Page 3 of 5 FirstFirst 12345 LastLast
Results 31 to 45 of 62
http://idgs.in/517741
  1. #31
    levialexander9's Avatar
    Join Date
    Jan 2012
    Posts
    5,671
    Points
    778.48
    Thanks: 100 / 289 / 266

    Default

    wah nil...
    lgnsng tengelem thread u...
    gara" thread ga jls...


    bntuin bump ah...


    w bacaya ntar aj dh...

  2. Hot Ad
  3. #32
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    ok tq say ~

    cepetan, ini gw lagi kebut Phase 6, bisa entar malem keluar


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  4. #33
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    anyingssss AOSKOAEKAOWKAEOKAOKE

    itu lagi cuti, jadi ga pake seragam nurse


    ga, ga akan ada harem ini mah, gw anti harem

    kek An Angel and A Reaper, Daleth sama Resha uda keliling dunia dan ketemu berbagai macem orang pun, ga pake ada harem"an

    gw berusaha membuat side-story Gift of Life to Azrael ini se-heartwarming mungkin,

    jadi fokuslah ke pesan moral dan apapun yg anget yg ada di dalamnya
    bold: ngga bisaaa!! nanti Taira dibawa ke RS aja gitu dia sakit demam, jadi digendong Azrael yang lagi pake seragam

    Oke, you're against harem...tapi into incest....err

    Heartwarming? gue lebih dapet feel nya di cerita yang ini, buat gue pribadi lebih banyak yang 'anget' nya disini...entah kenapa pas baca aaaar gue malah seringnya ketawa, contohnya pas baca chapter (lupa berapa) yang ada Dia nya itu loh
    Divine order langsung..? dan bercampur kaget sampe direstuin sama Dia nya juga
    ngga ngebayangin apa jadinya kalo gue yang dapet restu macam begitu
    oke udah2 bahas itu nya...yang jelas ada beberapa momen di cerita ini yang cukup bisa membuat hati gue tersentuh, kayak pas Azrael awal2 mulai memahami emosi manusia, (gue ngga bakal kasih tau yang mana) gue ampir serrr~, untung ngga jadi

    Singkat kata, cerita lu ini lebih mengharukan bahkan dibanding film -yang katanya mengharukan banget itu- ****** dari Jepang itu....gue pas nonton itu kebawa tidur
    anget deh

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  5. #34
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    @ Melon

    AAaAR emang ga fokus ke heartwarming storyline, tapi lebih ke technical-problem solving

    Nangis mah nangis aja kali, dengan begitu target gw terpenuhi


    ============================================


    Spoiler untuk Phase 6 :


    =======================
    Phase 6: A Croissant for Two
    =======================




    Temperatur udara beranjak naik dari hari ke hari, dan tanpa kusadari sekarang sudah mendekati musim panas. Hanya kurang dari seminggu lagi sebelum bulan berganti ke Juni. Sudah 1 bulan lebih aku bekerja di rumah sakit, dan perlahan makin banyak orang di rumah sakit yang kukenal, baik sesama pegawai ataupun pasien. Dan tentu saja, aku makin akrab dengan Chiyuko-san.




    Hari Minggu sekitar setengah 4 sore. Aku tidak punya shift hari ini, begitu juga dengan Chiyuko-san.

    Sejak jam 10 pagi tadi kami berdua melakukan sesuatu yang dilakukan nyaris seluruh perempuan di muka Bumi: belanja. Dan karena Chiyuko-san sudah terlihat lelah…

    “Mau istirahat sebentar?”, tanyaku.

    “O-Oke. Aku juga sudah lelah membawa semua ini.”

    “Aku heran…kenapa sampai enam kantong besar begitu. Sebanyak itukah barang yang kamu perlukan?”

    “Ahaha…namanya juga wanita, Azu-chan. Nanti kamu juga mengerti.”

    Bahkan onee-chan pun tidak pernah membawa belanjaan sebanyak itu. Tapi ya sudahlah, lupakan untuk sekarang. Inari Bakery hanya beberapa puluh meter lagi, jadi kutawari Chiyuko-san beristirahat di sana.

    “Ah, irasshaimase…!!”, suara itu menyambut dari balik meja kasir saat aku membuka pintu. Siapa lagi kalau bukan Daleth.

    “E-Eh…? Waaahh!! Kenapa bisa ada orang setampan dia di toko roti ini?!”, seru Chiyuko-san dengan mata berbinar-binar.

    “Oh, Azrael. Selamat datang. Dan…ini temanmu?”

    “Uh-huh. Kiyotama Chiyuko-san, rekan kerjaku di rumah sakit.”

    “A-Azu-chan…kamu kenal orang ini?!”, perempuan di sebelahku ini terlihat kaget.

    “Karena satu dan lain hal, akhirnya aku bisa kenal dengannya.”

    Daleth segera memberikan isyarat dengan telunjuk kanan yang ditaruh di depan mulut. Ah, berarti aku tidak boleh menceritakan detailnya.

    “Jadi, ingin pesan apa?”

    Tiramisu cake!! Oh, dan secangkir caffe latte.”, jawab Chiyuko-san dengan cepat.

    “Hmm…aku minta choco croissant dan cappuccino. Tolong antar ke tempat kami duduk ya.”

    Inari Bakery memiliki area khusus dengan 10 meja, 6 besar dan 4 kecil. Aku segera duduk di salah satu meja kecil yang memiliki 2 kursi, tidak jauh dari pintu masuk. Selama menunggu, mata Chiyuko-san tidak berhenti memandang ke arah Daleth dengan mata berbinar-binar.

    “Chiyuko-san.”

    “Iya? Apa? Apa?” Dari cara menjawabnya, aku tahu kalau pikirannya sedang melayang entah ke mana.

    “Dia sudah ada yang punya.”

    “Oh begitu.”, dia terdiam sejenak, lalu dengan suara yang lebih keras dia berteriak, “APAAAAAAA?!”

    “Menyerahlah, Chiyuko-san. Sudah tidak ada harapan lagi.”

    “S-Siapa wanita beruntung yang menjadi pacarnya itu?! Aaaahhh!! Kenapa ini harus terjadi…huhuhu…”

    Sudah sewajarnya dia menyerah. Sejauh yang kutahu dari cerita onee-chan atau Resha, Daleth bukanlah tipe orang yang memilih wanita secara sembarangan. Dan karena sifatnya itulah, hingga usianya yang sekarang dia belum pernah memiliki kekasih satu orang pun. Yah, walau sudah sangat jelas kalau Resha adalah satu-satunya perempuan yang ada di hatinya sekarang.

    Tiramisu cake dan caffe latte, serta choco croissant dan cappuccino. Baiklah, selamat menikmati.”, ujar Daleth sambil menaruh pesananku dan Chiyuko-san di atas meja. Kubalas dengan sebuah ucapan terima kasih.

    Perlahan aku menyantap pesananku, sesekali menyeruput cappuccino. Chiyuko-san sendiri terlihat tidak bersemangat setelah mendengar kata-kataku tadi.




    Beberapa saat berlalu…

    “Oi!! Nii-san!!”, sebuah suara memanggil yang cukup keras terdengar dari arah pintu, seorang anak laki-laki. Mungkin berusia sekitar 9 hingga 10 tahun. Dari gelagatnya, sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Daleth.

    “Oh, Tsuranagi-kun rupanya. Seperti biasa?”, Daleth melayani anak itu dengan ramah. Dia memang akrab dengan anak-anak.

    “Hei, itu kan…”, tiba-tiba Chiyuko-san berkata-kata setelah diam saja sekian lama.

    “Hmm? Kamu kenal dengannya?”

    “Sudah 4 bulan dia tidak mengunjungi adik perempuannya di rumah sakit. Sebentar ya, Azu-chan.”, Chiyuko-san beranjak dari kursinya.

    Chiyuko-san berjarak sekitar 3 meter dari meja kasir ketika anak itu menerima kembalian, lalu dia menengok ke arah Chiyuko-san. Wajah anak laki-laki itu langsung berubah panik, dan berlari secepat mungkin ke luar. Aneh, kenapa dia harus berlari panik begitu? Kenapa dia begitu takut melihat Chiyuko-san?

    “Azu-chan, bisa tolong kamu kejar dia? Nanti akan kujelaskan semua.”, ujar Chiyuko-san dengan nada serius.

    “Oke, baiklah. Tunggulah di sini.”

    Hanya seorang anak kecil, pasti dapat kukejar dengan mudah. Benar saja. Tidak sampai 2 menit, aku berhasil memperpendek jarak dengan dirinya.

    Anak itu tidak menyerah. Dia terus berlari hingga ke ujung blok, dimana terdapat sebuah perempatan. Dan…

    *BRAAAAAK!!~

    Ada seorang anak perempuan yang muncul dari belokan di sebelah kanan, sepertinya seumuran dengan anak laki-laki yang sedang kukejar. Keduanya bertabrakan dan jatuh. Ini kesempatanku untuk menangkap anak laki-laki itu.

    “M-Maaf…”, ujar anak perempuan yang ditabraknya itu.

    Anak laki-laki itu diam saja. Aku sudah berada di sebelahnya sekarang.

    “Hei, minta maaflah. Bukankah kamu laki-laki?”, ujarku.

    “Tidak usah menyuruh-nyuruhku!! Kamu dari rumah sakit kan?!”

    Kurasa dia mengambil kesimpulan itu karena aku bersama Chiyuko-san.

    “Ya, ada apa memangnya?”

    “Cih. Jangan harap kamu bisa menangkapku!!”

    Dia langsung meraih kantong berisi apa yang dibelinya di Inari Bakery, lalu berlari kabur. Ingin kukejar, tapi…ada yang butuh pertolongan di sini.

    “Kamu tidak apa-apa?”, tanyaku sambil berlutut di sebelah kiri anak perempuan yang ditabrak itu.

    “I-Iya, tidak apa-apa kok. Tidak ada luka sama sekali.”, dia berusaha berdiri.

    Tunggu. Wajah anak ini sekilas mirip dengan onee-chan. Kebetulan atau…? Aku ikut berdiri begitu kudapati tidak ada cedera padanya.

    “Maaf ya. Kalau aku tidak mengejar anak laki-laki tadi, mungkin dia tidak akan menabrakmu.”

    “Umm…nee-chan tidak perlu minta maaf kok. Aku juga tidak melihat jalan dengan baik tadi…ehehe…”, dia tertawa kecil.

    “Namamu?”

    “Sakuya.”

    “Emm…Sakuya-chan, sebagai permintaan maaf, akan kubelikan sesuatu. Bagaimana?”

    “Terserah nee-chan saja.”, jawabannya diakhiri dengan sebuah senyuman. Benar-benar mirip dengan yang selalu dilakukan onee-chan.

    Aku perhatikan di trotoar ada sebuah croissant, sepertinya jatuh dari kantong anak lelaki itu. Agar tidak mengotori jalan, kupungut itu, lalu membuangnya di tempat sampah terdekat.




    Saat aku kembali ke Inari Bakery…

    “Daleth onii-chan?!”, Sakuya-chan terlihat terkejut.

    “S-Sakuya-chan?! B-Bagaimana bisa…” Sepertinya mereka berdua sudah saling kenal.

    Langsung saja Daleth membawa Sakuya-chan keluar ke depan pintu toko, lalu saling berbisik. Awalnya Daleth terlihat panik, namun segera berubah tenang setelah berkomunikasi sebentar dengan anak perempuan itu.

    “Jadi, bagaimana dengan anak laki-laki itu?”, tanya Chiyuko-san.

    “Aku tidak berhasil menangkapnya. Dia malah menabrak anak perempuan yang bersamaku itu. Maaf, Chiyuko-san.”

    “Hmm…ya sudah tidak apa-apa. Nanti akan kupikirkan bagaimana caranya agar dia mau menjenguk adiknya lagi.”

    “Nee-chan, sepertinya aku harus pulang. Maaf ya sudah merepotkan.”, ujar Sakuya-chan, setelah dia selesai bicara dengan Daleth.

    “Tidak ingin kuantar?”

    “Dia tinggal di sekitar sini, Azrael. Tidak perlu khawatir.”, sahut Daleth.

    Setelah Sakuya-chan keluar, aku kembali ke mejaku tadi lalu menghabiskan sedikit sisa choco croissant yang ada. Di saat yang bersamaan, Chiyuko-san memberitahu mengenai anak laki-laki tadi yang ternyata bernama lengkap Kawaguchi Tsuranagi. Adik perempuannya, Kawaguchi Tsuranami, adalah salah seorang pasien yang dirawat di rumah sakit tempatku bekerja. Tidak banyak yang bisa diceritakan Chiyuko-san, selain bagaimana seringnya dulu Tsuranagi-kun menjenguk adiknya, yang belakangan tidak pernah dilakukannya lagi. Baiklah, besok akan kutemui adiknya itu untuk mengetahui semua ini lebih lanjut.




    Senin, setengah 9 pagi. Setelah berhasil menemukan data mengenai ruangan di mana Kawaguchi Tsuranami dirawat, aku langsung menuju ke sana.

    Lantai 3, di ujung lorong arah utara, terdapat sebuah kamar yang terpencil…

    Sebelum aku menaruh tangan di gagang pintu, terbersit sesuatu di pikiranku. Ada yang aneh dengan lokasi ruangan ini. Terlalu terasing. Terisolasi. Selain suasana sepi dari lorong karena jarang dilalui, tempat ini juga tergolong gelap untuk pagi hari seperti sekarang. Padahal di lorong utama kondisinya terang benderang, bahkan tanpa lampu sekalipun.

    Perlahan kubuka pintu kamar di depanku…

    Seorang anak perempuan berusia 8 tahun, terlihat berlutut di sisi ranjang yang bersebelahan dengan jendela yang berada dalam posisi terbuka. Rambutnya berwarna hitam dengan panjang sebahu, tersibak oleh angin.

    “Permisi…Tsuranami-san?”

    Anak itu memalingkan wajahnya ke arahku. Dia cukup cantik untuk anak seumurannya walau tergolong pucat.

    “Umm…suster ingin mengambil wadah makanan?”, tanyanya dengan suara pelan. Sebenarnya sih tidak. Tapi ya sudahlah, kuiyakan saja.

    Kuperhatikan sekeliling, ruangan ini juga aneh. Yang kudapati adalah ranjang, lemari, meja, dan dua buah kursi. Tidak ada televisi. Padahal semua ruangan pasien yang pernah kumasuki pastilah memiliki televisi di dalamnya. Apa dia tidak bosan di ruangan yang sepi seperti ini?

    “S-Saya belum pernah melihat suster sebelumnya…orang baru ya?”, tanyanya dengan sedikit gemetaran.

    “Ya, benar. Aku baru bekerja pertengahan musim semi tahun ini.”

    “O-Oh begitu…”

    “Kamu terlihat takut, ada apa?”, tanyaku, berusaha mencairkan suasana.

    “T-Tidak…aku hanya belum pernah bicara langsung dengan orang yang sepertinya bukan orang Seihou.”

    “Tenang saja, lafal Seihouku sudah lancar. Tidak perlu khawatir tentang apa yang akan kamu katakan. Aku pasti mengerti.”

    “Mmm…iya.”, diikuti dengan sekali menangguk pelan.

    “Oh ya, sudah berapa lama kamu dirawat?”

    “Enam bulan…”

    Berarti Tsuranagi-kun sempat terus menjenguknya selama 2 bulan, lalu berhenti pada bulan yang ketiga.

    “…di sini.”, dia melanjutkan.

    “Tunggu, tunggu. Apa maksudmu?”

    “Iya, enam bulan aku dirawat di sini. Sementara sebelumnya aku dirawat di tempat lain…sudah sejak lama.”

    “Oh, begitu rupanya. Hmm…bagaimana dengan keluargamu? Pasti kadang mereka kemari, benar?”, sengaja kutanyakan hal itu untuk memancingnya bicara.

    Kepalanya langsung tertunduk mendengar pertanyaanku. Sekali menggelengkan kepala, lalu dia menjawab, “Tidak. Yang sering mengunjungiku sudah tidak pernah datang lagi sejak 4 bulan lalu.”

    Kuhampiri dirinya yang sedang bersandar di tepi jendela, lalu ikut memandang keluar dan merasakan hembusan angin dari lantai 3 ini.

    “Akan kubawa orang itu kembali.”, ujarku sambil menatap jauh ke depan.

    “E-Eh…? Bisakah…?”, tanyanya dengan tatapan yang sangat berharap.

    “Aku janji. Cepat atau lambat akan kubawa dia ke sini.”, ditutup dengan senyuman dariku.

    Sepertinya dia terlihat senang dengan kata-kataku tadi. Baiklah, sudah cukup. Aku akan kembali bekerja.




    Kuambil wadah makanan yang diantarkan oleh suster lainnya pagi tadi, lalu menuju ruang cuci dan menaruhnya di sana. Tak lama kemudian, aku berpapasan dengan Chiyuko-san di koridor.

    “Bagaimana? Sudah bertemu Tsuranami-san?”, tanyanya.

    “Sudah. Awalnya dia masih takut-takut denganku, walau tak lama kemudian aku bisa memulai obrolan dengannya.”

    “Ah, itu wajar. Oh ya, kamu tidak membawa ponsel ke dalam kan?”

    “Eh? Ponsel? Tidak kok…ada apa memangnya?”

    “Dia menunjukkan gejala Electromagnetic Hypersensitivity.”

    “Maksudmu, dia bisa dengan mudah jatuh sakit jika terlalu lama terinduksi medan elektromagnetik?”

    “Nah, itu dia maksudku. Seminimal mungkin peralatan elektronik yang boleh ada di dekatnya.”

    Ternyata itu alasan kenapa ruangannya sangat terpencil dan tidak ada televisi di kamarnya. Seingatku kelainan misterius itu pastilah diderita sejak lahir, sehingga tidak mengherankan jika dia sudah dirawat sejak lama sebelum dipindahkan ke sini.

    Sebentar. Ruangan yang terisolasi. Tidak ada televisi, tidak ada hiburan. Seminimal mungkin peralatan elektronik, tidak boleh ada notebook, music player, dan lain-lain. Kebosanan total. Dan kakaknya tidak lagi mengunjungi dia selama 4 bulan?! Keterlaluan. Akan kucari informasi mengenai kakaknya lebih lanjut, dan aku tahu siapa yang bisa dimintai tolong.


    “Tsuranagi-kun?”, tanya Daleth. Sekarang hampir jam 5 sore. Sengaja aku datang pada jam ini, karena sebentar lagi juga waktunya Daleth selesai bekerja.

    “Uh-huh. Adiknya sedang dirawat di rumah sakit di tempatku. Gejala Electromagnetic Hypersensitivity.”

    “Ah, penyakit misterius itu rupanya.”

    “Kamu tahu mengenai penyakit itu?”

    “Sedikit. Seingatku senpai pernah meneliti mengenai hal itu.”

    Jadi itu sebabnya anak perempuan itu dirawat di rumah sakit Takamagahara. Meski belum pasti, tapi onee-chan sedang berusaha menemukan solusi terbaik untuk penyembuhan penyakit tersebut.

    “Kembali ke masalah Tsuranagi-kun. Apa kamu tahu sesuatu tentangnya?”

    “Hmm…tidak banyak yang bisa kuberitahu. Tempat tinggalnyanya pun aku tidak tahu. Yang jelas sudah empat bulan terakhir dia sering membeli choco croissant di sini, karena itulah aku jadi hafal wajahnya. Anehnya, selalu choco croissant, tidak pernah membeli yang lain.”

    Seperti yang kumakan dan juga yang dibelinya kemarin. Hei, sejak 4 bulan yang lalu? Kebetulan belaka, atau…

    “Baiklah, terima kasih informasinya. Aku mohon pamit.”




    Cahaya jingga mewarnai seluruh pemandangan yang kulalui saat berjalan pulang. Sepertinya aku harus mempercepat laju jalanku, agar sampai di rumah sebelum gelap. Ditambah lagi sekarang onee-chan tidak ada di rumah dan baru pulang besok malam.

    Sesosok anak perempuan tertangkap pandanganku, mengendap-endap di pinggir tangga kuil. Hei, bukankah itu anak perempuan yang kemarin?

    “Halo.”

    “Waaaa…!!”, teriaknya sambil membalikkan badan ke arahku.

    “Kamu ada keperluan dengan kuil ini?”

    “Err…umm…tidak kok. A-Aku hanya…”

    Tunggu. Telingaku menangkap suara langkah kaki. Kecil, sepertinya anak-anak. Aku memindai sekitarku dengan cepat dan mendapati kalau anak laki-laki itu, Tsuranagi-kun, berjalan ke arah kuil. Masih jauh, sehingga dia belum melihatku ataupun anak yang bersamaku ini, Sakuya-chan.

    “Namamu Sakuya-chan, benar begitu?”

    “Uh-huh. Aku sudah memperkenal--- whaaa!!”

    Langsung saja kuangkat tubuh Sakuya-chan. Aku ingin bersembunyi sesaat dan menyergap Tsuranagi-kun saat dia melewati kuil. Hei, kenapa anak ini…ringan sekali? Bukan, bukan. Lebih tepat kalau kukatakan menggendongnya tidak ada bedanya dengan mengangkat selembar kertas. Ah, tapi itu tidak penting sekarang. Segera saja kugendong Sakuya-chan dan menaiki tangga. Langkah itu makin dekat, dan…dia menapakkan kakinya perlahan menaiki anak tangga. Dia ingin naik?

    “Kita sembunyi di dalam.”

    “E-Eh?! Nee-chan…tidak apa-apa ya sembunyi di dalam?”

    “Tenang dulu untuk sekarang. Anak yang kemarin menabrakmu sekarang sedang menuju ke sini.”

    Wajah Sakuya-chan terlihat bingung sekaligus takut. Mungkin dia tidak mengira kalau aku punya kunci tempat ini.

    Sebelum Tsuranagi-kun mencapai halaman utama kuil, aku dan Sakuya-chan sudah berada di dalam rumah sambil mengamati ke luar dari celah pintu.

    “Nee-chan…namamu siapa? Aku sudah memberitahu namaku kemarin, jadi sekarang giliran nee-chan.”, tanyanya.

    “Azrael.”

    “Azura…Azuraeru…aaahhh!! Susah sekali sih!! Azu nee-chan saja bagaimana?”

    “Ya, begitu juga boleh.”

    “Azu nee-chan tinggal di sini?”

    “Benar. Aku tinggal bersama satu orang lagi. Tapi dia tidak pulang hari ini, sedang ada urusan.”

    Entah kenapa Sakuya-chan terlihat lega tepat begitu aku mengatakan ‘satu orang lagi’.

    “Berarti dia belum pindah ya…syukurlah.”

    “Sakuya-chan…!! Tundukkan lagi kepalamu, jangan sampai dia bisa melihat wajahmu!”, sambil kuturunkan kepalanya dengan tangan.

    Tsuranagi-kun terus berjalan menuju haiden dan berhenti tepat di depan kotak tempat memasukkan uang. Dia memasukkan sekeping uang logam, membunyikan lonceng yang ada di atas kotak dengan menarik tali yang tersambung ke lonceng, membungkuk dua kali, menepukkan kedua tangannya dua kali, lalu membungkuk sekali lagi.

    Dengan Sakuya-chan berpegangan padaku, aku berjalan perlahan di belakangnya hingga jarak sekitar 6 meter.

    “K-Kalian…apa kalian ingin balas dendam atas yang kemarin?!”, seru Tsuranagi-kun begitu membalikkan badannya.

    Kuabaikan pertanyaannya itu, lalu balik bertanya, “Berdoa untuk Tsuranami-san?”

    Mulutnya menggumam dengan suara yang amat pelan, “Kenapa nii-san yang di toko roti itu menyarankan untuk pergi ke sini?!”

    “Bagaimana kalau sekali-sekali kamu mengunjungi Tsuranami-san lagi? Aku baru saja memeriksanya tadi pagi, dan…dia terlihat kesepian.”, aku melanjutkan.

    Sekarang dia tidak menjawab. Malah Sakuya-chan yang berkomentar.

    “Ng…Azu nee-chan, Tsuranami-san itu siapa?”

    “Adik perempuannya, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Sejak empat bulan yang lalu dia tidak lagi ke sana, jadi aku ingin supaya dia kembali menjenguk adiknya seperti yang rajin dilakukannya dulu.”

    “Eh…?”




    Ekspresi Sakuya-chan berubah total. Dari bingung karena tidak mengerti mengenai masalah ini, berubah menjadi terlihat emosional. Tidak sampai 1 detik, tangan kanannya dikepalkan dengan sekuat tenaga dan kepalanya sedikit ditundukkan. Dengan langkah yang tegas, Sakuya-chan berjalan menuju ke arah Tsuranagi-kun, dan…


    *PLAAAAKK!!~


    Sebuah tamparan dari Sakuya-chan mendarat di pipi kiri Tsuranagi-kun.

    “H-Hei!! Apa-apaan kamu hah?! Kalau ingin balas dendam atas yang kemarin, tidak perlu sampai me---“

    “Kenapa…”, tutur Sakuya-chan dengan serius, memotong kata-kata Tsuranagi-kun.

    Sebenarnya aku ingin menghentikan mereka karena takut akan terjadi perkelahian. Namun sebelum aku melangkah…

    “Kenapa kamu meninggalkan adikmu begitu saja??!!!”, teriak Sakuya-chan, memecah suasana sepi di halaman kuil.

    “Tidak usah sok tahu!! Kamu tidak tahu apa-apa tentang adikku!!”

    “Aku memang tidak tahu apapun. Tapi bagaimana bisa kamu begitu tega tidak menjenguknya lagi?! Apalagi Azu nee-chan bilang, dulu kamu rajin mengunjunginya...apa salah yang diperbuat adikmu, hah?!”

    “Dia…dia sudah tidak dapat diselamatkan!! Dan menjauhi dirinya adalah cara terbaik supaya aku bisa merelakan kepergiannya jika hal itu terjadi!! Bahkan ayah dan ibu juga sudah menyerah…”

    “Apa kamu mengerti rasanya kesepian?! Apa kamu mengerti rasanya ditinggalkan?! Meski dia harus menemui ajalnya dalam waktu dekat, yang dibutuhkannya sekarang adalah seseorang di sisinya!! Itu dapat membuatnya lebih tegar menghadapi kematian!! Apa kamu mengerti, hei anak egois??!!”

    Tsuranagi-kun langsung tersentak dengan kata-kata itu. Perlahan air mata mengalir membasahi pipinya. Kakinya juga gemetar, lalu jatuh berlutut di tanah, masih dalam kondisi menangis.

    “J-Jadi…s-selama ini adikku…”

    Sepertinya ini saat yang tepat untukku mengintervensi.

    “Yang bisa kutemukan di wajahnya hanyalah kesendirian, Tsuranagi-kun. Memang aku baru bertemu dengannya hari ini. Tapi aku tahu, dia hanya butuh seseorang yang dia sayangi di sisinya.”

    Aku berhenti berkata-kata sejenak, mengambil nafas, dan mengatakan sesuatu yang hampir bisa dipastikan dapat mengubah pemikiran Tsuranagi-kun.

    “Dan choco croissant yang selalu kamu beli empat bulan terakhir…adalah makanan kesukaan Tsuranami-san. Benar begitu?”

    Yap, itu dia kesimpulan yang dapat kutarik begitu mendengar informasi dari Daleth. Jiwanya memang tidak kuat untuk melihat adiknya secara langsung, karena dia tahu sewaktu-waktu adiknya itu akan pergi untuk selamanya. Tapi…dia tidak pernah melupakan adiknya sendiri. Bukti nyatanya adalah choco croissant itu. Tidak mungkin seseorang tiba-tiba rutin membeli sesuatu selama 4 bulan berturut-turut tanpa alasan yang kuat.

    Semua yang terjadi 4 bulan terakhir, kurasa sangat membebani pikirannya. Di satu sisi, dia tidak mau mengalami depresi jika kehilangan adiknya. Namun di sisi lain, dia tidak mau melupakan seseorang yang disayanginya.

    “Namamu…Tsuranagi-kun?”, tanya Sakuya-chan, dijawab dengan sekali mengangguk. Sakuya-chan pun melanjutkan, “Maaf kalau tadi aku terlalu kasar. Aku hanya…emosi. Jadi, bagaimana kalau kamu mulai menjenguk adikmu lagi?”

    Senyuman Sakuya-chan seperti obat bagi Tsuranagi-kun. Dia berusaha berhenti menangis, lalu menjawab, “Iya.”

    “Akan kurahasiakan dulu hal ini dari Tsuranami-san. Sebagai kejutan, tentu saja.”

    Tsuranagi-kun merespon kata-kataku itu dengan sekali mengangguk, sebuah anggukan yang tegas. Raut wajahnya menunjukkan keseriusannya dalam hal ini.

    “Akhirnya, anak itu bisa diyakinkan. Terima kasih untuk bantuannya, Sakuya-chan.”, sambil kurebahkan diriku di teras kayu, dengan Sakuya-chan duduk di sebelah kiriku. Tsuranagi-kun sendiri sudah pulang setelah mengucapkan janjinya kalau akan mengunjungi adiknya besok.

    “Ahaha…iya, sama-sama.”

    “Tapi aku kagum denganmu. Bagaimana bisa kamu membuatnya sadar?”

    “Aku pernah mengalami kejadian yang mirip, Azu nee-chan. Ng…tapi aku tidak bisa cerita sekarang. Tidak apa-apa kan?”

    “Oke, tidak apa-apa jika memang kamu belum siap untuk menceritakannya. Bantuanmu tadi sudah lebih dari cukup untuk membuatku sangat berterima kasih.”

    “Ya sudah kalau begitu. Aku pulang dulu ya, Azu nee-chan. Sebentar lagi gelap.”

    Diapun pamit, dan kutemani hingga turun tangga. Sebelum dia berjalan pergi lebih jauh, dia membalikkan badannya dan berkata…

    “Jaga onee-chan yah.”, diakhiri dengan sebuah senyuman yang lagi-lagi, entah sudah berapa kali aku melihatnya, amat sangat mirip dengan onee-chan. Kata-katanya tadi juga sepertinya tidak ditujukan padaku. Ah sudahlah, mungkin aku salah memahaminya.




    Malam ini, onee-chan tidak akan pulang ke rumah hingga besok malam. Sehari lembur di rumah sakit, dan besok pagi akan ke sebuah universitas di Nishigyou. Hmm…sepertinya malam ini aku akan mengantarkan makanan untuknya. Jika sudah terlalu serius bekerja, onee-chan selalu lupa makan. Baiklah, jam setengah 8 nanti aku akan kembali ke rumah sakit.

    Yang kusiapkan bukanlah satu set menu yang mewah. Sederhana saja, sebuah kotak bento berisi nasi, telur dadar, potongan daging sapi yang kumasak dengan sedikit saus teriyaki dan lada hitam, dan beberapa umeboshi. Untuk minum, kubuatkan teh hangat yang kutaruh dalam termos. Baiklah, saatnya menuju rumah sakit. Bangunan tempat onee-chan selalu berada letaknya terpisah, sebelah timur gedung utama. Mungkin karena itulah dia jarang bersosialisasi dengan pegawai rumah sakit lainnya.

    Aroma yang tidak biasa tercium ketika aku berada makin dekat dengan ruangan tempat onee-chan berada. Bisa jadi bahan-bahan kimia yang biasa dipakai untuk eksperimen. Oh, lampu ruangannya menyala. Kubuka saja pintu ruangan.

    “Onee-chan…? Halo?”, suara agak kukeraskan karena dia tidak terlihat dari pintu. Aku melangkah masuk untuk mencarinya.

    Ruangan ini cukup besar, sekitar 80 meter persegi. Beberapa unit komputer, sebuah mesin yang tidak kuketahui fungsinya, serta beberapa perangkat laboratorium tertangkap mataku. Ada juga beberapa rak besi dan lemari. Walau besar, namun adanya barang-barang ini memberikan kesan sempit.

    Oh, itu dia. Sedang…tiduran?

    “Onee-chan.”

    “Uh? Huh? Azrael-chan?”, sahutnya, terlihat lelah dan mengantuk. Padahal ini baru setengah 9 malam. Apa karena efek kelelahan yang diakumulasi selama beberapa hari terakhir?

    “Kubawakan makanan untukmu. Pasti onee-chan belum makan.”

    “Ahaha…iya. Maaf kalau merepotkan.”

    Kuserahkan kotak bento itu padanya. Tanpa basa-basi, dia langsung menyantap habis seluruhnya. Ternyata dia memang sedang kelaparan.

    “Ingat kondisi kesehatanmu sendiri¸ onee-chan. Aneh bagi seorang dokter dapat jatuh sakit karena kelalaiannya sendiri.”

    “Iya, iya. Kamu ini lama-lama seperti ibu-ibu saja…”

    “Bagaimana, sudah selesai?”

    “Sudah, sudah. Terima kasih ya.”, jawabnya sambil menyerahkan kotak yang telah kosong.

    Kutuangkan teh yang kubawa, lalu dia meminumnya perlahan. Menikmati teh hangat punya efek relaksasi, cocok untuk menenangkan pikiran saat bekerja.

    “Jadi, besok onee-chan akan ke Nishigyou?”

    “Iya, ada laporan yang harus kuserahkan.”

    “Laporan mengenai apa?”

    Electromagnetic Hypersensitivity. Beberapa bulan ini aku stress karena hal itu…sudah lima kali aku gagal menemukan solusi penyembuhannya.”, jawabnya lesu, sambil menaruh kepala di atas meja.

    “Oh, seperti yang diderita pasien di lantai tiga itu?”

    “Nah, itu dia. Aku masih tidak mengerti bagaimana membuat kekebalan tubuh terhadap gelombang elektromagnetik.”

    “Tapi asal-usul penyebabnya sudah onee-chan ketahui kan?”

    “Uh-huh. Kelainan kromosomal.”, sambil mengangguk dua kali.

    Tunggu. Aku punya ide…

    “Bagaimana kalau onee-chan mengambil sampel DNA ku?”

    “Eh? Maksudmu?”

    “Tubuhku dibentuk dengan menggabungkan gen-gen terbaik yang ada di seluruh dunia. Siapa tahu dengan menggunakan DNA tubuhku, onee-chan bisa menemukan solusinya. Rambut, darah, potongan kuku, apapun itu, akan kuserahkan untuk sampel.”

    “Hei…benar juga. Kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya?! Azrael-chan, terima kasih banyaaaaaakkkk…!!”, serunya sambil memelukku erat-erat.

    Belum pernah kulihat raut wajah onee-chan yang begitu gembira seperti sekarang. Baguslah, sepertinya kesembuhan Tsuranami-san akan terwujud dalam waktu dekat.




    Atau…tidak.

    Esok siangnya, kondisi Tsuranami-san berubah kritis, lebih buruk dibanding beberapa kasus terakhir. Kondisi kesehatan penderita kelainan ini memang sering tidak stabil dengan alasan yang tidak jelas. Argh, bagaimana ini…Tsuranagi-kun juga baru akan datang nanti sore sepulang sekolah. Aku juga tidak mau usaha onee-chan menjadi sia-sia…

    “O-Oh…suster yang kemarin ya…”, ujarnya lemas ketika menyadari aku sudah berada di sebelahnya untuk mengawasi ECG yang diletakkan di pojok ruangan, sangat jauh dari tempatnya berbaring.

    “Bertahanlah, Tsuranami-san. Aku…belum menepati janjiku yang kemarin.”, kugenggam tangan kanannya dengan lembut.

    “Ahaha…tidak apa-apa kok.”, dia berusaha tersenyum. “Oh iya, n-nama suster siapa…?”

    “Azrael.”

    “A-Azura…duh…kok susah sekali sih.”

    “Azu nee-chan, jika kamu mau.”

    “Ah, boleh…jadi tidak begitu sulit kuucapkan. N-Nama itu juga sepertinya pernah kudengar…kalau t-tidak salah, itu nama seorang malaikat pencabut nyawa…”

    “Tapi aku tidak ingin mencabut nyawamu, Tsuranami-san. Aku ingin kamu pulih.”

    “Nami-chan s-saja…tidak usah panjang-panjang begitu. T-Tapi…sepertinya sudah tidak lama lagi yah…”, air mata mengalir membasahi kedua pipinya.

    Seketika itu juga, detak jantungnya melemah hingga kurang dari 40 detakan per menit, berdasarkan hasil pembacaan ECG.

    Ah, sial!! Kenapa hal ini harus terjadi sekarang?! Hei…kenapa dadaku merasa sesak begini? Bukan suatu penyakit, namun…depresi. Ya, mungkin inilah yang juga dirasakan onee-chan karena kegagalannya. Tapi aku tidak boleh menyerah, aku harus terus berharap. Setidaknya, setidaknya…hingga Tsuranagi-kun datang…

    Tiba-tiba pintu kamar ini dibuka. Itu…Tsuranagi-kun?!

    “Tsuranagi-kun? Bagaimana dengan sekolah---“

    Kata-kataku langsung dipotong.

    “Suster yang bersamamu di toko roti itu menelepon ke sekolahku. Untunglah guruku mengijinkanku pulang lebih dulu…”

    “O-Onii-chan…? B-Benar itu dirimu…?”, sahut Nami-chan dengan pelan.

    “N-Nami-chan!! Bertahanlah…!! Aku membawakan makanan kesukaanmu, choco croissant…bukankah kita sudah berjanji akan memakannya bersama kalau kamu sudah sembuh?! Jadi…tolonglah…”, air mata mengalir di pipinya.

    Aku memutuskan untuk keluar ruangan agar tidak mengganggu mereka. Begitu berada di depan pintu yang sudah kututup, kakiku langsung terasa lemas. Aku tidak sanggup lagi berdiri, dan terduduk sambil bersandar pada pintu. Tubuhku mendadak lesu. Sesuatu yang dinamakan ‘depresi’ ini membuatku tidak dapat berpikir hal yang lain lagi. Yang terbayang dalam pikiranku hanyalah bagaimana perasaan onee-chan nanti jika Nami-chan…

    Mataku terasa panas. Ada sesuatu yang akan keluar. Air mata…

    Kali ini aku benar-benar sadar akan air mata yang mengalir membasahi pipiku. Aku juga tahu betul kenapa alasannya. Rasa depresi ini membuatku sedih. Ya, sedih.

    Selama beberapa saat aku hanya terduduk dan menangis. Aku terus berharap agar keajaiban mengubah semuanya. Aku hanya ingin melihat semuanya bahagia…





    Musim semipun berlalu, digantikan oleh teriknya musim panas. Bulan Juni sudah memasuki minggu kedua.

    “Mau semangka?”, kata onee-chan sambil membawa sebuah piring dengan 4 potong semangka di atasnya. Aku sedang duduk-duduk di teras, disinari oleh matahari yang beranjak siang.

    “Ah, terima kasih.”, jawabku. Kedua anak yang bersamaku juga mengatakan hal yang sama.

    “Bagaimana? Sudah baikan?”, tanya onee-chan pada salah satunya, yaitu…

    …Nami-chan.

    Hari itu, ternyata kondisi Nami-chan membaik dengan kedatangan Tsuranagi, maksudku, Nagi-kun. Ya, sejak kejadian itu aku memanggil dia seperti itu. Walau selama dua minggu setelahnya kondisi Nami-chan masih tidak stabil, namun tidaklah begitu buruk. Dia dapat bertahan hingga onee-chan berhasil menemukan suntikan hormonal untuk menstimulasi sel-sel tubuh Nami-chan, mengurangi sensitifitasnya terhadap medan elektromagnetik.

    “Sudah, sensei. Sekali lagi terima kasih.”, dijawabnya sambil menunduk satu kali, terlihat sangat hormat.

    “Ahaha…tidak perlu sampai begitu, Nami-chan. Aku juga harus berterima kasih karena kamu sudah menjadi bukti pertama penyembuhan penyakit anehmu itu.”

    “Emm…ngomong-ngomong, anak perempuan yang waktu itu ke mana?”, tiba-tiba Nagi-kun bertanya.

    “Sakuya-chan, maksudmu? Sejak hari itu aku juga tidak pernah melihatnya. Padahal kalau bukan karena dia, kamu pasti tidak akan pernah mau ke rumah sakit lagi.”

    “Sakuya-chan? Hei, onii-chan, siapa anak perempuan itu?”, wajah Nami-chan berubah. Cemburu…mungkin?

    “Err…ng…b-bukan siapa-siapa kok.”, jawabnya, tapi tidak menatap ke arah Nami-chan.

    “Jadi, Sakuya-chan sempat bertemu denganmu?”, bisik onee-chan, selagi kakak beradik itu sibuk dengan urusannya. Hmm, onee-chan ternyata mengenal Sakuya-chan juga rupanya.

    “Umm, iya. Memangnya kenapa?”, kutanya balik.

    “Huh…anak itu. Ya sudah, nanti malam akan kuceritakan siapa dia sebenarnya. Tapi jangan kaget ya.”, sambil mengedipkan sebelah mata padaku.

    Kembali aku menatap mereka berdua. Tanpa sadar aku berkomentar…


    “Sebuah keluarga memang menakjubkan.”


    Tiga orang yang berada di sekitarku ini terdiam sejenak sambil melihat ke arahku, bahkan telingaku bisa mendengar semilir angin yang lembut karena suasana yang mendadak hening.

    “Hei, bukankah aku ini kakakmu sekarang?”, sahut onee-chan sambil menaruh tangannya di kepalaku.

    “Ahaha…iya, Azu nee-chan ini aneh-aneh saja sih.”, sekarang Nami-chan yang menyahut.

    “Mungkin dia terlalu banyak terkena udara panas. Jadinya begitu deh.”, komentar Nagi-kun.

    “Heh, tidak sopan, dasar anak kecil…”, kucubit pipi anak laki-laki itu.

    Perasaanku benar-benar lega sekarang. Untuk merayakan kesembuhan Nami-chan, kutraktir mereka berdua. Tentu saja, choco croissant di Inari Bakery.



    ===============================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Nama Tsuranagi dan Tsuranami sendiri gw temukan di Kojiki, yang bisa dibilang sebagai "kitab"nya agama Shinto.
      Kojiki yg udah ditranslate English: http://http://j-myth.info/english/kojiki02.html (baca di part 5, yg The Birth of Various Deities)
      ---> Tsuranagi (頬那藝) = calm surface
      ---> Tsuranami (頬那美) = waving surface
      Tapi di cerita ini yang lebih "calm" malah Tsuranami
    • Kawaguchi (川口) = river mouth, estuary (muara)
      Nama ini dipilih karena Tsuranagi dan Tsuranami adalah anak dari Hayaakitsuhiko dan Hayaakitsuhime, keduanya adalah dewa & dewi muara.
    • Haiden itu di depannya honden (coba tengok trivia Chapter 9 An Angel and A Reaper lagi)
    • Umeboshi = buah ume (Japanese plum) yg udah dikeringin
      Spoiler untuk Gambarnya :


      Buah itu dianggap wajar buat isi sebuah kotak bento.
    • ECG = electrocardiograph...tau kan alatnya? Yg buat deteksi detak jantung itu lho
    • Electromagnetic hypersensitivity itu penyakit aneh, yang sekarang pun masih ga 100% meyakinkan penyebab pastinya tuh apaan.
    • Btw, "onee-chan", "onii-chan", dan sejenisnya gak usah gw italic lagi yah /"

    Last edited by LunarCrusade; 21-05-12 at 14:13.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #35
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Ini perasaan gue aja apa gimana ya
    kok belakangan ini Azrael makin banyak senyumnya? hueheuheuuheuheueu

    TERUS ADA SAKUYA-CHAN

    ***
    jadi kalo gue pengen bikin pemvaca ngikik lu pengen bikin pembaca mewek?
    ati2 dikatain tukang nagisin anak orang nar

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  7. #36
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    sebenernya Sakuya-chan keliatan senyum lebih banyak dibanding Azrael di Phase 6

    dan ternyata lu doyan Sakuya-chan



    targetnya sih meweknya bukan asal mewek gara" kejadian tragedi, tapi mewek karena overwhelming warmth

    gw emang lebih suka tipikal anime begitu kalo nonton



    Phase 7 masih blank...jangan berharap hari ini bisa nongol

    tema udah ketemu, tapi ngolah jadi sesuatu yg anget"nya masih belom ngerti


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  8. #37
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Lah, kalo dia kan emang suka senyum? Cuma si Azrael dari awalnya datar gitu sekarang jadi tukang senyum, lucu juga

    Iya, soalnya Sakuya-chan gue bayanginnya mirip Hina-chan dari Papa no Iukoto o Kikinasai unyu

    Ouch, gue ngga gitu ngerti deh soal ngolah jadi anget2...yang jelas cerita gue stuck dengan alesan yang ampir sama kayak lu, bingung ngolahnya

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  9. #38
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Phase 7 :


    ===============
    Phase 7: Himawari
    ===============



    “Maaf. Tapi…saya tidak bisa menerimanya.”

    Begitulah kata-kata onee-chan yang diucapkan pada seorang lelaki, di koridor lantai 3 rumah sakit. Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka saat lewat di persimpangan koridor. Karena kupikir sedang ada hal serius yang dibicarakan, aku memutuskan untuk tidak mengganggu mereka. Hanya lewat begitu saja di belakang onee-chan.

    “Satu orang lagi jadi korban.”, sahut Chiyuko-san yang sejak dari lantai dasar menemaniku.

    “Uh? Korban?”

    “Korban penolakan, Azu-chan. Iwanaga-sensei dikenal selalu menolak pernyataan cinta dari siapapun, entah pegawai rumah sakit ataupun orang-orang universitas.”

    “Oh begitu.”

    “Kamu tidak terlihat terkejut. Tahu sesuatu ya?”

    “Bisa dikatakan begitu, Chiyuko-san. Tapi maaf, itu rahasia keluarga.”

    “Ya, ya. Aku mengerti. Walau…aku bisa menerka apa alasannya.”, ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.

    “Wow, bagaimana bisa?”, jujur saja, aku sedikit terkejut mendengarnya. Apa dia punya kemampuan membaca pikiran atau semacamnya…?

    Ternyata tidak. Jawaban Chiyuko-san sangat sederhana, “Mungkin karena aku juga seorang perempuan.”

    Begitukah? Aku juga perempuan, tapi kenapa aku tidak bisa mengetahui apa yang dipikirkan atau dirasakan perempuan lain? Apa yang kurang dariku? Ah sudahlah, nanti saja kucari tahu. Pasien di kamar 305 sudah menunggu.



    Amanatsu Hinata. Perempuan. 15 tahun. 159 sentimeter. Rambut hitam dengan panjang sepunggung. Iris mata berwarna hitam berkilau seperti obsidian.

    Ya, dialah pasien kamar 305. Sekitar 2 minggu yang lalu dia mengalami kecelakaan. Tidak membahayakan nyawa, namun peristiwa itu menyebabkan cedera di kepalanya dan koma selama 2 hari. Saat tersadar, Amanatsu-san ternyata diketahui menderita amnesia, walau dalam beberapa hari ingatannya kembali dengan cepat. Nama dirinya sendiri, orang tuanya, sekolah, dan beberapa hal lain dapat diingatnya kembali.

    Namun…masih ada yang hilang.

    Dia terus menerus mengatakan kalau masih ada satu hal penting yang belum kembali ke dalam memorinya. Entah apa yang dimaksud Amanatsu-san, hingga sekarangpun aku masih belum mengetahuinya. Yang jelas, aku diberi tugas langsung oleh Seijinrei-sensei untuk membantunya.

    Kenapa aku yang dipilih? Semuanya karena apa yang terjadi atas Nami-chan. Seijinrei-sensei berkata kalau aku sangatlah cocok untuk melakukan pendekatan personal terhadap pasien. Karena Chiyuko-san terlihat sangat dekat denganku, dia juga dilibatkan untuk membantu Amanatsu-san.

    “Lukamu sebentar lagi pulih, Amanatsu-san. Mungkin dalam dua hingga tiga hari perbannya bisa dilepas.”, kusimpulkan hal itu setelah memeriksa dirinya.

    “Ah…terima kasih, Azrael-san.”, jawabnya datar. Dia memang kupersilakan untuk memanggil namaku secara langsung. Dengan begitu aku bisa lebih akrab dengannya, membuatku dapat membantunya lebih mudah.

    “Belum bisa mengingatnya juga hari ini?”, tanya Chiyuko-san. Dijawab hanya dengan sekali menggelengkan kepala.

    “Hmm…Amanatsu-san, bagaimana kalau kuajak berkeliling sebentar? Cedera kepalamu sebentar lagi pulih, beberapa luka di tubuhmu pun sudah sembuh total. Siapa tahu ada sesuatu di rumah sakit ini yang bisa membuatmu ingat kembali.”, ujarku.

    “Eh…? Benar tidak apa-apa?”

    “Tidak masalah. Sudah jadi tugasku untuk membantu mengembalikan seluruh ingatanmu.”

    Sayang sekali, Chiyuko-san tidak bisa menemani karena harus menyerahkan berkas mengenai perkembangan kondisi Amanatsu-san. Kami berduapun mulai berjalan menyusuri koridor-koridor di lantai 3.

    Nihil. Lantai 2, lantai 1, hingga lantai dasar pun hasilnya masih sama. Tidak ada sesuatu yang bisa memicu ingatan Amanatsu-san. Hmm, bagaimana kalau di luar?

    “Kamu tahan dengan udara panas?”, tanyaku ketika berada di pintu belakang rumah sakit, lantai dasar.

    “Oh, tidak masalah. Aku tidak pernah punya masalah kesehatan yang berhubungan dengan suhu udara.”

    “Baiklah, kita berkeliling sebentar di luar.”

    Sekitar tiga perempat luas lahan yang tersisa dari rumah sakit dipergunakan sebagai lahan parkir. Seperempatnya lagi? Dikhususkan untuk meneliti tanaman yang dapat dijadikan obat-obatan. Sedikit pengecualian, ada bagian kecil yang digunakan untuk sesuatu yang lain. Kami berdua berjalan hingga berada di sebagian kecil tanah yang dimaksud.

    Dari raut wajahnya, Amanatsu-san terlihat terkesima dengan jajaran tumbuhan di depannya ini, yang memiliki tinggi sekitar 2 meter. Batang yang hijau, ditambah dengan bunga besar dan bulat berwarna kuning cerah…



    “Bunga…matahari?”, sambil tetap memandang ke arah salah satu bunga.

    “Kamu suka?”

    “Uh-huh. Aku selalu menanam beberapa biji bunga matahari ketika awal musim panas, setiap tahun. Namun karena kecelakaan kemarin, aku tidak sempat memeriksa kondisi mereka…”

    “Ah…begitu. Apa mungkin itu hal kamu lupakan selama beberapa hari terakhir?”

    “Sepertinya…”

    Aku berharap jawaban “ya”.

    “…bukan.”

    “Uh? Jadi bukan kondisi bunga matahari di rumahmu yang kamu lupakan?”, kumiringkan kepala sedikit ke kanan. Ternyata dugaanku salah.

    “Ng…bagaimana ya. Aku merasa masih ada yang kulupakan, namun dengan melihat bunga-bunga ini…ada sesuatu yang memicu ingatanku.”

    Oh, semacam petunjuk rupanya. Baiklah, setidaknya dia mulai bisa mengingat walau sekedar menggelitik memorinya.

    “Lalu untuk apa ada bunga matahari di pekarangan rumah sakit? Bukankah tadi menurut ceritamu, hanya tanaman obat saja yang ditanam di belakang sini? Apa bunga matahari bisa dijadikan obat tertentu?”

    Phytoremediation.”

    “Faito…apa?”, bibirnya terlihat kaku saat meniru ucapanku.

    Phytoremediation, yaitu kemampuan jenis tanaman tertentu dalam membuang racun yang ada pada tanah.”

    “Racun macam apa yang bisa dihilangkan tanaman ini?”

    “Sampah radiasi. Kamu tahu mengenai ledakan reaktor nuklir di Sklavinia Timur sekitar dua puluh lima tahun yang lalu? Pernah dilakukan percobaan pada sebuah danau tak jauh dari reaktor, yang memiliki konsentrasi radioaktif yang tinggi akibat ledakan itu. Sebagian besar zat-zat radioaktif dalam danau itu diserap oleh bunga matahari yang ditanam di sekitar danau.”

    “W-Wow…bagaimana bisa?”

    “Hmm, aku juga kurang mengerti detailnya. Namun harus dilakukan rekayasa genetik terlebih dulu pada bunga matahari agar kemampuan penyerapan radioaktifnya meningkat. Untuk lebih jelasnya kamu bisa tanya pada onee-chan, yang sekarang sedang mengulang penelitian mengenai kemampuan bunga matahari.”

    “Onee-chan?”

    “Ah, maaf. Kamu belum mengenalnya. Ooyamatsumi Iwanaga, kepala divisi research and development di rumah sakit ini.”

    “Hee…dia pasti orang hebat ya.”

    “Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin dia dipercaya jabatan itu? Yah, walau dia punya sedikit masalah kepribadian…”

    “Hmm? Apa dia pemarah atau semacamnya?”

    “Tidak, bukan seperti itu. Dia senang menyendiri dan jarang bergaul dengan orang-orang di sini. Kudengar dia juga pendiam…berbeda sekali dengan di rumah.”

    “Ahaha…”

    Orang biasa pasti tidak akan mendengar apa yang dikatakan Amanatsu-san setelah tertawa kecil seperti itu. Tapi telingaku mendengar…

    “…mirip sepertiku.”

    Kuputuskan untuk tidak mengomentari hal tesebut. Nada bicaranya terdengar melankolis, seakan dia tidak ingin menjadi orang seperti dirinya sekarang.

    “Berarti onee-chan mu itu berbeda sekali denganmu.”, sahut Amanatsu-san.

    “Berbeda apanya?”

    “Walau sering wajahmu terlihat dingin dan datar, tapi tidak dengan perilaku dan cara bicaramu. Sesekali tersenyum, ditambah suaramu yang lembut ketika bicara…seakan kamu sudah terbiasa bergaul dengan banyak orang. Bahkan denganku---“, suaranya terdengar makin berat.



    Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan lebih jauh. Jika masih ada suatu masalah yang tersimpan dalam hatinya, pemulihan ingatannya dapat berlangsung lebih lama lagi. Kondisi stress dan tertekan dapat berpengaruh pada hal itu.

    “Katakan saja jika kamu punya masalah tertentu. Aku siap mendengarkannya.”, sahutku.
    Mendadak dia terdiam, kepalanya tertunduk.

    “Azrael-san…bagaimana caranya supaya bisa jadi seperti dirimu?”

    “Eh? Untuk apa? Seorang manusia tidak mungkin menjadi manusia lainnya, baik secara genetik maupun kepribadian.”

    Diapun mulai menceritakan semuanya. Sejak kecil, Amanatsu-san tergolong pendiam dan pemalu. Untuk memulai sebuah obrolan dengan orang lain ---kecuali orang tuanya---, dia merasa sangat kesulitan. Di sekolah pun tidak ada satupun yang dapat dikatakan teman, apalagi sahabat. Hal itu sudah berlangsung sejak dia duduk di sekolah dasar hingga sekarang, tingkat pertama sekolah menengah atas.

    “Begitulah, Azrael-san. Setiap tahun selalu begitu. Waktu berlalu hingga aku sadar kalau semua orang sudah punya kelompok teman-temannya sendiri…”

    “Hmm…pernah mencoba melakukan sesuatu untuk mengubahnya?”

    Pertanyaanku itu membuatnya terkejut. Beberapa saat dia hanya terdiam.

    “Amanatsu…-san?”

    “Tunggu, tunggu. Aku yakin…jika aku kembali ingat, aku bisa menjawab pertanyaanmu itu.”

    “Jadi itu hal yang masih hilang dari memorimu?”

    “Seharusnya iya. Tapi…masih belum…”

    “Sudah, jangan terlalu memaksakan diri. Perlahan-lahan pasti kamu akan ingat, mungkin jika kamu sudah pulang nanti.”

    “Semoga saja…”

    Sejauh ini sudah ada 2 petunjuk yang dapat memulihkan ingatan Amanatsu-san sepenuhnya. Pertama, bunga matahari. Kedua, soal bagaimana ‘menyembuhkan’ kepribadiannya yang introvert. Hmm…kalau dipikir-pikir, kedua hal itu sepertinya tidak berhubungan. Tapi, jelas terlihat dari gelagat Amanatsu-san bahwa keduanya memicu satu hal yang sama.



    Hari berikutnya, kembali aku memeriksa cedera kepala dari Amanatsu-san. Aku juga memberitahu kalau perbannya bisa dilepas besok, sehingga dia bisa kembali pulang. Namun sebelum itu, aku tidak akan menyerah. Aku ingin agar ingatan Amanatsu-san kembali sepenuhnya saat dia kembali ke rumah. Sekali lagi, kuajak dia keluar dari kamarnya. Kali ini aku sudah mendapat ijin untuk membawanya keluar dari lingkungan rumah sakit meski tidak boleh terlalu jauh.

    Namun, belum lama setelah melangkah keluar dari kamar 305…

    Pembicaraan itu lagi. Amanatsu-san mungkin tidak dapat mendengarnya, namun tentu saja pendengaranku yang super ini mampu menangkap suaranya.

    “Azrael-san, ada apa?”

    “Ada seorang pria yang sedang bicara dengan onee-chan.”

    “Ah, Iwanaga-sensei maksudmu? Kebetulan aku juga ingin berkenalan sekaligus berterima kasih padanya atas apa yang sudah kamu lakukan beberapa hari ini.”

    “Dia ada di ujung koridor, belok ke kiri---“

    Tunggu. Aku tidak boleh memberitahu hal seperti ini pada orang lain!! Masalah privasi seperti ini mana boleh kubongkar sembarangan?!

    Terlambat. Amanatsu-san makin mendekat ke ujung koridor. Beberapa langkah sebelum dia belok ke kiri, aku langsung berlari secepat mungkin untuk mengehentikannya. Tetapi…

    Langkah kakinya terhenti dengan sendirinya.

    Ketika mataku terarah ke wajahnya, dia terlihat terkejut. Tidak hanya itu, kakinya gemetar dan air mata perlahan mengalir di pipinya.

    “A-Azrael-san…sepertinya aku sudah ingat semuanya sekarang…”

    Kutuntun Amanatsu-san menjauhi ujung koridor hingga ke lift, yang berada pada arah yang berlawanan. Tentu saja agar keberadaannya tidak diketahui onee-chan.

    Air matanya terus mengalir ketika kami berada di dalam lift. Agar dia lebih tenang, kuajak dia ke kantin rumah sakit dan memesankan secangkir teh hangat untuknya. Kami duduk dekat jendela dengan posisi berhadap-hadapan. Setelah air matanya terhenti, aku mencoba bertanya mengenai apa yang diingatnya.

    “Jadi…kamu sudah ingat semua?”

    “Iya…semuanya karena pembicaraan Iwanaga-sensei dengan pria tadi.”

    “Apa ada hubungannya dengan pernyataan cinta?”

    Dia hanya menjawab dengan sekali mengangguk, tanpa kata-kata.

    “Lalu…apa hubungannya dengan sifat introvertmu dan bunga matahari?”

    Satu per satu semuanya jelas saat dia menceritakan kejadian yang dialami sebelum kecelakaan. Yah, walau kejadiannya pernah kutemui di manga bergenre shoujo.



    Pertama, masalah kepribadiannya. Selama hampir 15 tahun dia menjadi orang yang pendiam dan pemalu, tanpa berusaha untuk memperbaiki sifatnya itu. Alasannya? Sederhana saja, takut. Uh-huh, dia terlalu takut untuk mulai bicara dengan orang lain, bahkan teman-teman sekelasnya sendiri. Namun semuanya mulai berubah, setidaknya begitu yang dirasakan Amanatsu-san.

    Musim semi tahun ini, beberapa hari sebelum aku mulai bekerja di sini, adalah awal mulainya tahun ajaran yang baru di sekolah-sekolah. Tentu saja Amanatsu-san harus menghadapi lingkungan yang baru, sesuatu yang membuatnya khawatir. Beberapa saat dia hanya berdiri terpaku di gerbang sekolahnya yang baru, bangunannya terletak di sebelah timur kota. Sampai akhirnya…


    …dia bertemu dengan seseorang.


    Seorang lelaki tentu saja. Entah siapa namanya, Amanatsu-san tidak memberitahuku. Yang jelas lelaki itu mulai mengajaknya bicara, perlahan membuat ketakutannya menghilang. Akhirnya, Amanatsu-san pun mampu melangkah masuk hingga ke kelasnya. Sejak itulah dalam hati Amanatsu-san timbul rasa suka terhadap lelaki itu.

    Ajaibnya, secara tidak sadar Amanatsu-san tidak lagi menjadi orang yang terlalu takut untuk bicara pada orang lain. Yah, walau dia masih juga belum bisa mendapatkan seorangpun teman selama nyaris 4 bulan terakhir. Tapi setidaknya dia berhasil beberapa kali merespon apa yang ditanyakan teman-teman sekelasnya dengan baik tanpa merasa ketakutan.

    Dan…Amanatsu-san pun menyadari ada sedikit perbaikan pada sifatnya itu. Penyebabnya tidak lain adalah siswa laki-laki yang ditemuinya di depan gerbang sekolah. Setelah diselidiki, ternyata lelaki itu adalah seorang senior di sekolahnya, kelas 2-D. Orangnya memang terkenal ramah pada siapapun, begitulah hasil penyelidikan yang dilakukan Amanatsu-san. Dan seperti dugaanku, karena lelaki ini berada 1 tingkat di atas Amanatsu-san, dia tidak tahu mengenai kecelakaan ini. Buktinya, dia tidak pernah mengunjungi Amanatsu-san saat dirawat.

    “Kamu mengamatinya terus sejak itu?”

    “Mmm…begitulah, Azrael-san.”, jawabnya ragu, lalu disambar dengan cepat, “Namun jangan mengira aku seorang stalker atau semacamnya. Aku tidak punya obsesi abnormal terhadapnya.”

    “Dan akhirnya kamu memutuskan untuk mengatakan perasaanmu padanya, benar begitu?”

    “Benar. Namun…”

    “Kecelakaan itu terjadi sebelum kamu sempat mengatakan hal itu?”

    “I-Iya…tepat sehari sebelumnya…”

    Aku memang tidak mengerti soal cinta atau apalah itu, namun entah kenapa aku bisa ikut merasakan apa yang dia rasakan. Simpati…ah ya, ini disebut dengan bersimpati. Ternyata tanpa sadar aku juga belajar sesuatu.



    Cerita belum selesai.

    Kedua, soal bunga matahari. Usut punya usut, ternyata sehari sebelum kecelakaan itu terjadi Amanatsu-san sempat bicara dengan seseorang.

    Saat perasaannya tak tertahankan lagi dan memutuskan ingin mengungkapkan segalanya pada lelaki itu, timbul keraguan pada Amanatsu-san. Dia merasa dirinya tidak pantas untuk lelaki yang disukainya itu. Dia merasa…seperti bunga matahari yang hanya bisa memandangi matahari yang jauh, tinggi di langit. ‘Seorang yang punya masalah dengan kepribadian sepertiku, berpasangan dengannya? Sepertinya tidak mungkin…’, begitulah yang ada di pikirannya waktu itu. Di tengah kegalauannya, dia memutuskan untuk duduk merenung di taman kota, tidak jauh dari supermarket besar yang beberapa kali kukunjungi.

    Ketika langit berubah jingga, orang yang dimaksudnya pun datang. Seorang yang tidak dia kenal mulai bertanya pada dirinya ketika melihat wajahnya yang sedang gelisah itu. Awalnya Amanatsu-san menjawab dengan ragu, tetapi orang yang mengajaknya bicara itu membawa aura ceria yang membuatnya menceritakan semuanya.

    “Kamu tidak perlu terus menjadi bunga matahari yang terus memperhatikan bergeraknya matahari di langit. Jika kamu sudah merasa siap, katakan saja perasaanmu, jangan hanya memandanginya dari jauh. Teruslah berada di sisi orang yang kamu cintai, jangan membiarkannya diambil orang lain. Begitulah kata orang itu. Kata-katanya itu…memberiku semangat.”

    “Ah…begitu rupanya. Dan kamupun kembali pada keputusanmu semula, untuk menyatakan cintamu?”

    “Betul, tapi…karena kecelakaan itu…”

    “Tenanglah. Begitu kamu kembali bersekolah, berusalahah untuk mengungkapkan perasaanmu. Tidak baik jika ditahan terlalu lama. Bisa-bisa dia sudah diambil orang lain lebih dulu.”

    Aku jadi ingat onee-chan.

    “Baiklah, aku janji. Aku pasti akan ke sini untuk memberitahukan kabarnya padamu.”

    “Tidak usah repot begitu. Tugasku hanyalah mengembalikan ingatanmu, dan sekarang sudah tuntas seratus persen. Yang jelas, usahakan selalu tersenyum ketika bicara dengan orang lain. Hanya itu saran dariku supaya kamu bisa lebih tenang ketika bicara.”

    “Terima kasih…Azrael-san. Oh ya, kalau kuingat-ingat lagi, orang yang kuajak bicara itu mirip denganmu.”

    “Mirip? Mirip bagaimana?”

    “Tinggi badan dan model rambutnya mirip denganmu. Hanya saja warnanya pirang, sementara rambutmu coklat. Wajahnya juga bukan seperti orang Seihou. Azrael-san, kamu juga bukan orang Seihou kan?”

    Pertanyaannya hanya kujawab dengan sekali mengangguk, karena di pikiranku terbersit sesuatu. Sepertinya aku tahu orang ini…kemungkinan besar adalah Resha.

    Hmm, aku harus mengonfirmasikan hal ini padanya. Oh iya, sekaligus aku juga akan minta bantuannya agar pernyataan cinta Amanatsu-san dapat diterima. Aku khawatir apa yang akan terjadi pada Amanatsu-san seandainya dia ditolak, mengingat kepribadiannya yang seperti itu. Bisa-bisa dia akan takut jatuh cinta untuk selamanya.



    Aku tidak punya shift malam hari ini. Begitu jarum jam menunjukkan pukul 4 sore, aku bergegas menuju apartemen Daleth dan Resha. Tanpa basa-basi, kuceritakan semua yang terjadi di rumah sakit.

    “Jadi, kamu mau aku membantu Amanatsu-san agar perasaannya pasti diterima?”, tanya Resha.

    “Begitulah. Bisakah?”

    “Tidak.”, jawabnya tegas.

    “Kenapa tidak…?”

    “Kamu pikir Amanatsu-san akan senang kalau dia mendapatkan semuanya bukan karena usaha sendiri?”

    “Tapi…melihat sifatnya yang seperti itu…”

    “Bukankah dia sudah berusaha untuk berubah? Biarkan saja dirinya. Dengan begitu, dia akan selangkah lebih maju.”

    “Kamu yakin? Bahkan aku masih ragu...”

    Resha hanya tersenyum, lalu dia berkata, “Kamu berubah. Jauh berubah dibanding ketika pertama kali aku bertemu denganmu.”

    “Begitukah? Apa aku…makin mendekati manusia seutuhnya?”

    “Bisa dikatakan seperti itu. Aku juga tidak menyangka…kamu bisa menghawatirkan seseorang dalam masalah seperti ini. Ternyata usul Iwanaga-san agar kamu bekerja di rumah sakit sangatlah tepat.”

    Entah apa yang menggerakkan aliran darahku, namun aku merasa mereka naik ke bagian pipi. Aku tersipu mendengar kata-katanya itu.

    “Dan wajahmu juga bisa berubah merah sekarang…eh?”

    “Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu…baiklah, kalau kamu tidak bersedia membantu, aku akan pulang sekarang.”

    Baru saja aku akan beranjak berdiri, Resha meraih tangan kananku.

    “Eits, tunggu dulu. Aku memang tidak akan membantu Amanatsu-san agar seratus persen bisa mendapatkan lelaki yang disukainya. Semua itu tergantung pada dirinya sendiri. Tapi…apa salahnya memberi saran padanya? Dan kalau benar sifatnya seperti itu, mungkin menemani dirinya hingga semua selesai akan lebih baik.”, ujarnya, ditutup dengan sekali mengedipkan sebelah mata.

    “Jadi…kamu mau…”

    “Aku akan menemuinya kalau dia sudah pulih sepenuhnya. Kapan bisa kulakukan itu?”

    “Besok dia sudah bisa pulang setelah perbannya dilepas.”

    “Oke, oke. Besok siang aku ke sana.”

    “Resha…terima kasih banyak.”

    “Tidak perlu sungkan begitu. Bukankah kita ini teman? Wajar saja kalau aku membantu temanku sendiri.”



    Dan…rencanapun disusun.

    Amanatsu-san memutuskan untuk tidak langsung pulang setelah perbannya dilepas pada pagi hari. Tentu, untuk menunggu Resha. Berhubung kamar 305 tidak bisa ditempati lagi karena Amanatsu-san sudah dinyatakan sembuh, kamipun menunggu di kantin rumah sakit. Setelah mengenali Resha sebagai orang yang mengajaknya bicara waktu itu, tidak lagi muncul keraguan dalam dirinya untuk mulai berkata-kata.

    Berhubung Amanatsu-san berencana untuk melakukannya seusai jam sekolah, maka tidak banyak yang bisa diubah mengenai penampilan. Resha mengatakan, yang penting hati harus siap seratus persen apapun jawaban yang akan disampaikan. Jangan terlalu heboh jika diterima, namun jangan langsung menangis di tempat apabila ditolak. Namun kalau lelaki itu menjawab “Akan kupikirkan nanti”, jangan langsung menyerah. Itu artinya masih ada kesempatan, kejarlah terus.

    “Satu lagi, tataplah matanya. Meski kamu perempuan, tetaplah terlihat yakin saat mengatakan perasaanmu. Itu pasti membuat hatinya luluh.”, Resha menjelaskan.

    “Kamu ahli sekali dalam masalah ini. Sudah berpengalaman?”, tanyaku.

    “Tidak juga…aku hanya sering memperhatikan orang lain saja.”

    “Kalau begitu, kenapa tidak kamu lakukan pada Dale---“

    “Azrael!!”, teriak Resha dengan wajah memerah.

    “Jangan teriak-teriak…ini rumah sakit.”

    Kudengar Amanatsu-san tertawa perlahan.

    “Kalian benar-benar akrab satu sama lain. Aku jadi iri…”, sahut Amanatsu-san.

    Suasana berubah tanpa suara. Kalau aku, jelas tidak mau mengomentarinya. Sepanjang hidupnya dia belum pernah memiliki seorang temanpun yang akrab dengan dirinya. Yah, baru-baru ini saja dia bisa dekat denganku. Mulutku salah bicara bisa-bisa dia tersinggung. Kalau Resha…aku tidak tahu kenapa dia diam saja. Namun Resha langsung berusaha mengalihkan pembicaraan.

    “Oke, oke. Kembali ke masalahmu, Amanatsu-san. Apakah kamu sudah benar-benar siap? Tidak lagi ada keraguan seperti waktu itu?”, tanya Resha.

    “Tidak ada, Resha-san. Dengan dukungan kalian berdua…aku merasa jauh lebih siap dibanding sebelumnya.”, diakhiri dengan senyuman dari Amanatsu-san. Aku bisa merasakan kalau dia benar-benar sudah yakin untuk melakukan semuanya.

    “Bagus kalau begitu. Jadi, kapan akan kamu katakan padanya?”

    “Besok hari Selasa…berarti mungkin hari Kamis akan kulakukan. Aku harus membiasakan diri lagi dengan sekolah pada hari Rabu.”

    “Ah…baiklah. Semoga sukses ya.”, Resha menyemangati dan ditutup dengan beberapa kali menepuk pundak Amanatsu-san.

    Akhirnya, Amanatsu-san kembali dengan dijemput oleh orang tuanya. Resha masih bersamaku sepanjang siang, untuk memberitahuku rencana berikutnya. Apalagi kalau bukan mengawasi Amanatsu-san setelah jam pulang sekolah, saat menyatakan perasaannya pada lelaki itu. Tentu saja korban tidak mengetahui hal ini.



    Kamis, 7 Juli. Pukul 3 sore, jam belajar di tempat Amanatsu-san bersekolah tepat usai.

    15:03.
    Aku dan Resha sudah berada tidak jauh dari gerbang sekolah. Dalam 5 hingga 15 menit setelahnya aku mulai melihat murid-murid sekolah, sendirian ataupun berkelompok, melangkah keluar dari gerbang utama yang menghadap ke selatan. Tapi tidak kulihat tanda-tanda keberadaan Amanatsu-san sama sekali. Karena tidak sabaran, tanpa ragu Resha bertanya pada beberapa orang hingga mendapatkan jawaban mengenai Amanatsu-san. Setelah 6 orang berlalu, diketahui bahwa Amanatsu-san adalah murid kelas 1-B, masih berada di dalam kelas.

    15:31.
    Gelombang manusia yang keluar dari gerbang sekolah tidak lagi sepadat tadi. Kamipun mulai masuk dan menyusuri halaman sekolah, menurut pengamatanku luasnya sekitar 1 hektar. Sekali berkeliling, hasilnya nihil. Tidak ditemukan keberadaan Amanatsu-san di bawah sini. Apa mungkin dia masih juga berada di dalam?

    15:40.
    Kudengar suara langkah kaki dari arah timur gedung saat kami berada di bagian utara. Derap langkah yang santai. Segera saja kutarik Resha untuk bersembunyi di sisi gedung sebelah barat. Sedikit mengintip, ternyata itu seorang lelaki. Untuk apa dia sendirian di sini? Apa mungkin dia lelaki yang dimaksud Amanatsu-san? Menurutku dia cukup tampan dan atletis. Aku bisa mengatakan itu berdasarkan kulit yang terawat dan struktur wajah yang simetris. Rambutnya cukup rapi, namun tidak terlihat kuno. Tubuhnya juga tegap dan berisi meski tidak terlihat berotot. Dapat kusimpulkan dia sering berolahraga, namun tidak pernah melakukan sesuatu yang khusus untuk membentuk otot-ototnya.

    15:45.
    Dari arah timur gedung, bayangan seorang yang lain perlahan terlihat di permukaan tanah. Ada lagi yang akan datang. Langkahnya terdengar pelan…atau lebih tepat disebut ragu-ragu. Ini dia, Amanatsu-san. Mendadak Resha berubah tidak sabaran, ingin menguping pembicaraan antara Amanatsu-san dan lelaki itu. Sayangnya, telinga Resha tidak cukup sensitif untuk mendengar semuanya dengan jelas.

    15:47.
    Lelaki itu mengatakan sesuatu, diawali dengan menyapa, “Hai.” Suaranya terdengar ramah. Aku yang baru pertama kali mendengarnya pun merasa kalau orang ini punya kepribadian yang menyenangkan. Dalam tempo sekitar 20 detik, aku hanya mendengar, “M-Maaf kalau aku mengganggumu…” dan, “Tidak apa-apa, aku juga punya banyak waktu luang hari ini.”

    15:48.
    Suara sempat tidak terdengar selama 4 detik, sampai akhirnya Amanatsu-san mengatakan, “S-Senpai…” dengan terbata-bata. Aku yakin, jika aku dapat mendengar detak jantungnya sekarang, pastilah sangat kencang. “T-Terima kasih untuk yang waktu itu…”, Amanatsu-san melanjutkan.

    15:49.
    Karena lelaki itu tidak mengingat kejadian yang dimaksud, Amanatsu-san menceritakan kembali apa yang terjadi di depan gerbang sekolah saat hari pertama sekolah beberapa bulan yang lalu. Beberapa detik lelaki itu berusaha mengingatnya, lalu berkata, “Ah…!! Ya, aku ingat. Tidak kusangka kita bisa bertemu lagi.”

    15:50.
    Diawali dengan, “Senpai, apa kamu tahu…”, Amanatsu-san berusaha mengatakan semua perubahan sifat yang dialaminya sejak kejadian itu. Dia benar-benar mengeluarkan usaha terbaiknya untuk mulai mengungkapkan semuanya, meski wajahnya tidak selalu menatap lelaki itu saat bicara. Ekspresi lelaki itu terlihat terkejut, mungkin tidak menyangka kalau hal sederhana yang dilakukannya bisa mengubah diri Amanatsu-san.

    15:53.
    Amanatsu-san mengambil nafas panjang. Detik-detik itu akan segera tiba. Bahkan diriku juga ikut tegang menunggu apa yang akan dikatakan Amanatsu-san. Sekarang adalah timing yang sangat sempurna untuk mengungkapkan perasaan hatinya yang sesungguhnya.

    “Azrael, lebih baik kita pergi.”, kata Resha dengan pelan.

    “Eh? Tapi kenapa…?”

    “Rencana dibatalkan. Aku jadi merasa tidak enak pada Amanatsu-san. Lagipula kita bisa diusir jika keberadaan kita diketahui guru-guru di sini.”, jawabnya sambil melangkah pergi ke arah gerbang utama.

    Sepertinya Resha benar. Masalahnya bukan terletak pada apakah nanti kami akan diusir, namun…hanya Amanatsu-san yang berhak mendengar jawaban dari lelaki itu. Bukan diriku, bukan Resha. Lebih baik aku menunggu Amanatsu-san keluar dan menceritakan semuanya.

    Walau aku sempat mendengar lelaki itu menjawab…


    “…maaf.”





    Sudah jam 4 lewat 20 menit. Akhirnya, Amanatsu-san melangkah keluar dari bangunan sekolah. Wajahnya terlihat sedikit terkejut begitu mendapati kami berdua ada di depan gerbang.

    “Azrael-san? Resha-san? Kalian…”

    “Kami ingin menunggu kabar baik darimu.”, ujar Resha.

    “Kabar baik…ya…?”, Amanatsu-san merespon sambil menatap langit. Aku sendiri hanya menatap kosong ke bawah. Ya, aku sudah tahu apa respon dari lelaki itu.

    “Amanatsu…-san? Hei Azrael, kamu tahu sesuatu kan?”

    “Resha, biar Amanatsu-san yang menjawab. Bukan hakku untuk menjelaskan padamu.”

    Amanatsu-san hanya terdiam, terpaku. Selang beberapa detik, kulihat lelaki itu keluar lalu menghampiri Amanatsu-san.

    “Hikaru-senpai, ini dua orang yang kuceritakan tadi. Kalau bukan karena mereka, mungkin…”

    “Ah…mereka ya? Perkenalkan, saya Tendou Hikaru.”, diikuti dengan Resha kemudian diriku yang memperkenalkan diri.

    Sebuah pemandangan yang tidak kuduga terjadi di depan mataku. Lelaki yang bernama Tendou Hikaru itu meraih tangan Amanatsu-san, menggenggamnya dengan lembut.

    “Tunggu, Amanatsu-san. Bukankah tadi seharusnya…”, ujarku.

    “Nyaris, Azrael-san. Karena suatu hal, Hikaru-senpai tidak memiliki keberanian untuk berhubungan serius dengan perempuan.”

    “H-Hei, Hinata-san, kurasa hal itu tidak perlu diberitahukan pada mereka…”

    “Tidak apa-apa, senpai. Jika aku tidak bertemu mereka, mungkin hingga sekarang aku tetap takut untuk mengatakan semuanya.”

    “Sebentar. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Intinya, kalian berdua sudah…”, sahut Resha.

    “Seperti yang kamu lihat, Resha-san. Untung saja tadi aku sempat teringat kata-kata Azrael-san saat di rumah sakit.”

    “Mengenai bunga matahari itu?”, tanyaku.

    “Itu maksudku. Sebenarnya…senpai sudah menolak perasaanku. Kutanya kenapa, dan alasannya adalah seperti yang kukatakan tadi.”

    “Ah, kamu takut untuk memiliki pacar?”, kutanya lelaki itu.

    “B-Benar. Dan…Hinata-san mengatakan sesuatu yang membuatku tidak bisa menolaknya…”,
    wajahnya terlihat merah.

    Aku sudah bisa tebak apa yang dikatakan Amanatsu-san. Apa yang kujelaskan pada Amanatsu-san di rumah sakit mengenai bunga matahari itu adalah…


    Phytoremediation. Benar begitu, Amanatsu-san?”

    “Betul sekali. Entah kenapa, ada sesuatu yang mendorong diriku untuk mengatakan…”

    Benar dugaanku. Aku bersyukur ternyata apa yang kujelaskan waktu itu dapat menolong Amanatsu-san meraih cintanya. Setelah mohon diri pada kami berdua, mereka berjalan pulang dengan tangan yang saling bergandengan. Artinya, misi berhasil.



    “Aku tidak mau menjadi bunga matahari yang hanya bisa memandangimu dari jauh seperti matahari di langit. Aku mau menjadi bunga matahari yang ditanam di hatimu dan menyembuhkannya...”, ujar Resha menirukan apa yang tadi dikatakan Amanatsu-san.

    “Ada apa dengan kata-kata itu?”

    “Tidak…aku hanya merasa itu romantis sekali…”

    “Aku juga tidak menyangka kalau dia bisa berkata seperti itu.”

    “Hehehe…itu kan karena bantuan kita juga.” , Resha tersenyum.

    “Jadi, kapan giliranmu?”

    Warna pipinya berubah seperti udang rebus begitu aku menanyakan itu. Kukira dia akan marah dan memakiku ---sebagaimana biasanya kalau sudah menyinggung soal Daleth---, ternyata tidak.

    “Aku…tidak seperti Amanatsu-san. Aku ingin Daleth yang mengatakannya lebih dulu.”

    “Kuberitahu satu hal. Onee-chan juga menyukai Daleth.”

    “Eh? EEEEEHHHH??!! Yang benar?!”

    “Maka itu, cepatlah ambil tindakan. Ah, tapi percuma saja…”

    “Uh? Percuma bagaimana…?”

    “Onee-chan sudah menyerah. Dia bisa merasakan kalau hanya ada dirimu di hati Daleth. Tinggal menunggu waktu saja.”

    “B-B-Benar begitu?”, Resha terlihat lega, namun rasa malunya masih mewarnai tutur katanya.

    “Bukan berarti kamu boleh lengah. Siapa tahu kalau kalian melanjutkan perjalanan, kamu akan bertemu saingan atau apalah itu.”

    “Benar juga...”

    “Kamu tidak akan membenci onee-chan karena hal ini kan?”

    “Tidak, tentu saja tidak. Hal itu wajar ditemui dalam masalah cinta. Yang jelas…terima kasih sudah memberitahuku. Kamu benar-benar teman yang baik.”



    Seorang teman…eh? Mungkin sejauh ini baru Daleth, Resha, dan Chiyuko-san yang dapat kuanggap sebagai temanku. Pengecualian untuk onee-chan, yang merupakan teman sekaligus kakakku. Namun, dengan memiliki orang-orang seperti mereka aku merasa kalau pikiranku, hatiku, dan seluruh diriku…terus dibentuk menjadi makin menyerupai manusia seutuhnya.

    Bagaimana dengan cinta?

    Aku jadi lebih paham mengenai hal itu setelah mengamati kejadian tadi. Yang jelas cinta selalu butuh waktu untuk ditemukan, tumbuh, dan berkembang. Amanatsu-san butuh 15 tahun. Resha dan Daleth masing-masing butuh 17 dan 24 tahun, meski masih harus menunggu waktu hingga hati keduanya bisa bersatu. Kalau onee-chan…aku sedikit khawatir. Untuk diriku sendiri mungkin masih lama.

    Hmm, aku jadi ingin mencoba masuk sekolah juga. Siapa tahu, di sekolah aku bisa menemukan hati di mana aku bisa tumbuh dan menyembuhkannya…seperti Amanatsu-san.


    ===============================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Amanatsu Hinata (天夏 日向)
      ---> 天 (ten, ama, ame) = heaven
      ---> 夏 (natsu) = summer
      ------> 天夏 (amanatsu) = heavenly summer
      ---> 日 (hi, nichi) = sun
      ---> 向 (kou, muku) = direction, toward
      ------> 日向 (hinata jauh amat nyebut kanji trakirnya) = toward the sun/sun direction
      Diterjemahin?
      Auk deh, yang penting namanya ada unsur musim panas en bunga matahari yg ngadep ke matahari
    • Tendou Hikaru (天道 光)
      ---> 天 (ten, ama, ame) = heaven
      ---> 道 (dou, michi) = road, way
      ------> 天道 (tendou) = heaven road/way
      ---> 光 (hikari, hikaru, kou) = light
      Diterjemahin? Light of Heaven Road kali ye...
    • Phytoremediation adalah cara memulihkan kondisi terpolusi dengan menggunakan kemampuan tumbuhan untuk menyerap zat-zat polusi, tanpa harus membuang material polutan ke tempat lain
    • Ledakan reaktor di Sklavinia Timur mengacu pada peristiwa ledakan reaktor nuklir di Chernobyl tahun 1986
    • Btw ada yang inget tanggal 7 Juli itu hari apa klo di Jepang? /" (walau kalo makin ke utara makin bergeser tanggalnya, kek di Sendai-Hokkaido itu rata" uda deket tgl 7 Agustus)
      Itu pake kalender 2011 beneran, coba cek aja 7 Juli taun lalu, Kamis apa bukan?

    Last edited by LunarCrusade; 08-06-12 at 16:10.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  10. #39
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Maaf buat mbah Jun Maeda, lagunya saya pinjem di cerita ini

    Copyright saya serahkan sepenuhnya pada pembuat lagu, JANGAN bilang bikinan gw atau sejenisnya.


    Spoiler untuk Phase 8 :

    ============================
    Phase 8: My Most Precious Treasure
    ============================




    Sekarang adalah waktunya libur musim panas, waktunya bersantai bagi anak sekolah. Beberapa orang yang pernah kutemui dan kutolong juga sesekali mampir ke rumah sakit ataupun kuil di waktu senggang mereka.

    Tentu saja, rumah sakit tetaplah sibuk.

    Misalnya saja dua hari lalu. Aku diminta membantu para dokter yang sedang melakukan operasi pada seorang pria. Kecelakaan yang cukup parah, mengakibatkan kedua tangannya tidak dapat lagi diselamatkan. Dengan kata lain…diamputasi. Sekali lagi, Seijinrei-sensei memintaku untuk menangani pria itu secara khusus. Mungkin dia juga sudah mendengar keberhasilanku saat membantu Amanatsu-san memulihkan amnesia yang dideritanya.




    4 Agustus.

    Sampai hari ini pria itu belum sadarkan diri. Dan…tugasku bisa dikatakan tidak boleh menggunakan perasaan sama sekali, jika tidak ingin ragu saat mengatakannya. Ya, aku yang harus memberitahu pria itu kalau dia kehilangan kedua tangannya saat dia sadarkan diri. Apa aku dirasa cocok karena ekspresiku yang terkadang datar?

    Jujur saja aku tidak tega melihat tubuhnya yang terbaring lemas itu, tanpa apapun di kedua bahunya. Aku merasa…lebih baik dia mati dibanding harus hidup menderita tanpa kedua tangan. Pasti akan sangat sulit ke depannya. Aku sendiri pasti tidak akan sanggup.

    Tidak, tidak. Aku tidak boleh berpikiran seperti itu.

    Aku yakin ada sesuatu yang membuatnya bertahan hidup, sesuatu yang mengijinkannya beroleh usia yang lebih panjang. Belum saatnya kematian datang untuk menjemputnya. Setidaknya untuk sekarang…

    Baiklah, aku tidak boleh ragu nantinya. Semua yang akan kuberitahu padanya mengenai kedua tangannya adalah demi dirinya juga. Lagipula cepat atau lambat dia harus membiasakan diri. Kenyataan terkadang menyakitkan, namun itulah yang membuat seseorang dapat terus hidup. Jika dia mampu menerima kondisi tubuhnya yang sekarang, aku yakin dia pasti akan berjuang dan tidak menyerah pada keadaan. Jadi…apa yang akan kukatakan nanti secara tidak langsung akan membuat pria ini lebih kuat.

    Tentu saja, aku harus mengenal orang ini terlebih dulu.

    Aku mulai memeriksa berkas mengenai amputasi yang dilakukan minggu lalu, tepat pada jam pria itu berada di ruang operasi. Ah, ini dia. Dari catatan identitas di buku kumpulan berkas ini, tertera nama Otonashi Yutaka. 21 tahun. Untuk ukuran manusia normal, seharusnya dia sudah tergolong dewasa. Kuharap dengan usianya itu dia siap untuk semua ini.




    Kembali hari ini aku tidak ada shift malam, jadi sekitar jam 4 sore aku sudah bisa keluar. Onee-chan hari ini tidak pulang, sedang di Nishigyou sejak 2 hari lalu. Entah penelitian apalagi yang dimulai atau yang dibantu olehnya. Ya, kadang dia membantu penelitian ilmuwan-ilmuwan lain, jika masih berhubungan dengan cabang ilmu yang ditekuninya. Onee-chan punya sifat ingin tahu banyak hal di dunia, jadi aku tidak heran dengan itu.

    Mampir ke tempat Resha lagi? Sepertinya jangan, kemarin aku sudah ke sana. Tapi jam makan malam masih lama, ditambah lagi tidak akan ada siapapun di rumah…buat apa aku pulang cepat-cepat? Ya sudahlah, mungkin aku akan berjalan-jalan sebentar saja sekedar menghabiskan waktu sebelum langit berubah gelap.

    Tanpa kusadari, aku menyusuri jalanan kota yang belum pernah kulalui sebelumnya. Di kiri dan kanan ada beberapa toko, namun beberapa sudah tutup. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada sebuah vending machine. Kuputuskan untuk membeli sebuah kopi kaleng dari dalamnya. Hingga…

    Hening. Tanpa suara. Kosong.

    Tanda-tanda kehidupan tiba-tiba lenyap dari pandanganku. Aku masih bisa mendengar beberapa suara dari dalam toko, namun apa yang tertangkap oleh mata membuatku terpaku. Belum pernah kulihat suasana sehening ini sebelumnya, selain di rumah sendiri. Kalau onee-chan sedang tidak ada, suasana kuil tidak jauh berbeda dengan di jalan ini.

    Takut? Tentu tidak. Jalanan beraspal yang mulus, trotoar beton disertai tiang-tiang listrik, dan bangunan-bangunan perumahan yang berjajar. Semua itu membawa sesuatu yang lain ke dalam diriku.

    Mendadak aku teringat pria bernama Otonashi Yutaka itu. Koma yang dialaminya mungkin mirip dengan kondisi jalanan ini sekarang. Tidak ada tanda-tanda manusia yang bergerak, namun aku bisa tahu daerah ini adalah tempat yang didiami penduduk. Seperti koma yang dialaminya, aku tahu dia tetap bernafas dan menunjukkan tanda-tanda kehidupan, namun tidak kudapati adanya kesadaran. Tetap tertidur.

    Kakiku terus menyusuri jalanan yang sepi ini. Beberapa puluh meter di depan, ada sebuah persimpangan.

    Tunggu. Ada suara. Sepertinya ada satu toko yang masih buka. Dari sebelah…kanan. Baiklah, akan kucoba berjalan ke arah sana.

    Suara itu makin jelas terdengar. Bukan suara biasa, bukan suara orang yang sedang bicara. Frekuensi-frekuensi suara yang keluar terdengar lain, seperti diatur oleh sesuatu yang membuatnya terasa nyaman di telinga. Musik. Ya, ini sebuah musik. Ah…ada toko alat musik rupanya. Langkahku terhenti di depan etalase kaca toko itu.




    Kualihkan pandangan ke papan nama toko. Ada yang aneh dengan nama toko alat musik ini. Muon. Kenapa namanya ‘Muon’? Bukankah ‘Muon’ artinya adalah ‘tanpa suara’? Walau sebenarnya kata ‘muon’ punya satu arti yang lain…yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan musik. Berbeda konteks.

    Kudorong pintu toko, lalu melangkah masuk. Aku bisa melihat beberapa gitar baik elektrik maupun akustik, dua buah keyboard, serta satu set drum, diletakkan di beberapa titik. Tiga buah speaker besar juga tertangkap oleh mataku, diletakkan dekat tembok di sebelah kiri. Senar gitar pengganti, stik drum, hingga adaptor untuk keyboard juga ada di toko ini. Semuanya tertangkap oleh mataku ketika melangkah masuk dan mendekat ke meja kasir. Kudapati sebuah perangkat komputer dengan sepasang speaker kecil di atasnya.

    Suara tadi…ternyata sebuah rekaman, penyanyinya seorang wanita. Aku kurang begitu paham soal musik, namun aku merasa suara yang keluar dari speaker kecil di dekat meja kasir sangatlah indah. Beberapa saat aku berdiri terpaku tak jauh dari meja kasir sambil menutup mata hanya untuk menikmati lagu itu. Penyanyinya pastilah profesional dan punya jam terbang cukup tinggi.

    Suasana itu terganggu dengan munculnya suara langkah kaki dari bagian belakang toko. Langkah yang pasti, bukan mengendap-endap. Kemungkinan besar adalah pemilik toko ini.

    Seorang perempuan muncul dari pintu yang membatasi bagian depan yang merupakan toko musik, dan bagian belakang yang entah aku tidak tahu untuk apa. Dari posturnya mungkin sudah berumur 20-an tahun. Rambutnya hitam panjang dan dikuncir, sementara matanya…kehijauan. Bukan orang Seihou kah? Tidak ada gen mata kehijauan dalam struktur DNA orang Seihou. Atau lensa kontak?

    Dia hanya tersenyum dan berdiri memandangku, beberapa langkah di samping meja kasir. Tidak bicara. Kalau begini…aku juga bingung bagaimana mulai menjelaskannya. Aku tidak berniat membeli apapun di sini, hanya tertarik mendengar lagu yang sedang diputar.

    Aku makin heran. Selama beberapa detik dia hanya terdiam memandangku, sesekali tersenyum. Tunggu. Atau jangan-jangan perempuan ini…

    Kucoba menunjuk speaker kecil yang ada di atas meja kasir. Mudah-mudahan dia mengerti maksudku.




    Diapun berjalan ke arah meja kasir, lalu kudengar ada suara laci ditarik. Dia sedang mengambil sesuatu dari laci di bawah meja. Sebuah papan, dapat ditulis. Ah, ini mirip dengan papan mainan Doodle yang pernah kulihat. Ditulis dengan pena magnetik, mempengaruhi cairan di dalam papan agar bisa membuat garis atau tulisan. Dapat dihapus dengan menggerakkan slider yang ada di bagian bawah papan.

    Tangannya mulai menggerakkan pena magnetik di atas papan, menuliskan sesuatu. “Kamu suka lagu itu?”, itulah tulisan yang ada tertera di papan.

    Benar dugaanku, dia bisu. Aku jadi mengerti alasan kenapa ‘Muon’ dipilih sebagai nama toko musik ini.

    Kuanggukkan kepalaku sekali, mengiyakan pertanyaannya. Hei, buat apa aku ikut-ikutan tidak bicara? Aku kan tidak bisu.

    “Lagu ciptaan anda?”

    Slider digerakkan, lalu dia menulis kembali. “Tidak”, begitu jawabnya. Sebelum aku bertanya lagi, dia menghapus tulisan itu. Yang berikutnya ditunjukkan adalah tulisan “Aku hanya suka lagunya. Dulu pernah kumainkan.” Baguslah, setidaknya dia tidak tuli.

    “Boleh saya mendengar anda memainkannya? Saya juga suka lagu ini walau baru sekali mendengarnya.”

    Ekspresinya berubah sedikit terkejut, diikuti dengan sebuah senyuman. Ditinggalkannya papan itu di atas meja lalu melangkah kembali ke belakang. Beberapa belas detik kutunggu, dia kembali dengan membawa sebuah gitar akustik.

    Duduk di kursi yang berada di balik meja kasir, perempuan itu mulai memutar sesuatu di bagian ujung gitar ---entah apa namanya--- sambil memetik senar beberapa kali.

    Ah, aku mengerti. Dia sedang melakukan tuning agar suaranya sesuai. Aku bisa menyimpulkan hal itu karena sebuah senar pastilah mengalami pemuaian atau penyusutan setelah jangka waktu tertentu, bergantung pada suhu udara. Fisika kalor sederhana, tentu saja. Apalagi sekarang musim panas. Pastilah pemuaian akan lebih cepat terjadi, berpengaruh pada frekuensi suara yang bergantung pada tegang atau renggangnya senar.

    Mouse di sebelah kanan monitor diraihnya, digerakkan, lalu musiknya berhenti sesaat. Sekali klik, lagu yang sama diputar dari awal.

    Dentingan suara gitar berpadu harmonis dengan suara penyanyi yang terdengar dari speaker. Ada juga suara gitar dari speaker, namun volumenya terdengar jauh lebih pelan sehingga kalah dengan suara gitar akustik yang dimainkan perempuan itu. Jari-jemarinya begitu lincah mengubah-ubah tekanan di bagian pangkal gitar ---aku tidak mengerti apa yang dilakukannya itu---, membuat frekuensi nada yang terdengar juga ikut berubah. Nada-nadanya tidak sama persis dengan suara vokal, namun mengiringinya dengan sempurna. Tanpa sadar kembali aku memejamkan mata, menikmati alunan musik yang mengisi seluruh ruangan toko.

    Kubuka mataku sesaat dan melihat ke arahnya. Ekspresinya yang sejak tadi menurutku cukup ceria, beralih memancarkan keseriusan namun tidak tegang. Tetap tenang. Terlihat sangat profesional.

    Lagu itupun berakhir. Aku segera kembali ke alam sadarku, yang sejak tadi dibawa entah kemana oleh alunan lagu tersebut. Dia menyambut kedatanganku kembali ke alam nyata dengan sebuah senyuman, setelah menyandarkan gitarnya di tembok.

    “Ah, maaf. Saya hanya begitu terlena dengan lagu itu. Terlalu…indah.”

    Papan itu ditulisnya dengan “Terima kasih” ditambah wajah yang tersipu.




    Tak terasa, sepuluh menit lagi waktu akan menunjukkan jam 5 sore. Dengan kata lain, aku harus segera pulang. Tapi…rasanya tidak enak kalau aku tidak membeli apapun. Tempat ini bukan lokasi acara konser gratis atau semacamnya.

    Mendengar permainan tadi, aku jadi tertarik untuk belajar bermain gitar. Membeli gitar? Tentu saja tidak. Uang yang kubawa tidak akan cukup untuk membeli sebuah, bahkan yang termurah sekalipun. Ah, kalau begitu aku akan membeli bukunya saja, tutorial bermain gitar untuk seorang pemula sepertiku. Bulan depan mungkin aku akan mencoba membeli gitarnya. Menunggu gaji turun tentunya.

    Kuambil sebuah buku tutorial itu yang terletak di sebelah kananku, hanya perlu merentangkan tangan kanan untuk meraihnya. Melihatku membeli buku itu, perempuan itupun menuliskan sesuatu di papan. “Tertarik belajar ya?”

    “Setelah mendengar anda tadi, saya jadi tertarik.”

    Kukira hanya itu saja yang akan ditanyakan, namun ternyata dia membalas perkataanku dengan sebuah ajakan. “Kalau kamu mau, bisa kuajari.”

    “Benarkah? Tapi saya tidak punya uang yang cukup untuk membiayai anda mengajar…”

    Aku benar-benar kaget begitu dia menawari diri untuk mengajariku secara gratis. Jarang sekali ada orang seperti dirinya sekarang ini.

    “Anda…yakin?”

    Responnya benar-benar di luar dugaan. Dia menuliskan kalau dia sangat senang melihatku yang menyenangi lagu yang baru saja kudengar tadi. Tak hanya itu, tawarannya itu juga sebagai rasa terima kasih. Sejak dia membuka toko alat-alat musik ini, belum pernah ada orang yang mengajaknya bicara cukup lama seperti denganku tadi. Aku bisa mengerti. Mungkin orang lain akan merasa kerepotan jika harus berkomunikasi dengan orang bisu sepertinya.

    Entah kenapa, aku tidak tega menolak tawarannya. Kuberitahu dirinya kalau mungkin aku hanya bisa datang sekitar jam setengah 5 hingga jam 5 sore, dan itu tidak setiap hari. Dia bisa mengerti, memintaku datang sebisanya.

    “Namaku Azrael Mevimaveth. Senang bisa bertemu dengan anda.”

    Tentu aku harus memperkenalkan diri setelah menerima tawarannya itu. Dia balas memperkenalkan diri, menuliskan namanya. Seikyoku Shizuka. Itulah nama perempuan yang berada di hadapanku.
    Setelah mohon diri, aku melangkah keluar toko, diantar oleh senyuman lembut dari Seikyoku-san. Lalu berjalan pulang, ditemani langit yang berubah jingga.

    Di rumah, langsung saja kupelajari teori-teori yang tertulis di buku itu. Berhubung kemampuan otakku adalah sangat baik, hal-hal penting seperti posisi chord dapat kuingat dengan sempurna meski tanpa gitar di genggamanku. Untuk memeriksa seperti apa suara chord nya ---karena aku belum pernah bermain gitar sama sekali---, kugunakan software pengolah musik yang kudownload.




    Haripun berganti. Di tengah cuaca terik musim panas ini, aku tetap harus melayani para pasien sebaik mungkin. Dan ketika tengah hari diapun tersadar. Ya, Otonashi Yutaka telah terbangun. Dengan kata lain…inilah saatnya aku harus memberitahukan mengenai kondisi kedua tangannya, entah dia siap atau tidak.

    Kondisinya tergolong baik ketika kelopak matanya terbuka. Detak jantung normal, tekanan darah tidak bermasalah, pernafasan juga stabil. Baguslah, kalau begitu aku tidak perlu panik memanggil dokter. Nanti saja akan kuberitahu dokter yang bertugas jika aku sudah bicara dengan Otonashi-san mengenai tangannya.

    Beberapa detik setelah tersadar, Otonashi-san terlihat bingung. Menoleh ke kiri, menengok ke kanan. Meski begitu, dia tidak panik. Melihatku ada di sebelah kanannya, diapun menanyakan sesuatu padaku. “Saya ada di mana?”, kata-kata itulah yang pertama kali terlontar dari mulutnya.

    Kuceritakan semua kejadian yang terjadi pada dirinya, dimulai dari kecelakaan waktu itu dan akhirnya, berada di rumah sakit ini. Dia masih bisa paham, sesekali mengangguk. Tidak terlihat keterkejutan di wajahnya. Namun…

    Begitu kusinggung soal tangannya, matanya langsung terbelalak. Ruangan ini juga mendadak hening selama beberapa saat begitu kukatakan, “…karena itu, kedua tangan anda harus diamputasi.” Ternyata dia belum menyadarinya ketika terbangun. Aku bisa mengerti, mungkin karena kondisi otaknya yang masih transien dan menganggap kalau kedua tangannya masih berada di tempat yang seharusnya. Diapun berusaha duduk, dibantu olehku.

    Nuansa melankolis mewarnai wajahnya. Tertunduk, murung.

    “Lantas…bagaimana dengan karir saya…”, ujarnya lesu.

    “Karir anda? Memangnya apa pekerjaan anda?”, aku masih berusaha memasang senyuman ketika bertanya.

    “Sebuah band…”, lagi-lagi nada bicaranya lesu.

    Sama seperti saat pertama kali melihat Amanatsu-san, perasaanku kembali tersentuh. Aku ingin membantunya bangkit dan bersemangat. Tapi…mulutku harus berhati-hati dalam bicara. Aku tidak mau memancing kemarahannya.

    “Kebetulan sekali saya bertemu dengan anda. Belakangan ini saya mulai tertarik dengan musik.”, kataku sambil berjalan ke arah jendela ruangan ini, tak jauh di sisi kiri ranjang pasien.

    “Sayang sekali saya tidak bisa mengajari anda, suster. Tangan saya…”

    “Hmm…benar juga. Tapi tidak apa-apa, saya sebenarnya sudah punya guru yang dapat mengajari saya.”, kupandang ke arah luar jendela.

    “Anda ingin belajar main alat musik tertentu?”

    “Gitar. Yang akustik, tentu saja. Kemarin saya bertemu seseorang yang ahli memainkannya. Saya ingin belajar darinya.”

    “Baguslah…karena tidak mungkin anda belajar dari saya…”

    “Tapi setidaknya anda masih bisa menilai permainan saya nanti kan?”

    Meski masih terlihat tidak bersemangat, Otonashi-san mengangguk pelan. Jelas dia tidak bisa bermain alat musik apapun sekarang. Tapi dengan melihat performaku nanti, kuharap dia sedikit mendapat gairah hidupnya kembali.

    Hari ini lagi-lagi tidak ada shift malam untukku, baru ada esok hari. Artinya, hari ini aku harus mempelajari sebanyak mungkin teknik-teknik dasar dalam bermain gitar. Tidak usah sampai bisa memainkan lagu tertentu, setidaknya membiasakan posisi dan jari-jariku terlebih dulu.




    Jam 4 lewat 20 menit. Muon.

    Langkahku tidak lagi berjalan pelan seperti saat pertama kali aku ke sini. Dengan yakin, dengan pasti. Sesuatu di dalam diriku berkata, semua yang akan kulakukan ini dapat membuat semangat Otonashi-san kembali berkobar.

    Baiklah, saatnya latihan.

    Seikyoku-san mengambilkan sebuah gitar, meminjamkannya padaku selama latihan. Begitu menerimanya, yang pertama kali kulakukan adalah…tuning. Anehnya, Seikyoku-san memandangku dengan tatapan terlihat kaget. Bukankah kemarin dia juga melakukan hal itu sebelum memainkannya? Apa ada yang aneh dariku?

    “Ng…Seikyoku-san, ada yang salah?”

    Dia balik bertanya, menuliskan “Kamu sudah mengerti soal tuning?”

    “Oh, itu tidak masalah. Biar kucoba…”

    Kuputar peg yang ada di bagian ujung sambil mendekatkan telinga pada senar. Dari paling bawah hingga paling atas, frekuensinya berturut-turut haruslah sebesar 329,63 - 246,94 - 196 - 146,83 - 110 - 82,41. Dalam Hertz tentunya. Beberapa detik kusesuaikan…yak, sudah.

    Seikyoku-san terbengong-bengong begitu mendengar satu per satu petikan senar gitarnya. “Hebat, tuning mu sangat sempurna.”, begitu yang ditulisnya. Semua itu tidak bisa kulakukan tanpa pendengaranku yang sensitif ini.

    Pelajaran berlangsung cepat. Berhubung aku sudah menghafal letak posisi chord yang ada ---walau baru mayor dasar dan minor dasar saja--- dari c hingga b, yang perlu kulakukan setelahnya tinggal menyesuaikan jari-jemari saja. Pertama-tama memang sulit karena kelenturan jariku yang belum terlatih. Namun setelah hampir setengah jam, semua terasa lebih mudah. Otot-otot di tanganku sudah mulai terbiasa, meski belum sempurna betul. Terkadang grip yang kulakukan masih sedikit salah sehingga nada yang keluar sedikit melenceng dari yang seharusnya.

    “Kalau belajarnya lancar seperti ini…”, dia menghapusnya dengan slider, lalu kembali menulis, “Setelah ini kamu hanya perlu belajar membaca not balok supaya bisa memainkan sebuah lagu dengan baik.”, tulisnya.

    “Wow. Benarkah?”

    Dia mengangguk beberapa kali, lalu kembali menulis. “Bahkan aku bisa mengajarimu memainkan satu lagu dalam beberapa hari ke depan.”

    Bagus. Kalau begini, Otonashi-san tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendengar permainan gitarku.

    Lumayan, untuk hari ini aku sudah sangat lancar melakukan grip untuk beberapa chord mayor ---kecuali f dan b---, sementara chord minor belum sepenuhnya kukuasai. Terlepas dari itu, Seikyoku-san amat terkesima dengan kemajuan yang kubuat hanya dalam sehari. Menurutnya, aku memiliki bakat untuk bermain alat musik. Dia juga memberitahu kalau kebanyakan lagu dapat dimainkan dengan cukup baik hanya dengan menggunakan chord mayor dan minor. Jenis-jenis chord yang lain boleh digunakan untuk menambah dinamika lagu, jika sudah mampu bermain dengan lancar.

    Karena besok aku kebagian jatah shift malam hingga jam 9, aku tidak bisa belajar pada hari itu. Kuberitahu Seikyoku-san kalau aku akan kembali lusa. Hari beranjak gelap, akupun mohon pamit untuk pulang.




    Selama 4 hari setelahnya, aku terus belajar pada Seikyoku-san…maksudku, Shizuka-san, agar bisa bermain dengan sempurna. Oh, aku juga belajar membaca not balok. Selama selang waktu itu pula kami menjadi makin akrab. Meski dia selalu berkomunikasi tanpa suara, aku tetap bisa mengerti. Apa mungkin karena pelajaran musik ini? Suatu hari aku pernah mendengar kalau musik adalah bahasa universal. Apa karena itu aku jadi sedikit banyak bisa dekat dengannya?

    “Kalau kulihat-lihat, kamu mulai tertarik belajar musik. Benar ya?”, tanya onee-chan ketika di rumah. Dia baru pulang kemarin, dan mendapati beberapa kali aku membaca buku-buku tentang musik ataupun bersenandung sendirian untuk menyesuaikan nada.

    “Uh-huh. Itu juga karena ketidaksengajaan.”

    “Tidak sengaja?”

    “Iya. Lima hari lalu aku tidak sengaja melewati sebuah toko alat musik ketika pulang. Pemiliknya yang mengajariku.”

    “Hee…begitu ya. Apa yang kamu mainkan?”

    “Gitar.”

    “Wow…gitar? Aku tidak pernah bisa bermain gitar. Mau mengajariku kalau kamu sudah mahir?”

    “Bagaimana kalau guruku saja yang mengajari? Dia pemilik toko alat musik Muon. Aku bisa mengantar onee-chan kalau ada waktu.”

    “Eh…? Muon? Yang pemiliknya tidak bisa bicara itu?”

    “Onee-chan kenal dengannya?”

    “Hanya pernah mendengar tentangnya. Seingatku pita suaranya harus diangkat sekitar 4 bulan yang lalu. Aku bisa mencarikan berkas catatan operasinya kalau kamu mau.”

    “Tidak usah repot-repot, onee-chan. Jadi karena itu dia tidak bisa bicara?”

    “Yap. Setahuku pita suaranya terkena kanker dan harus dioperasi di Takamagahara. Kemungkinan besar karena dia terlalu sering memaksakan pita suaranya itu.”

    “Uh? Bisa terjadi seperti itu?”

    “Bisa saja, Azrael-chan. Menurut diagnosis, pita suaranya sempat mengalami peradangan parah selama beberapa bulan karena terlalu sering digunakan secara paksa, berakibat pada bermutasinya sel-sel di situ.”

    “Maksudnya dengan sering digunakan?”

    “Hampir bisa dipastikan terlalu dipaksa untuk bernyanyi. Aku juga tidak tahu detailnya.”
    Jadi dia dulu seorang penyanyi? Sayang sekali aku tidak sempat mendengar suaranya. Tapi aku heran, kenapa dia begitu memaksakan dirinya?

    “Dan…boleh kutahu alasannya kenapa kamu tiba-tiba tertarik? Pasti bukan karena tidak sengaja saja kan?”

    “Untuk seseorang.”

    “Pacarmu ya?”, tanyanya dengan nada meledek.

    “Pikirkan dirimu sendiri dulu, onee-chan. Aneh rasanya kalau seorang adik mendapatkannya duluan.”

    “Azrael-chan…kejamnya dirimu…”, wajahnya berubah murung.

    “Aku hanya bercanda, onee-chan. Seseorang yang kumaksud ini adalah pasien rumah sakit. Aku ingin memainkan sesuatu untuknya agar semangat hidupnya kembali.”

    Onee-chan menatapku beberapa saat, lalu berkata, “Kamu benar-benar baik, Azrael-chan. Tidak kusangka secepat ini kamu bisa menjadi seseorang yang lembut.”

    “Bukankah ini karena onee-chan juga? Aku mulai merasa berubah sejak onee-chan merawatku di sini…”

    Sambil membelai lembut rambutku, onee-chan berkata, “Terima kasih banyak ya, Azrael-chan.”

    Sejak pertama kali Daleth melakukan hal yang sama, aku jadi suka jika ada orang yang mengelus kepalaku seperti ini. Beberapa saat aku hanya merasakan kehangatan tangan onee-chan.

    “Besok akan kucarikan gitar untukmu. Seingatku Seijinrei-sensei juga bisa bermain gitar, dan mungkin punya yang sudah tidak terpakai.”

    “E-Eh…? Benarkah? Apa tidak merepotkan?”

    “Sudah, patuhi saja apa kata onee-chan mu ini. Oke?”, ditutup dengan sebuah senyuman yang sudah menjadi ciri khasnya.

    Wow. Gitar sendiri? Untukku? Baguslah, kalau begitu aku tidak perlu sering-sering meminjam kepunyaan Shizuka-san.




    Tidak hanya Shizuka-san, aku juga menjadi dekat dengan Otonashi-san. Dia memang harus berada di rumah sakit selama beberapa lama setelah operasi agar para dokter bisa mengamati perkembangan luka bekas amputasinya. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu untuk membuat gairahnya bangkit.

    Sedikit banyak aku jadi tahu mengenai masa lalu Otonashi-san. Ternyata dia berasal dari keluarga non-pemusik, yang sama sekali tidak merestui jalan hidupnya yang sekarang. Namun apa mau dikata, keinginannya sudah kuat. Uang yang dikumpulkannya sejak awal sekolah menengah atas pun digunakan untuk membiayai sekolahnya di institut musik. Dia baru saja lulus. Nah, band tempat dia bergabung sekarang adalah hasil bentukan dirinya dan teman-temannya di institut musik itu. Posisinya adalah gitaris, meski dia juga bisa bermain piano.

    “Dan…kalau bukan karena seseorang, aku tidak mungkin tetap teguh pada keinginanku di jalur musik.”, ujarnya sambil menatap langit musim panas yang cerah di luar jendela. Sekarang sekitar jam 10 pagi.

    “Perempuan?”

    “Ya, kamu benar. Melihat keinginan kuatmu untuk bermain musik, aku jadi ingat dengannya.”

    “Tapi jangan samakan aku dengan dirinya. Aku melakukan semua ini semata-mata karena tidak ingin melihat pasien yang kutangani terlihat depresi dan tertekan karena keadaan.”

    “Yah…lagipula posturnya tidak sekecil dirimu…ahahaha…”

    Ah, bagus. Dia sudah bisa tertawa. Aku bisa mendengar tidak ada sesuatu yang dipaksakan keluar dari tawanya itu.

    “Mau bagaimana lagi…aku memang dilahirkan seperti ini. Tapi pasti kamu sangat menyayangi perempuan itu, benar?”

    “Sangat, Azrael-san. Bahkan kami berjanji akan menikah kalau aku sudah lulus dari institut musik. Tapi…kecelakaan ini…”

    “Tenanglah, Otonashi-san. Aku yakin dia akan tetap mencintaimu apa adanya, apapun kondisimu. Aku bisa merasakan hal itu.”

    Padahal aku tidak kenal siapa perempuan itu.

    “Semoga saja…”, jawabnya sambil kembali menatap keluar jendela.




    Sorenya, aku kembali ke tempat Shizuka-san. Hari ini dia siap mengajari sebuah lagu untukku, yaitu lagu yang kudengar saat pertama kali masuk ke toko ini. Berbekal partitur not balok darinya, aku bisa menentukan posisi-posisi chord dan melodi, kapan harus kumainkan. Tentu saja tidak sama persis dengan apa yang dilakukannya waktu itu, ada beberapa improvisasi yang kulakukan. Shizuka-san memujiku dengan sangat, mengatakan kalau aku benar-benar jenius karena berani berimprovisasi, padahal baru pertama kali memainkannya.

    “Nah, bagaimana kalau kamu juga mencoba bernyanyi?”, dia menunjukkan papan tulisnya.

    Aku belum pernah mencoba menyanyikan lagu secara utuh. Namun…karena tidak mungkin aku memutar rekaman saat di rumah sakit ---tentunya harus live performance---, kuberanikan diri melakukannya. Aku tidak mengerti teknik-teknik bernyanyi, jadi kulakukan yang tidak jauh berbeda dengan yang kudengar di file rekaman di komputer meja kasir.


    Diapun menangis.


    Entah apa alasannya, namun dia memelukku sambil meneteskan air mata saat aku selesai bernyanyi.

    “Shizuka…-san?”

    Sambil mengusap air matanya dia menunjuk ke arah speaker, lalu ke…mulutnya. Jadi yang selama ini kudengar adalah rekaman suaranya sendiri?! Tidak heran kalau dia menangis. Pastilah memorinya ketika menyanyikan lagu itu muncul kembali.

    Ketika dirinya sudah tenang, dia menulis sesuatu, “Aku jadi teringat kekasihku.”

    “Lagu itu ciptaannya?”

    Dia menulis lagi, “Bukan. Aku pernah menyanyikannya, diiringi olehnya yang bermain gitar.”, lalu dihapus dengan slider. Tulisan berikutnya, “Yang kamu dengar adalah rekaman waktu itu.”

    “Ah…jadi lagu ini membangkitkan kenangan tentang dirinya?” Dijawabnya dengan sekali mengangguk.

    “Kami sempat terpisah sekitar 2 tahun, bertemu sebentar, lalu terpisah kembali.”, begitu huruf-huruf yang terbaca di papan.

    “Boleh kutahu judul lagu ini?”

    Dia memutar layar monitor LCD komputernya ke arahku, lalu mengarahkan kursor ke satu file FLAC. Oh…jadi itu judulnya. Berhubung aku tidak membawa media storage apapun, aku tidak bisa mengopi lagu itu. Baiklah, setidaknya dari judulnya aku bisa mencari dan mendownloadnya di rumah.

    “Oh ya, besok aku akan memainkan lagu ini untuk seseorang, pasien rumah sakit. Kamu bisa datang kalau mau mendengarkan.”

    “Takamagahara?”, tanyanya lewat tulisan di papan.

    “Betul. Saat jam makan siang, sekitar jam 12.”

    Sambil tersenyum, dia menunjukkan tulisan, “Aku pasti datang.”




    Begitu tiba di rumah, aku langsung mencari segala sesuatu tentang lagu itu di internet. Ternyata benar, rekaman di toko itu adalah suara Shizuka-san sendiri. Semua yang kudownload dari internet tidak ada yang sama persis dengan warna suarnya. Hanya ada dua versi original yang dikeluarkan perusahaan rekaman, keduanya juga berbeda dengan yang kudengar di toko Muon. Lirik lagu ini…menggambarkan seorang yang tetap tegar, meski ditinggal oleh orang yang dicintainya. Mirip dengan yang dialami Shizuka-san.

    “Oh ya, ternyata Seijinrei-sensei punya satu gitar yang tidak terpakai. Kamu hanya perlu mengatur frekuensi senarnya saja.”, ujar onee-chan saat makan malam.

    Tuning, onee-chan.”

    “Iya, iya. Aku mana mengerti sih…”, dia memasukkan sesuap nasi dengan sumpit, lalu melanjutkan, “Besok bisa kamu ambil di ruangannya. Lebih baik saat jam istirahat. Ketuk saja kalau kamu mau ambil, begitu katanya.”

    “Benarkah? Secepat itu dia mencarikannya?”

    “Hmm…mungkin dia merasa tersentuh dengan apa yang kamu lakukan? Bisa saja kan?”, katanya sambil mengedipkan sebelah mata.

    “Ternyata Seijinrei-sensei juga orang baik…”

    “Ahaha…yah, kalau tidak begitu, dia tidak mungkin dijuluki Chiryou no Egao oleh seisi rumah sakit kan?”

    Kalau begitu, besok aku bisa memainkan lagu yang telah kupelajari di depan Otonashi-san. Mudah-mudahan apa yang kuharapkan akan terwujud besok. Aku tidak mau melihatnya terus stress. Penyakit terkadang malah bisa muncul di saat kondisi pikiran sedang depresi.




    Begitu Seijinrei-sensei memberikan gitarnya padaku, aku langsung menuju kamar Otonashi-san. Tentu saja setelah mengucapkan terima kasih pada dokter senior pimpinan rumah sakit itu.

    “Ah…jadi kamu sudah bisa memainkan satu lagu?”, tanyanya saat aku mengambil duduk di sebelah kanan ranjangnya. Sekarang siang hari, sekitar jam 12 lewat 10 menit.

    “Tentu saja. Guruku sendiri mengatakan kalau aku ini jenius…”, ujarku dengan bangga.

    “Hahaha…kita lihat saja. Baiklah, silakan mulai.”


    kao o awashitara kenkashite bakari
    sore mo ii omoide datta…

    kimi ga oshietekuretanda mou kowakunai
    donna fujiyuu demo shiawase wa tsukameru dakara…

    hitori demo yuku yo tatoe tsurakute mo
    kimi to mita yume wa kanarazu motteku yo
    kimi to ga yokatta hoka no dare demo nai
    demo mezameta asa kimi wa inainda ne

    zutto asondereru sonna ki ga shiteta
    ki ga shiteita dake wakatteru
    umaretekita koto mou koukai wa shinai
    matsuri no ato mitai samishii kedo sorosoro ikou

    doko made mo yuku yo koko de shitta koto
    shiawase to iu yume o kanaete miseru yo
    kimi to hanarete mo donna ni tookunatte mo
    atarashii asa ni atashi wa ikiru yo…

    hitori demo yuku yo shi ni takunatte mo
    koe ga kikoeru yo shinde wa ikenai to
    tatoe tsurakute mo samishisa ni naite mo
    kokoro no oku ni wa nukumori o kanjiru yo

    megutte nagarete toki wa utsuroida
    mou nani ga atta ka omoidasenai kedo
    me o tojitemireba dare ka no warai koe
    naze ka sore ga ima ichiban no takaramono…





    Yap, selesai. Akupun ikut terlarut dalam permainanku sendiri sampai-sampai tidak memperhatikan kalau Otonashi-san mengucurkan air mata sejak tadi. Apakah karena lagunya terlalu bagus? Atau permainanku terlalu sempurna?

    “Lagu itu…”, ujarnya pelan.

    “Aku mempelajarinya dari seseorang, yang tadi kusebut dengan guruku. Dia membuka toko alat musik di kota ini. Dan seharusnya…sekarang dia datang untuk mendengar permainanku.”

    Tunggu. Sekarang aku mendengar suara onee-chan di luar. Ada yang menangiskah? “Ada apa? Kenapa anda menangis?" Itu suara onee-chan yang tertangkap telingaku. Sebelumnya aku tidak sempat mendengar langkah kakinya karena terlalu konsentrasi bermain gitar. Begitu pintu kamar ini dibuka, ternyata…

    “Shizuka…-san?”, aku setengah tidak percaya, kupikir dia tidak akan datang. Kenapa dia tidak masuk sejak tadi?

    “Shi…zuka?”, Otonashi-san terlihat lebih terkejut dariku.

    Masih berurai air mata, Shizuka-san berlari menuju ranjang dan memeluk Otonashi-san.

    “Shizuka?! K-Kamu masih di kota ini…?!”, seru Otonashi-san.

    “Otonashi-san, maaf. Shizuka-san…tidak lagi bisa bicara.”, sahutku.

    “Eh? Maksudmu apa, Azrael-san?! Shizuka, apa benar begitu?!”

    Shizuka-san hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu. Suara yang bisa kudengar dari dirinya adalah suara terisak-isak, tanpa diwarnai ucapan apapun.

    “Beberapa bulan yang lalu pita suaranya diangkat karena kanker. Sejak itu Shizuka-san tidak lagi bisa bicara, apalagi bernyanyi...”

    “Apa semuanya gara-gara diriku…? Apa karena aku terus memintamu berlatih supaya suatu saat kita bisa tampil di depan banyak orang…?”, tanya Otonashi-san sambil menangis.




    Kudengar suara onee-chan memanggil dari luar pintu yang posisinya terbuka. Dia memintaku untuk meninggalkan mereka berdua, membiarkan mereka menghabiskan waktu bersama.

    Tidak bertemu selama beberapa lama, pastilah mereka ingin saling mencurahkan perasaan masing-masing. Ditambah lagi…sesuatu yang buruk terjadi pada mereka saat tidak bertemu. Aku tidak bisa membayangkannya…pasti keduanya sangat terkejut. Hati mereka pastilah sangat sedih dan hancur.
    Otonashi-san mengucapkan kata “maaf” berulang-ulang pada Shizuka-san saat aku mulai melangkah ke tempat onee-chan berdiri.


    “Aku tidak menyesal, Yutaka. Aku tidak menyesal kehilangan suaraku. Aku tidak peduli apapun yang hilang dari diriku, selama kamu tetap mencintaiku… Aku juga akan tetap mencintaimu...apapun keadaanmu...”


    Eh? Siapa yang bicara…?

    Bukan hanya aku. Otonashi-san dan onee-chan juga terkejut mendengar kata-kata itu. Atau…Shizuka-san? Tapi bukankah dia tidak lagi bisa bersuara…?




    “Ayolah, Azrael-chan. Mainkan sekali lagi…”, ujar onee-chan.

    “Sudah ah, aku lelah. Terik begini energiku cepat habis.”

    Sebenarnya sih tidak. Tapi kalau tidak begitu, onee-chan akan memintaku terus bermain gitar di tengah hari bolong seperti ini.

    “Oh iya, bukankah sekarang Shizuka-san dan Otonashi-san akan tampil di televisi? Aku tidak mau ketinggalan penampilan mereka.”, kataku.

    Kuletakkan gitarku, lalu menyetel televisi.

    “Wah, sebentar lagi mulai.”

    Yap, mereka berdua tampil di kedutaan besar Seihou di negara kepulauan di sebelah selatan sana. Berhubung hari ini adalah hari kemerdekaan negara itu, beberapa orang pemerintah Seihou pergi ke sana. Sebagai tanda persahabatan, tentu saja. Dan entah bagaimana detailnya, Otonashi-san dan Shizuka-san bisa tampil sebagai pengisi acara dalam perayaan di kedutaan Seihou di negara seberang itu, datang bersama orang-orang pemerintah Seihou.

    “Tapi Shizuka-san tetap tidak bisa bernyanyi…eh?”, komentarku setelah melihat Otonashi-san bernyanyi, diiringi permainan gitar Shizuka-san.

    “Uh-huh. Aku juga heran. Kalau begitu yang waktu itu kita dengar…suara siapa ya?”

    Aku ingin menggoda onee-chan dengan menjawab “suara gaib” atau semacamnya. Tapi…ada sesuatu yang mendorong diriku untuk berkata lain.


    “Mungkin itu suara hati Shizuka-san.”


    Onee-chan terdiam beberapa saat, sedikit kaget. Mungkin tidak menyangka kalau aku bisa berkata demikian.

    “Jadi sekarang kamu sudah bisa romantis yaaa…?”, katanya sambil merangkul ---lebih tepatnya menjepit--- leherku.

    “O-Onee-chan…mmmfff….n-nafasku…”

    “Ah, maaf.”, dia tertawa kecil, lalu melanjutkan, ”Sepertinya kamu benar-benar sudah punya pacar ya?”, lagi-lagi dengan nada meledek.

    “Sudah kubilang, onee-chan dulu, baru diriku…”

    “Azrael-chaaaannn…!!”

    Beberapa lagu dimainkan oleh duet Otonashi-san dan Shizuka-san. Dan sebagai penutup, mereka menampilkan lagu yang pertama kali kudengar di Muon. Judulnya…

    Ichiban no Takaramono.


    ===============================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Otonashi Yutaka (音無 豊)
      ---> 音 (oto, ne) = sound
      ---> 無 (mu, nai) = negative, non-exist, nothingness
      ------> 音無 (otonashi) = soundless, silence
      Cocok buat menggambarkan keluarganya yg non-pemusik
      ---> 豊 (yutaka, toyo) = rich, prosper, plenty
      Diartikan?
      Ga ada arti khusus...tapi dari nama bisa terbayang asal usulnya toh?
    • Seikyoku Shizuka (聖曲 静)
      ---> 聖 (sei, kiyo) = holy
      ---> 曲 (kyoku, magaru) = tune/song (tapi sensenya ke arah melodi)
      ------> 聖曲 (seikyoku) = holy song
      ---> 静 (shizuka, sei) = quiet
      Diartikan?
      Lagi-lagi ga ada arti khusus, tapi idem dengan di atas...bisa dibayangkan asal usulnya dari namanya
    • Muon (無音) artinya juga sama, "silence"
      Arti satu lagi yang Azrael bilang adalah...ini: http://en.wikipedia.org/wiki/Muon (makanya dibilang gak nyambung sama musik )
    • Doodle di sini merujuk pada Magna Doodle (tau kan yg maenan anak kecil ntuh yg buat nulis"?)
      Spoiler untuk yang ini loh :

    • Gw tau kalian males Googling, jadi nih lagunya (di cerita gw pake yg versi LiSA/Yui final ver.):
      Spoiler untuk versi LiSA :

      Spoiler untuk versi Karuta :

      Credits to: Jun Maeda (Composer), Hikari Shuuyou (Arranger versi LiSA)
      Bonus tab gitarnya: http://flipocrisy.com/?p=54
      Credits to: yang bikin tab gitarnya lah
      Bayangin aja full pake gitar maennya
    • NB: Gw gak bisa maen gitar.

    Last edited by LunarCrusade; 20-06-12 at 16:05. Reason: rada mabok...


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  11. #40
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Phase 8.5 :


    ==================================
    Phase 8.5: Interlude ~ The Angels’ Leaving
    ==================================




    “Eh…? Kalian sudah ingin pergi?”

    “Kami sudah terlalu lama berada di sini, Azrael. Lagipula tujuanku untuk mengungkap apa yang terjadi pada Resha tidak akan terwujud jika tidak bergerak ke tempat lain.”

    “Tapi bukankah kalian aman di tempat ini? Untuk apa lagi---“

    “Azrael, ini bukan masalah aman atau tidak. Aku curiga atas kejadian di Beth-Sheol dan harus menyelidiknya untuk membersihkan nama Resha. Dan siapa tahu, akan ada orang lain lagi yang membutuhkan bantuan.”

    “Kenapa tidak menetap di sini saja? Aku yakin di sini juga banyak orang yang membutuhkan bantuan. Aku juga bisa membantu kalian mengungkap kasus itu.”

    Daleth tersenyum, lalu menaruh tangannya di kepalaku sambil mengusap-usapnya. “Tidak, Azrael. Aku tidak mau membahayakan keselamatanmu dan juga senpai. Sekarang memang terlihat aman, namun kita tidak tahu apa yang akan terjadi di waktu-waktu yang akan datang.”, katanya dengan lembut.

    Terasa nyaman, namun jauh di dalam hatiku…aku tidak ingin kehilangan mereka. Resikonya terlalu besar jika mereka tetap pergi. Kemungkinan untuk bertemu mereka kembali juga kecil.

    “Berjanjilah untuk menemuiku dan onee-chan lagi setelah semuanya selesai.”, kutatap jauh ke dalam matanya.

    “Iya, pasti. Oh, dan ini kembaliannya. Terima kasih ya, Azrael.”, katanya sambil menyerahkan kantong berisi empat muffin coklat, favorit onee-chan.




    Begitulah percakapan yang terjadi antara aku dan Daleth, ketika mampir ke Inari Bakery. Dalam 3 atau 4 hari ke depan mereka akan melanjutkan perjalanan. Entah kemana, mereka baru akan memutuskannya setelah tiba di bandara. Cukup nekat memang. Tapi itu semua agar keberadaan mereka tidak terlacak oleh pihak Liberion.

    Langkahku terasa berat saat ingin kembali ke rumah. Seringkali aku juga tertunduk ketika berjalan. Aku tahu, kesempatanku untuk bertemu kembali dengan mereka sangatlah kecil. Mereka akan pergi ke negara lain dan mungkin akan terus begitu selama beberapa bulan. Ditambah lagi orang-orang Liberion terus mengejar mereka, membuatku terus berpikiran kalau suatu saat mereka akan celaka.

    Aku juga tidak mungkin ikut dengan mereka. Pertama, beban mereka akan bertambah karena aku juga pastilah diincar oleh pemerintah Anglion. Kedua, aku tidak bisa meninggalkan onee-chan sendirian. Bahaya bisa datang sewaktu-waktu menimpanya, karena onee-chan juga terlibat proyek pemerintah Liberion.

    Kali ini…aku benar-benar merasakan apa yang disebut dengan kesedihan. Hatiku serasa ditarik-tarik.
    Mereka adalah orang-orang pertama yang mengubah diriku. Jika bukan karena mereka, aku tidak akan mungkin bertemu dengan onee-chan dan juga seisi rumah sakit. Aku tidak akan mampu mengambil langkah pertamaku untuk mencoba berubah, berubah menjadi manusia yang sebenarnya. Bukan mesin pembunuh. Bukan senjata. Tapi seorang manusia yang memiliki hati, memiliki perasaan.

    Mereka jugalah yang pertama kali memberi pelajaran hidup bagiku. Belum pernah aku mendapatkannya dari orang lain sebelumnya, apalagi dari orang-orang Anglion. Mereka mulai mengubah warna hatiku yang hitam kelam, menjadi warna-warni kehidupan.

    Jika aku harus berterima kasih pada mereka, aku akan melayani mereka berdua seumur hidup untuk membayarnya. Jutaan ucapan terima kasih tidak akan cukup untuk membalas kebaikan mereka.

    Tapi…

    Kenapa mereka harus pergi sekarang…?




    “Azrael-chan, ada apa? Jarang-jarang kamu terlihat lemas begini.”, tanya onee-chan saat kami sedang di ruang tengah, menonton televisi.

    Sejak onee-chan pulang jam 7 malam tadi, dia terus memperhatikanku. Apa mungkin wajahku terlalu murung sehingga dia khawatir?

    “Tidak apa-apa, onee-chan.”

    “Kamu sakit?”

    “Bukan itu…”

    “Lalu ada apa yang terjadi? Cerita saja, onee-chan siap mendengarkan.”

    “Mereka…”

    “Mereka?”

    “Daleth dan Resha akan pergi dalam waktu dekat.”

    “Jadi karena itu ya…?”

    Aku hanya mengangguk satu kali untuk menjawabnya.

    “Itu sudah keputusan mereka, Azrael-chan. Kamu harus menghormatinya.”

    “T-Tapi…aku tidak mau mereka meninggalkanku sekarang. Aku belum siap…”

    Jelas aku tidak siap. Aku belum pernah sama sekali ditinggalkan oleh orang-orang yang menyayangiku.

    “Azrael-chan, kamu masih ingat Sakuya-chan?”

    “Oh, adikmu itu? Yang entah bagaimana bisa muncul lagi di dunia manusia?”

    “Iya, dia.”

    “Ada apa dengannya?”

    “Kamu…masih ingat ceritanya kan?”

    Tentu aku masih ingat. Sakuya-chan meninggal 15 tahun yang lalu karena suatu penyakit yang tidak diketahui penyebabnya. Dia menyesal karena tidak sempat menjadi seorang kakak yang baik untuk Sakuya-chan. Untuk menebus kesalahannya, diapun memutuskan untuk menjadi seorang dokter. Yah, walau yang ditekuni onee-chan bukanlah menangani pasien melainkan berurusan langsung dengan penyebab beberapa penyakit, dan menemukan solusinya.

    “Menurutmu, bagaimana perasaanku waktu itu?”

    “Mungkin…sama sepertiku sekarang?”

    “Lebih, Azrael-chan. Aku sempat depresi, bahkan tidak masuk sekolah selama beberapa minggu.”

    “Eh? Onee-chan…sampai seperti itu? Bagaimana bisa sekarang onee-chan jadi sepintar sekarang?”

    “Tidak pernah mengenakkan apabila kamu harus kehilangan seseorang. Yah, walau agak berbeda dalam kasusmu. Yang jelas jangan sampai kamu tertekan dalam waktu yang lama.”

    “Tapi…kemungkinan untuk bertemu mereka lagi sangat kecil.”

    “Setidaknya masih ada harapan kan? Berbeda denganku, yang benar-benar pasrah tidak mampu membawa Sakuya-chan kembali. Untunglah waktu itu dia datang kembali di saat yang tepat dan membawaku kembali ke jalan yang benar.”

    “Jadi apa yang harus kulakukan…?”

    “Jangan sampai kesedihanmu ini berlangsung berlarut-larut. Antarkan mereka dengan senyuman terbaikmu, dan buat mereka bangga jika kalian bertemu lagi nanti. Oke?”, diakhiri dengan senyuman lembut darinya.

    Onee-chan benar. Aku tidak boleh terbawa dalam kesedihan. Aku ingin melihat Daleth dan Resha melihatku sebagai orang yang lebih baik jika kami bisa bertemu kembali. Siapa tahu aku sudah menjadi manusia seutuhnya nanti.

    Tiba-tiba…

    “Onee-chan…?”

    Tangannya melingkari tubuhku, memelukku dengan hangat. Sesekali kurasakan belaian lembutnya di kepalaku.

    “Kalian bisa bertemu lagi, Azrael-chan. Aku bisa merasakannya.”

    “Kuharap itu benar…”

    Selama beberapa saat, aku hanya dapat merasakan dekapannya yang hangat ini. Kesedihanku seakan pudar. Hatiku berubah lega.

    “Terima kasih banyak, onee-chan. Aku benar-benar bahagia bisa menjadi adikmu…”




    Hari itupun tiba.

    Bandara internasional di Nishigyou, sekitar jam 1 siang. Berhubung onee-chan ada pekerjaan di Nishigyou, aku ikut dengannya untuk mengantarkan Daleth dan Resha.

    “Bagaimana? Tidak ada yang tertinggal?”, tanya onee-chan pada keduanya.

    “Tidak, senpai.”

    “Aku sudah periksa semua, dan tidak ada yang tertinggal.”, Resha menambahkan.

    “Jadi, ke mana tujuan kalian?”, tanyaku.

    “Ke Kekaisaran Qing. Aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi di sana.”, jawab Daleth.

    “Ah, baiklah. Semoga kalian tiba dengan selamat.”, aku diam sejenak, lalu melanjutkan sambil membungkuk dengan hormat, “Dan…terima kasih banyak.”

    “Sama-sama, Azrael.”, ujar Daleth sambil mengusap-usap kepalaku.

    “Kamu juga hati-hati ya di sini.”, kata Resha sambil memegang kedua tanganku.

    Mendadak mataku terasa panas, lalu mulai berair. Tetesan air matapun mengalir perlahan di pipiku. Melihatku menangis, Resha memeluk tubuhku.

    “Aku pasti kembali, Azrael. Aku janji.”, tutur Resha sembari melingkarkan kedua tangannya padaku.

    “Akan kupegang janjimu itu, Resha. Aku juga berjanji…aku akan terus berusaha berubah menjadi lebih baik walau kalian tidak ada.”

    Resha menatapku, lalu mengangguk sekali dengan wajah ceria. “Janji ya? Aku ingin bicara banyak hal denganmu kalau kamu sudah memahami banyak hal tentang orang lain.”

    Oh ya, aku teringat sesuatu. Kudekatkan mulutku pada telinga Resha.

    “Dan kalian harus sudah menikah ketika kembali. Atau setidaknya sudah menjadi sepasang kekasih.”, bisikku.

    “E-EH?! M-Maksudmu apa?!”, pipinya berubah warna seperti tomat.

    “Pokoknya harus. Jangan membiarkan dirinya diambil orang lain, oke?”, ujarku pelan.




    “Ah iya. Azrael, ini aku punya sesuatu untukmu.”, sahut Daleth sambil menyerahkan sebuah tas kertas. Di dalamnya ada sebuah kotak kardus, tidak terlalu besar. Mungkin sekitar 20 x 25 x 15 sentimeter.

    “Ini…apa?”

    “Untuk tenchou di toko roti. Tapi serahkan padanya kalau saatnya sudah tepat, mengerti?”

    “Kapan aku bisa tahu waktu yang tepat itu?”

    “Kalau kamu ada waktu, datang dan bantulah dia. Aku tidak tega melihat pria setengah baya seperti dirinya hanya bekerja sendirian. Hari Minggu kamu tidak ada shift kan?”

    “Ya, tidak ada. Baiklah, akan kuberikan ini padanya nanti.”

    Mengetahui sifat Daleth, sepertinya tenchou di Inari Bakery punya suatu masalah yang harus diselesaikan. Aku sendiri heran kenapa bukan Daleth sendiri yang membantu orang itu. Tapi…jika memang waktunya belum tepat, bisa jadi Daleth tidak mampu berbuat apa-apa.

    “Mudah-mudahan dengan begitu kamu bisa belajar sesuatu.”, ujar Daleth.

    “Eh…? Belajar sesuatu? Jadi kamu memintaku menyelesaikan hal ini karena---“

    “Karena aku ingin kamu mengetahui satu hal. Nanti juga kamu akan tahu apa itu.”, potongnya.




    Daleth melihat ke arah jam tangannya, lalu mengatakan, “Hmm…dua puluh menit lagi ya. Baiklah kalau begitu, kami mohon pamit. Jaga diri kalian.”

    “Kalian juga. Selamat jalan ya.”, jawab onee-chan.

    “Dan…jangan lupakan janji kalian. Datanglah lagi kapan saja.”, diikuti olehku.

    Senyuman terlukis pada wajah mereka, mengisyaratkan kalau kami pasti akan bertemu lagi suatu hari nanti. Merekapun melangkah terus hingga menghilang dari pandanganku, ditelan kerumunan manusia di terminal keberangkatan.



    Selamat jalan--- maksudku, sampai bertemu lagi…malaikat-malaikatku.


    ============================


    Spoiler untuk Trivia :

    NGGAK ADA !! HOREEE


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  12. #41
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    cerita yang ini kalah berat sama Angel&Reaper, jadi gw pindah ksini aja ah

    btw :




  13. #42
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    cerita yang ini kalah berat sama Angel&Reaper, jadi gw pindah ksini aja ah

    btw :



    maksud loeee

    perasaan baru Resha, Azrael, Sakuya, sama Nami deh

    /ditamparin

    abis ini udah jelas ga ada lolinya lagi, udah keliatan pattern ceritanya kan?
    yg ini emang sengaja gw bikin ga seberat AAaAR, soalnya konsentrasi ke morale message sama heartwarming feel nya

    Phase 9 sedang dalam pengerjaan, ditunggu sajah


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  14. #43
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    MAMAM NEH KOMEN 3 CHAPTER NUMPUK~

    Spoiler untuk asal :
    Chapter 7: Ngg, entah kenapa gue agak aneh bacanya. ngga dapet intinya gitu. Hubungannya phytoremediation(?) sama si cewe itu, dan cowonya...err, otak gue linglung. TERUS AZRAEL NYA MAU MASUK SEKOLA????
    Spoiler untuk asd :
    tapi kata ente kemaren ini, tar Azrael skolanya bareng Cirno, masih lama dong


    Chapter 8: Agak linglung bagian terakirnya juga, tapi dapet intinya. Cuma ngga kebayang gimana 2 itu terus manggung di acara kedutaan, gantian cowonya nyanyi cewenya maen musik? huehuehuehue
    Tapi overall, ini bikin gue agak terharu (terlepas dari suara misterius yang malah bikin gue serem)
    pas si Azrael maen terus cewenya mewek2 gue udah agak nebak sebenernya, pasti ini dia yang nyanyi, terus ada cowoknye. pas ketemu si tangan buntung itu, beneran deh

    Chapter 8.5: Engg, si Daleth akirnya pegi juga. Jadi tinggal dia bedua sama si Onee-chan
    Yang gue tangkep adalah, Azrael emang terbuat dari gen manusia super
    Kalo dari gue baca, Azrael tu umurnya belom ada 10 taon. Dateng ke Seihou belom ada setaon (si Daleth di Seihou aja ngga sampe setaon kan ) dan bisa belajar sangat banyak
    Sepupu gue ada baru 8 taonan, introvert gitu anaknya. Diajarin biar lebih ceria, rada nyeplas dikit gitu, ini-itu. lama loh, sekarang aja masih diem2 gitu anaknya. Azrael emang gegeh
    Tapi, gue senyum2 sendiri bacanya, entah kenapa.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  15. The Following User Says Thank You to MelonMelon For This Useful Post:
  16. #44
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    MAMAM NEH KOMEN 3 CHAPTER NUMPUK~

    Spoiler untuk asal :
    Chapter 7: Ngg, entah kenapa gue agak aneh bacanya. ngga dapet intinya gitu. Hubungannya phytoremediation(?) sama si cewe itu, dan cowonya...err, otak gue linglung. TERUS AZRAEL NYA MAU MASUK SEKOLA????
    Spoiler untuk asd :
    tapi kata ente kemaren ini, tar Azrael skolanya bareng Cirno, masih lama dong


    Chapter 8: Agak linglung bagian terakirnya juga, tapi dapet intinya. Cuma ngga kebayang gimana 2 itu terus manggung di acara kedutaan, gantian cowonya nyanyi cewenya maen musik? huehuehuehue
    Tapi overall, ini bikin gue agak terharu (terlepas dari suara misterius yang malah bikin gue serem)
    pas si Azrael maen terus cewenya mewek2 gue udah agak nebak sebenernya, pasti ini dia yang nyanyi, terus ada cowoknye. pas ketemu si tangan buntung itu, beneran deh

    Chapter 8.5: Engg, si Daleth akirnya pegi juga. Jadi tinggal dia bedua sama si Onee-chan
    Yang gue tangkep adalah, Azrael emang terbuat dari gen manusia super
    Kalo dari gue baca, Azrael tu umurnya belom ada 10 taon. Dateng ke Seihou belom ada setaon (si Daleth di Seihou aja ngga sampe setaon kan ) dan bisa belajar sangat banyak
    Sepupu gue ada baru 8 taonan, introvert gitu anaknya. Diajarin biar lebih ceria, rada nyeplas dikit gitu, ini-itu. lama loh, sekarang aja masih diem2 gitu anaknya. Azrael emang gegeh
    Tapi, gue senyum2 sendiri bacanya, entah kenapa.
    Spoiler untuk duer :

    Phase 7:

    Analogi sederhana aja ya.

    Hinata pengen bisa nyembuhin hati cowonya dari rasa takut untuk menjalin hubungan,
    kayak bunga matahari yg bisa nyerep zat radioaktif di tanah (phytoremediation, ngerti setelah dijelasin Azrael di rumah sakit),
    bukan sekedar bunga matahari yg natap matahari yg tinggi di langit

    gitu




    Phase 8:

    Gimana cara mereka bisa manggung?
    (btw tau kan kalo mereka manggungnya di Indonesia? meski petunjuknya gak mengisyaratkan tanggal pastinya, tapi LETAK negara yg dituju + bulan Agustus...seharusnya bisa nebak)

    Pertama,
    clue ada di asal usul si cowok + huruf kanji namanya
    Dibilang kalo cowoknya itu bukan dari keluarga pemusik,
    tapi dilihat dari huruf kanji namanya, dia itu orang kaya (bisa pejabat, pengusaha terkenal, dst dkk)
    dengan kata lain, bisa jadi akhirnya keluarganya luluh dan ngerestuin jalur anaknya bermusik (mungkin juga bantu cariin sponsor atau apalah)

    Kedua,
    clue ada di huruf kanji keluarga si cewek + mata ijo nya
    Udah jelas si cewe punya turunan non-Seihou, orang luar (entah Varangia, atau negara" benua Biru, atau bisa juga orang Liberion)
    Ditambah lagi huruf kanji keluarganya mengisyaratkan kalo si cewe ini berasal dr keluarga pemusik
    Keluarga pemusik + salah satu orang tuanya orang luar negri (yg kemungkinan pemusik juga) = (baca: ngadain konser internasional lebih mudah)

    Cowo nya yg nyanyi + cewenya yg maen gitar,
    soalnya cowonya uda ga bisa pegang gitar dan cewenya uda ga bisa nyanyi




    Phase 8.5:

    Azrael bahkan umurnya belom setahun, kalo diitung sejak dia keluar dari tabung di lab di Anglion

    Tapi secara genetik, umurnya udah pasti lebih, soalnya ga mungkin nyatuin gen" bayi buat bikin si Azrael
    udah pasti pake gen manusia yg udah ada umurnya, jadi uda ketauan ability orang" itu apa aja

    Dan karena gen" yg ada di tubuhnya adalah gen" manusia" terbaik di Bumi, belajar apapun serasa mudah


    memang clue" nya rada vague, tapi kalo imajinasi + analisisnya pas bisa kok ketauan itu semua
    Last edited by LunarCrusade; 14-06-12 at 00:41.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  17. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  18. #45
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Asik dijelasin lengkap
    gue tadi emang ngga bener2 meratiin (meratiin juga mungkin kagak ngerti ), baca rada ngebut buat tau ceritanya aja

    Emang lu kalo bikin apa2 mesti diperatiin semua yah, nyambung semua

    Yaudah pokonya bagus. sekarang gue nunggu lanjutannya gimana dia belajar jadi 'manusia' selanjutnya.
    Spoiler untuk asfd :
    kalo dibaca2, Azrael belom pernah ngerasain takut serem gitu ya?

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

Page 3 of 5 FirstFirst 12345 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •