==============================
Phase 9: It’s Really a Heaven After All
==============================
November.
Hampir 2 bulan berlalu sejak kepergian Daleth dan Resha. Oh, tapi aku tidak kehilangan kontak sama sekali dengan mereka. Terkadang aku masih menerima e-mail dari Daleth ---sebelumnya aku sudah memberitahukan alamat e-mailku---, mengatakan posisi mereka berada. Sebentar di Qing, tiga minggu lebih di Bharata, dan beberapa hari di Parthia. Info tambahan, dua kali Daleth nyaris mati. Seandainya saja aku bersama mereka…aku akan membantu mereka semampuku.
Kabar terakhir, beberapa waktu lalu di Helenos mereka mengalami sebuah kejadian luar biasa. Sekarang mereka berada di Thracia, negara di barat laut Helenos. Beberapa foto ditaruh sebagai attachment, berisi foto-foto kota Constantinople dan daerah-daerah di Thracia yang mereka kunjungi. Mereka terlihat gembira di foto-foto ini. Baguslah, setidaknya aku tahu sekarang mereka baik-baik saja.
Kotak itu juga…belum kubuka hingga sekarang.
Sejak aku bekerja di Inari Bakery setiap hari minggu ---dan hari kerja jika kebetulan aku tidak ada shift---, aku belum menemukan apapun yang bisa menjadi petunjuk, kapan waktu yang tepat untuk memberikan kotak itu.
Komugi Hata. Itulah nama tenchou Inari Bakery.
Dia seorang pria berumur 48 tahun dengan perawakan yang tidak begitu spesial. Tinggi sekitar 165 sentimeter, rambut hitam sekitar 7-8 sentimeter, dan kumis tipis di bawah hidung. Janggutnya bersih, baru saja dicukur 2 hari lalu. Beberapa kerutan nampak di wajahnya, pertanda kalau dia memang sudah berpengalaman mengarungi hidup.
Aku tidaklah seperti Daleth yang bisa memasak sejak awal. Jadi, aku harus belajar untuk dapat membantu Komugi-san membuat roti, pastry, cake, dan segala jenis makanan berbahan dasar tepung terigu lainnya yang dijual di sini. Cukup mudah, yang penting takaran bahan, waktu, serta suhu saat memanggangnya tepat. Yah, walau aku lebih sering ditempatkan di meja kasir. Aku membantu Komugi-san di dapur hanya jika suasana toko tidak ramai.
Yang jelas aku merasa ada satu perubahan di toko ini. Tidak begitu terlihat pada hari biasa, namun selalu kuamati pada hari Minggu.
Sebelum aku bekerja di sini, di hari Minggu pelanggan yang datang sebagian besar adalah wanita, mulai dari usia sekolah hingga ibu rumah tangga. Beberapa kali aku ke tempat ini pada musim semi dan musim panas, selalu seperti itu. Namun sekarang persentase pelanggan pria menjadi lebih besar di hari Minggu. Bahkan beberapa dari mereka menatapku dengan tatapan yang aneh, seakan ingin memakanku. Hei, aku bukan roti atau semacamnya.
Untunglah, jika Komugi-san keluar dari dapur dan melihat pelanggan yang seperti itu, sorot matanya langsung berubah. Menatap pelanggan itu dengan tajam.
“Huh…orang itu. Melihat perempuan menggemaskan sedikit saja langsung bernafsu.”, sahut Komugi-san, ketika baru saja melirik tajam salah satu pengunjung pria yang terus menatapku dari tempat duduknya, beberapa meter di sebelah kiri depan meja kasir. Orang itupun langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Untuk yang satu itu, aku masih belum mengerti. Memangnya apa yang menarik dariku? Secara postur sudah jelas aku lebih kecil dibanding orang lain. Lekuk tubuh? Apalagi. Menurutku onee-chan dan Chiyuko-san jauh lebih menarik. Hingga sekarangpun aku masih belum tahu apa definisi pasti dari “imut” atau “menggemaskan”. Lebih mudah mengatakan seseorang “cantik” atau “tampan” karena aku hanya perlu melihat simetri wajah dan kondisi kulitnya, ditambah model rambut yang kira-kira cocok.
“Azrael-san, orang itu tidak berbuat yang aneh-aneh terhadapmu kan?”
“Tidak, Komugi-san. Dia hanya terus melihat ke sini saja.”
“Syukurlah. Tapi kamu patut sedikit bangga. Itu artinya kamu menarik di mata para lelaki. Ya sudah, aku kembali ke dapur dulu.”
Aku tidak tahu apa alasannya, tapi beberapa lama setelah aku bekerja di sini, Komugi-san perlahan menunjukkan sifat seorang ayah. Aku merasa Komugi-san selalu memperhatikanku, seperti seorang ayah yang memberikan perhatian pada anaknya sendiri. Walau sebenarnya perhatiannya yang berlebihan itu terkadang membuatku curiga. Apa aku harus berhati-hati juga terhadapnya…?
“Roti lagi?”, tanya onee-chan begitu aku kembali ke rumah, saat melihat tas kertas bertuliskan Inari Bakery yang kubawa.
“Uh-huh. Aku tidak tahu kenapa dia sering sekali memberikan sisa stok roti padaku…”
“Lama-lama aku juga merasa tidak enak pada Komugi-san. Pernah kamu coba menolak tawarannya?”
“Pernah, hingga tiga kali malah. Tapi dia terus memaksa…”
“Dia tidak pernah berbuat yang aneh-aneh padamu kan?”, nada bicara onee-chan terdengar khawatir.
“Sejauh ini, tidak. Malah dia sering melindungiku kalau ada pelanggan pria yang menatapku dengan aneh, atau yang berusaha memegangku.”
“Hmm…atau mungkin ada hubungannya dengan kotak yang diberikan Daleth waktu itu? Kamu sudah membukanya?”
“Belum, onee-chan. Aku masih merasa belum waktunya aku menengok isinya. Jika benar kotak itu ada hubungannya dengan masalah yang dialami Komugi-san, aku…belum bisa melihat masalah itu sama sekali. Tidak ada petunjuk.”
“Aku juga kurang ahli menganalisis kasus seperti ini. Tapi ya sudahlah, yang penting dia tidak pernah berusaha melakukan sesuatu yang buruk terhadapmu.”
“Benar juga ya. Baiklah, ini juga ada muffin coklat kesukaanmu, onee-chan.”
Begitu mendengar “muffin coklat”, sorot matanya berubah. Dalam sekejap, onee-chan langsung membalas, “Jangan khawatir, Azrael-chan. Dia pasti orang baik.”
“Ternyata onee-chan ini mudah sekali disogok makanan…”
“Ahaha…yah, mau bagaimana lagi. Sejak otou-san meninggal, aku tidak pernah makan muffin coklat lagi. Untunglah Inari Bakery buka sekitar setahun yang lalu. Aku jadi sering membelinya di sana. ”
“Uh? Ayahmu? Dia bisa membuat kue?”
“Yep, benar. Walau kemampuannya tidaklah seperti chef kelas internasional, namun orang-orang rumah sakit selalu memuji buatannya.”
“Dia juga bekerja di rumah sakit?”
“Yep, sebagai dokter spesialis saraf.”
Wow. Bidang kedokteran yang tergolong sulit. Mungkin kecerdasannya terwarisi langsung oleh onee-chan. Wajar saja, mereka kan ayah dan anak.
Selesai berendam dengan air hangat dan kembali berpakaian, aku menatap kotak kardus yang diberikan Daleth. Tergeletak di atas meja di kamarku. Tidak disegel, tidak diisolasi. Aku dapat membukanya dengan mudah jika aku mau.
Tidak, tidak. Aku merasa belum mendapatkan petunjuk apapun, sehingga aku belum boleh membukanya. Tapi…bagaimana jika di dalamnya ada petunjuk mengenai apa yang terjadi pada Komugi-san?
Kuberanikan diri melangkah ke meja. Perlahan tanganku menyentuh kotak kardus berwarna coklat muda itu. Maaf Daleth, sepertinya aku harus membukanya sekarang. Jika benar Komugi-san sedang mengalami masalah, maka hal itu harus cepat dibereskan. Dan untuk itu…
Eh? Setumpuk gambar?
Ya, itulah yang kulihat di dalam kotak. Ada tumpukan kertas berukuran A4, jumlahnya sekitar 40 lembar. Semuanya tidaklah putih polos. Di setiap lembaran, ada gambar-gambar yang bermacam-macam. Entah pemandangan alam, perkotaan, manusia, dan…hei? Satu lembar kertas memiliki gambar wajah Komugi-san!! Kerutan-kerutan di wajahnya terlihat lebih sedikit, sepertinya digambar saat Komugi-san berusia 10 tahun lebih muda.
Satu hal lagi yang dapat kutangkap dari gambar-gambar ini. Dari kehalusan pewarnaan pensil warna dan guratan-guratan garis yang ada, aku tahu pembuatnya pastilah seorang profesional. Tapi siapa? Dan yang lebih penting lagi, apa hubungan gambar-gambar ini dengan masalah yang dialami Komugi-san?
Tanpa pikir panjang, kutunjukkan seluruh lembaran-lembaran gambar itu pada onee-chan.
“Hei, bukankah Daleth memintamu untuk tidak membukanya hingga saat yang tepat?”
“Maaf, onee-chan. Tapi aku tidak tahan. Komugi-san pastilah punya suatu masalah. Jika dibiarkan lebih lama…”
Dia hanya sekali menghela nafas, tersenyum, lalu berkata, “Ya sudah, aku tidak akan marah.”
Satu persatu lembaran kertas diamati baik-baik olehnya. Setelah beberapa lembar, ada satu helai kertas yang jatuh. Berbeda sendiri. Sepertinya kertas dari buku tulis atau semacamnya. Pantas saja ketika aku memindai semua kertas itu dengan cepat, yang satu ini terlewatkan. Ada kalimat yang ditulis di situ.
Hanya ini yang bisa kutemukan dari yang digambar oleh anak perempuan tenchou beberapa tahun yang lalu. Sisanya kuserahkan padamu, Azrael. Oh, dan juga senpai. Aku yakin pasti kalian berdua akan bekerjasama dalam hal ini. Daleth.
“Anak? Jadi ini digambar oleh anak perempuan Komugi-san?”, ujar onee-chan sambil menaruh tangannya di dagu setelah membaca tulisan itu.
“Siapapun dia, pastilah sangat ahli dalam menggambar.”
“Hmm, bisa jadi anaknya adalah seorang pelukis. Setidaknya menggeluti dunia seni visual.”
“Onee-chan kenal seseorang yang ahli menggambar atau melukis?”
“Sayangnya…tidak. Aku tidak pernah bergaul dengan orang-orang dari komunitas seni.”
“Sulit juga kalau begitu. Tapi sekarang aku mengerti kenapa dia begitu baik padaku. Bisa jadi dia teringat anak perempuannya.”
“Benar juga. Walau kita sudah tahu alasan tentang itu, kita tetap belum tahu siapa yang menggambar semua ini. Daleth juga tidak meninggalkan petunjuk lain...”
Kuambil kertas itu, membolak-baliknya ke segala arah. Siapa tahu Daleth menuliskan huruf-huruf tersembunyi atau semacamnya. Ternyata tidak. Hanya ada huruf-huruf---
Tunggu. Kertas ini…ada yang aneh. Di beberapa titik, tekstur kertasnya berbeda. Apa mungkin dia menuliskan sesuatu dengan zat yang tidak terlihat oleh mata?
Bergegas aku berjalan ke dapur, ke kompor. Kunyalakan api kecil lalu menaruh kertasnya beberapa belas sentimeter di atasnya. Tentu saja untuk mencegah kertasnya agar tidak terbakar, namun tetap terkena panas dari apinya.
“Ah…aku mengerti. Ada tulisan rahasia, benar begitu?”, ujar onee-chan yang sejak tadi mengikutiku.
“Uh-huh. Kemungkinan Daleth menggunakan campuran air dan baking soda. Toko roti pasti selalu punya persediaan baking soda.”
Perlahan muncul tulisan berwarna coklat di bagian bawah kertas, tepat di bawah tulisan dari tinta hitam. Yang muncul adalah huruf kanji untuk surga, ten, dan lapangan, ta. Ada satu kanji lagi untuk suci, sei. Kedua kanji pertama ditulis berdampingan, sementara yang terakhir ditulis di bawahnya.
Nama orang? Nama keluarga? Atau nama tempat? Aku masih belum bisa memahami petunjuk ini. Jika nama orang atau nama keluarga, akan lebih sulit mencarinya karena aku tidak mengenal siapapun orang yang memiliki ketiga huruf kanji ini, baik pada namanya maupun nama keluarganya. Onee-chan juga masih kebingungan. Baiklah, kutinggalkan dulu untuk hari ini. Besok aku harus kembali bekerja di rumah sakit.
Di rumah sakit, aku mencoba mencari berkas-berkas pasien yang pernah berada di sini dalam 4 hingga 5 bulan terakhir. Siapa tahu di antara mereka ada yang berprofesi sebagai pelukis atau semacamnya. Ada dua orang yang memiliki nama dengan minimal dua dari ketiga huruf kanji tersebut, namun keduanya bukan pelukis apalagi orang seni. Ah, aku bingung. Aku juga…ingin memberitahukan hal ini secepatnya pada Komugi-san. Baiklah, nanti saat jam istirahat aku akan mampir sebentar ke Inari Bakery.
Begitu kubuka pintu Inari Bakery…
“S-Seijinrei-sensei…?”, kataku setelah melihat Seijinrei-sensei duduk di salah satu meja dekat jendela.
Nada bicaraku terbata-bata karena terkejut. Aku tidak menyangka kalau Seijinrei-sensei akan berada di tempat ini. Gawat. Bisa-bisa aku dikira bolos kerja atau semacamnya.
“Oh, Azrael-san? Sedang istirahat juga?”, tanyanya dengan lembut.
Sebelum aku sempat menjawab, Komugi-san keluar dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi. Dia malah menawariku kopi juga, dan mengatakan untuk bergabung di meja. Karena aku tidak ingin merepotkan dirinya ---tapi juga tidak mampu menolak---, aku memutuskan untuk membuat sendiri punyaku.
“M-Maaf, Seijinrei-sensei. Saya bukan bermaksud untuk bolos---“
“Hahaha…tidak perlu khawatir, Azrael-san. Sekarang jam istirahat. Jadi wajar saja kalau kamu berada di sini. Hanya para dokter dan petugas ruang ICU yang harus terus berada di tempat.”
“Benar sekali, Azrael-san. Bannou-san memang terkadang ke sini sejak toko ini buka setahun yang lalu.”, Komugi-san menimpali.
“Anda berdua sudah saling kenal?”
“Sebenarnya kami ini teman lama, kira-kira sejak sekolah menengah atas dulu. Namun Hata-san menghilang cukup lama sejak sepuluh tahun yang lalu, sampai akhirnya saya menemukannya di tempat ini.”, ujar Seijinrei-sensei.
Tunggu. Ini bisa jadi kesempatan bagus untuk bertanya mengenai gambar-gambar itu. Jika benar mereka berdua sudah mengenal sejak puluhan tahun lalu, pastilah aku akan mendapat petunjuk.
“Ng…boleh saya bertanya sesuatu pada anda berdua?”
“Tanyakan saja.”, jawab Komugi-san.
“Apakah di antara anda berdua ada yang ahli dalam menggambar? Atau mungkin ada teman lama yang ahli dalam hal itu?”
Mereka berdua saling berpandangan selama 2 detik. Dari raut wajah mereka, aku bisa tahu kalau pertanyaanku itu tidak bisa dijawab oleh mereka.
“Maksudmu?”, kali ini Seijinrei-sensei yang bertanya.
“Saya punya beberapa gambar di rumah, sepertinya buatan seorang ahli. Dan…saya menemukan kalau satu gambar adalah gambar wajah Komugi-san, terlihat lebih muda. Jadi saya berpikiran kalau---“
“Dari mana kamu mendapatkan itu semua?”, Komugi-san memotong.
“Dari pegawaimu yang dulu. Daleth.”
“Ah….dia rupanya.”
Komugi-san mulai menceritakan semuanya. Benar ternyata dugaanku dan onee-chan, yang menggambar semua itu adalah anak perempuan Komugi-san sendiri. Namun sejak 10 tahun yang lalu, dia menghilang. Penyebabnya satu hal: Komugi-san tidak menyetujui anak perempuannya itu yang ingin serius di bidang menggambar. Setelah lulus sekolah menengah pertama, anak perempuannya itu meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali. Dia pernah menceritakan hal ini pada Daleth sekitar 5 bulan yang lalu.
“Mungkin sekarang usianya sama dengan anak muda itu.”
Kata-katanya pasti merujuk pada Daleth.
“Dan kenapa dia memberikan semua itu padamu?”, tanya Komugi-san.
“Saya juga tidak tahu. Malah saya rasa dia lebih ahli dalam menyelesaikan ini semua. Kudengar dulu dia bekerja di kepolisian.”
“Begitu ya…”, ujarnya sambil mengalihkan pandangan ke arah langit.
“Sudah, Hata-san. Jangan terlalu murung begitu. Aku bisa membantumu kalau mau.”, kata Seijinrei-sensei, lalu berbalik menatapku, “Azrael-san, apa dia meninggalkan petunjuk atau semacamnya? Maksudku, orang yang kamu sebut dengan Daleth itu.”
“Oh, ya ada. Selain gambar, dia meninggalkan petunjuk berupa tiga huruf kanji. Ten, ta, dan sei. Dua kanji pertama ditulis berdampingan, sementara yang ketiga terpisah sendiri di bawah.”
Mendadak kepala rumah sakit itu tersenyum, mengindikasikan kalau dia mengetahui sesuatu.
“Kemungkinan besar dia ada di rumah sakit yang kupimpin.”
“Bagaimana…sensei bisa tahu?”, tanyaku.
“Mudah, Azrael-san. Kamu tahu arti nama rumah sakit tempatmu bekerja?”
“Plains of High Heaven. Benar begitu?”
“Orang yang kamu sebut dengan Daleth itu menuliskan dua kanji pertama secara berdampingan, karena keduanya adalah satu kesatuan. Entah kenapa dia menulis dengan huruf kanji yang berbeda dengan kanji hara, namun setidaknya kanji ta memiliki arti yang mirip. Ditambah lagi jarang ada nama, entah tempat entah orang, yang menggunakan kedua huruf kanji itu secara bersamaan.”
Masuk akal. Dua kanji terakhir yang membentuk kata Takamagahara memang berarti surga, dan lahan atau lapangan.
“Sementara huruf kanji sei yang ditulisnya merujuk pada orang yang membuat gambar-gambar itu. Jelas saya tidak termasuk, karena orangnya haruslah perempuan. Lagipula huruf yang membentuk nama saya hanya terdengar sama, tetapi berbeda penulisan.”
“Tapi saya sudah memeriksa semua berkas pasien di rumah sakit…dan tidak ada satupun yang berprofesi sebagai pelukis atau semacamnya.”
“Bagaimana kalau…pegawai?”
Aliran listrik di otakku langsung bereaksi, seakan ada bunyi *ting* di dalamnya.
“Dengan kata lain, ada pegawai rumah sakit yang ahli menggambar?”
“Kemungkinan besar begitu, Azrael-san. Mungkin selama ini dia tidak menunjukkan kemampuannya pada orang lain sehingga tidak ada yang tahu, bahkan saya juga tidak.”
Mata Komugi-san terlihat berkaca-kaca mendengar perbincanganku dan Seijinrei-sensei. Pastilah dia tidak menyangka kalau anaknya akan ditemukan sebentar lagi.
“Azrael-san, Bannou-san, terima kasih banyak.”, ujarnya sambil menundukkan kepala pada kami.
“T-Tidak usah begitu, Komugi-san. Jika Daleth tidak meninggalkan apapun pada saya, saya juga tidak akan bisa memecahkan ini semua.”
“Benar, Hata-san. Sepertinya pegawaimu yang sebelumnya itu benar-benar khawatir padamu.”, Seijinrei-sensei ikut menjawab.
“Azrael-san, sepertinya kamu sudah kenal baik dengan Daleth-san, benar begitu?”, tanya Komugi-san.
“Uh-huh. Dia memang orang baik. Jika bukan karenanya, mungkin saya tidak akan menjadi seperti sekarang.”
“Yang saya tidak mengerti, kenapa dia meninggalkan semua petunjuk ini padamu ya?”, sahut Seijinrei-sensei.
“Itu juga yang ingin saya ketahui. Dengan kemampuannya, seharusnya dia bisa menyelesaikan ini semua sendirian. Namun…dia ingin saya belajar sesuatu dari kasus ini.”
“Ah…jadi begitu.”, pandangan Seijinrei-sensei beralih ke arah jam di dinding yang berhadapan dengannya, lalu berkomentar, “Oh, sebentar lagi jam istirahat akan selesai. Azrael-san, saatnya kembali ke rumah sakit. Supaya cepat…kamu boleh menumpang mobil saya.”
Baru saja aku ingin membayar ---karena aku bukan pegawai toko hari ini---, Seijinrei-sensei langsung menimpali, “Jangan khawatir, saya yang bayar ini semua.”
Sebenarnya aku tidak perlu memeriksa berkas-berkas data pegawai rumah sakit, karena aku sudah tahu siapa yang hampir bisa dipastikan adalah orang yang dimaksud. Aku hanya perlu memancingnya untuk menggambar, lalu mencocokkan kemiripannya dengan gambar-gambar yang ada padaku. Dan satu-satunya pegawai perempuan di rumah sakit ini dengan huruf kanji sei entah pada namanya ataupun nama keluarganya adalah…
…Kiyotama Chiyuko, teman pertamaku di rumah sakit.
Tentu saja aku tidak boleh terlalu membuatnya curiga, dan aku sudah tahu caranya. Seijinrei-sensei dan onee-chan sudah kuberitahu mengenai hipotesisku tentang pembuat gambar-gambar ini, Chiyuko-san.
Esok harinya, rencana kujalankan. Berbekal beberapa lembar kertas kosong, pensil, dan penghapus, aku akan mencoba menggambar di depannya. Berhubung sekarang adalah giliranku dan Chiyuko-san untuk berada di meja resepsionis, rencana bisa kujalankan kapan saja.
“Wow. Setelah bermain gitar, kamu juga ingin bisa menggambar?”, tanyanya saat melihatku mulai menggerakkan pensil di atas kertas, menggambar kerangkanya.
“Uh-huh. Kemarin aku baru melihat beberapa gambar yang bagus, dan aku ingin bisa membuat yang seperti itu.”
“Kamu ini pintar, sebentar saja pasti juga sudah bisa.”
“Ng…tapi tanganku belum terbiasa. Ditambah lagi contoh yang kulihat hanya dari televisi, tidak sempat kuingat persis bagaimana style menggambarnya.”
“Setiap orang punya style menggambarnya masing-masing, Azu-chan.”
“Tapi setidaknya ada dasar yang harus dikuasai kan?”
“Hmm...ya, kamu benar. Mulailah dengan melakukan sketsa dulu. Tidak perlu langsung ingin mewarnainya.”
“Sketsa? Maksudmu yang hanya dengan pensil biasa begini?”
“Yap, tepat sekali.”, ujarnya, lalu mengambil sebuah pensil 2B lain yang berada di atas meja. Diapun mengambil selembar kertas dariku dan mengatakan, “Proporsinya juga harus kamu pertimbangkan. Kamu sudah belajar anatomi tubuh kan?”
“Tentu saja sudah. Pertanyaan ujian masuk waktu itu juga ada beberapa tentang anatomi.”
“Bagus. Kalau kamu sudah mengerti perbandingannya, mulailah membuat kerangkanya. Seperti ini.”
Tangan Chiyuko-san terlihat mahir sekali, membuat pensil yang dipegangnya seakan menari bersama gerakannya. Tidak sampai 3 menit, dasar kerangkanya sudah jadi dengan perbandingan yang tepat. Luar biasa. Sekarang hanya tinggal menunggu dia menyelesaikan gambarnya itu.
Hampir setengah jam berlalu, dan sekarang dia hanya perlu menyempurnakan shading pada titik-titik tertentu. Yang digambarnya mirip denganku. Atau itu memang gambar diriku ya? Begitu gambarnya selesai dan ditunjukkan padaku, aku 100% yakin kalau pembuat gambar-gambar yang ada di rumahku adalah karya Chiyuko-san.
Jam kerja berakhir. Tanpa pikir panjang aku langsung memberitahukan hal ini pada Seijinrei-sensei. Sekarang hanya perlu mempertemukan Chiyuko-san dengan Komugi-san. Namun hingga hari beranjak Minggu kembali, aku belum berani memberitahukannya pada Chiyuko-san.
Dan…yang kutakutkan akhirnya terjadi.
Seperti biasa, aku kembali bekerja di toko roti setiap hari Minggu. Namun, tak lama setelah aku masuk, kudengar suara sesuatu terjatuh dari arah dapur. Begitu kuperiksa…
“Komugi-san!!”
Aku berteriak panik ketika melihat Komugi-san terkapar di lantai sambil memegangi dadanya. Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju telepon dan menghubungi rumah sakit. Sekitar 15 menit kemudian, ambulans datang membawa Komugi-san. Tokopun kututup, lalu pergi ke rumah sakit.
Menurut hasil diagnosis, ada sedikit masalah di bagian jantung. Bisa jadi karena efek kelelahan bekerja atau stress yang ditumpuk selama 10 tahun, begitu yang dikatakan Seijinrei-sensei.
Mendengar penjelasan Seijinrei-sensei, perasaanku berubah. Aku mulai merasakan apa yang disebut rasa takut. Bukan takut karena kemungkinan untuk kehilangan Komugi-san, tetapi karena…bisa jadi Chiyuko-san tidak akan sempat bertemu kembali dengan ayahnya sendiri setelah sekian lama waktu berlalu.
10 tahun…pasti waktu yang sangat lama. Aku belum hidup selama itu, namun terkadang aku merasa kesepian jika onee-chan pergi untuk beberapa hari. Bagaimana seandainya onee-chan pergi untuk 10 tahun? Ah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Aku yakin Chiyuko-san pasti juga merasa kesepian. Apalagi dia adalah orang pertama yang bisa akrab denganku. Sebagai seorang teman, aku tidak ingin dia menyimpan perasaan itu terlalu lama.
Tidak bisa kutunda lagi. Hal ini harus kuberitahukan pada Chiyuko-san. Sekarang.
Aneh. Kucari Chiyuko-san berkeliling lantai dasar hingga lantai 3, namun tidak kutemui tanda-tanda dirinya. Ke mana dia pergi? Di saat kritis seperti ini…
Kuperluas area pencarian hingga ke luar. Halaman depan lobi, tidak ada. Tempat parkir, nihil. Halaman belakang…ah, itu dia. Berdiri bersandar pada tembok dengan ekspresi yang aneh. Sedih? Murung? Marah? Kecewa? Sepertinya semuanya bercampur aduk menjadi satu.
“Chiyuko…-san?”
Ekspresinya berubah terkejut, seakan tidak menyadari keberadaanku yang berada di sini sekitar satu menit.
“A-Azu-chan? Ada apa?”
“Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kamu di sini?”
“Ng…aku…”, ujarnya dengan wajah yang tidak menghadapku.
Aku tidak boleh banyak basa-basi. Sepertinya harus langsung kutembak.
“Ayahmu…benar begitu?”
“B-Bagaimana kamu---, ah…kamu memang terlalu pintar.”
“Bukan, Chiyuko-san. Jika bukan karena Daleth, aku tidak akan mengetahuinya.”
“Orang asing di toko roti itu? Aku heran kenapa dia…”
“Kurasa dia khawatir terhadap ayahmu, Chiyuko-san.”
“Aku tidak bisa menjenguknya.”
“Tapi kenapa?! Bukankah dia---“
“Cukup, Azu-chan!! Kamu tidak ada hubungannya dengan semua ini!!”
“Tentu saja ada!! Aku yang diserahi tugas oleh Daleth untuk menyelesaikan ini semua!!”
“Tapi kamu tidak mengerti apa yang kualami!! Iya kan?!”
Aku tidak dapat membalas kata-katanya. Chiyuko-san benar. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Kenapa mereka harus berpisah, kenapa ada satu kertas yang memiliki gambar wajah Komugi-san. Aku hanya memenuhi permintaan Daleth, tanpa memikirkan perasaan Chiyuko-san. Apa aku harus…
Tidak. Aku tidak boleh berhenti sampai di sini. Entah apa yang dimaksud Daleth, namun jika benar aku akan mempelajari sesuatu dari hal ini, aku harus menyelesaikannya. Harus. Apalagi ini demi temanku sendiri, sahabatku sendiri.
“Lantas apa masalahnya kalau aku tidak mengerti? Dia itu ayahmu, orang tuamu sendiri!! Apa kamu tega melihat ayahmu sendiri terbaring lemas sendirian karena penyakit yang dideritanya?! Jantungnya sudah tidak sebaik dulu, Chiyuko-san. Tolong mengertilah!!”
“Dan memaafkan begitu saja orang yang sudah menghina bakatku seenaknya?! Tidak, Azu-chan. Tidak bisa!!”
“Menghina…bakatmu?”
“Orang itu sudah menghina habis-habisan kemampuanku dalam menggambar!! Bahkan ketika aku sudah menggambar wajahnya untuk festival sekolah saat aku kelas 3 sekolah menengah pertama dulu…”
Perempuan yang berdiri di hadapanku kini mulai meneteskan air mata. Aku mengajaknya duduk di sebuah bangku kayu panjang tak jauh dari tempat kami berdiri. Sambil terisak-isak, dia masih berusaha berkata-kata.
Apa yang terjadi di masa lalu mulai diungkap oleh Chiyuko-san. Intinya hanya satu, Komugi-san menganggapnya tidak berguna karena hanya memiliki bakat dalam bidang menggambar. Di festival sekolah 10 tahun yang lalu itu, Chiyuko-san memamerkan hasil karyanya sebagai bagian dari klub seni di sekolahnya, namun tetap saja Komugi-san menganggapnya remeh. Diapun memutuskan pergi dari rumah tak lama setelah festival di sekolah menengah pertamanya dulu. Sejak itulah…mereka tidak pernah bertemu kembali.
“Kamu masih belum bisa memaafkan Komugi-san sampai sekarang?”
Dia hanya menggelengkan kepalanya sekali, masih menangis.
“Kamu tahu? Aku tidak pernah punya orang tua seumur hidupku.”
“E-Eh? M-Mereka…meninggal?”
“Hmm…tidak juga. Yang jelas aku tidak pernah bertemu mereka sejak aku dilahirkan. Dan kamu tahu apa lagi? Sebelum bertemu onee-chan dan bekerja di sini, kehidupanku jauh lebih buruk darimu. Setidaknya kamu belum pernah membunuh orang lain kan?”
“A-Azu-chan…maksudmu…”
“Mungkin sudah saatnya aku memberitahu hal ini. Sebelumnya, aku dilatih hanya untuk membunuh. Keluarga? Aku tidak tahu apa itu. Kamu tahu sendiri betapa canggungnya diriku saat pertama kali bekerja di sini. Itu bukan karena aku tidak berpengalaman berkomunikasi dengan manusia, tapi karena aku hanya menjadikan mereka sebagai objek pembantaian. Yah, meski hanya tahanan yang sudah waktunya dihukum mati yang kubunuh.”
Kutarik nafas perlahan, lalu sambil tersenyum pada Chiyuko-san, kukatakan…
“Kamu masih jauh lebih beruntung dariku. Menurutku, hidupmu masih jauh lebih indah dibanding diriku. Setidaknya kamu masih punya seorang ayah…sesuatu yang tidak bisa kumiliki sekarang.”
Air mata mengalir makin deras di pipi Chiyuko-san. Entah karena sedih mendengar ceritaku, atau karena dia merasa menyesal dengan dirinya sendiri.
“Jadi bagaimana? Apa kamu mau bertemu ayahmu sekarang? Urusan memaafkan Komugi-san…itu terserah padamu. Yang jelas aku hanya ingin kamu menemuinya. Tidak lebih.”
Chiyuko-san mengangguk satu kali dengan yakin, walau masih terlihat jejak air mata. Kuharap dia benar-benar melakukannya. Aku tidak mau mengganggu urusan keluarga orang lain terlalu jauh.
“Kamu akan tetap bekerja di sini kan?”, tanyaku.
“Tentu saja, Azu-chan. Aku hanya akan menjadikan menggambar sebagai hobi saja.”
“Lalu kenapa kamu ingin menjadi perawat seperti sekarang?”
“Hmm…ceritanya panjang. Tapi yang jelas itu semua karena seseorang yang kucintai.”
“Dia bekerja di rumah sakit juga?”
“Ya, tapi bukan di sini. Letaknya masih beberapa puluh kilometer di sebelah timur.”
Tunggu. Aku menyadari ada yang aneh di sini.
“Dan bagaimana kamu bisa memperoleh nama keluarga ‘Kiyotama’? Bukankah seharusnya ‘Komugi’?”
“Kamu belum tahu? Aku sudah menikah dengannya. Karena itulah namaku berubah.”
“Haaaaaaaah??!! Kamu sudah menikah?!”
Aku tidak bisa menahan keterkejutanku. Kalau begitu kenapa waktu itu dia masih melirik Daleth?
Semilir angin yang semakin dingin membawa teriakanku itu ke arah langit. Kami sedang berada di luar lobi rumah sakit sekarang.
“Ah, itu dia. Bagaimana, otou-san? Bisa kita pulang sekarang?”
Komugi-san mengangguk perlahan sambil tersenyum. Hari ini dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit, meski langkahnya masih belum lancar seperti sebelum dirawat. Kurasa dalam beberapa hari dia juga akan sembuh total, apalagi Chiyuko-san juga diberi ijin cuti beberapa hari untuk mengurus ayahnya dalam masa penyembuhan. Aku yakin Komugi-san akan lebih cepat pulih jika anaknya sendiri yang berada di sisinya. Dan tentu saja, toko roti harus tutup selama Komugi-san tidak ada.
Syukurlah, Chiyuko-san mau memaafkan Komugi-san setelah beberapa kali bicara di ruangan tempat Komugi-san dirawat. Ternyata Komugi-san tidak pernah benar-benar membenci kemampuan anaknya itu.
Setelah kukorek lebih lanjut informasinya, ternyata istri Komugi-san ---dengan kata lain, ibu Chiyuko-san--- dulunya juga adalah seorang seniman. Tidak hanya berbakat dalam menggambar, namun juga memahat. Tetapi sayang istrinya itu tidak bertahan hidup lama. Substansi kimia dari cat dan sisa-sisa partikel dari bahan pahatan membuat kondisi kesehatannya melemah. Beberapa waktu setelah melahirkan Chiyuko-san, diapun meninggal. Mungkin karena itulah Komugi-san tidak ingin anaknya mengalami hal yang sama.
Oh iya, berarti aku harus melaporkannya pada Daleth.
Sesampainya di rumah, aku langsung memeriksa e-mail. Daleth selalu mengganti alamat e-mailnya agar tidak mudah terlacak, sehingga aku harus menunggu kabar darinya agar aku bisa membalas tulisannya. Setiap fotopun harus langsung kusimpan di hard disk, lalu menghapus e-mail Daleth yang masuk.
Hmm…ini dia e-mail dari Daleth. Dua jam yang lalu baru masuk.
“Bagaimana? Sudah terpecahkan semua? Aku yakin pasti sudah. Tidak mungkin kamu butuh waktu terlalu lama untuk memecahkan petunjuk dariku. Yah, tidak percuma aku bersusah payah mencari puluhan gambar itu dari tempat Kiyotama Chiyuko-san bersekolah. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu Kiyotama-san adalah anak dari tenchou, akan terlalu panjang untuk dijelaskan. Informasi tambahan, sebenarnya tenchou memiliki jantung yang lemah. Untunglah dia tidak sempat keluar dapur saat kalian mengunjungi toko ketika awal musim panas atau akhir musim semi lalu. Bisa-bisa sakit jantungnya kumat kalau melihat anaknya sendiri secara tiba-tiba begitu.”
Kenapa tidak beritahu sejak kemarin?! Kubalas e-mail darinya dengan mengatakan:
“Tentu saja sudah selesai. Semuanya berjalan lancar. Oh ya, satu hal yang ingin kutanyakan. Apa yang kamu harapkan dariku sehingga aku yang harus menyelesaikan semuanya?”
Tak lama, dia membalasnya. Hanya berselang 3 menit. Mungkin dia sedang ada di depan laptopnya sekarang.
“Kamu masih belum mengerti apa yang kamu dapatkan dari kejadian ini? Kurasa kamu jadi lebih mengerti bagaimana hubungan suatu keluarga."
Jadi itu alasannya?
“Ya, kamu benar. Aku tidak menyangka, meski sudah 10 tahun berlalu, Komugi-san tetap merindukan anaknya untuk kembali. Aku janji akan menjaga onee-chan dengan baik. Tentu saja sebagai keluargaku sendiri, seperti Chiyuko-san yang berjanji akan selalu merawat Komugi-san. Hal itu kan yang sebenarnya kamu inginkan?”
2 menit kemudian.
“Hahaha…ya, kamu benar. Aku khawatir dengan sifatnya yang suka bekerja sampai tidak tahu waktu begitu. Apalagi sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi yang mengawasinya. Kuharap kamu bisa menjaga senpai dengan baik. Sebagai adiknya, sebagai keluarganya. Oke?”
“Tenang saja. Pasti kulakukan.”
E-mail terakhir dari Daleth, seperti biasa, adalah pesan supaya aku tidak lupa menghapus e-mail yang telah kubaca. Dia juga akan mengganti alamat e-mailnya jika mengirimiku lagi.
Aku merasa makin menjadi manusia seutuhnya. Mengerti apa itu sahabat, apa itu keluarga. Aku telah mendapat pelajaran hidup dari fase-fase kehidupan manusia. Dimulai dari membantu menangani kelahiran Meiko-chan, meluluhkan hati Tsukimiya-san akan Taira-chan, membuat hati Nagi-kun berbalik pada Nami-chan, menolong Amanatsu-san yang sedang jatuh cinta pada Tendou-san, menyatukan kembali Shizuka-san dan Otonashi-san lewat untaian melodi, hingga menyadarkan Chiyuko-san akan kasih sayang ayahnya sekaligus bos-ku setiap hari Minggu, Komugi-san.
Hampir. Hampir lengkap. Hanya kurang 1 hal lagi. Sesuatu yang selalu kuanggap remeh sewaktu masih di Anglion, yaitu bagaimana memahami…
…akhir dari hidup manusia.
Share This Thread