Jakarta,- Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla optimistis perubahan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disahkan DPR tahun ini. RUU tersebut kini masih dalam finalisasi di kabinet sebelum diajukan ke DPR akhir bulan ini.
Kalla mengemukakan, kecepatan pembahasan RUU Tipikor di kabinet terkendala masalah teknis, yakni pemerintah berpotensi sulit merekrut hakim ad hoc (nonkarir) untuk mengisi formasi di seluruh tingkat pengadilan. Pasalnya, setelah perubahan UU Tipikor, semua perkara korupsi tidak lagi diadili di pengadilan umum, tapi di pengadilan tipikor.
”Akibat perubahan UU Tipikor, semua masalah korupsi harus diadili di pengadilan ad hoc tipikor, yang harus dibentuk maksimal akhir bulan ini. Masalahnya, bagaimana merekrut hakim ad hoc sebanyak itu,” ujar Kalla di kediaman dinas Wapres, Sabtu lalu (14/6).
Menurut Kalla, karena terlepas dari pengadilan umum, hakim ad hoc pengadilan tipikor tidak bisa diisi dari kalangan hakim karir. Selain itu, hakim ad hoc harus mumpuni dalam kemampuan ilmu hukum serta memiliki keahlian khusus.
’’Hakim ad hoc pengadilan tipikor harus ahli perbankan, ahli teknologi informasi, menguasai money laundering (pencucian uang), dan macam-macam keahlian lain. Bayangkan, betapa sulitnya merekrut hakim yang kapabilitasnya seperti itu dalam waktu singkat untuk pengadilan di 33 provinsi dan 400-an kabupaten/kota,’’ kata Kalla.
Sejumlah kalangan awalnya menilai pemenuhan kebutuhan hakim ad hoc tidak bisa dicicil. Sebab, dalam RUU disebutkan bahwa pengadilan ad hoc tipikor harus berdiri serentak tanpa diskriminasi daerah. Namun, akhirnya disepakati pengisian tahap pertama untuk pengadilan ad hoc tipikor tingkat provinsi dulu. ”Kalau masing-masing provinsi butuh lima hakim ad hoc, berarti untuk 33 provinsi kita butuh 165 hakim ad hoc, di samping hakim karir,” katanya.
Dengan berdirinya pengadilan ad hoc tipikor di tingkat provinsi, lanjut Kalla, bila kasusnya terjadi di kabupaten, kasusnya ditarik ke tingkat provinsi atau hakim tipikor dikirim ke kabupaten. ”Secara teknis kondisinya seperti sekarang. Kasus korupsi satu bupati di Riau dapat diadili di pengadilan tipikor di Jakarta,” terang Kalla.
Wapres mengemukakan, pembentukan pengadilan ad hoc tipikor di tiap daerah juga untuk efisiensi dan efektivitas pemberantasan korupsi. ”Mahal sekali kalau semua kasus dibawa ke pusat. Pengadilan ini kan mengurusi semua masalah korupsi. Kalau dulu, pengadilan ad hoc tipikor hanya mengadili kasus korupsi tingkat tinggi dengan kerugian di atas Rp 1 miliar. Sekarang semua perkara korupsi harus diadili di pengadilan tipikor,” ujarnya.
Kalla juga yakin pemerintah dan DPR mampu memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2005 yang mengamanatkan pembentukan pengadilan ad hoc tipikor maksimal tiga tahun. Sejumlah pihak kini khawatir UU tersebut tidak bakal disahkan DPR yang tengah sibuk mengurusi pemilu dan kekecewaan adanya sejumlah anggota DPR yang diproses KPK.
”Sekarang masih Juni. Artinya, masih ada waktu enam bulan untuk DPR mengesahkannya. Pembahasan akan cepat karena saya tidak yakin ada anggota DPR yang berani mengubah UU Tipikor secara ekstrem setahun menjelang pemilu,” katanya. ”Begitu disebut fraksi partai ini menghambat UU Tipikor, habis sudah dicerca rakyat, dituding antipemberantasan korupsi,” lanjutnya.
Kalla menegaskan, wajar bila secara pribadi banyak anggota DPR yang ketakutan dengan pemberlakuan UU Tipikor. Tapi, dia menegaskan bahwa DPR secara lembaga tidak boleh takut dengan pemberantasan korupsi. ”Kalau RUU ini banyak berubah, pasti masyarakat kecewa dengan DPR,” jelasnya.
Pada 2005, MK mengeluarkan putusan pengadilan tipikor harus memiliki landasan hukum, yaitu UU Pengadilan Tipikor yang saat ini belum ada. Pengadilan ad hoc tipikor tidak bisa hanya mendasarkan diri pada UU Tipikor. Jika dalam waktu tiga tahun sejak 2005, UU Pengadilan Tipikor tidak disahkan DPR, pengadilan ad hoc tipikor otomatis bubar. (noe)
Sumber :
http://www.pontianakpost.com/berita/...tama&id=160039