=======================
Phase 6: A Croissant for Two
=======================
Temperatur udara beranjak naik dari hari ke hari, dan tanpa kusadari sekarang sudah mendekati musim panas. Hanya kurang dari seminggu lagi sebelum bulan berganti ke Juni. Sudah 1 bulan lebih aku bekerja di rumah sakit, dan perlahan makin banyak orang di rumah sakit yang kukenal, baik sesama pegawai ataupun pasien. Dan tentu saja, aku makin akrab dengan Chiyuko-san.
Hari Minggu sekitar setengah 4 sore. Aku tidak punya shift hari ini, begitu juga dengan Chiyuko-san.
Sejak jam 10 pagi tadi kami berdua melakukan sesuatu yang dilakukan nyaris seluruh perempuan di muka Bumi: belanja. Dan karena Chiyuko-san sudah terlihat lelah…
“Mau istirahat sebentar?”, tanyaku.
“O-Oke. Aku juga sudah lelah membawa semua ini.”
“Aku heran…kenapa sampai enam kantong besar begitu. Sebanyak itukah barang yang kamu perlukan?”
“Ahaha…namanya juga wanita, Azu-chan. Nanti kamu juga mengerti.”
Bahkan onee-chan pun tidak pernah membawa belanjaan sebanyak itu. Tapi ya sudahlah, lupakan untuk sekarang. Inari Bakery hanya beberapa puluh meter lagi, jadi kutawari Chiyuko-san beristirahat di sana.
“Ah, irasshaimase…!!”, suara itu menyambut dari balik meja kasir saat aku membuka pintu. Siapa lagi kalau bukan Daleth.
“E-Eh…? Waaahh!! Kenapa bisa ada orang setampan dia di toko roti ini?!”, seru Chiyuko-san dengan mata berbinar-binar.
“Oh, Azrael. Selamat datang. Dan…ini temanmu?”
“Uh-huh. Kiyotama Chiyuko-san, rekan kerjaku di rumah sakit.”
“A-Azu-chan…kamu kenal orang ini?!”, perempuan di sebelahku ini terlihat kaget.
“Karena satu dan lain hal, akhirnya aku bisa kenal dengannya.”
Daleth segera memberikan isyarat dengan telunjuk kanan yang ditaruh di depan mulut. Ah, berarti aku tidak boleh menceritakan detailnya.
“Jadi, ingin pesan apa?”
“Tiramisu cake!! Oh, dan secangkir caffe latte.”, jawab Chiyuko-san dengan cepat.
“Hmm…aku minta choco croissant dan cappuccino. Tolong antar ke tempat kami duduk ya.”
Inari Bakery memiliki area khusus dengan 10 meja, 6 besar dan 4 kecil. Aku segera duduk di salah satu meja kecil yang memiliki 2 kursi, tidak jauh dari pintu masuk. Selama menunggu, mata Chiyuko-san tidak berhenti memandang ke arah Daleth dengan mata berbinar-binar.
“Chiyuko-san.”
“Iya? Apa? Apa?” Dari cara menjawabnya, aku tahu kalau pikirannya sedang melayang entah ke mana.
“Dia sudah ada yang punya.”
“Oh begitu.”, dia terdiam sejenak, lalu dengan suara yang lebih keras dia berteriak, “APAAAAAAA?!”
“Menyerahlah, Chiyuko-san. Sudah tidak ada harapan lagi.”
“S-Siapa wanita beruntung yang menjadi pacarnya itu?! Aaaahhh!! Kenapa ini harus terjadi…huhuhu…”
Sudah sewajarnya dia menyerah. Sejauh yang kutahu dari cerita onee-chan atau Resha, Daleth bukanlah tipe orang yang memilih wanita secara sembarangan. Dan karena sifatnya itulah, hingga usianya yang sekarang dia belum pernah memiliki kekasih satu orang pun. Yah, walau sudah sangat jelas kalau Resha adalah satu-satunya perempuan yang ada di hatinya sekarang.
“Tiramisu cake dan caffe latte, serta choco croissant dan cappuccino. Baiklah, selamat menikmati.”, ujar Daleth sambil menaruh pesananku dan Chiyuko-san di atas meja. Kubalas dengan sebuah ucapan terima kasih.
Perlahan aku menyantap pesananku, sesekali menyeruput cappuccino. Chiyuko-san sendiri terlihat tidak bersemangat setelah mendengar kata-kataku tadi.
Beberapa saat berlalu…
“Oi!! Nii-san!!”, sebuah suara memanggil yang cukup keras terdengar dari arah pintu, seorang anak laki-laki. Mungkin berusia sekitar 9 hingga 10 tahun. Dari gelagatnya, sepertinya dia sudah cukup akrab dengan Daleth.
“Oh, Tsuranagi-kun rupanya. Seperti biasa?”, Daleth melayani anak itu dengan ramah. Dia memang akrab dengan anak-anak.
“Hei, itu kan…”, tiba-tiba Chiyuko-san berkata-kata setelah diam saja sekian lama.
“Hmm? Kamu kenal dengannya?”
“Sudah 4 bulan dia tidak mengunjungi adik perempuannya di rumah sakit. Sebentar ya, Azu-chan.”, Chiyuko-san beranjak dari kursinya.
Chiyuko-san berjarak sekitar 3 meter dari meja kasir ketika anak itu menerima kembalian, lalu dia menengok ke arah Chiyuko-san. Wajah anak laki-laki itu langsung berubah panik, dan berlari secepat mungkin ke luar. Aneh, kenapa dia harus berlari panik begitu? Kenapa dia begitu takut melihat Chiyuko-san?
“Azu-chan, bisa tolong kamu kejar dia? Nanti akan kujelaskan semua.”, ujar Chiyuko-san dengan nada serius.
“Oke, baiklah. Tunggulah di sini.”
Hanya seorang anak kecil, pasti dapat kukejar dengan mudah. Benar saja. Tidak sampai 2 menit, aku berhasil memperpendek jarak dengan dirinya.
Anak itu tidak menyerah. Dia terus berlari hingga ke ujung blok, dimana terdapat sebuah perempatan. Dan…
*BRAAAAAK!!~
Ada seorang anak perempuan yang muncul dari belokan di sebelah kanan, sepertinya seumuran dengan anak laki-laki yang sedang kukejar. Keduanya bertabrakan dan jatuh. Ini kesempatanku untuk menangkap anak laki-laki itu.
“M-Maaf…”, ujar anak perempuan yang ditabraknya itu.
Anak laki-laki itu diam saja. Aku sudah berada di sebelahnya sekarang.
“Hei, minta maaflah. Bukankah kamu laki-laki?”, ujarku.
“Tidak usah menyuruh-nyuruhku!! Kamu dari rumah sakit kan?!”
Kurasa dia mengambil kesimpulan itu karena aku bersama Chiyuko-san.
“Ya, ada apa memangnya?”
“Cih. Jangan harap kamu bisa menangkapku!!”
Dia langsung meraih kantong berisi apa yang dibelinya di Inari Bakery, lalu berlari kabur. Ingin kukejar, tapi…ada yang butuh pertolongan di sini.
“Kamu tidak apa-apa?”, tanyaku sambil berlutut di sebelah kiri anak perempuan yang ditabrak itu.
“I-Iya, tidak apa-apa kok. Tidak ada luka sama sekali.”, dia berusaha berdiri.
Tunggu. Wajah anak ini sekilas mirip dengan onee-chan. Kebetulan atau…? Aku ikut berdiri begitu kudapati tidak ada cedera padanya.
“Maaf ya. Kalau aku tidak mengejar anak laki-laki tadi, mungkin dia tidak akan menabrakmu.”
“Umm…nee-chan tidak perlu minta maaf kok. Aku juga tidak melihat jalan dengan baik tadi…ehehe…”, dia tertawa kecil.
“Namamu?”
“Sakuya.”
“Emm…Sakuya-chan, sebagai permintaan maaf, akan kubelikan sesuatu. Bagaimana?”
“Terserah nee-chan saja.”, jawabannya diakhiri dengan sebuah senyuman. Benar-benar mirip dengan yang selalu dilakukan onee-chan.
Aku perhatikan di trotoar ada sebuah croissant, sepertinya jatuh dari kantong anak lelaki itu. Agar tidak mengotori jalan, kupungut itu, lalu membuangnya di tempat sampah terdekat.
Saat aku kembali ke Inari Bakery…
“Daleth onii-chan?!”, Sakuya-chan terlihat terkejut.
“S-Sakuya-chan?! B-Bagaimana bisa…” Sepertinya mereka berdua sudah saling kenal.
Langsung saja Daleth membawa Sakuya-chan keluar ke depan pintu toko, lalu saling berbisik. Awalnya Daleth terlihat panik, namun segera berubah tenang setelah berkomunikasi sebentar dengan anak perempuan itu.
“Jadi, bagaimana dengan anak laki-laki itu?”, tanya Chiyuko-san.
“Aku tidak berhasil menangkapnya. Dia malah menabrak anak perempuan yang bersamaku itu. Maaf, Chiyuko-san.”
“Hmm…ya sudah tidak apa-apa. Nanti akan kupikirkan bagaimana caranya agar dia mau menjenguk adiknya lagi.”
“Nee-chan, sepertinya aku harus pulang. Maaf ya sudah merepotkan.”, ujar Sakuya-chan, setelah dia selesai bicara dengan Daleth.
“Tidak ingin kuantar?”
“Dia tinggal di sekitar sini, Azrael. Tidak perlu khawatir.”, sahut Daleth.
Setelah Sakuya-chan keluar, aku kembali ke mejaku tadi lalu menghabiskan sedikit sisa choco croissant yang ada. Di saat yang bersamaan, Chiyuko-san memberitahu mengenai anak laki-laki tadi yang ternyata bernama lengkap Kawaguchi Tsuranagi. Adik perempuannya, Kawaguchi Tsuranami, adalah salah seorang pasien yang dirawat di rumah sakit tempatku bekerja. Tidak banyak yang bisa diceritakan Chiyuko-san, selain bagaimana seringnya dulu Tsuranagi-kun menjenguk adiknya, yang belakangan tidak pernah dilakukannya lagi. Baiklah, besok akan kutemui adiknya itu untuk mengetahui semua ini lebih lanjut.
Senin, setengah 9 pagi. Setelah berhasil menemukan data mengenai ruangan di mana Kawaguchi Tsuranami dirawat, aku langsung menuju ke sana.
Lantai 3, di ujung lorong arah utara, terdapat sebuah kamar yang terpencil…
Sebelum aku menaruh tangan di gagang pintu, terbersit sesuatu di pikiranku. Ada yang aneh dengan lokasi ruangan ini. Terlalu terasing. Terisolasi. Selain suasana sepi dari lorong karena jarang dilalui, tempat ini juga tergolong gelap untuk pagi hari seperti sekarang. Padahal di lorong utama kondisinya terang benderang, bahkan tanpa lampu sekalipun.
Perlahan kubuka pintu kamar di depanku…
Seorang anak perempuan berusia 8 tahun, terlihat berlutut di sisi ranjang yang bersebelahan dengan jendela yang berada dalam posisi terbuka. Rambutnya berwarna hitam dengan panjang sebahu, tersibak oleh angin.
“Permisi…Tsuranami-san?”
Anak itu memalingkan wajahnya ke arahku. Dia cukup cantik untuk anak seumurannya walau tergolong pucat.
“Umm…suster ingin mengambil wadah makanan?”, tanyanya dengan suara pelan. Sebenarnya sih tidak. Tapi ya sudahlah, kuiyakan saja.
Kuperhatikan sekeliling, ruangan ini juga aneh. Yang kudapati adalah ranjang, lemari, meja, dan dua buah kursi. Tidak ada televisi. Padahal semua ruangan pasien yang pernah kumasuki pastilah memiliki televisi di dalamnya. Apa dia tidak bosan di ruangan yang sepi seperti ini?
“S-Saya belum pernah melihat suster sebelumnya…orang baru ya?”, tanyanya dengan sedikit gemetaran.
“Ya, benar. Aku baru bekerja pertengahan musim semi tahun ini.”
“O-Oh begitu…”
“Kamu terlihat takut, ada apa?”, tanyaku, berusaha mencairkan suasana.
“T-Tidak…aku hanya belum pernah bicara langsung dengan orang yang sepertinya bukan orang Seihou.”
“Tenang saja, lafal Seihouku sudah lancar. Tidak perlu khawatir tentang apa yang akan kamu katakan. Aku pasti mengerti.”
“Mmm…iya.”, diikuti dengan sekali menangguk pelan.
“Oh ya, sudah berapa lama kamu dirawat?”
“Enam bulan…”
Berarti Tsuranagi-kun sempat terus menjenguknya selama 2 bulan, lalu berhenti pada bulan yang ketiga.
“…di sini.”, dia melanjutkan.
“Tunggu, tunggu. Apa maksudmu?”
“Iya, enam bulan aku dirawat di sini. Sementara sebelumnya aku dirawat di tempat lain…sudah sejak lama.”
“Oh, begitu rupanya. Hmm…bagaimana dengan keluargamu? Pasti kadang mereka kemari, benar?”, sengaja kutanyakan hal itu untuk memancingnya bicara.
Kepalanya langsung tertunduk mendengar pertanyaanku. Sekali menggelengkan kepala, lalu dia menjawab, “Tidak. Yang sering mengunjungiku sudah tidak pernah datang lagi sejak 4 bulan lalu.”
Kuhampiri dirinya yang sedang bersandar di tepi jendela, lalu ikut memandang keluar dan merasakan hembusan angin dari lantai 3 ini.
“Akan kubawa orang itu kembali.”, ujarku sambil menatap jauh ke depan.
“E-Eh…? Bisakah…?”, tanyanya dengan tatapan yang sangat berharap.
“Aku janji. Cepat atau lambat akan kubawa dia ke sini.”, ditutup dengan senyuman dariku.
Sepertinya dia terlihat senang dengan kata-kataku tadi. Baiklah, sudah cukup. Aku akan kembali bekerja.
Kuambil wadah makanan yang diantarkan oleh suster lainnya pagi tadi, lalu menuju ruang cuci dan menaruhnya di sana. Tak lama kemudian, aku berpapasan dengan Chiyuko-san di koridor.
“Bagaimana? Sudah bertemu Tsuranami-san?”, tanyanya.
“Sudah. Awalnya dia masih takut-takut denganku, walau tak lama kemudian aku bisa memulai obrolan dengannya.”
“Ah, itu wajar. Oh ya, kamu tidak membawa ponsel ke dalam kan?”
“Eh? Ponsel? Tidak kok…ada apa memangnya?”
“Dia menunjukkan gejala Electromagnetic Hypersensitivity.”
“Maksudmu, dia bisa dengan mudah jatuh sakit jika terlalu lama terinduksi medan elektromagnetik?”
“Nah, itu dia maksudku. Seminimal mungkin peralatan elektronik yang boleh ada di dekatnya.”
Ternyata itu alasan kenapa ruangannya sangat terpencil dan tidak ada televisi di kamarnya. Seingatku kelainan misterius itu pastilah diderita sejak lahir, sehingga tidak mengherankan jika dia sudah dirawat sejak lama sebelum dipindahkan ke sini.
Sebentar. Ruangan yang terisolasi. Tidak ada televisi, tidak ada hiburan. Seminimal mungkin peralatan elektronik, tidak boleh ada notebook, music player, dan lain-lain. Kebosanan total. Dan kakaknya tidak lagi mengunjungi dia selama 4 bulan?! Keterlaluan. Akan kucari informasi mengenai kakaknya lebih lanjut, dan aku tahu siapa yang bisa dimintai tolong.
“Tsuranagi-kun?”, tanya Daleth. Sekarang hampir jam 5 sore. Sengaja aku datang pada jam ini, karena sebentar lagi juga waktunya Daleth selesai bekerja.
“Uh-huh. Adiknya sedang dirawat di rumah sakit di tempatku. Gejala Electromagnetic Hypersensitivity.”
“Ah, penyakit misterius itu rupanya.”
“Kamu tahu mengenai penyakit itu?”
“Sedikit. Seingatku senpai pernah meneliti mengenai hal itu.”
Jadi itu sebabnya anak perempuan itu dirawat di rumah sakit Takamagahara. Meski belum pasti, tapi onee-chan sedang berusaha menemukan solusi terbaik untuk penyembuhan penyakit tersebut.
“Kembali ke masalah Tsuranagi-kun. Apa kamu tahu sesuatu tentangnya?”
“Hmm…tidak banyak yang bisa kuberitahu. Tempat tinggalnyanya pun aku tidak tahu. Yang jelas sudah empat bulan terakhir dia sering membeli choco croissant di sini, karena itulah aku jadi hafal wajahnya. Anehnya, selalu choco croissant, tidak pernah membeli yang lain.”
Seperti yang kumakan dan juga yang dibelinya kemarin. Hei, sejak 4 bulan yang lalu? Kebetulan belaka, atau…
“Baiklah, terima kasih informasinya. Aku mohon pamit.”
Cahaya jingga mewarnai seluruh pemandangan yang kulalui saat berjalan pulang. Sepertinya aku harus mempercepat laju jalanku, agar sampai di rumah sebelum gelap. Ditambah lagi sekarang onee-chan tidak ada di rumah dan baru pulang besok malam.
Sesosok anak perempuan tertangkap pandanganku, mengendap-endap di pinggir tangga kuil. Hei, bukankah itu anak perempuan yang kemarin?
“Halo.”
“Waaaa…!!”, teriaknya sambil membalikkan badan ke arahku.
“Kamu ada keperluan dengan kuil ini?”
“Err…umm…tidak kok. A-Aku hanya…”
Tunggu. Telingaku menangkap suara langkah kaki. Kecil, sepertinya anak-anak. Aku memindai sekitarku dengan cepat dan mendapati kalau anak laki-laki itu, Tsuranagi-kun, berjalan ke arah kuil. Masih jauh, sehingga dia belum melihatku ataupun anak yang bersamaku ini, Sakuya-chan.
“Namamu Sakuya-chan, benar begitu?”
“Uh-huh. Aku sudah memperkenal--- whaaa!!”
Langsung saja kuangkat tubuh Sakuya-chan. Aku ingin bersembunyi sesaat dan menyergap Tsuranagi-kun saat dia melewati kuil. Hei, kenapa anak ini…ringan sekali? Bukan, bukan. Lebih tepat kalau kukatakan menggendongnya tidak ada bedanya dengan mengangkat selembar kertas. Ah, tapi itu tidak penting sekarang. Segera saja kugendong Sakuya-chan dan menaiki tangga. Langkah itu makin dekat, dan…dia menapakkan kakinya perlahan menaiki anak tangga. Dia ingin naik?
“Kita sembunyi di dalam.”
“E-Eh?! Nee-chan…tidak apa-apa ya sembunyi di dalam?”
“Tenang dulu untuk sekarang. Anak yang kemarin menabrakmu sekarang sedang menuju ke sini.”
Wajah Sakuya-chan terlihat bingung sekaligus takut. Mungkin dia tidak mengira kalau aku punya kunci tempat ini.
Sebelum Tsuranagi-kun mencapai halaman utama kuil, aku dan Sakuya-chan sudah berada di dalam rumah sambil mengamati ke luar dari celah pintu.
“Nee-chan…namamu siapa? Aku sudah memberitahu namaku kemarin, jadi sekarang giliran nee-chan.”, tanyanya.
“Azrael.”
“Azura…Azuraeru…aaahhh!! Susah sekali sih!! Azu nee-chan saja bagaimana?”
“Ya, begitu juga boleh.”
“Azu nee-chan tinggal di sini?”
“Benar. Aku tinggal bersama satu orang lagi. Tapi dia tidak pulang hari ini, sedang ada urusan.”
Entah kenapa Sakuya-chan terlihat lega tepat begitu aku mengatakan ‘satu orang lagi’.
“Berarti dia belum pindah ya…syukurlah.”
“Sakuya-chan…!! Tundukkan lagi kepalamu, jangan sampai dia bisa melihat wajahmu!”, sambil kuturunkan kepalanya dengan tangan.
Tsuranagi-kun terus berjalan menuju haiden dan berhenti tepat di depan kotak tempat memasukkan uang. Dia memasukkan sekeping uang logam, membunyikan lonceng yang ada di atas kotak dengan menarik tali yang tersambung ke lonceng, membungkuk dua kali, menepukkan kedua tangannya dua kali, lalu membungkuk sekali lagi.
Dengan Sakuya-chan berpegangan padaku, aku berjalan perlahan di belakangnya hingga jarak sekitar 6 meter.
“K-Kalian…apa kalian ingin balas dendam atas yang kemarin?!”, seru Tsuranagi-kun begitu membalikkan badannya.
Kuabaikan pertanyaannya itu, lalu balik bertanya, “Berdoa untuk Tsuranami-san?”
Mulutnya menggumam dengan suara yang amat pelan, “Kenapa nii-san yang di toko roti itu menyarankan untuk pergi ke sini?!”
“Bagaimana kalau sekali-sekali kamu mengunjungi Tsuranami-san lagi? Aku baru saja memeriksanya tadi pagi, dan…dia terlihat kesepian.”, aku melanjutkan.
Sekarang dia tidak menjawab. Malah Sakuya-chan yang berkomentar.
“Ng…Azu nee-chan, Tsuranami-san itu siapa?”
“Adik perempuannya, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Sejak empat bulan yang lalu dia tidak lagi ke sana, jadi aku ingin supaya dia kembali menjenguk adiknya seperti yang rajin dilakukannya dulu.”
“Eh…?”
Ekspresi Sakuya-chan berubah total. Dari bingung karena tidak mengerti mengenai masalah ini, berubah menjadi terlihat emosional. Tidak sampai 1 detik, tangan kanannya dikepalkan dengan sekuat tenaga dan kepalanya sedikit ditundukkan. Dengan langkah yang tegas, Sakuya-chan berjalan menuju ke arah Tsuranagi-kun, dan…
*PLAAAAKK!!~
Sebuah tamparan dari Sakuya-chan mendarat di pipi kiri Tsuranagi-kun.
“H-Hei!! Apa-apaan kamu hah?! Kalau ingin balas dendam atas yang kemarin, tidak perlu sampai me---“
“Kenapa…”, tutur Sakuya-chan dengan serius, memotong kata-kata Tsuranagi-kun.
Sebenarnya aku ingin menghentikan mereka karena takut akan terjadi perkelahian. Namun sebelum aku melangkah…
“Kenapa kamu meninggalkan adikmu begitu saja??!!!”, teriak Sakuya-chan, memecah suasana sepi di halaman kuil.
“Tidak usah sok tahu!! Kamu tidak tahu apa-apa tentang adikku!!”
“Aku memang tidak tahu apapun. Tapi bagaimana bisa kamu begitu tega tidak menjenguknya lagi?! Apalagi Azu nee-chan bilang, dulu kamu rajin mengunjunginya...apa salah yang diperbuat adikmu, hah?!”
“Dia…dia sudah tidak dapat diselamatkan!! Dan menjauhi dirinya adalah cara terbaik supaya aku bisa merelakan kepergiannya jika hal itu terjadi!! Bahkan ayah dan ibu juga sudah menyerah…”
“Apa kamu mengerti rasanya kesepian?! Apa kamu mengerti rasanya ditinggalkan?! Meski dia harus menemui ajalnya dalam waktu dekat, yang dibutuhkannya sekarang adalah seseorang di sisinya!! Itu dapat membuatnya lebih tegar menghadapi kematian!! Apa kamu mengerti, hei anak egois??!!”
Tsuranagi-kun langsung tersentak dengan kata-kata itu. Perlahan air mata mengalir membasahi pipinya. Kakinya juga gemetar, lalu jatuh berlutut di tanah, masih dalam kondisi menangis.
“J-Jadi…s-selama ini adikku…”
Sepertinya ini saat yang tepat untukku mengintervensi.
“Yang bisa kutemukan di wajahnya hanyalah kesendirian, Tsuranagi-kun. Memang aku baru bertemu dengannya hari ini. Tapi aku tahu, dia hanya butuh seseorang yang dia sayangi di sisinya.”
Aku berhenti berkata-kata sejenak, mengambil nafas, dan mengatakan sesuatu yang hampir bisa dipastikan dapat mengubah pemikiran Tsuranagi-kun.
“Dan choco croissant yang selalu kamu beli empat bulan terakhir…adalah makanan kesukaan Tsuranami-san. Benar begitu?”
Yap, itu dia kesimpulan yang dapat kutarik begitu mendengar informasi dari Daleth. Jiwanya memang tidak kuat untuk melihat adiknya secara langsung, karena dia tahu sewaktu-waktu adiknya itu akan pergi untuk selamanya. Tapi…dia tidak pernah melupakan adiknya sendiri. Bukti nyatanya adalah choco croissant itu. Tidak mungkin seseorang tiba-tiba rutin membeli sesuatu selama 4 bulan berturut-turut tanpa alasan yang kuat.
Semua yang terjadi 4 bulan terakhir, kurasa sangat membebani pikirannya. Di satu sisi, dia tidak mau mengalami depresi jika kehilangan adiknya. Namun di sisi lain, dia tidak mau melupakan seseorang yang disayanginya.
“Namamu…Tsuranagi-kun?”, tanya Sakuya-chan, dijawab dengan sekali mengangguk. Sakuya-chan pun melanjutkan, “Maaf kalau tadi aku terlalu kasar. Aku hanya…emosi. Jadi, bagaimana kalau kamu mulai menjenguk adikmu lagi?”
Senyuman Sakuya-chan seperti obat bagi Tsuranagi-kun. Dia berusaha berhenti menangis, lalu menjawab, “Iya.”
“Akan kurahasiakan dulu hal ini dari Tsuranami-san. Sebagai kejutan, tentu saja.”
Tsuranagi-kun merespon kata-kataku itu dengan sekali mengangguk, sebuah anggukan yang tegas. Raut wajahnya menunjukkan keseriusannya dalam hal ini.
“Akhirnya, anak itu bisa diyakinkan. Terima kasih untuk bantuannya, Sakuya-chan.”, sambil kurebahkan diriku di teras kayu, dengan Sakuya-chan duduk di sebelah kiriku. Tsuranagi-kun sendiri sudah pulang setelah mengucapkan janjinya kalau akan mengunjungi adiknya besok.
“Ahaha…iya, sama-sama.”
“Tapi aku kagum denganmu. Bagaimana bisa kamu membuatnya sadar?”
“Aku pernah mengalami kejadian yang mirip, Azu nee-chan. Ng…tapi aku tidak bisa cerita sekarang. Tidak apa-apa kan?”
“Oke, tidak apa-apa jika memang kamu belum siap untuk menceritakannya. Bantuanmu tadi sudah lebih dari cukup untuk membuatku sangat berterima kasih.”
“Ya sudah kalau begitu. Aku pulang dulu ya, Azu nee-chan. Sebentar lagi gelap.”
Diapun pamit, dan kutemani hingga turun tangga. Sebelum dia berjalan pergi lebih jauh, dia membalikkan badannya dan berkata…
“Jaga onee-chan yah.”, diakhiri dengan sebuah senyuman yang lagi-lagi, entah sudah berapa kali aku melihatnya, amat sangat mirip dengan onee-chan. Kata-katanya tadi juga sepertinya tidak ditujukan padaku. Ah sudahlah, mungkin aku salah memahaminya.
Malam ini, onee-chan tidak akan pulang ke rumah hingga besok malam. Sehari lembur di rumah sakit, dan besok pagi akan ke sebuah universitas di Nishigyou. Hmm…sepertinya malam ini aku akan mengantarkan makanan untuknya. Jika sudah terlalu serius bekerja, onee-chan selalu lupa makan. Baiklah, jam setengah 8 nanti aku akan kembali ke rumah sakit.
Yang kusiapkan bukanlah satu set menu yang mewah. Sederhana saja, sebuah kotak bento berisi nasi, telur dadar, potongan daging sapi yang kumasak dengan sedikit saus teriyaki dan lada hitam, dan beberapa umeboshi. Untuk minum, kubuatkan teh hangat yang kutaruh dalam termos. Baiklah, saatnya menuju rumah sakit. Bangunan tempat onee-chan selalu berada letaknya terpisah, sebelah timur gedung utama. Mungkin karena itulah dia jarang bersosialisasi dengan pegawai rumah sakit lainnya.
Aroma yang tidak biasa tercium ketika aku berada makin dekat dengan ruangan tempat onee-chan berada. Bisa jadi bahan-bahan kimia yang biasa dipakai untuk eksperimen. Oh, lampu ruangannya menyala. Kubuka saja pintu ruangan.
“Onee-chan…? Halo?”, suara agak kukeraskan karena dia tidak terlihat dari pintu. Aku melangkah masuk untuk mencarinya.
Ruangan ini cukup besar, sekitar 80 meter persegi. Beberapa unit komputer, sebuah mesin yang tidak kuketahui fungsinya, serta beberapa perangkat laboratorium tertangkap mataku. Ada juga beberapa rak besi dan lemari. Walau besar, namun adanya barang-barang ini memberikan kesan sempit.
Oh, itu dia. Sedang…tiduran?
“Onee-chan.”
“Uh? Huh? Azrael-chan?”, sahutnya, terlihat lelah dan mengantuk. Padahal ini baru setengah 9 malam. Apa karena efek kelelahan yang diakumulasi selama beberapa hari terakhir?
“Kubawakan makanan untukmu. Pasti onee-chan belum makan.”
“Ahaha…iya. Maaf kalau merepotkan.”
Kuserahkan kotak bento itu padanya. Tanpa basa-basi, dia langsung menyantap habis seluruhnya. Ternyata dia memang sedang kelaparan.
“Ingat kondisi kesehatanmu sendiri¸ onee-chan. Aneh bagi seorang dokter dapat jatuh sakit karena kelalaiannya sendiri.”
“Iya, iya. Kamu ini lama-lama seperti ibu-ibu saja…”
“Bagaimana, sudah selesai?”
“Sudah, sudah. Terima kasih ya.”, jawabnya sambil menyerahkan kotak yang telah kosong.
Kutuangkan teh yang kubawa, lalu dia meminumnya perlahan. Menikmati teh hangat punya efek relaksasi, cocok untuk menenangkan pikiran saat bekerja.
“Jadi, besok onee-chan akan ke Nishigyou?”
“Iya, ada laporan yang harus kuserahkan.”
“Laporan mengenai apa?”
“Electromagnetic Hypersensitivity. Beberapa bulan ini aku stress karena hal itu…sudah lima kali aku gagal menemukan solusi penyembuhannya.”, jawabnya lesu, sambil menaruh kepala di atas meja.
“Oh, seperti yang diderita pasien di lantai tiga itu?”
“Nah, itu dia. Aku masih tidak mengerti bagaimana membuat kekebalan tubuh terhadap gelombang elektromagnetik.”
“Tapi asal-usul penyebabnya sudah onee-chan ketahui kan?”
“Uh-huh. Kelainan kromosomal.”, sambil mengangguk dua kali.
Tunggu. Aku punya ide…
“Bagaimana kalau onee-chan mengambil sampel DNA ku?”
“Eh? Maksudmu?”
“Tubuhku dibentuk dengan menggabungkan gen-gen terbaik yang ada di seluruh dunia. Siapa tahu dengan menggunakan DNA tubuhku, onee-chan bisa menemukan solusinya. Rambut, darah, potongan kuku, apapun itu, akan kuserahkan untuk sampel.”
“Hei…benar juga. Kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya?! Azrael-chan, terima kasih banyaaaaaakkkk…!!”, serunya sambil memelukku erat-erat.
Belum pernah kulihat raut wajah onee-chan yang begitu gembira seperti sekarang. Baguslah, sepertinya kesembuhan Tsuranami-san akan terwujud dalam waktu dekat.
Atau…tidak.
Esok siangnya, kondisi Tsuranami-san berubah kritis, lebih buruk dibanding beberapa kasus terakhir. Kondisi kesehatan penderita kelainan ini memang sering tidak stabil dengan alasan yang tidak jelas. Argh, bagaimana ini…Tsuranagi-kun juga baru akan datang nanti sore sepulang sekolah. Aku juga tidak mau usaha onee-chan menjadi sia-sia…
“O-Oh…suster yang kemarin ya…”, ujarnya lemas ketika menyadari aku sudah berada di sebelahnya untuk mengawasi ECG yang diletakkan di pojok ruangan, sangat jauh dari tempatnya berbaring.
“Bertahanlah, Tsuranami-san. Aku…belum menepati janjiku yang kemarin.”, kugenggam tangan kanannya dengan lembut.
“Ahaha…tidak apa-apa kok.”, dia berusaha tersenyum. “Oh iya, n-nama suster siapa…?”
“Azrael.”
“A-Azura…duh…kok susah sekali sih.”
“Azu nee-chan, jika kamu mau.”
“Ah, boleh…jadi tidak begitu sulit kuucapkan. N-Nama itu juga sepertinya pernah kudengar…kalau t-tidak salah, itu nama seorang malaikat pencabut nyawa…”
“Tapi aku tidak ingin mencabut nyawamu, Tsuranami-san. Aku ingin kamu pulih.”
“Nami-chan s-saja…tidak usah panjang-panjang begitu. T-Tapi…sepertinya sudah tidak lama lagi yah…”, air mata mengalir membasahi kedua pipinya.
Seketika itu juga, detak jantungnya melemah hingga kurang dari 40 detakan per menit, berdasarkan hasil pembacaan ECG.
Ah, sial!! Kenapa hal ini harus terjadi sekarang?! Hei…kenapa dadaku merasa sesak begini? Bukan suatu penyakit, namun…depresi. Ya, mungkin inilah yang juga dirasakan onee-chan karena kegagalannya. Tapi aku tidak boleh menyerah, aku harus terus berharap. Setidaknya, setidaknya…hingga Tsuranagi-kun datang…
Tiba-tiba pintu kamar ini dibuka. Itu…Tsuranagi-kun?!
“Tsuranagi-kun? Bagaimana dengan sekolah---“
Kata-kataku langsung dipotong.
“Suster yang bersamamu di toko roti itu menelepon ke sekolahku. Untunglah guruku mengijinkanku pulang lebih dulu…”
“O-Onii-chan…? B-Benar itu dirimu…?”, sahut Nami-chan dengan pelan.
“N-Nami-chan!! Bertahanlah…!! Aku membawakan makanan kesukaanmu, choco croissant…bukankah kita sudah berjanji akan memakannya bersama kalau kamu sudah sembuh?! Jadi…tolonglah…”, air mata mengalir di pipinya.
Aku memutuskan untuk keluar ruangan agar tidak mengganggu mereka. Begitu berada di depan pintu yang sudah kututup, kakiku langsung terasa lemas. Aku tidak sanggup lagi berdiri, dan terduduk sambil bersandar pada pintu. Tubuhku mendadak lesu. Sesuatu yang dinamakan ‘depresi’ ini membuatku tidak dapat berpikir hal yang lain lagi. Yang terbayang dalam pikiranku hanyalah bagaimana perasaan onee-chan nanti jika Nami-chan…
Mataku terasa panas. Ada sesuatu yang akan keluar. Air mata…
Kali ini aku benar-benar sadar akan air mata yang mengalir membasahi pipiku. Aku juga tahu betul kenapa alasannya. Rasa depresi ini membuatku sedih. Ya, sedih.
Selama beberapa saat aku hanya terduduk dan menangis. Aku terus berharap agar keajaiban mengubah semuanya. Aku hanya ingin melihat semuanya bahagia…
Musim semipun berlalu, digantikan oleh teriknya musim panas. Bulan Juni sudah memasuki minggu kedua.
“Mau semangka?”, kata onee-chan sambil membawa sebuah piring dengan 4 potong semangka di atasnya. Aku sedang duduk-duduk di teras, disinari oleh matahari yang beranjak siang.
“Ah, terima kasih.”, jawabku. Kedua anak yang bersamaku juga mengatakan hal yang sama.
“Bagaimana? Sudah baikan?”, tanya onee-chan pada salah satunya, yaitu…
…Nami-chan.
Hari itu, ternyata kondisi Nami-chan membaik dengan kedatangan Tsuranagi, maksudku, Nagi-kun. Ya, sejak kejadian itu aku memanggil dia seperti itu. Walau selama dua minggu setelahnya kondisi Nami-chan masih tidak stabil, namun tidaklah begitu buruk. Dia dapat bertahan hingga onee-chan berhasil menemukan suntikan hormonal untuk menstimulasi sel-sel tubuh Nami-chan, mengurangi sensitifitasnya terhadap medan elektromagnetik.
“Sudah, sensei. Sekali lagi terima kasih.”, dijawabnya sambil menunduk satu kali, terlihat sangat hormat.
“Ahaha…tidak perlu sampai begitu, Nami-chan. Aku juga harus berterima kasih karena kamu sudah menjadi bukti pertama penyembuhan penyakit anehmu itu.”
“Emm…ngomong-ngomong, anak perempuan yang waktu itu ke mana?”, tiba-tiba Nagi-kun bertanya.
“Sakuya-chan, maksudmu? Sejak hari itu aku juga tidak pernah melihatnya. Padahal kalau bukan karena dia, kamu pasti tidak akan pernah mau ke rumah sakit lagi.”
“Sakuya-chan? Hei, onii-chan, siapa anak perempuan itu?”, wajah Nami-chan berubah. Cemburu…mungkin?
“Err…ng…b-bukan siapa-siapa kok.”, jawabnya, tapi tidak menatap ke arah Nami-chan.
“Jadi, Sakuya-chan sempat bertemu denganmu?”, bisik onee-chan, selagi kakak beradik itu sibuk dengan urusannya. Hmm, onee-chan ternyata mengenal Sakuya-chan juga rupanya.
“Umm, iya. Memangnya kenapa?”, kutanya balik.
“Huh…anak itu. Ya sudah, nanti malam akan kuceritakan siapa dia sebenarnya. Tapi jangan kaget ya.”, sambil mengedipkan sebelah mata padaku.
Kembali aku menatap mereka berdua. Tanpa sadar aku berkomentar…
“Sebuah keluarga memang menakjubkan.”
Tiga orang yang berada di sekitarku ini terdiam sejenak sambil melihat ke arahku, bahkan telingaku bisa mendengar semilir angin yang lembut karena suasana yang mendadak hening.
“Hei, bukankah aku ini kakakmu sekarang?”, sahut onee-chan sambil menaruh tangannya di kepalaku.
“Ahaha…iya, Azu nee-chan ini aneh-aneh saja sih.”, sekarang Nami-chan yang menyahut.
“Mungkin dia terlalu banyak terkena udara panas. Jadinya begitu deh.”, komentar Nagi-kun.
“Heh, tidak sopan, dasar anak kecil…”, kucubit pipi anak laki-laki itu.
Perasaanku benar-benar lega sekarang. Untuk merayakan kesembuhan Nami-chan, kutraktir mereka berdua. Tentu saja, choco croissant di Inari Bakery.
Share This Thread