Page 4 of 5 FirstFirst 12345 LastLast
Results 46 to 60 of 62
http://idgs.in/517741
  1. #46
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Phase 9 :


    ==============================
    Phase 9: It’s Really a Heaven After All
    ==============================





    November.

    Hampir 2 bulan berlalu sejak kepergian Daleth dan Resha. Oh, tapi aku tidak kehilangan kontak sama sekali dengan mereka. Terkadang aku masih menerima e-mail dari Daleth ---sebelumnya aku sudah memberitahukan alamat e-mailku---, mengatakan posisi mereka berada. Sebentar di Qing, tiga minggu lebih di Bharata, dan beberapa hari di Parthia. Info tambahan, dua kali Daleth nyaris mati. Seandainya saja aku bersama mereka…aku akan membantu mereka semampuku.

    Kabar terakhir, beberapa waktu lalu di Helenos mereka mengalami sebuah kejadian luar biasa. Sekarang mereka berada di Thracia, negara di barat laut Helenos. Beberapa foto ditaruh sebagai attachment, berisi foto-foto kota Constantinople dan daerah-daerah di Thracia yang mereka kunjungi. Mereka terlihat gembira di foto-foto ini. Baguslah, setidaknya aku tahu sekarang mereka baik-baik saja.




    Kotak itu juga…belum kubuka hingga sekarang.

    Sejak aku bekerja di Inari Bakery setiap hari minggu ---dan hari kerja jika kebetulan aku tidak ada shift---, aku belum menemukan apapun yang bisa menjadi petunjuk, kapan waktu yang tepat untuk memberikan kotak itu.

    Komugi Hata. Itulah nama tenchou Inari Bakery.

    Dia seorang pria berumur 48 tahun dengan perawakan yang tidak begitu spesial. Tinggi sekitar 165 sentimeter, rambut hitam sekitar 7-8 sentimeter, dan kumis tipis di bawah hidung. Janggutnya bersih, baru saja dicukur 2 hari lalu. Beberapa kerutan nampak di wajahnya, pertanda kalau dia memang sudah berpengalaman mengarungi hidup.

    Aku tidaklah seperti Daleth yang bisa memasak sejak awal. Jadi, aku harus belajar untuk dapat membantu Komugi-san membuat roti, pastry, cake, dan segala jenis makanan berbahan dasar tepung terigu lainnya yang dijual di sini. Cukup mudah, yang penting takaran bahan, waktu, serta suhu saat memanggangnya tepat. Yah, walau aku lebih sering ditempatkan di meja kasir. Aku membantu Komugi-san di dapur hanya jika suasana toko tidak ramai.




    Yang jelas aku merasa ada satu perubahan di toko ini. Tidak begitu terlihat pada hari biasa, namun selalu kuamati pada hari Minggu.

    Sebelum aku bekerja di sini, di hari Minggu pelanggan yang datang sebagian besar adalah wanita, mulai dari usia sekolah hingga ibu rumah tangga. Beberapa kali aku ke tempat ini pada musim semi dan musim panas, selalu seperti itu. Namun sekarang persentase pelanggan pria menjadi lebih besar di hari Minggu. Bahkan beberapa dari mereka menatapku dengan tatapan yang aneh, seakan ingin memakanku. Hei, aku bukan roti atau semacamnya.

    Untunglah, jika Komugi-san keluar dari dapur dan melihat pelanggan yang seperti itu, sorot matanya langsung berubah. Menatap pelanggan itu dengan tajam.

    “Huh…orang itu. Melihat perempuan menggemaskan sedikit saja langsung bernafsu.”, sahut Komugi-san, ketika baru saja melirik tajam salah satu pengunjung pria yang terus menatapku dari tempat duduknya, beberapa meter di sebelah kiri depan meja kasir. Orang itupun langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.

    Untuk yang satu itu, aku masih belum mengerti. Memangnya apa yang menarik dariku? Secara postur sudah jelas aku lebih kecil dibanding orang lain. Lekuk tubuh? Apalagi. Menurutku onee-chan dan Chiyuko-san jauh lebih menarik. Hingga sekarangpun aku masih belum tahu apa definisi pasti dari “imut” atau “menggemaskan”. Lebih mudah mengatakan seseorang “cantik” atau “tampan” karena aku hanya perlu melihat simetri wajah dan kondisi kulitnya, ditambah model rambut yang kira-kira cocok.

    “Azrael-san, orang itu tidak berbuat yang aneh-aneh terhadapmu kan?”

    “Tidak, Komugi-san. Dia hanya terus melihat ke sini saja.”

    “Syukurlah. Tapi kamu patut sedikit bangga. Itu artinya kamu menarik di mata para lelaki. Ya sudah, aku kembali ke dapur dulu.”

    Aku tidak tahu apa alasannya, tapi beberapa lama setelah aku bekerja di sini, Komugi-san perlahan menunjukkan sifat seorang ayah. Aku merasa Komugi-san selalu memperhatikanku, seperti seorang ayah yang memberikan perhatian pada anaknya sendiri. Walau sebenarnya perhatiannya yang berlebihan itu terkadang membuatku curiga. Apa aku harus berhati-hati juga terhadapnya…?




    “Roti lagi?”, tanya onee-chan begitu aku kembali ke rumah, saat melihat tas kertas bertuliskan Inari Bakery yang kubawa.

    “Uh-huh. Aku tidak tahu kenapa dia sering sekali memberikan sisa stok roti padaku…”

    “Lama-lama aku juga merasa tidak enak pada Komugi-san. Pernah kamu coba menolak tawarannya?”

    “Pernah, hingga tiga kali malah. Tapi dia terus memaksa…”

    “Dia tidak pernah berbuat yang aneh-aneh padamu kan?”, nada bicara onee-chan terdengar khawatir.

    “Sejauh ini, tidak. Malah dia sering melindungiku kalau ada pelanggan pria yang menatapku dengan aneh, atau yang berusaha memegangku.”

    “Hmm…atau mungkin ada hubungannya dengan kotak yang diberikan Daleth waktu itu? Kamu sudah membukanya?”

    “Belum, onee-chan. Aku masih merasa belum waktunya aku menengok isinya. Jika benar kotak itu ada hubungannya dengan masalah yang dialami Komugi-san, aku…belum bisa melihat masalah itu sama sekali. Tidak ada petunjuk.”

    “Aku juga kurang ahli menganalisis kasus seperti ini. Tapi ya sudahlah, yang penting dia tidak pernah berusaha melakukan sesuatu yang buruk terhadapmu.”

    “Benar juga ya. Baiklah, ini juga ada muffin coklat kesukaanmu, onee-chan.”

    Begitu mendengar “muffin coklat”, sorot matanya berubah. Dalam sekejap, onee-chan langsung membalas, “Jangan khawatir, Azrael-chan. Dia pasti orang baik.”

    “Ternyata onee-chan ini mudah sekali disogok makanan…”

    “Ahaha…yah, mau bagaimana lagi. Sejak otou-san meninggal, aku tidak pernah makan muffin coklat lagi. Untunglah Inari Bakery buka sekitar setahun yang lalu. Aku jadi sering membelinya di sana. ”

    “Uh? Ayahmu? Dia bisa membuat kue?”

    “Yep, benar. Walau kemampuannya tidaklah seperti chef kelas internasional, namun orang-orang rumah sakit selalu memuji buatannya.”

    “Dia juga bekerja di rumah sakit?”

    “Yep, sebagai dokter spesialis saraf.”

    Wow. Bidang kedokteran yang tergolong sulit. Mungkin kecerdasannya terwarisi langsung oleh onee-chan. Wajar saja, mereka kan ayah dan anak.




    Selesai berendam dengan air hangat dan kembali berpakaian, aku menatap kotak kardus yang diberikan Daleth. Tergeletak di atas meja di kamarku. Tidak disegel, tidak diisolasi. Aku dapat membukanya dengan mudah jika aku mau.

    Tidak, tidak. Aku merasa belum mendapatkan petunjuk apapun, sehingga aku belum boleh membukanya. Tapi…bagaimana jika di dalamnya ada petunjuk mengenai apa yang terjadi pada Komugi-san?

    Kuberanikan diri melangkah ke meja. Perlahan tanganku menyentuh kotak kardus berwarna coklat muda itu. Maaf Daleth, sepertinya aku harus membukanya sekarang. Jika benar Komugi-san sedang mengalami masalah, maka hal itu harus cepat dibereskan. Dan untuk itu…

    Eh? Setumpuk gambar?

    Ya, itulah yang kulihat di dalam kotak. Ada tumpukan kertas berukuran A4, jumlahnya sekitar 40 lembar. Semuanya tidaklah putih polos. Di setiap lembaran, ada gambar-gambar yang bermacam-macam. Entah pemandangan alam, perkotaan, manusia, dan…hei? Satu lembar kertas memiliki gambar wajah Komugi-san!! Kerutan-kerutan di wajahnya terlihat lebih sedikit, sepertinya digambar saat Komugi-san berusia 10 tahun lebih muda.

    Satu hal lagi yang dapat kutangkap dari gambar-gambar ini. Dari kehalusan pewarnaan pensil warna dan guratan-guratan garis yang ada, aku tahu pembuatnya pastilah seorang profesional. Tapi siapa? Dan yang lebih penting lagi, apa hubungan gambar-gambar ini dengan masalah yang dialami Komugi-san?

    Tanpa pikir panjang, kutunjukkan seluruh lembaran-lembaran gambar itu pada onee-chan.

    “Hei, bukankah Daleth memintamu untuk tidak membukanya hingga saat yang tepat?”

    “Maaf, onee-chan. Tapi aku tidak tahan. Komugi-san pastilah punya suatu masalah. Jika dibiarkan lebih lama…”

    Dia hanya sekali menghela nafas, tersenyum, lalu berkata, “Ya sudah, aku tidak akan marah.”

    Satu persatu lembaran kertas diamati baik-baik olehnya. Setelah beberapa lembar, ada satu helai kertas yang jatuh. Berbeda sendiri. Sepertinya kertas dari buku tulis atau semacamnya. Pantas saja ketika aku memindai semua kertas itu dengan cepat, yang satu ini terlewatkan. Ada kalimat yang ditulis di situ.


    Hanya ini yang bisa kutemukan dari yang digambar oleh anak perempuan tenchou beberapa tahun yang lalu. Sisanya kuserahkan padamu, Azrael. Oh, dan juga senpai. Aku yakin pasti kalian berdua akan bekerjasama dalam hal ini. Daleth.


    “Anak? Jadi ini digambar oleh anak perempuan Komugi-san?”, ujar onee-chan sambil menaruh tangannya di dagu setelah membaca tulisan itu.

    “Siapapun dia, pastilah sangat ahli dalam menggambar.”

    “Hmm, bisa jadi anaknya adalah seorang pelukis. Setidaknya menggeluti dunia seni visual.”

    “Onee-chan kenal seseorang yang ahli menggambar atau melukis?”

    “Sayangnya…tidak. Aku tidak pernah bergaul dengan orang-orang dari komunitas seni.”

    “Sulit juga kalau begitu. Tapi sekarang aku mengerti kenapa dia begitu baik padaku. Bisa jadi dia teringat anak perempuannya.”

    “Benar juga. Walau kita sudah tahu alasan tentang itu, kita tetap belum tahu siapa yang menggambar semua ini. Daleth juga tidak meninggalkan petunjuk lain...”

    Kuambil kertas itu, membolak-baliknya ke segala arah. Siapa tahu Daleth menuliskan huruf-huruf tersembunyi atau semacamnya. Ternyata tidak. Hanya ada huruf-huruf---




    Tunggu. Kertas ini…ada yang aneh. Di beberapa titik, tekstur kertasnya berbeda. Apa mungkin dia menuliskan sesuatu dengan zat yang tidak terlihat oleh mata?

    Bergegas aku berjalan ke dapur, ke kompor. Kunyalakan api kecil lalu menaruh kertasnya beberapa belas sentimeter di atasnya. Tentu saja untuk mencegah kertasnya agar tidak terbakar, namun tetap terkena panas dari apinya.

    “Ah…aku mengerti. Ada tulisan rahasia, benar begitu?”, ujar onee-chan yang sejak tadi mengikutiku.

    “Uh-huh. Kemungkinan Daleth menggunakan campuran air dan baking soda. Toko roti pasti selalu punya persediaan baking soda.”

    Perlahan muncul tulisan berwarna coklat di bagian bawah kertas, tepat di bawah tulisan dari tinta hitam. Yang muncul adalah huruf kanji untuk surga, ten, dan lapangan, ta. Ada satu kanji lagi untuk suci, sei. Kedua kanji pertama ditulis berdampingan, sementara yang terakhir ditulis di bawahnya.

    Nama orang? Nama keluarga? Atau nama tempat? Aku masih belum bisa memahami petunjuk ini. Jika nama orang atau nama keluarga, akan lebih sulit mencarinya karena aku tidak mengenal siapapun orang yang memiliki ketiga huruf kanji ini, baik pada namanya maupun nama keluarganya. Onee-chan juga masih kebingungan. Baiklah, kutinggalkan dulu untuk hari ini. Besok aku harus kembali bekerja di rumah sakit.




    Di rumah sakit, aku mencoba mencari berkas-berkas pasien yang pernah berada di sini dalam 4 hingga 5 bulan terakhir. Siapa tahu di antara mereka ada yang berprofesi sebagai pelukis atau semacamnya. Ada dua orang yang memiliki nama dengan minimal dua dari ketiga huruf kanji tersebut, namun keduanya bukan pelukis apalagi orang seni. Ah, aku bingung. Aku juga…ingin memberitahukan hal ini secepatnya pada Komugi-san. Baiklah, nanti saat jam istirahat aku akan mampir sebentar ke Inari Bakery.

    Begitu kubuka pintu Inari Bakery…

    “S-Seijinrei-sensei…?”, kataku setelah melihat Seijinrei-sensei duduk di salah satu meja dekat jendela.

    Nada bicaraku terbata-bata karena terkejut. Aku tidak menyangka kalau Seijinrei-sensei akan berada di tempat ini. Gawat. Bisa-bisa aku dikira bolos kerja atau semacamnya.

    “Oh, Azrael-san? Sedang istirahat juga?”, tanyanya dengan lembut.

    Sebelum aku sempat menjawab, Komugi-san keluar dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi. Dia malah menawariku kopi juga, dan mengatakan untuk bergabung di meja. Karena aku tidak ingin merepotkan dirinya ---tapi juga tidak mampu menolak---, aku memutuskan untuk membuat sendiri punyaku.

    “M-Maaf, Seijinrei-sensei. Saya bukan bermaksud untuk bolos---“

    “Hahaha…tidak perlu khawatir, Azrael-san. Sekarang jam istirahat. Jadi wajar saja kalau kamu berada di sini. Hanya para dokter dan petugas ruang ICU yang harus terus berada di tempat.”

    “Benar sekali, Azrael-san. Bannou-san memang terkadang ke sini sejak toko ini buka setahun yang lalu.”, Komugi-san menimpali.

    “Anda berdua sudah saling kenal?”

    “Sebenarnya kami ini teman lama, kira-kira sejak sekolah menengah atas dulu. Namun Hata-san menghilang cukup lama sejak sepuluh tahun yang lalu, sampai akhirnya saya menemukannya di tempat ini.”, ujar Seijinrei-sensei.




    Tunggu. Ini bisa jadi kesempatan bagus untuk bertanya mengenai gambar-gambar itu. Jika benar mereka berdua sudah mengenal sejak puluhan tahun lalu, pastilah aku akan mendapat petunjuk.

    “Ng…boleh saya bertanya sesuatu pada anda berdua?”

    “Tanyakan saja.”, jawab Komugi-san.

    “Apakah di antara anda berdua ada yang ahli dalam menggambar? Atau mungkin ada teman lama yang ahli dalam hal itu?”

    Mereka berdua saling berpandangan selama 2 detik. Dari raut wajah mereka, aku bisa tahu kalau pertanyaanku itu tidak bisa dijawab oleh mereka.

    “Maksudmu?”, kali ini Seijinrei-sensei yang bertanya.

    “Saya punya beberapa gambar di rumah, sepertinya buatan seorang ahli. Dan…saya menemukan kalau satu gambar adalah gambar wajah Komugi-san, terlihat lebih muda. Jadi saya berpikiran kalau---“

    “Dari mana kamu mendapatkan itu semua?”, Komugi-san memotong.

    “Dari pegawaimu yang dulu. Daleth.”

    “Ah….dia rupanya.”




    Komugi-san mulai menceritakan semuanya. Benar ternyata dugaanku dan onee-chan, yang menggambar semua itu adalah anak perempuan Komugi-san sendiri. Namun sejak 10 tahun yang lalu, dia menghilang. Penyebabnya satu hal: Komugi-san tidak menyetujui anak perempuannya itu yang ingin serius di bidang menggambar. Setelah lulus sekolah menengah pertama, anak perempuannya itu meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali. Dia pernah menceritakan hal ini pada Daleth sekitar 5 bulan yang lalu.

    “Mungkin sekarang usianya sama dengan anak muda itu.”

    Kata-katanya pasti merujuk pada Daleth.

    “Dan kenapa dia memberikan semua itu padamu?”, tanya Komugi-san.

    “Saya juga tidak tahu. Malah saya rasa dia lebih ahli dalam menyelesaikan ini semua. Kudengar dulu dia bekerja di kepolisian.”

    “Begitu ya…”, ujarnya sambil mengalihkan pandangan ke arah langit.

    “Sudah, Hata-san. Jangan terlalu murung begitu. Aku bisa membantumu kalau mau.”, kata Seijinrei-sensei, lalu berbalik menatapku, “Azrael-san, apa dia meninggalkan petunjuk atau semacamnya? Maksudku, orang yang kamu sebut dengan Daleth itu.”

    “Oh, ya ada. Selain gambar, dia meninggalkan petunjuk berupa tiga huruf kanji. Ten, ta, dan sei. Dua kanji pertama ditulis berdampingan, sementara yang ketiga terpisah sendiri di bawah.”

    Mendadak kepala rumah sakit itu tersenyum, mengindikasikan kalau dia mengetahui sesuatu.

    “Kemungkinan besar dia ada di rumah sakit yang kupimpin.”

    “Bagaimana…sensei bisa tahu?”, tanyaku.

    “Mudah, Azrael-san. Kamu tahu arti nama rumah sakit tempatmu bekerja?”

    Plains of High Heaven. Benar begitu?”

    “Orang yang kamu sebut dengan Daleth itu menuliskan dua kanji pertama secara berdampingan, karena keduanya adalah satu kesatuan. Entah kenapa dia menulis dengan huruf kanji yang berbeda dengan kanji hara, namun setidaknya kanji ta memiliki arti yang mirip. Ditambah lagi jarang ada nama, entah tempat entah orang, yang menggunakan kedua huruf kanji itu secara bersamaan.”

    Masuk akal. Dua kanji terakhir yang membentuk kata Takamagahara memang berarti surga, dan lahan atau lapangan.

    “Sementara huruf kanji sei yang ditulisnya merujuk pada orang yang membuat gambar-gambar itu. Jelas saya tidak termasuk, karena orangnya haruslah perempuan. Lagipula huruf yang membentuk nama saya hanya terdengar sama, tetapi berbeda penulisan.”

    “Tapi saya sudah memeriksa semua berkas pasien di rumah sakit…dan tidak ada satupun yang berprofesi sebagai pelukis atau semacamnya.”

    “Bagaimana kalau…pegawai?”

    Aliran listrik di otakku langsung bereaksi, seakan ada bunyi *ting* di dalamnya.

    “Dengan kata lain, ada pegawai rumah sakit yang ahli menggambar?”

    “Kemungkinan besar begitu, Azrael-san. Mungkin selama ini dia tidak menunjukkan kemampuannya pada orang lain sehingga tidak ada yang tahu, bahkan saya juga tidak.”

    Mata Komugi-san terlihat berkaca-kaca mendengar perbincanganku dan Seijinrei-sensei. Pastilah dia tidak menyangka kalau anaknya akan ditemukan sebentar lagi.

    “Azrael-san, Bannou-san, terima kasih banyak.”, ujarnya sambil menundukkan kepala pada kami.

    “T-Tidak usah begitu, Komugi-san. Jika Daleth tidak meninggalkan apapun pada saya, saya juga tidak akan bisa memecahkan ini semua.”

    “Benar, Hata-san. Sepertinya pegawaimu yang sebelumnya itu benar-benar khawatir padamu.”, Seijinrei-sensei ikut menjawab.

    “Azrael-san, sepertinya kamu sudah kenal baik dengan Daleth-san, benar begitu?”, tanya Komugi-san.

    “Uh-huh. Dia memang orang baik. Jika bukan karenanya, mungkin saya tidak akan menjadi seperti sekarang.”

    “Yang saya tidak mengerti, kenapa dia meninggalkan semua petunjuk ini padamu ya?”, sahut Seijinrei-sensei.

    “Itu juga yang ingin saya ketahui. Dengan kemampuannya, seharusnya dia bisa menyelesaikan ini semua sendirian. Namun…dia ingin saya belajar sesuatu dari kasus ini.”

    “Ah…jadi begitu.”, pandangan Seijinrei-sensei beralih ke arah jam di dinding yang berhadapan dengannya, lalu berkomentar, “Oh, sebentar lagi jam istirahat akan selesai. Azrael-san, saatnya kembali ke rumah sakit. Supaya cepat…kamu boleh menumpang mobil saya.”

    Baru saja aku ingin membayar ---karena aku bukan pegawai toko hari ini---, Seijinrei-sensei langsung menimpali, “Jangan khawatir, saya yang bayar ini semua.”

    Sebenarnya aku tidak perlu memeriksa berkas-berkas data pegawai rumah sakit, karena aku sudah tahu siapa yang hampir bisa dipastikan adalah orang yang dimaksud. Aku hanya perlu memancingnya untuk menggambar, lalu mencocokkan kemiripannya dengan gambar-gambar yang ada padaku. Dan satu-satunya pegawai perempuan di rumah sakit ini dengan huruf kanji sei entah pada namanya ataupun nama keluarganya adalah…

    …Kiyotama Chiyuko, teman pertamaku di rumah sakit.

    Tentu saja aku tidak boleh terlalu membuatnya curiga, dan aku sudah tahu caranya. Seijinrei-sensei dan onee-chan sudah kuberitahu mengenai hipotesisku tentang pembuat gambar-gambar ini, Chiyuko-san.




    Esok harinya, rencana kujalankan. Berbekal beberapa lembar kertas kosong, pensil, dan penghapus, aku akan mencoba menggambar di depannya. Berhubung sekarang adalah giliranku dan Chiyuko-san untuk berada di meja resepsionis, rencana bisa kujalankan kapan saja.

    “Wow. Setelah bermain gitar, kamu juga ingin bisa menggambar?”, tanyanya saat melihatku mulai menggerakkan pensil di atas kertas, menggambar kerangkanya.

    “Uh-huh. Kemarin aku baru melihat beberapa gambar yang bagus, dan aku ingin bisa membuat yang seperti itu.”

    “Kamu ini pintar, sebentar saja pasti juga sudah bisa.”

    “Ng…tapi tanganku belum terbiasa. Ditambah lagi contoh yang kulihat hanya dari televisi, tidak sempat kuingat persis bagaimana style menggambarnya.”

    “Setiap orang punya style menggambarnya masing-masing, Azu-chan.”

    “Tapi setidaknya ada dasar yang harus dikuasai kan?”

    “Hmm...ya, kamu benar. Mulailah dengan melakukan sketsa dulu. Tidak perlu langsung ingin mewarnainya.”

    “Sketsa? Maksudmu yang hanya dengan pensil biasa begini?”

    “Yap, tepat sekali.”, ujarnya, lalu mengambil sebuah pensil 2B lain yang berada di atas meja. Diapun mengambil selembar kertas dariku dan mengatakan, “Proporsinya juga harus kamu pertimbangkan. Kamu sudah belajar anatomi tubuh kan?”

    “Tentu saja sudah. Pertanyaan ujian masuk waktu itu juga ada beberapa tentang anatomi.”

    “Bagus. Kalau kamu sudah mengerti perbandingannya, mulailah membuat kerangkanya. Seperti ini.”

    Tangan Chiyuko-san terlihat mahir sekali, membuat pensil yang dipegangnya seakan menari bersama gerakannya. Tidak sampai 3 menit, dasar kerangkanya sudah jadi dengan perbandingan yang tepat. Luar biasa. Sekarang hanya tinggal menunggu dia menyelesaikan gambarnya itu.

    Hampir setengah jam berlalu, dan sekarang dia hanya perlu menyempurnakan shading pada titik-titik tertentu. Yang digambarnya mirip denganku. Atau itu memang gambar diriku ya? Begitu gambarnya selesai dan ditunjukkan padaku, aku 100% yakin kalau pembuat gambar-gambar yang ada di rumahku adalah karya Chiyuko-san.

    Jam kerja berakhir. Tanpa pikir panjang aku langsung memberitahukan hal ini pada Seijinrei-sensei. Sekarang hanya perlu mempertemukan Chiyuko-san dengan Komugi-san. Namun hingga hari beranjak Minggu kembali, aku belum berani memberitahukannya pada Chiyuko-san.




    Dan…yang kutakutkan akhirnya terjadi.

    Seperti biasa, aku kembali bekerja di toko roti setiap hari Minggu. Namun, tak lama setelah aku masuk, kudengar suara sesuatu terjatuh dari arah dapur. Begitu kuperiksa…

    “Komugi-san!!”

    Aku berteriak panik ketika melihat Komugi-san terkapar di lantai sambil memegangi dadanya. Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju telepon dan menghubungi rumah sakit. Sekitar 15 menit kemudian, ambulans datang membawa Komugi-san. Tokopun kututup, lalu pergi ke rumah sakit.

    Menurut hasil diagnosis, ada sedikit masalah di bagian jantung. Bisa jadi karena efek kelelahan bekerja atau stress yang ditumpuk selama 10 tahun, begitu yang dikatakan Seijinrei-sensei.

    Mendengar penjelasan Seijinrei-sensei, perasaanku berubah. Aku mulai merasakan apa yang disebut rasa takut. Bukan takut karena kemungkinan untuk kehilangan Komugi-san, tetapi karena…bisa jadi Chiyuko-san tidak akan sempat bertemu kembali dengan ayahnya sendiri setelah sekian lama waktu berlalu.

    10 tahun…pasti waktu yang sangat lama. Aku belum hidup selama itu, namun terkadang aku merasa kesepian jika onee-chan pergi untuk beberapa hari. Bagaimana seandainya onee-chan pergi untuk 10 tahun? Ah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Aku yakin Chiyuko-san pasti juga merasa kesepian. Apalagi dia adalah orang pertama yang bisa akrab denganku. Sebagai seorang teman, aku tidak ingin dia menyimpan perasaan itu terlalu lama.

    Tidak bisa kutunda lagi. Hal ini harus kuberitahukan pada Chiyuko-san. Sekarang.

    Aneh. Kucari Chiyuko-san berkeliling lantai dasar hingga lantai 3, namun tidak kutemui tanda-tanda dirinya. Ke mana dia pergi? Di saat kritis seperti ini…

    Kuperluas area pencarian hingga ke luar. Halaman depan lobi, tidak ada. Tempat parkir, nihil. Halaman belakang…ah, itu dia. Berdiri bersandar pada tembok dengan ekspresi yang aneh. Sedih? Murung? Marah? Kecewa? Sepertinya semuanya bercampur aduk menjadi satu.

    “Chiyuko…-san?”

    Ekspresinya berubah terkejut, seakan tidak menyadari keberadaanku yang berada di sini sekitar satu menit.

    “A-Azu-chan? Ada apa?”

    “Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kamu di sini?”

    “Ng…aku…”, ujarnya dengan wajah yang tidak menghadapku.

    Aku tidak boleh banyak basa-basi. Sepertinya harus langsung kutembak.

    “Ayahmu…benar begitu?”

    “B-Bagaimana kamu---, ah…kamu memang terlalu pintar.”

    “Bukan, Chiyuko-san. Jika bukan karena Daleth, aku tidak akan mengetahuinya.”

    “Orang asing di toko roti itu? Aku heran kenapa dia…”

    “Kurasa dia khawatir terhadap ayahmu, Chiyuko-san.”

    “Aku tidak bisa menjenguknya.”

    “Tapi kenapa?! Bukankah dia---“

    “Cukup, Azu-chan!! Kamu tidak ada hubungannya dengan semua ini!!”

    “Tentu saja ada!! Aku yang diserahi tugas oleh Daleth untuk menyelesaikan ini semua!!”

    “Tapi kamu tidak mengerti apa yang kualami!! Iya kan?!”




    Aku tidak dapat membalas kata-katanya. Chiyuko-san benar. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Kenapa mereka harus berpisah, kenapa ada satu kertas yang memiliki gambar wajah Komugi-san. Aku hanya memenuhi permintaan Daleth, tanpa memikirkan perasaan Chiyuko-san. Apa aku harus…

    Tidak. Aku tidak boleh berhenti sampai di sini. Entah apa yang dimaksud Daleth, namun jika benar aku akan mempelajari sesuatu dari hal ini, aku harus menyelesaikannya. Harus. Apalagi ini demi temanku sendiri, sahabatku sendiri.

    “Lantas apa masalahnya kalau aku tidak mengerti? Dia itu ayahmu, orang tuamu sendiri!! Apa kamu tega melihat ayahmu sendiri terbaring lemas sendirian karena penyakit yang dideritanya?! Jantungnya sudah tidak sebaik dulu, Chiyuko-san. Tolong mengertilah!!”

    “Dan memaafkan begitu saja orang yang sudah menghina bakatku seenaknya?! Tidak, Azu-chan. Tidak bisa!!”

    “Menghina…bakatmu?”

    “Orang itu sudah menghina habis-habisan kemampuanku dalam menggambar!! Bahkan ketika aku sudah menggambar wajahnya untuk festival sekolah saat aku kelas 3 sekolah menengah pertama dulu…”

    Perempuan yang berdiri di hadapanku kini mulai meneteskan air mata. Aku mengajaknya duduk di sebuah bangku kayu panjang tak jauh dari tempat kami berdiri. Sambil terisak-isak, dia masih berusaha berkata-kata.

    Apa yang terjadi di masa lalu mulai diungkap oleh Chiyuko-san. Intinya hanya satu, Komugi-san menganggapnya tidak berguna karena hanya memiliki bakat dalam bidang menggambar. Di festival sekolah 10 tahun yang lalu itu, Chiyuko-san memamerkan hasil karyanya sebagai bagian dari klub seni di sekolahnya, namun tetap saja Komugi-san menganggapnya remeh. Diapun memutuskan pergi dari rumah tak lama setelah festival di sekolah menengah pertamanya dulu. Sejak itulah…mereka tidak pernah bertemu kembali.

    “Kamu masih belum bisa memaafkan Komugi-san sampai sekarang?”

    Dia hanya menggelengkan kepalanya sekali, masih menangis.

    “Kamu tahu? Aku tidak pernah punya orang tua seumur hidupku.”

    “E-Eh? M-Mereka…meninggal?”

    “Hmm…tidak juga. Yang jelas aku tidak pernah bertemu mereka sejak aku dilahirkan. Dan kamu tahu apa lagi? Sebelum bertemu onee-chan dan bekerja di sini, kehidupanku jauh lebih buruk darimu. Setidaknya kamu belum pernah membunuh orang lain kan?”

    “A-Azu-chan…maksudmu…”

    “Mungkin sudah saatnya aku memberitahu hal ini. Sebelumnya, aku dilatih hanya untuk membunuh. Keluarga? Aku tidak tahu apa itu. Kamu tahu sendiri betapa canggungnya diriku saat pertama kali bekerja di sini. Itu bukan karena aku tidak berpengalaman berkomunikasi dengan manusia, tapi karena aku hanya menjadikan mereka sebagai objek pembantaian. Yah, meski hanya tahanan yang sudah waktunya dihukum mati yang kubunuh.”

    Kutarik nafas perlahan, lalu sambil tersenyum pada Chiyuko-san, kukatakan…

    “Kamu masih jauh lebih beruntung dariku. Menurutku, hidupmu masih jauh lebih indah dibanding diriku. Setidaknya kamu masih punya seorang ayah…sesuatu yang tidak bisa kumiliki sekarang.”

    Air mata mengalir makin deras di pipi Chiyuko-san. Entah karena sedih mendengar ceritaku, atau karena dia merasa menyesal dengan dirinya sendiri.

    “Jadi bagaimana? Apa kamu mau bertemu ayahmu sekarang? Urusan memaafkan Komugi-san…itu terserah padamu. Yang jelas aku hanya ingin kamu menemuinya. Tidak lebih.”

    Chiyuko-san mengangguk satu kali dengan yakin, walau masih terlihat jejak air mata. Kuharap dia benar-benar melakukannya. Aku tidak mau mengganggu urusan keluarga orang lain terlalu jauh.




    “Kamu akan tetap bekerja di sini kan?”, tanyaku.

    “Tentu saja, Azu-chan. Aku hanya akan menjadikan menggambar sebagai hobi saja.”

    “Lalu kenapa kamu ingin menjadi perawat seperti sekarang?”

    “Hmm…ceritanya panjang. Tapi yang jelas itu semua karena seseorang yang kucintai.”

    “Dia bekerja di rumah sakit juga?”

    “Ya, tapi bukan di sini. Letaknya masih beberapa puluh kilometer di sebelah timur.”

    Tunggu. Aku menyadari ada yang aneh di sini.

    “Dan bagaimana kamu bisa memperoleh nama keluarga ‘Kiyotama’? Bukankah seharusnya ‘Komugi’?”

    “Kamu belum tahu? Aku sudah menikah dengannya. Karena itulah namaku berubah.”

    “Haaaaaaaah??!! Kamu sudah menikah?!”

    Aku tidak bisa menahan keterkejutanku. Kalau begitu kenapa waktu itu dia masih melirik Daleth?
    Semilir angin yang semakin dingin membawa teriakanku itu ke arah langit. Kami sedang berada di luar lobi rumah sakit sekarang.

    “Ah, itu dia. Bagaimana, otou-san? Bisa kita pulang sekarang?”

    Komugi-san mengangguk perlahan sambil tersenyum. Hari ini dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit, meski langkahnya masih belum lancar seperti sebelum dirawat. Kurasa dalam beberapa hari dia juga akan sembuh total, apalagi Chiyuko-san juga diberi ijin cuti beberapa hari untuk mengurus ayahnya dalam masa penyembuhan. Aku yakin Komugi-san akan lebih cepat pulih jika anaknya sendiri yang berada di sisinya. Dan tentu saja, toko roti harus tutup selama Komugi-san tidak ada.

    Syukurlah, Chiyuko-san mau memaafkan Komugi-san setelah beberapa kali bicara di ruangan tempat Komugi-san dirawat. Ternyata Komugi-san tidak pernah benar-benar membenci kemampuan anaknya itu.

    Setelah kukorek lebih lanjut informasinya, ternyata istri Komugi-san ---dengan kata lain, ibu Chiyuko-san--- dulunya juga adalah seorang seniman. Tidak hanya berbakat dalam menggambar, namun juga memahat. Tetapi sayang istrinya itu tidak bertahan hidup lama. Substansi kimia dari cat dan sisa-sisa partikel dari bahan pahatan membuat kondisi kesehatannya melemah. Beberapa waktu setelah melahirkan Chiyuko-san, diapun meninggal. Mungkin karena itulah Komugi-san tidak ingin anaknya mengalami hal yang sama.




    Oh iya, berarti aku harus melaporkannya pada Daleth.

    Sesampainya di rumah, aku langsung memeriksa e-mail. Daleth selalu mengganti alamat e-mailnya agar tidak mudah terlacak, sehingga aku harus menunggu kabar darinya agar aku bisa membalas tulisannya. Setiap fotopun harus langsung kusimpan di hard disk, lalu menghapus e-mail Daleth yang masuk.

    Hmm…ini dia e-mail dari Daleth. Dua jam yang lalu baru masuk.

    “Bagaimana? Sudah terpecahkan semua? Aku yakin pasti sudah. Tidak mungkin kamu butuh waktu terlalu lama untuk memecahkan petunjuk dariku. Yah, tidak percuma aku bersusah payah mencari puluhan gambar itu dari tempat Kiyotama Chiyuko-san bersekolah. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu Kiyotama-san adalah anak dari tenchou, akan terlalu panjang untuk dijelaskan. Informasi tambahan, sebenarnya tenchou memiliki jantung yang lemah. Untunglah dia tidak sempat keluar dapur saat kalian mengunjungi toko ketika awal musim panas atau akhir musim semi lalu. Bisa-bisa sakit jantungnya kumat kalau melihat anaknya sendiri secara tiba-tiba begitu.”

    Kenapa tidak beritahu sejak kemarin?! Kubalas e-mail darinya dengan mengatakan:

    “Tentu saja sudah selesai. Semuanya berjalan lancar. Oh ya, satu hal yang ingin kutanyakan. Apa yang kamu harapkan dariku sehingga aku yang harus menyelesaikan semuanya?”

    Tak lama, dia membalasnya. Hanya berselang 3 menit. Mungkin dia sedang ada di depan laptopnya sekarang.

    “Kamu masih belum mengerti apa yang kamu dapatkan dari kejadian ini? Kurasa kamu jadi lebih mengerti bagaimana hubungan suatu keluarga."

    Jadi itu alasannya?

    “Ya, kamu benar. Aku tidak menyangka, meski sudah 10 tahun berlalu, Komugi-san tetap merindukan anaknya untuk kembali. Aku janji akan menjaga onee-chan dengan baik. Tentu saja sebagai keluargaku sendiri, seperti Chiyuko-san yang berjanji akan selalu merawat Komugi-san. Hal itu kan yang sebenarnya kamu inginkan?”

    2 menit kemudian.

    “Hahaha…ya, kamu benar. Aku khawatir dengan sifatnya yang suka bekerja sampai tidak tahu waktu begitu. Apalagi sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi yang mengawasinya. Kuharap kamu bisa menjaga senpai dengan baik. Sebagai adiknya, sebagai keluarganya. Oke?”

    “Tenang saja. Pasti kulakukan.”


    E-mail terakhir dari Daleth, seperti biasa, adalah pesan supaya aku tidak lupa menghapus e-mail yang telah kubaca. Dia juga akan mengganti alamat e-mailnya jika mengirimiku lagi.




    Aku merasa makin menjadi manusia seutuhnya. Mengerti apa itu sahabat, apa itu keluarga. Aku telah mendapat pelajaran hidup dari fase-fase kehidupan manusia. Dimulai dari membantu menangani kelahiran Meiko-chan, meluluhkan hati Tsukimiya-san akan Taira-chan, membuat hati Nagi-kun berbalik pada Nami-chan, menolong Amanatsu-san yang sedang jatuh cinta pada Tendou-san, menyatukan kembali Shizuka-san dan Otonashi-san lewat untaian melodi, hingga menyadarkan Chiyuko-san akan kasih sayang ayahnya sekaligus bos-ku setiap hari Minggu, Komugi-san.

    Hampir. Hampir lengkap. Hanya kurang 1 hal lagi. Sesuatu yang selalu kuanggap remeh sewaktu masih di Anglion, yaitu bagaimana memahami…

    …akhir dari hidup manusia.


    ==============================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Komugi Hata (小麦 畑)
      ---> 小 (ko, shou) = small
      ---> 麦 (mugi, baku) = wheat (gandum), barley
      ------> 小麦 (komugi) = wheat (terigu)
      ---> 畑 (hata, hatake) = dry field (bukan sawah, lebih ke arah ladang)
      Diartikan? Ga ada arti pasti
      Cocok aja buat nama bos toko roti...
    • Masih inget nama Takamagahara, Kiyotama Chiyuko, sama Seijinrei Bannou dlm huruf kanji kan? (http://forum.indogamers.com/showthre...=1#post6796085)
    • Huruf kanji yang ditulis Daleth itu: 天 (ten), 田 (ta/da), sama 聖 (sei)
    • Masalah tinta yang gak keliatan itu, selaen dgn campuran air + baking soda, bisa juga pake air jeruk ~





    btw gw juga akan selalu update cerita di:
    Facebook dan Twitter
    Last edited by LunarCrusade; 10-10-12 at 15:15. Reason: lupa trivia nama kewkewkewke


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  2. Hot Ad
  3. #47
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Phase 10 :


    ==========================
    Phase 10: Miracle of Snow Angel
    ==========================





    Udara beranjak makin dingin, ditandai dengan pepohonan yang menanggalkan daun-daunnya. Suasana merah-jingga-kuning-coklat musim gugur telah berlalu. Sekarang adalah waktu-waktu yang menurutku, kosong. Tiada warna-warni indah pada cabang pepohonan, sementara tanah belum diwarnai hamparan salju putih.

    Mungkin…salju akan turun dalam satu atau dua minggu ke depan.

    Selama di Anglion, aku belum pernah bermain-main di atas salju. Meski aku dilahirkan awal tahun ini saat masih musim dingin, aku tidak pernah punya kesempatan untuk melakukan apa yang kusuka. Semua hanya berdasarkan perintah. Berbeda dengan kali ini, dimana aku bisa menghabiskan waktu bersama orang-orang yang kusayangi. Tapi tentu saja, aku tetap punya tugas di rumah sakit.

    “Selamat pagi, Fukuroku-san.”




    Fukuroku Hisashi, 90 tahun. Seorang pria tua dengan rambut yang nyaris habis seluruhnya.

    Karena usianya sangat lanjut, tubuhnya sudah jauh melemah, tak terkecuali pada pernafasannya. Dia sudah tidak kuat lagi berjalan terlalu lama karena akan menghabiskan oksigen dengan cepat. Karena itulah dia menghabiskan waktu dengan dirawat di sini. Keluarganya? Entah kemana. Beberapa kali aku menemui keluarga yang demikian, terlalu acuh tak acuh terhadap anggota keluarga yang lain. Untung saja tidak semuanya seperti itu. Masih banyak yang seperti Chiyuko-san dan Komugi-san. Oh ya, toko roti juga sudah buka kembali.

    Ada satu hal yang membuatku kagum akan orang tua yang satu ini. Meski umurnya sudah 90 tahun, ingatannya masih tergolong baik. Beberapa kali dia bercerita mengenai masa lalunya. Tentang peperangan di masa lalu, kondisi masyarakat, dan juga suasana politik. Pada awalnya aku ragu dengan ceritanya. Namun begitu kuperiksa ulang dengan sumber-sumber yang terpercaya, ternyata benar, apa yang diceritakannya 85% sesuai dengan apa yang kubaca. Sedikit kesalahan mungkin karena dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

    “Oh…Azrael rupanya.”, jawabnya dengan pelan.

    Berhubung sewaktu muda dia pernah beberapa tahun tinggal di luar Seihou, bahasa Anglianya cukup baik dan selalu memanggilku tanpa akhiran apapun. Pastilah dia tahu kalau aku bukan orang Seihou.

    “Bagaimana kondisi anda hari ini?”

    “Hahaha…aneh sepertinya kalau kamu bertanya seperti itu. Yah, seperti yang bisa kamu lihat.”, kemudian pandangannya beralih ke arah langit musim dingin di luar jendela.

    Begitulah caraku mengawali pembicaraan dengan Fukuroku-san. Mungkin tidak sama persis kata-kata yang kuucapakan setiap harinya, tetapi pastilah selalu kutanyakan keadaannya. Jujur saja, setiap kali melihat dirinya, kekhawatiran selalu menyelimuti pikiranku. Aku bisa merasakan kalau kematian sudah dekat untuk menjemputnya, namun seperti ada sesuatu yang masih ditahan oleh Fukuroku-san, sehingga dia tidak rela jika harus pergi sekarang. Masih belum bisa kuketahui apa itu, tapi harus secepatnya kucari tahu. Aku tidak tega melihatnya menderita lebih lama lagi.

    “Sebentar lagi akan turun salju ya…”, ujarnya.

    “Seharusnya dalam satu atau dua minggu ke depan akan turun salju. Apa anda suka melihat salju turun?”

    “Tidak, bukan itu. Saya pasti akan bosan melihat warna putih dari salju itu dimana-mana…hahaha…”

    Walau sudah tua, dia tergolong ceria dan murah senyum. Beberapa kali aku ikut terbawa sifatnya itu, terkadang ikut tertawa bersamanya. Tidak terkecuali sekarang. Meski hanya sebuah tawa kecil, senyuman langsung terlukis di wajahku.

    “Berarti anda tidak suka musim dingin?”

    “Untuk orang tua seperti saya, musim dingin adalah musim yang berat. Terkadang rematik di kaki saya ikut kambuh. Saya lebih suka musim semi, penuh bunga.”

    “Ada jenis bunga tertentu yang anda suka?”

    “Banyak, cukup banyak. Sakura, magnolia, lavender, camellia, bahkan hingga yang beracun seperti suzuran. Oh, tapi tidak dengan mawar. Memegangnya sulit karena punya banyak duri.”

    “Hmm…semua itu sepertinya tidak tumbuh di musim dingin.”

    “Ya, kamu benar. Ah, bicara tentang bunga, saya jadi teringat sesuatu. Kota ini terkenal dengan azalea nya kan?”

    “Anda benar. Ada satu area taman yang cukup luas di kota ini yang ditumbuhi azalea, namanya Tsutsujigaoka. Begitu musim semi tiba, daerah itu berubah warna, dengan corak warna bunga azalea yang bervariasi.”

    “Hmm…begitu ya. Apa tempat itu jauh dari sini?”

    “Kalau berjalan kaki tidak sampai dua puluh menit. Jika dengan kendaraan pastilah akan lebih cepat lagi. Apa anda tertarik untuk melihatnya saat musim semi nanti?”

    “Oh…tidak usah repot-repot, Azrael.”

    Ucapannya menolak, namun ekspresi wajahnya mengatakan kalau Fukuroku-san ingin ke tempat itu. Hmm, mungkin aku akan memberikan beberapa tangkai bunga azalea padanya. Besok hari Minggu, akan kucoba mencari berkeliling kota.




    Cukup sulit untuk mencari bunga azalea yang seharusnya tidak tumbuh di awal musim dingin seperti ini. Untung saja, ada sebuah rumah kaca besar di pinggir taman yang kuceritakan pada Fukuroku-san. Tempat itu digunakan untuk melakukan pembibitan dan pembudidayaan bunga azalea. Dan karena rumah kaca punya temperatur yang hangat, beruntung aku masih bisa mendapat satu pot yang tidak terlalu besar, yang berisi rumpun azalea ---karena mereka hidup berkelompok membentuk semak--- dengan beberapa bunga yang masih kecil.

    “Wow, kamu mencarikan bunga azalea untuk saya?”, komentarnya saat aku membawa pot bunga itu pada hari Senin ke ruangannya.

    “Uh-huh. Untung saja masih ada yang mau menjualnya di tempat pembibitan, di sebuah rumah kaca tak jauh dari taman yang saya ceritakan waktu itu.”

    “Hmm…tapi kalau dibawa keluar dari rumah kaca seperti ini…pasti akan layu dengan cepat. Udaranya tidak sesuai untuknya berbunga.”

    Kekecewaan terlukis di wajahnya, sangat jelas. Aku tahu dia masih ingin ke taman itu. Tapi mana ada bunga azalea yang tumbuh di sana saat cuaca dingin begini? Untung saja aku masih bisa mendapat yang di dalam pot seperti ini. Pergi ke taman itu sekarang pastilah percuma, tidak ada pemandangan yang bisa dinikmati.

    Yang jelas satu hal yang mengherankan. Kenapa dia ingin pergi ke taman itu? Aku tahu tempat itu terkenal di seantero Seihou karena hamparan azalea yang sangat banyak, tidak bisa ditemui di tempat lain di Seihou. Namun untuk apa dia ingin ke sana cepat-cepat? Atau jangan-jangan Fukuroku-san sudah merasa kalau ajalnya sudah dekat, sehingga ingin pergi ke sana sesegera mungkin…? Tapi tetap saja mustahil menumbuhkan azalea di tanah lapang di musim dingin seperti ini…




    Esok harinya, aku berangkat lebih pagi agar bisa mampir sebentar di Tsutsujigaoka, mencari lebih teliti lagi petunjuk yang mungkin ada di sana. Begitu tiba, kucoba berkeliling di luar taman. Ada sekitar 10000 individu azalea dari berbagai genus di tempat ini. Yang tertua sendiri umurnya sudah sekitar 800 tahun.

    Terlepas dari semua fakta tersebut, tidak ada yang istimewa di taman ini saat musim dingin. Rerumputan hijau sudah lenyap, beberapa batang pohon oak merah yang biasa dijadikan tempat azalea yang masih kecil untuk bernaung sudah tidak berdaun, semak-semak azalea baik yang pendek maupun tinggi juga sama kosongnya. Yang tertangkap pandanganku hanya tanah dan warna batang serta ranting.

    Hmm…tidak ada apapun yang bisa kujadikan titik awal untuk menganalisis semua ini lebih jauh. Sebaiknya sekarang aku ke rumah sakit saja.

    “Selamat pagi, Fukuroku-san.”

    Setelah dia menjawab sapaan dariku, mataku langsung tertuju pada pot berisi azalea yang kemarin kuletakkan. Baru sehari, kelopak-kelopak bunga yang ada sudah mengkerut. Walau di ruangan ini dipasangi pemanas, namun tidaklah sehangat di rumah kaca. Hal itulah yang kurasa membuat bunga azalea ini mulai layu. Kuambil satu buah kelopak bunga yang sudah jatuh ke permukaan tanah di pot.

    “Tidak perlu murung begitu, Azrael. Hal itu sudah wajar.”

    “Maaf, ini memang salah saya. Tidak seharusnya saya memaksakan bunga ini dibiarkan di cuaca yang tidak sesuai. Karena perbuatan saya, bunga ini…mati.”

    “Bukankah suatu saat nanti semua makhluk hidup juga akan mati? Kamu tidak perlu terlalu bersedih akan hal itu. Yang terpenting adalah tidak terbawa emosi berkepanjangan karena merasa kehilangan.”

    “Apa anda…pernah mengalami hal itu?”

    Fukuroku-san terdiam sejenak, lalu berkata…

    “…pernah.”, dengan perlahan.

    Walau aku tidak memintanya, namun dia mulai mengungkapkan kisah hidupnya. Sewaktu muda dia adalah seorang ahli botani, dan senang bekerja keras demi bidang ilmu yang ditekuninya. Pada awalnya, kehidupan Fukuroku-san tergolong bahagia. Dengan jerih payahnya dia bisa memperoleh penghasilan yang cukup bagi dirinya dan keluarganya. Namun…semua itu menjadi jerat bagi dirinya. Pekerjaannya menyita banyak waktu, bahkan dia sering diminta untuk meneliti ke luar negri. Perlahan namun pasti, tidak ada lagi waktu tersisa bagi keluarganya. Bagi istrinya, bagi anak-anaknya.

    “Sebelum saya mulai menjadi sangat sibuk, saya pernah berjanji pada istri dan anak-anak saya untuk pergi ke taman itu, Tsutsujigaoka, jika sudah waktunya dipenuhi azalea. Tapi semuanya terlambat. Istri saya meninggal beberapa tahun yang lalu dan anak-anak saya sudah memiliki kehidupannya masing-masing, sebelum saya sempat mewujudkan janji itu. Dan mungkin sebentar lagi, saya akan---”

    Jadi itu alasannya. Meski belum pernah mengalami yang seperti itu, namun aku bisa mengerti, berbekal apa yang sudah kualami sejak musim semi. Entah bagaimana mulutku mengatakan sesuatu yang nyaris mustahil, memotong kata-kata Fukuroku-san.

    “Saya akan mewujudkan hal itu. Dalam waktu dekat, seluruh azalea di Tsutsujigaoka akan berbunga, dipenuhi warna-warni kelopaknya yang indah.”

    “Bagaimana bisa…? Bukankah itu melawan hukum alam?”

    “Saya punya kakak perempuan yang sangat pintar, dan punya teman-teman yang siap membantu kapan saja. Dengan bantuan mereka, hal itu pasti bisa dilakukan. Dan perlu anda ketahui, Fukuroku-san, teknologi sekarang…”

    Aku sempat terdiam saat ingin melanjutkan. Tiba-tiba aku jadi teringat diriku sendiri, yang lahir secara tidak alami. Sangat tidak alami. Mungkin karena itulah aku yakin kalau janji Fukuroku-san pada keluarganya di masa lalu bisa dipenuhi sekarang.

    “…pasti bisa mewujudkan yang anda inginkan itu.”

    Dia tidak menertawaiku, tidak juga meledekku. Hanya sebuah senyuman, lalu dia berkata, “Saya akan menunggunya, Azrael.”

    Sebenarnya aku tidak tahu, bahkan secuil idepun, apa yang bisa digunakan untuk menumbuhkan 10000 ribu azalea di Tsutsujigaoka dalam waktu singkat. Tapi aku bisa bertanya pada onee-chan dan mungkin, Daleth. Harus kucoba. Ini semua demi permintaan yang bisa jadi adalah permintaan terakhir Fukuroku-san sepanjang hidupnya.




    Diskusi dengan onee-chan tidak membawa hasil. Dia mengatakan kalau hal itu sangat mustahil. Dipaksa dengan hormon pertumbuhanpun tidak ada gunanya, karena jika dibiarkan di udara terbuka seperti itu pastilah bunga-bunga azalea yang baru saja ingin mekar akan layu sebelum berkembang penuh. Aku sempat kecewa mendengar jawabannya, namun dia berjanji akan berusaha mencari sesuatu yang bisa mewujudkan permintaanku secepatnya. Kuharap…onee-chan mampu melakukannya.

    Satu orang lagi. Satu orang lagi yang bisa kuharapkan. Tiga hari lalu Daleth baru saja mengirim e-mail, berkata kalau mereka ada di Benua Hitam. Walau dia sering mengganti alamat e-mailnya, namun akan kucoba mengirim e-mail mengenai kabar ini ke alamatnya tiga hari yang lalu itu. Saat jam istirahat, kupinjam komputer di meja resepsionis untuk mengirimkannya. Tolonglah…Daleth, periksa alamat e-mailmu yang ini.

    Dan…keajaiban pun terjadi.

    “Menumbuhkan azalea di musim dingin? Kedengarannya mustahil…eh? Tapi jangan khawatir. Aku tahu sesuatu…maksudku, seseorang, yang bisa melakukan hal itu. Mungkin akan sulit untuk memintanya pergi ke Seihou karena dia juga punya pekerjaannya sendiri. Tapi akan kucoba memintanya untuk mengirimkan sampel rambut dan potongan kukunya ke sana. Siapa tahu dengan begitu senpai bisa menemukan sesuatu untuk membuat azalea mekar di waktu yang tidak wajar seperti sekarang. Nanti akan kukirimkan detailnya pada senpai. Jadi, berdoalah agar semuanya berjalan lancar. Oke?”

    Nyaris aku dibuat menangis bahagia oleh e-mail itu. Aku sendiri tidak percaya ada seseorang yang memiliki kemampuan seperti itu. Tapi kalau sudah Daleth yang mengatakannya, pastilah dia tidak berbohong.

    Sampel rambut dan kukunya tiba di rumahku 2 hari setelahnya. Tertera nama “Helena Ouranoxiphos” sebagai pengirimnya, beralamat di kota Constantinople, Helenos. Pastinya aku harus berterima kasih pada orang ini. Mungkin nanti aku akan ke Helenos, jika mengambil jatah cuti.

    “Azrael-chan, boleh aku mengatakan sesuatu?”, tanya onee-chan saat aku menyerahkan sampel itu.

    “Ya? Katakan saja.”

    “Boleh aku menggunakan mesin itu lagi? Yang di bawah tanah itu. Tidak ada lagi alat yang bisa mengolah dan membaca struktur DNA dengan cepat selain alat-alat di ruangan itu.”

    “Maksudmu…yang di bawah honden itu? Jika memang alat itu dibutuhkan, kenapa tidak? Aku juga akan membantu sebisaku jika dibutuhkan.”

    “Tidak usah, Azrael-chan. Tugasmu adalah menemani orang tua itu. Aku hanya meminta izin padamu karena…aku tidak ingin kamu mengira kalau aku kembali melakukan sesuatu yang salah.”

    “Tenanglah, onee-chan. Aku percaya padamu. Dan ingat, jangan sampai lupa makan karena hal ini, oke?”

    “Iya, iya.”, seperti biasa, ditutup dengan senyuman terlukis di wajahnya.




    Hari-hari berlalu seperti biasa. Suhu udara makin anjlok, namun salju belum juga turun. Langit seakan menunggu azalea-azalea itu tumbuh dan mekar dengan penuh.

    Aku tahu onee-chan sedang bekerja keras sekarang. Memang tidak begitu sulit untuk membaca struktur genetik dari sampel yang dikirimkan, namun onee-chan masih belum mengerti bagaimana cara mengaktifkan kemampuan yang dimiliki gen-gen yang ada di dalamnya, kemampuan untuk memanipulasi energi kehidupan.


    Onee-chan, kumohon cepatlah. Fukuroku-san tidak mampu lagi menunggu terlalu lama…


    Penurunan suhu udara diikuti dengan memburuknya kondisi Fukuroku-san. Tubuh tuanya makin lemah. Dudukpun sekarang sudah sulit untuk dilakukannya. Sepanjang hari dia hanya berbaring, sesekali menatap pot berisi azalea ---bunga-bunganya telah gugur seluruhnya--- yang belum kubuang.

    Hingga…saat yang terburuk tiba.

    Onee-chan masih belum menyelesaikan penelitiannya, namun…Fukuroku-san tidak lagi dapat membuka mata. Koma. Segera saja dia dibawa ke ruang ICU. Detak jantungnya begitu lemah, bahkan tidak lagi bisa kuajak bicara. Dirinya sudah berada di batas antara kehidupan dan kematian. Di tengah kondisi itu, aku masih berharap. Bahkan kuputuskan untuk tidak pulang hari ini demi menemaninya semalaman.

    Pikiranku merasa tertekan, mirip seperti yang kualami saat akhir musim semi lalu. Sudah kedua kalinya aku berjanji pada seseorang dalam kondisi yang kritis. Untung saja waktu itu keajaiban terjadi, sehingga aku bisa menuntaskan apa yang sudah kumulai. Tapi kali ini…jujur saja, aku ragu. Aku merasa ini sudah waktunya bagi Fukuroku-san untuk pergi.

    Mungkin…saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal. Terima kasih untuk segalanya…

    …ojii-san.

    ………

    ………




    Pagi ini aku merasa udara sedikit lebih hangat dibanding beberapa hari terakhir. Kubuka mataku…terlihat tembok, tembok di ruang ICU. Ternyata aku tertidur di sampingnya semalaman.

    Tunggu. Hei…ada apa ini di kepalaku? Ada yang membelaiku dengan lembut…

    Aku tidak percaya. Benar-benar tidak percaya. Apa aku masih bermimpi? Bukankah kondisinya sangat kritis tadi malam? Bahkan akupun sudah menyerah, mengucapkan selamat tinggal padanya.

    “Selamat pagi, Azrael.”

    “Fukuroku…-san?! Anda sudah sadar?”

    Dia berusaha duduk dengan dibantu olehku, lalu menjawab, “Hahaha…ya, seperti yang bisa kamu lihat. Saya juga tidak merasa lemas lagi seperti beberapa hari terakhir.”

    Detak jantungnya stabil, setidaknya begitulah menurut apa yang terbaca di mesin electrocardiograph. Meski kakinya tetap melangkah dalam tempo yang lambat ---jadi dia harus duduk di kursi roda---, namun wajahnya terlihat segar. Apa benar dia sudah sehat total? Ah sudahlah, itu tidak penting. Baiklah, sepertinya dia sudah bisa dibawa kembali ke ruangannya yang biasa.

    Beberapa meter sebelum sampai di depan pintu ruangan Fukuroku-san, Chiyuko-san datang menghampiri. Ada pesan dari onee-chan. Aku diminta untuk pergi ke Tsutsujigaoka nanti sore, begitu katanya. Onee-chan tidak memberitahuku kemarin karena dia tahu aku sedang berada di ruang ICU untuk mengawasi Fukuroku-san. Berarti…

    “Fukuroku-san, hari ini keinginan anda sudah bisa terpenuhi.”

    “Wow…benarkah?”, responnya dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak percaya.

    “Pasti, Fukuroku-san. Onee-chan tidak pernah berbohong pada saya.”

    “Ah…pasti dia kakak yang baik. Baiklah, nanti sore kita pergi ke sana.”




    Jam tiga sore.

    Udara masih belum begitu dingin, membuat saat ini adalah waktu yang tepat untuk keluar dan pergi ke tempat itu, Tsutsujigaoka. Kucarikan syal dan sweater untuknya, ditambah sebuah jaket tebal yang direntangkan di atas kakinya. Aku sendiri juga mengenakan jaket panjang, selain seragam perawat yang kugunakan di dalamnya. Kuharap tidak terjadi apa-apa pada Fukuroku-san ---yang duduk di kursi roda--- sepanjang perjalanan. Saatnya…berangkat.

    Karena tempatnya tidak begitu jauh ---selambat-lambatnya hanya 20 menit berjalan kaki---, maka kuputuskan untuk tidak menggunakan kendaraan apapun. Dan entah bagaimana, kondisi fisik Fukuroku-san tergolong baik, tidak menurun sama sekali dalam perjalanan. Padahal sesekali terasa hembusan angin yang cukup dingin, walaupun tidak kencang.

    Perjalanan diisi dengan cerita hidupnya. Sebenarnya, Fukuroku-san pernah ke kota ini sekitar 60 tahun yang lalu. Di kota inilah, lebih tepatnya di taman Tsutsujigaoka, Fukuroku-san bertemu dengan istrinya yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Sekarang aku mengerti kenapa dia berjanji untuk membawa istri serta keluarganya ke sini. Yah…walau sekarang bukan mereka yang menemani, namun diriku.

    “Tapi kamu kuat juga ya. Sejak lima menit yang lalu jalanannya menanjak, namun saya tidak melihatmu kelelahan.”

    “Itu sudah biasa, Fukuroku-san. Kecil-kecil begini saya ini termasuk kuat.”

    “Hahaha…bisa saja.”

    Pandangan Fukuroku-san teralih pada sebuah kelopak bunga yang terbang tak jauh di depannya. Kelopak azalea. Berhubung taman itu terletak di tepi sungai, aku juga melihat kelopak-kelopak azalea yang hanyut terbawa sungai di sebelah kiri jalan. Perlahan, pemandangan di hadapanku berubah…


    …menjadi penuh warna.


    Tidak hanya Fukuroku-san, aku juga terkagum-kagum melihat kondisi taman ini sekarang. Tsutsujigaoka telah berubah menjadi hamparan padang azalea luas yang semarak. Di beberapa titik juga terdapat pohon oak merah, yang ikut tumbuh seakan ingin menemani semak-semak azalea di bawahnya.

    “Ini…bagaimana mungkin…”, komentar Fukuroku-san sambil memandang bentangan warna-warni di depannya dengan penuh kekaguman.

    “Apa anda ingin ke tempat tertentu, Fukuroku-san? Mungkin tempat di mana kita bisa melihat semua ini dengan lebih jelas?”

    “Oh…ya, jalan saja dulu, nanti akan saya arahkan. Mudah-mudahan saya masih ingat.”

    Kutelusuri jalan dari batu-batu persegi yang disusun rapi ini, sambil perlahan melangkah. Tenang, sangat tenang. Begitulah kondisi taman ini. Di tengah suasana yang menyejukkan jiwa ini, tak henti-hentinya mataku terus menelusuri warna-warni indah yang sebelumnya hanya berisi warna coklat dari tanah dan ranting serta batang. Ini…keajaiban. Onee-chan telah membuat keajaiban. Tidak ada satupun azalea yang terlewat, semuanya berbunga.

    “Di sini kita belok kanan.”, ujarnya mengarahkan.

    Setelah 3 menit, di hadapanku ada sebuah gundukan tanah yang cukup landai, dengan puncaknya yang kira-kira 3 meter lebih tinggi dari sekitarnya. Sebuah pohon oak merah dengan tinggi sekitar 15 meter berdiri menjulang di titik tersebut, menaungi semak-semak azalea yang tumbuh beberapa puluh sentimeter dari batangnya.

    “Bisa…bantu saya berdiri?”

    “Eh? Anda yakin ingin berjalan ke sana?”

    “Azrael.”

    Dia hanya mengucapkan namaku, lalu tersenyum. Uh…kalau sudah begini aku tidak bisa menolak permintaannya.




    Sambil memegang tangannya, kutuntun Fukuroku-san yang melangkah perlahan. Di kiri dan kananku, semak-semak azalea seakan memberi semangat padanya untuk terus melangkah hingga ke pohon oak yang di atas itu. Memang tidak masalah buatku, namun bagi orang tua seperti dirinya, ketinggian seperti ini pastilah menyulitkan. Anehnya, tidak terlihat tanda-tanda kelelahan pada wajahnya. Sebegitu kuatkah keinginannya untuk melihat pemandangan ini…?

    Akhirnya, pohon oak merah.

    Duduk bersandar pada batangnya, aku dan Fukuroku-san melayangkan pandangan ke areal taman yang bisa terlihat. Ternyata dia masih bisa mengingat titik terbaik untuk melihat seluruh taman ini. Keindahan ini tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Hampir seluruh spektrum warna ---kecuali hijau karena tidak ada bunga azalea yang berwarna hijau--- dapat tertangkap mataku. Selama beberapa menit, kami hanya menatap semarak warna yang tiada habisnya ini. Tidak bicara, tidak berkomentar apapun. Hanya sesekali mengambil nafas panjang.

    “Bagaimana, Azrael?”

    Setelah sekali menarik dan menghembuskan nafas panjang, kujawab, “Ini…sangat indah, Fukuroku-san. Terlalu indah. Pasti anda sangat bahagia bisa bertemu dengan istri anda untuk pertama kalinya, di tempat yang menakjubkan seperti ini.”

    “Ya, kamu benar. Saya rasa dia juga sedang melihat pemandangan ini dari dunia sana.”

    “Berarti anda sudah benar-benar puas sekarang?”

    “Begitulah. Sudah tidak ada penyesalan lagi. “

    Tunggu. Suara detak jantungnya…kenapa melemah? Sejak tadi kondisinya normal-normal saja!! Argh, ada apa ini sebenarnya?!

    “Fukuroku…-san?”

    “Terima kasih banyak, Azrael. Terima kasih sudah mau memenuhi permintaan orang tua yang egois seperti saya ini.”

    “T-Tunggu…kenapa harus sekarang…?”

    “Saya juga tidak mengerti kenapa saya masih bisa segar bugar sejak pagi tadi hingga beberapa detik yang lalu. Mungkin…ini semua karenamu.”

    “Setidaknya…setidaknya tunggulah hingga onee-chan tiba… kumohon…”, kugenggam tangan kanannya dengan lembut.

    “Maaf, Azrael. Saya mohon maaf dengan sangat. Katakan juga terima kasih untuk kakak perempuanmu itu. Terima kasih sudah repot-repot mau memenuhi keinginan saya…”, ujarnya dengan suara yang makin lemah.

    Air mataku mulai mengalir. Makin deras, makin deras. Tangisanku makin menjadi begitu merasakan tangannya yang semakin dingin, yang kusentuhkan ke pipiku. Belum pernah aku menangis seperti ini sejak aku dilahirkan. Kali ini, perasaanku benar-benar tidak bisa dikendalikan. Dengan kata lain, sebentar lagi Fukuroku-san akan…

    “Jangan menangis, Azrael. Saya…akan tetap menikmati pemandangan ini dari alam sana.”

    Kupeluk tubuhnya yang kurus itu. Perlahan dia mengelus kepalaku dengan sisa-sisa tenaganya. Detak jantungnya terdengar makin pelan.

    Aku mengerti kenapa aku bisa menangis hingga terisak-isak seperti ini. Ada dua alasan.

    Pertama, aku tersentuh dan kagum dengan Fukuroku-san. Semangat hidupnya terus menyala hingga pemandangan menakjubkan ini siap untuk menyambut dirinya. Ternyata sekuat inilah manusia. Ketakutan akan akhir dari hidup bukanlah menjadi halangan bagi manusia untuk terus berjuang, demi sesuatu yang diinginkan.

    Kedua, aku menyesal. Penyesalanku timbul ketika sejenak memori masa laluku bangkit. Dulu, aku tidak pernah memikirkan hal ini, sehingga nyawa manusiapun kuanggap remeh. Benar kata Daleth, akan lebih baik untuk membuat seorang manusia sadar akan kesalahannya dibanding harus dihukum mati. Dengan begitu, terbuka harapan baginya untuk terus berjuang memenuhi apa yang diharapkannya, seperti yang dilakukan Fukuroku-san. Aku menyesal telah mengakhiri hidup beberapa orang, yang mungkin masih bisa diselamatkan apabila dia mengajukan banding. Aku menyesal…telah mengakhiri cita-cita seorang manusia.

    Dan sekarang…lengkap sudah. Aku sudah mengerti semuanya. Kuharap dengan ini aku bisa menjalani hidup menjadi manusia seutuhnya.

    “Terima kasih untuk segalanya, ojii-san…”

    Pipiku mendadak terasa dingin. Ada yang menyentuh pipiku, sesuatu yang lembut dari atas.


    Salju…


    Turun perlahan dari langit, seakan menjemput Fukuroku-san kembali ke alam sana.

    Pemandangan yang aneh namun indah ini tidak hanya diamati olehku dan Fukuroku-san ---yang sudah berada di dunia sana---, namun oleh seluruh kota. Ya, pemandangan dimana azalea tumbuh di tengah turunnya salju.




    “Onee-chan tidak seharusnya bersembunyi waktu itu. Padahal sudah di belakang pohon yang sama begitu…”

    “Aku tidak sanggup untuk keluar, Azrael-chan. Air mataku tidak berhenti mengalir meski hanya mendengar kalian berbicara.”

    Begitulah yang kukatakan pada onee-chan setelah kami selesai menghadiri pemakaman Fukuroku-san. Sebenarnya waktu itu dia bersembunyi di balik pohon oak merah tempatku dan Fukuroku-san duduk. Berhubung diameternya sangat besar, dia jadi tidak terlihat olehku, meski beberapa kali terdengar suara aneh dari balik pohon, menandakan keberadaannya di situ.

    “Terima kasih ya, onee-chan. Dari Fukuroku-san juga. Kali ini…onee-chan sudah membuat keajaiban yang luar biasa.”

    Dia hanya tersenyum, lalu menggelengkan kepala dua kali.

    “Bukan, Azrael-chan. Yang kulakukan semata-mata hanya mengekstraksi zat aneh yang keluar dari sel-sel pada sampel itu, lalu menyemprotkannya ke semua tanaman yang ada di taman. Kamulah pembuat keajaiban yang sebenarnya.”

    “Eh…? Aku?”, jika aku bercermin, mungkin wajahku terlihat terkejut sekarang.

    “Kamu memberikan hidup padanya, meski hanya sehari. Kamu tahu? Di tengah malam saat kamu tertidur di sampingnya, sebenarnya detak jantungnya sudah berhenti. Hanya seiktar empat hingga lima menit, lalu berdetak kembali dengan normal. Ya, normal. Tidak lemah.”

    “Bagaimana…bisa?”

    “Mana kutahu? Memangnya ada keajaiban yang bisa dijelaskan dengan akal sehat?”

    “Tapi aku bahagia. Setidaknya aku bisa mengantarkan kepergiannya dengan cara yang indah dan menakjubkan, bukan dengan eksekusi seperti yang biasa kulakukan dulu. Dan…aku sudah mengerti, onee-chan. Aku sudah mengerti bagaimana menjalani hidup sebagai manusia normal.”

    “Baguslah kalau begitu. Ternyata tidak sia-sia kamu kuijinkan mengambil tes awal untuk bekerja di rumah sakit.”




    Gregor memang memberiku awal kehidupan, Daleth memberiku kesempatan untuk memulai hidup yang baru, dan Resha memberiku pelajaran mengenai menjalani hidup dengan cinta. Namun onee-chan lah yang memberiku waktu agar bisa mempelajari kehidupan dengan caraku sendiri. Dan semuanya tidak sia-sia.

    “Terima kasih banyak untuk semuanya, onee-chan.”

    “Sama-sama, Azrael-chan.”

    Kalian tahu? Sejak peristiwa luar biasa itu, orang-orang rumah sakit memberikan julukan padaku. Jabatanku tidaklah tinggi seperti Seijinrei-sensei sehingga pantas diberikan nama khusus. Namun senyumanku, kelembutanku, dan caraku menangani pasien yang bukan hanya membantu penyembuhan tubuh, tetapi juga hatinya, itulah yang membuatku dijuluki…

    Snow Angel.


    =========================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Fukuroku Hisashi (福禄 寿)
      ---> 福 (fuku, saiwai) = happiness
      ---> 禄 (roku, fuchi) = prosperity
      ---> 寿 (ju, kotobuki, hisashi) = longevity, old age
      Sebenernya kalo ketiga kanji itu disatuin jadi 1 kata,
      maka akan terbentuk kata Fukurokuju = salah satu dari Seven Lucky Gods (Shichifukujin) dalam mitologi Jepang
    • Tau kan kalo ojii-san = kakek?
    • Bagaimana cara menanam azalea dengan baik dan benar?
      Azalea butuh tanah yang ber-pH rendah (agak asam)
      Azalea ga boleh terlalu lama kena sinar matahari langsung
      Azalea akarnya gak dalem
      Yang memenuhi kriteria itu adalah pohon oak merah (Quercus rubra)
      Oak merah ga bermasalah dgn tanah yang asam
      Oak merah yg udah tinggi bisa bikin "adem" azalea di bawahnya
      Oak merah akarnya dalem, jadi gak mengganggu azalea
      Selamat berkebun




    Ceritanya gw pause dulu, mau nyelesein 1 chapter di An Angel and A Reaper,

    terus ending arcnya bakal overlap antara kedua ceritanya
    Last edited by LunarCrusade; 23-06-12 at 16:23.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  4. #48
    Dont's Avatar
    Join Date
    Mar 2011
    Location
    Ritter
    Posts
    23,321
    Points
    35,991.56
    Thanks: 248 / 957 / 799

    Default

    eh salah tempat post. tolong di deleteee aja T_T

  5. #49
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Gue udah baca dari beberapa hari lalu sebenernya, cuma belom dibacotin komen ajah.
    Okeh, saatnya ngebacot dimari

    Spoiler untuk kali ini bener2 bacot murni :
    Ngg, jadi ceritanya si suster pendek itu anaknya si tukang roti? Serius, awalnya gue pikir mereka itu ngga berhubungan sama sekali. Terus soal numbuhin Azalea ituu, mendadak si Helena muncul lagi, eh? Gue masih ngga ngeh, itu sel2 apaan bisa numbuhin bunga? Oke, ngga terlalu penting juga...

    Jadi akirnya Azrael udah memahami banyak emosi manusia? Berakir dengan bagus juga yah. Tapi, kok baca 2 chapter terbaru ini gue datar2 aja yah? Entah gue nya ato gimana, tapi gue ngga ngerasa se 'hangat' chapter sebelomnya, loh. Terutama chapter 10, gue ngga ngerasa apaa gitu. Padahal sebenernya jalan ceritanya cukup sedih juga.

    Ngg, susah juga jelasinnya. Tapi kok, kayanya belakangan ini si Azrael jadi gimana gitu ya? Asli, ini kayanya feel gue sendiri...gue ngerasanya dia jadi agak beda dibanding sebelom2nya dalam hal nanganin orang, masalah atopun orangnya sendiri. Gue ngga bisa jelasin, tapi gue bener ngerasa ada perbedaan kecil. Sayangnya perbedaan itu bikin 'klik' nya jadi agak kurang buat gue.

    Ceritanya sih tetep bagus, nyambung sama intinya, ngga gimana2. Tapi mungkin dari tokoh utama nya doang.

    Iyah, begitulah. Sori2 aja nih, entah gue nya nyang lagi eror ato gimana. Tapi jujur aja, gue agak kurang puas juga baca nya. Mohon maap yak, jangan cambuk sayah

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  6. #50
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk duer :

    kenapa tenchou sama Chiyuko-san ada hubungannya?
    soalnya gw males nyari nama buat chara baru


    Helena cuma nongol namanya doang...
    Coba baca lagi Chapter 16 AAaAR, Helena emang punya kekuatan khusus yang bisa jadi ada di DNA nya dia


    Bedanya...
    Mungkin makin mature? Jadi character development nya dapet
    Ga mungkin kan gw bikin Azrael terus"an ga ngerti apa"...jadi memang udah direncanain dia bakal makin berubah di tiap chapternya ~
    atau mungkin cara bicaranya? gw sendiri ngerasa entah berubah dengan sendirinya cara ngomongnya si Azrael


    Kalo chapter 9, gw setuju memang feel heart-warming nya kurang
    Gw kebawa cara nulis AAaAR yg konsentrasi di problem solving
    Tapi kalo chapter 10...
    Gw sempet nangis sendiri begitu ngetik


    cambuk dolo ah

    Last edited by LunarCrusade; 04-07-12 at 13:33.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  7. #51
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Phase 11 :


    ================
    Phase 11: The Devil
    ================




    Kedamaian, ketenangan. Kebahagiaan.

    Masa-masa ini adalah saat yang sangat menyenangkan untukku. Amat berbeda dengan suasana di Anglion ketika aku dilahirkan. Semua orang begitu ramah, begitu hangat. Emosiku sudah terbentuk seluruhnya melalui pertemuan-pertemuan tak terlupakan yang terjadi beberapa bulan belakangan. Ya, aku sudah nyaris tidak ada bedanya dengan orang kebanyakan. Mungkin hanya wajahku ketika diam saja yang menurut orang banyak, masih memiliki aura agak menyeramkan. Kalau untuk yang satu itu…mau bagaimana lagi. Tidak bisa diubah kecuali dengan operasi plastik…hehehe.

    Meski keluargaku tidak lengkap, namun kehadiran onee-chan sangat berarti bagi hidupku. Apalagi dia jadi lebih sering di rumah saat minggu terakhir Desember hingga 1 Januari. Tentu saja, untuk persiapan acara saat tahun baru. Biasanya pada tanggal 31 Desember dan 1 Januari kuil ini akan dikunjungi banyak orang, tradisi hatsumode.

    Waktu luang onee-chan selama minggu itu benar-benar dihabiskannya denganku. Mulai dari belanja, makan malam bersama di luar, hingga ke onsen. Tidak ada satu hal pun yang tidak dilakukannya bersamaku. Kami jadi makin terbuka, makin dekat, dan makin akrab. Meski onee-chan lebih banyak diam saat di depan umum, namun itu tidak membuatku khawatir lagi. Setidaknya dia benar-benar berperan sebagai seorang kakak yang baik di rumah, seorang yang lembut dan penuh kasih sayang.

    Satu kali saat di rumah, pernah aku bertanya padanya kenapa dia mau menganggapku sebagai adiknya sendiri, 3 hari sebelum tahun baru. Jawabannya benar-benar membuatku terdiam beberapa saat.

    “Aku butuh orang lain untuk kusayangi sebagai keluarga. Itu saja.”

    Sorot matanya memancarkan rasa kesepian saat mengatakan hal itu. Aku yakin onee-chan merasa kesepian sejak lama setelah seluruh anggota keluarga kandungnya pergi untuk selamanya. Aku menyadari bahwa kebutuhan untuk mengasihi orang lain adalah salah satu hal yang mendasar dalam hidup semua manusia, sama seperti onee-chan, Daleth, Resha, dan orang-orang yang telah kutemui.

    Semua? Mungkin…tidak.




    “Halo, Azrael.”

    Ya, mungkin kecuali dirinya. Gregor Crick.

    4 Januari, malam hari. Kuil ini kedatangan tamu yang tidak terduga. Gregor tiba-tiba muncul di depan pintu rumah, bersama 5 orang berseragam serba hitam yang entah orang Anglion, entah orang Liberion. Tidak ada sesuatu pada penampilan mereka yang menandakan asal negaranya. Sebelumnya aku sempat mendengar suara helikopter, yang perlahan menghilang begitu Gregor mendobrak pintu rumah.

    “Mau apa kamu kemari?”, tanyaku dengan dingin.

    Kedatangan mereka membuat onee-chan ketakutan. Melihatnya seperti itu, aku berdiri di depan onee-chan untuk melindunginya.

    “Hoho…tentu saja untuk menjemputmu, Azrael. Kamu sangat dibutuhkan sebentar lagi.”, jawab Gregor dengan santai.

    “Kenapa kamu baru menginginkan Azrael-chan sekarang?! Setelah semua ini…kenapa---“

    *DZING!!~

    Gregor menembak ke arah lantai di dekat kaki onee-chan dengan M9 dari balik jasnya. Kakak angkatku itu langsung terduduk lemas, mungkin mengira kalau peluru tadi akan mengenainya.

    “Onee-chan tidak apa-apa?”, tanyaku sambil berlutut di sebelah kanannya.

    “T-Tidak apa-apa. Tidak ada yang terluka.”, jawabnya kaku.

    “Maaf, senpai. Tapi aku tidak bertanya padamu!! Apa senpai tidak pernah diajari sopan santun?!”, Gregor memaki.

    Dia memanggil onee-chan sama seperti yang Daleth lakukan. Berarti ketiganya memang sudah saling kenal sejak lama.

    “Stop!! Jangan libatkan onee-chan dalam hal ini!! Jika kamu menginginkanku, jangan sakiti dirinya!!”

    “HAHAHA!! Lihat mereka.”, ujarnya pada orang-orang berseragam serba hitam itu, disambut tawa kecil dari mereka. “Oh…so sweet. Tapi baiklah, karena tidak sopan jika aku tidak menjawab, akan kukatakan alasan sebenarnya. Azrael sangat dibutuhkan untuk perang yang akan datang.”

    “P-Perang?! Apa maksudmu, Gregor?!”, seru onee-chan.

    “Yah…seperti yang sudah kukatakan tadi. Sebentar lagi Liberion akan mengadakan uji coba senjata, lalu…mendeklarasikan perang. Tidak rumit kan?”

    Aku kembali dijadikan senjata pembunuh? Tidak bisa. Aku tidak akan menuruti kata-katanya. Kehidupanku yang begitu damai dan menyenangkan rusak begitu saja karena ketamakan para pejabat tinggi ******* itu? Yang benar saja.

    “Bagaimana jika aku menolak?”

    “Kamu mau kalau seluruh kuil ini diledakkan? Baiklah, tidak masalah.”

    “S-Stop!! Jangan lakukan itu!!”, seru onee-chan.

    “Dengar apa kata kakakmu itu, Azrael? Sepertinya dia tidak ingin kalau tempat ini dihancurkan.”, ujarnya santai.

    “Kenapa…kenapa kamu melakukan ini sekarang…ketika aku sudah punya kebahagiaanku sendiri---“

    “HAH?! Kamu bercanda?! Sekali ciptaan, tetap ciptaan. Turuti kata-kata penciptamu, Azrael!!”

    “Kalau begitu kenapa kamu tidak menangkapku sejak lama, sebelum semua hal yang indah itu kualami?! Apa kamu ingin merusak hidupku begitu saja?!”

    Dia berjalan mendekat, lalu kupeluk onee-chan makin erat. Diapun berlutut dengan sebelah kaki, lalu tangan kirinya meraih daguku.

    “Hidup…katamu? HIDUP?! Dengar ini baik-baik, Azrael. Kamu. Tidak. Punya. Hidup. Sama. Sekali!! MENGERTI?! Kodratmu hanyalah seonggok sistem organ yang berjalan yang bisa kumanfaatkan semauku!!”

    Aku benar-benar tersentak mendengar kata-katanya, bahkan pandanganku mendadak kosong. Amat berbeda dengan Daleth yang memandangku sebagai manusia normal.

    Aku tahu betul asal-usulku yang dibentuk hanya dengan memasang gen-gen manusia layaknya balok mainan, lalu dipercepat pertumbuhannya dengan teknik-teknik manipulasi biologis tertentu. Namun…setelah menjalani hidup sebagai seorang pegawai rumah sakit…apa benar aku tetap seeonggok sistem organ seperti yang Gregor katakan? Tidak mungkin. Semua yang telah kualami bukanlah delusi, namun kenyataan. Aku bisa bersikap layaknya manusia. Aku bisa tertawa, tersenyum, marah, dan juga menangis.

    “Gregor, cukup!! Kamu tidak berhak mengatakan hal itu padanya!!”

    “Sudah kubilang DIAAAAAMM!!! Aku tidak sedang bicara dengamu!!”, teriaknya, lalu kembali menarik pelatuk.




    Kemampuanku yang di atas rata-rata manusia biasa bekerja dengan baik kali ini. Sebelum peluru mengenai tubuh onee-chan, aku sempat bergerak dan memeluk tubuhnya dari depan. Peluru itupun…mengenai bagian belakang lengan kananku. Ternyata sakit juga diterjang peluru dari jarak yang cukup dekat seperti itu.

    “O-Onee-chan tidak terluka kan?”, tanyaku, sambil menahan sakit.

    “Azrael-chan!!!”

    Gregor pun berkomentar, “Bagaimana? Apa rasanya sakit? Sadarlah, hei Azrael. Sekuat apapun tubuhmu, kamu tetaplah terdiri dari darah dan daging. Untung saja yang tadi tidak menembus jantungmu.”

    Tidak ada rasa bersalah terlihat dari ekspresinya, tetapi aku tidak bisa marah padanya. Alam bawah sadarku menyadari kalau dia tetaplah orang yang membuatku bisa bernafas dan berjalan di atas muka Bumi. Aku hanya heran, apa yang menyebabkannya seperti itu? Apa dia tidak pernah mengalami masa-masa yang dipenuhi kasih sayang?

    Sebenarnya aku tidak ingin ikut dengannya, tidak sama sekali. Namun aku berpikir, jika aku tetap menolaknya maka keselamatan onee-chan menjadi taruhannya. Pilihan yang sulit, sangat sulit. Ini pertama kalinya aku harus mengambil sebuah langkah yang amat berat. Tapi…

    “Baiklah, aku ikut.”

    “A-Azrael-chan...?!”, onee-chan terlihat tidak percaya.

    “Maaf, onee-chan. Jika kubiarkan lebih lama lagi, bisa-bisa mereka akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapmu, terhadap tempat ini juga. Aku tidak mau onee-chan terluka.”

    “Bagus, bagus. Pilihan yang bijak. Kalau begitu, Azrael, bersumpahlah kalau kamu tidak akan berkhianat lagi.”, sahut Gregor.

    “Tapi sebagai gantinya, jangan sentuh onee-chan. Jika kamu memegang janjimu, maka begitu juga denganku.”

    “Cih, sudah bisa tawar-menawar rupanya. Baiklah, berhubung penelitiannya juga sudah tidak dibutuhkan pemerintah Liberion lagi, aku akan melepaskannya. Dan…sebagai tanda kesetiaanmu…”

    Dia berdiri, lalu berkata…

    “…jilat ujung sepatuku.”

    Belum pernah aku direndahkan seperti ini sejak aku dilahirkan. Dia benar-benar menganggapku tidak ada bedanya dengan hewan. Tapi…demi onee-chan…

    “B-Baiklah…”

    “Azrael-chan!! Jangan---“

    Kata-kata onee-chan terhenti begitu orang-orang berpakaian serba hitam itu menodongkan pistol masing-masing ke arahnya.
    Kuraih sepatu kulitnya itu, lalu perlahan menunduk serendah-rendahnya. Namun belum sempat lidahku menyentuh ujung sepatunya…dia menendangku. Ah, bibirku berdarah.

    “Lakukan lagi.”

    Aku tidak bisa menolak. Dalam situasi begini, tidak ada pilihan lain selain menuruti kata-katanya. Tangisan onee-chan makin menjadi begitu melihatku ditendang layaknya seekor ******. Namun dia tidak mampu berbuat apa-apa. Hanya bisa duduk sambil berurai air mata.

    Kedua kalinya dia menendang mulutku dengan ujung sepatunya yang keras itu, hingga aku jatuh tersungkur. Tidak puas dengan itu, dia menginjak-injak bagian bahu kananku, yang menjadi tempat bersarangnya peluru dari M9 miliknya. Aku tidak bisa menggambarkan rasa sakitnya dengan kata-kata. Yang jelas, ini belum pernah kualami sebelumnya. Dan entah kenapa, tubuhku tidak bisa dan tidak mau melawan apa yang dilakukan Gregor. Bukan karena aku tidak sanggup, tapi…ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak bisa kupahami.

    Terakhir, dia menendang perutku hingga mau muntah aku dibuatnya. Apa ini hukuman untukku karena mengkhianatinya? Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku pantas menerima semua ini.

    “Gregor…sudah cukup…kumohon…”, ujar onee-chan, disertai tangisan.

    “B-Bagaimana…apa k-kamu…sudah puas…?”, diikuti olehku, yang benar-benar kehilangan tenaga.

    Dia tidak menjawab, hanya membalikkan badan lalu berjalan ke arah pintu.

    “Bawa dia. Pulihkan kerusakan di tubuhnya setelah sampai di tujuan nanti.”, ujarnya datar.

    Perpisahan ini sangat menyakitkan buatku. Tapi…selama mereka benar-benar tidak menyentuh onee-chan, aku bisa tenang. Satu hal yang pasti, aku akan kembali. Tidak kuucapkan kata-kata selamat tinggal padanya.

    “Aku pasti kembali, onee-chan. Jaga rumah baik-baik.”

    Itulah yang kukatakan pada onee-chan sebelum orang-orang serba hitam itu membawaku ke luar, ke halaman. Hanya suara tangisan darinya yang bisa kudengar ketika aku melangkah. Tenanglah, onee-chan. Setelah semuanya selesai…aku akan pulang. Aku akan pulang sebagai adikmu satu-satunya.

    Tak lama, sebuah helikopter seukuran Apache datang, lalu terbang agak rendah. Tangga tali diturunkan, lalu Gregor naik diikuti olehku dan orang-orang serba hitam itu.




    Beberapa jam berlalu, akupun sampai di tanah timur, di kekaisaran Qing. Kudengar pemberontakan di sini diam-diam didukung Liberion, jadi aku yakin tempatku berpijak sekarang adalah salah satu kota yang dikuasai pemberontak. Dari sini, Gregor membawaku naik ke sebuah pesawat yang jelas bukan pesawat komersial pada umumnya. Lebih tepat dikatakan seperti sebuah jet pribadi, dengan simbol negara Liberion terpampang di bagian ekor. Lagipula tidak mungkin mereka membawaku melalui bandara biasa. Akan terlalu mencurigakan.

    Pesawat ini terbang ke arah barat melintasi samudera Eirene, menuju Liberion. Entah apa alasannya aku tidak dipulangkan ke Anglion.

    Di dalam sini, aku duduk di dekat jendela yang terletak di sebelah kananku. Gregor sendiri duduk di sebelah kiri. Kuberanikan diri untuk bertanya padanya mengenai apa yang akan kulakukan nanti.

    “Kamu akan menjaga menara khusus di Beth-Sheol. Aku yakin kamu bisa memusnahkan orang-orang mencurigakan yang berani mendekat dengan cepat dan efisien.”

    Begitulah jawabnya. Kuputuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut mengenai hal itu karena aku yakin, pastilah aku hanya diperintahkan untuk membunuh siapapun yang berani menyusup. Jadi percuma rasanya kalau aku bertanya detailnya. Tapi…ada satu yang mengusik pikiranku. Kuharap dia tidak akan marah jika kutanyakan hal ini.

    “Satu lagi. Aku heran, kenapa kamu begitu membenci Daleth?”

    Kukira aku akan ditampar sebelum dia membuka mulutnya, ternyata tidak. Meski nadanya terdengar datar, dia tetap menjawabku dengan lengkap.

    “Dia sudah membunuh seseorang yang kucintai. Itu saja.”

    “Tunggu. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa dia…”

    “Dia pernah membantai ratusan orang saat proyek sarung tangannya itu berjalan. Menurut pengakuannya di pengadilan, dia melakukan semua itu untuk mencegah militer Liberion mempergunakan alat itu sebagai senjata pemusnah. Dan seperti yang sudah kamu dengar, kekasihku menjadi korban keganasannya. Daleth tidak pernah tahu karena aku tidak pernah menceritakan hubunganku dengan perempuan yang dibunuhnya itu.”

    “Dan itu alasanmu begitu membencinya? Jika begitu…seperitnya aku bisa mengerti.”

    “Cih, aku tidak butuh pengertian darimu. Buang jauh-jauh segala jenis emosi lembek itu nanti. Tidak dibutuhkan.”, ujarnya ketus.

    Jika benar adanya, berarti Daleth pernah menjadi manusia yang kejam juga. Sulit kupercaya rasanya, apalagi kata-kata Gregor jelas sekali disertai emosi negatif, membuat objektifitas pernyataannya patut diragukan.

    Oke, anggap saja kali ini Gregor berkata benar. Kalau begitu…sempat terjadi perubahan drastis pada diri Daleth. Apa pertemuannya dengan Resha itu yang membuatnya menjadi orang baik? Kalau iya, artinya…aku makin yakin kalau perasaan cinta mampu mengubah segalanya. Apa karena hal itu Gregor berubah jadi manusia seperti sekarang ini? Apa karena dia sudah kehilangan kasih sayang?

    Untuk sementara kuputuskan untuk menyimpan semua pertanyaan itu dalam hati. Aku hanya berharap…suatu hari aku bisa bicara baik-baik dengannya. Aku hanya tidak bisa menerima begitu saja ada orang seperti Gregor, yang malah berubah sifat menjadi manusia berperilaku jelek. Semua contoh yang pernah kulihat ---termasuk diriku sendiri---, menandakan perubahan hidup ke arah yang lebih baik, menuju hal yang bahagia. Aku yakin Gregor juga bisa berubah. Hanya saja mungkin belum waktunya…




    Tidak banyak yang bisa kubicarakan dengan Gregor setelahnya. Aku hanya bisa menunggu hingga pesawat sampai di tempat tujuan. Mendarat di sebuah bandara, lalu aku diantar dengan mobil menuju reruntuhan Beth-Sheol.

    Atau lebih tepatnya, menuju sebuah senjata raksasa berbentuk seperti menara setinggi 960 meter yang bernama…

    …Dimensional Disruptor.


    ==========================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Hatsumode = tradisi orang Jepang saat tahun baru, yaitu kunjungan pertama ke kuil Shinto atau Buddha di awal tahun

    Last edited by LunarCrusade; 10-10-12 at 15:37.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  8. #52
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Phase 12 :


    =============
    Phase 12: Cage
    =============





    Tinggi menara ini membuat leherku pegal jika harus memandang ke arah puncaknya berlama-lama. Konstruksinya sebagian besar terdiri dari bahan mirip logam, namun tidak seperti menara pemancar radio ataupun televisi. Lebih tepat kalau kusebut diselimuti plat-plat logam hingga ke atas. Beberapa kawat baja juga terkait di beberapa titik, membentang hingga ke permukaan tanah sebagai penyangga. Entah apa isi dari menara tersebut, yang jelas di bawahnya ada bangunan 6 lantai berbentuk segi 6 yang berfungsi menopang strukturnya. Cukup luas, mungkin 10 kali luas lapangan bola. Pastilah di bangunan yang di dasar ini tersimpan segala sesuatu untuk mengendalikan menara tersebut.

    Beberapa saat mataku terus terpaku pada menara gigantic itu.

    “Menara ini…sejak kapan?”

    “Akan kuberikan datanya padamu nanti. Yang jelas kamu harus menghafal semua letak ruang yang ada di dalam bangunan. Mengerti?”

    Hanya kujawab dengan sebuah “Mmm.”, disertai sekali mengangguk.

    “Satu lagi. Asah kembali ketajamanmu dalam menggunakan senjata. Suatu hari nanti pastilah tempat ini akan diserang, dan tanggung jawabmu adalah melindunginya.”

    “Boleh kutahu kenapa?”

    “Apa katamu?! ‘Kenapa’?!”, Gregor menarik tangan kiriku dengan kasar, lalu mendekatkan wajahnya. “Lakukan saja apa yang sudah diperintahkan padamu tanpa banyak omong!! Mengerti?! Sekarang, masuk!!”

    Sempat terpikir untuk kabur, tapi…sesuatu mendorongku untuk tetap berada di sini. Apa karena aku tahu kalau yang membentuk tubuhku ada di tempat ini juga? Atau…ada hal lain? Apa ini yang disebut dengan ‘firasat’? Tidak bisa kujelaskan secara logika, bahkan tubuhkupun seakan malas untuk bergerak terlalu jauh dari tempat ini.




    Beberapa hari berikutnya, yang kulakukan tidak jauh berbeda dengan saat di Anglion dulu. Berlatih fisik, menembak sasaran ---untung saja bukan menembak manusia---, dan belajar beberapa hal khususnya segala sesuatu mengenai tempat ini. Hanya satu yang berbeda, kali ini aku bisa merasa bosan.

    Sesekali aku berjalan-jalan di luar untuk melepas rasa bosan itu, meski tidak sampai melewati batas halaman sekitar 100 meter dari gedung, karena ‘firasat’ itu mencegahku keluar lebih jauh. Yah, meski aku harus selalu berbohong dengan mengatakan ‘patroli’, atau bisa-bisa aku dihajar karena dianggap lalai dalam bertugas. Tidak begitu sakit sih, tapi lama-lama aku muak jika harus terus dipukuli seperti itu. Apalagi…aku tidak pernah sama sekali diajari untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain selama di Seihou. Terlepas dari semua perlakuan itu, aku benar-benar tidak mau dan tidak bisa meninggalkan tempat ini.

    Firasat itu terasa makin kuat beberapa hari setelah gempa di Hispaniola, yang dihasilkan oleh senjata ini. Ya, gempa buatan.

    Prinsip umumnya sederhana saja. Menara ini mengekstraksi Dark Matter berukuran cukup besar di bawahnya, lalu dikonversi menjadi Dark Energy yang dapat dikirim ke belahan dunia manapun dalam waktu kurang dari 1 detik, dan percobaan pertamanya adalah lempeng tektonik di dekat pulau Hispaniola. Kudengar banyak sekali korban tewas akibat gempa buatan itu. Andai saja aku diijinkan pergi membantu para korban di sana…

    Hanya dalam 7 hari setelah gempa, seluruh kekuatan militer negara-negara aliansi mulai dikerahkan. Ternyata Liberion benar-benar serius untuk memulai peperangan. Tak ayal, aksi Liberion dan negara-negara aliansi membuat beberapa negara lainnya panik dan bersiap siaga untuk segala kemungkinan terburuk. Hal itupun memperlambat aliran bantuan ke Hispaniola, karena banyak negara lebih memilih untuk mempersiapkan diri dalam perang yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

    “Di mana mereka sekarang…?”

    Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam benakku begitu mengetahui situasi dunia yang sebentar lagi akan berubah kacau. Hatiku mulai merasakan sesuatu, sama seperti ketika onee-chan pergi untuk beberapa hari. Aku…ingin bertemu Daleth dan Resha kembali…

    Pertempuranpun pecah setelah deklarasi perang oleh Liberion, disusul Franks, Frisia, dan Anglion. Mungkin aneh buat sebagian orang, kenapa Liberion tidak segera menggunakan Dimensional Disruptor ini lagi setelah mendeklarasikan perang. Alasannya hanya satu, tidak bisa.

    Ya, tidak bisa. Mesin di tengah menara memiliki keterbatasan dalam hal mengekstraksi Dark Matter. Untuk loading mesinnya saja dibutuhkan waktu berminggu-minggu. Apa artinya? Mereka perlu katalisator untuk mempercepat prosesnya. Dan saat ini, mereka sedang mencarinya.

    Tunggu. Katalisator ruang-waktu? Jangan-jangan firasatku selama ini adalah…




    Kembali dengan alasan berpatroli, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di luar. Menurutku halaman menara ini cukup teratur dengan adanya lapangan parkir sendiri dan lorong basement, serta masih ditumbuhi rumput hijau dan beberapa tumbuhan semak berbunga. Berbeda sekali dengan kondisi tanah di luar halaman yang coklat bercampur hitam akibat penghancuran nyaris satu tahun lalu yang dilakukan oleh temanku sendiri, Resha.

    Aku sedang berdiri bersandar pada tembok, memandang ke arah laut sambil menenteng senjata baruku di bahu kanan, rifle M4A1 dengan M203 grenade launcher. Kucoba mendengar suara ombak untuk menenangkan diri…hingga ada sebuah truk militer datang. Masih jauh, namun karena pendengaranku yang sensitif ini aku bisa mendeteksinya meski jaraknya masih lebih dari 200 meter. Ah, aku harus pura-pura berlagak seperti sedang patroli.

    Seseorang dikeluarkan dari bak truk tersebut oleh dua orang tentara Liberion. Sosoknya sangat kukenal…Resha?!

    Refleks aku berlari ke arahnya, lalu berteriak pada kedua tentara tersebut untuk melepaskannya. Wajahnya terlihat lesu, lemah. Langsung saja kubopong dia di sebelah kananku. Tapi…baru saja kakiku bergerak 5 langkah…

    “Akhirnya, pesananku datang juga.”, sahut Gregor, terlihat puas.

    “Tunggu. Apa maksudmu?”, jujur saja, aku kesal mendengar sahabatku sendiri dipanggil layaknya pesanan makanan melalui delivery order.

    “Kamu sudah mempelajari sistem menara ini, benar begitu? Atau jangan-jangan kamu belum mengerti beberapa hal? Perlu kuajari?”

    “Tidak perlu. Sekarang katakan, untuk apa Resha bisa berada di tempat ini!!”, nada suaraku meninggi.

    “Ternyata bisa marah juga kamu!! Dengar baik-baik. Menara ini membutuhkan dia sebagai katalisator. Paham?!”

    Ternyata firasatku selama ini adalah mengenai hal ini!! Untunglah aku tidak memutuskan untuk kabur. Meski dalam situasi yang buruk seperti sekarang, setidaknya aku bisa bertemu salah satu dari dua orang yang pernah mengubah hidupku.

    “Sekarang, serahkan dia.”

    “Tidak akan.”

    “Serahkan dia kemari!!”

    Kuraih rifle ku dengan tangan kanan, lalu mengarahkan ujungnya pada Gregor sambil berteriak, “Apa kamu tidak dengar?! TIDAK AKAN!!”

    “Ha!! Mau menembakku? Tembak saja, tembak!! Setelah itu kalian berdua akan disiksa pelan-pelan oleh pemerintah hingga mati!!”

    Kuperhatikan dua tentara tadi, ternyata mereka sudah menodongkan ujung senjatanya ke kepalaku. Argh…sial. Terpaksa kulepaskan Resha, lalu Gregor menariknya dengan kasar. Mungkin karena terlalu lemas, Resha tidak melakukan perlawanan apapun. Berteriakpun tidak.

    “Datanglah ke ruanganku dalam lima belas menit. Mengerti?”, suaranya yang dingin itu menusuk telingaku. Bisa-bisa aku dihajar lagi…

    Tetap aku tidak bisa menolak perintahnya. Kali ini…Resha adalah prioritas. Aku tidak tahu apa yang akan Gregor dan ilmuwan-ilmuwan ******* lainnya lakukan terhadap Resha, tapi aku harus tetap berada di dekatnya. Setidaknya, terus mengawasinya.




    Lantai 2, bagian selatan gedung. Di situlah ruangan Gregor berada, tidak jauh dari sumber tenaga mesin besar ini yang berada di sebelah timur. Mungkin sebagian orang tidak percaya, tapi menara yang menjulang itu tidak memiliki sumber energi sama sekali. Yang ada pada konstruksi menara hanyalah akselerator partikel, konverter massa-energi, dan disruptor transmitter untuk menghasilkan distorsi ruang-waktu. Sisanya adalah beberapa perangkat penunjang seperti transformator dan energy stabilizer.

    Saat kubuka pintu ruangannya, kulihat dia sudah duduk di kursi, di belakang meja kerjanya.

    “Kamu tahu kenapa kupanggil kemari?”, tanyanya sambil berdiri, lalu melangkah mendekatiku.

    Aku hanya menggelengkan kepala untuk menjawabnya. Sengaja aku pura-pura tidak tahu.

    “Kamu sadar yang kamu lakukan tadi hah?!”, teriaknya sambil mendorongku ke pintu sudah kututup tadi.

    Tangannya meraih leherku, lalu mulai mencekik dengan jari-jarinya. S-Sial…nafasku…

    “Apa kamu tahu kalau tindakan tadi bisa dinilai sebagai tindakan pembangkangan??!!”

    Tentu saja suaraku tidak bisa dikeluarkan, sehingga hanya kujawab dengan sekali mengangguk.

    “Tentunya kamu mengerti bagaimana seharusnya sikap yang ditunjukkan setelah berbuat salah. Benar begitu? Jawab!!”

    Sekuat tenaga aku berusaha mengeluarkan suara, “M-Maaf…”

    “Bagus.”, responnya sambil melepaskan leherku, namun mendorongnya hingga kepalaku terbentur pintu.

    Leherku terasa sakit, ditambah otot-ototku lemas akibat kekurangan oksigen. Kedua kakiku tidak lagi bisa menopang dengan benar, sehingga aku langsung terduduk lesu. Masih dalam kondisiku yang tersengal-sengal, dia memberikan perintah.

    “Jaga ruangannya baik-baik. Lantai enam, bagian utara. Hanya ada satu ruangan yang cocok untuknya dan kamu akan tahu sendiri nanti.”

    “K-Kamu ingin aku m-menjaga Resha…?”, tanyaku dengan sisa-sisa tenaga yang ada.

    “Dia itu spesimen berharga!! Tidak mungkin kubiarkan dia merasa depresi lalu bunuh diri sebelum bisa digunakan.”

    “S-Sama saja…kamu menganggapnya bukan sebagai m-manusia--- AAAAHHH!!!”, teriakku, karena kaki kanannya menginjak pundak kiriku keras-keras ke pintu.

    “Jangan main-main. Cukup jalankan perintah.”, jawabnya dingin.

    Aku sudah tidak tahan lagi. Sebegitu besarkah rasa bencinya padaku? Dicerca, dimaki, dipukuli, ditendang, bahkan diinjak. Tidak, aku tidak marah. Lebih tepatnya aku tidak bisa marah. Aku hanya sedih dan kecewa dengan perlakuannya. Kuberanikan diri untuk bertanya hal ini…

    “Kamu…apa kamu benar-benar benci padaku?”

    Tanpa sadar air mataku mengalir. Mungkin sudah beberapa minggu ini kusimpan, tapi akhirnya tidak bisa kutahan juga. Banyak, sangat banyak.

    “Azrael.”, dia hanya mengucapkan namaku dengan datar.

    “Jawab, Gregor!! Jika kamu terus menganggapku seperti sampah, lebih baik bunuh saja diriku!!”

    “AZRAEL…!!!!”, suara teriakannya yang lebih keras itu membuatku tersentak.

    Kaki kanannya itu menginjak pundakku berulang-ulang. Entah sudah berapa kali, aku tidak menghitungnya. Yang jelas semua itu diakhiri dengan menendangku keluar ruangan. Ya, benar-benar ditendang seperti hewan yang tidak diinginkan. Aku terus bertanya kenapa…kenapa dia melakukan semua ini? Banyak orang yang kutemui selalu mencintai dan menghargai karya ciptaannya. Chiyuko-san selalu memuji dirinya sendiri apabila berhasil menyelesaikan sebuah gambar. Daleth selalu tersenyum puas setelah memanggang roti sewaktu di Inari Bakery. Bahkan onee-chan selalu berteriak riang seperti anak kecil jika berhasil menyelesaikan proyeknya, terkadang memelukku erat-erat sampai hidungku susah untuk mengambil nafas. Tapi…kenapa dia berbeda? Kenapa Gregor berbeda…?

    Beberapa menit aku hanya duduk bersandar di tembok dengan berurai air mata. Suasana koridor ini yang sepi membuat tangisanku menggema, seakan ada lebih dari satu orang yang menangis. Rasanya aku tidak ingin bergerak melangkah, namun…Resha menungguku. Ya, aku harus memeriksa keadaannya.

    Kuhapus air mataku, lalu mulai berdiri dan melangkah menuju lantai 6 dengan lift di sebelah barat.




    Tidak banyak orang di lantai 6 ini. Hanya 2 orang yang sempat berpapasan denganku ketika menuju koridor sebelah utara. Nampak olehku sebuah pintu besi dengan letak yang menurutku, janggal. Pintu itu terpisah sendiri, berbeda dengan ruangan-ruangan lain yang jarak antar pintunya tidak pernah lebih dari 10 meter. Yang ini sepertinya berjarak 15 meter dari pintu terdekat, dan tidak ada pintu lainnya di sepanjang koridor utara. Mungkin di sana?

    Makin mendekati pintu besi, terlihat ada sebuah celah kecil dengan jendela kaca, cukup tebal. Aku melompat sedikit…ternyata benar, Resha ada di dalam. Hanya duduk, diam, dan tertunduk. Segera kubuka pintu itu dengan memposisikan mata di depan retina identifier yang berada di sebelah kiri. Semua pintu di sini memang memiliki kunci dengan identifikasi retina. Hanya yang retinanya sudah terdaftar yang bisa membuka pintu tanpa harus membuat ledakan.

    Begitu pintu bergeser ke kiri, wajahnya terangkat dan menatapku. Ujung-ujung bibirnya berusaha tersenyum, namun jelas sekali terpancar kesendirian. Pintupun menutup kembali secara otomatis ketika aku masuk.

    Berhadap-hadapan dengannya, kuperhatikan baik-baik wajahnya itu. Terlihat lesu, berbeda sekali ketika di Seihou. Penuh semangat, penuh keceriaan. Matanya nampak sembab, mungkin dia menangis beberapa kali sebelum tiba di kandang besi ini. Kucoba tersenyum agar dia tidak merasa makin depresi.

    “Wajahmu berantakan sekali.”

    “Ahaha…iya. Maaf Azrael, aku hanya…”

    Kupeluk dia. Sambil membelai rambutnya, aku berkata, “Tidak perlu khawatir, Resha. Ada aku di sini.”

    Tangisnya pun pecah, sambil beberapa kali memanggil namaku dengan volume yang cukup menusuk telinga. Aku tahu sejak pertama kali masuk ke ruangan ini kalau dia ingin menangis sekeras-kerasnya. Kali ini pelajaran-pelajaran yang kuperoleh di Seihou benar-benar bermanfaat, mengasah kepekaanku terhadap perasaan orang lain.

    Setelah aku merasa emosinya mulai tenang, kutatap matanya. Diapun bertanya, “B-Bagaimana kamu bisa berada di sini?”

    “Ceritanya panjang. Tapi yang jelas awal Januari lalu aku dijemput paksa untuk menjaga tempat ini.”

    “Lalu kenapa mereka bisa menemukanmu? Aneh rasanya, mengingat berbulan-bulan mereka tidak mencari dirimu.”

    Kusandarkan diriku di tembok, di sebelah kirinya. “Sederhana, Resha. Liberion dan aliansinya sedang fokus mempersiapkan angkatan militer besar-besaran untuk perang yang baru saja dimulai beberapa hari lalu, sehingga mereka sengaja tidak mencariku lebih dulu.”

    “Hmm…ya, aku sudah tahu mengenai perang itu. Sebenarnya aku dan Daleth sedang dalam perjalanan kemari untuk menghancurkan tempat ini dan menghentikan perang, namun ular-ular besi buatan Liberion menyerang dan merusak kapal yang kutempati. Begitu sadar, aku sudah berada di pelabuhan militer sebelah utara tempat ini. Mungkin salah satunya membawaku di dalam mulutnya.”

    “Eh? Ular besi? Leviathan Project maksudmu?”

    “Yah, apalah namanya. Yang jelas…aku benar-benar khawatir dengan Daleth sekarang.”

    “Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu?”, tanyaku dengan cepat.

    “Mungkin tidak terjadi apa-apa dengannya waktu itu. Tapi mengingat sifatnya yang tidak menghiraukan nyawanya sendiri demi orang lain…mungkin dia berubah gila dan menerobos barikade Liberion sendirian sekarang.”

    Hei, kalau begitu mereka sudah…

    “Tidak menghiraukan nyawanya demi…kamu? Kalian sudah menikah ya?”

    Tepat sasaran. Wajahnya berubah merah, amat merah.

    “H-Hah?! Menikah?! T-Tentu saja belum…!!”

    “Oh, belum. Jadi kalian sudah pacaran?”

    “K-Kalau itu sih…” Mendadak wajahnya berpaling dariku. Namun pendengaranku yang super ini mampu mendengarnya berkata pelan, sangat pelan, “…sudah.”

    “Ayolah, Resha. Aku bisa dengar kata-katamu.”, lalu sebuah tawa keluar dari mulutku. Entah kenapa, kehadirannya bisa membuatku tertawa lepas.

    “Uuuhh…kamu ini…”

    Akhirnya, kami berduapun tertawa bersama. Ironis memang, mengingat sebelumnya emosiku melunjak karena penolakan, penolakan eksistensiku sebagai manusia. Tapi Resha…ya, dia mampu membuatku kembali merasa sebagai manusia normal, hanya dengan bicara sebentar.




    Hari yang baru telah datang, sekarang sekitar jam 9 pagi.

    Baru saja aku ingin menjenguk Resha di ruangannya dikurung, kulihat beberapa orang dengan jas laboratorium berdiri di depan pintu. Salah satunya…Gregor. Dia menaruh matanya di depan retina identifier, lalu pintu terbuka. Dua orang lainya masuk, mengeluarkan Resha secara paksa dari dalam. Kulihat dia agak memberontak, maka kuhampiri mereka.

    “Hei!! Jangan kasar-kasar terhadapnya!!”, teriakku, 6 langkah sebelum orang terdekat. “Mau kalian apakan Resha, hah?”

    “Kamu lupa kata-kataku kemarin? Dia dibutuhkan untuk menyempurnakan senjata ini!!”, jawab Gregor, setengah berteriak.

    “Aku sudah tahu hal itu, Gregor!! Aku tanya, apa yang ingin kalian semua lakukan padanya!!”

    “Jangan. Banyak. Tanya.”, diapun menodongkan M9 nya tepat ke dahiku. “Masih banyak hal yang lebih berguna yang bisa kamu lakukan, dibanding mengkhawatirkannya. Sekarang, menyingkirlah.”

    Senyuman Resha ---yang jelas sekali, sangat dipaksakan--- membuatku hanya bisa menurut. Entah akan dibawa kemana dia, aku tidak berani mengikuti. Yang kulakukan hanya duduk menunggu di samping pintu kandang besi itu setelah mereka semua pergi. Kuharap dia tidak diperlakukan dengan buruk…

    Ternyata dugaanku salah.

    Sekitar 2 jam setelahnya, mereka membawa Resha kembali. Kondisinya terlihat jauh lebih buruk dibanding saat keluar tadi pagi. Dia sampai harus dibawa dengan ranjang beroda. Nafasnya terengah-engah, keringat mengucur deras di seluruh tubuhnya, sesekali terbatuk-batuk.

    “Azrael, bawa dia masuk.”, perintah Gregor.

    Kekhawatiranku akan kondisinya lebih besar dibanding rasa penasaranku. Tanpa banyak tanya, kubopong tubuhnya, lalu membawanya kembali masuk ke ruang besi.

    “Tunggu sebentar ya, akan kucarikan air.”

    Dia hanya mengangguk beberapa kali untuk menjawabku.

    Berlari sekuat tenaga, aku menuju ke lift untuk turun ke lantai dasar, ke tempat ruanganku berada. Lantai dasar sebelah barat memang dijadikan ruangan untuk para penjaga. Selain itu, hanya ada pintu masuk di tiap sisi gedung, lift di barat dan selatan, pembangkit tenaga yang mengisi lantai dasar hingga lantai 6 di timur, dan…sesuatu yang mengerikan di utara. Banyak orang yang tidak ingin tahu apa isinya.

    Begitu sampai di ruanganku, tanpa basa-basi kuambil sebuah botol air di atas meja, lalu mengisinya dengan air melalui dispenser. Segera aku kembali ke lantai 6.

    “Minumlah.”

    Kubantu memegang botolnya, karena genggamannya terlihat lemah. Apa yang mereka lakukan sampai Resha menjadi seburuk ini hanya dalam 2 jam?!

    Perasaan khawatir ini benar-benar menyelimuti pikiranku. Karena aku tidak mau membebaninya lebih lanjut, jadi kuputuskan untuk memeriksa tubuhnya tanpa bertanya setelah dia selesai minum.

    Kumulai dari bagian tangan dan kaki. Ada dua buah luka suntikan di lengan kiri. Yang satu samar-samar, sepertinya sudah ada sejak dua atau tiga hari lalu. Yang satu lagi masih sangat jelas, pastilah suntikan dilakukan saat dia dibawa tadi. Di pergelangannya juga ada bekas…mungkin ikat logam, kulit, atau bahan sintetis. Kemungkinan besar tangannya diikat kuat-kuat. Bekas yang sama kutemui di pergelangan kakinya. Tapi ada satu yang aneh. Di belakang lehernya…

    “Bekas apa ini…?”

    Ada 12 buah lubang kecil terdiri dari 2 deretan, masing-masing memiliki 6 lubang. Kecil, seperti jarum suntik. Namun formasinya yang rapi seperti ini…sudah pasti bukan berasal dari jarum suntik biasa.

    “K-Kabel…”, jawab Resha, terdengar sulit sekali mengeluarkan suara.

    “Atur nafasmu dulu, Resha. Jangan terlalu memaksakan diri.”

    Menit demi menit kutunggu hingga nafasnya kembali normal. Diapun berucap, “Kabel-kabel konektor mirip yang dimiliki komputer. Itu yang dipasang di leherku tadi.”

    “Maksudmu, saraf tulang belakangmu dikoneksikan ke mesin tertentu?!”

    “Begitulah…”

    “Mau apa sebenarnya mereka? Apa yang akan mereka peroleh dari mempermainkan bagian tengkuk?! Itu terlalu berbahaya!!”

    “Ahaha…mana aku tahu.”, hebatnya, dia masih bisa tertawa kecil.

    Karena efek kelelahan yang berlebih, diapun tidur bersandar pada pundak kiriku. Sebenarnya tak lama lagi adalah jam makan siang. Tapi…aku tidak mungkin membiarkannya sendirian. Ya sudahlah, tidak apa-apa satu kali jam makan terlewatkan.




    Hari-hari ke depan terus diisi dengan eksperimen serupa, yang menurutku, tidak manusiawi. Dia selalu terlihat lemas dan kelelahan setelah kembali. Bekas suntikan terus bertambah. Entah zat macam apa yang diinjeksikan ke dalam tubuhnya, tapi pastilah sesuatu yang tidak wajar digunakan dalam dunia kedokteran pada umumnya. Ditambah lagi…sesuatu dipasang di tengkuknya saat eksperimen hari keempat. Bentuknya mirip dengan port serial pada PC, hanya saja memiliki lubang-lubang lebih banyak. Saat kutanya untuk apa, Resha lagi-lagi menjawab tidak tahu.

    Kecurigaanku hanya mengarah pada satu hal. Port itu akan digunakan untuk menghubungkan dirinya dengan menara besar di tengah gedung. Lubang-lubang yang kulihat saat hari pertama eksperimen adalah uji coba, untuk mengetahui lokasi yang cocok untuk diimplan material non-alamiah seperti port tersebut.

    Ingin kuhentikan eksperimen itu, tapi rasanya percuma saja. Meski aku dibunuh sekalipun, mereka tidak akan berhenti hingga perang berhasil dimenangkan. Lalu aku harus bagaimana…? Tidak tega rasanya melihat Resha yang terus-menerus dianggap tidak ada bedanya dengan tikus putih laboratorium.

    Aku masih bisa terima jika tidak diperlakukan normal, karena asal-usulku yang memang tidak lazim. Tapi…Resha? Apa bedanya dia dengan orang lain? Hanya kekuatannya itukah?! Nonsense!! Aku yakin, beberapa manusia di muka Bumi juga memiliki kekuatan-kekuatan khusus. Tapi kenapa hanya Resha yang…argh. Lama-lama aku bisa depresi, lebih dibanding Resha sendiri.

    Hari keempat eksperimen, malam hari.

    “Lehermu…sakitkah?”

    “Tidak, Azrael. Sudah tidak begitu sakit, tidak seperti tadi siang saat baru dipasang.”

    “Kekuatan khususmu itu…kenapa tidak kamu gunakan sekarang? Aku yakin, kamu pasti bisa meloloskan diri.”

    “Tidak bisa. Entah kenapa aku tidak sanggup. Kamu tahu? Sebenarnya aku selalu menangis keras-keras saat eksperimen dilakukan. Apa artinya? Emosiku keluar berlebih. Tapi…tidak ada apapun yang terjadi.”

    “Tunggu. Jangan-jangan suntikan yang diberikan padamu itu penyebabnya?!”

    “Mungkin? Aku sendiri tidak tahu apa yang diberikan padaku. Aku…hanya bisa pasrah. Dan kamu sendiri, kenapa tidak mencoba keluar dari tempat ini? Aku yakin sebenarnya kamu bisa keluar dengan mudah.”

    “Lalu meninggalkanmu sendirian?”, kugenggam tangan kirinya. “Tidak, Resha. Bayangkan jika aku mencoba kabur sejak lama. Kamu tiba di sini sementara aku tidak ada. Siapa yang akan menemanimu tiap malam seperti ini?”

    “Tidak apa-apa, Azrael. Aku…sudah biasa sendirian. Sebelum bertemu Daleth, aku hidup sendiri selama enam tahun.”

    “Sendiri itu tidak enak. Aku yang baru hidup setahun lebihpun bisa merasa kesepian meski hanya ditinggal beberapa hari. Apalagi enam tahun sepertimu? Aku yakin sebenarnya hatimu menangis sejak lama.”

    “Huh…kamu ini seperti kakak perempuanku saja.”

    “Hahaha…mungkin aku tertular onee-chan.”

    “Oh ya, bagaimana kabar Iwanaga-san?”

    “Aku…tidak tahu. Sejak dijemput paksa, aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya. Ah…aku jadi ingin pulang.”

    “Tuh kan sudah kubilang. Aku tahu kamu pasti kangen rumah. Jika ada kesempatan kabur…tidak apa-apa, pergilah. Aku yakin Daleth akan kemari untuk menyelamatkanku. Dia sudah melakukannya beberapa kali kok. Jadi, tenang saja.”, ditutupnya dengan sebuah senyuman.

    “Kamu optimis sekali. Tapi…jika memang benar begitu, ya sudah. Nanti kita pulang bertiga.”

    “Uuuh…aku kan ingin berdua saja dengannya…”

    Malam itupun diakhiri dengan suara tawa kami berdua. Berhubung ruang ini kedap suara, aku bisa membicarakan hal apapun dengannya tanpa harus terdengar ke luar. Tertawa bersama? Sudah pasti. Hanya hal itu yang dapat melepaskan penderitaannya selama eksperimen.




    Kupikir aku bisa menunggu bersama Resha hingga Daleth tiba. Tapi…pagi berikutnya, hanya kutemukan sebuah surat di kandang besi itu. Tulisan tangan Resha rupanya.


    “Azrael, kalau kamu melihat surat ini, mungkin aku bukan diriku lagi. Maaf menyembunyikannya selama beberapa hari terakhir. Sebenarnya…yang disuntikkan ke tubuhku adalah substansi khusus untuk mengontrol emosiku secara penuh. Saat pertama kali aku dibawa ke pelabuhan militer Liberion di utara tempat ini, mereka juga menyuntikkan zat yang sama. Itulah sebabnya aku tidak bisa memanfaatkan kekuatanku untuk kabur dari sini. Apalagi jika port di tengkukku ini sudah disambungkan ke komputer, aku benar-benar seperti boneka tak bernyawa, hanya bisa digerakkan oleh program. Sengaja tidak kuberitahukan padamu karena aku tahu, kamu tidak berbeda jauh dengan Daleth yang akan melakukan apapun demi orang yang disayangi. Aku tidak mau membahayakan nyawamu, jadi…maaf, Azrael. Aku mohon maaf jika tidak cerita.

    Kalau kamu punya kesempatan untuk kabur, pergilah dan jangan cari diriku atau kamu akan dibunuh...olehku sendiri, yang benar-benar dikontrol 100% oleh mereka. Daleth ada bersama armada Varangia dan sedang menuju ke tempat ini. Jika kamu melihat kapal-kapal Varangia mendekat, kemungkinan dia ada bersama mereka. Temui mereka dan bilang kalau kamu mengenal Daleth, lalu beritahu dirinya kalau aku ada di tengah-tengah menara ini. Aku yakin hanya dia, sebagai orang yang ditunjuk oleh Yang Di Atas, yang bisa menyelematkanku. Katakan padanya kalau pintu masuknya ada di lantai 4. Sahabat terbaikmu, Resha.”



    Air mataku mengalir dengan sendirinya. Kupukul tembok ruangan itu sekeras-kerasnya selama beberapa kali untuk meluapkan kekesalan. Kenapa? Kenapa dia menyembunyikannya dariku…? Bukankah kita ini sahabat baik?

    Selama beberapa jam aku hanya duduk di pojok kandang besi ini, lemas tidak berdaya. Kekuatanku seakan lenyap. Sudah kedua kalinya aku harus berpisah dengan orang-orang yang kusayangi. Pertama, onee-chan. Dan sekarang…Resha.




    Kemudian, alarm terdengar telingaku. Ini…alarm peringatan. Akupun keluar, lalu nampak Gregor sudah berdiri di samping pintu.

    “Sudah waktunya, Azrael. Bersiaplah. Musuh telah datang.”


    ==========================

    Spoiler untuk Trivia :

    Senjatanya Azrael:

    Last edited by LunarCrusade; 02-08-12 at 18:36. Reason: lupa, seharusnya ada trivia sebiji wakakakkak


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  9. #53
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    dan hari-hari penuh damai pun berlalu..
    dasar penulis master torture, si azrael sampe nangis2 dikoridor abis ditendang2 kayak stray dog di gang rumah gua

    dan menurut gw ch 11-12 jauh lebi mantep dari 10 shoujo ch sebelumnya

  10. #54
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    eh tapi sumpah, gw sebenernya udah mo keluar air mata pas ngetik, setengah ga tega...

    jadi kesimpulannya lu demen liat loli menderita


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  11. #55
    Raditya~'s Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Wherever i want
    Posts
    337
    Points
    77.10
    Thanks: 14 / 14 / 8

    Default

    baru baca 5 ch.. ceritanya bernuansa jepang banget ya.
    tapi kenapa cuma azrael doank yang disebut chan/san, daleth-kun sama resha-chan kedengerannya boleh juga

  12. #56
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Raditya~ View Post
    baru baca 5 ch.. ceritanya bernuansa jepang banget ya.
    tapi kenapa cuma azrael doank yang disebut chan/san, daleth-kun sama resha-chan kedengerannya boleh juga
    Daleth kan emang dipanggil Daleth-kun sama si senpai

    =======================================

    2 chapters to go.


    Spoiler untuk Phase 13 :


    =====================
    Phase 13: Chaotic Feeling
    =====================




    “Ambil senjatamu dan siagalah. Aku akan melakukan backup data-data yang ada.”

    Gregor melangkah pergi begitu saja. Entah siapa musuh yang dimaksud, aku belum mengetahuinya.

    Berhubung aku berada di lantai 6, kucoba melayangkan pandangan melalui jendela-jendela yang ada, mencari ‘musuh’ yang dimaksud. Yang dapat kulihat pada arah selatan dan barat daya adalah beberapa kapal, jelas bukan milik Liberion. Mungkinkah itu…?

    Ingin kuambil M4A1 milikku yang ada di ruang lantai dasar, tapi kaki ini seakan tak mau bergerak ke sana. Jika aku membawa senjata untuk menghampiri armada Varangia di sana itu, pastilah mereka akan menembakku. Apalagi…blokade pantai sudah bersiaga sekitar 8 hingga 9 kilometer dari sini. Bisa-bisa aku terbunuh oleh meriam kapal atau misil nyasar nanti.

    Panjang umur. Baru saja aku berpikir mengenai hal itu, kapal-kapal Varangia menembak beberapa kali ke arah pasukan blokade pantai. Ada satu kapal yang lebih besar, berlayar sedikit lebih jauh, sepertinya memancing armada Liberion untuk memberi kesempatan kapal-kapal yang lebih kecil membersihkan pantai. Sesaat kemudian, terlihat ada dua orang…eh? Terbang? Apa mataku tidak salah---




    Itu pasti Daleth!! Entah siapa yang satu lagi, tapi aku amat sangat yakin kalau salah satunya adalah lelaki baik hati yang pernah menjadi target misiku. Baiklah, aku harus menemuinya sekarang. Aku yakin dia pasti masih mengenaliku.

    Namun, baru saja kubalikkan badanku untuk berlari menuju ke bawah…

    Ledakan. Ya, kudengar suara ledakan dari arah luar. Lebih tepatnya dari arah pasukan tambahan yang bergerak untuk menyambut keduanya.
    Aku tidak percaya apa yang kulihat. Daleth dan orang yang satu lagi…menghancurkan tentara Liberion?! Bukankah dia berjanji untuk tidak menghabisi nyawa siapapun lagi?! Kenapa dia berubah seperti itu…??!!

    Tidak, tidak. Aku pasti salah lihat. Aku harus menemuinya. Sekarang.

    Berhubung menara dalam kondisi darurat, seluruh lift di bangunan ini mati secara otomatis. Terpaksa kugunakan tangga untuk turun hingga lantai dasar. Kukerahkan segenap tenagaku untuk berlari secepat mungkin. Tetapi, saat kakiku menuruni tangga menuju lantai 2…

    “Bagaimana, Azrael? Masih juga percaya dengan orang itu?”, tanya Gregor dengan sinis, sambil bersandar pada tembok dekat ujung tangga. “Aku sudah melihat semuanya. Kebetulan di ruanganku ada binocular, dan kubawa sekarang kalau kamu ingin melihatnya lebih jelas.”

    Dengan gemetar kuterima binocular yang dibawanya itu, lalu berlari menuju jendela yang mengarah ke selatan. Beberapa kali terdengar ledakan, membuat rasa penasaranku bertambah. Aku benar-benar shock begitu melihat kalau…itu benar-benar Daleth. Dengan seorang perempuan yang sepertinya orang Varangia, mereka berdiri di tengah-tengah mayat pasukan Liberion yang bergelimpangan.

    “Ini…tidak mungkin…”

    Terdengar suara Gregor dari belakangku, “Ha!! Teruslah tidak percaya!! Itulah alasan kedua kenapa aku benar-benar kesal dengan orang itu. Hipokrit!! Munafik!!”

    Sekali lagi kuterawang melalui binocular, terlihat Daleth menembak seorang tentara Liberion yang masih bergerak dengan berkas cahaya, sementara sisa pasukan bergerak menjauh. Entah apa yang mengubah Daleth kali ini…

    Duduk bersandar pada tembok, aku tidak kuat lagi melihat ke luar. Aku tidak ingin mempercayai mataku sendiri, tapi…semuanya terlalu nyata. Bagaimana bisa, orang yang mengajariku untuk menghargai nyawa orang lain, sekarang malah melenyapkannya seperti membunuh seekor nyamuk?!

    “Sekarang, ambil senjatamu dan ikutlah turun dengan para penjaga lain. Tidak usah memikirkan evakuasi yang lain karena sudah diperintahkan sejak tadi.”

    “Tidak.”

    Aku yakin pasti ada alasan untuk semua ini. Daleth? Membantai sembarangan? Aku masih tidak bisa menerimanya. Lagi-lagi perasaanku bekerja lebih cepat dibanding logika dan panca indera yang kumiliki.

    Jika benar yang dikatakan Gregor, pastilah dia sudah membunuhku sejak pertama kali bertemu. Aku bisa yakin karena waktu itu diriku jauh lebih berbahaya. Tapi sejauh yang kuingat, dia berusaha mati-matian untuk tidak membuat nyawaku melayang. Aneh rasanya, padahal waktu itu dia belum mengenalku sama sekali, hanya pernah mendengar tentangku melalui orang-orang pemerintah Liberion.

    “Di saat seperti ini kamu masih tidak menurut, hah?!”

    “Aku tidak peduli. Jika perintahmu bertentangan dengan keinginanku, tidak akan kuturuti.”




    Terdengar bunyi letusan pistol.

    “AAAAAHHHH!!!”

    Tanpa ragu, dia menembak paha kiriku dengan M9 yang dikeluarkan dari dalam jas laboratoriumnya.

    “Apa kamu bilang barusan? Kamu sudah terlalu kelewatan, Azrael. KELEWATAN!!!”, berkali-kali dia menginjak bekas tembakan di kaki kananku. “BERANINYA TERUS-MENERUS MEMBANGKANG!!!!”

    Sakit, begitu sakit. Bukan hanya dari peluru yang bersarang di kaki, namun juga hatiku. Perasaanku benar-benar kacau. Lihat saja perlakuannya sekarang, aku masih dianggap setumpuk molekul organik yang bergerak dan bernafas. Tidak cukupkah emosi yang kutunjukkan selama ini?

    “Cih, sekarang kamu sudah berubah lemah. Jauh lebih lemah!! Satu peluru saja sudah membuatmu ingin menangis. Dulu, ditembak tiga kalipun kamu masih bisa berkonsentrasi dan membunuh sasaran!!”, serunya, sambil kembali memasukkan M9 ke dalam jas laboratoriumnya.

    “Lemah…katamu? Lemah?! Kamu salah, Gregor. SALAH BESAR!!! Tubuhku tetap sekuat dulu!!”

    Ajaib, kakinya disingikirkan.

    Entah apa yang merasukiku, aku malah berusaha mencabut peluru dari kakiku dengan paksa. Dalam beberapa detik darah membasahi kedua tanganku. Sambil meringis karena terasa perih, kusobek sedikit jaringan ototku, agar peluru dapat kuleluarkan lebih mudah. Aku tidak peduli apakah tanganku steril atau tidak, yang jelas aku ingin menunjukkan padanya, kalau secara fisik aku tidak berubah menjadi orang yang lemah.

    “Lihat ini, Gregor!! LIHAT!!!!”

    Kutunjukkan tanganku yang berlumuran darah, memegang peluru.

    “A-Apa yang kamu harapkan dari berbuat begitu, hah?!”

    “Kakiku memang terasa sedikit perih, tapi yang membuatku selalu menangis adalah…”, kembali air mata mengalir membasahi pipi sebelum bisa kuselesaikan kata-kataku. Dilingkupi kekesalan, kesedihan, dan kekecewaan, kulempar peluru itu ke arah tubuhnya.

    Tetes keringatnya mulai mengalir. Wajahnya terlihat kaku, begitu juga dengan mulutnya. Kurasa dia terkejut dan sedang memikirkan apa yang ingin selanjutnya dikatakan kepadaku. Namun, belum sempat dia menjawab apapun…bangunan ini terasa bergetar.




    “Akhirnya, dimulai juga.”, katanya dengan bangga. Kurasa dia juga lega karena tidak jadi menjawabku tadi.

    “Dimulai…? Apa yang terjadi?”

    “Menara ini siap menembak.”

    “Tunggu. Ke mana menara ini akan menembak?!”

    Dia menunjuk ke luar jendela. Kuberdiri perlahan, lalu memandang ke arah yang ditunjuk. Begitu kulihat, terdapat banyak sekali bangkai-bangkai robot ---maksudku, Shedu--- yang hancur bertebaran. Mereka berdua juga nampak masih ada di sana. Pastilah semuanya hancur karena Daleth dan perempuan itu.

    “Kamu ingin membunuhnya dengan menara ini??!!”, kualihkan pandanganku pada Gregor.

    “HAHAHA!! Apa katamu? Aku? AKU?! Kamu bercanda, hah?! Temanmu itu yang akan membunuhnya!! Ya, Destructive Reaper lah yang akan membunuh orang itu!!”

    “Resha…? Apa yang sudah kamu lakukan terhadapnya?!”

    “Bisa kukatakan, dia sudah menyatu dengan menara ini.”

    Senyum sinisnya itu membuatku kesal. Ingin kupukul dirinya, sekedar untuk membuatnya sadar apa yang telah dilakukannya. Namun sekali lagi aku menarik diri untuk melakukan hal itu. Bayang-bayang mereka berdua ---Daleth dan juga Resha--- selalu muncul jika aku ingin melakukan kekerasan.

    Getaran meningkat sesaat, sepertinya menara siap menembak. Mendadak muncul sinar hitam dari puncak menara, bahkan pancarannya dapat terlihat dari jendela di samping kiriku ini. Kupikir menara ini akan menembakkan sesuatu untuk mengacaukan koordinat ruang waktu di sekitar target.
    Karena penasaran, akupun membuka jendela agar bisa melihat lebih jelas. Dan…terbentuk sesuatu yang hitam juga di kejauhan. Entah bagaimana bentuknya, tidak begitu jelas terlihat dari sini karena pancaran sinar hitam yang mengganggu. Ternyata tidak ada tembakan langsung.

    Seketika saja…

    Ledakan, berturut-turut. Bahkan hembusan angin akibat ledakan membuat rambutku sedikit melambai. Konsentrasi ledakan memang tidak sampai ke halaman gedung ini, tapi jika gerakan udara bisa terasa dari sini…ledakan itu pastilah cukup kuat.

    “Apa…itu….?”, ujarku pelan.

    “Supernova.”

    Emosiku tak tertahankan lagi. Kutarik kerah bajunya sambil berteriak, “Hentikan apa yang kamu lakukan. SEKARANG!!!!”

    “Mustahil!! Sekali dia tersambung dengan menara ini, tidak ada lagi yang bisa menyelamatkannya. Jika mesin dimatikan paksa, dia akan mati!!”

    Sayup-sayup, terdengar lagi satu kali ledakan. Kali ini kuabaikan saja karena yang ada di hadapanku sekarang jauh lebih penting.

    “Resha…tidak mungkin diselamatkan?”, sambil kulepaskan cengkeramanku.

    “Bahkan akupun tidak sanggup mematikannya hingga batas waktu pemakaiannya terpenuhi, kira-kira dua puluh jam dari sekarang.”

    “Jadi setelah dua puluh jam---“

    “Mesin itu akan menguras habis energi otaknya, mungkin akan merusak beberapa bagian.”, jawabnya santai.

    “Lalu kenapa…kenapa harus dia…? Hidupnya sudah cukup menderita, kenapa harus ditambah lagi dengan semua ini…?!”

    “Aku tidak tahu menahu soal itu. Yang kutahu hanyalah, dia sudah diincar sejak lama oleh pemerintah. Menyerah saja, Azrael.”




    Sekarang dapat kudengar pergerakan beberapa kendaraan militer dari luar. Mungkin infantri, tank, serta artileri. Cukup banyak jumlahnya jika kukira-kira berdasarkan kuatnya suara. Pandangan Gregor sesekali teralih ke luar, mungkin mengamati pergerakan tentara Liberion. Baiklah, kalau begini caranya…

    “Akan kutemui Daleth.”

    Baru saja aku menjejakkan kaki kananku untuk berjalan maju, tangan kirinya menahan bahu kiriku.

    “Tidak bisa. Tetaplah di tempat ini, karena sekarang sudah tidak ada lagi satupun penjaga.”

    “Bukankah tadi kamu menyuruhku turun? Lalu sekarang---“

    Tangannya itupun menunjuk paha kiriku yang terluka. “Apa kamu bercanda?”

    Suaranya tetap dingin dan datar seperti biasa, tapi aku menangkap sesuatu yang lain kali ini. Perasaanku sajakah? Atau…

    “Ambil senjatamu dan tetap berada di lingkungan menara. Aku akan menyelesaikan proses backup data lebih dulu.”

    Sosoknya pun menghilang, memasuki ruangannya yang berada tidak begitu jauh berada dari tempatku berdiri. Lagi-lagi aku merasa ada yang lain kali ini. Backup? Kupikir dia melakukan backup mengenai data Resha, yang sudah jelas hanya bisa diakses dengan mengambilnya dari mesin itu. Tapi…bukankah pintu masuknya ada di lantai 4? Sudahlah, lebih baik aku segera turun dan menemui Daleth. Aku harus mendengar langsung dari mulutnya, apa alasan dia melakukan semua itu. Untuk berjaga-jaga, lebih baik kuambil M4A1 ku lebih dulu.

    Beberapa kali menara ini kembali bergetar ketika aku berlari menuju kamarku di lantai dasar. Begitu masuk, langsung kupasang M203 grenade launcher di bagian bawah laras M4A1. Baiklah, sudah terpasang sempurna.

    Kutarik nafas perlahan hingga mengisi penuh paru-paruku, lalu menghembuskannya perlahan. Apa yang harus kukatakan pertama kali pada Daleth? Tersenyum bahagia karena lama tidak bertemu? Marah karena dia tidak menepati kata-katanya sendiri? Atau langsung memberitahu di mana Resha berada?

    Selama berlari menuju pintu utama di selatan, hal itu terus mengganggu pikiranku. Namun semuanya lenyap begitu saja begitu kulihat ada makhluk-makhluk antropomorfik yang terbuat dari tanah, mengacaukan formasi pasukan Liberion. Entah apa sebenarnya makhluk-makhluk aneh itu, yang jelas mereka bergerak dengan sendirinya. Namun baru saja aku ingin melangkah menuju para tentara Liberion ---yang nyaris habis seluruhnya---, terdengar suara ledakan dari arah timur.

    Tunggu. Bukankah di sana letak sumber energi menara ini?!

    Panik, bergegas kuberlari ke sebelah timur bangunan. Benar saja, ada batu-batu yang jatuh, sepertinya tembok bangunan. Tiba-tiba muncul bola cahaya yang amat terang, menyilaukan pandanganku. Sosok seorang lelaki nampak berdiri di sebelahnya. Dia…




    “Daleth!! Hentikaaaaannn!!!!”, teriakku keras-keras. Bola cahaya itupun langsung menghilang.

    “Azrael…? Azrael, benar itu kamu?!”, balasnya, dengan senyum terlukis pada ujung-ujung bibirnya.

    “Kamu pikir ada berapa Azrael di muka Bumi?”

    “Hahaha…iya, iya. Syukurlah, untung saja tidak kutembak dirimu barusan. Oh ya, bagian timur gedung ini merupakan sumber tenaganya kan?”

    “Betul. Dan untuk itulah kamu tidak boleh menghancurkannya.”

    “Kalau tidak kumatikan, bagaimana Resha bisa kuselamatkan…bagaimana sih kamu ini?”

    “Jika sumber dayanya dimatikan secra paksa, Resha akan tewas…”

    “Eh…?”, raut wajahnya terlihat kaku.

    “Aku tidak bohong, Daleth. Yang waktu itu terjadi di Hispaniola sudah menghabiskan kekuatan mesin pada menara sampai titik terendah, dan untuk mempercepat proses loading nya...menara itu harus terkoneksi penuh dengan sistem saraf Resha.”

    “Tunggu. Berarti yang sejak tadi terjadi---”

    “Ya, itu perbuatan Resha. Aku tidak mengerti bagaimana detailnya, namun tidak dapat disangkal lagi, dia yang melakukan itu semua. Karena itulah, tubuh Resha sangat bergantung pada sumber tenaga di menara ini. Dan jika kamu menghancurkan sumber energinya…”

    “Argh…hampir saja kuruntuhkan bagian timur gedung ini.”, ujarnya sambil menaruh tangan kanan di dahi. “Tapi sepertinya tidak ada kerusakan, hanya temboknya saja sedikit jebol.”

    Kuperhatikan bagian tembok yang hancur, sepertinya benar, tidak ada mesin yang terkena. Hanya saja terbentuk lubang berdiameter 3 meter.

    “Ternyata aku memang harus menjemputnya masuk. Boleh kutahu di mana Resha ber---“




    Kupotong kata-katanya, ”Daleth.”

    “Hmm? Ada apa?”

    “Benar kamu melakukannya?”

    “Eh? Melakukan apa?”

    “Aku tidak ingin menuduhmu, tapi…kulihat kamu membantai pasukan Liberion. Benar begitu?”

    Pandangannya teralih, tidak lagi menatapku. “Maaf…Azrael.”

    “Maaf katamu? Maaf?! Sekian lama aku percaya padamu, menganggapmu orang berhati lembut. Tapi apa yang kulihat barusan? Kamu menyingkirkan mereka seperti membunuh cacing-cacing!!”

    “Aku…terpaksa. Tidak mungkin aku bisa sampai di tempat ini jika aku tidak melenyapkan tentara Liberion yang menghalangi.”, jawabnya pelan.

    “Bukankah ada cara lain?! Daleth yang kukenal selalu menghargai nyawa orang lain. Bahkan aku ingat betul, kamu berusaha keras untuk tidak membunuhku saat pertama kali bertemu.”

    Selama beberapa saat Daleth hanya berdiri, tertunduk, tidak menjawab. Diapun membuka mulutnya.

    “Kamu benar, Azrael. Tapi…aku benar-benar tidak punya pilihan. Aku, atau mereka yang mati. Kalau aku tidak melakukan perlawanan, pastilah mereka sudah menembakiku sepuasnya. Dan jika hal itu terjadi, dunia ini…hancur. Ya, hancur. Kali ini beban yang kutanggung terlalu berat. Aku harus memutuskan cara paling efisien untuk melepaskan beban itu, sekaligus mencari solusi terbaik untuk semuanya.”

    Penyesalan nampak dari raut wajahnya. Sepertinya dia tidak ingin melakukan semua ini. Jika ada cara yang lebih baik, mungkin dia sudah melakukannya sejak tadi. Aku memang tidak tahu menahu soal perang, jadi kuanggap yang dilakukannya adalah hal yang buruk. Ya, mungkin buruk bagi sebagian orang, tapi…dia benar. Kalau Daleth mati saat ini, tidak ada yang bisa menghentikan Resha dan mesin itu, serta akan terjadi kehancuran yang lebih dahsyat lagi.

    Dia melanjutkan, “Pukul aku jika kamu belum puas dengan jawabanku.”

    Kuhela nafas sekali, lalu berkata, “Pintunya ada di lantai empat.”

    Senyumpun terbentuk di wajahnya, lalu dia melangkah menghampiriku. “Terima kasih banyak ya.”, tuturnya dengan lembut, sambil mengelus-elus kepalaku dengan tangan kirinya.

    “Kalau begitu, aku boleh ikut ke dalam?”

    “Tentu saja bo---“




    Kata-kata Daleth terhenti. Suara yang keras terdengar dari arah pintu utama di selatan, seakan pintunya runtuh. Kamipun bergegas menuju ke sana dan…astaga. Makhluk apa itu?!

    Entah bagaimana aku harus menjelaskannya. Wujudnya terlalu aneh, seperti campuran beberapa hewan. Panjangnya mungkin sekitar 3 atau 4 meter. Kepala singa jantan, 4 buah ekor kalajengking, 2 pasang sayap kelelawar, dan bertubuh sapi atau kerbau. Kakinya juga seperti kaki kuda. Satu hal yang kutahu, lantai dasar sebelah utara memang tidak boleh dimasuki sembarangan. Menurut apa yang kudengar, di dalamnya tersimpan makhluk mengerikan. Apa makhluk ini yang dimaksud?

    “Brengsek!! Ternyata chimera itu berhasil juga dibuat!!”, sahut Daleth dengan kesal.

    Chimera…?”

    “Uh-huh, makhluk yang di depanmu ini. Pernah kumarahi Gregor karena mencoba membuat makhluk tidak jelas seperti itu, melawan hukum alam. Tentu saja sebelum ledakan heboh setahun yang lalu.”

    “Jadi, kita hadapi makhluk itu?”

    Makhluk aneh itupun menghadap ke arah kemari.

    “Maaf, Azrael.”, kata-katanya terdengar datar.

    Tunggu. Apa maksud Daleth--- sial, tangan kananya sudah berada di depan perutku!!

    “Kamu…tidak mengijinkanku…?”

    Dia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

    “Tapi kenapa?! Bukankah tadi---“

    Atomic…

    Daleth sudah tidak dapat kuhentikan. Hanya satu hal yang menyebabkan dia berubah pikiran, makhluk itu pastilah dapat membunuhku dengan mudah. Namun…aku tetap ingin…

    “Kumohon, jangan bunuh Gregor...”

    Mengangguk sekali dengan tetap tersenyum, lalu menyelesaikan kata-katanya. “…Vibration.

    Getarannya membuat tubuhku terpental beberapa belas meter, bahkan rifle ku ikut terbang entah ke mana. Sial, sakit juga rupanya.

    Beberapa saat aku hanya bisa menahan rasa nyerinya tanpa mampu berdiri. Tidak kuteruskan usahaku untuk mengejarnya karena pastilah sia-sia. Entah makhluk itu sudah mati di tangannya, atau mungkin, dia sudah sampai ke lantai 4. Akupun hanya berbaring di tanah, mendengar segala macam suara yang bercampur aduk menggetarkan gendang telingaku sambil menatap langit. Cerah sekali…begitu cantik dengan paduan awan tipis. Kenapa di hari yang indah seperti ini harus terjadi peperangan?




    Beberapa lama aku hanya mempertahankan posisi berbaring ini ---yang mulai terasa nyaman---, sampai kudengar suara seperti sesuatu yang jatuh menabrak tanah, tak jauh di depanku. Rasa sakitnya sudah berkurang, jadi kuputuskan untuk mulai mengambil posisi duduk. Ternyata yang ada di depanku…Gregor?!

    “Gregor?! Hei, kamu tidak apa-apa?”, kuabaikan rasa sakitku, lalu duduk berlutut di sebelah kanannya.

    “B-Brengsek…”, dia mengambil posisi duduk dengan susah payah sambil memegangi perutnya.

    “Syukurlah…sepertinya Daleth menepati janjinya untuk tidak membunuhmu.”

    Hatiku benar-benar lega. Kurasa dia hanya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya terhadapku tadi. Tidak mematikan, namun cukup untuk membuatku tidak bisa bergerak selama beberapa saat.

    Mengabaikanku, diapun berusaha berdiri sambil menggerutu, “Kurang ajar---“

    “Gregor!! Kumohon, berhentilah!!”

    Kupeluk dirinya erat-erat.

    “Sudah cukup, Gregor. Cukup…”

    Tidak hanya baginya, tapi juga untukku. Cukup sudah. Aku tidak mau lagi kehilangan siapapun, termasuk dirinya…



    ==============================

    No trivia.
    Last edited by LunarCrusade; 07-08-12 at 06:26.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  13. #57
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Gue, mencium bau2 yang....hngggg
    Azu-chan, bakal jadi apaan ya nantinya...

    Oke, gue bener2 suka banyak cerita yang nyambung. Jadi bisa ngeliat satu alur dari berbagai sudut pandang.
    Sayang di cerita sebelah ngga masuk yang ini. Awalnya emang ngga ada sih, hahaha.

    Oke, ngga banyak yang bisa gue komentarin disini. Soalnya si Azu dari tadi ampir ngga ngapa2in selain ngomong. M4A1 nya ampir ngga guna gitu
    dan kayaknya ceritanya juga lebih fokus ke 'menara' nya...


    Sip, pindah ke sebelah...

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  14. #58
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Gue, mencium bau2 yang....hngggg
    Azu-chan, bakal jadi apaan ya nantinya...

    Oke, gue bener2 suka banyak cerita yang nyambung. Jadi bisa ngeliat satu alur dari berbagai sudut pandang.
    Sayang di cerita sebelah ngga masuk yang ini. Awalnya emang ngga ada sih, hahaha.

    Oke, ngga banyak yang bisa gue komentarin disini. Soalnya si Azu dari tadi ampir ngga ngapa2in selain ngomong. M4A1 nya ampir ngga guna gitu
    dan kayaknya ceritanya juga lebih fokus ke 'menara' nya...


    Sip, pindah ke sebelah...
    tujuan cerita ini emang cuman ngelengkapin sih

    kalo ngerasa screentime nya Azrael kurang, entar masih ada cerita ketiga yg ******* bin ***** kok AOSKOAKSOAKSOAKSOAK



    AND THIS IS... THE LAST CHAPTERS OF "GIFT OF LIFE TO AZRAEL"


    ==============================


    Spoiler untuk Phase 14 :


    ==========================
    Phase 14: What is Life, Anyway?
    ==========================





    “A-Azrael…?”

    “Tolonglah, jangan kembali ke sana…”

    Kubenamkan wajahku di dadanya. Air matakupun membasahi kemeja dan juga jas laboratoriumnya.

    “Tapi aku masih punya urusan---“

    “Sudah kubilang cukup!! Tidak ada lagi yang perlu diselesaikan untuk saat ini…biarkan mereka berdua…”

    “Aku kehabisan kata-kata.”, dia menghela nafas sekali, lalu melanjutkan, “Kamu…benar-benar keras kepala.”




    Berbeda lagi. Suaranya tadi tidak sama seperti saat dia memakiku habis-habisan. Meski di sekitarku masih terdengar bunyi ledakan ataupun tembakan, telingaku dapat membedakan nada suaranya itu. Lebih tepat kukatakan kalau kata-katanya barusan seperti seorang…

    Kulepaskan pelukanku. Sambil menghapus air mata, aku berujar, “M-Maaf kalau aku terlalu keras kepala dan sulit diatur. Jika kamu ingin menghukumku lagi…lakukanlah. Mungkin aku memang pantas menerimanya.”

    Entah apa yang membuatku berkata demikian. Padahal selama ini perasaanku selalu tidak enak jika dipukul atau dihajar olehnya. Apa mungkin kali ini aku sadar kalau aku melakukan sebuah kesalahan?

    “Tidak.”

    “Eh? Tidak?”

    “Sudah cukup, Azrael. Masih ingat kata-kataku waktu itu? Sekuat apapun dirimu, tubuhmu tetaplah tersusun dari darah, daging, dan tulang. Jika terus menerus kulakukan, bisa-bisa kamu mati. Konyol rasanya jika kamu mati dengan cara seperti itu. Lebih baik kamu mati dalam pertempuran.”

    Ucapannya itu membuat hatiku tersentuh. Bagi orang biasa mungkin kedengarannya sangat tidak enak, karena dia beberapa kali menyebut kata ‘mati’. Tapi untukku, kata-kata tersebut menunjukkan seberapa besar perhatiannya padaku…

    “Terima kasih…Gregor.”

    Otot-otot pada ujung-ujung bibirku bergerak dengan sendirinya, bergerak sedikit ke atas. Senyuman. Ya, aku sedang tersenyum. Kalau kuingat, ini adalah pertama kalinya aku menunjukkan sebuah senyuman padanya. Sesuatu yang sangat mudah kutunjukkan pada orang-orang di rumah sakit dan juga mereka berdua ---yang sedang berada di dalam menara---, namun begitu sulit jika sudah berhadapan dengannya.

    Dengan raut wajah yang tertegun dan suara yang terdengar kaku, dia menyebut namaku. “A-Azrael…”




    Mendadak kuteringat beberapa hal.

    “Terima kasih untuk segala perhatian yang kamu berikan.”

    “Perhatian…? Bukankah selama ini aku hanya memperlakukanmu dengan---“

    Beberapa kali kugelengkan kepala.

    “Kamu ingin bukti? Mungkin dirimu sendiri tidak menyadarinya, dan beberapa hal yang keluar melalui perbuatanmu memang tergolong kasar. Tapi aku tahu…tujuannya tidak lain adalah untuk melindungiku.”

    Dia hanya terdiam.

    “Ingat saat Resha pertama kali dibawa ke tempat ini? Sedikit kekacauan terjadi, dan aku berusaha menembakmu. Percayalah, jika kamu tidak mengatakan kalau pemerintah akan menyiksa kami berdua, mungkin aku benar-benar menembakmu waktu itu, meski tidak sampai mati. Tujuanmu mengatakan hal itu karena…kamu tidak ingin aku berlaku kelewatan dan akhirnya mencelakakan diriku sendiri, benar begitu?”

    Wajahnya berpaling dariku, tetap tidak berkata-kata.

    “Bukan hanya padaku, tapi sebenarnya kamu juga peduli pada Resha.”

    “Mustahil!! Aku tidak---“

    “Lalu surat itu? Jelas sekali kalau Resha mengetahui persis apa yang akan terjadi padanya. Dengan begitu, dia akan lebih siap menghadapi semuanya. Dan yang memberitahu semua itu…pasti kamu. Kamu ingin agar dia tidak merasa takut, karena itulah kamu ingin menguatkan dirinya. Aku juga yakin, kamulah yang memberinya waktu agar dia dapat menulis semua itu, agar dapat kubaca setelahnya.”

    Lagi-lagi dia tidak menjawab. Hanya terdengar sekali bunyi ledakan disertai sebuah sambaran petir dari langit di kejauhan. Entah bagaimana petir itu dapat tercipta dengan cepat, karena yang kulihat hanya gumpalan awan sesaat, lalu menghilang setelah petir menyambar.

    “Masih perlu kukatakan lagi yang kutahu? Baiklah, masih ada. Masalah backup data itu…aku yakin, bukan data mengenai Resha yang diamankan. Setahuku, sistem data storage utama dan juga cadangan, semuanya berada di tengah menara, bukan di ruanganmu. Aku seratus persen yakin kalau yang kamu simpan adalah data yang lain. Biar kutebak, itu pasti data DNA ku. Kamu ingin mengamankannya karena berpikiran, siapa tahu hari ini terjadi sesuatu yang merusak tubuhku secara permanen, dan bisa kamu perbaiki nantinya jika data DNA ku masih ada. Benar?”

    “Cukup.”

    “Belum selesai, Gregor. Biar kuberitahu satu hal lagi. Mengenai paha kiriku ini, yang kamu tembak, sebenarnya…kamu hanya tidak ingin aku terluka lebih dari ini. Tidak mungkin para tentara Liberion di sana itu akan mengijinkanku ikut terjun menghadapi musuh jika terdapat luka padaku, apalagi pada bagian kaki.”

    “Baiklah…aku menyerah.”, ujarnya sambil memandang ke arah langit. Diapun memandangku, lalu berkata, “Kamu benar-benar mirip dengannya. Sama-sama keras kepala.”

    “Eh? Siapa yang kamu maksud?”




    “Masih ingat ceritaku di pesawat?”

    “Ah…kejadian lama itu?”

    “Benar. Sifatmu yang satu itu tidak ada bedanya dengannya…Shinagaku Tenka.”

    “Shinagaku Tenka…-san? Apa dia orang Seihou?”

    “Ya, dia orang Seihou, sempat berada satu sekolah dengan Iwanaga-senpai, terpaut setahun di bawahnya. Awalnya hanya mereka berdua yang saling kenal.”

    Whoa…onee-chan tidak pernah memberitahu hal ini. Mungkin akan kutanya nanti ketika pulang. Yah, kalau aku memang bisa pulang.

    Diapun mulai menceritakan mengenai orang yang bernama Shinagaku Tenka-san ini. Seorang gadis yang tergolong pemalu, dengan postur tubuh yang nyaris sama denganku. Lelaki berambut merah di depanku ini juga mengatakan kalau secara fisik Tenka-san sangatlah menggemaskan, dan seringkali menjadi korban keisengannya, Daleth, ataupun onee-chan.

    Waktu demi waktu berlalu, akhirnya dia bisa terbuka dengan Gregor dan juga Daleth. Meski nampak sulit untuk didekati, namun sebenarnya Tenka-san adalah orang yang menyenangkan dan juga perhatian pada orang-orang yang dikenalnya dengan baik. Setidaknya aku tidak perlu khawatir dengan onee-chan waktu itu, karena Tenka-san sering membuatkan makanan untuknya.

    Sewaktu pertama kali saling mengenal, mereka sudah merasa cocok satu sama lain. Pada perkembangannya, merekapun saling menyukai. Entah bagaimana Tenka-san, yang sangat susah untuk jatuh cinta ---bahkan menolak SEMUA pernyataan cinta para siswa laki-laki sewaktu SMA---, dapat tertarik pada Gregor dengan mudah. Begitulah yang dikatakan onee-chan pada Gregor, beberapa hari setelah mereka berdua telah menjadi sepasang kekasih. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan Gregor juga pernah mengalami jatuh cinta, karena yang kulihat selama ini adalah seorang Gregor Crick yang kasar dan pemarah, dan tidak pernah ragu memukul atau menendangku.

    Satu hal lagi, dia adalah orang yang sangat pintar. Jenius, maksudnya. Di antara mereka berempat, Tenka-san lah yang memiliki IQ paling tinggi, tepat 191 poin. Hal itu membuatku keheranan. Orang-orang dengan kecerdasan setinggi itu biasanya sangat sulit untuk didekati ---misalnya saja diriku---. Namun dalam kasus ini, dia masih bisa memiliki 3 orang yang dekat dengannya.

    Daleth, yang waktu itu masih acuh tak acuh dengan orang lain, seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Gregor dan Tenka-san. Mungkin itu alasannya Gregor memutuskan untuk tidak memberitahu pada Daleth mengenai hubungan mereka. “Percuma. Orang itu tidak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Hanya kebenaran dan keadlian yang ada di pikirannya. Dia juga hanya peduli dengan anak-anak.”, begitu katanya. Yah, walau sekarang jelas sekali Daleth sudah berubah.

    Kejadian itupun terjadi. Daleth memusnahkan semua orang yang berada di laboratorium E.L.O.H.I.M. Project, termasuk Tenka-san.

    Tenka-san sendiri tidak pernah bercerita kenapa dia mau menyetujui tawaran pihak militer untuk menjadikan sarung tangan itu sebagai senjata. Sehari sebelum kejadian itu, dia hanya mengatakan pada Gregor kalau dia setuju akan tawaran itu. Yah, mau bagaimana lagi…dia sudah tidak ada. Mustahil untuk mencari tahu mengenai hal itu sekarang.

    “Aku benar-benar tidak mengerti apa yang salah dengan orang itu. Dia tidak pernah berpikir panjang saat menghabisi Tenka…argh.”

    Kepalanya tertunduk, tangan kanannya bahkan menjambak rambutnya sendiri.

    Sambil berlutut di sebelah kanannya, kembali kupeluk dirinya. “Sudah, Gregor. Tidak perlu mengingatnya lagi jika tidak kuat. Semua sudah berlalu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk membawa Tenka-san kembali.”




    Selama beberapa saat, tanganku terus melingkari tubuhnya. Entah kenapa terasa begitu damai, begitu tenang. Benar-benar sebuah paradoks. Aku dapat merasakan hal ini saat suasana di luar sana sedang kacau balau. Mulutnyapun mulai berkata-kata, mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan.

    “Kamu tahu? Sebenarnya…penampilan fisik Tenka kugunakan untuk membentuk dirimu.”

    Mendadak kulepaskan pelukanku, lalu memandang wajahnya dengan tatapan yang…err…bagaimana ya? Yang jelas ucapannya itu membuat rasa penasaranku bangkit ke titik maksimum.

    “Watashi…ki ni narimasu…”

    “Tolong diterjemahkan. Meski pacarku dulu orang Seihou, aku tidak pernah belajar bahasanya sama sekali…”

    “Artinya, ‘Aku penasaran.’ Ya, aku benar-benar ingin tahu. Apa benar DNA Tenka-san digunakan untuk membentuk tubuhku…?”

    “Hanya postur dan rambutnya saja yang sama. Sebenarnya aku juga menggunakan DNA iris nya, tapi entah kenapa terjadi mutasi, sehingga matamu berwarna biru, tidak kehitaman seperti dirinya.”

    “Lalu? Lalu?”, tanyaku cepat.

    “Ya…hanya itu. Aku sendiri heran kenapa ada beberapa mutasi yang tidak diinginkan. ”

    Kugelengkan kepala beberapa kali sambil tersenyum. “Itu tidaklah penting. Yang jelas…aku benar-benar bahagia. Setidaknya aku tahu, kalau sebagian dari tubuhku ini dibentuk dari orang yang kamu cintai. Terima kasih ya.”

    “H-Hei!! Apa maksud---“

    “Wajahmu merah.”

    “C-Cukup, Tenka---“

    Mulutnya langsung membisu beberapa detik setelah mengucapkan nama itu. Wajahnyapun berubah muram.

    “Salah satu tujuanku memulai A.Z.R.A.E.L. Project tidak lain adalah untuk membangkitkan dirinya. Tapi tetap saja…kamu bukan dirinya. Aku gagal. Mungkin karena itulah terkadang aku merasa, maaf, agak jijik melihatmu.”

    “Memang bukan, Gregor. Aku juga tidak terima jika harus disamakan dengan dirinya. Tenka-san adalah Tenka-san, Azrael adalah Azrael. DNA yang ada padaku juga tidak seluruhnya berasal darinya, jadi tidak tepat jika kamu menganggapku adalah orang itu. Yah, kurasa dia juga tidak akan senang jika dirinya direplikasi. Yang jelas…”

    Aku menarik nafas dalam-dalam.

    “Setidaknya aku jadi mengetahui kalau…kamu belum kehilangan hal itu. Cinta.”

    “Apa…maksudmu…?”, tanyanya kaku.

    “Aku yakin, hanya ada Tenka-san di benakmu saat pertama kali mendesain tubuhku. Artinya…kamu memulai proyekku dengan cinta. Perasaan cinta pada Tenka-san yang masih tersimpan di hatimu.”

    Dia hanya tertegun.

    “Kamu tahu? Selama aku berada di Seihou, hanya ada satu hal yang bisa kusimpulkan dari berbagai peristiwa yang kualami di sana. Kehidupan dimulai dengan cinta, tumbuh bersama cinta, dan berakhir dengan membawa cinta. Aku benar-benar bersyukur bisa dikirim ke sana dan belajar berbagai macam hal…hingga akupun dapat mengerti tentang ini.”

    “Sudah pintar bicara rupanya.”, dia tersenyum bangga.

    “Orang yang ada di menara itu yang mengajariku. Resha. Yah, meski beberapa hal harus kucari tahu sendiri karena tidak mungkin dimengerti hanya dengan dijelaskan.”

    “Oh, jadi gara-gara anak kecil itu…”

    “Jangan menyebutnya anak kecil.”, kusentil dahinya.

    “M-Maaf…aku hanya bercanda.”

    “Ternyata kamu bisa bercanda juga.”, ditutup oleh tawa kecil dari mulutku.

    Momen ini tidak akan kulupakan. Saat-saat dimana aku bisa tertawa karena dirinya, untuk pertama kalinya. Hidupku terasa makin lengkap dengan suara tawa tadi, yang bagi sebagian orang mungkin adalah hal biasa. Akhirnya…Gregor…




    Akupun tersenyum padanya. Sebuah senyum penuh kasih sayang. Tidak, ini bukan bentuk cinta yang sama dengan yang Tenka-san berikan padanya. Ini adalah milikku. Ya, milik seorang Azrael Mevimaveth. Suatu ungkapan cinta yang berbeda, bukan seperti yang diberikan oleh sepasang kekasih. Tapi…

    “Kalau sudah begini, aku merasa kita seperti keluarga saja.”

    “Ya, mungkin ada benarnya juga.”, suaranya tak lagi terdengar dingin dan datar. Suara itu begitu dekat, begitu hangat.

    Perasaanku benar-benar tak tertahankan ketika tangan kanannya berada di atas kepalaku, lalu membelainya dengan lembut. Tetes demi tetes air mata mengalir. Kali ini bukan karena kesedihan, bukan karena kekecewaan, namun…kebahagiaan. Sudah terlalu lama aku menunggu Gregor melakukan hal ini. Belaian tangan yang hangat, tangan yang sudah mendesainku dengan penuh dedikasi.

    “Kamu tahu? Sebenarnya sebagian DNA penyusun otakmu berasal dariku.”

    Seketika ucapannya itu membuatku terkejut. Tak dapat disangkal lagi, itu artinya aku mewarisi DNA Gregor dan Tenka-san. Dengan kata lain…

    “Jadi…selama ini…”

    Kata-kata itu terucap dari bibirku, sambil berurai air mata. Tidak dapat kuhentikan. Bahkan dengan beberapa kali mengusapnya dengan tangan, tidak juga berhenti mengalir. Sekeras apapun aku berusaha, aku tetap tidak bisa…

    “Maaf kalau selama ini aku terlalu kasar. Memukulmu, menendangmu, mencekikmu, bahkan tidak ragu menembak kakimu. Aku…benar-benar minta maaf.”

    Aku hanya mengangguk sekali untuk menjawabnya, karena tidak mampu bicara apapun. Tidak ada yang bisa masuk ke indera di tubuhku selain suara dan belaian tangannya.


    “Maaf kalau sudah menjadi…orang tua yang buruk, Azrael.”


    Suara tangiskupun pecah. Kembali kupeluk dirinya erat-erat, begitu erat. Hatiku benar-benar bahagia. Selama ini, kupikir hal itu tidak akan pernah bisa kumiliki seumur hidup. Namun…semua kenyataan ini bicara lain. Akhirnya, aku memiliki orang tuaku sendiri. Gregor adalah ayahku dan Tenka-san adalah ibuku, meski aku belum pernah melihatnya sama sekali. Tapi aku tahu kalau hanya dengan bercermin, aku telah melihat sosok Tenka-san secara fisik. Ya, seorang anak pastilah sedikit banyak memiliki kemiripan dengan orang tuanya, seperti halnya diriku dengan Tenka-san.

    “Kamu tidak keberatan dengan orang tua sepertiku kan?”, tanyanya lembut. Hanya kujawab dengan beberapa kali menggelengkan kepala, dengan tetap membenamkan wajah di dadanya.

    Tanpa mempedulikan waktu, aku terus memeluknya sambil menangis. Tidak hanya itu, aku juga mampu melupakan dan memaafkan semua yang telah dilakukan Gregor terhadapku. Akupun mengerti kalau tetesan air mata tidak selalu dihasilkan oleh kesedihan, namun juga karena perasaan bahagia yang meluap-luap. Dan…inilah saat-saat dimana aku merasakannya.




    Melihatku sudah agak tenang, dia berkata, “Tapi...sepertinya kita tidak akan bisa terus bersama.”

    “Eh…? Kenapa?”, kutatap wajahnya dengan mata yang masih berlinang air mata.

    “Semua kejadian ini...pasti menjeratku dalam hukum internasional. Ada kemungkinan aku akan dipenjara seumur hidup.”

    “Itu tidak masalah!! Aku akan terus menjengukmu seumur hidup jika perlu…”

    “Huh…keras kepala sekali. Benar-benar mirip dengannya. Baiklah, terserah kamu saja. Yang jelas, tetaplah tinggal pada senpai setelah semua ini berakhir.”

    “Benarkah?”, suaraku terdengar seperti seorang anak kecil yang kegirangan.

    “Ya…kurasa dia juga butuh orang untuk mengurusnya. Bayangkan saja jika kamu tidak ada bersamanya. Mungkin dia akan terus membeli ramen instan di supermarket untuk makan pagi, makan siang, dan makan malam.”

    “Ahaha…benar juga. Aku juga berencana akan kembali ke Seihou setelah ini. Aku yakin onee-chan pasti juga kangen denganku.”

    Ah iya, aku harus menunjukkan rasa terima kasihku padanya. Sebuah kecupan hangat kuberikan di pipi kirinya. Diapun tersenyum, senyuman pertama yang diberikannya padaku.

    “Terima kasih…”

    Ledakan yang kuat terdengar dari arah menara. Dalam sekejap terpancar cahaya putih yang sangat terang, bahkan hingga membuatku tidak mampu melihat tanah di depan. Entah apa yang terjadi di dalam. Ah, tapi siapa peduli. Kata-kata ini harus tetap kuselesaikan.




    “…Papa.”


    Spoiler untuk Phase 15 :


    =====================
    Phase 15: Garden of Light
    =====================





    “Terima kasih banyak ya!!”, seruku sambil melambaikan tangan pada para pekerja.

    Uh-huh, pekerja. Selama sebulan terakhir, aku dan para pekerja itu ditugasi untuk memperindah reruntuhan Beth-Sheol, menjadi sebuah taman dengan monumen di tengahnya. Baru saja tanaman terakhir diletakkan.

    Yang kulakukan ini bukanlah membangun taman dan monumen biasa. Ada sesuatu yang unik di tengah-tengah taman, tempat monumen berada. Sebagian besar orang tidak akan percaya apa yang akan kukatakan ini, tapi…ada sebuah bola cahaya besar dengan diameter sekitar 3 meter di sana, melayang sekitar setengah meter di atas permukaan tanah. Entah terdiri dari apa bola cahaya tersebut, yang jelas siapapun yang berani menyentuhnya, tangannya akan langsung terbakar. Anehnya, udara di sekitarnya sama sekali tidak berubah panas. Untuk itulah, kami hanya perlu berhati-hati saat membangun monumen mengelilingi bola cahaya, agar tidak menyentuhnya. Dan demi pencegahan kecelakaan lebih lanjut, dibangunlah sebuah pagar ---tentu saja, yang dihiasi berbagai ornamen--- setinggi 1,2 meter mengelilingi bola cahaya itu, berjarak 2 meter darinya.

    Bagaimana aku bisa ditempatkan di sini? Semuanya karena Gregor--- maksudku, Papa.

    Amukan cahaya yang waktu itu tidak sampai membunuh kami berdua. Menara Dimensional Disruptor runtuh total, dan yang tersisa hanya bola cahaya itu. Seperti yang telah diprediksikan, pengadilan internasionalpun menangkap Papa, memenjarakannya seumur hidup. Sebenarnya aku juga harus mendapatkan hukuman, namun dia membelaku habis-habisan dan…pada akhirnya aku hanya diperintahkan untuk kerja sosial, yaitu membantu pembangunan taman dan monumen di sini. Tanpa dibayar tentunya.

    Satu hal lagi. Daleth dan Resha tidak pernah kutemui lagi setelah kejadian itu. Kemungkinan besar mereka lenyap ditelan cahaya tersebut, atau…

    Permukaan tanah kini berubah hijau, diselingi jalan-jalan dari bebatuan. Ah, mirip dengan Tsutsujigaoka, hanya saja tidak berbukit-bukit. Tanaman yang ditaruh juga bukan azalea.




    “Yo, Azrael.”

    “Ah…anda rupanya. Sudah mau pulang?”

    Entah siapa namanya, aku tidak tahu. Bukannya aku tidak pernah bertanya, tapi setiap kali kutanyakan, dia hanya menjawab “Nanti deh, kalau proyeknya udah selesai”, padahal aku sudah memperkenalkan diri lebih dulu padanya. Satu hal yang kutahu, dia ikut serta dalam proyek pembangunan taman dan monumen ini. Rambut kecoklatan dan gondrong, dan selalu mengenakan jaket kulit jika datang ke tempat kerja.

    “Yap, baru aja kutaruh helm kerjanya tadi. Sekarang baru aja mau ke tempat parkir.”

    Harus kuakui, logat bahasa Anglianya cukup aneh.

    “Hmm…begitu. Oh ya, anda belum melupakan janji anda waktu itu kan?”

    “Ah…namaku ya? Oke, tapi janji satu hal.”

    “Apa?”

    “Sebentar lagi bakal ada anak kecil yang datang ke monumen itu. Nanti tolong bicara sama dia, oke?”

    “Hanya itu?”, meski jujur saja, aku merasa ada yang aneh. Dia bisa melihat ke masa depan atau…?

    “Yap, itu aja kok. Begitu liat anaknya, kamu pasti bisa tahu apa yang harus dikatakan.”

    “Sepertinya mudah. Ya sudah, nanti akan kulakukan. Kalau begitu…nama anda?”

    “Yeshua.”

    Sepertinya pernah kudengar…di mana ya?

    “Oh ya, nanti kakak perempuanmu juga bakal datang. Tapi sebelumnya, jangan lupa sama janji kamu yang tadi.”

    Lagi-lagi dia seperti bisa membaca masa depan. Tapi ya sudahlah, selama ini tidak ada hal buruk yang dia lakukan.

    “Terima kasih untuk informasinya, Tuan.”

    Diapun beranjak pergi, sementara aku membungkuk sedikit sebagai rasa terima kasih. Uh-huh, sudah kebiasaan sejak di Seihou. Tapi…begitu aku kembali mengangkat wajahku…

    Dia menghilang. Benar-benar menghilang. Jejak suara langkahnya juga lenyap begitu saja setelah 5 langkah. Bahkan telingaku yang sensitif bisa dikelabui? Orang macam apa dia…? Sudahlah, tidak perlu terlalu dipikirkan. Mungkin dia sejenis Sakuya-chan. Tidak perlu heran dan takut, karena aku pernah berinteraksi dengannya. Berarti sekarang…aku harus ke tengah taman.




    Benar saja, ada seorang anak kecil beberapa belas meter dari monumen, seorang perempuan. Aku hanya mengamatinya saat dia melangkah mendekati pagar. Yang membuatku terkejut adalah, tiba-tiba dia memanjat pagar dan menuju ke bola cahaya yang di tengah.

    “Hei nak!! Di sana berbahaya---“

    Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kulihat. Semua orang…ya, semua yang telah menyentuh bola itu pasti mengalami luka bakar. Tapi bagaimana bisa anak itu tenang-tenang saja memeluk bola tersebut?!

    Refleks aku langsung berlari ke sana dan melompati pagar. Gadis kecil ini…menangis. Kubelai rambut keemasannya yang panjang itu dengan lembut.

    “Ada apa, anak manis?”

    Dia tidak menjawab, hanya terus memeluk bola cahaya itu sambil menyandarkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, dia berkata, “Papa…Mama…”

    Tunggu. Papa? Mama? Jangan-jangan anak ini…

    “Papa dan Mamamu ada di dalam sana?”, aku berusaha tersenyum ketika bertanya.

    Dia menatapku dengan mata kehijauannya yang nampak masih basah, lalu merespon, “I-Iya kak…”

    Hanya satu hal yang mungkin. Anak ini adalah anak mereka berdua, Daleth dan Resha, tapi jelas sekali bukan anak kandung. Usianya mungkin sekitar 8 tahun yang artinya, mustahil Resha melahirkan saat usia 10 tahun.

    “Kamu kangen dengan mereka?”

    Dia hanya mengangguk, lalu kembali meneteskan air mata. Anak ini pasti…benar-benar menyayangi mereka. Entah kejadian apa yang sudah mereka bertiga lalui, tapi aku yakin, itu pastilah sesuatu yang menguatkan kasih sayang di antara mereka. Dan sekarang mereka berdua…tidak pernah lagi ditemukan. Namun ada suatu perasaan aneh di dalam dadaku, yang mengatakan kalau mereka ada di dalam bola cahaya ini.

    “Namamu siapa?”

    “F-Freya, kak…”

    “Ah…nama yang cantik. Kamu juga terlihat cantik. Tidak baik bagi anak secantik dirimu untuk terus menangis.”

    “T-Tapi kak…”

    “Papa dan Mamamu pasti juga akan sedih melihatmu yang terus menangis. Ingat nak, mereka adalah orang yang kuat. Mereka pasti lebih senang melihatmu tersenyum dan tertawa ceria.”

    Ekspresinya berubah, badannyapun ditegakkan.

    “K-Kakak…kenal Papa dan Mama ya?”

    “Yah, bisa dibilang begitu. Sekarang, tersenyumlah. Mereka berdua pasti gembira melihat senyumanmu yang indah itu.”
    Ajaib. Meski sambil mengusap-usap mata, dia tetap berusaha tersenyum. Aku juga…bicara begitu lancar, seakan tahu apa yang harus kukatakan. Padahal baru pertama kali aku melihat anak ini.

    “Terima kasih ya kak. Papa dan Mama juga titip salam untuk kakak.”

    Huh? Apa dia…mendengar suara dari bola cahaya itu?

    Terdengar suara seorang pria berteriak-teriak, memanggil nama anak ini. Pelan…lama-lama makin keras. Pastilah dia sedang melangkah menuju tempat ini.

    “Ah, sudah dulu ya kak. Opa sudah memanggil. Sekali lagi, terima kasih ya.”

    Diapun memanjat pagar itu dengan cepat. Hebat. Untuk anak perempuan sekecil dia, memanjat pagar setinggi 1,2 meter kurang dari 5 detik merupakan catatan waktu yang tergolong cepat. Di kejauhan nampak seorang pria bertubuh kekar, yang sepertinya adalah opa dari anak tadi. Gadis kecil itu terlihat kembali ceria, lalu digendong oleh pria tersebut dan beranjak pergi.




    Baru saja aku ingin melangkah ke pagar, terdengar suara.

    “Terima kasih ya, Azrael.”

    Ini suara…Daleth?!

    “Oh ya, kalau memungkinkan…jadilah teman yang baik untuk Freya nanti. Dia pasti kesepian.”

    Resha?!

    “Hei, kalian di mana?!”, tanpa sadar aku berteriak memanggil.

    Tidak ada lagi suara yang bisa kudengar selain hembusan angin dan deburan ombak di kejauhan. Aku tahu betul kalau suara yang tadi berasal dari…bola cahaya itu. Tidak salah lagi, mereka pasti berada di dalam. Berdua, terus bersama.

    Kutarik nafas dalam-dalam, lalu berucap, “Tenanglah. Aku janji. Kalian juga…beristirahatlah dengan tenang.”

    Bola itu menjadi sedikit lebih terang sesaat, seakan merespon apa yang kukatakan tadi. Entah apa yang terjadi pada mereka di dalam sana, namun selama mereka bahagia…aku juga akan merasakan hal yang sama.

    Setelah kupanjat kembali pagar pembatas, nampak sosok seorang wanita--- HEI!! Tuan itu benar!!




    “Tadaima, onee-chan.”

    “Okaerinasai…Azrael-chan.”, raut wajahnya terlihat menahan tangis.

    “Sudah, keluarkan saja.”

    Memelukku erat-erat dengan air mata mengalir di pipinya, dia memanggil-manggil namaku dengan keras. Aku tidak bisa berkata apapun, hanya bisa membelai rambutnya yang lembut itu. Ya…aku bisa mengerti. Aku sendiri sebenarnya ingin menangis, tapi air mataku sudah habis selama 2 bulan terakhir. Jadi, kupilih untuk menyambutnya dengan wajah penuh keceriaan.

    “S-Syukurlah…kupikir kamu sudah---“

    “Mereka melindungiku, onee-chan. Jika tidak…mungkin aku sudah mati.”

    “Daleth dan Resha…ya?”, dia berusaha menghapus air matanya. “Baiklah, kita ke monumen itu sebentar untuk menyapa mereka, lalu kita pulang. Oke?”

    Aku tidak mengharapkan pemberian apapun darinya. Hanya satu hal yang kurindukan saat ini, rumahku di Seihou. Aku tidak tahu apakah suatu hari nanti aku akan pindah ke negara lain ---apalagi setelah ada permintaan dari mereka berdua---, namun untuk sekarang aku akan menikmati suasana yang hangat ini semaksimal mungkin. Bersama seseorang yang kusayangi…

    Melangkah ke tengah-tengah taman, menuju monumen. Onee-chan memutuskan untuk tidak berlama-lama, hanya menyapa mereka sebentar. Maklum saja…wajahnya sudah terlihat ingin menangis begitu melihat bola cahaya itu.

    “Baiklah…bisa kita pulang sekarang?”, tanyanya.

    Sekali mengangguk, lalu kuikuti langkahnya, berjalan di sisi kirinya.

    Hmm…mendengar cerita Gregor waktu itu, sebenarnya ada yang menggangguku. Bukan, bukan detail mengenai Tenka-san. Memang masih ada hubungannya dengan dia, tapi…

    “Onee-chan, boleh kutanya sesuatu?”

    “Tentu saja boleh.”

    “Onee-chan masih ingat dengan Tenka-san?”

    Sempat terdiam, namun akhirnya dia menjawab, “Ya, masih. Tentu saja masih. Ada apa dengannya?”

    “Sekarang aku mengerti kenapa onee-chan mau mengangkatku sebagai adik.”

    Kata-kataku seakan tepat sasaran. Langkahnya terhenti.

    “Itu semua karena…onee-chan ingin supaya kenangan akan dirinya tetap terjaga, benar begitu?”

    Dia tidak menjawab.

    “Onee-chan tahu? Sebenarnya…aku mewarisi DNA nya.”

    Wajahnya berpaling ke arahku. Sempat terdiam, namun akhirnya dia mengatakan…

    “Itu salah satunya. Tapi sebagian lagi…tidak.”

    “Maksudnya?”

    “Bukankah sudah kukatakan waktu itu? Aku butuh seseorang yang dapat kusayangi sebagai anggota keluarga. Awalnya memang aku memandangmu sebagai dirinya, namun lama kelamaan…berbeda. Ya, kamu berbeda. Azrael-chan yang polos, penuh senyuman, dan mau berkorban demi orang lain yang benar-benar membutuhkan. Itulah bedanya antara kamu dan Tenka-chan.”

    Onee-chan mengambil nafas sejenak, lalu melanjutkan.

    “Yap, aku menyayangimu sebagai Azrael-chan, adik dari Ooyamatsumi Iwanaga.”

    Ternyata keputusanku memilih untuk tinggal bersamanya tidaklah salah. Aku benar-benar bersyukur dapat tinggal dengan seseorang yang menyayangiku sebagai diriku sendiri, sebagai seorang Azrael Mevimaveth. Perasaan bahagia ini…tidak dapat kuungkapkan dengan kata-kata.




    Melangkah menuju pagar, ternyata Tuan yang tadi masih ada. Berdiri bersandar pada pagar pembatas taman, sambil melipat kedua tangan di dada. Langkahku pun terhenti pada jarak sekitar 10 meter darinya.

    Ingin kupanggil namanya, namun dia menggeleng-gelengkan kepala selama beberapa kali. Dia hanya menunjuk ke arah bola cahaya itu berada, lalu membuka mulutnya. Tidak bersuara, namun dapat terbaca dari gerakan mulutnya… “Terima kasih, Azrael.”, begitu yang dikatakannya. Setelah itu, dia mengacungkan jempol tangannya ke arahku, yang kubalas dengan melakukan hal yang sama.

    Dan dalam sekejap, dia menghilang. Ya, benar-benar lenyap tak berbekas.

    “Azrael…-chan?”, tanya onee-chan, yang berada beberapa meter di depanku.

    Hmm, sepertinya onee-chan tidak dapat melihatnya. Buktinya, dia berjalan begitu saja tanpa menengok sama sekali ke arah Tuan tadi.

    “Ah, tidak apa-apa, onee-chan. Mungkin halusinasiku saja.”

    Dia hanya tersenyum, lalu mengalihkan topik pembicaraan. “Oh iya, apa kamu ingin mencoba bersekolah?”

    “Eh? Buat apa lagi?”

    “Hmm…kamu memang jenius dan mampu melakukan banyak hal. Tapi, ada banyak hal lain yang bisa kamu dapatkan dengan bersekolah. Mungkin dapat kukatakan…kemampuan bersosialisasi? Dan bukan hanya itu, masih banyak yang bisa kamu dapatkan, yang hanya dapat kamu rasakan sendiri nanti di sana.”

    Hei, boleh juga. Sebenarnya saat kasus yang menimpa Amanatsu-san, aku juga ingin mencoba masuk sekolah. Siapa tahu aku akan menemukan seseorang, seperti halnya Daleth dengan Resha. Tapi…bagaimana dengan…

    “Tapi bagaimana dengan identitasku? Apa harus---“

    “Masalah itu, serahkan pada onee-chan.”, jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.

    “Baiklah…terserah onee-chan saja. Tapi untuk sekarang aku hanya ingin pulang dan bersantai di rumah. Dan tentu saja, pekerjaan di rumah sakit tidak bisa kuabaikan sampai waktu itu tiba.”

    “Oke, tidak masalah. Akan kubicarakan dengan Seijinrei-sensei juga nanti.”




    Dan…ini dia, Seihou. Tanah tempatku mempelajari nilai-nilai kehidupan selama kurang lebih satu tahun. Di sebuah kota kecil yang penuh kehangatan, perlahan sifatku berubah. Awalnya, aku hanyalah mesin pembunuh tak berperasaan. Namun di tempat inilah aku menyadari, kalau aku juga seorang manusia, manusia yang memiliki hati dan emosi. Tidak henti-hentinya kuucapkan terima kasih dari lubuk hatiku yang terdalam pada orang-orang yang telah kutemui dan kukenal, yang mampu mengubah diriku menjadi manusia seutuhnya.

    Khususnya…pada mereka berdua, malaikat-malaikatku, Daleth Reshunuel dan Resha Gimmelia. Kuharap kalian terus bahagia di sana. Bersama cinta, bersama cahaya.




    Dan…kalian tahu apa yang kulakukan pertama kali saat tiba di Seihou? Browsing. Entah kenapa nama Tuan yang satu itu sangat mengganggu pikiranku. Benar saja, begitu kucoba memasukkan namanya ke search engine…oh my God.

    Daleth, ternyata kamu benar…


    ==================================

    Spoiler untuk Trivia :

    Satu aja

    “Watashi…ki ni narimasu…” ---> catchphrase dari Chitanda Eru, chara cewek utama di anime Hyouka


    ==================================



    ~終わり~

    ~Terima kasih untuk para pembaca yang selalu setia mengikuti cerita ini~

    Last edited by LunarCrusade; 25-08-12 at 10:14.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  15. #59
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    dan kembali terbagi 2...

    Spoiler untuk 14 :
    Wha....PAPA!???
    Anjir, lawak sekali. Gue pikir awalnya itu 2 bakal engaged in some moment

    well, being a papa ain't that bad, hmm...
    Happy ending! Azrael akirnya nemu orangtuanya yang dia cari2 ya. hahahaha


    Spoiler untuk 15 :
    Funky-God debut!!!
    ini ending yang bener2 ngga ketebak, gara2nya juga aaaar ngga jadi kaya bayangan gue sih.
    2 hal yang patut gue sorot dari chapter ini:
    1. Freya nya masih loliiii!!!
    2. AZU-chan in sailor uniform is comingggg!!! HELL YEAH!!!!

    sisanya...ehm

    nice spin-off ya. Bener2 heart-warming deh!

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  16. #60
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk duar :

    lagi" ga seperti yang lu duga ye

    tapi petunjuk udah banyak banget gw kasih lho, dari Phase 4 sampe 10, yang nyeritain ttg keluarga ada 5, sementara yg romantic relationship cuma 2

    emang lebih konsentrasi di family love daripada romantic love sih dari awal direncanainnya

    ini semua gara" gw lebih demen Clannad sama Usagi Drop daripada anime" shounen bacok"an


    tapi harus gw akui, nulis cerita ini lebih susah dibanding sebelah


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 4 of 5 FirstFirst 12345 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •