Sayangnya, hasil penelitian berkata lain. Kelapa sawit banyak sekali menyerap air, dan merusak moisture tanah.
Sawit Untuk Kesejahteraan: Antara Mimpi dan Kenyataan
Posted on: Sunday, Aug 21, 2005
Kelapa Sawit, tanaman yang berasal dari Brazil, telah menjadi primadona bagi Pemerintah Indonesia di segala tingkatan. Tak kurang bahkan SBY telah berencana membangun membangun perkebunan kelapa sawit seluas 1,8 juta hektar di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia. Kelapa sawit memang telah hadir sejak tahun 1960 di Samarinda, yang kemudian mulai ditanam dengan lebih luas pada tahun 1970 di Bulungan, hingga akhirnya dibangun dengan lebih besar pada tahun 1990-an. Bahkan saat ini Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur selalu mengumandangkanya akan dibangun satu juta hektar perkebunan kelapa sawit.
Sangat diakui bahwa kelapa sawit memiliki berbagai turunan produk yang dimanfaatkan manusia, mulai dari mentega, minyak goreng, biskuit, hingga sebagai bahan industri tekstil, farmasi, kosmetika, sabun, deterjen dan beberapa jenis turunan produk lainnya. Ampasnya pun dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, serta batang dan pelepahnya dapat dimanfaatkan sebagai papan partikel bahkan kertas.
Hingga Bulan Januari 2005 Kalimantan Timur telah memiliki 118 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masih aktif dan tersebar dibeberapa kabupaten maupun kota. Namun dari 118 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas 1.766.462 hektar, namun dari yang ada tersebut hanya 54 perusahaan saja yang telah memiliki hak guna usaha (HGU) dan ijin usaha perkebunan (IUP), dan hanya 32 perusahaan dari 54 perusahaan tersebut yang telah merealisasikan kegiatan penanaman di seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Timur dengan luas tak lebih dari 124.096,63 hektar. Hingga saat ini, Kaltim baru memiliki 10 pabrik pengolahan hasil kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) dengan kapasitas pabrik antara 30-80 ton tandan buah segar/jam.
Berbagai mimpi manfaat dari dibangunnya perkebunan kelapa sawit, hingga hari ini masih terus terdengar. Peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur jalan, hingga pengadaan sarana pendidikan dan kesehatan, selalu menjadi janji manis yang diberikan oleh pengusaha yang akan membangun perkebunan kelapa sawit.
Bahkan ketika mengetahui bahwa satu batang kelapa sawit dapat menyerap air 20-30 liter per hari, pun dianggap kelapa sawit dapat membantu mengatasi permasalahan banjir yang telah menjadi agenda rutin di beberapa kota di Kalimantan Timur. Senyatanya perkebunan kelapa sawit telah menjadikan rawa menjadi kering, air tanah berkurang, sehingga ketika musim penghujan akan terjadi banjir dan di musim kemarau akan terjadi kekeringan.
Kelapa sawit pun dianggap dapat menjadi produk yang berkelanjutan, dimana para pengusaha perkebunan kelapa sawit berkumpul dalam Rountable Sustainable Palm Oil, yang setiap tahun bertemu untuk menyusun kriteria kelapa sawit yang berkelanjutan. Mungkin ini mimpi di siang bolong, bagaimanapun kelapa sawit berkelanjutan adalah hal yang tak akan pernah mungkin terjadi.
Kenyataan yang ada hari ini di Kalimantan Timur masih sangatlah jauh dari mimpi yang selalu diungkapkan. Kesejahteraan komunitas masyarakat yang ?rela?? menyerahkan kawasan hidupnya pada perkebunan kelapa sawit, hingga hari ini masih belum membaik. Juga petani plasma, yang dibuai dengan mimpi akan meningkatnya kesejahteraan, masih berkutat dengan rendahnya harga jual tandan buah segar sawit ke pabrik pengolahan.
Belum termasuk janji pembangunan infrastruktur jalan, yang senyatanya hanya dibangun pada areal perkebunan. Akses jalan bagi komunitas masyarakat masihlah sangat teramat sulit dijangkaukan.
Sarana pendididikan dan kesehatan pun tak luput dari pengabaian janji-janji semu pelaku usaha perkebunan besar. Masih terlalu jauh mimpi untuk dapat meraih tingkat pendidikan yang lebih baik, serta kesehatan yang terjaminkan dapat digapai oleh komunitas masyarakat yang dibuai dengan janji manis perkebunan kelapa sawit.
Di lain sisi, telah begitu banyak perusahaan perkebunan yang serta merta meninggalkan lahan yang telah dibabat habis kayunya, tanpa menanam kelapa sawit sebagaimana yang telah mereka janjikan. Yang ditinggalkan hanyalah hamparan lahan kosong, berbelukar yang menghasilkan erosi dan menjadi lahan kritis karena tak lagi berpepohonan, sehingga tak ada lagi pula hewan yang hidup di kawasan tersebut. Pemerintah pun hingga hari ini belum pernah memberikan hukuman yang pantas terhadap pengusaha perkebunan yang telah melakukan penghancuran hutan tersebut.
Korupsi juga bukan menjadi barang yang aneh dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kaltim. Pengabaian beberapa persyaratan penting dalam melakukan upaya perkebunan, semisal AMDAL, bank garansi, hingga perijinan, masih sering ditemukan hingga saat ini. Bahkan pengusaha perkebunan dapat membabat hutan terlebih dahulu, walau baru menerima ucap kata setuju dari pemerintah.
Penghilangan dan penghancuran adat, juga dilakukan oleh beberapa perkebunan besar kelapa sawit di Kaltim. Penggusuran makam serta situs-situs adat komunitas masyarakat masih terus dilakukan. Dan ketika ini dilakukan, masyarakat berada dalam posisi yang dilemahkan, baik oleh negara maupun aparat penegak hukum, bahkan sebagian di?kriminal?kan.
Sedemikian banyaknya permasalahan yang mengikuti pembangunan perkebunan besar kelapa sawit, sudah selayaknya menjadi sebuah cerminan akan tidak seriusnya pemerintah menjalankan pelayanan bagi masyarakat. Pembelaan terhadap kepentingan sekelompok orang (dalam hal ini pemilik modal) masih sangat tinggi di pemerintah, sementara masyarakat selalu dibiarkan tertindas.
Padahal, hingga saat ini, sangat diyakini oleh banyak pihak bahwa perkebunan rakyat-lah yang telah menopang pembangunan di Indonesia hari ini. Namun pemerintah masih belum mau melindungi perkebunan yang dimiliki rakyat, termasuk terhadap pemasaran produk dari masyarakat.
60 tahun sudah Indonesia memerdekakan diri. Sudah seharusnya masyarakat Indonesia menjadi sejahtera. Pemerintah sudah sewajarnya tak lagi berpikir hanya untuk kepentingan segelintir orang yang memiliki begitu banyak modal semu. Tak perlu terulang lagi kejadian krisis ekonomi bagi Indonesia, akibat penguasaan segelintir pengusaha yang menghabiskan dana-dana pemerintah, untuk kepentingan kaum mereka sendiri.
Pemerintah Indonesia, termasuk Pemprop Kaltim dan Pemkab/Pemkot di Kaltim, sudah seharusnya:
Tidak memberikan perlakukan istimewa terhadap upaya-upaya pembangunan perkebunan besar, diantaranya dispensasi, dukungan permodalan, dan/atau perlindungan keamanan yang berlebihan;
Melakukan evaluasi independen dan terbuka terhadap ijin-ijin perkebunan yang telah diberikan;
Menghentikan sementara pemberian ijin pembukaan perkebunan kelapa sawit baru di Kaltim hingga evaluasi tuntas dilakukan;
Memberikan sanksi yang seberat-beratnya kepada pengusaha yang hanya menghancurkan hutan;
Melakukan perbaikan peraturan perundang-undangan berkaitan perkebunan, yang masih terlalu memihak segelintir kelompok (pengusaha/pemodal) dan meminggirkan hak-hak dasar masyarakat Indonesia;
Melakukan penegakkan hukum dan pelarangan penggunaan kekerasan oleh perusahaan, serta;
Menyelesaikan permasalahan tenurial dan konflik-konflik sosial lainnya dengan proses yang berkeadilan dan demokratis.
Selain juga sangat diperlukan langkah dari lembaga keuangan (Bank, Lembaga Permodalan, dan lembaga sejenis), yang memberikan pinjaman permodalah kepada pengusaha perkebunan agar memenuhi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP 31 Januari 2005, diantaranya terhadap kepastian pemenuhan upaya pengelolaan lingkungan hidup dari debitur. Karena bila tidak, maka bukan tidak mungkin Bank yang tidak menaati edaran tersebut dapat menjadi bagian bank bermasalah yang akhirnya harus kembali menjadi beban rakyat.
Dan penting bagi masyarakat Kaltim pada umumnya untuk kembali pada konsumsi makanan tradisional, tidak kepada produk-produk makanan instan dan (katanya) modern, yang beberapa bagian dari produk makanannya bisa saja berasal dari perkebunan yang menyebabkan hilangnya kehidupan sebuah komunitas masyarakat lain, serta melakukan pengrusakan lingkungan hidup.
Terakhir, penting untuk direnungkan, di saat 60 tahun Indonesia memerdekakan diri, apakah benar saat ini masyarakat Indonesia telah merasakan nikmatnya kekayaan alamnya, nikmatnya keindahan alamnya dan nikmatnya kebebasan dan kemerdekaannya.
[bogor-050821]
http://timpakul.web.id/sawit-5.html
Share This Thread