Page 2 of 5 FirstFirst 12345 LastLast
Results 16 to 30 of 62
http://idgs.in/517741
  1. #16
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by levialexander9 View Post
    ah nnti saja sy baca ya...
    cz pnjng"...


    jgn cepat" lh...
    santai saja...


    w inget mo ngomong ap...!
    knp hrs bawa lolic di phase 2...?
    hayoloh kecepatan mengetik gw lebih cepet dari kecepatan membaca loe

    ampon pak



    Makanya...kalo uda baca An Angel and A Reaper, pasti ngerti kenapa Daleth dibilang lolicon

    Spoiler untuk alasannya :

    Daleth itu sayang anak", dan ga tahan liat gemesnya mereka...makanya Resha nyebut dia lolicon

    Padahal itu mah salah paham, Daleth ga ada kecenderungan itu, cuman bener" sayang aja gitu

    gw banget loh

    /digaplok


    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Oh iya juga
    Si Daleth itu kemampuan nya juga ngga manusiawi
    Dia bikin analisa nya cepet banget, kaya ngga pake mikir

    Ngga, gue cuma kepikiran ending yang teramat sangat epic
    AOSKAOSKAOSKOA GA MANUSIAWI
    dia itu Wikipedia berjalan tau gak

    yeh...ending mah gw uda kepikiran sejak nulis An Angel and A Reaper pertama kali




    ======================================



    Spoiler untuk Phase 3 :


    =========================
    Phase 3: Greetings of Moonlight
    =========================




    Aku tak bisa tidur sejak tadi malam. Bukan karena aku tidak berada di apartemenku sendiri, tapi…

    “Daleth, kamu tidak tidur semalaman. Ada yang salah?”, tanyaku saat melihat dia yang hanya pura-pura tidur di sofa, sekitar 3 meter dari depan televisi. Sekarang masih pagi, jam 6 lewat 20 menit.

    “Ah…kamu rupanya. Bagaimana kamu bisa tahu?”

    “Suara nafasmu berbeda dengan orang yang sedang tidur. Sesekali suaramu juga terdengar olehku, mengerang. Masih…sakit?”, kudekati dia yang sekarang sedang mengambil posisi duduk.

    “Huh…ketahuan juga. Sepertinya makin parah, Azrael. Sikutanmu kemarin itu makin terasa sakit.”, ujarnya dengan lancar, namun wajahnya tidak dapat berbohong kalau dia sedang menahan sakit.

    “Boleh kulihat?”

    Daleth sedikit mengangkat bajunya, sehingga terlihat ada bekas memar yang cukup besar di perutnya.

    “Ah, pendarahan dalam. Sepertinya aku harus minta maaf padamu. Kamu…tidak akan memarahiku karena hal ini kan?”

    “Tidak, tidak. Aku tahu kamu melakukannya bukan karena keinginanmu sendiri, tapi karena perintah. Mungkin---“



    Pandangan Daleth beralih ke arah belakangku. Ada apa…?

    “K-K-Kaliaaannn…!! Apa yang kalian berdua lakukan?! Pagi-pagi buta begini sudah berbuat mesum!!”, teriak Resha.

    “Mesum? Apa itu?”, tanyaku.

    “Err…nanti akan kujelaskan, Azrael. Resha, ini tidak seperti yang kamu pikirkan…”

    “Sebenarnya aku sudah curiga dari kemarin…Azrael, kenapa kamu melakukan semua ini---“

    Sekarang ekspresi Resha berubah terkejut ketika melihat bagian perut Daleth.

    “D-Daleth?! Kamu kenapa?! Ada apa dengan perutmu?!”, tanyanya dengan panik.

    “Ini…salahku.”, sahutku.

    “Azrael? Apa yang kamu lakukan pada Daleth?!”

    “Aku menyikut perutnya terlalu keras. Itu semua karena dia melawan saat ingin kubun---“

    “Azrael, stop. Bukankah sudah kukatakan untuk tidak mengatakan itu sembarangan?”, Daleth memotong kata-kataku.

    “Kita selesaikan masalah ini nanti, mengerti?”, nada bicara Resha terdengar seperti mengancamku. Tatapan matanya juga sangat tajam. “Akan kupanggilkan taksi sekarang.”, dia melangkah keluar.

    Ada apa dengan Resha? Baru saja kemarin malam dia bersikap sangat baik padaku, dan sekarang dia seakan ingin membunuhku? Selabil itukah emosi manusia?

    Tak lama, Resha kembali. Seperti yang sudah kuduga, wajahnya selalu berubah kesal setiap kali melihatku. Beberapa menit berlalu, sebuah taksi sedan berwarna kuning dengan strip merah tiba di jalanan di depan apartemen. Dengan sekuat tenaga Daleth berusaha berjalan menuruni tangga dan menuju taksi. Dia menolak dibantu olehku maupun Resha. Kamipun ikut masuk, dan…

    Jinja kudasai.”, kata Resha kepada supir taksi itu.

    Kuil? Aku bisa mengerti kata-kata Resha karena sempat belajar bahasa Seihou sebelum dikirim ke sini. Tapi kenapa ke kuil? Bukankah Daleth sebaiknya pergi ke dokter atau rumah sakit…?



    Ini dia, sebuah kuil Shinto yang dibangun di atas dataran yang lebih tinggi dibanding kebanyakan bangunan di kota. Taksi itupun pergi setelah kami turun dan Resha membayar. Menaiki tangga seperti ini…apa Daleth bisa? Melihat kondisinya yang kesakitan seperti itu…

    “Daleth, apa kamu bisa naik?”, tanya Resha, terlihat khawatir.

    “Yang sakit itu perutku, bukan kakiku.”, jawabnya.

    Memang benar kalau Daleth bisa menaiki tangga batu yang mengarah ke kuil yang ada di atas, tapi sudah dua kali dia nyaris jatuh. Jika Resha tidak menahannya, mungkin dia sudah terguling-guling menuruni tangga. Aku juga berusaha untuk menahannya, tapi…Resha sepertinya tidak senang kalau aku terlalu dekat dengannya.

    Sepi. Tidak ada satupun manusia yang terlihat dari halaman kuil. Untuk apa mereka berdua ke kuil ini?

    Di sebelah kanan gerbang masuk, kulihat ada sebuah bangunan kayu. Letaknya sedikit terpisah dari kompleks kuil yang langsung berada di depan, sehingga aku berpikir kalau itu adalah rumah pemilik kuil ini atau semacamnya. Mereka berdua menuju ke bangunan itu. Daleth duduk di teras, sementara Resha berlari entah kemana, mungkin untuk mencari pemilik tempat ini.

    “Resha…ada apa dengannya?”, tanyaku pada Daleth, setelah aku duduk di sebelah kirinya.

    “Marah, barangkali? Tapi tenang saja. Meskipun dia kesal, dia tidak akan membiarkan dirinya dikuasai kemarahan. Kalau tidak…bisa bahaya.”

    “Memangnya kenapa?”

    “Hmm, kurasa lebih baik dia sendiri yang menjelaskannya.”

    Terdengar suara langkah kaki dari sebelah kananku. Dua orang? Oh, mungkin Resha datang bersama pemilik tempat ini.

    “Daleth-kun? Apa benar perutmu cedera?”, tanya perempuan itu, dalam bahasa Anglia.

    Seorang perempuan yang terlihat jauh lebih dewasa dibanding Resha, muncul dan bertanya demikian pada Daleth. Rambut hitamnya panjang terurai, mengenakan sweater putih dengan celana jeans panjang. Dari gelagatnya, sepertinya dia sudah mengenal Daleth dan Resha.

    “Hmm…bisa jadi pendarahan dalam.”, ujar perempuan itu saat melihat bagian perut Daleth. “Baiklah, kita ke belakang. Dan…siapa perempuan ini?”, tanyanya saat menengok ke arahku.

    “Akan kujelaskan nanti, senpai. Resha, tunggulah di sini bersama Azrael.”



    Daleth dan perempuan itu berjalan ke arah kompleks kuil, lalu memasuki satu bangunan yang berada di paling belakang. Resha sendiri…duduk cukup jauh dariku sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

    “Resha…”, aku berusaha memanggilnya.

    “Apa?”, jawabnya ketus.

    “Kamu marah?”

    “Bagaimana aku tidak marah?! Kamu tidak bilang kalau cedera yang dialami Daleth itu cukup parah!!”

    “Kamu tidak bertanya apapun mengenai hal itu.”

    “Argh…”, Resha menggerutu sambil menaruh tangan kanannya di wajah, menutupi mata kanannya. “Ah sudahlah, tidak ada gunanya aku marah. Kamu pasti belum mengerti kalau kejadian yang membahayakan seperti itu harus diberitahukan secepatnya pada orang lain.”

    “Aku mengerti tentang itu. Manusia harus berada dalam kondisi fit seratus persen tanpa cedera agar bisa bekerja optimal. Aku selalu diajari begitu. Tapi Daleth sendiri berkata kalau cederanya itu tidak apa-apa, karena itulah aku tidak mengatakannya padamu. Setidaknya dia tetap jujur dengan berkata kalau dia sempat terkena hantaman dariku. Apa mungkin…dia tidak ingin membuatmu khawatir?”

    Resha menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dalam sekali hembusan.

    “Aku sudah mengatakan semuanya, tidak ada informasi yang kututupi lagi. Apa kamu masih marah?”, aku bertanya lagi.

    “Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak marah hingga emosiku meluap-luap, Azrael.”

    “Kenapa? Bukankah menurutmu, dan juga Daleth, emosi itu penting bagi seorang manusia normal?”

    “Tidak semuanya. Ada beberapa bentuk emosi yang harus bisa dikendalikan agar tidak sampai melukai orang lain.”

