============================
Phase 2: Reaper? No, It’s A Malakh
============================
Oh, ternyata mereka tinggal di sebuah apartemen juga.
Sesampainya di depan pintu, lelaki itu, Daleth, menekan bel. Terdengar suara langkah kaki yang cepat dari dalam dan…pintu terbuka. Hei? Orang yang membukakan pintu ternyata tingginya tidak jauh berbeda denganku. Itukah Resha Gimmelia?
“Bawa roti?”, tanya perempuan itu, yang seharusnya adalah Resha, dengan mata yang berbinar-binar.
“Hari ini hampir seluruh roti ludes terjual. Yang tersisa hanyalah jatah makan untuk diriku dan tenchou saja…”, Daleth menjawab dengan lemas.
“Hah?! Jadi sekarang aku harus makan apa?!”, Resha memaki.
“Beli saja sana…supermarket tidak terlalu jauh kan?”
“Huh…ya sudah, mana uang---“
Kontak mata antara diriku dan perempuan itu tidak dapat terhindarkan lagi. Ekspresinya berubah suram, seperti seseorang yang telah melihat sesuatu yang mengagetkan. Dengan langkah yang diseret-seret, dia berjalan keluar pintu.
“Daleth…telepon umum ada di persimpangan itu kan?”, tanya perempuan itu dengan nada lemas.
“Iya, tidak jauh. Ada apa memangnya?”
“Ah…mungkin ini saatnya aku menelepon kantor polisi…”, nada suaranya yang suram ditambah dengan tatapan kosongnya ke arah langit malam, memberikan kesan kalau dia benar-benar terkejut, seperti seorang yang akan menghadapi dihukum mati.
“H-Hei..!! Resha, dengarkan aku dulu!!”
“Apa lagi yang mau kamu jelaskan…? Waktu itu Sakuya-chan. Sekarang…aha. Ahaha. Ahahaha…”
Hmm, cara tertawa yang aneh. Belum pernah aku mendengar yang seperti itu. Mungkinkah itu salah satu bagian dari emosi manusia?
Dan mereka berdua…apakah selalu berinteraksi dengan cara seperti ini? Kalau kuperhatikan, tidak ada satupun ekspresi yang dapat dikategorikan sebagai ungkapan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka masing-masing. Membingungkan…
“Heeehh…dengarkan dulu…!!”, ujar Daleth sambil mencubit kedua pipi Resha, sama seperti yang dilakukannya padaku tadi. Apa dia senang mencubit pipi seseorang?
“Aaaahhh…!! Sakitttt…!!”, wajah Resha terlihat kesakitan.
“H-Hei, hentikan. Sepertinya dia tidak merasa nyaman dengan itu.”
“Ahaha…tenang saja, Azrael. Yang begini sudah biasa terjadi.”, sahut Daleth.
“Oh, jadi itu nama anak yang satu ini. Azrael. Ternyata kamu benar-benar lolic--- aaaaahhh!!”, teriakannya makin keras karena Daleth memperkuat cubitannya.
“Diam dan dengarkan ceritaku di dalam, mengerti?”, tutur Daleth.
Kamipun masuk lalu duduk di area lantai yang cukup lega, tepat di depan televisi. Daleth menceritakan semuanya, ya, semua, tanpa kebohongan sedikitpun pada Resha. Awalnya, Resha menunjukkan ekspresi tidak percaya. Namun setelah aku ikut memberikan keterangan, akhirnya dia bisa menerima kata-kata Daleth.
“Oke, oke. Tapi…Daleth, ke sini sebentar.”
Daleth mendekatkan telinganya ke mulut Resha. Ah, ternyata aku masih bisa mendengarnya. Kepekaan telingaku akan suara memang lebih tinggi dibanding orang normal. Mereka berdua mulai berkata-kata dengan volume yang sangat pelan…
“Daleth, apa kamu gila? Dengan begini sama saja kita akan ditemukan lebih cepat…”
“M-Maaf. Ini memang kebiasaan burukku. Tapi aku tidak kuasa melihatnya. Sorot matanya tidak pernah menunjukkan emosi apapun. Meski dia manusia buatan, tapi kurasa dia juga berhak hidup normal seperti orang lain.”
“Iya, aku tahu kamu terkadang memang kelewat baik. Tapi coba pikirkan, bagaimana seandainya jika ada pemancar ataupun alat komunikasi lain yang ditanam di tubuhnya?”
“Oh, tenang saja. Tidak ada apapun yang ditanam di dalam tubuhku.”, sahutku.
Mereka berdua langsung berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan terkejut.
“K-Kamu…bisa dengar?”, tanya Daleth.
“B-Bagaimana bisa…”, sahut Resha.
“Daya pendengaranku memang di atas rata-rata. Oh, bukan hanya itu. Penglihatan, penciuman, stamina, dan kekuatan fisikku juga melebihi manusia biasa.”
Suasana mendadak hening selama beberapa saat. Ada apa kira-kira…?
“Kamu…benar-benar tidak menyimpan apapun di tubuhmu kan?”, tanya Resha, sepertinya masih meragukan kata-kataku.
“Aku jujur. Apa kamu mau memeriksa tubuhku sekarang?”, langsung saja aku berusaha membuka pakaianku.
“E-E-EEEEHHH!! Jangaaaannn!! Lelaki lolicon yang satu ini amat sangat berbahaya!! Dia itu binatang buas!! Kamu tidak akan tahu apa yang akan dia lakukan kalau kamu membuka bajumu sekarang…!!”, seru Resha.
“Heh!! Sembarangan saja…!! Berapa kali harus kukatakan kalau aku bukan lolicon?!”, sahut Daleth, dengan volume suara yang sama kerasnya.
Entah apa yang terjadi pada diriku, namun…mereka berdua kembali terdiam dan menatapku.
“Baru saja…kamu tersenyum?”, tanya Daleth.
“Bukankah tadi kamu bilang kalau kamu tidak tahu-menahu mengenai emosi…?’, tanya Resha, dengan wajah yang sama dengan Daleth. Keheranan.
“Tersenyum? Aku hanya merasa otot-otot mulutku berkontraksi sedikit, agak naik. Mungkin itu karena kelakuan kalian yang mengoceh terus sejak tadi…”
Aku kembali merasakan itu. Otot-otot mulutku kembali berkontraksi, sehingga bagian kiri dan kanannya sedikit naik.
Tiba-tiba terdengar suara. Itu bunyi…
“Ah, perutku sudah keroncongan…”, sahut Resha.
“Huh…coba saja kalau tadi kamu tidak banyak berkomentar, mungkin kamu sudah makan sekarang. Ya sudah, beli makanan sana.”, Daleth mengeluarkan dompet dari sakunya, lalu memberikan beberapa lembar uang pada Resha.
“Boleh aku ikut?”, tanyaku. Resha terdiam beberapa saat setelah mendengar kata-kataku.
“Resha, biarkan dia ikut.”, sahut Daleth.
“T-Tapi…”
“Dia tidak punya misi untuk membunuhmu kan? Jadi…kenapa harus takut?”
Kata-kata Daleth seperti obat penenang bagi Resha. Dia langsung menganggukkan kepala, wajahnya juga terlihat lebih tenang. Tanpa basa-basi dia langsung melangkah keluar, diikuti olehku.
“Namamu…Azrael?”, tanya Resha, beberapa saat setelah keluar dari halaman apartemen.
“Benar. Lengkapnya Azrael Mevimaveth.”
“Namamu seram sekali sih…”
“Begitukah? Mau bagaimana lagi, itu nama yang diberikan oleh orang yang sudah menciptakan tubuhku.”
“Hahaha…benar juga ya. Yah, walaupun seram, tapi tetap terdengar keren.”, dia tetap berusaha tersenyum. Aku tahu sebenarnya dia masih takut, terlihat sekali dari sorot matanya.
“Terima kasih untuk pujiannya. Ah ya, aku sudah dengar kisah hidup kalian. Menurutku cukup rumit…apa kalian benar-benar sudah memiliki keputusan bulat untuk terus lari?”
