================
Phase 5: Early Stage
================
Sejak kejadian itu, hampir setiap hari aku selalu meluangkan waktu untuk melihat-lihat ruangan inkubator. Dari luar, dibatasi oleh sebuah kaca besar. Bayi-bayi mungil yang lahir sebelum waktunya dirawat di dalam ruangan tersebut. Melihat mereka yang begitu lemah ---jarang sekali kudengar salah satunya menangis---, ada sesuatu yang mendorong hatiku. Jika benar mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang baik seperti orang-orang yang kukenal, aku ingin…menjaga mereka agar tetap hidup.
Suatu kali, ketika aku sedang menengok ke dalam ruangan inkubator…
“Azrael-san.”, suara lembut itu memanggil. Di sampingku berdiri seorang pria berumur 50 tahun, tingginya sekitar 166-167 sentimeter. Posturnya tegap meski tergolong kurus. Dia juga sering tersenyum dengan lembut pada para pegawai ketika bicara, sehingga seisi rumah sakit menjulukinya “Chiryou no Egao”.
“Oh, rupanya anda, Seijinrei-sensei. Maaf, saya akan kembali beker---“
“Apa yang kamu rasakan saat melihat mereka?”, tanyanya sambil melihat ke dalam ruangan. Kukira dia akan memarahiku, ternyata tidak. Dia hanya melemparkan senyuman setelah bertanya hal itu.
“Mereka…terlihat lemah. Saya ingin merawat mereka agar dapat tetap hidup.”, jawabku sambil memandang ke dalam.
“Keinginan yang baik, Azrael-san. Apa kamu ingin dipindahkan ke divisi khusus yang menangani bayi dan anak-anak?”
Hmm, tawaran yang menarik. Tapi…tidak. Untuk dapat mengerti bagaimana menjadi manusia normal, tidak mungkin hanya dengan mengamati fase dimana manusia masih belum berdaya saja.
“Sepertinya tidak, Seijinrei-sensei. Saya…ingin berhubungan dengan semua orang. Oh, tapi tentu saja, sekali-sekali saya akan membantu jika dibutuhkan.”
“Ahaha…baiklah jika itu keinginanmu. Saya tidak akan memaksa. Kalau begitu, saya akan pergi sebentar. Jika ada yang mencari, katakan kalau saya ada urusan di luar.”
“Baik, Seijinrei-sensei.”
Kukira aku akan berurusan dengan makhluk-makhluk kecil itu hanya di rumah sakit. Ternyata…
Pagi hari. Kulihat jam di kamarku…masih setengah 6. Aku terbangun karena mendapati ada suara abnormal yang tertangkap telingaku. Cukup pelan, pastilah tidak terdengar oleh manusia biasa. Asalnya…cukup jauh. Aku tahu, suara itu bukanlah suara burung ataupun serangga.
Aku melangkah keluar kamar hingga ke pintu depan, lalu ke teras. Kutarik nafas dalam-dalam agar udara segar mengisi paru-paruku, lalu menghembuskannya perlahan. Sekali lagi aku mencoba berkonsentrasi untuk mendengar suara itu. Masih terdengar. Aku berkeliling mencarinya di seluruh lingkungan kuil…tidak ada. Yang kutahu, begitu aku melangkah ke bagian belakang kompleks kuil…suara itu terdengar makin sayup-sayup. Ah!! Berarti ada di depan!!
Benar saja. Ketika aku berlari ke depan hingga ke tangga batu yang menurun, suaranya makin keras, makin keras, makin…huh?
Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat. Bukankah ini…
Sesosok tubuh yang kecil dengan pipi yang merah bulat, terbaring di dalam kardus berukuran hampir sekitar 60 x 100 sentimeter. Tubuhnya sedikit lebih besar dibanding yang sering kulihat di ruang inkubator di rumah sakit, mungkin usianya beberapa minggu sampai beberapa bulan lebih tua. Jadi, yang sejak tadi kudengar adalah suara tangisan bayi ini?
Uh? Kenapa dia menangis terus? Kuambil posisi jongkok, lalu mencoba mencolek-colek pipi kirinya dengan telunjukku. Masih menangis juga. Ah, mungkin dia kedinginan. Udaranya memang belum hangat seperti siang hari. Baiklah, akan kubawa ke dalam saja. Hmm…ada secarik kertas bertuliskan ‘tolong rawat Taira’ terselip di sisi kiri kardus.
Err, aku masih tidak mengerti. Tidak cukupkah udara hangat di rumah ini? Dia masih menangis walau sudah kubawa ke dalam. Apa yang harus aku lakukan…?
“A-A-Azrael-chan..i-itu…”, tutur kata onee-chan terdengar gelagapan, sambil menunjuk ke arah bayi yang kugendong.
“Oh, tentu saja ini seorang bayi, onee-chan.”
“A-Aku juga tahu!! Tapi anak siapa itu? Di mana orang tuanya?! Dari mana kamu mendapatkannya?!”, rentetan pertanyaan diajukannya dengan cepat.
“Menurut catatan yang ditinggalkan, namanya Taira. Dia kutemukan di depan, dekat tangga.”
“Di…tinggalkan? Maksudmu dia dibuang orang tuanya?!”
“Sepertinya begitu.”, kualihkan pandanganku ke arah bayi itu, “Ah, dia menangis terus begini…apa yang harus kulakukan?”
“M-Mungkin dia lapar?”
“Hmm…menurut yang kudengar, makanan pokok seorang bayi yang masih kecil seperti ini adalah susu. Yang alami, tentu saja.”
“Hah? Kita tidak punya yang seperti itu di sini…”
“Lalu bagaimana dengan itu? Sebesar itu apa tidak ada isinya?”, kuarahkan telunjuk kananku ke arah dada onee-chan. Ukurannya jauh lebih besar dariku, jadi aku berpikir kalau kumpulan kelenjar mammae di dalamnya dapat menghasilkan susu.
“A-Apa?! T-Tentu saja tidak ada!!”, serunya sambil melipat kedua tangannya di depan dada, dengan wajah yang berubah merah.
“Umm…jadi apa yang harus kita lakukan? Aku tidak punya pengalaman sama sekali dalam merawat bayi, hanya pernah sekali menangani proses kelahiran.”
“Sama denganku…”, onee-chan diam sejenak, menghela nafas, lalu melanjutkan, “Ah, sepertinya aku tahu siapa yang bisa menolong. Tunggu sebentar ya, akan kuhubungi seseorang.” Setelah itu, dia melangkah kembali ke kamarnya.
Selama beberapa menit, aku masih berusaha menenangkan Taira, namun tidak ada hasilnya. Suara tangisannya terus terdengar, bahkan hingga ketika onee-chan kembali ke ruangan tempatku berada.
“Sebentar lagi dia datang.”, ujarnya sambil membawa telepon genggam di tangan kanan.
Hampir 25 menit berlalu, aku mendengar suara langkah kaki dari arah tangga kuil. Makin lama makin jelas terdengar. Lalu terdengar suara pintu digeser, dan…
“Uh? Daleth?”, tanyaku keheranan.
Beberapa saat dia menghirup dan menghembuskan nafas dengan cepat. Keringat mengucur deras, sepertinya dia berlari secepat mungkin dari apartemennya.
“M-Maaf kalau terlalu lama. Sejak tadi aku tidak menemukan taksi, jadi aku langsung berlari sekencang mungkin ke sini.”, dia berusaha mengatur nafasnya sebentar lalu melanjutkan, “Jadi, bayi itu yang butuh bantuan?”
“Ya, benar. Aku tidak mengerti cara menghentikan tangisannya.”, jawabku.
“Aku juga belum pernah menangani seorang bayi…”, sahut onee-chan.
“Coba kulihat sebentar…”, Daleth menghampiriku, lalu memperhatikan ke arah Taira.
“Aku menduga kalau dia kelaparan. Tapi..tidak ada satupun di rumah ini yang bisa menjadi makanannya. Bahkan dengan ukuran dada sebesar itu…”, aku melirik ke arah onee-chan.
“A-Azrael-chan!!”, teriaknya dengan nada malu-malu.
“Sudah, sudah. Azrael, belikan susu bayi formula dan juga botolnya di supermarket. Oh, dan juga popok-sekali-pakai untuk berjaga-jaga nantinya, satu ukuran di atas ukuran terkecil. Mengerti?”
Daleth menginstruksikan semua itu dengan tenang. Tidak ada sedikitpun kepanikan terlihat, berbeda dengan onee-chan yang sejak tadi terlihat risau.
Kuserahkan Taira pada Daleth, lalu menerima uang dari onee-chan. Langsung saja aku berlari secepat mungkin ke supermarket besar yang pernah kudatangi bersama Resha waktu itu. Dngan kecepatan berlari lebih cepat dibanding orang normal, aku dapat menghemat waktu dibanding harus mencari taksi lebih dulu.
“Barang-barang sudah didapatkan.”, tanpa sadar aku berlaku seperti ketika melapor pada petinggi militer ketika kembali tiba di rumah.
“Oh, bagus. Terima kasih ya.”, Daleth menerima apa yang kubawa, berada dalam sebuah kantong plastik.
Dengan lancar Daleth menginstruksikan padaku bagaimana cara untuk mengolah susu bubuk yang kubeli tadi menjadi cair. Ternyata tidak sulit, yang penting temperaturnya tidak boleh terlalu panas. Hebatnya lagi, tangannya begitu cekatan saat memakaikan popok pada Taira. Aku dan onee-chan hanya terpaku melihatnya.
“Baiklah, sudah selesai. Jika dia menangis lagi dalam waktu dekat, periksa popoknya. Mungkin dia mengompol atau buang air besar. Jika benar, langsung ganti popoknya itu dengan cara yang kulakukan tadi.”, ujar Daleth sambil kembali menyerahkan Taira padaku. “Nanti akan kuhubungi Resha untuk membantu kalian seandainya ada hal-hal yang mendesak. Sekarang aku harus ke toko roti, setengah jam lagi akan buka. Sampai ketemu nanti malam.“
Onee-chan hanya merespon dengan sebuah suara berbunyi ‘uh-huh’ disertai sekali menangguk.
“Bagaimana bisa dia…”, tanpa sadar aku mengatakan itu.
“Aku juga tidak mengerti. Sebenarnya aku hanya menghubungi Daleth-kun karena panik, tidak tahu siapa lagi yang harus dimintai bantuan…”
“Apa dia sudah punya…”, walau aku ingat, dia pernah mengatakan “ingin punya anak”, yang artinya dia belum memilikinya saat ini.
“Ah, sepertinya tidak mungkin…”
Aku masih tidak bisa percaya apa yang kulihat barusan, dan sepertinya onee-chan mengalami hal yang serupa, ditunjukkan dengan wajahnya yang terlihat kaget. Ah sudahlah. Untuk sekarang, mengawasi kondisi bayi ini jauh lebih penting. Kuputuskan untuk tidak masuk kerja hari ini untuk menjaga Taira. Onee-chan sendiri mengatakan kalau akan memeriksa data di rumah sakit untuk menemukan orang tua Taira.
Seperti yang dikatakan Daleth, Resha datang ke kuil, kira-kira sekitar jam 11 siang.
“Jadi ini bayi yang kamu temukan itu? Siapa namanya?”, tanya Resha yang duduk di sebelah kananku. Kami sedang duduk-duduk di teras saat ini.
“Taira.”
“Uh? Itu saja? Tidak ada nama keluarga?”
“Aku hanya memanggilnya seperti nama yang tertera di catatan yang kutemukan bersama bayi ini tadi pagi. Oh, tapi tenang saja, onee-chan akan memeriksa data kelahiran di rumah sakit enam bulan terakhir.”
Kuperhatikan Resha, dia tidak merespon kata-kataku tadi. Dia hanya menatap ke arah Taira.
“Umm…Resha?”
“Ah, maaf, maaf.”
“Apa kamu mendapati sesuatu yang salah dengan bayi ini?”
“Tidak kok. Hanya saja…”
Perlahan Resha merebahkan diri di teras. Sekali menghirup dan melepaskan nafas, lalu…kuperhatikan air mata mengalir, menetes ke lantai kayu.
“Err…maaf…”, ujarnya sambil berusaha menghapus air mata dan kembali mengambil posisi duduk.
“Aku belum berkomentar apapun. Ada apa sebenarnya?”
“Aku…tidak tega melihat Taira.”, jawabnya lesu.
“Uh? Kenapa?”
Aku merasa ada yang lain dari gelagat Resha kali ini. Sebelumnya aku juga pernah menangis, namun aku tidak tahu alasan kenapa bisa seperti itu. Mungkin kali ini aku bisa menemukan jawabannya.
“Kalau kamu memang mau mendengarkan…”
“Katakan saja. Akan kudengarkan baik-baik.”
Dimulai dengan ragu, namun akhirnya Resha mampu berkata-kata dengan lancar setelah kira-kira 4 detik. Yang diceritakannya adalah kisah hidupnya sendiri.
Semasa kecil, dia dibenci oleh nyaris seluruh anggota keluarganya. Sumber masalahnya hanya satu: kekuatannya. Beberapa orang telah menjadi korban, termasuk 2 orang sepupunya sendiri. Dia kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya karena kekuatannya itu, mengganggap hal itu sebagai kutukan atau semacamnya. Untunglah, masih ada kakek dari pihak ayahnya yang masih menyayanginya dalam kondisi apapun. Tapi…3 tahun yang lalu, dia meninggal. Resha pun merasa makin terbuang, dan memutuskan untuk tinggal seorang diri meski masih dibiayai oleh keluarganya, karena tidak ada lagi orang yang bisa menenangkan dirinya jika emosinya memuncak. Kehadiran sebuah keluarga telah hilang total dari kehidupannya sejak saat itu.
“Aku seperti bercermin saat melihat Taira. Dibuang oleh keluarga sendiri, dikucilkan.”
Resha masih berusaha tersenyum selesai mengatakan itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi tiba-tiba mulutku tanpa sadar berkata…
“Masih ingin menangis?”
“Sudah, Azrael. Itu cerita lama. Tidak perlu dipikirkan.”
“Aku merasa kamu masih menyimpan beban yang berat karena hal itu. Biar kutebak, kamu belum pernah meluapkan kesedihanmu akan hal itu di depan Daleth, benar begitu?”
“Azrael…”
“Pundak kananku masih kosong. Jika kamu mau---“
Kata-kataku terhenti karena Resha tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Jadi, aku boleh…”
“Kudengar dari onee-chan, menangis bisa membuatmu lega. Selama kamu tidak menghancurkan kuil ini, boleh saja.”
Resha sekali menengok ke arahku dan kubalas dengan sebuah senyuman, seperti yang diajarkan onee-chan padaku.
Beberapa saat kemudian, aku merasa pundak kananku basah. Dengan kedua tangannya, Resha memelukku erat-erat. Meski sekarang aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia sedikit menunduk, namun aku tahu air matanya keluar dalam volume yang cukup banyak.
Tanpa sadar aku mengulurkan tangan kananku ---karena tangan kiriku sedang menggendong Taira---, menaruhnya di kepalanya, lalu membelainya dengan lembut. Belaian seperti itu selalu membuatku merasa nyaman, jadi kurasa Resha juga akan merasakan hal yang sama.
Pelan, sangat pelan, namun telingaku yang sensitif ini masih dapat mendengarnya. Resha mengatakan…“Arigatou.”
Hari Jumat, 4 hari berselang setelah aku menemukan bayi ini, onee-chan memberitahu kalau…
“Tsukimiya Houki. Itu nama ibu dari bayi ini.”
“Ah, baguslah. Kapan bisa kukembalikan Taira padanya?”
“Besok dia akan ke sini.”
“Semudah itu membujuknya?”
“Nanti akan kuberitahu jika masalah ini selesai. Oke?”, ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Hari Sabtu, sekitar jam 8 pagi. Daleth dan Resha sudah berada di kuil sejak satu jam yang lalu. Daleth terlihat santai, sementara Resha…sesekali kulihat menggerutu. Yang lain mungkin tidak bisa mendengarnya, namun aku terus mendengar kata-kata “Akan kupukul orang tuanya kalau dia sudah datang.”, terucap dari mulutnya.
Suasana sekitar kuil cukup hening sejak pagi, mungkin karena hari ini adalah hari libur. Masih banyak orang yang bisa jadi masih terlelap, atau bepergian ke tempat-tempat yang jauh. Tak lama, aku mendengar suara langkah kaki menapaki tangga kuil.
Sambil menggendong Taira, aku langsung berlari ---namun menjaga agar Taira tetap merasa nyaman--- ke arah tangga. Sesosok perempuan berambut hitam dan dikuncir, masih sangat muda, terlihat ragu-ragu ingin naik.
“Anda Tsukimiya Houki-san?”, langsung saja kutembak dia dengan pertanyaan tersebut.
Dia tidak menjawab. Wajahnya terlihat takut, dan dengan langkah yang gemetar dia kembali menuruni tangga.
“Tunggu, hei orang tua tidak bertanggung jawab!!”, suara Resha terdengar dari belakangku, dalam bahasa Seihou tentunya.
Langkah perempuan itu terhenti ketika kedua kakinya menapak kembali di trotoar. Wajah Resha terlihat tidak sabaran dan ingin memaki Tsukimiya-san keras-keras.
“Resha, tenangkan dirimu.”
“Aku mengerti. Aku hanya akan membuatnya sadar. Mungkin aku akan bicara keras-keras, namun aku akan tetap berusaha mengendalikan emosiku.”
“K-Kenapa…tempat ini penuh dengan orang asing seperti kalian…bukankah seharusnya penghuni tempat ini adalah…”, ujar Tsukimiya-san perlahan, mungkin terkejut melihat orang-orang non-Seihou sepertiku dan Resha.
“Itu tidak penting!! Sekarang, saya minta penjelasan dari anda mengenai semua ini!!”, Resha benar-benar memakinya.
“S-Saya…”
“Apa anda paham dengan yang telah anda lakukan?! Meninggalkan seorang bayi yang tidak berdosa begitu saja…apa itu bisa dibenarkan?! Sekarang lihat, itu anak anda sendiri!! Darah daging anda!!”
“Saya…t-tidak punya pilihan…”, suaranya terdengar lemas.
“Saya tidak peduli dengan masalah yang anda hadapi. Apapun alasannya, terlalu kejam bagi orang tua untuk membuang anaknya sendiri!! Apa anda tidak mengerti hal itu?!”
“S-Semuanya terjadi begitu saja…dan saya b-belum siap…”, kulihat air mata mengalir membasahi pipi Tsukimiya-san.
“Dan anda melakukannya begitu saja tanpa memikirkan konsekuensinya?! Untunglah penghuni kuil ini menemukan anak anda. Bagaimana jika tidak?! Bagaimana jika nyawanya hilang sia-sia akibat perbuatan anda?!”
Berurai air mata, Tsukimiya-san membalas, “Tolong hentikan!! Anda tidak mengerti apa yang saya alami!!”
Ini harus dihentikan. Salah sedikit bisa-bisa Resha menghancurkan seisi kota. Kuhampiri mereka berdua, lalu…
“Resha, biar aku yang bicara.”
Resha mundur sedikit, memberiku sedikit ruang untuk bicara dengan Tsukimiya-san.
“Maafkan teman saya tadi. Dia hanya tidak tahan melihat seorang anak yang dibuang oleh orang tuanya begitu saja. Dia pernah mengalami hal yang serupa, dan itulah yang membuatnya marah besar terhadap anda.”
Tsukimiya-san tidak balas menjawab, hanya terdiam.
“Tsukmiya-san, saya memang tidak mengerti apa yang anda alami, dan mungkin tidak akan mampu mengertinya dalam waktu dekat. Namun, satu hal yang saya tahu. Tidak ada tempat terbaik bagi seorang anak, selain di dalam dekapan orang tuanya sendiri. Jadi, bisakah anda---”
Kata-kataku langsung dipotong olehnya.
“T-Tapi…saya h-hanya seorang diri…”
“Eh? Seorang…diri?”
“Dia meninggalkan saya begitu saja begitu mengetahui kalau saya mengandung…keluarga saya juga berada di tempat yang jauh, dan saya tidak tahu apa yang harus saya katakan jika pulang ke sana dengan membawa Taira…”
“Ah, saya mengerti. Jadi ayah bayi ini meninggalkan anda?”
Dia mengangguk sekali, dengan air mata yang masih mengalir.
“Anda merasa tidak mampu menanggung semuanya…sendiri?”
Kembali dia hanya mengangguk, dengan volume air mata yang makin deras.
“Lalu bagaimana dengan Taira? Dengan melakukan hal ini, anda telah membuang satu-satunya milik anda yang paling berharga…anda mengerti maksud saya kan?”
Aku berhenti berkata-kata sejenak untuk mengambil nafas, lalu melanjutkan.
“Tsukimiya-san, anda tidak sendirian. Jika anda menerima Taira kembali, anda kembali memiliki seseorang yang berarti dalam hidup. Jangan melihatnya sebagai beban, tapi sebagai penyemangat. Tidak perlu terburu-buru, lakukan saja yang anda bisa sekarang. Saya yakin anda tidak akan menyesal nantinya. Bukankah anda sudah berusaha keras untuk menjaga Taira tetap hidup selama di kandungan? Teruskanlah usaha itu hingga dia menjadi lelaki yang baik, jauh lebih baik dibanding ayahnya.”
Masih dalam kondisi air mata mengalir, dia menatap Taira yang berada di gendonganku. Perlahan kuserahkan Taira padanya dan…dia kembali menerima bayinya, darah dagingnya.
“Dan bagaimana kamu bisa bicara seperti tadi?! Aku sendiri kaget mendengarnya…”, tanya Resha saat makan malam. Yap, kami berempat makan malam di kuil ini, di rumahku.
“Aku hanya teringat kejadian beberapa hari lalu, saat membantu proses kelahiran satu pasangan suami istri. Ditambah dengan ceritamu waktu itu, dan…kata-kata tadi mengalir begitu saja.”
“Huh…sulit dipercaya. Dan kamu juga, Daleth, kamu tidak terlihat heran dengan semua ini…”, sahut Resha, lalu memasukkan sesuap nasi ke mulutnya dengan sumpit.
“Sebenarnya aku tidak melakukan apapun untuk membuat Tsukimiya-san berani datang ke tempat ini tadi pagi. Aku hanya membantu menemukan lokasi tinggalnya saja.”
“Ah ya, aku ingin tahu. Bagaimana kamu bisa menemukan orang itu?”, tanyaku penasaran.
“Dengan data dari rumah sakit yang diberikan senpai, semuanya jadi mudah.”
“Oke, oke. Analisismu, detektif.”, sahut Resha.
“Pertama, aku mengira-ngira kalau Taira berusia sekitar tiga sampai empat bulan ketika melihatnya. Dengan begitu, jangkauan pencarian bisa kupersempit dengan hanya perlu memeriksa data kelahiran mulai awal Desember tahun lalu hingga Januari tahun ini. Tidak banyak yang melahirkan pada bulan-bulan tersebut, hanya ada tiga nama.”
“Dan salah satunya adalah Tsukimiya Houki?”, sahutku.
“Yap, benar. Ternyata dia baru berusia 18 tahun, baru lulus sekolah pada April tahun lalu. Kemungkinan besar karena usianya yang terlalu muda itulah, dia merasa tidak siap untuk menjadi seorang ibu.”
“Dia seumuran denganku?!”, Resha terkejut sambil menggebrak meja.
“Heh, tidak usah heboh begitu. Oke, akan kulanjutkan. Untuk memastikan kebenarannya lebih lanjut, aku juga memeriksa sekolahnya yang berada di bagian barat kota. Dan ternyata benar, pernah ada seorang siswi bernama Tsukimiya Houki, lulus tahun lalu.”
“Petunjuk berikutnya adalah nama keluarganya.”, tiba-tiba onee-chan menyahut.
“Nama…keluarga? Ada masalah dengan itu?”
“Sebenarnya tidak ada masalah, Azrael-chan. Semua itu hanya agar aku lebih yakin mengenai Tsukimiya-san. Akupun berusaha mengingat-ingat nama itu dan menghubungi kuil pusat di Nishigyou. Dan ternyata benar, ayahnya adalah kannushi kuil Tsukuyomi di utara kota Nishigyou tersebut.”
“Ah, aku mengerti. Karena keluarganya berada dalam jaringan organisasi kuil ini, Tsukimiya-san tahu kalau pengurus kuil Tsukuyomi di kota tempatnya bersekolah ternyata bekerja di rumah sakit, berharap agar Taira dapat dirawat dengan baik.”
“Nah, betul sekali, Azrael-chan.”, kata-katanya itu ditutup dengan senyuman. Selalu seperti itu.
“Masih ada dua hal yang belum kumengerti. Pertama, Daleth, bagaimana kamu bisa tahu mengenai usia bayi itu?”, tanyaku.
“Kamu tahu pekerjaanku kalau sedang libur kuliah?”, dia balik bertanya.
“Tunggu. Daleth, jangan bilang kalau kamu…”, Resha menyahut.
“Aku bekerja di tempat penitipan anak. Memang belum pernah ada bayi sekecil itu yang dititipkan, namun banyak yang usianya lebih tua. Dengan begitu aku bisa mengira-ngira ukuran tubuh bayi yang lebih muda.”
“T-Tidak diragukan lagi. K-Kamu…”, Resha berubah ketakutan.
“Bukaaaannn!! Aku hanya senang merawat anak-anaaaaakkk!!”
Oke, akan kubiarkan mereka berdua menyelesaikan masalahnya. Berarti sekarang…
“Dan…onee-chan, bagaimana sampai dia mau ke tempat ini?”
“Sedikit…kuancam.”
“Hei, onee-chan tidak melakukan yang aneh-aneh kan?”
“Tidak, tidak. Aku hanya menuliskan surat untuknya, mengatakan kalau Taira mengalami penyakit yang tidak bisa disembuhkan bahkan dengan teknologi rumah sakit di kota ini. Aku berpikiran, kalau benar dia adalah ibunya, pasti dia tidak akan tega dan segera kembali ke sini.”
“Ternyata…onee-chan…ah, sudahlah.”
Makan malam selesai, Daleth dan Resha mohon pamit tak lama setelahnya. Baiklah, berarti aku bisa masuk kerja lagi setelah ini. Hmm, sebenarnya ada satu hal lagi yang mengganggu pikiranku, namun tak bisa kutanyakan saat makan tadi.
“Onee-chan, usiamu 7 tahun lebih tua dibanding Tsukimiya-san. Kenapa belum memiliki anak?”
“H-Hah?! B-Bagaimana mungkin…?! Aku belum punya…”, wajahnya terlihat merah.
“Bagaimana dengan Daleth?”
Onee-chan langsung terdiam beberapa saat. Jawaban yang diberikannya di luar dugaanku.
“Aku sudah kalah, Azrael-chan.”
“Kalah…?”
“Yah, mungkin ini salahku karena tidak segera mengungkapkan perasaan padanya. Dan sekarang…dia sudah mendapat yang lebih baik.”
“Maksudnya…Resha?”
Dia hanya mengangguk dua kali. Hmm…sepertinya aku mengerti maksudnya. Ya sudahlah, sepertinya masih butuh waktu lama sampai aku bisa menggendong bayi lagi. Yang dilahirkan onee-chan, tentunya.
Share This Thread