Page 14 of 16 FirstFirst ... 410111213141516 LastLast
Results 196 to 210 of 229

Thread: 2. suling emas

http://idgs.in/730827
  1. #196

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 192
    tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya,
    ia tidak akan merasa malu‐malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.
    "Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phangciangkun
    untuk mencelakakan Kam Si Ek ! Sekali kau membohong, pedangku
    akan memenggal lehermu!"
    Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara
    tergagap‐gagap perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar
    Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut‐ikut...! Yang mengatur
    semua adalah Phang‐ciangkun dan teman‐temannya di Shan‐si. Karena iri
    terhadap nama besar dan kekuasaan Kam‐goanswe, untuk diajak berunding
    mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang‐ciangkun
    yang mengundang Kam‐goanswe ke ibu kota, akan tetapi di sana ia telah
    bersekongkol dengan teman‐temannya untuk menangkap Kam‐goanswe dan
    melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam‐goanswe tidak mau menghadap
    dan malah merencanakan pemberontakan."
    "Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. Hayo katakan
    di mana Kam Si Ek akan di tahan !"
    "Saya... saya tidak tahu betul, hanya ... hanya mendengar dari Phang‐ciangkun
    bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam
    Kelenteng Tee‐kong‐bio di kota itu ... dan ... ahh!!" jerit terakhir ini
    mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Yoa‐hong‐kiam
    memisahkan kepala dari badannya.
    Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya
    ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya
    mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan
    pakaiannya, bahkan memukuli Si Pemilik rumah penginapan dan merampas
    harta benda orang itu pula.
    Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang
    terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa kuatir sekali karena Jenderal
    Kam sudah pergi, dan diam‐diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian.
    Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang‐orang tua

  2. Hot Ad
  3. #197

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 193
    para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian
    untuk membebaskan gadis‐gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap ke
    dalam gelap, dengan hati panas ia kembali ke benteng !
    Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam
    benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda
    yang paling baik, tunggangan Phang‐ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan,
    telah lenyap ! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib
    gadis‐gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu
    mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati‐matian untuk
    membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan
    orang lain ia sama sekali tidak peduli.
    Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan‐si, kota yang cukup besar dan
    ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan
    makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin‐ling‐san, juga di sebelah
    selatan kota ini mengalir Sungai Wei‐ho yang airnya cukup untuk keperluan
    para petani di daerah itu. Pintu gerbang‐pintu gerbang kota selalu terbuka
    lebar dan orang‐orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikutkereta‐
    kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota
    pelabuhan sungai, banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan
    sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
    Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia
    tunggangi adalah kuda milik Pang‐ciangkun yang mungkin akan dikenal
    orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia
    menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah
    selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah
    perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai
    itu sambil berjalan perlahan.
    Akan tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada,
    selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota
    Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki‐laki, yang terpesona
    oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini
    sungguhpun keadaan macam ini selau mendatangkan rasa bangga di dalam
    hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki‐laki
    menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu
    masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar.
    Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang

  4. #198

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 194
    di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan
    tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan !
    Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil
    seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah
    tua dan berwajah jujur.
    "Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee‐kong bio di kota
    ini ? Aku hendak pergi bersembahyang ke sana."
    Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut‐kerut, lalu Si Pelayan
    menengok ke kanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan.
    "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng‐kelenteng ternama
    di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan‐im‐bio di sebelah
    timur jembatan besar, atau ke Hai‐ong‐bio di dekat sungai atau..."
    "Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee‐kong‐bio." Jawab Lu Sian
    yang sudah menduga bahwa agaknya Tee‐kong‐bio merupakan tempat yang
    tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku
    hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee‐kong‐bio. Di
    manakah letaknya kelenteng itu?" Memang tentu saja tidak sukar mencari
    kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanyatanya
    orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah
    mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
    "memang, Siocia (Nona), bukan sekali‐kali saya hendak mencampuri urusan
    nona. Akan tetapi sungguh‐sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk
    didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah
    ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah
    kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah
    orang‐orang gelandangan, hwesio‐hwesio yang suka minta derma paksa
    dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di
    sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona
    jangan pergi ke sana..."
    "Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu
    Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu

  5. #199

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 195
    melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi
    sambil mengangkat pundak.
    Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar
    dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di
    punggung. Kembali banyak pasang mata laki‐laki menoleh ke arahnya,
    bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang
    mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya
    memperlihatkan senyum mengejek. Ketika ia lewat di jalan yang menuju ke
    utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari
    lima orang yang tadinya bercakap‐cakap di pinggir jalan, saling berbisik
    ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap
    yang menjemukan. Melihat mereka itu ia tidak takut biarpun ia membawabawa
    pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang‐orang yang
    mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka
    hendak menggodanya.
    Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan‐urusan kecil. Ia
    menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa
    gunanya melayani segala macam laki‐laki kurang ajar seperti mereka itu ! Ia
    mengerahkan lwee‐kangnya dan terus melangkah dengan tindakan gagah,
    sama sekali tidak melirik ke arah mereka. Sebaliknya, lima orang laki‐laki itu
    membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti
    dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih
    melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar
    melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan
    seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang
    diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya ? Seekor gajah pun takkan
    meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya !
    Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh.
    Genteng‐gentengnya banyak yang pecah dan sepasang ukiran naga di atas
    genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya dan mustika naga di
    tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah‐pecah pula.
    Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng
    Tee‐kong‐bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat,
    maka menjadi amat buruk. Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga
    terdapat kebun yang luas, bangunannya besar, akan tetapi di depan
    kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah
    menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun, di tembok besar masih
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 11:42.

  6. #200

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 196
    terdapat ukiran dengan huruf‐huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya,
    yaitu huruf TEE KONG BIO (Kelenteng Malaikat Bumi).
    Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan‐akan tidak ada
    penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat
    besar dan tebal, juga tertutup. Tanpa ragu‐ragu lagi Lu Sian memasuki
    pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya
    mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang
    lama tidak dibuka tutup. Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap
    lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun
    pintu yang terdepan itu daja yang terkunci. Dari luar kin tampak jendelajendela
    dan daun‐daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka
    separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini
    pernah dikunjungi orang‐orang, malah bekas telapak kaki pada debu di lantai
    masih baru. Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu
    dan kotor tidak terpelihara. Di sana‐sini tampak kertas‐kertas butut, ada pula
    tikar‐tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi,
    dan tempat toapekong juga kosong. Hanya arca‐arca yang sudah hampir
    rusak, singa‐singaan batu yang tiada harganya, masih tetap di tempatnya.
    Barang‐barang lain yang berharga tidak tampak lagi.
    Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga
    kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati‐hati ia melangkah lagi.
    Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut
    pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan
    tengah itu. Di atas meja yang terbuat daripada bata tampak sebuah pot
    kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan
    terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa‐apa lagi. Lu
    Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.
    "Wer‐wer‐wer ......!!" Tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan
    dadanya. Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap
    pada dinding di belakangnya. "Hui‐to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru
    kaget karena maklum bahwa hanya orang‐orang pandai saja yang dapat
    melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia
    maklum menghadapi lawan tangguh.
    "Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya
    marah.

  7. #201

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 197
    Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut
    saja yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"
    Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata‐kata itu. Akan
    tetapi sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau
    kau bukan pengecut, keluarlah!"
    Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki‐laki yang sama
    sekali tidak disangka‐sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya
    tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat
    yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang
    pemuda yang tampan, berkepala kecil bertopi batok, wajahnya yang muda
    dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang
    tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga
    pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar‐benar
    tercengang sampai memandang dengan melongo.
    "Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya
    yang datang berkunjung..!" katanya, masih terpesona.
    Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu !
    mengaku‐aku ini tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah
    kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"
    Orang itu segera menjura, sikapnya manis dibuat‐buat, matanya tetap
    mengincar wajah cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali
    aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda, berdarah bangsa Khitan
    yang gagah berani, namaku Bayisan..."
    "Tak peduli namamu ****** atau kucing aku tidak sudi mengenalnya ! Yang
    jelas, serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa
    terbalas!" Sambil berkata demikian, Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap
    menerjang.

  8. #202

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 198
    Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar.
    "Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang
    cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui‐to ?
    Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau
    mukamu sampai lecet."
    "******* bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak
    mengeluarkan suara berdesing. Bayisan cepat meloncat mundur dengan
    wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu
    yang menjadi terbelah dua seperti agar‐agar terbabat pisau tajam saja !
    "Kau... kau... puteri Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan ! Kau puteri Ketua Beng‐kauw
    yang bernama Liu Lu Sian!"
    Diam‐diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini
    sehingga melihat sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya ?
    Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya, membentak. "Hemm,
    kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?"
    Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak‐bahak. "Bagus !
    Bagus sekali ! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang
    mengunjungi pesta Beng‐kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata
    dari Beng‐kauw ! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya ?
    Sudah lama aku mendengar bahwa puteri Beng‐kauw memiliki ilmu
    kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang
    tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik,
    akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan
    tetapi melihat kau, benar‐benar tak pernah aku melihat lain wanita yang
    dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian ! Aha,
    kebetulan sekali!"
    Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan
    kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu
    bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi,
    melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil

  9. #203

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 199
    berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi sambil melangkah maju dan
    menusukkan pedangnya se arah dada lawan.
    Bayisan cepat mengelak, miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu
    Sian yang bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan
    membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main ! Bayisan terkejut, cepat ia
    menggulingkan diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter
    jauhnya, sambil berguling ia melepaskan sebatang hui‐to ke arah lawan.
    "Tranggg!" Lu Sian menangkis hui‐to lawan dan sekarang Bayisan sudah
    berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan sambil tertawa.
    "Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu ! Kau patut menjadi isteri
    Panglima Bayisan, mari juitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan
    dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagi..."
    "Tranggg!" Terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu sian
    sudah menyambar, membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan
    kata‐katanya. Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi
    karena Lu Sian sudah menyerangnya secara bertubi‐tubi. Pedang nona ini
    berkelebatan laksana naga mengamuk dengan gerakan‐gerakan aneh dan
    ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa‐hong‐kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang
    dahsyat. Angin dari pedang ini menggerakkan daun‐daun pohon yang
    tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa helai daun rontok
    karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas
    Bayisan melihat ujung yang asli menyerang ganas ke arah perutnya
    sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya pedang
    bergerak.
    Tentu saja pemuda Khitan murid Ban‐pi Lo‐cia ini tidak mau dirinya disate
    oleh pedang lawan. Cepat ia mengubah kuda‐kuda kaki menjadi miring
    sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar
    suara nyaring bertemunya kedua pedang dan sebelum Lu Sian sempat
    menyerang kembali, bayisan sudah melanjutkan pedangnya menusuk ke arah
    dada kiri ! Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke
    kanan dan tepat sekali menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak,
    sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya, membuat
    gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki sedangkan tubuhnya
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:14.

  10. #204

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 200
    mendoyong ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya mencengkram ke
    arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar !
    "Aiihhh!!" Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa,
    melainkan pekik yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kalau
    saja Bayisan tidak kuat sinkangnya, tentu akan roboh karena lumpuh
    terserang pekik luar biasa ini ! Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri
    beng‐kauwcu ini sudah mempelajari mempergunakan jerit yang
    mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan. Melihat lawannya
    tidak terpengaruh oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu terus
    dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan membabat
    angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan
    kecepatan kilat lalu berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak
    berbuat kurang ajar tadi.
    Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan
    terserangmenjadi penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena
    cepat‐cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat
    angin itu sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini
    turun kembali ke atas lantai. Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan
    dielakkannya. Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali
    pedangnya mebabat kedua kaki, begitu membabat tubuhnya mendoyong ke
    belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk
    membarengi dengan serangan balasan. Dan setiap kali Lu Sian meloncat,
    pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang turun !
    Menjemukan!" Lu Sian berseru keras dan tiba‐tiba tubuhnya mencelat ke
    atas, hampir dua meter tingginya dan dari atas pedangnya langsung
    membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan
    seekor kura‐kura menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik
    lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar mendesingnya
    pedang tepat di atas tengkuknya, dan alangkah kagetnya katika ia melihat Lu
    Sian tidak turun ke bawah melainkan tadi meloncat dan kini tepat berada di
    atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan gerakan menendang ke
    bawah ke arah ubun‐ubun dan lehernya !
    "Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli
    bahwa debu tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu
    sehingga muka yang tampan menjadi coreng‐moreng ! Akan tetapi ia selamat
    daripada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:18.

  11. #205

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 201
    "Perempuan liar ! Kau tidak tahu dicinta orang ! Baik, aku akan menggunakan
    kekerasan menangkapmu, kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini,
    lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."
    "Tutup mulut!" Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus
    Pat‐mo Kiam‐hoat yang paling lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi,
    melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa
    panas seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut,
    mulut pemuda yang kurang ajar dan amat dibencinya. Ia sudah
    membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya. Akan tetapi
    Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia
    terima dari Ban‐pi Lo‐cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama
    menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang
    lawan untuk dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun
    perhitungannya meleset. Pat‐mo Kiam‐hoat merupakan ilmu pedang hitam
    yang penuh dengan akal muslihat, mana mudah ditindih ? Bagaikan belut
    licinnya, pedang itu sudah melesat keluar dari tenaga tindihannya dan kini
    membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan
    membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan kirinya kini
    merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka
    dengan pengerahan tenaga sinkang.
    Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa
    mengubah kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah,
    kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek
    perut! "Trang, trang !" Dua kali pedang bertemu karena bagitu ditangkis
    pedang Lu Sian sudah bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat
    dihindarkan dengan tangkisan ke dua.
    Serang‐menyerang mati‐matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan
    demikian sebaliknya. Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding
    tanpa saksi, ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar
    pedang mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak
    berputar‐putar, seperti dua ekor ayam berlaga. Hampir seratus jurus mereka
    bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau
    terdesak. Biarpun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga
    berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah
    sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam
    kelincahan gerak.
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:21.

  12. #206

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 202
    Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan
    merusak wanita, tentu saja Bayisan terpesona dan tergila‐gila kepada Lu Sian
    yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding, namun kehebatan ilmu silat
    gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga seranganserangannya
    tidak lagi main‐main dan lenyaplah keinginannya menawan
    hidup‐hidup karena lawannya benar‐benar berbahaya sekali. Kini ia tidak
    peduli lagi apakah ia akan dapat menawan hidup‐hidup atau harus
    membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah berarti
    kematian baginya ! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya sudah
    melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.
    Setekah lewat seratus jurus dan Liu Lu Sian yang maklum akan
    kemenangannya dalam ginkang, cepat mempergunakan kemenangan ini,
    mengerahkan ginkangnya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet
    menyambar‐nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat halilintar.
    Dengan campuran Toa‐hong Kiam‐hoat dan Pat‐mo Kiam‐hoat, ia dapat
    mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena
    terlalu sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah
    tenaga. Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah‐nyumpah.
    Namun, tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan
    yang baru kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera.
    Selain Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi
    begini tangguh, sehingga ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah
    sehingga ia tidak akan berhenti sebelum dapat membinasakannya !
    Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung
    lawan, meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja
    membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu‐tahu sudah bergerak cepat
    dan berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya
    berada dalam keadaan gawat, salah‐salah bisa putus, maka sambil membalik
    tadi ia cepat membabitkan pedang dengan setengah putaran melindungi
    tengkuk. Akan tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik,
    maka kali ini tenaganya tidak dapat dipergunakan sepenuhnya dan tidak
    berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya memang
    memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga sepenuhnya,
    menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa
    detik kedua pedang saling menempel dan lekat ! Pada detik itu juga Lu Sian
    telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan
    kiri gadis itu seakan‐akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya
    lenggak‐lenggok macam ular akan tetapi tahu‐tahu dua buah jari tangan itu
    telah mengancam sepasang biji matanya ! Hebat sekali serangan Lu Sian kali
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:28.

  13. #207

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 203
    ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa‐hong‐kun, gerakan
    pedangnya berdasarkan Pat‐mo Kiam‐hoat, sedangkan tangan kirinya ini
    mainkan gerakan Sin‐coa‐kun (Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat
    mainkan jurus‐jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat
    dibayangkan kehebatannya.
    "Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga
    untuk menarik pedang dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk
    melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter dan
    baru berhenti setelah tubuhnya membentur dinding. Akan tetapi pada saat ia
    melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar
    cepat ke arah Lu Sian ! Kiranya ketika menghindarkan diri daripada serangan
    maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata
    rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata
    gelap ini. Memang hebat ! Kali ini ia tidak menggunakan hui‐to yang telah dua
    kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun
    Hitam (Hek‐tok‐ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng
    sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking
    jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini,
    Bayisan tidak segan‐segan mempergunakan jarum racunnya.
    Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri
    adalah seorang ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu
    benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat
    pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat
    pinggang itu bergulung menjadi sinar kuning emas dan tergulunglah jarumjarum
    hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian sekali ia
    menggentakkan tangan kirinya, jarum‐jarum itu terbang ke arah Bayisan ! Ini
    masih belum hebat, biarpun sudah membikin Bayisan berseru kagum dan
    kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian menciptakan sinar hitam
    tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun
    mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan, juga
    memberi "hidangan" yang sama dan yang tidak kalah lezatnya !
    "Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya
    menangkis jarum‐jarum itu. Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju
    lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya
    kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang
    muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:30.

  14. #208

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 204
    Pada saat itu, terdengar suara bentakan laki‐laki dari luar, "Iblis Khitan
    penjahat *****, kau menipu kami!" Maka muncullah tiga orang laki‐laki
    setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu
    berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam‐macam
    warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan
    mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit‐gesit sekali. Mereka
    semua membawa sebatang tongkat di tangan , tongkat yang butut akan tetapi
    di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.
    Munculnya tiga orang jembel ini menhentikan pertandingan itu. Bayisan
    memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?"
    bentaknya.
    "Masih pura‐pura lagi ! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak
    membantu pembebasan Kam‐goanswe yang kami muliakan, akan tetapi
    apakah yang kau lakukan di dusun Ki‐san ? Kau membasmi keluarga yang
    dengan baik hati telah menolong dan merawatmu. *******!" Setelah seorang
    di antara tiga jembel itu berkata demikian, mereka serentak maju menerjang.
    Melihat ini, Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat,
    seungguhpun tentu ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang
    pengemis ini, namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian
    menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian
    berimbang, ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian, berarti
    ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak
    menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba‐tiba tubuhnya meloncat ke luar
    dari jendela. Tiga orang pengemis itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana
    kau jai‐hwa‐cat (penjahat pemetik bunga)?"
    Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya
    saja. Ia tidak mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi
    sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap
    kekurang ajaran Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh
    orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan mencampuri. Apalagi kalau
    mendengar kata‐kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud membantu
    pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang
    sahabat Kam Si Ek ?
    Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba‐tiba
    Bayisan membalik dan menyerang mereka dengan jarum‐jarum hitamnya.
    Tiga orang pengemis itu bukan orang‐orang sembarangan pula, cepat mereka
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:43.

  15. #209

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 205
    mengelak sehingga jarum‐jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap
    dan lenyap ke dalam tembok. Akan tetapi bau jarum‐jarum itu yang amis
    membuat mereka kaget sekali.
    "Jarum‐jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu‐ragu untuk
    melanjutkan pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum
    beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi, dan teringat
    akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang
    kosen itu, mereka segera memasuki kelenteng.
    Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan
    hormat, sebelum mereka membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat
    dari partai pengemis manakah?"
    Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini
    dipergunakan oleh orang‐orang kang‐ouw untuk menyamar sebagai
    pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan‐perkumpulan pengemis
    mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.
    Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura
    dan memperkenalkan diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei‐ho‐kai‐pang."
    "Ah, kiranya Sam‐wi (Tuan Bertiga) adalah Sin‐tung Sam‐kai (Tiga Pengemis
    Tongkat Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Bengkauwcu..."
    "Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Li‐Hiap. Maaf
    bahwa beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah
    Li‐hiap (Pendekar Wanita)."
    "Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat
    karena ucapan merkea tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian
    dimana adanya Kam‐goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak
    orang jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam‐goanswe
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:44.

  16. #210

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 206
    kepada orang Khitan itu, apa artinya semua ini? Harap Sam‐wi suka
    menceritakan dengan jelas."
    Diam‐diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa
    hubungannya puteri Beng‐kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi
    itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan
    Ketua Bang‐kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik,
    mereka lalu bercerita.
    Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah
    keluar dari benteng menuju ke ibu kota Shan‐si untuk memenuhi panggilan
    Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang‐siangkun Si Komandan
    muka hitam yang diam‐diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan
    Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan Kam Si Ek dicegat oleh
    gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu. Celakanya, para
    pengawal Kam Si Ek diam‐diam sudah disogok pula oleh Phang‐siangkun
    sehingga selagi tidur, Kam Si Ek disergap dan dijadikan tawanan.
    Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai
    tempat penginapan oleh para pengawal Kam Si ek. Sebagai seorang
    komandan yang jujur dan tidak mau menggangu rakyat, Kam Si Ek memang
    biasa melakukan perjalanan sederhana, menginap pun di mana saja asal
    jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk bemalam di rumah
    kelenteng itu diterimanya baik.
    "Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak
    lama menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei‐ho‐kai‐pang."
    Demikian seorang di antara pimpinan kai‐pang (perkumpulan jembel) itu
    berkata, "Kami amat kagum kepada Kam‐goanswe dan ingin sekali
    menolongnya, akan tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap
    pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula oleh tokoh‐tokoh
    rahasia berilmu tinggi yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"
    "Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kamgoanswe
    adalah Kerajaan Liang?"
    "Betul, Li‐hiap. Seperti diketahui, Kerjaan Liang setelah berhasil merobohkan
    Kerajaan Tang, selalu mengalami rong‐rongan dari pelbagai pihak yang
    hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain

Page 14 of 16 FirstFirst ... 410111213141516 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •