Keesokan harinya, Thoran Steinbach kembali datang menjemput Rivanne. Kali ini, ia datang lebih pagi. Ibu panti gembira sekali menyambut kedatangan Thoran.
“Rivanne, temanmu yang kemarin datang, Thoran, sudah datang untuk menjemputmu. Cepatlah kamu bersiap-siap, tidak baik membuatnya menanti terlalu lama !”
Tetapi Rivanne, walaupun sudah selesai mandi, tetap duduk diam di dalam kamarnya. Ia masih memikirkan ucapan Rigel yang didengarnya semalam...
“Siapapun yang berada di dekatmu, akan kulenyapkan dengan tanganku ini !”
Tangan Rivanne perlahan menyibakkan korden jendela, dan membiarkan sinar matahari masuk menyinari kamar tidurnya yang mungil.
“Apakah Rigel benar-benar serius dengan kata-katanya ?
Aku.. jadi benar-benar takut terhadap dirinya.”
Sementara itu, suara ibu panti kembali terdengar.
“Rivanne, cepatlah turun ! Apa yang kamu lakukan di kamarmu tersebut ?”
Mendengar suara itu, Rivanne tersadar. Ia segera mengambil tas lalu menuruni sebuah tangga menuju ruang tamu.
“Ma.. maafkan saya.”
Di ruang tamu, Thoran Steinbach sedang duduk berseberangan dengan ibu panti. Ketika Rivanne muncul, pemuda itu tersenyum manis ke arahnya.
“Tidak perlu terburu-buru. Bel sekolah masih cukup lama, masih ada waktu bagimu untuk bersiap-siap.”
Tiba-tiba Ellie, seorang gadis kecil berumur 7 tahun yang tinggal di panti karena ditinggalkan orang tuanya, menarik baju Rivanne sambil bertanya, “Kak Rivanne, orang itu pacar kakak yach ?”
“Ellie ! Bu.. bukan kok, Thoran adalah ketua kelasku. Oh ya, mengapa kamu sampai bersedia repot-repot menjemputku ?”
Thoran tetap tersenyum sambil balik bertanya, “Apakah kamu tidak senang kujemput, Rivanne ?”
“Ti.. tidak. Bukan itu maksudku. Hanya saja...”, Rivanne tidak dapat melanjutkannya.
“Rivanne, makanlah dahulu. Aku akan menunggumu. Lalu setelah selesai, kita berangkat.”
Rivanne mengangguk. Ia segera pergi ke ruang makan.
“Adik-adik, maafkan kakak. Hari ini kakak tidak dapat mengantar kalian pergi ke sekolah.”
“Kak Rivanne, jangan berkata seperti itu ! Kami sudah bukan anak kecil lagi !”, Jerko, anak laki-laki tertua kedua setelah Rivanne memprotes, “Akulah yang akan mengantar adik-adik berangkat sekolah. Kak Rivanne pergi saja dengan teman kakak, ok ?”
Rivanne tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, “Jerko, kamu ini selalu saja sok tua. Tetapi baiklah, aku menghargai niat baikmu. Dan terima kasih.”
Mereka-pun makan pagi bersama, lalu setelah itu mereka berangkat.
“Rivanne !”
Rivanne Othello terkejut. Ia sedang melamun saat pelajaran berlangsung.
“Apa kamu mendengar apa yang barusan kukatakan ?!”
Rivanne kebingungan.
“Ma.. maafkan saya, Pak.”
Guru itu menghela nafas dengan kesal, lalu berkata, “Baca halaman 35 dengan suara keras !”
Rivanne segera membuka halaman yang dimaksud, dan ketika terbuka, Rivanne terkejut. Halaman 35 pada bukunya adalah halaman kosong !
“Ada apa lagi, Rivanne ?”
“Pak, halaman 35 pada buku saya kosong, tidak ada tulisan apapun.”
“Apa ?! Apa maksudmu ?”, guru itu mendatangi meja Rivanne. Lalu Rivanne memberikan bukunya untuk dilihat. Dan ketika melihatnya, wajah guru itu langsung merah padam.
“Rivanne, katakan apa maksudmu dengan kalimat ini ?!”, nada suara guru tersebut terdengar rendah dan penuh kemarahan. Guru itu mengembalikan buku tersebut pada Rivanne, dan Rivanne melihatnya. Disana tertulis dengan tulisan tangan :
Aku sangat benci pelajaran Bahasa Inggris, apalagi mendengarkan guru menyebalkan seperti Pak George. Mungkin lebih baik jika Pak George dipecat saja !
Melihat tulisan tersebut, Rivanne langsung menjatuhkan bukunya karena terkejut.
“Pak, percayalah. Bukan saya yang menulis tulisan seperti itu !”
“Kalau bukan kamu, siapa lagi ?! Memangnya kamu ingin berkata bahwa penamu dapat menulis sendiri ?!”
Rivanne semakin gugup, sementara George sedang memikirkan tindakan yang cocok bagi Rivanne.
Tiba-tiba... “Tunggu dulu, Pak ! Coba saya lihat dahulu buku itu.”, Thoran sudah berdiri di belakang George. Dan tanpa menunggu jawaban, Thoran segera mengambil buku yang tergeletak di lantai itu.
“Aneh, seharusnya halaman ini sama seperti halaman 35 pada buku lainnya. Mengapa halaman ini bisa kosong dan dapat ditulis ?”
George juga tersadar dari amarahnya, “Benar juga. Mengapa halaman ini kosong ? Bukankah ini buku diktat, dimana halaman ini seharusnya berisi cerita seperti buku lainnya ?”
Thoran mengambil buku catatan milik Rivanne, lalu mencocokkan kedua tulisan tangan tersebut.
“Pak, tulisan tangan Rivanne berbeda dengan tulisan ini. Silahkan Anda periksa.”, Thoran memberikan kedua buku yang dipegangnya kepada guru itu. George memeriksa kedua buku itu, lalu mengangguk.
“Kalau memang demikian, berarti ini bukan tulisanmu. Maafkanlah saya. Tetapi siapakah yang menulis ini di buku diktat milikmu ?”
Rivanne menggeleng, “Entahlah, saya juga tidak tahu.”
Thoran menyela mereka, “Pak, saya rasa Rivanne tidak tahu apapun mengenai hal ini. Saya harap bapak jangan mendesaknya lagi.”
George mengangguk, lalu kembali ke depan. Demikian pula Thoran kembali ke tempat duduknya. Sementara Rivanne terus memandangi tulisan itu.
“Walau bukan aku yang menulis,
tetapi apakah aku memang sedang memikirkan hal seperti yang tertulis disana ?
Mengapa aku tidak dapat mengingat secara jelas apa yang sedang kupikirkan tadi ?”
Pulang sekolah. Rivanne Othello baru saja keluar dari sekolahnya, ketika ia melihat seorang berjubah gelap sedang berdiri di bawah pohon memandang ke arah dirinya. Rigel Othello !
Rivanne segera menghampirinya.
“Rigel, apa lagi yang kamu inginkan dariku ?!”
Rigel tersenyum dingin seperti biasa, lalu berkata, “Kak Rivanne, ada sebuah ‘hadiah kecil’ untukmu. Silahkan lihat ke atap gedung sekolahmu.”
Rivanne berbalik dan ia terkejut; Ada seseorang di atas gedung sekolah, dan ia berdiri di luar pagar pembatas !
Rivanne segera berlari dan menjerit mencegah orang itu agar tidak melompat, tetapi terlambat. Orang itu melompat dan...
“KYAA.. !!”, Rivanne menjerit ketika melihat tubuh itu terhempas ke tanah, lalu ia jatuh pingsan. Semua orang terkejut dan terdiam selama beberapa saat melihat kejadian itu. Sementara itu, Rigel Othello berkata perlahan seakan-akan untuk dirinya sendiri, “Rivanne, sebenarnya apa yang tertulis pada buku diktat-mu tersebut, adalah perasaanmu yang sebenarnya. Aku hanya menampilkannya ke permukaan saja. Dan aku tidak akan ragu melenyapkan orang yang menyebalkan bagi dirimu. Pak George sudah ‘dipecat’ selamanya dari dunia ini.”
Dan, Rigel melangkah pergi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yap, salah satu terror dr Rigel telah dimulai, fufufu... dia takkan ragu utk melenyapkan siapapun yg dianggap 'mengganggu' Rivanne. Tp, bagaimanakah Rivanne akan bereaksi ?