seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang
diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya ? Seekor gajah pun takkan
meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya !
Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh.
Genteng‐gentengnya banyak yang pecah dan sepasang ukiran naga di atas
genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya dan mustika naga di
tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah‐pecah pula.
Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng
Tee‐kong‐bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat,
maka menjadi amat buruk. Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga
terdapat kebun yang luas, bangunannya besar, akan tetapi di depan
kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah
menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun, di tembok besar masih
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 11:42.
PART 196
terdapat ukiran dengan huruf‐huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya,
yaitu huruf TEE KONG BIO (Kelenteng Malaikat Bumi).
Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan‐akan tidak ada
penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat
besar dan tebal, juga tertutup. Tanpa ragu‐ragu lagi Lu Sian memasuki
pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya
mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang
lama tidak dibuka tutup. Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap
lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun
pintu yang terdepan itu daja yang terkunci. Dari luar kin tampak jendelajendela
dan daun‐daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka
separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini
pernah dikunjungi orang‐orang, malah bekas telapak kaki pada debu di lantai
masih baru. Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu
dan kotor tidak terpelihara. Di sana‐sini tampak kertas‐kertas butut, ada pula
tikar‐tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi,
dan tempat toapekong juga kosong. Hanya arca‐arca yang sudah hampir
rusak, singa‐singaan batu yang tiada harganya, masih tetap di tempatnya.
Barang‐barang lain yang berharga tidak tampak lagi.
Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga
kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati‐hati ia melangkah lagi.
Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut
pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan
tengah itu. Di atas meja yang terbuat daripada bata tampak sebuah pot
kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan
terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa‐apa lagi. Lu
Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.
"Wer‐wer‐wer ......!!" Tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan
dadanya. Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap
pada dinding di belakangnya. "Hui‐to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru
kaget karena maklum bahwa hanya orang‐orang pandai saja yang dapat
melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia
maklum menghadapi lawan tangguh.
"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya
marah.
PART 197
Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut
saja yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"
Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata‐kata itu. Akan
tetapi sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau
kau bukan pengecut, keluarlah!"
Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki‐laki yang sama
sekali tidak disangka‐sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya
tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat
yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang
pemuda yang tampan, berkepala kecil bertopi batok, wajahnya yang muda
dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang
tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga
pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar‐benar
tercengang sampai memandang dengan melongo.
"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya
yang datang berkunjung..!" katanya, masih terpesona.
Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu !
mengaku‐aku ini tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah
kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"
Orang itu segera menjura, sikapnya manis dibuat‐buat, matanya tetap
mengincar wajah cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali
aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda, berdarah bangsa Khitan
yang gagah berani, namaku Bayisan..."
"Tak peduli namamu ****** atau kucing aku tidak sudi mengenalnya ! Yang
jelas, serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa
terbalas!" Sambil berkata demikian, Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap
menerjang.
PART 198
Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar.
"Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang
cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui‐to ?
Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau
mukamu sampai lecet."
"******* bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak
mengeluarkan suara berdesing. Bayisan cepat meloncat mundur dengan
wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu
yang menjadi terbelah dua seperti agar‐agar terbabat pisau tajam saja !
"Kau... kau... puteri Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan ! Kau puteri Ketua Beng‐kauw
yang bernama Liu Lu Sian!"
Diam‐diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini
sehingga melihat sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya ?
Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya, membentak. "Hemm,
kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?"
Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak‐bahak. "Bagus !
Bagus sekali ! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang
mengunjungi pesta Beng‐kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata
dari Beng‐kauw ! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya ?
Sudah lama aku mendengar bahwa puteri Beng‐kauw memiliki ilmu
kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang
tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik,
akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan
tetapi melihat kau, benar‐benar tak pernah aku melihat lain wanita yang
dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian ! Aha,
kebetulan sekali!"
Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan
kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu
bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi,
melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil
PART 199
berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi sambil melangkah maju dan
menusukkan pedangnya se arah dada lawan.
Bayisan cepat mengelak, miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu
Sian yang bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan
membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main ! Bayisan terkejut, cepat ia
menggulingkan diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter
jauhnya, sambil berguling ia melepaskan sebatang hui‐to ke arah lawan.
"Tranggg!" Lu Sian menangkis hui‐to lawan dan sekarang Bayisan sudah
berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan sambil tertawa.
"Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu ! Kau patut menjadi isteri
Panglima Bayisan, mari juitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan
dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagi..."
"Tranggg!" Terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu sian
sudah menyambar, membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan
kata‐katanya. Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi
karena Lu Sian sudah menyerangnya secara bertubi‐tubi. Pedang nona ini
berkelebatan laksana naga mengamuk dengan gerakan‐gerakan aneh dan
ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa‐hong‐kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang
dahsyat. Angin dari pedang ini menggerakkan daun‐daun pohon yang
tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa helai daun rontok
karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas
Bayisan melihat ujung yang asli menyerang ganas ke arah perutnya
sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya pedang
bergerak.
Tentu saja pemuda Khitan murid Ban‐pi Lo‐cia ini tidak mau dirinya disate
oleh pedang lawan. Cepat ia mengubah kuda‐kuda kaki menjadi miring
sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar
suara nyaring bertemunya kedua pedang dan sebelum Lu Sian sempat
menyerang kembali, bayisan sudah melanjutkan pedangnya menusuk ke arah
dada kiri ! Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke
kanan dan tepat sekali menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak,
sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya, membuat
gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki sedangkan tubuhnya
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:14.
PART 200
mendoyong ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya mencengkram ke
arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar !
"Aiihhh!!" Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa,
melainkan pekik yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kalau
saja Bayisan tidak kuat sinkangnya, tentu akan roboh karena lumpuh
terserang pekik luar biasa ini ! Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri
beng‐kauwcu ini sudah mempelajari mempergunakan jerit yang
mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan. Melihat lawannya
tidak terpengaruh oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu terus
dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan membabat
angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan
kecepatan kilat lalu berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak
berbuat kurang ajar tadi.
Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan
terserangmenjadi penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena
cepat‐cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat
angin itu sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini
turun kembali ke atas lantai. Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan
dielakkannya. Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali
pedangnya mebabat kedua kaki, begitu membabat tubuhnya mendoyong ke
belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk
membarengi dengan serangan balasan. Dan setiap kali Lu Sian meloncat,
pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang turun !
Menjemukan!" Lu Sian berseru keras dan tiba‐tiba tubuhnya mencelat ke
atas, hampir dua meter tingginya dan dari atas pedangnya langsung
membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan
seekor kura‐kura menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik
lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar mendesingnya
pedang tepat di atas tengkuknya, dan alangkah kagetnya katika ia melihat Lu
Sian tidak turun ke bawah melainkan tadi meloncat dan kini tepat berada di
atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan gerakan menendang ke
bawah ke arah ubun‐ubun dan lehernya !
"Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli
bahwa debu tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu
sehingga muka yang tampan menjadi coreng‐moreng ! Akan tetapi ia selamat
daripada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:18.
PART 201
"Perempuan liar ! Kau tidak tahu dicinta orang ! Baik, aku akan menggunakan
kekerasan menangkapmu, kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini,
lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."
"Tutup mulut!" Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus
Pat‐mo Kiam‐hoat yang paling lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi,
melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa
panas seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut,
mulut pemuda yang kurang ajar dan amat dibencinya. Ia sudah
membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya. Akan tetapi
Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia
terima dari Ban‐pi Lo‐cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama
menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang
lawan untuk dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun
perhitungannya meleset. Pat‐mo Kiam‐hoat merupakan ilmu pedang hitam
yang penuh dengan akal muslihat, mana mudah ditindih ? Bagaikan belut
licinnya, pedang itu sudah melesat keluar dari tenaga tindihannya dan kini
membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan
membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan kirinya kini
merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka
dengan pengerahan tenaga sinkang.
Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa
mengubah kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah,
kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek
perut! "Trang, trang !" Dua kali pedang bertemu karena bagitu ditangkis
pedang Lu Sian sudah bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat
dihindarkan dengan tangkisan ke dua.
Serang‐menyerang mati‐matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan
demikian sebaliknya. Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding
tanpa saksi, ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar
pedang mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak
berputar‐putar, seperti dua ekor ayam berlaga. Hampir seratus jurus mereka
bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau
terdesak. Biarpun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga
berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah
sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam
kelincahan gerak.
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:21.
PART 202
Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan
merusak wanita, tentu saja Bayisan terpesona dan tergila‐gila kepada Lu Sian
yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding, namun kehebatan ilmu silat
gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga seranganserangannya
tidak lagi main‐main dan lenyaplah keinginannya menawan
hidup‐hidup karena lawannya benar‐benar berbahaya sekali. Kini ia tidak
peduli lagi apakah ia akan dapat menawan hidup‐hidup atau harus
membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah berarti
kematian baginya ! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya sudah
melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.
Setekah lewat seratus jurus dan Liu Lu Sian yang maklum akan
kemenangannya dalam ginkang, cepat mempergunakan kemenangan ini,
mengerahkan ginkangnya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet
menyambar‐nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat halilintar.
Dengan campuran Toa‐hong Kiam‐hoat dan Pat‐mo Kiam‐hoat, ia dapat
mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena
terlalu sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah
tenaga. Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah‐nyumpah.
Namun, tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan
yang baru kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera.
Selain Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi
begini tangguh, sehingga ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah
sehingga ia tidak akan berhenti sebelum dapat membinasakannya !
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung
lawan, meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja
membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu‐tahu sudah bergerak cepat
dan berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya
berada dalam keadaan gawat, salah‐salah bisa putus, maka sambil membalik
tadi ia cepat membabitkan pedang dengan setengah putaran melindungi
tengkuk. Akan tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik,
maka kali ini tenaganya tidak dapat dipergunakan sepenuhnya dan tidak
berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya memang
memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga sepenuhnya,
menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa
detik kedua pedang saling menempel dan lekat ! Pada detik itu juga Lu Sian
telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan
kiri gadis itu seakan‐akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya
lenggak‐lenggok macam ular akan tetapi tahu‐tahu dua buah jari tangan itu
telah mengancam sepasang biji matanya ! Hebat sekali serangan Lu Sian kali
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:28.
PART 203
ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa‐hong‐kun, gerakan
pedangnya berdasarkan Pat‐mo Kiam‐hoat, sedangkan tangan kirinya ini
mainkan gerakan Sin‐coa‐kun (Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat
mainkan jurus‐jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat
dibayangkan kehebatannya.
"Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga
untuk menarik pedang dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk
melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter dan
baru berhenti setelah tubuhnya membentur dinding. Akan tetapi pada saat ia
melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar
cepat ke arah Lu Sian ! Kiranya ketika menghindarkan diri daripada serangan
maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata
rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata
gelap ini. Memang hebat ! Kali ini ia tidak menggunakan hui‐to yang telah dua
kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun
Hitam (Hek‐tok‐ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng
sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking
jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini,
Bayisan tidak segan‐segan mempergunakan jarum racunnya.
Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri
adalah seorang ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu
benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat
pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat
pinggang itu bergulung menjadi sinar kuning emas dan tergulunglah jarumjarum
hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian sekali ia
menggentakkan tangan kirinya, jarum‐jarum itu terbang ke arah Bayisan ! Ini
masih belum hebat, biarpun sudah membikin Bayisan berseru kagum dan
kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian menciptakan sinar hitam
tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun
mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan, juga
memberi "hidangan" yang sama dan yang tidak kalah lezatnya !
"Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya
menangkis jarum‐jarum itu. Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju
lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya
kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang
muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:30.
PART 204
Pada saat itu, terdengar suara bentakan laki‐laki dari luar, "Iblis Khitan
penjahat *****, kau menipu kami!" Maka muncullah tiga orang laki‐laki
setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu
berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam‐macam
warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan
mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit‐gesit sekali. Mereka
semua membawa sebatang tongkat di tangan , tongkat yang butut akan tetapi
di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.
Munculnya tiga orang jembel ini menhentikan pertandingan itu. Bayisan
memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?"
bentaknya.
"Masih pura‐pura lagi ! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak
membantu pembebasan Kam‐goanswe yang kami muliakan, akan tetapi
apakah yang kau lakukan di dusun Ki‐san ? Kau membasmi keluarga yang
dengan baik hati telah menolong dan merawatmu. *******!" Setelah seorang
di antara tiga jembel itu berkata demikian, mereka serentak maju menerjang.
Melihat ini, Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat,
seungguhpun tentu ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang
pengemis ini, namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian
menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian
berimbang, ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian, berarti
ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak
menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba‐tiba tubuhnya meloncat ke luar
dari jendela. Tiga orang pengemis itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana
kau jai‐hwa‐cat (penjahat pemetik bunga)?"
Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya
saja. Ia tidak mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi
sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap
kekurang ajaran Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh
orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan mencampuri. Apalagi kalau
mendengar kata‐kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud membantu
pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang
sahabat Kam Si Ek ?
Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba‐tiba
Bayisan membalik dan menyerang mereka dengan jarum‐jarum hitamnya.
Tiga orang pengemis itu bukan orang‐orang sembarangan pula, cepat mereka
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:43.
PART 205
mengelak sehingga jarum‐jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap
dan lenyap ke dalam tembok. Akan tetapi bau jarum‐jarum itu yang amis
membuat mereka kaget sekali.
"Jarum‐jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu‐ragu untuk
melanjutkan pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum
beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi, dan teringat
akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang
kosen itu, mereka segera memasuki kelenteng.
Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan
hormat, sebelum mereka membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat
dari partai pengemis manakah?"
Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini
dipergunakan oleh orang‐orang kang‐ouw untuk menyamar sebagai
pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan‐perkumpulan pengemis
mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.
Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura
dan memperkenalkan diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei‐ho‐kai‐pang."
"Ah, kiranya Sam‐wi (Tuan Bertiga) adalah Sin‐tung Sam‐kai (Tiga Pengemis
Tongkat Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Bengkauwcu..."
"Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Li‐Hiap. Maaf
bahwa beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah
Li‐hiap (Pendekar Wanita)."
"Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat
karena ucapan merkea tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian
dimana adanya Kam‐goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak
orang jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam‐goanswe
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:44.
PART 206
kepada orang Khitan itu, apa artinya semua ini? Harap Sam‐wi suka
menceritakan dengan jelas."
Diam‐diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa
hubungannya puteri Beng‐kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi
itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan
Ketua Bang‐kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik,
mereka lalu bercerita.
Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah
keluar dari benteng menuju ke ibu kota Shan‐si untuk memenuhi panggilan
Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang‐siangkun Si Komandan
muka hitam yang diam‐diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan
Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan Kam Si Ek dicegat oleh
gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu. Celakanya, para
pengawal Kam Si Ek diam‐diam sudah disogok pula oleh Phang‐siangkun
sehingga selagi tidur, Kam Si Ek disergap dan dijadikan tawanan.
Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai
tempat penginapan oleh para pengawal Kam Si ek. Sebagai seorang
komandan yang jujur dan tidak mau menggangu rakyat, Kam Si Ek memang
biasa melakukan perjalanan sederhana, menginap pun di mana saja asal
jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk bemalam di rumah
kelenteng itu diterimanya baik.
"Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak
lama menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei‐ho‐kai‐pang."
Demikian seorang di antara pimpinan kai‐pang (perkumpulan jembel) itu
berkata, "Kami amat kagum kepada Kam‐goanswe dan ingin sekali
menolongnya, akan tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap
pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula oleh tokoh‐tokoh
rahasia berilmu tinggi yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"
"Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kamgoanswe
adalah Kerajaan Liang?"
"Betul, Li‐hiap. Seperti diketahui, Kerjaan Liang setelah berhasil merobohkan
Kerajaan Tang, selalu mengalami rong‐rongan dari pelbagai pihak yang
hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain
Share This Thread