“Hmm…bagaimana ya menjawabnya…tidak tepat juga kalau dikatakan kami berdua sedang dalam pelarian. Kami hanya akan lari jika ada orang-orang Liberion yang mengejar. Jika tidak…ya sudah, kami berhenti saja di satu tempat dan menolong orang-orang yang kami temui di situ. Contohnya saja di sini, sudah beberapa minggu kami menetap.”
“Oh, aku sudah dengar itu dari Daleth. Negara ini memang sulit untuk diintervensi pihak asing, sehingga cocok untuk bersembunyi.”
“Err…dan kamu pun datang…”, dia melangkah agak menjauh dariku.
“Kamu masih takut?”
“Bagaimana tidak…aku tidak tahu apa yang akan kamu perbuat terhadapku.”
“Kamu tidak percaya kata-kata Daleth?”
Huh? Ada apa dengan Resha? Wajahnya…sedikit berubah warna setelah aku menanyakan hal itu. Orang biasa tidak akan bisa melihat perubahan warna wajahnya dalam kondisi malam hari seperti ini. Namun diriku, yang memiliki daya penglihatan yang lebih baik dari manusia normal, dapat melihatnya.
“P-Percaya sih…tapi…”
“Wajahmu memerah. Ada apa? Suatu penyakit masuk ke tubuhmu kah?”
“B-Bukan begitu. Hanya saja…ah, sudahlah. Mungkin kamu belum bisa mengerti sekarang.”
“Kalau begitu, beritahukan padaku. Aku ingin tahu sebanyak mungkin hal yang membuatku dapat menjadi manusia normal seperti dirimu, Daleth, dan banyak orang di dunia ini.”
“Kamu benar-benar terobsesi menjadi manusia biasa ya?”
“Ya, mungkin benar. Sekarang lihat diriku. Selain beberapa kemampuan fisikku yang lebih baik dari orang biasa, apalagi yang berbeda antara aku dan kamu?”
“Ng…sepertinya tidak ada.”, jawabnya, lalu dia tersenyum ke arahku. “Tapi hal itu tidak dapat dimengerti hanya dengan diceritakan, Azrael. Kamu harus mengalaminya sendiri untuk bisa memahaminya.”
“Oh…begitu rupanya. Baiklah, tapi apa aku boleh tahu apa yang kamu rasakan mengenai…Daleth?”
Lagi-lagi wajahnya berubah merah. Aliran darah di wajahku belum pernah mengalami kondisi abnormal seperti itu. Berbahayakah? Ah, sepertinya tidak. Sudah dua kali wajah Resha berubah seperti itu, namun tidak ada tanda-tanda perubahan fisik yang membahayakan terlihat olehku.
Langkahnya terhenti, lalu sesaat dia menatap langit musim semi yang penuh bintang. Sekali menarik dan menghembuskan nafas…
“Aku benar-benar mencintai Daleth.”, jawabnya, lalu tersenyum dengan wajah yang masih berwarna kemerahan ke arahku.
“Cinta…? Apa itu? Apakah itu bagian dari emosi manusia juga?”
“Kamu benar. Dan itu adalah satu-satunya bentuk emosi yang memiliki kekuatan terbesar di dunia ini…”
“Wow. Sehebat itukah? Seperti apa rasanya?”, aku makin bersemangat mendengar penjelasannya. Sepertinya ini dapat menjadi referensi yang bagus.
“Umm…aku tidak dapat menjelaskannya dengan kata-kata. Tapi aku yakin, suatu hari nanti kamu juga akan menemukannya.”
“Hmm…begitu ya. Baiklah, sepertinya aku bisa sabar menunggu untuk dapat mengalaminya sendiri. Kalau begitu, apa Daleth sudah tahu hal itu?”
“E-E-Eh?! D-Daleth?! K-Kuberitahu?! Apa kamu b-bercanda?!”, jawabnya gelagapan.
“Aku makin tidak mengerti. Jika benar kamu mencintainya, kenapa tidak katakan saja? Terlebih lagi hal itu memiliki kekuatan yang hebat, menurut penjelasanmu.”
“T-Tidak semudah itu, Azrael. Aku merasa belum siap untuk mengungkapkannya.”
“Misterius sekali…”
“Yah, begitulah. Misterius, itulah cinta. Jadi jangan heran jika suatu hari nanti kamu melihat ada orang yang mampu mengatasi batasan-batasan ruang, waktu, massa, dan energi, karena cinta. Duh…gaya bicaraku jadi tertular Daleth begini…”, ujarnya sambil menggaruk-garuk kepala.
“Ah, aku mengerti. Bahkan kontinuitas spatiotemporal dan tingkatan energi kuantum dapat dilampaui oleh kekuatan cinta.”, ujarku sambil menaruh tangan kanan di dagu.
“Hei, kenapa cara bicaramu juga tertular Daleth begitu…”
“Ah, maaf. Selama lebih dari dua bulan aku terus diajari berbagai pengetahuan tingkat atas. Jadi, maaf kalau kamu tidak mengerti.”
“Ahaha…iya, tidak apa-apa. Huff…lega rasanya. Sejak aku bertemu dengannya, aku belum pernah mengatakan hal ini pada siapapun. Baru kamu seorang.”
“Oh? Jadi belum ada yang tahu akan hal ini?”
“Sepertinya belum. Aku tidak tahu apakah orang-orang yang pernah kutemui dapat membaca gelagatku ketika berada di dekat Daleth, dan mengambil kesimpulan kalau aku menaruh perasaan padanya. Tapi yang jelas, baru kali ini aku mengungkapkannya lewat kata-kata. Err…tapi jangan katakan hal ini pada Daleth, oke?”
“Baiklah, aku mengerti. Tenang saja, Resha. Aku sudah dilatih untuk menyimpan rahasia.”
“Bagus.”, dia menepuk bahu kananku dengan tangan kirinya. “Seorang perempuan sudah selayaknya menyimpan banyak rahasia.”
“Benarkah? Aku baru tahu hal itu. Apa hal itu dapat kupelajari untuk menjadi seorang manusia…seorang perempuan normal?”
“Oh jelas. Jangan biarkan seorang lelaki tahu terlalu banyak tentang dirimu, kecuali kalian sudah menikah. Hehehe…”, dia tersenyum.
Ini dia supermarket yang dituju. Sepertinya benar yang dikatakan Daleth, dia ini…tukang makan. Beberapa jenis makanan mulai dari onigiri, sushi, hingga beberapa bungkus ramen cup diambilnya. Aku heran, bagaimana tubuhnya tetap kecil seperti itu sementara makannya banyak? Aku sendiri harus mengatur ketat menu makananku, agar kondisi tubuhku tetap ideal untuk melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang berbahaya. Ah, ternyata manusia punya banyak hal yang belum dapat kumengerti saat ini.
“Lama sekali…kalian ke mana saja?”, tanya Daleth begitu kami kembali ke apartemen.
“Err…kami hanya mengambil jalan memutar sedikit…”, jawab Resha, namun tidak menatap ke arah Daleth.
“Huh…bukankah sudah kubilang, jangan terlalu lama berada di luar? Ya sudah, cepat masuk. Di luar udaranya mulai dingin.”
Untuk semalam ini, aku diijinkan menginap di tempat tinggal mereka berdua. Lagi-lagi aku heran, kenapa masih ada orang-orang yang kelewat baik seperti mereka? Selama ini yang kutemui hanyalah orang-orang berwajah serius, jarang sekali aku melihat mereka tertawa. Tidak hanya itu, baik Gregor maupun orang-orang militer Anglion, semuanya bersikap dingin terhadapku, bicarapun hanya seperlunya. Oh, setidaknya Gregor masih sering berbicara denganku.
Sementara di sini…suasananya berbeda. Aneh. Keinginanku untuk membunuh lenyap begitu saja saat berada di dekat mereka. Terlebih lagi perempuan yang bernama Resha. Menurutku dia lebih misterius dari Daleth, karena punya banyak rahasia.
Ah, tapi setidaknya aku mendapatkan beberapa pelajaran. Aku dapat melakukan sesuatu yang disebut ‘tersenyum’, dan…sedikit pelajaran mengenai cinta dari Resha.