    “Jadi, kemarahanmu pernah melukai seseorang?”



    Resha langsung terdiam mendengar pertanyaanku itu. Kepalanya tertunduk lesu. Melihat hal itu, aku berdiri dan duduk di sebelah kanannya.

    “Resha, ada apa?”

    “Kamu dari Anglion? Dikirim pemerintah?”

    “Benar. Apa hubungannya dengan pertanyaanku yang tadi?”

    “Apa kamu sudah tahu kenapa aku dikejar oleh pemerintah Liberion? Aku yakin orang-orang Anglion juga sudah memberitahukannya padamu.”

    “Ya, kamu sudah menghancurkan sebuah kota berpenduduk 14 juta orang.”

    “Itu semua karena aku marah, tidak bisa mengendalikan emosi saat melihat sesuatu yang membuatku teramat kesal.”

    “Ah, begitu rupanya. Kemarahanmu bersifat menghancurkan. Untuk itulah kamu berusaha mengendalikannya sekuat mungkin. Tapi apa semua manusia juga seperti itu?”

    “Tidak, tidak semua. Itu hanya kemampuan khususku saja. Manusia normal tidak mungkin menghancurkan sebuah kota hanya dengan kemarahan. Tapi, manusia dapat melukai perasaan manusia lainnya dengan itu.”

    “Jadi, aku tidak boleh marah?”

    “Boleh, Azrael. Itu wajar. Tapi…menempatkan kemarahanmu pada taraf yang wajar serta pada orang dan waktu yang tepat, sangat sulit. Dan jangan terlalu sering marah, nanti wajahmu cepat keriput…”

    “Lalu apa gunanya emosi itu? Sepertinya tidak berguna.”

    “Tentu ada. Terkadang, orang lain harus dimarahi lebih dahulu agar menyadari kesalahannya. Ya seperti kamu ini.”

    “Begitu rupanya…jadi aku sudah melakukan sesuatu yang salah?”

    “Iya, tadi.”, jawabnya cepat. “Tapi ya sudahlah, sepertinya kamu juga sudah mengerti. Tidak ada gunanya lagi aku marah padamu. Sudah ah, dari tadi kamu bertanya terus. Yang jelas, terus ingat kata-kataku tadi. Itu akan sangat membantumu dalam berhadapan dengan manusia lainnya.”

    “Baiklah, aku mengerti. Terima kasih untuk pelajarannya.”

    “Ahaha…oke, oke.”, dia tersenyum.



    Oh, itu dia Daleth. Dia datang bersama perempuan yang tadi.

    “Bagaimana, Daleth? Sudah tidak apa-apa?”, tanyaku.

    “Iya, sudah tidak sakit. Obat yang diberikan senpai mampu membuat pendarahanku hilang dalam waktu cepat.”

    “Jadi…kamu yang bernama Azrael?”, tanya perempuan itu dengan lembut, lagi-lagi dalam bahasa Anglia. Kemampuan berbahasa Anglianya cukup bagus, meski dari wajanya jelas sekali kalau dia adalah orang Seihou.

    “Ya, ada apa?”

    “Mau tinggal di sini?”

    “Eh? Tapi kenapa…”

    “Aku sudah dengar cerita Daleth-kun tadi. Tenang saja, kamu akan aman berada di sini. Setidaknya…untuk sementara.”

    “Maksudmu…?”

    “Kamu tahu? Sebenarnya aku terlibat proyek rahasia dengan pemerintah Liberion, berhubungan dengan manipulasi tubuh dan nyawa manusia. Karena itu, aku juga sempat mendengar proyek mengenai dirimu, Azrael.”

    “Ah, kamu kenal orang-orang Liberion? Tunggu. Tapi kalau begitu…apa aku akan segera dikembalikan?”

    “Tenang saja, Azrael. Senpai sudah berjanji untuk tidak bekerjasama lagi dengan pihak Liberion. Yah…meski sampai sekarang hal itu belum diketahui oleh mereka.”, sahut Daleth.

    “Hmm, jadi kesimpulannya, Liberion masih menganggap perempuan ini sebagai agen mereka, tapi nyatanya dia sendiri sudah tidak mau bekerjasama dengan Liberion, dan hal ini tidak diketahui?”

    “Yap, benar sekali, Azrael-chan.”, ujar perempuan itu, lalu tersenyum.

    “Apa yang bisa jadi bukti kalau kamu bisa dipercaya?”

    “Kamu mau lihat peralatanku?”



    Kamipun berjalan ke arah belakang kompleks kuil, ke bangunan yang berada di paling belakang. Di dalamnya, aku melihat ada sebuah lorong menuju ke bawah tanah. Oh, sebuah pintu rahasia. Beberapa lama berjalan menyusuri lorong, aku melihat…

    “Peralatan-peralatan ini…”, ujarku. Ada beberapa mesin dan tabung besar, mirip seperti yang mengurungku saat pertama kali aku dilahirkan.

    “Disuplai pemerintah Liberion, Azrael-chan. Aku jujur soal proyek yang kujalankan.”

    “Oke, aku percaya hal itu. Tapi apa benar kalau kamu tidak akan mengembalikanku ke Anglion?”

    “Tenang saja, Azrael. Karena suatu hal, senpai sudah berjanji tidak akan melanjutkan proyek ini. Kamu bisa percaya kata-kataku. Aku bisa menjaminnya.”, sahut Daleth yang juga berjalan mengikuti.

    “Baiklah, aku percaya kata-kata kalian. Jadi…kapan aku bisa mulai pindah?”

    “Kamu mau sekarang? Boleh saja kok.”, jawab perempuan itu.

    “Hmm, kalau begitu aku akan mengambil barang-barangku sekarang. Terima kasih banyak…”, kata-kataku terhenti karena aku tidak tahu nama perempuan itu.

    “Ooyamatsumi Iwanaga.”, perempuan itu menjawab.

    “Ah…jadi, Iwanaga-san?”

    “Tapi akan lebih baik kalau kamu memanggilku…onee-chan.”, ujarnya sambil tersenyum.

    “Bukankah itu digunakan untuk memanggil perempuan berusia lebih tua, yang berasal dari produsen ****** dan sel telur yang sama?”

    “Huh…kamu ini lama-lama mirip dengan Daleth…”, tiba-tiba Resha menyahut. Dia juga mengikutiku masuk tadi.

    “Aku…salah bicara?”

    “Tersenyumlah sedikiiiittt…”, Resha mencubit kedua pipiku. “Setidaknya kamu sudah punya keluarga sekarang.”, dia melepaskan cubitannya, lalu mengusap-usap kepalaku. Mmm…rasanya sama seperti yang Daleth lakukan waktu itu. Nyaman.

    “Selamat datang di rumahku, kuil Tsukuyomi no Mikoto, sang dewa bulan. Kuharap kamu akan senang tinggal di sini, Azrael-chan.”

    Perempuan ini…sering sekali menunjukkan senyuman. Ah, apa ini? Ada sesuatu yang aneh di dadaku. Terasa hangat.

    Memandang wajahnya itu, aku juga ingin…

    “Terima kasih, onee-chan.”

    Kuungkapkan rasa terima kasihku, dengan sebuah ekspresi yang mampu membuat manusia tanpa emosi sepertiku merasakan kehangatan, yaitu…



    …sebuah senyuman.



    ======================================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Lagi-lagi gw menyarankan untuk membaca An Angel and A Reaper chapter 8 dan chapter 9 lebih dulu, untuk mengetahui penyebab kenapa Ooyamatsumi Iwanaga "membelot" dari pemerintah Liberion.
      Nama" negara sama dst dkk dll nya juga udah dijelasin di cerita itu
    • Tsukuyomi no Mikoto adalah dewa bulan dalam mitologi Jepang



    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  2. Hot Ad
  3. #17
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    YEEEEE, akirnya Azrael tersenyuum
    Dia jadi makin human-like nih

    Ngg, maksudnya itu gue kepikiran endingnya si Azrael ini loh
    Tapi entah bisa berubah kalo gue baca An Angel and A Reaper lagi

  4. #18
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    YEEEEE, akirnya Azrael tersenyuum
    Dia jadi makin human-like nih

    Ngg, maksudnya itu gue kepikiran endingnya si Azrael ini loh
    Tapi entah bisa berubah kalo gue baca An Angel and A Reaper lagi
    oh coba PM aja deh ide loe gimana, penasaran juga gw /"


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  5. #19
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Jahaaa, dari hape ngga bisa pm
    Ntar maleman kalo nyokap udah beres farmville gue on lewat pc lg

  6. #20
    levialexander9's Avatar
    Join Date
    Jan 2012
    Posts
    5,671
    Points
    778.48
    Thanks: 100 / 289 / 266

    Default

    knp hrs dihubungkn dgn An Angel and A Reaper...?

    w kn blm baca...


    eh w mo nnya dh...
    kok mns buatan bsa tau kenal labil...?
    trus itu negara mn...?
    kok ad bhs indo ya yh...?

  7. #21
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Jahaaa, dari hape ngga bisa pm
    Ntar maleman kalo nyokap udah beres farmville gue on lewat pc lg
    kutunggu PM mu namun tak kunjung datang

    Quote Originally Posted by levialexander9 View Post
    knp hrs dihubungkn dgn An Angel and A Reaper...?

    w kn blm baca...


    eh w mo nnya dh...
    kok mns buatan bsa tau kenal labil...?
    trus itu negara mn...?
    kok ad bhs indo ya yh...?
    kan ini spin-off...sampingan...



    tau lah

    labil kan lawan kata dari stabil

    "output mesin itu labil, selalu berfluktuasi setiap 3 detik" <<< hayo, bisa kan pake kata labil utk sesuatu yang non-emosional?

    jadi ga heran kalo Azrael juga ngerti



    ini sebenernya bhs Inggris (Anglia)

    loe mau gw buatin full English?

    tapi entar mulai Phase 4 sampe *belom ditentukan*, dialognya sebenernya dlm bhs Jepang (Seihou), soalnya Azrael bakal berinteraksi sama orang" lokal

    sebenernya kalo uda baca An Angel and A Reaper, konsistensi bahasa tetep keliatan...beda negara beda bahasa (kayak pas di Seihou/Jepang, Helenos/Yunani, Teutonium/Jerman, sama Italia)

    tapi berhubung Daleth dan Resha di cerita itu banyak berhubungan sama orang" pemerintahan, jadi ngomongnya banyak pake English (Anglia)

    loe belom pernah nonton anime yang ada benturan kultural nya ya?


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  8. #22
    levialexander9's Avatar
    Join Date
    Jan 2012
    Posts
    5,671
    Points
    778.48
    Thanks: 100 / 289 / 266

    Default

    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    kutunggu PM mu namun tak kunjung datang
    bak bulan merindukn mentari...


    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    kan ini spin-off...sampingan...

    jd intiya w mesti baca An Angel and A Reaper nih...?


    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    tau lah

    labil kan lawan kata dari stabil

    "output mesin itu labil, selalu berfluktuasi setiap 3 detik" <<< hayo, bisa kan pake kata labil utk sesuatu yang non-emosional?

    jadi ga heran kalo Azrael juga ngerti

    tp dy ga tau kata ababil kn...?


    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    ini sebenernya bhs Inggris (Anglia)

    loe mau gw buatin full English?


    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    tapi entar mulai Phase 4 sampe *belom ditentukan*, dialognya sebenernya dlm bhs Jepang (Seihou), soalnya Azrael bakal berinteraksi sama orang" lokal

    sebenernya kalo uda baca An Angel and A Reaper, konsistensi bahasa tetep keliatan...beda negara beda bahasa (kayak pas di Seihou/Jepang, Helenos/Yunani, Teutonium/Jerman, sama Italia)

    tapi berhubung Daleth dan Resha di cerita itu banyak berhubungan sama orang" pemerintahan, jadi ngomongnya banyak pake English (Anglia)

    loe belom pernah nonton anime yang ada benturan kultural nya ya?
    kn lg itu udh w blng klw w ga ngrti anime"an...

    anime yg prnah w nnt kn cma fairy tail sama bleach...
    + yg suka di indosiar itu...

  9. #23
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Phase 4 :


    ===========================
    Phase 4: Welcome to Human’s Life
    ===========================




    “Wahhh…!! Seragamnya cocok sekali untukmu!!”, seru Iwanaga-san…bukan, seru onee-chan.

    “Benarkah? Baguslah kalau begitu.”

    “Ah…kok reaksimu hanya begitu saja sih? Tersenyumlah sedikit…”, suaranya berubah kecewa.

    “Untuk…apa?”

    “Karena kamu benar-benar imut sekarangggg...”, jawabnya sambil memelukku erat-erat.

    “Imut? Apa lagi itu?”

    “Err…bagaimana ya. Ketika kamu melihat sesuatu yang menggemaskan, itulah hal yang imut.”

    Menggemaskan? Seperti apakah hal yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang menggemaskan? Apakah yang seperti diriku sekarang ini, yang mengenakan pakaian putih yang tergolong body press dengan panjang hingga sekitar 10 sentimeter di atas lutut, ditambah kaus kaki tinggi dan menyisakan sedikit bagian kulit di bagian paha yang masih dapat terlihat? Ah, aku masih bingung.




    Masih musim semi, dan sekarang aku diterima bekerja di rumah sakit lokal kota ini. Ternyata onee-chan adalah kepala divisi research & development rumah sakit tersebut, sehingga aku dapat mengikuti tes untuk menjadi perawat di situ. Tes tertulisnya tergolong mudah bagiku, mungkin karena otakku sudah dicekoki banyak sekali pengetahuan sebelum pergi ke negara ini. Ditambah lagi kecerdasanku yang di atas rata-rata, membuatku meraih hasil yang sempurna dalam tes.

    Sesi pelatihan juga tidak terasa sulit bagiku. Menyuntik, menangani pasien, menjadi asisten seorang dokter ketika dibutuhkan, dan memilih obat sesuai penyakit yang dihadapi, semuanya dapat kupelajari dengan baik. Banyak orang terlihat kagum atas kecepatan belajar yang kumiliki.

    Sebenarnya bukan sepenuhnya keinginanku untuk bekerja di rumah sakit. Namun, onee-chan menyarankan hal itu agar aku dapat menjawab berbagai pertanyaanku mengenai hidup manusia. Akupun tak bisa menolaknya, jika kata-katanya memang benar.




    Takamagahara Byouin. Rumah Sakit Takamagahara. Ya, di situlah aku mencoba mengamati manusia, lewat profesiku sebagai perawat. Letaknya di tengah kota, sekitar 2 kilometer dari kuil yang diurus onee-chan…tentu saja, yang juga adalah tempat tinggalku sekarang.

    “Azu-chan…!! Ke sini sebentar!!”, suara itu memanggil dari balik rak besi. Karena namaku cukup sulit dilafalkan oleh lidah orang Seihou, banyak orang di rumah sakit ini memanggilku dengan nama Azu-chan.

    Seorang perempuan berusia 24 tahun memanggilku, memintaku membantunya mencarikan stok anestesi yang ada di ruang penyimpanan. Rambutnya sebahu, dann berwarna hitam sama seperti warna matanya. Wajah khas Seihou. Tingginya juga lumayan, sekitar 160 sentimeter. Lekuk tubuhnya…ah, jelas aku kalah. Menurut para dokter dan perawat pria, dia adalah salah satu petugas medis dengan bentuk tubuh paling menggoda di rumah sakit ini. Ideal secara fisik. Tentu saja, onee-chan ku juga diakui sebagai salah satunya. Hanya saja…karena onee-chan tergolong orang yang tertutup, jarang ada lelaki yang mendekatinya.

    “Ada apa, Chiyuko-san?”, tanyaku sambil menghampirinya.

    Nama lengkapnya Kiyotama Chiyuko, teman pertamaku di rumah sakit ini. Setidaknya manusia normal menyebutnya begitu. Aku sendiri tidak begitu mengerti apa itu ‘teman’. Menurutku, itu seperti pihak kedua yang mengadakan aliansi dengan pihak pertama…hanya saja dalam konteks individual. Tapi, orang lain malah kebingungan dengan definisi yang kubuat sendiri. Hmm, mungkin menurut mereka, ‘teman’ adalah sesuatu yang lebih sederhana. Baiklah, suatu hari aku juga harus menemukan jawabannya.

    “Kardus putih kecil itu…aku tidak bisa meraihnya. Anestesinya ada di situ.”

    “Chiyuko-san, pegangan yang erat ke rak besi itu.”

    Aku berlari, lalu…

    “Eh? Eeehhh?! Apa yang akan kamu--- whoa…!!”

    …melompat dan menggunakan bahu Chiyuko-san sebagai pijakan. Kardus itupun berhasil kuraih dengan tangan kanan. Karena lompatanku cukup kuat, maka begitu aku nyaris menabrak langit-langit, kulakukan sebuah hentakan dengan tangan kiriku, dan…mendarat dengan selamat.

    “Baiklah, ini dia. Kenapa mereka menaruhnya di tempat yang tinggi seperti itu…”, tuturku ketika memberikan satu kardus berisi beberapa botol kecil berisi anestesi pada Chiyuko-san.

    “Azu-chaaann…!! Kamu mengagetkanku saja!! Untung saja hal tadi tidak dilihat oleh Seijinrei-sensei...”, lalu dia menghela nafas. Yang dimaksud olehnya adalah Seijinrei Bannou-sensei, kepala rumah sakit. “Ya sudah, yang penting sudah ketemu. Akan kuantar anestesi ini ke ruang operasi, setelah itu kita makan siang. Oke?” Kujawab dengan sekali mengangguk.




    “Bagaimana? Sudah mulai terbiasa dengan rumah sakit ini?”, tanya Chiyuko-san setelah kami duduk di meja di ruangan kantin, dekat jendela. Sepiring nasi kare ada di hadapannya, sementara di depanku ada semangkuk ramen.

    “Lumayan. Seluruh ruangan di tempat ini sudah dapat kuingat. Orang-orang di sini juga tergolong baik.” Ya, sangat berbeda dengan ‘rumah’ku di Anglion dulu.

    “Baguslah…”

    Sekali menghela nafas, lalu dia memasukkan sesuap nasi kare ke dalam mulutnya.

    “Aku sempat khawatir denganmu ketika kamu baru mulai bekerja.”, ujarnya setelah dia mengunyah dan menelan.

    “Hmm? Ada apa memangnya?”

    “Kemampuanmu memang di atas rata-rata, Azu-chan. Aku sendiri mengaku kalah. Tapi…mana semangatmuuuu…?! Semangat…!!”, serunya sambil mengepalkan tangan kanannya, diacungkan beberapa sentimeter di depan wajahku.

    “Tentu saja aku sudah bersemangat, Chiyuko-san.”, kuseruput sedikit kuah ramenku.

    “Tapi dari ekspresi wajahmu…datar sekali. Ah, mungkin kamu tertular Iwanaga-sensei.”, kembali dia menyendok nasi karenya, lalu memasukkannya ke mulut.

    Di tempat ini, onee-chan lebih sering dipanggil dengan nama depan, karena nama belakangnya…terlalu panjang.

    “Oh ya? Padahal onee-chan cukup menyenangkan saat di rumah. Tidak terlalu diam seperti saat bekerja.”

    “Ah yang benar? Aku, dan juga pegawai-pegawai lain, belum pernah melihatnya tertawa sekalipun. Tersenyumpun juga jarang.”

    “Tapi…senyumannya itu…”, kualihkan pandanganku ke langit luas di atas sana, yang berwarna seperti kedua bola mataku. “…indah.”, kembali aku menghadap ke arah Chiyuko-san.

    *Trang*. Sendok yang dipegang Chiyuko-san terjatuh.

    “A-A-Azu-chan…”

    “Hmm?”

    “Waaaahhh!! Kamu benar-benar menggemaskan kalau sudah tersenyum begini…!!”, serunya sambil menekan-nekan kedua pipiku dengan telapak tangan, mirip seperti seorang ahli keramik yang sedang mengolah tanah liat.

    “Ah, jangan terlalu banyak bergoyang, Chiyuko-san. Nanti ramenku jatuh.”, jawabku dengan datar.

    “Oh, maaf.”, dia menarik tangannya. “Saranku, sering-seringlah tersenyum seperti itu saat berhadapan dengan orang lain. Aku yakin, dalam waktu singkat kamu akan menjadi terkenal di seluruh rumah sakit…hehehe…”

    Dia sangat berbeda denganku. Energik, cara bicara yang ceria, dan mudah sekali melemparkan senyuman pada siapa saja. Tidak mengherankan kalau banyak pria yang menyukai dirinya. Apa mungkin dengan cara itu, aku akan bisa mengerti perasaan manusia lain dengan lebih baik?




    Dan…malam ini, aku akan bekerja dengan Chiyuko-san. Piket di meja resepsionis, lembur. Tentu saja hal itu sudah kuberitahukan pada onee-chan, agar dia tidak khawatir.

    Jam 8 malam.

    Di lobi pintu utama, aku melihat sebuah taksi kuning dengan strip merah berhenti. Seorang pria berkacamata keluar dari pintu belakang yang berlawanan dengan pintu yang menghadapku. Wajahnya terlihat panik. Pintu belakang taksi yang berhadapan denganku pun dibuka oleh pria itu. Ada seorang wanita…uh? Kenapa perutnya besar sekali? Oh, aku tahu, pasti ada fetus di dalamnya.

    Pria yang baru keluar dari taksi itupun berteriak-teriak memanggil ke dalam. Sepertinya sudah kritis, sebentar lagi wanita itu akan melahirkan.

    “Azu-chan, sudah tahu apa yang harus kamu lakukan?”, tanya Chiyuko-san.

    “Tentu. Aku akan mengambil ranjang beroda untuk wanita itu.”

    “Bagus. Cepatlah, sepertinya sebentar lagi bayinya akan keluar. Aku akan menghubungi Ubugami-sensei.”, ujarnya saat mengangkat telepon, untuk menghubungi ruangan seseorang yang bernama lengkap Ubugami Koyasu-sensei itu.

    Dengan sigap kuambilkan sebuah ranjang beroda yang kosong, berada di ruangan tidak jauh dari meja resepsionis. Setelah membaringkan wanita itu, aku, ditemani dengan pria yang sepertinya adalah suami wanita tersebut, segera mendorong ranjang itu ke ruang bersalin. Hanya beberapa langkah sebelum aku masuk ke ruang bersalin, seorang pria setinggi kira-kira 170 sentimeter dengan pakaian dan tutup kepala serba hijau, berlari ke arahku. Oh, itu dia Ubugami-sensei, berusia 34 tahun. Di belakangnya, Chiyuko-san mengikuti.

    “Huff…Azu-chan, tolong kembali ke meja resepsionis ya. Di lantai tiga dan empat sedang ada dua operasi, sehingga banyak perawat dikonsentrasikan di sana. Tidak ada orang di lobi.”, kata Chiyuko-san.

    “Oh, baik---“

    “Tunggu, Azrael-san.”, Ubugami-sensei memotong. “Saya baru mendapat pesan dari Seijinrei-sensei, kamulah yang harus membantu saya kali ini. Kiyotama-san, kembalilah ke depan.”

    “Ah, tapi saya belum pernah mendapat pelatihan untuk menangani persalin---“

    “Sudah, jangan banyak bicara. Ini permintaan Seijinrei-sensei. Lagipula saya memang membutuhkan asisten yang sigap sepertimu.”, lagi-lagi Ubugami-sensei memotong.

    “Berjuang ya, Azu-chan.”, Chiyuko-san menyemangatiku, lalu mengusap-usap kepalaku sebentar. Diapun berjalan kembali ke arah lobi.

    “Tuan, anda ingin ikut ke dalam?”, tanya Ubugami-sensei pada pria berkacamata itu.

    Dia mengangguk beberapa kali, tanda kalau dia ingin sekali menemani istrinya di dalam. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Sebegitu besarkah rasa khawatir pria ini terhadap istrinya? Setelah mengenakan pakaian serba hijau sama seperti Ubugami-sensei dan membasuh tangan dengan antiseptik, pria itu ikut masuk. Tentu saja, aku juga melakukan hal yang sama.

    Atas perintah Ubugami-sensei, kunaikkan suhu ruangan sekitar 2 derajat lebih hangat. Aku juga diminta untuk terus mengawasi detak jantung wanita itu dan siap di dekat masker oksigen, jika memang dibutuhkan.

    Saat-saat menegangkanpun dimulai…




    Aku tidak tahu seberapa besar energi yang dikonsumsi wanita itu, namun dari wajahnya terlihat sekali kalau dia berusaha sekuat tenaga. Keringat mengucur deras, nafas yang terengah-engah, dan suara mengejan terdengar setiap interval beberapa detik karena perintah Ubugami-sensei. Sesekali kuusap dahi dan pipi wanita itu dengan handuk steril, jika volume keringat yang keluar sudah terlalu banyak.

    Berdiri di samping kanan ranjang, pria berkacamata tadi terus memegang tangan istrinya. Sesekali kudengar “Tenanglah”, “Aku ada di sampingmu”, “Jangan menyerah, sayang”, terucap dari mulut pria itu.

    Kata-kata itu seperti sebuah keajaiban. Meski sudah terlihat sangat lelah ---bahkan sempat berhenti selama beberapa puluh detik--- wanita itu kembali berusaha, berusaha untuk tidak mengakhiri sebuah kehidupan yang baru, setelah mendengar ucapan pria tersebut.

    Meski tubuhku sigap untuk melakukan segala sesuatu yang diminta Ubugami-sensei, namun sesuatu terus terpikirkan di dalam otakku. Aku mencoba memahami semua ini. Peristiwa ini adalah hal baru bagiku.

    Wanita ini…kenapa dia begitu kuat? Apa yang membuatnya berjuang sangat keras?

    Aku tidak dilahirkan melalui proses persalinan seperti ini. Pembuahan, akselerasi pertumbuhan. Semua berlangsung di dalam sebuah tabung besar. Ayah? Ibu? Aku tidak punya hal itu. Aku dibentuk oleh banyak gen dari manusia yang berbeda-beda, tidak hanya dari dua orang manusia. Secara logika, seharusnya dirikulah yang dihargai banyak orang. Pintar, kuat, dan mampu melakukan apa saja.

    Tapi kenapa sebelumnya…aku hanya dimanfaatkan untuk membunuh…?

    Tunggu. Apa yang kurasakan ini? Apakah ini…bentuk emosi yang baru? Kekecewaan…sepertinya itu yang bergejolak di dalam dadaku.





    Tiba-tiba terdengar sebuah suara. Bukan suara pria itu, istrinya, ataupun Ubugami-sensei. Suara yang nyaring. Suara baru, suara kehidupan yang baru.

    “Selamat, Tuan, Nyonya. Seorang bayi perempuan.”, kata Ubugami-sensei, sesaat setelah bayi itu berhasil dilahirkan secara normal.

    Sesosok tubuh yang mungil, masih merah, dari situlah suara tersebut berasal. Selagi Ubugami-sensei menjalankan prosedur pemotongan ari-ari, aku mempersiapkan air hangat di ruangan sebelah, untuk membersihkan bayi yang baru lahir itu.

    “Azrael-san, sekarang giliranmu.”, sahut Ubugami-sensei.

    “Saya? Tapi saya tidak bisa…”

    “Pernah melakukan simulasi menggendong bayi?”, tanyanya.

    “Ya, pernah.”

    “Kalau begitu, kamu tidak perlu takut. Lakukanlah seperti yang dulu pernah kamu lakukan.”

    Sedikit berbeda dengan yang pernah kulakukan, mungkin karena bayi ini terus bergerak-gerak dan menangis. Tapi itu tidak menjadi masalah karena kekuatan fisikku jauh lebih kuat. Walau begitu, tentu saja aku tetap harus menanganinya dengan lembut.

    Begitu kecil, hanya sekitar 40 sentimeter. Bobotnya juga kira-kira hanya sekitar 3 kilogram. Aku setengah tidak percaya, berawal dari tubuh kecil ini…akan tumbuh seorang manusia. Onee-chan, Daleth, Resha, Chiyuko-san, dan semua orang, berawal dari tubuh yang kecil seperti ini. Sementara aku…

    Tanpa sadar otot-otot wajahku melemas. Aku merasa bagian kelopak mataku agak turun, otot pipi melonggar. Ini berkebalikan saat aku sedang tersenyum. Apakah ini yang disebut dengan ekspresi murung?

    Perlahan tangisan bayi itu berhenti, sesaat sebelum Ubugami-sensei mengusapkan kain yang telah dicelupkan ke air hangat. Dengan lembut, dia membersihkan tubuh mungil itu dari sisa darah dan ketuban.

    Selagi dibersihkan, bayi itu…sedikit membuka matanya. Kecil, namun aku dapat melihat sedikit warna kehitaman dari celah kelopak matanya. Dia menatapku. Tangannya juga…memegang bajuku. Tanpa sadar, aku tersenyum saat melihat wajah bayi ini. Aku tidak tahu kenapa…

    “Sepertinya dia menyukai dirimu, Azrael-san.”, sahut Ubugami-sensei, mungkin untuk merespon apa yang sedang diperbuat manusia kecil ini.

    “Menyukai…diriku?”

    Kembali terdengar suara dari bayi yang kugendong ini. Bukan tangisan, namun sebuah suara yang lebih mirip seperti…sebuah tawa. Singkat, hanya satu kali.




    Benda cair ini lagi. Aku tidak tahu kenapa, namun…air mata mengalir keluar dari kedua mataku.

    “Azrael…-san?”

    “Maaf, Ubugami-sensei. Saya hanya…”

    “Ahaha…sudah, tidak apa-apa. Baru pertama kali melihat yang begini?”

    “Betul…ini pertama kalinya. Hanya dengan melihat bayi ini, saya…”

    “Sudah, sudah. Jangan menangis lagi. Kamu tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir saat melihat air mata keluar dari matamu kan?”

    “Ah, anda benar. Maaf, Ubugami-sensei.”, jawabku, lalu berusaha menghentikan laju aliran air mataku.

    Air mata tadi keluar dengan perasaan yang sama seperti ketika Daleth menganggapku sebagai seorang manusia normal. Ah…bayi ini. Mungkin perasaanku tersentuh ketika melihatnya. Simbol dari kehidupan yang baru. Awalnya aku merasa sedih dan kecewa, kenapa aku tidak bisa sama seperti dirinya. Tapi…saat mendengar suara tawanya…

    Setelah terselimuti oleh kain yang bersih, aku menggendong bayi itu kembali kepada kedua orang tuanya yang sudah menunggu di ruang persalinan. Wajah mereka berdua…terlihat bahagia. Wanita itupun menangis ketika menerima bayinya, sama sepertiku tadi. Mungkin dia tidak dapat menahan kegembiraannya.

    Aku mengerti. Kekuatan yang didapat oleh wanita ini berasal dari…bayinya. Aku yakin, yang lelah bukan hanya dia, namun juga suaminya. Pria itulah yang terlihat paling panik, mulai dari lobi hingga ruang persalinan. Namun, demi bayi yang akan lahir, dia tetap berusaha kuat demi memberikan dorongan semangat pada istrinya. Luar biasa, luar biasa. Sehebat inikah…manusia?

    Meski masih kecil, ternyata bayi itu punya kekuatan yang luar biasa. Sebuah kekuatan yang tidak kumiliki, kekuatan…kehidupan.


    “Meiko.”


    Tiba-tiba saja mulutku mengucapkan nama itu.

    Kedua pasangan suami istri itupun saling berpandangan, lalu tersenyum. Pria itu mengatakan kalau dia dan istrinya setuju dengan usulan nama dariku. Padahal bukan maksudku…ah, ya sudahlah. Kupikir nama ‘Meiko’ cocok untuk bayi itu.





    “Eh?! Kamu menangani persalinan?!”, tanya onee-chan dengan nada terkejut ketika aku menceritakan apa yang kulakukan hari ini. Hampir jam 11 malam ketika aku tiba di rumah.

    “Ya, aku sudah mendapat ijin dari Seijinrei-sensei. Setidaknya itu yang dikatakan Ubugami-sensei tadi.”

    “Oh…ya sudah, aku juga tidak bisa protes kalau Seijinrei-sensei yang memberimu ijin. Huh…mengagetkanku saja.”, ujarnya. Sekali menghela nafas, lalu merebahkan diri di lantai kayu.

    “Sepertinya…aku juga ingin punya bayi.”

    Aku tidak tahu apa yang merasuki onee-chan, tapi…

    “Hah?! B-B-Bayi?! A-Apa kamu tahu bagaimana c-cara membuat---“, serunya, sambil mengambil posisi duduk kembali dengan cepat.

    “Oh, tentu saja aku tahu. Harus ada seorang lelaki yang memberikan donasi sper---“

    “Stooooopppp!!! Azrael-chan, jangan diteruskan!!”, wajah onee-chan terlihat merah.

    “Hmm? Memangnya kenapa, onee-chan?”, tanyaku dengan polosnya.

    “B-Bukan kenapa-kenapa. T-Tapi…memiliki seorang bayi dibutuhkan t-tanggung jawab yang besar….!”

    “Oh, hanya itu? Tentu saja aku mampu. Aku hanya perlu belajar lebih banyak dari orang lain.”

    “T-Tidak hanya itu…k-kamu tidak boleh melakukannya selain dengan o-orang yang kamu c-cintai…”, ujarnya gelagapan.





    Kata-kata itu lagi. Cinta.

    Resha pernah menyebutkannya sekali. Menurutnya, cinta memiliki kekuatan yang teramat hebat. Dapat mengatasi kontinuitas ruang dan waktu, dapat mengatasi batas antara massa dan energi. Aku tidak tahu apakah itu berlebihan atau bagaimana, tapi…jika benar kata-kata Resha, dipadukan dengan ucapan onee-chan tadi, maka cinta dapat membentuk kehidupan yang baru.

    Hmm…dengan kata lain, aku harus menemukan seorang pria yang kucintai jika ingin membentuk kehidupan yang baru. Masuk akal. Baiklah, mungkin aku hanya harus bersabar sampai aku menemukannya, sama seperti Resha.

    Ah, aku belajar satu hal hari ini. Tidak ada kehidupan…tanpa cinta.



    =====================================


    Spoiler untuk Trivia :

    Let's study some Japanese kanji !!
    • Byouin [Byōin] (病院) ---> rumah sakit.
    • Takamagahara (高天原, "Plain of High Heaven") ---> tempat bersemayamnya dewa-dewi Amatsukami dalam mitologi Shinto.
    • Nama orang:
      • Kiyotama Chiyuko (聖霊 治癒子)
        --> 聖 (sei, hijiri, kiyo) = holy
        --> 霊 (rei, tama) = spirit
        --> 治 (chi, naoru) = govern, regulate
        --> 癒 (yu, ieru) = recover
        ------> 治癒 (chiyu) = healing
        --> 子 (ko, shi, su) = child (bisa juga suffix buat nama cewek)
        Literally: Healing Child of Holy Spirit
      • Seijinrei Bannou (生神霊 万能)
        --> 生 (sei, nama) = life, lebih ke arah "nyawa", "proses hidup" ("jinsei" [人生] = nyawa manusia)
        --> 神 (shin, jin, kami) = god, divine
        --> 霊 (rei, tama) = spirit
        --> 万 (ban, yorozu) = 10.000, all, everything
        --> 能 (nou [nō], atau) = ability, bisa juga Noh (salah satu bentuk teater tradisional Jepang)
        ------> 万能 (bannou) = almighty
        Literally: Almighty Divine Spirit of Life
      • Ubugami Koyasu (産神 子安)
        --> 産 (san, ubu, umu) = birth
        --> 神 (shin, jin, kami) = god, divine
        ------> 産神 (ubugami) = god of birth
        --> 子 (ko, shi, su) = child
        --> 安 (an, yasu) = peaceful, tranquil
        ------> 子安 (koyasu) = easy/safe childbirth, child-giving
        Literally: Child-giving God of Birth
      • Meiko (命子)
        --> 命 (mei, myou [myō], inochi) = life, lebih bicara fase (setelah lahir, sebelum mati)
        --> 子 (ko, shi, su) = child
        Literally: Child of Life

    Last edited by LunarCrusade; 27-03-12 at 22:01.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  10. #24
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Yeeeey, Azu-chan ngelahirin anaak
    woakwoakwoakw jadi pengen punya anak gitu abis liat bayi sebiji
    Jangan2 ini hidden urge nya elu lagi, lun?

  11. #25
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    hah yg melahirkan itu orang laen oy

    gw mah emang kepengen punya kale

    spoiler

    Spoiler untuk duar :

    Phase 5 masih ada hubungannya sama ngurus bayi


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  12. #26
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Huahuahuahua
    Buru nikah, terus bikin Cirno

    Erg, bayi lagi? Si Meiko dititipin lagi?
    Btw, ada Sakuya-chan nongol ga?

  13. #27
    levialexander9's Avatar
    Join Date
    Jan 2012
    Posts
    5,671
    Points
    778.48
    Thanks: 100 / 289 / 266

    Default


    si azreal ya udh makin peka dgn perasaanya...


    Spoiler untuk request :
    nnti si azreal ya mencintai seorang laki-laki bernama Levi, dan Levi pun mencintai azreal & menerima azreal apa ada ya

  14. #28
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Phase 5 :


    ================
    Phase 5: Early Stage
    ================



    Sejak kejadian itu, hampir setiap hari aku selalu meluangkan waktu untuk melihat-lihat ruangan inkubator. Dari luar, dibatasi oleh sebuah kaca besar. Bayi-bayi mungil yang lahir sebelum waktunya dirawat di dalam ruangan tersebut. Melihat mereka yang begitu lemah ---jarang sekali kudengar salah satunya menangis---, ada sesuatu yang mendorong hatiku. Jika benar mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang baik seperti orang-orang yang kukenal, aku ingin…menjaga mereka agar tetap hidup.




    Suatu kali, ketika aku sedang menengok ke dalam ruangan inkubator…

    “Azrael-san.”, suara lembut itu memanggil. Di sampingku berdiri seorang pria berumur 50 tahun, tingginya sekitar 166-167 sentimeter. Posturnya tegap meski tergolong kurus. Dia juga sering tersenyum dengan lembut pada para pegawai ketika bicara, sehingga seisi rumah sakit menjulukinya “Chiryou no Egao”.

    “Oh, rupanya anda, Seijinrei-sensei. Maaf, saya akan kembali beker---“

    “Apa yang kamu rasakan saat melihat mereka?”, tanyanya sambil melihat ke dalam ruangan. Kukira dia akan memarahiku, ternyata tidak. Dia hanya melemparkan senyuman setelah bertanya hal itu.

    “Mereka…terlihat lemah. Saya ingin merawat mereka agar dapat tetap hidup.”, jawabku sambil memandang ke dalam.

    “Keinginan yang baik, Azrael-san. Apa kamu ingin dipindahkan ke divisi khusus yang menangani bayi dan anak-anak?”

    Hmm, tawaran yang menarik. Tapi…tidak. Untuk dapat mengerti bagaimana menjadi manusia normal, tidak mungkin hanya dengan mengamati fase dimana manusia masih belum berdaya saja.

    “Sepertinya tidak, Seijinrei-sensei. Saya…ingin berhubungan dengan semua orang. Oh, tapi tentu saja, sekali-sekali saya akan membantu jika dibutuhkan.”

    “Ahaha…baiklah jika itu keinginanmu. Saya tidak akan memaksa. Kalau begitu, saya akan pergi sebentar. Jika ada yang mencari, katakan kalau saya ada urusan di luar.”

    “Baik, Seijinrei-sensei.”

    Kukira aku akan berurusan dengan makhluk-makhluk kecil itu hanya di rumah sakit. Ternyata…




    Pagi hari. Kulihat jam di kamarku…masih setengah 6. Aku terbangun karena mendapati ada suara abnormal yang tertangkap telingaku. Cukup pelan, pastilah tidak terdengar oleh manusia biasa. Asalnya…cukup jauh. Aku tahu, suara itu bukanlah suara burung ataupun serangga.

    Aku melangkah keluar kamar hingga ke pintu depan, lalu ke teras. Kutarik nafas dalam-dalam agar udara segar mengisi paru-paruku, lalu menghembuskannya perlahan. Sekali lagi aku mencoba berkonsentrasi untuk mendengar suara itu. Masih terdengar. Aku berkeliling mencarinya di seluruh lingkungan kuil…tidak ada. Yang kutahu, begitu aku melangkah ke bagian belakang kompleks kuil…suara itu terdengar makin sayup-sayup. Ah!! Berarti ada di depan!!

    Benar saja. Ketika aku berlari ke depan hingga ke tangga batu yang menurun, suaranya makin keras, makin keras, makin…huh?

    Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat. Bukankah ini…




    Sesosok tubuh yang kecil dengan pipi yang merah bulat, terbaring di dalam kardus berukuran hampir sekitar 60 x 100 sentimeter. Tubuhnya sedikit lebih besar dibanding yang sering kulihat di ruang inkubator di rumah sakit, mungkin usianya beberapa minggu sampai beberapa bulan lebih tua. Jadi, yang sejak tadi kudengar adalah suara tangisan bayi ini?

    Uh? Kenapa dia menangis terus? Kuambil posisi jongkok, lalu mencoba mencolek-colek pipi kirinya dengan telunjukku. Masih menangis juga. Ah, mungkin dia kedinginan. Udaranya memang belum hangat seperti siang hari. Baiklah, akan kubawa ke dalam saja. Hmm…ada secarik kertas bertuliskan ‘tolong rawat Taira’ terselip di sisi kiri kardus.

    Err, aku masih tidak mengerti. Tidak cukupkah udara hangat di rumah ini? Dia masih menangis walau sudah kubawa ke dalam. Apa yang harus aku lakukan…?

    “A-A-Azrael-chan..i-itu…”, tutur kata onee-chan terdengar gelagapan, sambil menunjuk ke arah bayi yang kugendong.

    “Oh, tentu saja ini seorang bayi, onee-chan.”

    “A-Aku juga tahu!! Tapi anak siapa itu? Di mana orang tuanya?! Dari mana kamu mendapatkannya?!”, rentetan pertanyaan diajukannya dengan cepat.

    “Menurut catatan yang ditinggalkan, namanya Taira. Dia kutemukan di depan, dekat tangga.”

    “Di…tinggalkan? Maksudmu dia dibuang orang tuanya?!”

    “Sepertinya begitu.”, kualihkan pandanganku ke arah bayi itu, “Ah, dia menangis terus begini…apa yang harus kulakukan?”

    “M-Mungkin dia lapar?”

    “Hmm…menurut yang kudengar, makanan pokok seorang bayi yang masih kecil seperti ini adalah susu. Yang alami, tentu saja.”

    “Hah? Kita tidak punya yang seperti itu di sini…”

    “Lalu bagaimana dengan itu? Sebesar itu apa tidak ada isinya?”, kuarahkan telunjuk kananku ke arah dada onee-chan. Ukurannya jauh lebih besar dariku, jadi aku berpikir kalau kumpulan kelenjar mammae di dalamnya dapat menghasilkan susu.

    “A-Apa?! T-Tentu saja tidak ada!!”, serunya sambil melipat kedua tangannya di depan dada, dengan wajah yang berubah merah.

    “Umm…jadi apa yang harus kita lakukan? Aku tidak punya pengalaman sama sekali dalam merawat bayi, hanya pernah sekali menangani proses kelahiran.”

    “Sama denganku…”, onee-chan diam sejenak, menghela nafas, lalu melanjutkan, “Ah, sepertinya aku tahu siapa yang bisa menolong. Tunggu sebentar ya, akan kuhubungi seseorang.” Setelah itu, dia melangkah kembali ke kamarnya.




    Selama beberapa menit, aku masih berusaha menenangkan Taira, namun tidak ada hasilnya. Suara tangisannya terus terdengar, bahkan hingga ketika onee-chan kembali ke ruangan tempatku berada.

    “Sebentar lagi dia datang.”, ujarnya sambil membawa telepon genggam di tangan kanan.
    Hampir 25 menit berlalu, aku mendengar suara langkah kaki dari arah tangga kuil. Makin lama makin jelas terdengar. Lalu terdengar suara pintu digeser, dan…

    “Uh? Daleth?”, tanyaku keheranan.

    Beberapa saat dia menghirup dan menghembuskan nafas dengan cepat. Keringat mengucur deras, sepertinya dia berlari secepat mungkin dari apartemennya.

    “M-Maaf kalau terlalu lama. Sejak tadi aku tidak menemukan taksi, jadi aku langsung berlari sekencang mungkin ke sini.”, dia berusaha mengatur nafasnya sebentar lalu melanjutkan, “Jadi, bayi itu yang butuh bantuan?”

    “Ya, benar. Aku tidak mengerti cara menghentikan tangisannya.”, jawabku.

    “Aku juga belum pernah menangani seorang bayi…”, sahut onee-chan.

    “Coba kulihat sebentar…”, Daleth menghampiriku, lalu memperhatikan ke arah Taira.

    “Aku menduga kalau dia kelaparan. Tapi..tidak ada satupun di rumah ini yang bisa menjadi makanannya. Bahkan dengan ukuran dada sebesar itu…”, aku melirik ke arah onee-chan.

    “A-Azrael-chan!!”, teriaknya dengan nada malu-malu.

    “Sudah, sudah. Azrael, belikan susu bayi formula dan juga botolnya di supermarket. Oh, dan juga popok-sekali-pakai untuk berjaga-jaga nantinya, satu ukuran di atas ukuran terkecil. Mengerti?”

    Daleth menginstruksikan semua itu dengan tenang. Tidak ada sedikitpun kepanikan terlihat, berbeda dengan onee-chan yang sejak tadi terlihat risau.

    Kuserahkan Taira pada Daleth, lalu menerima uang dari onee-chan. Langsung saja aku berlari secepat mungkin ke supermarket besar yang pernah kudatangi bersama Resha waktu itu. Dngan kecepatan berlari lebih cepat dibanding orang normal, aku dapat menghemat waktu dibanding harus mencari taksi lebih dulu.

    “Barang-barang sudah didapatkan.”, tanpa sadar aku berlaku seperti ketika melapor pada petinggi militer ketika kembali tiba di rumah.

    “Oh, bagus. Terima kasih ya.”, Daleth menerima apa yang kubawa, berada dalam sebuah kantong plastik.

    Dengan lancar Daleth menginstruksikan padaku bagaimana cara untuk mengolah susu bubuk yang kubeli tadi menjadi cair. Ternyata tidak sulit, yang penting temperaturnya tidak boleh terlalu panas. Hebatnya lagi, tangannya begitu cekatan saat memakaikan popok pada Taira. Aku dan onee-chan hanya terpaku melihatnya.

    “Baiklah, sudah selesai. Jika dia menangis lagi dalam waktu dekat, periksa popoknya. Mungkin dia mengompol atau buang air besar. Jika benar, langsung ganti popoknya itu dengan cara yang kulakukan tadi.”, ujar Daleth sambil kembali menyerahkan Taira padaku. “Nanti akan kuhubungi Resha untuk membantu kalian seandainya ada hal-hal yang mendesak. Sekarang aku harus ke toko roti, setengah jam lagi akan buka. Sampai ketemu nanti malam.“

    Onee-chan hanya merespon dengan sebuah suara berbunyi ‘uh-huh’ disertai sekali menangguk.

    “Bagaimana bisa dia…”, tanpa sadar aku mengatakan itu.

    “Aku juga tidak mengerti. Sebenarnya aku hanya menghubungi Daleth-kun karena panik, tidak tahu siapa lagi yang harus dimintai bantuan…”

    “Apa dia sudah punya…”, walau aku ingat, dia pernah mengatakan “ingin punya anak”, yang artinya dia belum memilikinya saat ini.

    “Ah, sepertinya tidak mungkin…”

    Aku masih tidak bisa percaya apa yang kulihat barusan, dan sepertinya onee-chan mengalami hal yang serupa, ditunjukkan dengan wajahnya yang terlihat kaget. Ah sudahlah. Untuk sekarang, mengawasi kondisi bayi ini jauh lebih penting. Kuputuskan untuk tidak masuk kerja hari ini untuk menjaga Taira. Onee-chan sendiri mengatakan kalau akan memeriksa data di rumah sakit untuk menemukan orang tua Taira.




    Seperti yang dikatakan Daleth, Resha datang ke kuil, kira-kira sekitar jam 11 siang.

    “Jadi ini bayi yang kamu temukan itu? Siapa namanya?”, tanya Resha yang duduk di sebelah kananku. Kami sedang duduk-duduk di teras saat ini.

    “Taira.”

    “Uh? Itu saja? Tidak ada nama keluarga?”

    “Aku hanya memanggilnya seperti nama yang tertera di catatan yang kutemukan bersama bayi ini tadi pagi. Oh, tapi tenang saja, onee-chan akan memeriksa data kelahiran di rumah sakit enam bulan terakhir.”

    Kuperhatikan Resha, dia tidak merespon kata-kataku tadi. Dia hanya menatap ke arah Taira.

    “Umm…Resha?”

    “Ah, maaf, maaf.”

    “Apa kamu mendapati sesuatu yang salah dengan bayi ini?”

    “Tidak kok. Hanya saja…”

    Perlahan Resha merebahkan diri di teras. Sekali menghirup dan melepaskan nafas, lalu…kuperhatikan air mata mengalir, menetes ke lantai kayu.

    “Err…maaf…”, ujarnya sambil berusaha menghapus air mata dan kembali mengambil posisi duduk.

    “Aku belum berkomentar apapun. Ada apa sebenarnya?”

    “Aku…tidak tega melihat Taira.”, jawabnya lesu.

    “Uh? Kenapa?”

    Aku merasa ada yang lain dari gelagat Resha kali ini. Sebelumnya aku juga pernah menangis, namun aku tidak tahu alasan kenapa bisa seperti itu. Mungkin kali ini aku bisa menemukan jawabannya.

    “Kalau kamu memang mau mendengarkan…”

    “Katakan saja. Akan kudengarkan baik-baik.”

    Dimulai dengan ragu, namun akhirnya Resha mampu berkata-kata dengan lancar setelah kira-kira 4 detik. Yang diceritakannya adalah kisah hidupnya sendiri.

    Semasa kecil, dia dibenci oleh nyaris seluruh anggota keluarganya. Sumber masalahnya hanya satu: kekuatannya. Beberapa orang telah menjadi korban, termasuk 2 orang sepupunya sendiri. Dia kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya karena kekuatannya itu, mengganggap hal itu sebagai kutukan atau semacamnya. Untunglah, masih ada kakek dari pihak ayahnya yang masih menyayanginya dalam kondisi apapun. Tapi…3 tahun yang lalu, dia meninggal. Resha pun merasa makin terbuang, dan memutuskan untuk tinggal seorang diri meski masih dibiayai oleh keluarganya, karena tidak ada lagi orang yang bisa menenangkan dirinya jika emosinya memuncak. Kehadiran sebuah keluarga telah hilang total dari kehidupannya sejak saat itu.

    “Aku seperti bercermin saat melihat Taira. Dibuang oleh keluarga sendiri, dikucilkan.”

    Resha masih berusaha tersenyum selesai mengatakan itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi tiba-tiba mulutku tanpa sadar berkata…

    “Masih ingin menangis?”

    “Sudah, Azrael. Itu cerita lama. Tidak perlu dipikirkan.”

    “Aku merasa kamu masih menyimpan beban yang berat karena hal itu. Biar kutebak, kamu belum pernah meluapkan kesedihanmu akan hal itu di depan Daleth, benar begitu?”

    “Azrael…”

    “Pundak kananku masih kosong. Jika kamu mau---“

    Kata-kataku terhenti karena Resha tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundakku.

    “Jadi, aku boleh…”

    “Kudengar dari onee-chan, menangis bisa membuatmu lega. Selama kamu tidak menghancurkan kuil ini, boleh saja.”

    Resha sekali menengok ke arahku dan kubalas dengan sebuah senyuman, seperti yang diajarkan onee-chan padaku.

    Beberapa saat kemudian, aku merasa pundak kananku basah. Dengan kedua tangannya, Resha memelukku erat-erat. Meski sekarang aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia sedikit menunduk, namun aku tahu air matanya keluar dalam volume yang cukup banyak.

    Tanpa sadar aku mengulurkan tangan kananku ---karena tangan kiriku sedang menggendong Taira---, menaruhnya di kepalanya, lalu membelainya dengan lembut. Belaian seperti itu selalu membuatku merasa nyaman, jadi kurasa Resha juga akan merasakan hal yang sama.

    Pelan, sangat pelan, namun telingaku yang sensitif ini masih dapat mendengarnya. Resha mengatakan…“Arigatou.”




    Hari Jumat, 4 hari berselang setelah aku menemukan bayi ini, onee-chan memberitahu kalau…

    “Tsukimiya Houki. Itu nama ibu dari bayi ini.”

    “Ah, baguslah. Kapan bisa kukembalikan Taira padanya?”

    “Besok dia akan ke sini.”

    “Semudah itu membujuknya?”

    “Nanti akan kuberitahu jika masalah ini selesai. Oke?”, ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.

    Hari Sabtu, sekitar jam 8 pagi. Daleth dan Resha sudah berada di kuil sejak satu jam yang lalu. Daleth terlihat santai, sementara Resha…sesekali kulihat menggerutu. Yang lain mungkin tidak bisa mendengarnya, namun aku terus mendengar kata-kata “Akan kupukul orang tuanya kalau dia sudah datang.”, terucap dari mulutnya.

    Suasana sekitar kuil cukup hening sejak pagi, mungkin karena hari ini adalah hari libur. Masih banyak orang yang bisa jadi masih terlelap, atau bepergian ke tempat-tempat yang jauh. Tak lama, aku mendengar suara langkah kaki menapaki tangga kuil.

    Sambil menggendong Taira, aku langsung berlari ---namun menjaga agar Taira tetap merasa nyaman--- ke arah tangga. Sesosok perempuan berambut hitam dan dikuncir, masih sangat muda, terlihat ragu-ragu ingin naik.

    “Anda Tsukimiya Houki-san?”, langsung saja kutembak dia dengan pertanyaan tersebut.

    Dia tidak menjawab. Wajahnya terlihat takut, dan dengan langkah yang gemetar dia kembali menuruni tangga.

    “Tunggu, hei orang tua tidak bertanggung jawab!!”, suara Resha terdengar dari belakangku, dalam bahasa Seihou tentunya.

    Langkah perempuan itu terhenti ketika kedua kakinya menapak kembali di trotoar. Wajah Resha terlihat tidak sabaran dan ingin memaki Tsukimiya-san keras-keras.

    “Resha, tenangkan dirimu.”

    “Aku mengerti. Aku hanya akan membuatnya sadar. Mungkin aku akan bicara keras-keras, namun aku akan tetap berusaha mengendalikan emosiku.”

    “K-Kenapa…tempat ini penuh dengan orang asing seperti kalian…bukankah seharusnya penghuni tempat ini adalah…”, ujar Tsukimiya-san perlahan, mungkin terkejut melihat orang-orang non-Seihou sepertiku dan Resha.

    “Itu tidak penting!! Sekarang, saya minta penjelasan dari anda mengenai semua ini!!”, Resha benar-benar memakinya.

    “S-Saya…”

    “Apa anda paham dengan yang telah anda lakukan?! Meninggalkan seorang bayi yang tidak berdosa begitu saja…apa itu bisa dibenarkan?! Sekarang lihat, itu anak anda sendiri!! Darah daging anda!!”

    “Saya…t-tidak punya pilihan…”, suaranya terdengar lemas.

    “Saya tidak peduli dengan masalah yang anda hadapi. Apapun alasannya, terlalu kejam bagi orang tua untuk membuang anaknya sendiri!! Apa anda tidak mengerti hal itu?!”

    “S-Semuanya terjadi begitu saja…dan saya b-belum siap…”, kulihat air mata mengalir membasahi pipi Tsukimiya-san.

    “Dan anda melakukannya begitu saja tanpa memikirkan konsekuensinya?! Untunglah penghuni kuil ini menemukan anak anda. Bagaimana jika tidak?! Bagaimana jika nyawanya hilang sia-sia akibat perbuatan anda?!”

    Berurai air mata, Tsukimiya-san membalas, “Tolong hentikan!! Anda tidak mengerti apa yang saya alami!!”




    Ini harus dihentikan. Salah sedikit bisa-bisa Resha menghancurkan seisi kota. Kuhampiri mereka berdua, lalu…

    “Resha, biar aku yang bicara.”

    Resha mundur sedikit, memberiku sedikit ruang untuk bicara dengan Tsukimiya-san.

    “Maafkan teman saya tadi. Dia hanya tidak tahan melihat seorang anak yang dibuang oleh orang tuanya begitu saja. Dia pernah mengalami hal yang serupa, dan itulah yang membuatnya marah besar terhadap anda.”

    Tsukimiya-san tidak balas menjawab, hanya terdiam.

    “Tsukmiya-san, saya memang tidak mengerti apa yang anda alami, dan mungkin tidak akan mampu mengertinya dalam waktu dekat. Namun, satu hal yang saya tahu. Tidak ada tempat terbaik bagi seorang anak, selain di dalam dekapan orang tuanya sendiri. Jadi, bisakah anda---”

    Kata-kataku langsung dipotong olehnya.

    “T-Tapi…saya h-hanya seorang diri…”

    “Eh? Seorang…diri?”

    “Dia meninggalkan saya begitu saja begitu mengetahui kalau saya mengandung…keluarga saya juga berada di tempat yang jauh, dan saya tidak tahu apa yang harus saya katakan jika pulang ke sana dengan membawa Taira…”

    “Ah, saya mengerti. Jadi ayah bayi ini meninggalkan anda?”

    Dia mengangguk sekali, dengan air mata yang masih mengalir.

    “Anda merasa tidak mampu menanggung semuanya…sendiri?”

    Kembali dia hanya mengangguk, dengan volume air mata yang makin deras.

    “Lalu bagaimana dengan Taira? Dengan melakukan hal ini, anda telah membuang satu-satunya milik anda yang paling berharga…anda mengerti maksud saya kan?”

    Aku berhenti berkata-kata sejenak untuk mengambil nafas, lalu melanjutkan.

    “Tsukimiya-san, anda tidak sendirian. Jika anda menerima Taira kembali, anda kembali memiliki seseorang yang berarti dalam hidup. Jangan melihatnya sebagai beban, tapi sebagai penyemangat. Tidak perlu terburu-buru, lakukan saja yang anda bisa sekarang. Saya yakin anda tidak akan menyesal nantinya. Bukankah anda sudah berusaha keras untuk menjaga Taira tetap hidup selama di kandungan? Teruskanlah usaha itu hingga dia menjadi lelaki yang baik, jauh lebih baik dibanding ayahnya.”

    Masih dalam kondisi air mata mengalir, dia menatap Taira yang berada di gendonganku. Perlahan kuserahkan Taira padanya dan…dia kembali menerima bayinya, darah dagingnya.




    “Dan bagaimana kamu bisa bicara seperti tadi?! Aku sendiri kaget mendengarnya…”, tanya Resha saat makan malam. Yap, kami berempat makan malam di kuil ini, di rumahku.

    “Aku hanya teringat kejadian beberapa hari lalu, saat membantu proses kelahiran satu pasangan suami istri. Ditambah dengan ceritamu waktu itu, dan…kata-kata tadi mengalir begitu saja.”

    “Huh…sulit dipercaya. Dan kamu juga, Daleth, kamu tidak terlihat heran dengan semua ini…”, sahut Resha, lalu memasukkan sesuap nasi ke mulutnya dengan sumpit.

    “Sebenarnya aku tidak melakukan apapun untuk membuat Tsukimiya-san berani datang ke tempat ini tadi pagi. Aku hanya membantu menemukan lokasi tinggalnya saja.”

    “Ah ya, aku ingin tahu. Bagaimana kamu bisa menemukan orang itu?”, tanyaku penasaran.

    “Dengan data dari rumah sakit yang diberikan senpai, semuanya jadi mudah.”

    “Oke, oke. Analisismu, detektif.”, sahut Resha.

    “Pertama, aku mengira-ngira kalau Taira berusia sekitar tiga sampai empat bulan ketika melihatnya. Dengan begitu, jangkauan pencarian bisa kupersempit dengan hanya perlu memeriksa data kelahiran mulai awal Desember tahun lalu hingga Januari tahun ini. Tidak banyak yang melahirkan pada bulan-bulan tersebut, hanya ada tiga nama.”

    “Dan salah satunya adalah Tsukimiya Houki?”, sahutku.

    “Yap, benar. Ternyata dia baru berusia 18 tahun, baru lulus sekolah pada April tahun lalu. Kemungkinan besar karena usianya yang terlalu muda itulah, dia merasa tidak siap untuk menjadi seorang ibu.”

    “Dia seumuran denganku?!”, Resha terkejut sambil menggebrak meja.

    “Heh, tidak usah heboh begitu. Oke, akan kulanjutkan. Untuk memastikan kebenarannya lebih lanjut, aku juga memeriksa sekolahnya yang berada di bagian barat kota. Dan ternyata benar, pernah ada seorang siswi bernama Tsukimiya Houki, lulus tahun lalu.”

    “Petunjuk berikutnya adalah nama keluarganya.”, tiba-tiba onee-chan menyahut.

    “Nama…keluarga? Ada masalah dengan itu?”

    “Sebenarnya tidak ada masalah, Azrael-chan. Semua itu hanya agar aku lebih yakin mengenai Tsukimiya-san. Akupun berusaha mengingat-ingat nama itu dan menghubungi kuil pusat di Nishigyou. Dan ternyata benar, ayahnya adalah kannushi kuil Tsukuyomi di utara kota Nishigyou tersebut.”

    “Ah, aku mengerti. Karena keluarganya berada dalam jaringan organisasi kuil ini, Tsukimiya-san tahu kalau pengurus kuil Tsukuyomi di kota tempatnya bersekolah ternyata bekerja di rumah sakit, berharap agar Taira dapat dirawat dengan baik.”

    “Nah, betul sekali, Azrael-chan.”, kata-katanya itu ditutup dengan senyuman. Selalu seperti itu.

    “Masih ada dua hal yang belum kumengerti. Pertama, Daleth, bagaimana kamu bisa tahu mengenai usia bayi itu?”, tanyaku.

    “Kamu tahu pekerjaanku kalau sedang libur kuliah?”, dia balik bertanya.

    “Tunggu. Daleth, jangan bilang kalau kamu…”, Resha menyahut.

    “Aku bekerja di tempat penitipan anak. Memang belum pernah ada bayi sekecil itu yang dititipkan, namun banyak yang usianya lebih tua. Dengan begitu aku bisa mengira-ngira ukuran tubuh bayi yang lebih muda.”

    “T-Tidak diragukan lagi. K-Kamu…”, Resha berubah ketakutan.

    “Bukaaaannn!! Aku hanya senang merawat anak-anaaaaakkk!!”

    Oke, akan kubiarkan mereka berdua menyelesaikan masalahnya. Berarti sekarang…

    “Dan…onee-chan, bagaimana sampai dia mau ke tempat ini?”

    “Sedikit…kuancam.”

    “Hei, onee-chan tidak melakukan yang aneh-aneh kan?”

    “Tidak, tidak. Aku hanya menuliskan surat untuknya, mengatakan kalau Taira mengalami penyakit yang tidak bisa disembuhkan bahkan dengan teknologi rumah sakit di kota ini. Aku berpikiran, kalau benar dia adalah ibunya, pasti dia tidak akan tega dan segera kembali ke sini.”

    “Ternyata…onee-chan…ah, sudahlah.”




    Makan malam selesai, Daleth dan Resha mohon pamit tak lama setelahnya. Baiklah, berarti aku bisa masuk kerja lagi setelah ini. Hmm, sebenarnya ada satu hal lagi yang mengganggu pikiranku, namun tak bisa kutanyakan saat makan tadi.

    Onee-chan, usiamu 7 tahun lebih tua dibanding Tsukimiya-san. Kenapa belum memiliki anak?”

    “H-Hah?! B-Bagaimana mungkin…?! Aku belum punya…”, wajahnya terlihat merah.

    “Bagaimana dengan Daleth?”

    Onee-chan langsung terdiam beberapa saat. Jawaban yang diberikannya di luar dugaanku.

    “Aku sudah kalah, Azrael-chan.”

    “Kalah…?”

    “Yah, mungkin ini salahku karena tidak segera mengungkapkan perasaan padanya. Dan sekarang…dia sudah mendapat yang lebih baik.”

    “Maksudnya…Resha?”

    Dia hanya mengangguk dua kali. Hmm…sepertinya aku mengerti maksudnya. Ya sudahlah, sepertinya masih butuh waktu lama sampai aku bisa menggendong bayi lagi. Yang dilahirkan onee-chan, tentunya.


    ================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Chiryou no Egao (治療 の 笑顔) ---> healing/curing smile
    • Taira (壇 = tan, tokoro, taira) ---> altar
      Sebenernya gw pengen kasih nama yg artinya "sacrifice", tapi susah...
    • Tsukimiya Houki (月宮 放棄)
      ---> 月 (tsuki, gatsu, getsu) = moon
      ---> 宮 (miya, kyū, gū) = shrine, palace
      ------> 月宮 (tsukimiya) = moon shrine
      ---> 放 (hou [hō], hanasu) = release
      ---> 棄 (ki, suteru) = discard, reject
      ------> 放棄 (houki) = abandonment
      Diterjemahin bahasa Indo kasar = ninggalin di depan kuil bulan
    • Kannushi = head priest kuil Shinto

    Last edited by LunarCrusade; 21-02-13 at 14:09.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  15. #29
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    AKIRNYA KELUAR JUGA
    Jadi, Azrael jadi pengasuh anak..*bayangin cewe mini berpakaian suster menggendong anak*
    uweooo~~~

    Terus onee-chan nya...gue mencium potensi harem yang besar /lupakan~

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  16. #30
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    AKIRNYA KELUAR JUGA
    Jadi, Azrael jadi pengasuh anak..*bayangin cewe mini berpakaian suster menggendong anak*
    uweooo~~~

    Terus onee-chan nya...gue mencium potensi harem yang besar /lupakan~
    anyingssss AOSKOAEKAOWKAEOKAOKE

    itu lagi cuti, jadi ga pake seragam nurse


    ga, ga akan ada harem ini mah, gw anti harem

    kek An Angel and A Reaper, Daleth sama Resha uda keliling dunia dan ketemu berbagai macem orang pun, ga pake ada harem"an

    gw berusaha membuat side-story Gift of Life to Azrael ini se-heartwarming mungkin,

    jadi fokuslah ke pesan moral dan apapun yg anget yg ada di dalamnya


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 2 of 5 FirstFirst 12345 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •