Ponselku adalah rival terbesarku. Tiap getarannya membuat jantungku berpacu lebih cepat dan aku membencinya. Tembakau yang begitu nikmat tidak menarik perhatianku sore ini. Enggan memancing perhatian, aku memesan secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Mungkin, sepahit hidupku.
Denting lonceng khas dari pintu kafe ini menandakan tamu baru yang hadir. Teriakan selamat datang menggema di telingaku, namun tidak ada yang lebih menarik perhatianku daripada…
“Ryan! Maaf menunggu lama. Biasalah, macet. Hahaha.”
Aku tidak pernah berharap ada Dewi Fortuna yang membantuku di saat masa-masa terpurukku. Hanya saja, jika memang ini bukan titisannya, lalu ini apa? Aku ternganga tidak percaya. Perempuan di depan mataku ini...
“Ryan! Jangan bengong dong. Aku tahu aku telat. Tapi kan ini cuma 15 menit. Jamgan berlebihan gitu ah! Ayo, mana mobil barumu?” celotehnya seakan menampar kesadaranku.
“Oh! Hai.. Hmm, ya maksudku, halo!”
Di atas meja, ponselku bergetar lagi. Rasa canggung yang aneh menggelitik sekujur tubuhku. Aku masih bergeming. Aku sungguh tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Perempuan ini… Ah, sudahlah. Bukan salahku jika memang dia yang menghampiriku. Lagipula, nama Ryan tidak buruk sama sekali dan hal yang terpentingnya adalah ia cantik.
“Kok kamu canggung banget sih sama aku sekarang? Kamu bosan ya sama aku?”
Kali ini, naluriku sudah siap ambil bagian. Beberapa orang di meja sebelah sudah melihat adegan sangat aneh di mana ada satu perempuan cantik menghampiriku dan masih berdiri di samping mejaku tanpa aku persilakan untuk duduk.
“Bukan begitu. Aku hanya terpesona dengan kecantikanmu.”
APA? Sudahlah, aku membutuhkan perempuan ini untuk kelangsungan hidupku. Sepertinya pun perempuan ini begitu mudah termakan dengan rayuanku. Ia tersipu dan langsung duduk di sebelahku.
“Sejak kapan dirimu mencintai kopi? Baru pertama kali aku melihat dirimu memesan kopi. Biasanya kau hanya memesan teh hangat. Ah, mungkin kau sudah berubah ya. Bagaimana kuliahmu di sana? Baik? Ada perempuan cantik selainku di sana? Tega sekali kau baru mengabarkan kepulanganmu kemarin malam? Untung saja aku tidak punya kegiatan hari ini. Ah, tidak penting. Ngomong-ngomong, itu ponsel barumu? Kuliah di luar negeri hanya untuk membeli ponsel usang seperti ini? Hahaha.”
Entah berapa banyak pertanyaan yang dilayangkan kepadaku. Perempuan yang bahkan tidak aku ketahui namanya ini bergelayutan manja di lenganku dan aku sudah cukup mengerti. Aku mengamankan ponselku dengan menyelipkannya di saku bajuku dan berdiri.
“Hahaha. Ponsel usang tidak berarti tidak berguna kan? Yuk! Hari ini kamu mau ke mana?”
Aku berusaha menjaga setiap ucapanku, guna menjaga identitasku yang sebenarnya. Aku harus mencari tahu tentang perempuan ini, setidaknya nama. Selain itu, mengapa harus aku? Ya, mengapa ia menghampiriku dan bukan pria berambut hitam kecoklatan yang duduk dengan gelisah selang beberapa meja dariku. Aku tidak sempat melihat wajah pria itu karena ia duduk memunggungiku. Aku yakin perempuan ini salah orang. Namun, siapa yang peduli?
“Yuk! Aku sudah lama tidak naik mobil! Kamu ke sini naik mobil kan? Ke mana saja. Asal denganmu.”
Sebuah kecupan mendarat di pipiku. Ini bukan mimpi. Ponselku bergetar lagi. Tanda waktuku sudah tidak banyak. Aku meninggalkan kopi yang sudah mendingin tidak tersentuh. Aku punya urusan yang lebih penting daripada secangkir kopi. Nyawaku. Aku membayar kopi itu di kasir dan berlalu bersama dengan perempuan di gandenganku.
“Mobil barumu? Di balik ponsel usangmu, ada sebuah mobil mewah yang diidamkan para perempuan? Mengejutkan! Hahaha.”
Aku menyunggingkan senyum. Pahit. Ponselku bergetar lagi. Hatiku semakin gundah. Antara membalas pesan singkat yang sudah menumpuk di kotak masuk atau tetap mengabaikannya. Pikiranku kalut, keningku berkerut. Kepalaku mulai sakit.
“Mengapa semudah ini? Mengapa harus perempuan ini yang datang sendiri padaku yang sedang kehausan?” batinku, penuh konflik.
Perempuan itu menjelajahi seluruh isi mobil, menekan satu per satu tombol-tombol yang sebenarnya aku pun bahkan tidak mengetahui sepenuhnya apa fungsinya. Aku lebih memilih tersenyum melihat gerak-geriknya daripada banyak bicara. Ia melihat ke arah kursi belakang mobil, mengambil sebuah kantong plastic berwarna merah muda, mengeluarkan isinya, dan…
“TIDAK! Jangan masker itu!” teriakku, panik.
Sontak aku menginjak rem mendadak. Jalanan kosong, tiada kecelakaan berarti. Hanya saja, perempuan itu kini sudah tidak sadarkan diri. Masker itu memang diciptakan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian perempuan untuk mengambil dan mencoba untuk memakainya. Sayangnya, masker itu sudah dibubuhkan obat tidur.
Ponselku bergetar lagi. Aku memarkir mobil ke tepian jalan, mengeluarkan ponselku, dan menuju kotak masuk. Ada 16 pesan masuk dari nomor yang sama. Empat pesan singkat yang dikirimkan berulang-ulang.
“Ardi, kamu tentu masih ingat tanggal ini. Hari ini. Batas pelunasan semua hutangmu.”
“Kau memang dapat lari dari pesan ini, namun hingga pukul 10 malam ini kau tidak membayar utangmu, kau akan tahu sendiri akibatnya. Nyawamu.”
“Hanya mengingatkan, hutangmu akan lunas dengan tiga pilihan. Pertama, lunasi semua hutangmu. Kedua, lari dariku dan semua anak buahku akan membunuhmu tepat saat kau terlelap pada malam hari. Ketiga, bawa kepadaku seorang wanita cantik di dalam mobil mewah yang aku pinjamkan kepadamu untuk mempermudah tugasmu. Tentunya, tanpa lecet di mobil mewahku.”
“Aku harap kau tidak menyesal jika kau mengabaikan pesanku. Siapa yang tahu jika memang kau ingin menyusul kedua orangtua dan adik perempuanmu yang sudah tak bernyawa di tanganku karena hutangmu?”
Aku melihat jam. Tepat pukul enam sore. Perempuan di kursi sebelah terlelap begitu polos. Tanpa dosa. Haruskah? Jantungku berdegup semakin cepat. Akal sehatku seakan mulai menyerah. Aku hanya butuh satu jam untuk menuju tempat Sam, si pengirim pesan singkat. Aku dapat melunasi semua hutangku hari ini. Tapi, mengapa aku merasa bersalah di saat semuanya terasa begitu mudah?
Aku mencari ponsel perempuan itu, membukanya, dan mencari informasi yang setidaknya dapat menjadi pertimbanganku. Sekarang atau tidak ada kesempatan lagi. Menyusuri kotak masuk dan pesan terkirim di ponselnya, membuatku merinding. Benar, ia salah orang. Ryan yang dimaksud bukanlah diriku. Ia berjanjian untuk bertemu dengan Ryan, kekasihnya yang baru saja pulang dari luar negeri, persis di kafe tempatku berada. Ryan memanggilnya, Gita.
Gita. Nama yang indah, seindah parasnya. Hanya saja nasib baik mungkin tidak berpihak padanya. Aku menyusuri galeri foto di ponselnya dan menemukan ribuan foto dirinya bersama teman-temannya. Mataku berhenti pada satu titik. Foto itu, foto lama. Foto dirinya bersama dengan seseorang yang memiliki rambut hitam kecoklatan sepertiku dan memiliki postur tubuh yang tidak jauh berbeda denganku. Ryan? Kepalaku berdenyut, namun aku harus mengambil tindakan secepatnya.
Aku tidak mengetahui kadar obat tidur ini. Aku menurunkan posisi jok mobil tempat Gita duduk, guna membuatnya terlelap dengan nyaman. Sadar waktuku tidak banyak lagi, aku menginjak gas mobil menuju ke satu tempat yang sekiranya dapat membuat nyawaku terselamatkan.
“Masa cuma segitu? Ini masih mulus, Pak. Naikkin sedikit lagi. Tolong lah, Pak!”
“Ini memang masih mulus, tapi sayangnya ini hanya ponselnya saja tanpa charger dan kelengkapan lainnya. Maaf, saya tidak bisa menaikkannya lagi.”
“Baiklah. Oh ya! Saya pinjam ponselnya sebentar ya.”
Aku mengambil kembali ponsel Gita, mencatat nomor telepon Ryan, lalu mengambil kartu SIM. Aku tersenyum pada penjaga toko, menerima uang tunai jutaan rupiah, lalu berlalu.
Gita masih terlelap pada posisinya. Aku membawanya ke rumahku yang sangat berantakan, menggendongnya masuk ke dalam kamar pribadiku, lalu menguncinya dari luar. Memastikan semuanya aman, aku mengunci pintu rumah, lalu menuju tempat Sam dengan segera.
“Hahahaha! Aku pikir kau akan melarikan diri dariku! Jadi?”
“Sam, kau tahu, aku tidak pandai dengan urusan perempuan. Jadi lupakan soal itu. Aku sudah berusaha mencari uang. Namun, aku hanya mendapatkan ini. Aku sungguh minta tolong. Berikan aku waktu lagi. Tiga bulan dari sekarang, aku akan melunasi semuanya. Aku mohon.”
BBBBUUUUKKKKK! BAAAAKKK! BUUUUKKK!
"Itu setimpal untuk tiga bulan kan? Pergilah. Tiga bulan dari sekarang, hutangmu dan bunga 30 persen itu harus lunas. HAHAHAHA! Mobil itu masih aku pinjamkan. Siapa tahu ada perempuan yang dapat kau bawa padaku.”
Aku merasakan darah segar keluar dari hidungku, namun aku sadar aku masih beruntung. Beruntung ia tidak menghabisiku di tempat. Perutku serasa mual, punggungku ngilu, meski tidak patah. Aku menuju parkiran, segera kembali ke rumahku. Satu hal lagi yang perlu diluruskan, Gita.
Pulang tepat waktu, aku melihatnya masih terlelap. Banyak hal yang harus aku jelaskan padanya setelah ini. Meski, tidak mungkin aku menjelaskan seluruh permasalahan yang ada. Aku tidak dapat membiarkannya pergi begitu saja, sebelum hutangku terbayar lunas. Hal baiknya, aku sudah menjaga dirinya dengan baik sampai saat ini, bukan?
Gita terbangun. Berusaha menyesuaikan cahaya kamar, ia mengerjapkan mata beberapa kali. Obat tidur itu sangatlah kuat, membuatnya bahkan masih tidak mampu duduk. Namun,
“Bagaimana aku bisa ada di sini? Hmm, Ryan? Memar itu…”
“Tidak perlu khawatir. Ya, hmm.. Ya, sebenarnya aku lagi terlilit hutang. Hari ini seharusnya aku melunasi hutangnya. Penagih hutang itu datang ke sini lalu mengacak-acak seisi rumah, membuatmu tertidur, dan memukuliku. Dan…. ponselmu diambil paksa olehnya. Tapi kamu tidak terluka sama sekali. Maafkan aku telah membuatmu terlibat.”
Aku menundukkan kepalaku, entah sejak kapan aku menjadi sangat pintar bermain kata. Ia tampak begitu terkejut dan lebih memilih terdiam beberapa menit. Keheningan yang mencekam, setidaknya untukku.
“Bagaimana jika ia akhirnya meninggalkanku setelah semua yang ia ketahui? Terlebih, saat ia menyadari bahwa aku bukanlah Ryan? Ini benar-benar aneh. Bagaimana bisa ia tidak sadar dengan kebodohannya?” batinku.
Tangannya yang dingin menyentuh tanganku. Aku mengangkat kepalaku, menatapnya dalam. Dalam hitungan detik, aku menemukan kehangatan dalam matanya. Merinding. Aku ketakutan.
“Terima kasih telah menjagaku hari ini. Ternyata kepergianmu ke luar negeri untuk melarikan diri dari hutangmu? Mengapa tidak pernah memberitahuku? Aku kan dapat membantumu. Hahaha! Untung saja kamu tidak dibunuhnya. Lalu, kapan kamu harus melunasinya lagi?”
Ia terkekeh kecil, aliran darahku seperti terhenti. Tak percaya pada pendengaranku. Aku merasa bodoh. Gila. Bagaimana ini semua ini dapat terjadi? Mengapa?
“Mengapa? MENGAPA?!!!” teriakku.
“…hah? Kamu mengejutkanku, Ryan. Apa yang mengapa?”
“…”
Gita bangun dari posisinya, menatap mataku lekat-lekat, dan dengan nada yang sangat halus ia berkata,
“Aku tidak memaksamu untuk berbicara, namun jika kamu ingin berbagi, kamu tahu aku akan selalu ada untukmu. Berapa hutangmu?”
“Mengapa kamu begitu baik padaku?”
“Karena kamu juga sudah begitu baik selama 3 tahun hubungan kita.”
“…”
Aku hanya tersenyum membalas ucapannya yang begitu menenangkan. Tiga bulan bukanlah waktu yang lama untuk melunasi hutang ratusan juta bagi orang sepertiku. Tiada pekerjaan, tiada keluarga. Jika aku begitu tidak ingin melepaskan Gita, apa aku salah?
“Sebenarnya, aku masih penasaran mengapa kamu tidak menjual saja mobil mewahmu itu?”
Gita mengerlingkan matanya, seakan telah memberikan ide yang paling tepat. Lagi, aku terdiam.
“Seandainya aku bisa, aku sudah menjualnya jauh sebelum aku menemuimu,” batinku, menghela napas, dan berlalu dalam hening.
***
Dua setengah bulan kemudian, Gita masih bersikeras menemaniku hingga semua permasalahanku selesai. Entah ini keputusan yang baik atau buruk. Ada satu hal terakhir yang masih ingin aku ketahui. Aku bergegas mandi dan pergi ke warung internet terdekat. Aku harus mendapatkan jawaban atas semua ini secepatnya.
Dengan kecanggihan teknologi zaman sekarang, sangat mudah mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam beberapa klik. Hasil yang aku dapatkan sangatlah mencengangkan, tetapi pada akhirnya, aku mengerti segalanya.
Prosopagnosia atau face blindness adalah kelainan dalam mempersepsi wajah yang membuat orang yang mengalaminya kesulitan dalam mengenali wajah, termasuk wajah dirinya sendiri. Pada umumnya, penderita mengenali orang lain dengan cara melihat postur tubuh atau warna rambut.
Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin? Kepalaku berdenyut. Dua minggu lagi adalah batas pelunasan semua hutangku dan kini prosopagnosia? Aku mengakhiri billing internet, lalu menuju rumah secepatnya.
Setibanya di rumah, aku mencari album foto beberapa tahun lampau saat keluargaku masih utuh. Album foto yang dapat menarikku kembali ke masa-masa indahku bersama semua orang terdekat sebelum akhirnya aku mengenal Sam, yang ‘meminjamkan’ uang untuk biaya modal kerja dan akhirnya meningkatkan bunga pinjaman terus-menerus hingga aku tidak mampu lagi untuk membayarnya. Sam adalah manusia yang tidak segan menghabisi nyawa semua orang terdekat dari si penghutang, lalu nyawa si penghutang sendiri pada akhirnya.
“Gita! Kemari sebentar.”
“Ya? Ada apa, Ryan?”
“Kamu kenal ini siapa?”
“Hmmm, tidak.”
“Baiklah.”
“…”
Benar. Dia tidak dapat mengenali fotoku. Aku meninggalkannya yang kebingungan, lalu mengunci diri di kamarku. Tidak memiliki pilihan lain, aku mengeluarkan sebuah kepingan kecil dari dompetku, lalu menukarnya dengan kepingan di ponselku.
Kartu SIM ponsel Gita.
Beberapa pesan singkat masuk setelah ponsel aku hidupkan. Semua menanyakan kabar Gita yang sudah hilang dua bulan setengah. Aku masih ragu melakukan ini. Tetapi, aku tidak memiliki satupun pilihan.
“Lakukan! Ayo lakukan! Sudahi semua hutangmu!” batinku bergejolak.
Aku mencari secarik kertas kecil bertuliskan 11 digit angka, lalu dengan ragu aku mengetiknya pada ponselku.
“Gita ada bersamaku. Uang tebusan sebesar 100 juta tidak sebanding dengan nyawa Gita, pacarmu bukan? Batas maksimal uang tebusan itu adalah tiga hari dari sekarang.”
Aku menghela napas, berat. Benarkah aku harus melakukan ini?
Lima menit, satu pesan singkat masuk ke ponselku.
"Di mana?”
“Kirimkan saja ke nomor rekening Gita. Setelah itu, aku akan melepaskan Gita.”
Ada perasaan yang tidak biasa saat aku berjanji untuk melepaskan Gita. Apakah ini… cinta? Aku berharap, ini hanya keegoisanku.
“Seratus juta sudah aku kirimkan ke rekening Gita. Beritahu aku, di mana Gita?”
Dusta, jika aku tidak menangis. Semudah inikah? Aku mematikan ponselku, mengganti kembali nomorku. Membiarkan Ryan yang asli dalam panik.
***
Hari ini adalah hari penentuan di mana aku harus memilih. Meminta Gita untuk mencairkan seratus juta rupiah itu dan melepaskannya, atau mencairkannya dan tetap memaksa Gita untuk tinggal bersamaku, atau tidak lagi mengambil keuntungan dari Gita dan melepaskannya kembali kepada Ryan yang asli. Aku melihat Gita sedang bernyayi kecil di ruang tamu. Ia adalah satu-satunya perempuan yang sudah mengisi hariku sejak tiga bulan lalu dan ia tidak pernah tahu ada bencana yang dapat menimpanya sewaktu-waktu. Aku menukar kartu SIM ponselku, mengirim sebuah pesan singkat kepada Ryan.
"Aku akan mengirimkan alamat tempat Gita berada sebelum jam sembilan malam hari ini.”
Aku mengganti lagi kartu SIM ponselku, dan memanggil Gita.
“Gita, kita perlu bicara. Serius.”
“Aku tahu, perihal hutangmu kan? Aku tidak keberatan jika kamu mengambil dari rekeningku. Hanya saja, kamu yang tidak pernah mau memberitahu nominalnya.”
“Bukan begitu. Tapi, aku bukan…”
“SEJAK KEPULANGANMU TIGA BULAN LALU, KAMU SUDAH BERUBAH RYAN! KAMU…”
“KARENA ITU! AKU BUKANLAH RY…!”
“KAMU TIDAK TERBUKA LAGI DENGANKU! SELAMA TIGA BULAN INI AKU MENEMANIMU KARENA AKU TAHU AKU PASTI DAPAT MEMBELAMU! KAMU PIKIR AKU DAPAT MELIHATMU MATI BEGITU SAJA HANYA KARENA HUTANG?”
“DENGARKAN AKU, GITA!”
“APALAGI YANG HARUS AKU DENGAR? AKU TAHU AKU HANYA PEREMPUAN BIASA DI MATAMU! TAPI AKU YAKIN UANG TABUNGANKU PASTI DAPAT MEMBANTUMU LEPAS DARI SEMUA INI!”
“…”
“KAMU BAHKAN LUPA TENTANG JANJIMU YANG AKAN MELAMARKU SETELAH KEPULANGANMU DARI LUAR NEGERI ITU! SEMUA YANG KAMU PIKIRKAN HANYALAH HUTANGMU!”
“…”
“DAN LAGI! MOBIL ITU! AKU TAHU HARTAMU YANG TERSISA KINI HANYA MOBIL MEWAH ITU! ITULAH YANG MEMBUAT KAMU TIDAK INGIN MENJUALNYA KAN? KAMU DEPRESI KARENA SEMUA HARTAMU KINI SUDAH TIDAK ADA! BAHKAN, DI MANA KELUARGAMU? RUMAH KECIL YANG BERANTAKAN INI PUN BUKAN RUMAHMU YANG DULU! TAPI AKU SELALU SETIA MENEMANIMU. UNTUK SATU JANJI DI PELAMI…”
“Kamu boleh pergi, jika memang itu keinginanmu. Apalah gunanya jika aku hidup tapi aku harus bergantung pada orang lain? Terlebih… orang yang aku cintai.”
“KAMU GILA!”
Aku tidak percaya bahwa akhirnya aku dapat mengatakannya. Derai air matanya membasahi seluruh wajahnya dan dengan tatapan benci, ia menuju arah pintu.
BRUUUUUUAAAAAAAKK!!
Pintu rumahku mendadak didobrak. Dalam sekali sentak, Gita terpental ke lantai. Tidak ada waktu untuk mendengar erangan kesakitannya. Aku harap ini hanya mimpi. Tidak mungkin.
“SAM?!”
“HAHAHAHAHAHA! Kau pikir kau bisa lari dariku?”
“Aku memang berniat datang ke tempatmu setelah urusanku selesai hari ini!”
“Urusan macam apa yang kau punya, ******** kecil? Urusan apa yang lebih penting daripada hutangmu padaku?”
“Aku…”
Dengan tatapan sinis, Sam menyapu pandangannya ke seisi rumah dan mendapati Gita yang masih kesakitan.
“TIDAK, SAM! JANGAN DIA!”
“HAHAHAHAHAH! Ternyata urusanmu yang lebih penting adalah perempuan cantik ini. Siapa namamu anak manis?”
“TIDAK SAM! AKU MOHON JANGAN DIA!”
“Tiga bulan yang aku berikan kepadamu sudah kau nikmati bersamanya, bukan? Sudah saatnya aku ambil bagianmu, bukankah begitu anak manis?”
“JANGAN SENTUH DIA!”
“Oh. Kau sudah berani melarangku? Aku baru tahu, orang yang sekarat sepertimu masih dapat mementingkan cinta. Kau tidak memberitahu anak manis ini tentang ratusan juta rupiahmu? Kasihan sekali perempuan ini. Seandainya, kau memberikannya padaku sejak tiga bulan lalu, ia sudah bahagia dengan hartaku, dan kau pun dapat menikmati hidupmu. Tapi, aku rasa kau memilih hal lain.”
Sam menyentuh payudara Gita di depan mataku, dan aku melihat Gita menampar Sam dengan tatapan jijik.
“Tolong ajari perempuanmu ini agar lebih sopan kepadaku, Ardi.”
Gita menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya dan menatapku tidak percaya.
“Kau? Ardi? KAU RYAN! BUKAN ARDI!”
“HAHAHAHAHAHAHA! Hai perempuan cantik, dia tidak mencintaimu. Dia bahkan merahasiakan identitasnya padamu. Keadilan memang terjadi, paras cantik belum tentu diiringi kepintaran. Tadinya aku ingin memanjakanmu, hanya saja, sepertinya kalian dapat bercinta di akhirat setelah tubuhmu aku nikmati. Bukan begitu, Ardi?”
“JANGAN DIA, SAM!”
“Ardi? Mengapa kamu tidak pernah jujur pada…”
Aku melihat pisau itu terhunus tepat di jantung Gita. Aku melihat semuanya. Pemandangan serupa yang keempat kalinya, setelah orangtuaku dan adik perempuanku.
“Tenang saja, aku tidak keberatan bercinta dengan perempuanmu meski ia sudah tidak bernapas. Aku berharap kau sudah pernah mencicipi tubuhnya sebelum aku. Hahahaha!”
Sam merobek baju Gita, menelanjanginya di tempat, dan semua pemandangan menjijikkan itu terjadi di lantai rumahku. Di depan mataku sendiri.
“Ah, ternyata.. Perempuanmu ini masih perawan! Aku tak percaya kau bahkan belum pernah menyentuhnya! Sayang sekali, kau memang bodoh. Baiklah. Aku sudah selesai dengannya. Seharusnya, dia sudah menunggumu di akherat. Ada permintaan terakhir? HAHAHAHA!”
Aku sudah siap mati. Hanya saja, aku masih punya satu janji.
“Aku masih punya satu janji hari ini, Sam. Berikan aku waktu tiga menit, dan setelah itu terserah dirimu.”
“Tiga menit tidak akan merugikanku. Lakukan saja.”
Aku menarik ponselku dari kantong celanaku dan mengetik sebuah pesan singkat.
“Ardi, kau tahu polisi tidak akan berarti apa-apa bagiku.”
“Aku bersumpah. Bukan itu, Sam.”
“Jalan Peradaban Dinosaurus no 99. Sumur utara, Kecapian.”
Sent.
Aku menghela napas berat terakhir, dan aku merasakan jantungku melemah. Adakah yang ingin melanjutkan ceritaku setibanya Ryan di tempat ini? Titipkan permohonan maafku karena telah mengambil istri masa depannya.
***
Share This Thread