Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari
pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada
periode 1095 - 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan
tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah
Suci” dari kekuasaan Muslim dan
awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama
Kristen Ortodox Timur untuk
melawan ekspansi dari Dinasti
Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia.
Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang
terjadi selama Abad ke 16 di wilayah diluar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran
antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas
Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad
ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak
bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim
politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa
Renaissance.
Perang Salib Anak-anak
bukan suatu kampanye militer akan tetapi suatu pergerakan rakyat di
Perancis dan/atau Jerman yang kemungkinan besar dengan maksud untuk
mencapai Tanah Suci untuk secara damai meng-Kristen-kan umat Islam
disana.
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek
politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih
berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara
kerajaan-kerajaan Kristen dan
kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti
Perang Salib Keempat)
bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya
kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel. Perang Salib Keenam adalah perang
salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang
memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan
perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik
internal antara kerajaan-kerajaan Muslim
dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara
satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara
kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.
1. Konteks Sejarah
1. 1. Kondisi Eropa Barat
Peta dari Semenanjung Iberia pada saat kedatangan Dinasti Almoravid pada Abad Ke 11- Kerajaan-Kerajaan Kristen terdiri dari Aragón, Castile, Leon, Navarre, dan Portugal
Peta dari Semenanjung Iberia pada saat kedatangan
Dinasti Almoravid pada Abad Ke 11- Kerajaan-Kerajaan Kristen
terdiri dari Aragón, Castile,
Leon, Navarre, dan
Portugal
Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di
Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga
menurunnya pengaruh Kekaisaran
Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan
Muslim Turki.
Pecahnya Kekaisaran
Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan
stabilnya perbatasan Eropa sesudah
peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking,
Slav dan Magyar,
telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan
secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk
setempat. Gereja berusaha untuk menekan
kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan
Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para
ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan
kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan
pun menjadi semakin tidak menarik. Kecuali pada saat terjadi
Reconquista di Spanyol dan Portugal,
dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di
Eropa bertempur melawan pasukan Moor
Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang
dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2
abad.
Pada tahun 1063, Paus Alexander
II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk
memerangi kaum Muslim. Paus memberikan
baik restu kepausan standard maupun pengampunan bagi siapa saja
yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang
datang dari Kekaisaran
Byzantium yang sedang diancam oleh kaum Muslim Seljuk, menjadi
perhatian semua orang. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar
Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi
pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang
intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang
tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima
sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan
dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena
adanya Kontroversi
Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih
berlangsung selama Perang Salib
Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha
untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat
secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya
adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada
masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh
propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil
kembali Tanah Suci - yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan
pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan
Antioch (kota Kristen yang pertama) -
dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor
penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang
merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan
abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh
para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan
dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem
kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal
dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya
yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori
menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk
Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati
kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam
pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib
berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam
pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain
menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang
tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib.
Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika
melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang
memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan
kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.
1. 2. Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan
bangsa Arab terhadap Palestina pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya
tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum
Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di
Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat
tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem - yang berada jauh di Timur - sampai
ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang
Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking
dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang
berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran
Byzantium yang beragama Kristen Orthodox Timur.
Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat
kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan
penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy
Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium
untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah
untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi banyak laporan yang
beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para
peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang
pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan
Perang Salib pada akhir abad itu.
1. 3. Penyebab Langsung
Penyebab langsung dari Perang
Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran
Byzantium menahan laju invasi tentara
Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Pada tahun 1071, di
Pertempuran Manzikert,
Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Muslim Seljuk dan kekalahan ini berujung kepada
dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia
Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat seldang
berlangsung antara gereja Katolik
Barat dengan gereja Orthodox
Timur, Alexius I mengharapkan
respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang
didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi
yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali
Yerusalem.
Ketika Perang Salib
Pertama didengungkan pada tahun 1095, para pangeran Kristen dari Iberia
sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia,
wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi,
selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor
Toledo kepada Kerajaan Leon pada tahun 1085 adalah
kemenangan yang besar. Ketidak bersatuan penguasa-penguasa Muslim
merupakan faktor yang penting, dan kaum Kristen, yang meninggalkan
para wanitanya di garis belakang, amat sulit untuk dikalahkan.
Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur, mereka tidak
memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para
ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan
asing yang dipenuhi oleh orang kafir
sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya.
Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan
pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari
karakter Castilia, dengan perasaan bahwa
kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran
mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
1. 4. Kondisi Sesudah Perang Salib Pertama
Perang Salib Pertama
melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang
diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib
melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar
terhadap pemeluk Kristen
Orthodox Timur. Kekerasan terhadap
Kristen Orthodox ini berpuncak
pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana
seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya
serangan-serangan terhadap orang Yahudi,
pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi
dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan
perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan
tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh
mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat
kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291
dan sesudah penghancuran bangsa Occitan
(Perancis Selatan) yang berpaham
Catharisme pada Perang Salib Albigensian, ide
perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh
pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah
yang terjadi di Katolik Eropa.
Orde Ksatria Salib yang terakhir yang mempertahankan wilayah
adalah orde Knights
Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini
menguasai Pulau Rhodes dan pada abad
ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara
Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun
1798.
2. Peninggalan
2. 1. Benua Eropa
Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian
Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara Katolik
Roma. Sungguh pun demikian, banyak pula kritikan pedas terhadap
Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa
Renaissance.
2. 1. 1. Politik dan Budaya
Perang Salib amat mempengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu,
sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14,
perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di
Perancis, Inggris, Burgundi,
Portugal, Castilia dan Aragon.
Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal
perang salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui
hubungan antara Semenanjung
Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu
pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur
diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang
salib.
Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa,
seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan
dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur,
tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai
tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke
dunia, terutama Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan
sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain
lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di
universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa
Renaissance pada abad-abad berikutnya.
2. 1. 2. Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara
yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan
yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan
Romawi, terlihat mengalami peningkatan
disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya.
Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa
untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang
ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk
dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance
di Itali, karena banyak negara-kota di
Itali yang sejak awal memiliki hubungan
perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara
Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah
bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat
jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk
berbagai macam rempah-rempah,
gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang
kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu,
jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat
mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian
besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap
Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh
Enrico Dandolo yang terkenal,
penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah
Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4.
Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun
1204, Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat
sebelumnya dan akhirnya jatuh pada tahun 1453.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih
dapat digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi Islam,
ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi Islam.
Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali.
Kita juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat
diatas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama
dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah
memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba menyelamatkan
ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat dapat
dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh bantuan
logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski
begitu, Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan
secara umum dikenang sebagai suatu kesalahan besar.
2. 2. Dunia Islam
Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada
dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas
yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad
ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan
gerakan Pan-Islamisme masih terus
menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang
Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan
keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan tentang
perang salib, menurut ahli sejarah Peter Mansfield, adalah pembentukan
mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari berbagai
arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat
sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk
seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam
merasa dikucilkan, terus berlanjut.”
2. 3. Komunitas Yahudi
Artikel utama: Sejarah Yahudi dan Perang
Salib
Ilustrasi dalam Injil Perancis dari tahun 1250 yang menggambarkan pembantaian orang Yahudi (dikenali dari topinya yakni Judenhut) oleh tentara Salib
Ilustrasi dalam Injil Perancis dari tahun 1250 yang
menggambarkan pembantaian orang Yahudi (dikenali dari topinya yakni
Judenhut) oleh tentara
Salib
Kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria,
belakangan juga terjadi di Perancis dan
Inggris, dan pembantaian Yahudi di
Palestina dan Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah
Anti-Semit, meski tidak ada satu
perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi.
Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan
yang buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Posisi
sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan
meningkat selama dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan
bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh
Paus Innocentius III dan
membentuk titik balik bagi Anti-Semit
abad pertengahan.
Periode perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi.
Diantara narasi-narasi itu, yang terkenal adalah catatan-catatan
Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer bar Nathan, “The Narrative of
The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer
Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari
Bonn.
2. 4. Pegunungan Kaukasus
Di Pegunungan Kaukasus di
Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku
yang disebut Khevsurs yang dianggap
merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara salib
yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan
terisolasi dengan sebagian budaya perang salib yang masih utuh.
Memasuki abad ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan
baju rantai masih digunakan dan terus diturunkan dalam komunitas
tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25
tahun (1842 - 1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok
dari dataran tinggi Georgia ini adalah keturunan dari tentara Salib
yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa, kesenian dan
bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan
mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.
Share This Thread