Spoiler untuk MABAMABAANJING :
Spoiler untuk MABAMABAANJING :Satu hal buat battlenya. Da'ath bilang uriel itu lambat. Tapi waktu uriel diserang sekaligus pake hyper massive defender(dengan kecepatan tinggi), pilar es yang nutup jalan terbang keatas, sama serangan langsung energy blade(dengan serangan lanjutan dari bawah yang secepat kilat). Semuanya berhasil diatasi Uriel, yang meski berkat bantuan kalkulasi Photonica, cuma bisa dilakuin kalo uriel punya kegesitan super! Tapi selebihnya seru lah. Keren. Laser2 yang bisa2 belok2 dengan sudut2 tertentu, gua bayangin kayak vektor2 yang bisa berubah arah sendiri.
Terus sifat Tenebria kok jadi kek tipikal remaja cewek yang nggak kuat akan pertikaian gitu. err, rasanya Tenebria lama bener2 udah lenyap dari permukaan deh
Spoiler untuk MABAMABAANJING :Satu hal buat battlenya. Da'ath bilang uriel itu lambat. Tapi waktu uriel diserang sekaligus pake hyper massive defender(dengan kecepatan tinggi), pilar es yang nutup jalan terbang keatas, sama serangan langsung energy blade(dengan serangan lanjutan dari bawah yang secepat kilat). Semuanya berhasil diatasi Uriel, yang meski berkat bantuan kalkulasi Photonica, cuma bisa dilakuin kalo uriel punya kegesitan super! Tapi selebihnya seru lah. Keren. Laser2 yang bisa2 belok2 dengan sudut2 tertentu, gua bayangin kayak vektor2 yang bisa berubah arah sendiri.
Terus sifat Tenebria kok jadi kek tipikal remaja cewek yang nggak kuat akan pertikaian gitu. err, rasanya Tenebria lama bener2 udah lenyap dari permukaan dehSpoiler untuk eaaaaa :
kan ada perbandingannya...
dibilangnya kalo dibanding Atra, Tenebria, sama Raqia, ya tergolong ga gesit
dia kan ga bandingin sama dirinya sendiri (yg kalo tanpa Plasma ya nothing), Angel-class, dst dst dst
bukan pertikaiannya, tapi tabiat "tukang pukul"nya Uriel
ntar ada beberapa chapter khusus dia kok, dan di situ akan ketauan BUANYAAAKKKK hal
============================
Spoiler untuk Tehillim 42 :
========================================
Tehillim 42: Locked Sacrifice ~ Prisoner of Gnosis
========================================
Kupikir akan gelap di dalam, ternyata tidak. Sepanjang langit-langitnya dipasangi alat penerang. Tapi lampu-lampu di atas sana… kenapa mirip dengan yang pernah kulihat di istana Selenium? Koridornya juga terasa ‘tidak sesuai jaman’ karena tidak tersusun atas batu maupun kayu.
“Kenapa diam saja di situ?”
Pertanyaan Uriel segera mengalihkan pandanganku dari langit-langit. Begitu juga dengan Raqia. Wajah penasarannya bahkan terpasang selama 2 detik, barulah matanya tertuju pada si Archangel pertama.
Seketika dua rubi api itu melirik tajam ke arah… tanganku. Masih digenggam erat oleh Raqia.
Menyadari arah pandang Uriel, Raqia segera melepaskan genggamannya.
“A-Aku memegang tangannya supaya dia tidak me-memukulmu lagi.”
Ah… pipinya merah.
“Belum bisa jujur juga?” Kucubit pipinya. “Padahal aku sudah resmi jadi---“
Aw. Kakiku diinjak.
“Hee… begitu rupanya.”, respon Uriel.
“A-A-Apanya yang ‘begitu rupanya’?!”, balas Raqia.
“Archangel yang paling keras menentang perihal hubungan cinta antara Archangel dengan orang lain… ternyata adalah yang paling terlihat mesra. Dengan Crusader-Saint pula.”
“B-Bukannya kamu juga tidak setuju?”
“Huh? Aku tidak pernah berkata begitu. Dulu aku hanya berpendapat, jika seorang Archangel malah melalaikan tugas demi pasangan hidupnya, lebih baik tidak usah berpasangan saja. Kalau sebaliknya, ya tidak jadi masalah.”, jawabnya santai.
“Uuuhh…”
Dan… si gondrong itu tersenyum. Terlalu kontras dengan wajah seriusnya yang kulihat sejak kemarin.
“Maaf soal yang tadi, Raqia. Aku benar-benar tidak sengaja. Untunglah Photonica bisa mengerti sehingga tidak mau menyala.”
“Tidak apa-apa. Lagipula tadi aku juga refleks melindungi dia.” Raqia menunjukku dengan jempol. “Karena tidak siap, jadinya aku jatuh.”
“Maaf untukmu juga, Crusader-Saint. Yah, setidaknya tadi bisa menjadi latihan bagus untukku.”
“Masih ada seorang lagi yang memerlukan permintaan maafmu.”, jawabku ketus.
Tanpa ragu dia menjawab, “Tidak untuk yang itu.”
“Da’ath.”, ujar Raqia pelan. “Sudah ya. Mungkin tidak untuk saat ini.”
Jika Raqia sudah bilang begitu… ya sudah, kuturuti saja. Barangkali butuh waktu bagi Uriel agar kepala batunya itu luluh.
***
Makin lama berjalan, aku merasa kalau koridor yang kulalui makin menurun. Padahal ini kan sebuah menara…
“Jadi, kenapa kita tidak naik?”
“Pertanyaan bagus, Crusader-Saint.”
“Da’ath saja.”
“Oke… Da’ath. Tapi sebelum kujawab pertanyaan itu, ada baiknya jika kamu berpikir sendiri terlebih dahulu.”
“Heh, itu tidak sopan namanya.”
Dijawabnya santai, “Aku tidak pernah mengenal Crusader-Saint yang bertanya sebelum berpikir.”
Ah sudahlah. Daripada emosiku makin naik, lebih baik tidak usah kuladeni. Tapi… ada benarnya juga kata-katanya barusan.
Kita ke bawah, bukan ke atas. Raqia meminta Uriel untuk menunjukkan apa yang disembunyikan dari Archangel lainnya. Itu artinya tidak ada yang disembunyikan di atas sana, atau mungkin Uriel tidak berniat untuk menyembunyikan apa yang di atas.
Uriel membuka pembicaraan. “Sepertinya kamu sudah menemukan jawabannya.”
“Uh-huh. Itu karena yang disembunyikan olehmu ada di bawah menara.”
“Betul. Menurutmu, kenapa harus kusembunyikan?”
“Kamu benar-benar senang membuatku naik darah ya?!”
“Memalukan.”, sahutnya. “Aku heran, apa yang salah dengan isi kepalamu saat ini? Mungkinkah sempat terbentur?”
“Uri, hentikan gaya bicaramu yang sok itu.”, potong Raqia. “Dia tidak bisa mengingat sebanyak dirimu. Mungkin karena itu kemampuan berpikirnya belum kembali seperti yang pernah kamu tahu.”
“Begitukah? Benar-benar tidak menarik.”, responnya. “Tapi baiklah, akan kuberi petunjuk. Nuachiel juga pernah melihat apa yang ada di bawah.”
“Sepertinya kamu selalu memberikan perlakuan spesial pada Nuachiel. Jangan-jangan kamu cinta padanya?”, tanya Raqia ketus.
“Sembarangan. Dia itu masih anak-anak, bukan tipeku.”
Kalimat itu membuatku seketika menyimpulkan kalau Archangel ketujuh adalah yang termuda.
Baiklah, akan kulewatkan dulu hal itu. Petunjuknya hanya Nuachiel Yevarech. Di antara bertujuh, hanya dia yang tidak memerintah suatu kota---
Kota. Itu dia. Dari sini aku harus terus berasumsi…
Ada kota, ada pemerintah, ada rakyat. Tiga unsur itu selalu saling berkaitan. Diasingkan dari kota, hanya boleh dilihat oleh pemerintah kota setempat ---pengecualian, yang tidak memerintah kota manapun---, dan…
…disembunyikan dari rakyat.
Hmm, titik terang sudah kudapatkan. Sesuatu yang ‘disembunyikan dari rakyat’ memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, terlalu memalukan untuk ditunjukkan. Kedua, terlalu mengerikan untuk dilihat. Ketiga, terlalu berbahaya untuk diketahui. Jika ketiga faktor itu digabungkan, maka…
…astaga.
“Uriel.”
“Hmm? Sudah bisa menebak?”
“Kamu benar-benar Archangel paling brengsek.”
“Aku tidak keberatan dengan kata-kata itu selama rakyatku dapat terus hidup aman dan tenang.”
Jawabannya datar, matanya sedikit turun, kepalannya dieratkan. Artinya, apa yang kupikirkan adalah tepat adanya.
“Sepertinya sekarang hanya aku yang tidak tahu…”, ujar Raqia lesu.
“Jika kamu ingin menangis nanti, peluk saja aku erat-erat.”
Raqia sedikit bingung mendengar kata-kataku. Biarlah, aku juga tidak kuasa untuk memberitahu apa sebenarnya yang disembunyikan Uriel di menara ini. Bibirku terus terkatup, terasa seperti ada gembok besar yang menguncinya. Hingga akhirnya berhadapan dengan sebuah pintu besar, pintu geser bercorak sama dengan pintu utama tadi.
“Sekali lagi kutanya. Apakah kalian benar-benar ingin tahu apa yang ada di balik pintu ini?”, tanya Uriel serius.
“Aku tidak mengerti alasanmu melakukannya. Tapi… jika Raqia memang ingin tahu…”
“Baiklah. Photonica, kode aksesnya.”
Deretan huruf-angka-simbol kekuningan berlari menuju sekeliling pintu. Kurasa mekanisme kuncinya berbeda dengan yang di depan, karena pintu yang ini tidak memiliki panel apapun.
“Da’ath, memangnya ada apa sih di dalam…?”
Aku hanya diam. Terus hingga tujuh lapis pintu terbuka, dengan garis pertemuan antar 2 sisi pintu selalu berbeda sudut di tiap lapisnya.
Mataku segera teralih ketika apa yang ada di dalam ruangan memasuki pandangan. Tidak ingin kulihat hal itu berlama-lama. Ini… benar-benar gila. Dunia penuh kasih yang selama ini kutahu seakan sirna.
Tak tahan lagi, aku merasa mataku panas. Sedikit basah. Ingin juga kututup telingaku, tapi percuma. Raungan pilu yang terdengar tak mampu ditahan oleh selapis daging dan tulang. Corak penderitaan di tiap nada terasa begitu menusuk hati, menyesakkan aliran udara ke dada, menarik kekuatan dari kedua kakiku. Tubuhku segera miring dan bersandar pada tembok.
Jeritan. Erangan. Teriakan.
Ya, ini adalah tempat penyiksaan bagi Elilim-class.
***
Keseimbangan Raqia lenyap seketika, terduduk lemas di lantai. Matanya terbuka lebar. Mulutnya membuka-buka tanpa suara, kaku. Aku… tak tega melihatnya. Aura emosi yang dipancarkannya mungkin lebih hancur dibanding saat Viridia terbunuh. Maka aku berlutut di sisinya, lalu memeluknya erat.
“Ini… belum seberapa.”, ujar Uriel dingin.
Gila. Ini gila!!!! Bahkan pemandangan yang lebih menjijikkan dibanding kandang **** itu dikatakan ‘belum seberapa’?! Maksudku, bagaimana bisa dia menganggap cipratan darah di lantai dan tembok itu bukan apa-apa?! Bahkan beberapa di antara malaikat bersayap merah itu ditusuk berulang-ulang oleh palang runcing berdiameter sekepalan tangan!! Malah ada juga yang terus-menerus dihantam sebuah benda seperti palu besar… Argh, apakah aku harus mengatakan juga kalau ada potongan-potongan jari dan otot bertebaran di lantai?!
“Ruangan di dalam sudah kumodifikasi agar para makhluk hina itu memiliki kondisi tubuh yang mirip manusia. Itulah kenapa kalian melihat darah.”
Benar apa katanya. Viridia, Athena, dan Brynhilde tidak mengeluarkan darah setetespun ketika ditusuk.
“Divine Energy yang bersarang pada gen mereka juga kuubah menjadi Divine Barrier. Aku menemukan bahwa Divine Energy pada tubuh para ras malaikat tidaklah permanen sifatnya, dapat kucopot-pasang seperti balok mainan. Semua itu kupancarkan melalui antena di puncak menara. Apa kalian terganggu dengan barrier itu?”
“Setidaknya sukses menunda perjalanan kami kemari lebih dari dua minggu.”, jawabku ketus.
Jadi Divine Barrier yang menghalangiku sejak beberapa hari lalu itu berasal dari para Elilim-class itu?
“Jika masuk makin jauh, kalian akan melihat lebih banyak.”, tambahnya.
“Uri… kenapa…”
Tak tahan lagi, Raqiapun menangis, terisak-isak. Tubuhnya gemetar hebat. Kekuatannya menguap. Sekarang dia nampak begitu rapuh.
“Jangan khawatir. Setiap beberapa jam sekali semuanya akan berhenti, dan semua cedera akan hilang seutuhnya. Photonica membantuku untuk menggabungkan blueprint Artificial Dimensional Storage dan Recovery Orbiter, menciptakan ruangan---”
“Aku tidak tanya hal itu!!!!”, potong Raqia, berteriak. “I-Ini semua… mengerikan… terlalu mengerikan…”
“Dan kamu menyebut dirimu Archangel? Jangan munafik, Raqia!! Berapa ratus ribu Elilim-class yang sudah mati di tanganmu?!”
“Setidaknya aku tak pernah menyiksa seorangpun!! Aku selalu berusaha agar mereka tidak merasakan penderitaan yang terlalu lama!!”
“Kematian seperti itu…” Uriel diam sejenak “…terlalu indah dan tak pantas bagi yang di dalam.”
Raqia tak sanggup lagi berkata-kata, hanya dapat membalas pelukku erat-erat.
Maka sekarang giliranku yang angkat bicara. “Uriel, aku butuh penjelasan untuk penyiksaan ini. Jika kamu melakukannya tanpa alasan jelas, akan kuminta Biblos mematikan Archangel Core milikmu secara paksa. Aku serius.”
“Tentu saja ada. Tidak mungkin aku berlaku sewenang-wenang.”
Disentuhnya bingkai kacamata keperakannya sesaat.
“Sebelumnya, satu pertanyaan. Apa kamu tahu asal-usul Elilim-class? Aku harus mengkonfirmasi pengetahuanmu mengenai hal itu sebelum melanjutkan.”
Aku mengangguk. “Ya, pernah kudengar beberapa waktu lalu.”
“Bagus. Seribu tahun yang lalu, mereka melanggar satu dari tiga pantangan itu. Dan…” Uriel mengggertakkan giginya. “…mereka melakukan yang paling tidak bisa kutoleransi. Bahkan Elilim-class yang berasal dari Chalal, Tzayad, maupun Avodah tidak ada yang berani melanggarnya.”
Tak perlu main tebak-tebakan. Dari teriakan para tahananpun aku bisa tahu apa yang dimaksud Uriel.
“Gnosis!!! GNOSIS…!!!! O, dewa pengetahuan, berikan kami Gnosis yang sempurna dari jaman keemasan!!!”
Ya, penghujatan terhadap Elohim Yang Kudus, Tuhan Semesta Alam.
“TUTUP MULUT KALIAN!!!!”
Seruan Uriel diikuti munculnya bola-bola cahaya di sekitarnya. Semuanya itu segera menembaki para tahanan. Puluhan? Kurasa lebih.
“Uri, berhenti!!! BERHENTIIIII…!!!!!”
Jeritan Raqia terdengar lebih histeris.
“Dan membiarkan mereka terus menghujat Tuhan kita dengan mengagungkan dan memohon pada sesuatu yang bukan Tuhan??!!”
“Jika kamu tidak ingin mendengarnya lagi, lebih baik hukum mati saja mereka!!!! Jangan membuat mereka tersiksa seperti ini!!!! Kumohon Uri… aku mohon!!!!”
“Sekali tidak, tetap tidak.”, jawabnya dingin.
“Kamu pasti punya alasan lainnya kenapa tidak menghabisi mereka sekalian.” Ah, bahkan nada suaraku berbeda dari biasanya. Jiwaku mati rasa.
“Aku tidak mau mengirim mereka ke neraka. Akan kusiksa mereka terus-menerus hingga mereka semua mencabut semua penghujatan itu!!”
“Setidaknya… berikan mereka kesempatan---“
“Kesempatan? KESEMPATAN KATAMU?!”
Suaranya memukul jantungku. Dihentakkannya pula Photonica ke lantai.
“Hampir seribu tahun kuberi mereka hal itu!! Dan apa yang kuterima? Hanya pembangkangan!! Otak mereka sudah dicuci habis-habisan!!”
Da’ath, tenangkan dirimu. Tenang… tarik nafas. Ini semua belum lengkap. Aku harus membuat Uriel bercerita lebih banyak lagi. Masih ada yang mengganjal jika kucerna baik-baik kata-katanya.
“Siapa yang melakukan hal itu, Uriel?”
“Aku tidak tahu. Mereka mengatakan telah mendengar sebuah suara yang mengaku akan memberikan pengetahuan.”
Oknum yang sama juga telah memperalat Elilim-class di berbagai belahan dunia. Hanya satu makhluk yang pantas kucurigai. Yang jadi masalah adalah…
“Oke, aku juga pernah mendengar pengakuan yang sama dari seorang mantan Elilim-class. Tapi… kenapa Elilim-class yang ditahan di tempat ini mendengarnya sembilan ratus tahun sebelum yang lain?”
Raut wajah Uriel segera berubah. Memalingkan wajah.
“Aku bisa menyimpulkan bahwa yang memicu kegilaan para Elilim-class adalah orang yang sama, karena hal yang dikatakannya juga tidak berubah. Dan di sinilah keanehannya. Orang yang sama, mengatakan hal yang sama, tetapi memilih Ohr-Nisgav sebagai target pertamanya? Yah, perbedaan sembilan ratus tahun itu tidak masalah kali ini karena si pelaku memang tinggal di suatu tempat yang memiliki alur waktu yang berbeda dengan Bumi. Yang bermasalah adalah urutannya.”
Sekarang hanya raung kesakitan dari para tahanan yang terdengar.
“Hanya satu jawabannya. Orang itu hanya dapat mengingat kota ini pada awalnya. Sejak itu barulah dia dapat mencari tahu posisi kota-kota lainnya. Dan berdasarkan apa yang kualami sepanjang perjalanan, aku tahu bahwa peta Bumi sudah berubah. Ya, si pelaku mengandalkan ingatannya sebelum dunia ini berubah, yaitu lebih dari dua ribu tahun yang lalu.”
“Stop.”, potong Uriel. “Photonica, tolong tutup pintunya.”
Sudah kuduga. Dia tidak ingin hal ini didengar oleh para tahanan. Ketujuh lapis pintu itupun kembali menutup.
Kulanjutkan, “Sewaktu tiba di luar Ohr-Nisgav, Plasma sempat mengatakan kalau kotamu itu kemungkinan besar adalah basis operasiku di masa lalu. Jelas sudah bahwa Ohr-Nisgav adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya kota yang masih tersisa sejak masa lalu. Ini menjawab pertanyaan kenapa Elilim-class dari kota ini yang menjadi target pertama.”
Sepertinya Raqia sudah kembali mendapatkan sedikit kekuatannya. Dia memintaku untuk membantunya berdiri, meski setelahnya masih memelukku erat-erat.
“Dan hal itu membawaku pada inti permasalahan. Kamu berkata bahwa cukup banyak hal dari masa lalu yang dapat kamu ingat. Maaf jika pertanyaanku terdengar menuduh, tetapi ini harus kukatakan.”
Kutarik nafas dalam.
“Uriel Yehiy’or, apakah kamu mengenal si pelaku--- ah, sepertinya kurang tepat. Apakah kamu masih mengenal dan mengingat dengan baik…”
Pemikiranku tak mungkin salah kali ini.
“… siapa ‘Papa’ dari para Nephilim?”
Bahkan Raqia merespon dengan sebuah, “Eh…?!”
Jelas sudah segalanya. Inferna, Tenebria, dan Atra selalu mendatangi domain Elilim-class untuk ‘bekerjasama’ dengan mereka. Itu berarti ketiganya berhubungan dengan suara tersebut. Kemungkinan yang paling masuk akal hanya ada dua. Suara itu berasal dari salah satu Nephilim, atau sumber suara itu adalah ‘Papa’ mereka bertiga. Dan jawabannya adalah yang terakhir, karena para tahanan memanggilnya dengan ‘dewa’, bukan ‘dewi’. Yap, dalang dari semua ini adalah seorang pria yang punya hubungan dengan ketiga gadis itu.
“Jangan sembarangan!---“
Segera kupotong dengan pertanyaan pamungkas.
“Lalu kenapa kamu bisa tahu bahwa Tenebria adalah seorang Nephilim hanya dengan melihat matanya?! Apa karena kamu ingat betul kalau ‘Papa’ dari para Nephilim atau Inferna, salah seorang putrinya, juga bermata merah darah, sementara nyaris semua Archangel dan juga diriku sudah melupakan hal tersebut?!”
Kata-kata tertelan kembali ke tenggorokannya. Langsung saja kuserang dengan pemikiranku.
“Aku yakin ingatanmu masih amat sangat baik untuk mengingat tentang Inferna dan sang ‘Papa’, atau salah satunya saja. Padahal kenyataannya, ketiga Nephilim yang ada pastilah belum pernah mengunjungi Ohr-Nisgav. Artinya, ingatanmu tidak membutuhkan kehadiran mereka sendiri untuk memicunya.”
Berbeda dengan kasus Kanaphiel. Dia HARUS berada di Bulan untuk mengingat apapun tentang masa lalunya.
Uriel hanya membisu, tidak ada penyangkalan. Berarti kata-kataku benar adanya.
“Elilim-class di tempat ini juga adalah satu-satunya yang tidak memiliki domainnya sendiri karena sudah dipenjara sejak lama berdasarkan kata-katamu: ‘seribu tahun menerima pembangkangan’. Apakah sejak itu mereka sudah di menara ini, Uriel?”
“Belum.”, jawabnya dengan nada rendah. “Menara ini belum lama adanya. Sebelumnya mereka kukurung dalam Artificial Dimensional Storage di bawah kota.”
“J-Jadi… sejak kapan menara ini…?”, tanya Raqia lemah. Dia masih gemetar, sedikit.
“Tidak lama setelah Polyhymnia meminta ijin padaku untuk pergi. Kamu dan empat Archangel lain tidak ada yang tahu karena tidak ada satupun dari kalian yang ke tempat ini sejak saat itu.”
“Terima kasih untuk kejujuranmu. Kuhargai hal itu.” Kucoba sedikit tersenyum agar dia sedikit tenang.
Raqia menggenggam erat bajuku. “Da’ath, kumohon lanjutkan…”
“Baiklah.”
Kutarik nafas sejenak.
“Yang kutahu, urusan ketiga Nephilim selalu melibatkan Elilim-class. Mungkin juga Elilim-class Ohr-Nisgav, pada awal rencananya. Tetapi… untuk apa pergi ke satu kota yang amat sulit ditembus pertahanannya hanya untuk menemui pasukan biasa? Berbeda sekali dengan Elilim-class dari kota-kota lain yang lokasinya jauh dari kota asal, sehingga lebih mudah ditemui. Jelas sudah alasannya kenapa kamu belum pernah melihat mereka dan juga pelaku utama, setidaknya selama dua ribu tahun terakhir.”
“Asumsimu terlalu mengada-ada.”, ledek Uriel.
“Oh ya? Tidak juga. Tenebria sendiri mengatakan bahwa Inferna adalah makhluk dengan 100% gen manusia.”
Bingo. Uriel terbelalak, lengkap dengan sekali hentakan nafas.
“Artinya, perempuan itu tidak akan mengalami perubahan warna rambut atau mata sepanjang dua ribu tahun terakhir. Berbeda dengan kasus Maoriel, Omoikane, dan Kanaphiel yang warna rambut serta matanya berubah karena ketiganya bukanlah makhluk dengan gen manusia seutuhnya. Ya, mata merah darah Inferna adalah alami, dan kamu berpikir bahwa gen mata merah darahnya itulah yang diwariskan kepada Tenebria. Lengkap sudah hipotesisku, yang menjadi basis data bagimu untuk menghajar Tenebria.”
“…aku menyerah.”, kata Uriel pelan. “Ternyata ketajaman pikiranmu masih sama seperti dulu.”
“Kamu sendiri yang bilang kalau aku harus berpikir dulu sebelum bertanya.”
Raqia menyelak, “Hei… tunggu.”
Kusentuh pundaknya. “Kalau masih lemas, jangan memaksakan diri.”
“Sudah tidak apa-apa kok… Untunglah pintunya ditutup.”
“Jadi, ada yang ingin kamu katakan?”
“Kemungkinan… Clio juga pernah mendengarnya. Dia memang tidak pernah mengakuinya secara terus terang. Tetapi aku ingat betul sebelum dirinya keluar dari militer Shamayim seratus tahun lalu, dia sering mengalami mimpi buruk dan susah tidur. Mungkin suara itu penyebabnya.”
“Bahkan setelah mengikuti latihan selama tujuh puluh tahun di Ohr-Nisgav?!” Uriel terdengar kaget.
“Begitulah. Berarti suara itu mampu mengusiknya, melampaui efek latihan yang pernah diterimanya darimu.”
Kutanya, “Err, untuk yang ini aku tidak pernah dengar. Bisa tolong ceritakan lebih lanjut?”
Raqia mengawali ceritanya ketika Clio masih menjabat sebagai komandan tertinggi seluruh angkatan bersenjata Shamayim. Bisa dikatakan kalau dia adalah orang kedua di bawah Raqia. Seorang yang kuat, cantik, namun sangat supel dan murah senyum bahkan kepada para bawahannya sekalipun. Suatu hari, dia mengajukan permohonan pada Raqia untuk berlatih di Ohr-Nisgav, mengetahui disiplin para tentaranya yang sangat tinggi. Ijin diberikan, dan dia diperbolehkan mengikuti pendidikan militer selama 70 tahun.
Tetapi ada yang aneh dari perilaku Clio. Setelah selesai 70 tahun tersebut, dirinya malah mengalami hal-hal yang Raqia sebutkan tadi. Bahkan sesekali Raqia harus menjagainya ketika dia tidur untuk menenangkannya di malam hari. Menjerit ketakutan, berkeringat dingin, dan nafas tersengal-sengal, semua itu dialaminya selama beberapa tahun. Namun Raqia tak pernah memaksanya untuk bercerita dan memilih untuk menunggu.
Dan… hal yang tidak terduga terjadi. Kira-kira 100 tahun yang lalu, Clio meminta Raqia untuk melepas batu safir di tangan kanannya. Ya, mencabut statusnya sebagai Angel-class secara resmi, menjadi Eleutherian-class.
“Kalau saja aku sedikit memaksanya, mungkin dia mau cerita…”, ujar Raqia lesu.
“Semua sudah terlanjur terjadi, Raqia. Kalau kita bertemu dengannya, tanyakan saja apa yang ingin kamu ketahui.” Kubelai rambutnya sebentar. “Dan… Uriel, bagaimana dengan Polyhymnia?”
“Ah, anak itu? Seingatku dia tidak pernah mengalami gejala-gejala aneh.”
Bisa jadi dikarenakan Polyhymnia memiliki kemampuan mengendalikan diri lebih baik dari Clio. Wajar saja, sangat mungkin jika sejak lahir dia berada di lingkungan ekstra disiplin, berbeda dengan Clio yang hanya 70 tahun. Asumsiku, Polyhymnia tidak mendengar suara itu 1000 tahun yang lalu. Jika dia sudah mendengarnya sejak lama, pastilah dia sudah dirantai bersama para tahanan karena akan menjadi sama gilanya. Dua faktor yang bisa menjelaskan hal itu: dia belum lahir, atau terlewatkan oleh pelaku.
Ini artinya… kemungkinan besar kesembilan Indagator juga pernah mendengar suara itu, hanya saja mereka tidak terjerumus godaan suara tersebut. Jelas sudah alasan kenapa kelompok itu terbentuk.
Namun masih ada 1 hal yang belum terungkap.
Untuk apa orang itu melakukan semua ini?
Ketiga putrinya memiliki misi utama yang jelas, yaitu mengambil semua Divine Technology yang bisa diambil, termasuk Archangel Core. Sementara yang dilakukan orang itu selama ini adalah mempengaruhi orang-orang dari ras malaikat---
Tunggu.
Bagaimana dengan manusia biasa…? Kenapa selama ini aku tidak pernah mendengar satupun kabar mengenai orang-orang biasa yang jiwanya terganggu atau berubah gila, baik ketika aku masih di Ferrenium maupun dari cerita para Archangel? Apa orang itu tidak butuh manusia biasa sama sekali?
…astaga. Aku mengerti sekarang!
Kedua Archangel itu menatapku keheranan karena diamnya mulutku selama beberapa waktu. Maka segera kukembalikan arah pembicaraan pada perihal para tahanan.
“Sepertinya Raqia benar, Uriel.”
“Uh? Benar dalam hal apa?”
“Eksekusi mereka.”
“O-Oi, apa maksudmu?! Kamu ingin membiarkan mereka disambut oleh para iblis?!”
“Itu lebih baik dibanding membiarkan kejahatan yang lebih besar terjadi nantinya, dan mungkin orang-orang tak bersalah akan menjadi korban. Kalau kamu tidak sanggup, akan kuminta Raqia yang melakukan.”
“Jelaskan dahulu apa yang ada di kepalamu itu!!!!”
“Pelaku membutuhkan sebanyak mungkin pasukan untuk menguasai kota-kota yang ada. Itulah kenapa hanya orang-orang dari ras malaikat, yang berumur lebih panjang dan berkekuatan sedikit lebih hebat dari manusia biasa, yang menjadi target suaranya.”
“A-Apa…?!” Wajah Archangel pertama langsung berubah terkejut.
“Da’ath… apa itu benar?” Raqia menatapku dengan penuh kecemasan.
“Aku yakin Plasma akan menyetujui hipotesisku. Aku memang masih belum bisa memahami kenapa ada jeda sembilan ratus tahun antara suara pertama dan kedua, mungkin harus kutanyakan pada Tenebria. Tetapi satu hal yang jelas, Elilim-class dibutuhkan oleh orang itu.”
“Cih, sepertinya aku harus mengaktifkan kembali Divine Barrier…”
Kuhela nafas panjang. “Huh… sudah kukatakan semuanya, masih saja keras kepala.”
Raqia mempererat genggamannya pada bajuku. “Uri, tolonglah. Aku tidak habis pikir kenapa kamu tega melihat mereka dicabik perlahan-lahan setiap hari…”
“Bukankah sudah kukatakan, itu karena aku tidak ingin mereka dijebloskan ke neraka setelah mati!!!!”
“Tapi apa usahamu selama ini membuahkan hasil? Tidak kan? Dan jika benar pemikiran Da’ath, ada satu jalan lagi untuk menyelamatkan mereka selain mengeksekusi semuanya. Sulit memang, tetapi…”
Sebenarnya aku sudah tahu apa yang dipikirkan Raqia. Namun karena terlalu mustahil untuk mendatangi kediaman orang itu…
“Katakan, Raqia.”, pinta Uriel.
“Kita harus menghentikan dalangnya secara langsung.”
“Maksudmu…”
“Ya, lebih baik satu orang mati demi kebaikan seluruh dunia.”
Wajah Uriel sedikit berpaling ke kiri. Ada sedikit warna ketidaksetujuan.
“Itu harus, Uri, jika kamu tidak ingin yang di dalam sana menderita lebih lagi. Dan… sekarang aku tahu alasan lainnya kenapa kamu tidak mau mengeksekusi mereka.”
Akhirnya, Raqia tersenyum.
“…kamu masih menyayangi mereka yang di dalam kan? Aku tahu kamu hanya ingin mereka kembali ke jalan yang benar, meski menurutku… caramu terlalu kejam. Tapi aku bisa mengerti. Itu karena mereka mustahil dikembalikan dengan cara yang wajar.”
Meski rasa kecewa tergambar pada awalnya, tetapi sedikit senyuman lega terpancar dari wajah Uriel setelahnya. Sejenak ditatapnya langit-langit.
“Mungkin sudah saatnya kuhentikan.”
***
“Tapi itu berarti penjagaan menara ini harus kuperketat. Kuharap kita bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu dekat.”, kata si Archangel pertama ketika kami mengambil jalan keluar. Dia telah meminta Photonica untuk mematikan segala alat penyiksaan yang ada di dalam. Recovery Orbiter yang mengelilingi tubuhku juga sudah kembali pada Uriel.
“Yah, setidaknya tidak ada yang harus mati hari ini.”, jawab Raqia.
“Tapi aku heran.”, sahutku. “Biasanya kamu bersemangat sekali jika sudah menyangkut urusan menghajar Elilim-class. Eh… kamu malah menyarankan cara yang sama sekali tidak melukai mereka.”
“Aku tidak mau membunuh yang tidak berdaya. Lagipula sekarang bukan dalam kondisi perang kan?”
“Benar juga ya. Mungkin kamu harus menyimpan tenagamu untuk menghadapi orang gila yang mengatur semua ini.”
Kualihkan kata-kataku pada Uriel.
“Dan aku belum mendengar klarifikasi darimu mengenai orang yang kumaksud.”
“Dulu dia adalah teman baikku.”, jawabnya, terdengar sedikit lemah. “Sayangnya aku tidak tahu kenapa dia berubah menjadi seperti itu.”
“Tidak tahu, atau tidak ingat?”
“Kali ini tidak tahu, karena seingatku dulu dia bukanlah orang jahat. Bahkan aku sendiri heran kenapa dia menjadi seperti itu ketika mendengar suaranya seribu tahun lalu.”
“Oh? Kamu juga dengar?”
“Mungkin karena dulu kami lumayan dekat, dia dapat memasuki alam pikiranku dengan suaranya. Syukurlah dia tidak mempengaruhiku saat itu.”
Artinya ada suatu hal yang memukul telak jiwanya, sehingga sifatnya berubah 180 derajat.
“Satu lagi. Bagaimana kamu bisa mengingat lebih banyak dibanding aku ataupun Archangel lain?”
“Nuachiel juga mampu mengingat cukup banyak.”, jawabnya.
Lagi-lagi Archangel ketujuh.
“Tetapi penyebabnya berbeda antara kami berdua. Untuk kasusku, ada yang memberitahu---“
Bergetar. Menara ini bergetar hebat.
“A-Ada apa ini---“
Kata-kata Raqia terhenti beberapa saat. Tiba-tiba saja dia memeluk tubuhku.
“Pegangan yang erat, Da’ath. Uri, keluarkan juga sayapmu.”
Kutanya, “Biblos menghubungimu?”
“Uh-huh, dia mendeteksi abnormalitas ruang waktu di sekitar menara. Kita harus keluar sekarang. Bagaimana? Sudah siap?”
Tanpa pikir panjang, aku mengangguk mantap. Raqiapun membawaku terbang mengekor Uriel menuju pintu keluar. Kedua sisi pintu keluar bergeser, dan…
“AAAAAAAAAAAAAGGGGHHHHHH!!!!”
Tenebria?!
*BLAAARRRRRRRRRRRRR*
Tubuhnya terhempas ke dinding luar menara, menyebabkan temboknya retak. Entah apa yang terjadi setelahnya, tetapi seketika Raqia melemparkan tubuhnya ke arahku, membuatku terlempar bersamanya sejauh beberapa langkah. Debupun menghalangi pandanganku.
“Cih, meleset.”
Suara… siapa itu?
Sedikit demi sedikit awan debu menghilang. Kutengok ke arah langit, ke arah sumber suara. Inferna ada di sana. Atra ada di sana ---masih dengan tatapan kosong---. Dan…
…seorang lelaki.
Enam sayap putih terkembang di belakangnya. Tubuhnya diselimuti long coat sepanjang lutut dan celana panjang, juga berwarna putih. Yang tidak berwarna putih dari apa yang dikenakannya hanya sarung tangan logam dan sepatu boot kulit berwarna hitam.
Dia perlahan turun ke permukaan tanah diikuti Inferna dan Atra, selagi angin memainkan rambutnya yang sedikit lebih panjang dari jari telunjuk. Senyum lebar tergambar di wajah orang itu.
Uriel berubah pucat pasi. “R-Raziel…?!”
“Yo, Uriel.”, sapanya ramah, mengangkat tangan kanan. “Oh, sepertinya aku salah nama. Maksudku, Uriah Melchizedek.”
Raziel, dan Uriah Melchizedek. Otakku berusaha keras agar deretan huruf-huruf itu mampu terhubung dengan sesuatu yang seharusnya pernah kuingat. Tapi sia-sia saja. Saat ini aku belum sanggup.
Tidak hanya itu, ada hal lain pada orang yang disebut dengan nama ‘Raziel’ itu yang membuatku terheran-heran. Bukan, bukan sorot matanya yang jauh dari kesan beringas. Tetapi karena warna rambut dan matanya sama persis dengan…
…Raqia.
============================
Spoiler untuk Trivia :
- Raziel (Hebrew) = secret/mystery of God
Diambil dari nama salah 1 archangel dalam Jewish mysticism, yang menurut cerita adalah malaikat yang memiliki segala rahasia pengetahuan dan Torah.- Nama aslinya Uriel, Uriah Melchizedek
---> Uriah (Hebrew) = YHWH is my light
---> Melchizedek (Hebrew) = king of righteousness
------> Di Alkitab (Genesis 14:18-24) Melchizedek adalah nama imam (priest of God the Most High) sekaligus raja Yerusalem yg menyambut Abraham.
Last edited by LunarCrusade; 10-10-13 at 01:11.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk Tehillim 43 :
======================================
Tehillim 43: Jeopardy from Chaos ~ The Divider
======================================
Raqia kembali gemetaran. Cengkramannya pada lenganku bukan sebuah gurauan.
Sejenak kuperhatikan wajah Raqia yang nampak tegang, kemudian beralih pada lelaki berambut perak yang sedang melangkah kemari. Seketika kusadari hal sederhana yang tidak begitu kuperhatikan selama ini.
Meski dapat memiliki warna rambut yang sama, namun para Archangel tidak punya warna mata yang sama. Ditambah lagi, aku belum pernah menemui Angel-class ataupun Eleutherian-class berambut perak atau emas. Kalaupun ada yang berambut keemasan, masih dapat dikatakan berbeda dengan warna rambut emas Deshiel, Kanaphiel, maupun Uriel. Jelas sudah jika orang yang disebut dengan Raziel itu bukan Angel-class yang sedang menyamar dengan menempelkan sayap tambahan palsu.
Lantas kenapa warna dua bagian tubuh itu, mata dan rambut, bisa sama persis dengan Raqia?
Makin dekat Raziel melangkah, makin erat pula genggaman Raqia.
“Tenanglah. Jika dia macam-macam, kita habisi bersama.” Kuucapkan itu sambil menggenggam lembut tangannya.
“Hei, wajah kalian kaku sekali…?”, tanya Raziel polos.
Nada suaranya memang terdengar kelewat ramah, tetapi di balik itu aku merasakan sesuatu yang tidak alamiah. Tapi apa…?
Tunggu. Sejak tadi Plasma juga tidak beranjak dari tempatnya. Tetap membantu Tenebria agar tetap berpijak pada tanah. Aku tahu dia adalah makhluk yang punya kewaspadaan tinggi karena kecerdasannya yang sesekali tidak manusiawi. Tetapi kali ini aku merasa ada yang lain darinya. Jangan-jangan dia…
…takut?
Tidak. Itu mustahil. Namun jika keberadaan Raziel menyebabkannya bersikap begitu…
Sepertinya aku harus 70 kali lebih hati-hati dibanding biasanya.
“Hahaha… mungkin kalian sedikit terkejut, eh? Maaf kalau tiba-tiba begini. Aku hanya ada urusan sedikit. Bukan begitu, Crusader--- hei, wajahmu terlihat lebih muda. Apa mungkin kamu rajin menggunakan perawatan kulit tertentu?”
Dia tahu tentang identitasku juga?
“Yah, baiklah jika diam saja. Lagipula itu tidak penting. Lebih baik kuakhiri basa-basinya. Aku punya tiga kepentingan.” Diacungkannya jari telunjuk. “Pertama, aku ingin menjemput Tenebria pulang. Oh ya, kalian sudah tahu kan kalau aku ini ayahnya?”
“Tentu saja aku tahu.”, jawabku dingin. “Seorang ayah yang tega melukai anaknya sendiri hingga parah.”
“Ckckck… itu berlebihan.” Dia menggeleng. “Aku hanya memukul sedikit saja.”
Dari nada bicaranya, jelas sekali dia berbohong.
Raziel menoleh ke arah Tenebria, yang dengan susah payah berdiri dibantu Plasma.
“Bagaimana, mau pulang?”, tanyanya santai.
Kukumpulkan keberanianku. Meski awalnya sedikit gemetaran, namun aku akhirnya berkata, “T-Tentu saja Tenebria tidak bisa menjawab, dasar bodoh! Yang kamu lakukan membuatnya sulit bicara!”
“Hahaha…! Begitu ya? Ya sudahlah, nanti juga bisa diobati. Setuju atau tidak, kamu harus pulang, Tenebria.”
Geram, kukepalkan tanganku. Gaya bicaranya benar-benar membuatku muak.
“Baiklah, urusan kedua.” Huruf V dibentuk telunjuk dan jari tengahnya. “Yang ada di dalam situ.” Kali ini telunjuknya mengarah ke menara.
Benar dugaanku. Dia ingin mengambil semua tahanan.
“Tentu saja tidak bisa, Raziel!”, seru Uriel. “Semua yang ada di dalam adalah tanggung jawabku.”
“Oh ayolah, sobat lama. Tidak bisakah kamu berbaik hati kali ini?”
“Sekali tidak, tetap tidak.”
“Huh, pelit sekali. Tapi tidak apa-apa. Toh aku bisa…”
Pria itu mengayunkan telunjuknya seakan ingin membelah menara---
“…mengambilnya sendiri.”
Dia benar-benar membelahnya??!!
Sedikit dari bagian puncak menara, termasuk antenanya, terjun bebas ke permukaan tanah. Otomatis yang lainnya menoleh ke arah awan debu pasir yang terbentuk. Untunglah cukup jauh, tidak mendarat di dekatku. Tapi… ini gila. Bekas potongannya sangat rapi dan mulus. Kemampuan apa yang dipunyai orang itu?!
“Aku bisa memotongnya seperti kue ulang tahun kalau kamu mau. Jadi, mau serahkan?”, tanya Raziel sambil tersenyum lebar tanpa dosa.
Nampak marah, Uriel berteriak, “Kamu… kamu tidak akan kuijinkan mengacau di daerahku!!!! Penjaga!---“
“Sudah mati.”, sahut Raziel. “Hanya butuh waktu sebentar untuk melenyapkan enam puluh tujuh orang kesayanganmu itu, Uriah.”
Secepat itu?! Padahal hanya ada jarak kurang dari 1 menit dari transmisi Biblos hingga aku sampai di luar menara!
“Tapi berterimakasihlah juga pada putriku yang satu ini.”, tambahnya selagi mendekati Atra. “Tanpa bantuannya, mungkin akan berlangsung lebih lama satu atau dua detik.”
Raziel menyentuh dagu Atra dengan lembut.
“Thank you so much. I love you.”
Dan… dia melakukan sesuatu yang benar-benar membuatku ingin muntah saat ini juga.
…dia mencium bibir anaknya sendiri dengan penuh gairah.
Seutas benang yang bening berkilau terbentuk setelahnya.
Ini… ini memuakkan! Maksudku, bukankah Atra adalah anaknya?! Argh, lebih baik kupanggil mode Heavenly Saint sekarang---
“Battle armor, materialize…”
Miasma hitam tersibak kuat. Asalnya dari sekeliling tubuh Tenebria. Sesuatu menyertai gas kehitaman itu, sesuatu yang menyala-nyala. Bukan api, bukan cahaya, tetapi…
…kemarahan. Kemarahan seorang ibu yang melihat anaknya diperlakukan tidak pantas.
“Nona Tenebria!---“
“JANGAN SENTUH ATRAAAAAAAAA…!!!!”
Sial, dia terburu-buru menyerang! Bahkan Plasma tidak sempat menunjukkan reaksi yang berarti.
“Plasma! Heavenly Saint!!”
Hanya sesaat setelah Sacred Armor menutup sempurna, kedua Ereshkigal Blade Inferna berbenturan dengan Charles. Deburan angin yang terbentuk mengalihkan konsentrasiku sesaat. Dan hanya butuh satu kedipan mata bagiku untuk mendapati Uriel terhempas karena ditarik lilitan rantai Choshech Arcblade, menumbuk dan menciptakan retakan di tembok menara.
“Huh… Tenebria, Tenebria. Aku belum selesai bicara. Anak baik tidak boleh menyelak kata-kata orang tua.”
Sekali lagi, wajah sok polos Raziel seakan merengek untuk segera dihajar Hypermassive Defenser.
Mungkin karena kondisinya yang masih lemah, Tenebria takluk dengan mudah. Tubuhnya sudah tergeletak, lengkap dengan kaki Inferna yang menginjak bagian dada-perutnya.
“Berhenti berbuat bodoh, Tenebria.”, ujar Inferna dingin.
“K-Kamu… bagaimana b-bisa terus tunduk tanpa menggunakan akal sehat---“
Suara Tenebria lenyap. Kaki Inferna telah berpindah ke lehernya.
“Da’ath, jangan gegabah kali ini. Inferna dan Atra mungkin bisa kita hadapi sekaligus, tetapi tidak dengan orang yang di hadapan kita.”
“Aku mengerti, Plasma. Kekuatannya juga terlalu berbahaya.”
“Well, the ultimate weapon has not been released yet. Jadi, tenang saja."
Senjata… utama? Plasma masih menyimpan sesuatu?
“Bah, kamu malah asyik sendiri. Baiklah, cepat saja. Tiga, aku ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku.” Tiga jari tangan Raziel ditegakkan.
Jangan-jangan…
“Sepertinya sudah bisa menebak, Crusader-Saint?”
“Akan kulempar dirimu ke neraka jika berani.”
“Hei, hei, tenang dulu. Sudah kukatakan, seharusnya itu adalah milikku.”
Dia menunjuk Raqia.
“Maksudku, apa yang ada dalam dirinya.”
Archangel Core?!
“Kamu terlihat tidak percaya. Apa perlu kubuktikan kalau sebenarnya Archangel Core nomor dua adalah milikku? Huh, merepotkan saja… padahal sebelumnya sudah dibuktikan waktu itu oleh Tenebria…”
Jelas saja aku tidak langsung percaya dengan kata-katanya yang bisa jadi bualan belaka. Tapi… melihat warna rambut dan matanya yang sama dengan Raqia…
Plasma berkomentar pelan di telingaku, “Apa mungkin… sewaktu kita di Pardes…”
Pardes…
…!!!!
Raziel menjentikkan jarinya. Sekejap muncul makhluk-makhluk hitam dalam berbagai bentuk menyerupai hewan, entah serigala, katak, ular, burung, dan banyak lagi. Ya, Akatharton.
Gawat. Kelemahan Raqia dimanfaatkan dengan baik olehnya.
Beberapa ekor menerjang ke arahku dan Raqia. Aku tidak begitu kesulitan, beberapa dapat kujatuhkan dengan mudah. Namun berbeda total dengan Archangel kecil di dekatku. Belum sampai 5 menit, kekuatannya berangsur-angsur melemah. Setiap ayunan pedangnya tak lagi mantap, setiap tebasannya tak lagi mematikan. Peluh mulai mengucur di pelipisnya.
Garis-garis cahaya menembaki Akatharton yang berada di dekat Raqia. Asalnya dari Uriel. Meski sibuk dengan Atra, dia masih mampu mengaktifkan kemampuannya untuk membantu kemari.
“Raqia!!!! Ada apa dengan dirimu---“
*BLAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRR*
Kata-kata Uriel terputus karena Atra meledakkan beberapa bola hitam di sekitarnya.
Aku tak punya pilihan. Keselamatan Raqia adalah prioritas saat.ini. Segera kuhabisi Akatharton yang menghalangi diriku dengannya, lalu kuhampiri dia.
“Raqia, kamu tidak apa-apa?”
“A-Aku… tidak mengerti, Da’ath. Bagaimana b-bisa tubuhku terlalu cepat lemas---“
Keseimbangannya goyah. Pedang besar yang biasanya dapat diangkat dengan mudah, kali ini tak mampu lagi digenggamnya. Senjata itu rebah di atas pasir. Sebelum Raqia ikut jatuh bersama pedangnya, kutahan tubuh kecilnya itu.
“Apa kamu lihat, Crusader-Saint?! Pemegang Archangel Core yang asli tidak akan melemah hanya karena didekati Akatharton! Bahkan sobat lamaku tidak terpengaruh sama sekali!!”
Aku tidak mau melontarkan pengakuan, tetapi… Raziel benar. Seakan ada yang menarik kekuatan Raqia. Uriel sendiri tidak terpengaruh oleh Akatharton. Buktinya, dia masih sanggup melancarkan serangan seperti biasa. Jika Atra tidak menghentikannya, pasti seluruh makhluk jelek ini sudah lenyap.
“Plasma, sebenarnya ada apa ini?!”
Dia hanya diam.
“Hei, Plasma!!!!”
Sebuah jawaban yang meruntuhkan mentalku seketika.
“Aku… tidak tahu. Tidak ada data. Selama ini juga tidak pernah kudeteksi keanehan pada Archangel Core Raqia.”
Suaranya lemah, berbeda dengan Plasma yang selama ini kukenal. Dia benar-benar tidak tahu, bahkan tidak mampu menyampaikan asumsi apapun.
“Aku butuh… data lagi.”
“Kalau begitu cepat lakukan!!!!”
Biblos muncul di sisi kananku. Mungkin Plasma memanggilnya.
“Kamu juga, dari mana saja dirimu?!”
“Maaf, tadi aku bersembunyi. Ehehehe~”
Terdengar serius, Plasma berkata, “Biblos, tidak ada waktu untuk bercanda saat ini. Bisa… kita hubungi mereka sekarang? Kita benar-benar butuh bantuan.”
“Hmm, seharusnya sih bisa. Jumlah data sudah mencukupi untuk membuka jalur komunikasi.”
“Lakukan.”
“Okeeee~”
Suara riangnya menghilang seketika.
“…t-tidak bisa.”
Dan ini pertama kalinya Plasma terdengar panik.
“A-Apa maksudmu?! Bukankah datanya sudah mencukupi?!”
“Aku tidak bisa, Plasma!! Jaringannya terputus---“
Tiba-tiba saja Raziel tertawa. Terbahak-bahak, seperti sedang melihat pertunjukan komedi. “Mwahahaha…!!!! Duh, kalian ini lucu sekali.”
“Biblos, coba lagi!!”
“Tidak bisa!! Tidak ada saluran sama sekali!!!!”
“Akses terputus total?! Bagaimana bisa---“
“Tentu saja bisa, dasar bodoh.”, sahut Raziel. “Bagaimana mungkin sebuah komputer dapat tersambung ke jaringan internet jika perangkat modemnya kupatahkan? Oh, mungkin itu masih terlalu modern untuk jaman ini. Hmm… analogi yang lebih sederhana… seperti memotong pipa, sehingga tidak ada aliran air yang sampai ke rumah.”
“Dia memutus saluran komunikasinya…? Ini mustahil…” Plasma terdengar tak bernyawa.
Sebenarnya ingin kuserang Raziel sekarang juga, tetapi situasi tidak memungkinkan. Raqia masih bergantung penuh padaku untuk dapat sekedar berdiri. Kutinggalkan, maka Akatharton di sekelilingku akan menghabisinya dengan mudah. Tidak mungkin juga kubawa dia selagi menyerang karena kondisinya yang lemah.
Tapi aku harus bergerak atau takkan ada yang berubah. Sebelum…
“Ah, kalau begini terus lama-lama bosan juga. Padahal aku ingin cepat-cepat. Hmm… ya sudahlah, sepertinya aku harus pulang. Inferna, tolong urus Tenebria.”
Argh, tangannya sudah bersiap!!
Beberapa kali Raziel mengayunkan tangannya, melakukan gerakan seperti mencincang menara. Bangunan besar itu runtuh seketika. Refleks, kugendong Raqia yang masih lemas, kemudian menjauh dari lokasi dengan Warp Drive.
“Eits, mau ke mana kalian?”
Hanya butuh waktu kurang dari 3 detik sebelum…
“Force deactivation. Boundary Slasher.” Tangan kanannya menyapu dari sisi kiri ke kanan.
…Sacred Armor, Energy Blade, dan Hypermassive Defenser berubah menjadi serpihan-serpihan. Aku kembali ke pakaianku sebelum mengenakan armor.
……
“PLASMAAAAAAAAAAAAAAAAA…!!!!!!”
Itu bukan suaraku, aku masih tertegun kaku. Bukan pula Raqia, dirinya masih lemah.
Biblos.
Sosok periang itu kini meraung-raung pilu. Merebahkan diri di atas puing-puing Plasma, dia terus menangis. Memang mustahil ada air mata yang keluar darinya, tetapi kesedihannya begitu menusuk. Bahkan Raqia ikut meneteskan air mata.
Seperti saat di benteng Valhalla, tak lama kemudian Biblos kehilangan kesadaran.
Aku?
Aku terduduk lemas di pasir. Karena itu berarti… saat ini aku hanyalah manusia biasa yang rapuh. Jiwaku dirundung ketakutan yang luar biasa.
Di kejauhan kulihat portal hitam. Seluruh tahanan di menara sepertinya masuk melaluinya. Ah, tapi aku tak bisa berbuat apapun untuk menghentikannya.
***
“Well, I think it’s okay… for now. Tapi ingat, jangan bergantung seratus persen padaku. Siapa tahu nanti ada saatnya kita harus berjalan sendiri-sendiri meski hanya sebentar.”
***
Kata-kata Plasma terbersit di pikiranku. Aku tidak menyangka kalau hal itu terjadi lebih cepat dari perkiraan…
“Ah! Sepertinya aku lupa sesuatu. Sebenarnya aku ada urusan keempat. Ini sepertinya akan lebih mudah dibanding urusan ketiga.”, ujar Raziel.
Konsentrasiku perlahan-lahan buyar. Entah apa yang dikatakan Raziel selanjutnya, yang dapat kudengar hanya “balas dendam” dan “dua ribu tahun”. Tangan kiriku juga seperti ditarik…
Raqia…?
‘Dia ingin membunuhku’, katanya? Raziel ingin melenyapkan nyawaku? Apakah sudah waktunya…
…tidak mungkin, kan?
Sepertinya… Raziel siap melakukan gerakan menebas.
Raqia, aku masih ingin bersamamu…
…Tuhan, kumohon…
………
………
“Arriiiiiiibaaaaaa!!!~ Geronimoooooooooooooooooo…!!”
Eh…? Siapa…?
“Papa, awas!!!!”
Kombinasi cahaya terang dan hembusan udara kuat mengembalikan kesadaranku yang nyaris menguap. Yang sebelah kanan… sepertinya Inferna. Aura hitam menyelimutinya, sehingga sosoknya masih bisa terlihat meski ada hantaman cahaya terang dari sebelah kiri. Uriel? Bukan, bukan. Benda itu berbeda total dengan tembakan cahayanya.
Tunggu. Kalau kuperhatikan, yang di sebelah kiri itu tidak memancarkan cahaya. Sinar terangnya berasal dari ujung tombak yang berbenturan dengan Ereshkigal Blade.
…tombak?
Tapi kenapa ukurannya besar sekali?! Kurasa benda itu seukuran Chereb HaMemad!!
“HEAAAAAAAAAAAAAHHH…!!!!”
Sekuat tenaga, Inferna berusaha mengubah arah laju tombak itu. Dan berhasil. Senjata itu terhempas beberapa puluh meter, tertancap di pasir.
“Olala~ Badak sekali nona itu.”, komentar tombak itu.
“A-A-Aaaa… tidak kena ya?”
Tiba-tiba saja ada suara tepat di atasku dan Raqia. Suara perempuan.
“Oi Nuachiel, teganya kamu meninggalkanku di pasir begini…”, sahut tombak itu.
Nuachiel?!
“Eh?! Maaf, Longinus. Maaf. Baiklah, Material Changeability.”
Longinus?!
Tombak putih bersih itu berubah ke ukuran yang lebih wajar, sekitar sejengkal lebih tinggi dari tubuhku. Bentuknya lagi-lagi ‘tidak sesuai jaman’. Mata tombaknya menyusun sepertiga bagian, berbentuk huruf V besar. Ada batu berwarna ungu tua di tengah-tengahnya.
“Dan… halo, Paman Raziel.”
“Cih, kamu rupanya.”
Paman…? Dia kenal orang itu?!
Ada yang berubah dari ekspresi Raziel. Dia nampak sedikit gusar, juga tidak lagi melakukan gerakan agresif. Aku sempat khawatir dia akan menyerang Nuachiel, namun aku salah. Dia memilih diam.
Gadis bersayap enam itupun mendarat di dekatku dan Raqia. Ketika mendekat, aku bisa tahu kalau tubuhnya beberapa sentimeter lebih tinggi dibanding Raqia. Mungkin tidak sampai 10 sentimeter lebih tinggi.
Kemilau rambut perak sebahunya terlihat begitu indah, melambai pelan karena angin gurun. Tambahan pita besar ungu tua yang berada di belakang kepala membuat penampilannya tidaklah agung seperti Raqia, tetapi lebih menggemaskan. Apalagi mata ungu bulatnya yang terlihat cerah plus senyumannya yang lucu… tidak ada aura seorang pemimpin yang berwibawa terpancar dari situ.
Yang dikenakannya bukanlah plate armor seperti Raqia, tepatnya tidak ada satupun bagian yang terbuat dari logam. Terdiri dari kemeja dan rok pendek, keduanya putih bersih dengan sedikit sapuan garis ungu di beberapa sisi. Selain itu hanya ada sarung tangan putih dan sepatu kulit yang menemani, dipadukan bersama kaus kaki putih yang memanjang hingga sedikit lebih tinggi dari lutut. Dapat kukatakan pakaiannya cocok untuk seragam perempuan di akademi militer.
“Nuachiel Yevarech, Blessed Exorcist, melapor untuk bertugas!~”, ujarnya riang sambil mengambil sikap hormat.
Meski wajahnya terlalu menggemaskan, tapi anehnya aku sama sekali tidak terjerat dalam pesonanya. Apa mungkin aku menganggapnya hanya seorang anak kecil karena kata-kata Uriel tadi?
“Tepat waktu.”, kata Raqia.
“Kamu nampak berantakan… ada apa?” Nuachiel mengulurkan tangan, membantuku dan Raqia berdiri.
“Hanya sedikit masalah.”
“Hee… begitu ya? Hei, paman Raziel!! Apa yang sudah paman lakukan?! Sampai kacau begini… Waaa! Ada paman Uriel juga!! Tapi kenapa lemas begitu? Dirantai pula… uh? Anak siapa yang ada di dekatnya?”
“Sudah cukup main-mainnya!!!!”
Tiba-tiba saja Inferna menembakkan Phlegethon Bombard, mode gatling. Serangan itu memaksa Raqia mengaktifkan Magen untuk melindungiku.
“Aku ke paman Uriel dulu!”
Raqia mengangguk setuju. Nuachielpun terbang ke arah Uriel yang dengan susah payah menghadapi Atra serta beberapa Akatharton.
“Atra, awas!!”
Hanya sedetik setelah seruan Inferna, Longinus dan Choshech Arcblade beradu. Rantai itu masuk kembali ke tempatnya, melepaskan Uriel yang nampak lelah. Atra mundur dekat Raziel dan Inferna karenanya. Memanfaatkan kondisi itu, Raqia segera melancarkan Spatial Breaker jarak jauhnya untuk menghajar Inferna, tetapi dapat dihindari.
Sebentar… kenapa aku merasa ada yang aneh dari situasi ini?
Pertama, Raziel sama sekali tidak menyerang. Padahal dalam kondisi seperti ini dia dapat membunuhku dengan mudah, mengingat kemampuannya yang mengerikan. Kedua, Inferna menunggu beberapa saat sebelum menembaki Raqia. Mungkinkah dia memikirkan suatu strategi?
Tidak, tidak. Pasti ada hal lain. Jika kuperhatikan baik-baik, ekspresi Inferna tidak menunjukkan rasa percaya diri, lain dengan Inferna di waktu-waktu yang lalu. Apa mungkin… Nuachiel punya kekuatan tertentu yang membuat mereka tidak berkutik? Longinus yang membesar tadi sepertinya sudah dapat dijadikan bukti.
Tapi bagaimana jika Inferna atau Raziel tidak tahu? Aku tidak yakin kalau kemampuan Nuachiel hanya sebatas dapat memperbesar tombak. Ditambah lagi dia terlihat cukup ramah dalam menyapa musuh---
…ataukah mereka bertiga dulu punya hubungan yang cukup erat…?
Argh, di saat begini kenapa ingatan masa laluku malah tidak muncul?! Padahal akan lebih mudah jika ada sesuatu muncul di pikiranku...
Tak lama, Uriel sudah ada di sebelahku setelah dibantu terbang oleh Nuachiel. Menjauhi Akatharton pastinya. Nampak pula sebuah Recovery Orbiter mengitari si Archangel pertama.
Hei, mungkin Photonica bisa…
“Photonica, apa kamu bisa melakukan sesuatu untuk Plasma?”
“Maaf, tuan Da’ath. Itu di luar kemampuan saya.”
“Belum menyerah juga, Crusader-Saint?” Akhirnya Raziel membuka mulut setelah diam beberapa lama.
Satu hal lagi, Nuachiel tidak terkejut melihat wajahku.
“Mmm… paman Raziel, apa tidak bisa kita bicarakan baik-baik?”
“Tentu saja…”
Raziel mulai mengayunkan tangannya.
“…TIDAK!!!!”
Entah apa yang dia lakukan, tiba-tiba saja pasir di sekeliling kami berempat terhempas kuat seperti ada yang meledakkan. Jika bukan karena Magen, mungkin aku sudah cedera.
“CUKUP SUDAH, RAZIEL!!!! Multibeam Lightdrone!!”
Tanpa ampun, Uriel menembakkan badai cahaya ke arah Raziel serta kedua putrinya. Aku sendiri tidak tahu apakah kena atau tidak karena kelewat menyilaukan.
“Raqia! Sekarang!!”
“Aku tidak bisa, Uriel! Da’ath tidak mungkin kutinggalkan!”
“It’s showtime, my cute lady.”, sahut Longinus.
“Okeee~ Paman Uriel, serahkan saja padaku! Longinus, Brainwave Stabilization!!”
Wow. Suatu emblem besar bercahaya ungu berbentuk seperti deretan angka-angka pada jam muncul di sekitar kaki Nuachiel. Kumpulan butir-butir cahaya keunguan yang dihasilkan dari situ terbang mengitari tubuhnya layaknya kunang-kunang. Perhatianku teralih karena keindahannya.
“Mind Blessing: Neural Overclock!!”
Nuachiel melesat ke arah ketiga anggota keluarga Nephilim itu.
Aku sempat khawatir dengannya, namun tidak lagi setelah melihatnya mampu menghindari ---sesekali menangkis--- SEMUA serangan dari Raziel, Inferna, maupun Atra. Bahkan Raziel menajdi nampak mirip orang gila yang mengayunkan tangannya tanpa arti. Dan sesuai tebakanku, Inferna dan Raziel nampak terkejut setelah beberapa serangan gagal. Pastilah mereka tidak tahu kemampuan itu.
Entah bagaimana tepatnya harus kujelaskan. Tetapi Nuachiel seperti… dapat menebak semua gerakan yang akan dilakukan oleh musuh. Segala perpindahan dan pergerakannya begitu akurat dan cermat.
Neural Overclock. Kemampuan macam apa lagi itu? Jika Plasma ada, mungkin dia dapat menjelaskannya…
“Yang di sini sepertinya juga belum menyerah…”, komentar Uriel ketika melihat para Akatharton yang sekarang mendekat ke sini.
“Raqia, Magen-mu masih aktif?”
“Masih, Da’ath. Tapi dengan begini… kita tidak bisa bergerak dari sini.”
“Bawa dia pergi!”, sahut Uriel. “Biar aku dan Nuachiel yang menahan mereka!”
Ingin kukatakan sesuatu, tapi belum sempat kukeluarkan suara….
“Pergilah ke Ohr-Nisgav dan beritahu para pasukan. Tenang saja, Nuachiel dapat menangani ketiganya sekaligus.”, tambahnya.
Raqia berubah gusar. Tetapi akhirnya dia berkata, “Baiklah. Da’ath, bawa Biblos juga. Dalam hitungan ketiga, akan kumatikan Magen. Segera ambil Biblos dan akan kubawa kamu pergi dari sini.”
Posisi Biblos tidak jauh, hanya beberapa langkah.
Satu. Dua. Tiga.
Tanganku hampir meraihnya---
*BHUUUUUUUUMMMMMMM!!!*
Sial, Phlegethon Bombard! Agh, lengan kiriku terluka…
Oh tidak. Inferna akan menembak sekali lagi!!!!
Dia menyeringai…
……
……
“AAAAAAAAAAAAAAGGGGHHHHHHHHH!!!!”
Tangan kirinya… berasap? Serangan apa yang---
*ZZZZZZZZZTTTTTTTT!!!!*
Loncatan petir…?
Tunggu.
Kutengok ke arah kanan belakang. Seorang wanita berdiri tegap di udara, lengkap dengan sepasang sayap putih yang terkembang. Tingginya mungkin sekitar 170 sentimeter. Rambutnya terurai melebihi pinggang, berwarna biru pucat layaknya petir di tengah badai.
“Erato!!”, seru Raqia riang.
“Yahoo, Yang Mulia Raqia~”, jawabnya riang sambil mengedipkan sebelah mata, berwarna jingga kecoklatan mirip batu amber.
Eleutherian-class berpakaian jubah pendeta bewarna putih dengan salib merah besar tergambar pada bagian dada-perutnya itu sudah pasti dirinya, Erato, Bishop of Pure Love. Apalagi topi bulat putihnya yang nampak seperti topi pelaut itu, makin meyakinkan diriku. Tak lupa juga menyebutkan sebuah palu perak besar ---mata palunya mungkin berdiameter 50 sentimeter--- dengan ornamen-ornamen emas, bersandar di bahunya.
“KURANG AJAAAAAAAAARRR…!!!!”
Inferna masih dapat menyerang. Kali ini tangan kanannya yang berubah menjadi Phlegethon Bombard mode blaster.
Raqia memperingatkan, “Erato, awas!!!!”
Tembakan Inferna tak ada artinya karena tiba-tiba terbentuk sebuah tembok pasir di depan Erato.
“Fiuh, untung saja.”, ujar Erato lega.
“Jangan pernah kehilangan perhatian dalam pertarungan, Erato.”
Suara yang dalam dan datar itu berasal dari satu sosok wanita yang entah bagaimana caranya ---atau mungkin tidak kuperhatikan karena suasana kacau ini--- sudah muncul di dekat Uriel. Seorang wanita bersayap putih, mengenakan armor keperakan yang membuatnya nampak kuat. Mata heterochromia biru-kuningnya ---kanan biru, kiri kuning--- terlihat percaya diri.
Perempuan bertubuh tinggi dan nampak gagah itu adalah Duke of Warrior, Euterpe. Menurut cerita-cerita yang pernah kudengar, dia disebut dengan gelar itu karena sebelumnya merupakan kepala dari seperlima Angel-class yang ada di Avodah. Kabarnya dia juga memiliki sebidang tanah lengkap dengan kastilnya yang berada di luar batas barat Avodah.
Sepertinya Euterpe siap menyerang.
“Earthwave Repulsor!!”
Diangkatnya kapak besar bermata dua berwarna biru tua yang dibawanya ---mata kapaknya mungkin sebesar setengah badanku---, kemudian dihentakkan sekuat tenaga ke permukaan pasir. Ombak pasir terbentuk, tepat menuju Inferna. Rambut pendeknya yang menyerupai benang-benang tembaga halus itupun tersibak oleh kuatnya udara
Namun sesaat sebelum ombak pasir itu sukses menghantam Inferna, Raziel sudah mengayunkan tangannya. Pasir itupun lenyap.
Aku masih heran, sebenarnya kemampuan macam apa yang dimiliki Raziel? Dia tidak membawa senjata apapun. Hanya perlu mengayunkan tangan, semuanya nampak terbelah---
Hei…
Apa mungkin kemampuannya adalah… mampu membelah segala sesuatu?
Hmm… sepertinya memang tidak salah lagi. Bukti sudah terlalu banyak. Karena Plasma tidak ada, aku harus memikirkan sendiri apa kelemahan dari jurus overpowered yang dimilikinya. Dia bukan Tuhan, malaikat surgawipun tidak. Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk mengalahkannya.
“Kemampuanmu tidak cukup bagus, nona---“
“Paman Raziel, tolong konsentrasi!!”
Sekali lagi Nuachiel berhasil membuat Raziel kerepotan. Kali ini Inferna nampak sudah tidak sanggup menyerang, terbangpun tidak.
“Kalian cepatlah pergi!! Ini kesempatan!!”, seru Uriel padaku dan Raqia.
Tak boleh gagal lagi. Akupun berlari ke arah Biblos yang terpental beberapa meter jauhnya. Bagus, kali ini berhasil kuraih.
Sebelum Raqia mengangkat tubuhku untuk pergi, kulihat sesuatu yang berkilau di sisi kanan, sesaat memantulkan cahaya matahari. Mungkinkah itu…
“Raqia, bawa aku ke sebelah sana!”
“Eh?”
“Sudah, cepatlah!!!!”
Tanpa banyak tanya lagi, Raqia membawaku terbang ke arah yang kutunjuk. Kuulurkan tanganku ke permukaan pasir untuk mengambilnya…
“ATRAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”
Inferna berteriak memanggil--- Gawat!!
Atra menarikku dan Raqia dengan rantai dari sabitnya hingga aku terhempas. Argh, kenapa Nuachiel tidak memperhatikan yang satu ini?!
Tiba-tiba muncul bola-bola hitam di sekitarku…
Game over? Sepertinya…
………
…tidak.
“HEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!!!”
Dari arah langit, kulihat suatu bentuk cahaya menyerupai bintang jatuh berukuran besar. Gemuruh yang dihasilkannya sudah seperti angin ribut. Dan…
Sebilah pedang berbenturan dengan Choshech Arcblade. Bentuk dan desainnya nampak normal, namun ukurannya masih tergolong jauh lebih besar dari pedang kebanyakan. Seorang ---lagi-lagi--- wanita bersayap putih yang memegang senjata itu.
Refleks, Atra melesat mudur memanfaatkan titik temu senjata keduanya.
“Jangan bermain hal berbahaya, anak kecil!”, seru Erato.
Tujuh sambaran petir menyerang Atra sekaligus, dihasilkan dari pukulan palu Erato pada suatu emblem cahaya yang terbentuk di depannya. Tidak ada yang kena, namun berhasil memaksa Atra untuk mundur lebih jauh
Wanita berpedang itu turun dari udara. Kakinya yang berselimutkan boot logam keperakan menapak anggun di hadapanku. Rambut hitam panjangnya yang dikuncir ala ponytail melambai sejenak, seakan langit malam sedang menyapaku. Dan lain dengan Euterpe yang terlihat perkasa, armor perak wanita itu membuat dirinya masih nampak feminim karena lekukan-lekukan yang pas di beberapa sudut tubuhnya.
Dia mengulurkan tangan kanannya yang dibalut sarung tangan logam, juga keperakan.
“Yang Mulia Raqia, anda tidak apa-apa?” Suaranya terdengar tegas namun lembut.
“Aku ini tahan banting.”, jawab Raqia sambil berdiri dibantu wanita itu, yang tubuhnya mungkin sekitar 20 sentimeter lebih tinggi dibanding Raqia..
“Ahaha… benar juga ya.”
Sekarang tangannya menghampiri penglihatanku.
“Bagaimana denganmu--- Hei, sepertinya tangan kirimu terluka.”
“Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil.”
Diapun tersenyum.
Lekuk bibirnya memancarkan kesejukan bagi pikiranku yang terbeban karena pertarungan ini. Kedua mata birunya yang seperti batu safir itu menatapku lembut. Diriku benar-benar tenggelam ke dalam pesonanya.
Kuraih tangannya. Tangan seorang Eleutherian-class yang mampu menghilangkan ketakutan dan traumaku 13 tahun yang lalu.
…Clio, Skylight Commander.
=================================
Spoiler untuk Trivia :
N/A
Last edited by LunarCrusade; 19-11-13 at 01:52.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Identitas asli Plasma sama Biblos ketauan
Spoiler untuk Tehillim 44 :
==================================================
Tehillim 44: Archangel(s) of Heaven ~ Transcendence, Presence
==================================================
“Begitu ya. Syukurlah.”, jawabnya.
Genggamannya kuat, namun serasa ada kehangatan yang keluar darinya. Masih sama seperti dulu…
Sayangnya tak bisa kunikmati terlalu lama.
Hanya sesaat ketika kakiku sudah tegak, Nuachiel mendarat--- tidak. Lebih tepatnya terseret mundur di permukaan pasir, dengan pose seperti sedang menangkis sesuatu. Berhenti tepat saat menyentuh tanganku.
“Sepertinya Nuachiel sudah mencapai batasnya…”, gumam Raqia. “Clio, masih ingat combo kita dulu?”
“Tentu saja masih, Yang Mulia.”
“Hitungan ketiga.”
Entah apa yang dimaksud, keduanya bersiap ingin melesat.
“Hei!! Bagaimana dengan Nuachiel---“
*WHOOOOOOOOOZZZZZ*
Refleks kutaruh tangan di depan mataku agar tidak kemasukan pasir. Sesaat kemudian, kulihat ke arah udara hanya untuk mendapati keduanya memaksa Raziel mundur lebih jauh. Kuharap tidak terjadi apapun pada mereka berdua…
Sekarang ada yang lebih penting di hadapanku.
“Hei, ada apa denganmu?”, tanyaku pada Archangel ketujuh. Kutahan tubuhnya karena jelas sekali dirinya sudah mau pingsan. Longinuspun jatuh dengan indahnya di sisi kananku. Kuambilkan tombak itu agar dirinya dapat bertumpu pada sesuatu.
“A-Aku hanya… sedikit ngantuk. Masih bisa bertarung kok, tenang saja.”, jawabnya pelan.
Longinus menimpali, “Dia cuma butuh istirahat. Kemampuan tadi hanya bisa ‘diisi ulang’ dengan tidur--- Hei, kenapa kantung celanamu bercahaya begitu?”
Huh? Kantung…?
Kutengok ke kantung celana sebelah kanan. “Tadi kumasukkan core milik Plasma ke sini…”
“Uwowowowowo!!!! Ada yang geli-geli di tubuhku!!!! Ahihihihi~”, ujar Longinus, terdengar… menikmati
Tunggu. Longinus bereaksi terhadap core Plasma?
Tanpa basa-basi kuambil benda bulat bercahaya dari kantung celanaku. Makin dekat posisinya dengan Longinus, cahayanya makin kuat.
“Coba kemarikan! Coba kemarikaaannn!!” Longinus terdengar tidak sabar
Maka kusentuhkan ke mata tombaknya…
………
Sinarnya tak tertahankan lagi. Tak hanya itu, udara di sekitar core mengamuk luar biasa. Akupun terjatuh. Bahkan Nuachiel mundur beberapa langkah karena tidak tahan juga.
“He’s back!! He’s back, everyoneeeee!!!!”, seru Longinus riang.
Tanganku terus berusaha melindungi mata. Kucoba mengintip melalui sela-sela jari. Hei, core-nya mengambang di udara…!
Seketika garis cahaya keemasan jatuh dari langit. Formasi awan pada titik asal cahaya berubah, mengitari garis cahaya itu.
“Initializing. Transferring backup data.”
Itu suara Plasma!! Mungkinkah… mungkinkah dia…
“Uhuhuhu!!! Ahihihihi!!! Uwehehehe!! Geliii~”
Meski tak bisa kuamati seluruhnya --- terlalu menyilaukan---, tetapi aku melihat ada deretan huruf-angka-simbol mengalir dari Longinus kepada core Plasma. Kemudian muncul butir-butir cahaya keemasan di sekeliling core, mengorbit dengan liarnya.
“Booting main system: Divine Quantization.”
Setelahnya, riak-riak cahaya membesar dengan cepat dari core.
Kulihat sesaat ke arah Raqia dan Clio terbang tadi. Langit kosong, yang artinya semua menghentikan pertarungan karena cahaya yang luar biasa ini.
“Computing dimensional compatibility. Commencing materialization…”
Perlahan core itu dihampiri partikel-partikel dari segala arah. Ada yang kecil, ada pula yang besar. Itu… serpihan-serpihan Sacred Armor, Energy Blade, dan Hypermassive Defenser.
“Installing registry program: Holiness Digitalization.”
Butir-butir cahaya itu meledak ke segala arah. Untunglah sifatnya tidak berbahaya, bahkan tubuhku tidak terluka ataupun terbakar.
“Administrator username: Metatron, Heavenly Archangel of Divine Transcendence.”
Garis cahaya yang muncul dari langit itu membesar. Membesar… terus membesar… menelan tubuhku dan segala yang ada di sekitarnya.
“Preparing Warlord form…”
Perlahan, cahaya super menyilaukan itu reda.
“…finished.”
Beberapa saat mataku harus menyesuaikan perubahan intensitas cahaya yang mengerikan ini. Rasanya seperti baru bangun dari tidur berabad-abad.
Dan… aku nyaris tidak percaya yang ada di hadapanku.
“Yo, Da’ath. Maaf menunggu lama.” Persegi panjang hitam di bagian mata yang terbuat dari bahan mengkilap itu mengarah padaku.
Mataku tidak salah. Seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki tak ada bedanya dengan Sacred Armor!! Tubuh perak berkilau, tinggi besar, nampak amat gagah. Dua tonjolan berbentuk salib besar di bagian bahu, kristal yang berubah sesuai urutan 7 warna pelangi pada punggung tangan, dua plat berbentuk sayap kecil di bagian telinga… Dia nampak lebih luar biasa dibanding sebelumnya.
“P-P-Plas… ma…?”
“Hahaha… memangnya siapa lagi? Well, mungkin kurang tepat jika kamu panggil demikian. Oh, sepertinya harus kupanggil dia juga.”
Aliran darah bergelora dalam tubuhku. Tarikan nafasku terasa begitu lega, tak lagi membebani. Aku ingin tersenyum. Ingin tertawa lepas. Rasanya ingin kuproklamirkan pada seluruh alam materi dan alam roh, “Plasma kembali. Plasma telah kembali!!”
Belum sempat rasa terkesimaku hilang, sepasang sayap muncul di punggungnya. Tidak seperti sayap malaikat biasa, tetapi lebih mirip plat-plat perak yang mencuat menyerupai sayap.
Tunggu. Bentuk itu yang sempat kulihat di mimpiku ketika di Chalal! Apakah ini wujud Plasma di masa lalu?!
Mendadak Biblos muncul, mengambang di hadapan Plasma.
“Hei, bangunlah.”
“A-Ah…? Uh…?”
“Good morning.”
Bukannya menjawab sapaan Plasma, Biblos terdengar seperti menahan tangis.
“Oh Tuhan… t-terima kasih…”
“Simpan tangismu nanti, oke?”
Ada yang lain dari suara Plasma. Suaranya lebih… lembut.
Mendadak kudengar suara tawa.
“Ha… Haha… HAHAHAHAHA!!!!”
Raziel?! Tapi kenapa suaranya berbeda? Seperti ada banyak suara, tidak hanya satu. Bulu kudukku merinding dibuatnya.
“AKHIRNYA KAU BANGKIT JUGA!!!!”
Cara bicaranyapun lain, tidak lagi kelewat ramah seperti tadi. Tajam, menggetarkan udara di sekitar telinga. Apa mungkin hal ini yang kurasakan sebagai sesuatu yang ‘tidak alamiah’ tadi?
Raziel menebas udara dari atas ke bawah dengan Plasma sebagai target.
Tetap tenang, Plasma mengulurkan telapak tangan kanannya. Tiba-tiba muncul garis vertikal hitam pekat menabrak telapaknya. Hei, apa mungkin itu yang sejak tadi dilancarkan Raziel?
“Hanya itu kemampuanmu?”
Plasma terdengar tenang. Sambil membawa BIblos di tangan kiri, dia melesat ke arah Raziel.
“Kembalilah ke tempat asalmu!!”
Plasma melancarkan tinjunya. Raziel melakukan gerakan yang sama, sehingga kedua kepalanpun berbenturan. Seketika terjadi ledakan hebat.
Ajaib, Plasma tidak bergeming. Tetap di udara.
Sebentar.
Di mana Raziel?!
“Tidurlah dengan tenang, Crusader-Saint!!!”
Di belakangku?!
“Kamulah yang akan masuk liang kubur!!!!”
Raqia melesat dari arah kanan Raziel, mengalihkan konsentrasi pria ******* itu. Dilancarkannya Spatial Breaker.
“Limiter, release!!!!”
Gelombang udara berhembus kuat dari titik temu pedang Raqia dan tangan kanan Raziel.
“Clio, sekarang!!!!”
“Meteor Lightstrike!!! HEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!!!”
Tubuh Clio lagi-lagi nampak seperti bintang jatuh besar. Tangan kiri Razielpun disibukkan oleh sang Skylight Commander.
“Paman Raziel, sudah kubilang hentikaaaaaaaaaaaaaannnn!!!!”
Deru menggelegar berasal dari Nuachiel. Dari posisinya, dia melesat langsung ke arah Raziel. Tanpa ragu diayunkannya Longinus untuk menyerang. Sayangnya serangan itu dapat ditahan oleh semacam barrier hitam transparan yang menghalangi sisi depan Raziel.
Plasma berseru, “Da’ath, kombinasi biasa!!”
“Baiklaaaahhh…!!!!”
Apalagi kalau bukan…
“Plasma, Heavenly Saint!!!!”
Sacred Armor menyelimuti tubuhku dalam tempo sepersekian detik, namun tak ada sayap untukku. Energy Blade dan Hypermassive Defenser juga muncul di tempat yang seharusnya. Hanya saja… aku merasa ada yang berbeda. Ada kekuatan baru yang memeluk jiwa dan rohku, sebentuk energi yang tak pernah kurasakan.
“Dasar cecunguk-cecunguk kecil!!!!
Raziel mendorong Raqia dan Clio ke arah yang berlawanan. Tinju kanannya diselimuti aura hitam membara, kemudian dilancarkannya pada Nuachiel. Ketiganya berhasil dihempaskan. Lalu, dengan cepat dia mengayunkan tangannya di udara, seperti ingin membelahku.
“Force deactivation!! Boundary Slasher!!”
Otomatis kuayunkan perisai ke depan. Sebenarnya itu hanya refleks saja, padahal aku tahu sebelumnya kemampuan itu dapat menghancurkan tubuh Plasma dengan mudah. Tetapi...
…kali ini nihil. Hanya ada garis hitam menabrak perisai, seperti yang berhasil ditahan Plasma tadi.
“Dua kali menggunakan jurus yang sama padaku? Ke mena perginya kecerdasanmu, Mephistopheles?!”
“Hei hei, sebaiknya kita habisi dia dengan cepat~ Selagi banyak data sudah dapat diakses~”, sahut Biblos, tiba-tiba sudah berada di sebelah kananku.
“You’re right. Kalau begitu akitfkan F.A.I.T.H. System.”
“Roger roger!!”
Aku tak sempat bertanya karena tiba-tiba saja Biblos membuka dirinya.
“Starting program. Fortified Assaulter with Integrated Transcendental Hyperdrive System. F.A.I.T.H. System.”
Muncul layar holografik keemasan di atas halaman Biblos. Ada tulisan ‘Activate?' dan tombol Yes serta No di situ.
“Tekan Yes~”
“Tidak… berbahaya kan?”, tanyaku ragu.
“Tentu saja tidak---“
Pasir-pasir di sekelilingku terhempas. Ternyata Raziel melancarkan serangan.
“Ah, mengganggu saja. Shield of Immanence!!”
Entah apa yang Biblos lakukan, tetapi dia berhasil menahan serangan berikutnya dengan tubuh bukunya. Garis hitam yang sama juga terbentuk saat tumbukan.
“Da’ath, cepat sedikiiittt~”
“O-Oke.”
Kusentuh Yes. Dan…
Energy Blade menghilang, berubah menjadi deretan huruf-angka-simbol keemasan. Baris demi barisnya mengitari diriku, saling sejajar.
“Loading complete. Materializing armaments.”
Barisan huruf-angka-simbol itu bergerak menuju tangan kananku. Tergambar garis-garis cahaya, sepertinya rangka dari senjata yang akan dibentuk. Tak lama kemudian terbentuklah suatu senjata dengan bentuk dasar mirip Plasma Rifle, tetapi bagian larasnya mirip seperti pedang besar bermata dua yang terbelah di bagian vertikalnya. Warnanya putih bersih dengan beberapa bagian berwarna emas.
Belum selesai. Kali ini Hypermassive Defenser menggandakan diri ---entah menjadi berapa banyak---, namun ada empat silinder kecil berwarna perak di bagian atas, kiri, kanan, dan bawah di tiap duplikatnya. Semua itu bergerak terbang ke sekitarku.
Terasa mekanik sekali, eh?
“Saatnya kita jatuhkan dia, Da’ath.”, ujar Plasma.
Biblos menambahkan, “Aku akan mengontrol Hypermassive Defenser. Kamu konsentrasi saja dengan senjatamu.”
“Bereeesss!!!!”
Segera kumelesat ke arah Raziel. Biblos mengikuti di sebelah kiri.
Kuayunkan senjata di tangan kananku. Rasanya ringan, nyaris tanpa beban. Sayang masih dapat ditahan Raziel dengan satu tangan.
Tapi ada yang berbeda dari ekspresinya. Jika saat menahan triple combo Raqia, Clio, dan Nuachiel wajahnya tak berwarna, kali ini jelas sekali dia mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya.
Benar saja. Tangan satunya segera ikut menahan senjataku.
“Tidak seharusnya kamu berada di sini, iblis terkutuk!!!!”, seru Plasma.
“Tidak sebelum kontrak berakhir, Metatron!!”
Kontrak…?
“Taktik busuk itu lagi… Infinite Light burst, increase output to two hundred percent!!”
Bilah senjataku segera diselimuti aura keperakan. Aku merasa makin mudah untuk mendorongnya.
Bersamaan dengan itu, beberapa berkas cahaya putih menembaki sisi kiri Raziel, tetapi berhasil ditahannya dengan membentuk barrier hitam transparan. Serangan itu bukan Multibeam Lightdrone Uriel. Usut punya usut, empat Hypermassive Defenser yang diperbanyak itulah yang menembakinya.
Raziel mendorong kuat-kuat, kemudian mundur beberapa belas meter jauhnya di udara. Tetapi…
…dia kembali lagi di depanku dalam sekejap mata, seperti ada yang memindahkan. Aku sudah tahu siapayang melakukan hal itu tanpa harus menengok kesana kemari. Maka kumanfaatkan hal itu untuk melakukan gerakan menebas.
Telak.
“Ternyata dirimu tidak transenden terhadap dimensi waktu, eh? Sampai-sampai bisa terpengaruh Temporal Backslide. ”, ledek Plasma.
“Ugh… s-sial…”
“Sekarang keluarlah dari tubuh itu, Mephistopheles!! Kembalikan pada pemilik aslinya!!”
Dia menyeringai. “Sayangnya itu tidak mungkin, Metatron. Lagipula urusanku di sini belum selesai.”
Dia menghilang.
“AAAAAAAAHHHHHH!!!!”
Suara itu bersumber dari sebelah kiri.
Raqia?!
Refleks ingin kuaktifkan Warp Drive, tetapi…
“Berani mendekat, akan kubunuh perempuan ini!!”, seru Raziel sambil mencekik Raqia. Pedangnya terjatuh, tergeletak di atas pasir.
Gerakanku terkunci. Maju, Raqia mati. Diam, Raziel lari.
Tidak. Keselamatan Raqia adalah prioritas. Tidak mungkin kubiarkan seseorang yang kucintai mati di tangan manusia biadab seperti Raziel. Sepertinya aku akan diam dahulu di sini, berkonsultasi dengan Plasma.
“Yang Mulia!!!!”, teriak Clio. Dia ada di sebelah kananku. Nuachiel juga seperti ingin menyerang.
“Clio, Nuachiel, berhenti!!” Perintahku itu diikuti satu perisai yang menghalangi sisi depannya.
“T-Tapi…”
Plasma menyelak, “Maaf, nona-nona. Da’ath benar. Sedikit saja gegabah, Raqia akan habis.”
Aku berkata pelan, “Jadi… ada rencana bagus?”
“Warp Drive, lalu tendang kuat-kuat tangannya itu.”
“Bagaimana jika dia tidak melepaskan cekikannya?! Leher Raqia jadi taruhan, Plasma!”
Raqia nampak makin tersiksa. Entah segila apa kekuatan Raziel, yang jelas Raqia tak mampu melepaskan cengkraman pria itu.
…..argh. Tuhan, apakah tidak ada ide yang bisa Engkau berikan saat ini?!
“Kalian ini lama sekali sih?!”, potong Biblos.
Tanpa bicara apapun, buku hidup itu terbang cepat menghampiri pedang milik Raqia.
“O-Oi! Biblos!!”
Panggilanku tidak dihiraukannya karena…
“Administrator username: Sandalphon, Heavenly Archangel of Divine Presence.”
Pola kalimat yang serupa juga diucapkan Plasma tadi...
Ada kekuatan tak terlihat yang melepaskan cekikan Raziel pada Raqia. Jari demi jari. Pelan namun pasti.
Beberapa butir cahaya perak mengorbit tubuh Biblos. Meski tak mencapai level keganasan yang sama seperti Plasma, namun ledakan menyilaukan yang ditimbulkan sanggup memaksa tangan kiriku melindungi mata.
“Datang seenaknya…”
Titik Biblos berada tak lagi ditempati sebuah buku. Siluet cahaya yang dipancarkan menampakkan suatu bentuk menyerupai tubuh manusia, mungkin sedikit lebih pendek dari Raqia. Perlahan kemilaunya menghilang, membuat sosoknya menjadi jelas. Tak perlu lagi kulindungi mataku.
“Mengacau seenaknya…”
Semua yang dikenakan Biblos didominasi warna putih. Alas kakinya berupa sepatu, sepertinya bukan sepatu kulit. Sepasang kaus kaki tinggi membalut hingga sedikit di atas lutut. Yang dikenakan menyerupai pakaian Tenebria, hanya saja lebih pendek dan dikencangkan oleh scarf biru lembut pada bagian leher. Pinggangnya dilingkari ikat pinggang lebar yang dihiasi salib emas kecil di tengahnya.
“Menghancurkan seenaknya…”
Tangan mungilnya terjulur ke depan, mencengkeram udara.
Raziel menggertakkan gigi. Kerutan mendominasi permukaan wajahnya. “K-K-Kau---“
Aku tak dapat melihat wajah Biblos secara jelas karena posisinya yang membelakangi. Tertutup rambut perak sedagu, lebih berkilau daripada rambut Raqia.
“Dan sekarang…”
Muncul 3 pasang sayap putih kecil di punggungnya, berjajar rapi dalam 2 kolom. Selaras dengan itu, di atas kepalanya tercipta cincin emas holografik bertuliskan huruf-huruf keemasan yang tidak kumengerti. Diameternya sekitar 2 sentimeter lebih kecil dibanding kepalanya.
“…ingin membunuh seenaknya??!!”
Biblos mengayunkan tangan kanannya, melemparkan Raziel jauh dari Raqia. Tanpa sentuhan sama sekali.
Belum selesai. Dengan cepat, beberapa deretan huruf-angka-simbol merasuki pedang Raqia. Pedang itupun melesat ke udara, membuka portal di langit. Sebilah logam raksasa muncul---
Biblos bisa memanggil Chereb HaMemad?!
Tidak salah lagi, itu adalah Chereb HaMemad. Pedang super besar yang jarang sekali dikeluarkan Raqia kecuali dalam kondisi pertarungan dengan perbandingan satu melawan puluhan ribu. Atau makhluk setinggi 7 lantai, misalnya saja Plasma yang belum terkendali waktu itu.
“Sudah sepantasnya Tuhan menghukum dirimu!!!!”
Seketika Biblos mengayunkan pedang raksasa itu ---tanpa memegangnya--- hingga menghantam Raziel. Karena Biblos melakukan semuanya dengan cepat, Raziel tak sempat bersiaga.
Dan untuk pertama kalinya Raziel terhempas ke permukaan tanah.
Belum sempurna Raziel bangkit, ada sesuatu yang menahannya. Beberapa jalinan rantai mengikat tangan dan kaki, berujung pada beberapa emblem lingkaran bercahaya yang terbentuk di sekitar kakinya.
“Percuma, kamu tidak akan bisa memutus Multidimensional Chain milikku. Hypermassive Orbital Defenser, charging up~”
Deretan huruf-angka-simbol menyebar cepat ke setiap perisai yang melayang di sekitarku. Terbentuk bola cahaya putih pada setiap ujung depan silindernya.
“Bagus. Ini kesempatan kita, Da’ath. Tembak dia.”, ujar Plasma.
“Tapi kita masih butuh---“
“Aku tahu. Ini tidak akan membunuhnya.”
“Kalau kamu sudah berkata begitu… baiklah.”
Kuarahkan senjata di tangan kananku pada Raziel.
“Akan ada guncangan sedikit. Siap?”
“Kapanpun kamu mau, Plasma.”
“Baiklah. Infinite Light Illumination.”
Bola cahaya putih sebesar kepala tercipta pada ujung senjata.
“Prepare to shoot in three… two…”
Rantai buatan Biblos benar-benar efektif. Raziel tak mampu berpindah sama sekali.
“…one…”
Ledakan di sisi kiriku memotong hitungan mundur Plasma. Seluruh Hypermassive Defenser juga berhenti melakukan loading. Dari arah kiri, Inferna ---nampak kepayahan di atas pasir--- mengarahkan tangan-mesin kirinya kemari.
“Sudah kubilang jangan ke mana-mana!!”
Teriakan Erato itu diikuti tiga sambaran petir dari palunya. Dua mengenai tangan kiri Inferna, menyebabkannya meraung pedih. Jadi itu kelemahan bagian tubuh mesinnya? Hanya… lompatan listrik?
Ah, sial!! Raziel lolos!! Dia sudah berada di samping Inferna sekarang.
“Kenapa tidak konsentrasi…”, kata Plasma setengah menggeram. Siapa lagi kalau bukan pada Biblos?
“A-A-Aaa… maaf…”, jawab Biblos sambil menghadapkan wajah kemari. Dan… uh… menggemaskan sekali!! Mata biru lembut yang bulat, dan kemilau kulit putih halus dengan rona merah itu… oh tidak. Jika saat ini bukan pertarungan, mungkin sudah kucubit dan kuremas-remas pipinya!!
Atra memanfaatkan waktu lengah itu. Dia sudah berada di dekat ayah dan kakaknya. Jejak darah nampak di mulutnya, namun raut wajahnya tak berubah sama sekali. Tetap tanpa ekspresi.
Tapi kuantitas bicara lain. Ketiganya terpojok. Raqia dan Clio siaga di udara. Uriel, Euterpe, Erato, dan Nuachiel mengepung dari empat penjuru.
“Hohoho!!~ Bagus!!” Biblos terdengar bergairah. “Akan kuikat ketiganya sekaligus---“
Atau tidak.
Tercipta emblem lingkaran hitam besar di tanah, mengelilingi Raziel dan kedua putrinya. Begitu pria berambut perak itu meninju permukaan, pasir bersama beberapa batu besar terhempas kuat ke segala penjuru. Saking kuatnya, memaksaku untuk mendarat.dan merunduk. Biblos juga tak bergerak dari posisinya, tak jauh di depanku.
Perlahan biru langit tersingkap…
“Cih, iblis itu lolos.”, komentar Plasma, kesal.
Ketiganya lenyap. Taktik klasik yang nyaris selalu berhasil menipu.
***
Biblos membuka portal, melempar Chereb HaMemad kembali masuk ke situ. Kemudian dikembalikannya pedang yang lebih kecil pada Raqia.
Khawatir akan Raqia, akupun menghampiri. “Hei, kamu tidak apa-apa?”
Masih menyentuh leher, dia menjawab, “Leherku memang terasa nyeri, tapi selain itu tidak ada yang bermasalah.”
Pipinya sedikit memerah.
“M-Mmm… terima kasih ya.”
Aku hanya sedikit mengkhawatirkannya, dan begini responnya? Agh, kurasa aku akan meleleh…
“Sayang sekali kita tak bisa memaksa iblis itu membuka mulut.”, ujar Biblos.
“Heh, ini kan salahmu juga. Well, setidaknya tidak ada kehancuran yang lebih luas---“ Suara Plasma tertahan, seperti teringat sesuatu. “Hei, mana nona Tenebria?”
Benar juga. Di mana dia? Sejak tadi tidak kuperhatikan karena berkonsentrasi terhadap hal lain.
“Itu dia!”, seru Biblos.
Orang yang dimaksud tergeletak jauh di sebelah kanan depanku. Mendarat, lalu kumatikan mode Heavenly Saint. Nyaris bersamaan, Raqia turun di sebelah kiriku. Yang lainnya agak menjaga jarak di belakang.
Tenebria tidak bergerak. Tubuhnya yang tidak lagi mengenakan armor nampak berantakan. Dan entah apa yang terjadi pada Charles, dia tidak bersuara, menangispun tidak. Dimatikan paksa barangkali.
Tanpa basa-basi, Plasma segera berlutut di samping Tenebria. Setelah membersihkan pasir dari wajah Tenebria, Plasma menyentuh dahi gadis itu.
“Kondisinya kritis…”, gumam Plasma.
“Recovery Orbiter?”
“Harus, Da’ath. Segera. Tapi…”
Plasma tak perlu melanjutkan kata-katanya. Saat ini, orang terdekat yang memegang benda itu adalah yang benci setengah mati pada Tenebria.
Raqia memanggil orang yang dimaksud, “Uri, Recovery Orbiter.”
Hening. Tak ada jawaban dari sang Guidance Light.
“Uri.”
Hanya lirikan tajam yang menjawab. Tapi ketajaman itu tertutup rasa lelah.
Nuachiel bertanya, “Recovery Orbiter?”
“Benda itu sangat kubutuhkan sekarang, tidak bisa ditunda lebih lama lagi.”, jawab Plasma.
“Dan yang memegang benda itu saat ini hanya Uri.”, tambah Raqia.
“Ooo begitu…” Nuachiel mengangguk-angguk mengerti. “Paman Uriel, bisa tolong berikan?”
Kembali tidak ada jawaban. Namun otot-otot wajah Uriel sedikit berkerut di beberapa titik.
Sambil menarik-narik jubah panjang Uriel, Nuachiel lagi-lagi memohon, “Ayolah paman… apalagi dia yang meminta…”
“AAAAAHHHH!! Oke, oke!! Berhenti menarik bajuku!!”
Bola kuning itu muncul di tangan kanannya. Dilemparkannya ke arah Plasma.
“Thanks a lot.”, ujar Plasma sambil menangkap bola itu dengan sebelah tangan.
Si Archangel pertama mengepakkan sayapnya, pergi. Arah terbangnya menuju pada reruntuhan menara.
Raqia berkata pada yang lainnya, “Lebih baik kalian temani Uri. Aku akan di sini sebentar.” Setelah mereka pergi, Raqia melanjutkan, “Dia… sepertinya stress berat.”
“Yeah, you’re right. His expression seems weak. Dia kehilangan banyak hari ini.”, Plasma mengiyakan sambil mengaktifkan bola penyembuh itu.
Bersinar lembut, benda itu melayang di atas tubuh Tenebria. Berarti tinggal tunggu waktu hingga dirinya sadar.
Dari sini terlihat Uriel sedang mengangkat puing. Menggeser, mengorek-ngorek, ataupun membuangnya jauh. Yang lainnya juga melakukan hal yang sama.
“Sepertinya mereka butuh bantuan.”, komentar Raqia melihat pemandangan itu.
“Kita ke sana?”, tanyaku mengkonfirmasi.
“Tapi Tenebria…” Dua biru langit itu menatap gadis berambut ungu yang tergeletak.
“Jangan khawatir. Aku bisa menggendong dan menungguinya hingga sadar.”, ujar Plasma.
“Kamu benar-benar ‘Si Besar yang Baik Hati’, eh?”
“Hahaha… itu prosedur standar, Da’ath.”, jawab Plasma sambil menggendong Tenebria di depan, princess carry. “Nona Tenebria sudah membuktikan bahwa dirinya pantas untuk memperoleh hidup. Tidak mungkin kuabaikan hal itu.”
“Mmm… k-kakak…”
Plasma hanya menoleh sedikit pada Biblos yang nampak manja.
“B-Boleh… aku juga…”
Manusia kaleng--- tidak. Sekarang dia lebih keren. Armor bersayap yang hidup itu menghela nafas panjang.
“Lompat ke belakang.” Ucapan Plasma diikuti menghilangnya sayap logam di punggung.
Tanpa ba bi bu, Biblos melompat ke punggung Plasma. Tangannya melingkar erat pada bagian leher bawah. Senyum ceria mengiringi wajah buku hidup--- tunggu. Wajah malaikat kecil itu, maksudku.
“Kita jalan saja. Aku tidak bisa terbang sambil menggendong dua begini.”, kata Plasma.
Mengambil langkah pertama, Raqia berkata, “Sebenarnya kalian ini siapa sih? Jantungku nyaris copot melihat aksi kalian tadi. Apalagi kamu, Biblos. Tiba-tiba saja berubah dan menggunakan Chereb HaMemad…”
“Ahahaha~ Maaf kalau tiba-tiba begitu.”, jawab Biblos sambil tersenyum. “Apa mungkin kita harus memperkenalkan ulang diri kita ya?”, tanyanya pada Plasma.
“Sepertinya memang perlu. Baiklah, aku dulu.”
Plasma berlagak batuk sebentar…
“Namaku, nama asliku adalah Metatron, Heavenly Archangel of Divine Transcendence. Aku adalah simbol dari sifat Elohim yang Mahatinggi. Dengan kata lain, yang transenden dan mengatasi segala dimensi ruang-waktu yang ada di alam semesta.”
Biblos menyusul ceria, “Dan aku Sandalphon, Heavenly Archangel of Divine Presence. Kalau aku adalah simbol dari sifat Elohim yang Mahahadir. Sering juga disebut dengan sifat immanence~ Oh ya, aku ini adiknya Metatron lho. Di surga, kami dikenal dengan sebutan Heavenly Twins.”
Otot-otot kakiku seketika berhenti, Raqia juga. Kamipun saling menatap.
“Heavenly…”, ujarku, terdengar berat.
“Archangel…”, tambah Raqia, bernada sama denganku.
Mulutku menganga, sinkron dengannya.
“KALIAN MALAIKAT SURGAAAA???!!!”
Jeritanku dan Raqia sangat harmonis. Bah.
Plasma tidak berhenti berjalan. Membiarkanku dan Raqia dalam kebingungan.
Berjalan cepat menyusul Plasma dan Biblos, pertanyaan-pertanyaan terucap cepat dari mulutku dan Raqia secara bergilir.
“Tunggu tunggu tunggu. Jadi kamu bukan makhluk buatan?!”
“Lantas bagaimana bisa Biblos selama ini berbentuk sebuah buku?!”
“Nah itu. Lalu untuk apa pengetahuan dibutuhkan untuk mengisi seorang malaikat surga?!”
“Dan masalah data layer yang kalian singgung, apa hubungannya dengan malaikat surga seperti kalian?!”
“Lalu masalah nama. Bagaimana harus kupanggil kalian berdua?!”
Respon Biblos? Tersenyum agak dipaksakan. Sementara Plasma sama sekali tidak menjawab pertanyaan, tetapi…
“Aku tidak mungkin menjelaskan segalanya sekaligus saat ini kan? Tenanglah, semua yang kutahu akan kuceritakan pelan-pelan. Untuk masalah nama, terserah kalian saja. Tetap Plasma dan Biblos boleh, Metatron dan Sandalphon juga tidak masalah.”
Hanya itu yang dikatakan Plasma. Terdengar santai.
“Dan bagaimana denganmu sendiri, Raqia? Lehermu masih sakit?”, sambungnya.
“Sudah tidak terlalu, Plasma. Tapi orang itu benar-benar kuat, bahkan aku tak sanggup melepaskan cengkramannya.”
“Itu karena kekuatannya. Tidak ada kekuatan di alam materi ini yang dapat berpengaruh padanya.”
Akupun bertanya heran, “Bukankah dia tidak memiliki Archangel Core? Lantas dari mana kekuatan itu?”
“Perlu kuberitahu bahwa Archangel Core mengubah struktur genetik manusia yang menerimanya secara permanen. Dan dari kata-katanya, sepertinya dia adalah pemilik awal Archangel Core nomor dua yang saat ini dipegang Raqia. Tapi… kemampuan yang tadi sepertinya bukan program dasar core.”
“Maksudmu?” Pose khas Raqia muncul lagi. Kepala sedikit miring ke kanan.
“Archangel Core nomor dua tidak memiliki kekuatan untuk membagi segala sesuatu, Raqia. Ini pasti ada hubungannya dengan iblis yang mendiami tubuhnya, Mephistopheles.”
Ada yang mengganjal buatku. Bukan perkara iblis itu, namun…
“Tunggu. Membagi? Kukira kemampuannya adalah membelah segala sesuatu.”
Plasma menggeleng. “Kurang tepat jika dikatakan membelah. Yang benar adalah membagi. Dia dapat membagi segala sesuatu yang dapat dihitung. Dan karena segala sesuatu di alam materi dapat dihitung, maka tidak ada apapun di alam ini yang tidak dapat dibagi olehnya. Banyak efek yang dapat ditimbulkan oleh kemampuan tunggalnya itu.”
Biblos menambahkan, “Tapi tidak usah khawatir. Kekuatannya tidak berefek padaku maupun kakak.”
“Kenapa… begitu?” Kembali Raqia bertanya.
“Sifat Tuhan yang Mahatinggi berarti mustahil diterima oleh akal sehat manusia secara penuh dan tidak bisa disimbolkan secara tepat oleh apapun di alam materi. Sesuatu di alam materi yang paling mendekati sifat tersebut adalah suatu bilangan, yaitu nol. Kebalikannya, sifat-Nya yang Mahahadir, menunjukkan diri-Nya yang berada di seluruh alam materi. Sederhananya dapat kuanalogikan dengan simbol tak terhingga. Dia yang ada di mana-mana sehingga siapapun tak mungkin tersembunyi dari-Nya.”, jelas Plasma.
“Persingkat kata-katamu, Plasma.”, pintaku. Bukannya aku tidak mengerti, aku hanya tidak berniat untuk memahami hal itu setelah pertarungan yang melelahkan pikiran.
“Semua pembagian yang memiliki penyebut nol dan tak hingga akan memiliki hasil tak terdefinisi. Karena aku adalah simbol sifat Tuhan yang Mahatinggi, aku bisa disimbolkan dengan nol. Kebalikannya, Sandalphon dapat disimbolkan dengan tak hingga.”
“Dan dengan demikiaaaannn… kekuatan orang itu, yaitu membagi, takkan berpengaruh karena akan memiliki hasil tak terdefinisi jika diarahkan pada kami berdua. Artinya ya tidak ada efeknya sama sekali.”, tutup Biblos.
Ternyata hanya matematika sederhana.
***
Usut punya usut, Uriel sedang mencari apapun yang masih utuh dalam reruntuhan. Dia ingin mencoba memperbaiki menara ini lagi, atau mungkin membuat sesuatu yang lain dari sisa-sisa menara. Yah, meski dijawabnya dengan wajah masam.
Mendengar niatan Uriel, wajah Biblos ---alias Sandalphon--- terlihat makin cerah. Diapun menawarkan diri agar pencarian dapat dilakukan lebih cepat. Pasti kemampuan khususnya lagi.
Plasma ---alias Metatron--- sendiri menyingkir ke luar area reruntuhan yang padat. Mencari tempat yang rata dan nyaman, diapun duduk dan membaringkan Tenebria di pangkuan. Yang dilakukannya sudah tepat, karena tidak mungkin aku yang melakukan. Atau… bisa-bisa aku dikubur hidup-hidup dalam pasir oleh seseorang.
“Kamu yakin kuat untuk mengangkat puing-puing ini?”, tanya Raqia, terdengar khawatir.
“Oh ayolah, yang di sini hanya goresan kecil.” Kutunjuk lengan kiriku yang sempat berdarah karena tembakan Inferna. “Lagipula sudah kering begini. Mungkin Sacred Armor bisa membantu meringankan luka.”
“Huh… kenapa cara menjawabmu begitu sih? Kamu mengkhawatirkanku, aku katakan terima kasih. Sekarang…”
Pipi Raqia sedikit mengembung. Dahinya mengkerut. Posisi berdirinya berubah jongkok. Telunjuk kanannya berputar-putar di atas puing tembok menara.
“Aku… salah bicara ya?”
“Hmmph.”
Oke, dia marah sungguhan.
“Baiklah… aku minta maaf.”
Tidak ada respon. Duh, bagaimana ini---
Inspirasi ‘ilahi’ merasuki kepalaku. Kualihkan mata pada tangan kananku…
…dan kutaruh di atas kepala Raqia.
Gerakkan sini, gerakkan sana. Hebat juga rambutnya itu, masih terasa lembut meski diterpa udara gurun selama beberapa jam.
Darah mulai naik ke pipi Raqia. Anehnya, dia tetap tak bergeming. Biasanya sudah mengamuk manja.
Apa mungkin… dia menahan diri?
Perhatianku teralih ketika kudengar suara. Otomatis aku menoleh ke arah sumber suara yang ternyata berasal dari Erato. Dia berada beberapa langkah di depan. Sisa tembok yang dibawanya terjatuh, menghantam puing-puing yang berserakan.
Mulut Eleutherian-class berambut biru pucat itu membuka-buka tanpa suara. Matanya terbuka lebar. Telunjuk kanannya mengarah padaku dan Raqia.
“Hei, ada apa?”, tanya Euterpe sambil menepuk bahu kiri Erato.
Tanpa suara, Erato terus menunjuk kemari.
Sekarang giliran Euterpe membatu. Meski tidak menganga lebar, tetapi otot-otot wajahnya sama kaku dengan Erato. Tiga detik kemudian, Erato berjalan cepat kemari.
“A-A-Aaa e-e-e-eee u-a-ii-o uuu-a-a…”
Gerakannya seperti marionet kayu saja…
Euterpe menyusul, lalu kembali menepuk bahu rekannya itu. “Tenangkan dirimu.” Diapun bertanya padaku, “Baiklah, apa maksud semua ini?”
Di kepalaku timbul suatu tanda tanya besar. “Uh…?”
“Tanganmu. Tanganmu!!”
“Tangan…?”
Oh, masih menempel di kepala Raqia.
“Kalian jangan heran! Mereka kan mau menikah!!”, sahut Biblos dari kejauhan.
“HEEEEEEEEEEEEEE????!!!!” Erato dan Euterpe berseru bersamaan.
Mencoba menggeser tanganku ---tenaganya tidak terasa---, Raqia berkata pelan, “S-Sudah kubilang… jangan mengelus sembarangan…”
“Hah? Kapan kamu katakan itu?” kutanya balik sembari memindahkan tangan.
“Baru… saja.”
“Aku tidak dengar, tahu.”
“I-Ini keajaiban.”, ujar Euterpe, tangan kanannya ditaruh di dahi. “Yang Mulia Raqia bisa takluk semudah ini…”
Respon berlawanan ditunjukkan Erato. Seketika matanya nampak berbinar, senyumnya melebar. “Jadi, kapan dilaksanakan? Sekarang?”
Raqia menjawab ---setengah menjerit---, “Tentu saja tidaaaaakkk!!”
“Bagaimana kalau upacara pemberkatannya dulu? Pestanya nanti---“
“Euterpe! Berapa yang sudah dinikahkan secara diam-diam oleh temanmu ini sepanjang perjalanan?!”
Berlagak menghitung dengan jari, Euterpe menjawab, “Lebih dari tiga puluh pasangan. Tepatnya saya kurang tahu.”
Raqia menatap Erato tajam. “Jadi hobimu menikahkan pasangan secara diam-diam belum juga hilang, hah?!”
Aku belum pernah dengar gosip yang satu ini. Maka aku bertanya, “Menikahkan orang lain diam-diam?”
“Kamu sudah tahu gelarnya?”
“Uh-huh…” aku mengangguk.
Bishop of Pure Love. Mungkin seluruh manusia di muka Bumi ---atau setidaknya yang di enam kota--- juga sudah tahu. Hanya saja asal-usul gelarnya tidak diketahui. Termasuk aku, yang baru akan mendengarnya sekarang.
“Itu didapat bukan tanpa alasan. Sebelum direkrut Clio, sudah ada sekitar tiga ratus pasangan yang dinikahkannya. Semuanya TANPA persetujuan keluarga.”
“Tapi tapi tapi, saya tidak tega melihat mereka semua!”, sahut Erato. “Rasanya benar-benar sesak jika ada dua orang yang saling mencintai, tapi tidak disetujui… Tapi tapi, setidaknya hampir semua setuju setelah beberapa waktu berlalu!!”
“Hampir, Erato. Hampir semua, bukan semuanya!” Telunjuk Raqia lurus ke hidung Erato. “Itu sama saja dengan memicu pertengkaran antara orang tua dan anak----“
Uriel berjalan melewati kami berempat. Sorot mata elangnya lebih tajam 7 kali lipat, mengarah kemari.
Semuanya kaku sejenak. Tanpa merasa berdosa, aku dan Raqia kembali mencari dan memindahkan puing. Erato dan Euterpe? Pergi tanpa suara.
***
Beberapa lama aku dan Raqia bergerak, ada suatu panel yang nampak rumit tersingkap di antara reruntuhan. Dan entah sejak kapan Plasma sudah berada di belakangku.
“Hei, kenapa kemari?”, tanya Raqia.
“Nona Tenebria sudah sadar. Dia sendiri yang memintaku untuk pergi. Mungkin dia butuh sendirian saat ini.”
“Hmm… begitu.”, Raqia hanya menggumam setuju.
“Baiklah, bisa tolong kamu periksa apa yang kami temukan?” Kutunjuk ke arah panel.
“Oke. Nanti juga akan kuberitahu Yang Mulia Uriel juga mengenai benda itu. Kalian menyingkirlah untuk sementara waktu.”
Meski aku merasa agak aneh kalau dia masih memanggil Uriel dengan sebutan ‘Yang Mulia’… tapi ya sudahlah. Aku menurut saja. Raqia sendiri berkata kalau dia akan ke Biblos sebentar.
Melangkah tanpa tujuan di atas reruntuhan, aku menyadari kalau aku benar-benar harus bersyukur tidak tertimpa apapun. Baguslah puing tanpa arti ini jatuh ke arah yang lain. Jika mengenaiku tepat saat mode Heavenly Saint tidak aktif… kematian akan menyambut dengan senang hati.
Tidak hanya itu, isi perut menara cukup menarik perhatian. Ternyata jauh lebih rumit dibanding saat aku berada di dalam koridornya. Seringkali pecahan-pecahan panel terlihat. Banyak yang sudah tidak utuh. Beruntung yang tadi kutemukan bisa selamat, sehingga dapat dianalisis oleh Plasma.
Dan… sungguh, aku merasa tidak aneh dengan semua ini. Panorama kehancuran seperti ini akrab bagi pikiranku. Ya, aku tidak merasa kaget ataupun takjub berlebihan.
Tapi tetap saja, pemandangan ini terasa kurang nyaman di mata. Juga di hati. Apalagi ditambah kehilangan banyak orang yang seharusnya akan kamu selamatkan…
Sepertinya aku mulai bersimpati pada Uriel.
Tunggu.
Di mana Archangel gondrong itu? Bukankah tadi dia masih berusaha memindahkan puing yang sebelumnya merupakan dasar menara?
Mataku menangkap sesuatu. Uriel berjalan mendekat ke arah…
…Tenebria!!
Argh, pasti akan ada kekerasan lagi!! Akupun berlari ke arah sana.
Mengetahui keberadaan Uriel, Tenebria berdiri cepat. Diambilnya Recovery Orbiter yang melayang di dekatnya, kemudian memberikannya pada Uriel. Ajaib, Uriel malah duduk di balok beton yang sebelumnya diduduki Tenebria. Sekarang keduanya duduk bersebelahan.
Melihat hal itu, kecepatanku berubah menjadi 0 dalam waktu sepersekian detik. Segera kuambil posisi bersembunyi di balik puing yang berdiri di antaraku dan mereka berdua.
Duh, tidak kedengaran. Aku tahu beberapa kali mulut Tenebria membuka, tetapi suaranya tidak begitu jelas.
Lho… kenapa aku malah penasaran begini…
“Heh, kenapa sembunyi-sembunyi?”
Tiba-tiba saja Raqia sudah ada di sampingku.
“Sssstt!!” Kutaruh telunjuk di depan bibir.
“Ada apa sih…?”, tanyanya sambil jongkok di sebelahku.
Kutunjuk ke arah mereka berdua.
“E-Eeehh?! Uriel dan Tenebria---“
“Sssshhh!! Aku tidak bisa dengar kalau kamu berisik!!”
Sekarang giliran Biblos yang ke sini. “Kalian sedang apa…?”
Kuarahkan pandangannya dengan telunjukku.
“Hoo…” Terbentuk senyum licik di wajahnya. “Mau dengar?”
“Bisa?”
“Tentu saja! Jangan meremehkan kemampuan Heavenly Archangel of Divine Presence ya~”
Dia menjentikkan jari. Muncul layar holografik di depanku. Tapi…
“Kenapa yang terlihat cuma Tenebria?”
“Aku melakukan hacking pada Archangel Core. Dengan kata lain, ini adalah apa yang ditangkap mata Yang Mulia Uriel. Hihihi~”
Bandel sekali malaikat yang satu ini… Tapi siapa peduli? Hehehe…
Yang pertama kudengar adalah suara Uriel. Tidak lengkap, terpotong di tengah-tengah.
“…apalagi itu juga permintaan Raqia.”
“Begitu… ya.”
Hening 2 detik, Tenebria membuka mulutnya.
“Terima kasih.”
Nephilim itu tersenyum. Cukup manis, menurutku.
“Tak apa. Itu sudah wajar.”, respon Uriel.
“Uwooohh!! Detak jantungnya naik!!”, seru Biblos, volume suaranya setengah ditahan.
Di sebelah layar holografik ada semacam indikator. Simbol hati di bagian atas beserta angka di bawahnya. Tertera 126. Biblos memberitahu kalau angka itu tidak wajar untuk ukuran detak jantung saat duduk santai.
Tunggu. Kenapa… demikian?
“Lalala~ Ada yang mulai bergetarrr~”, gumam Biblos ceria.
Lagi-lagi tak ada suara. Kali ini layar menunjukkan permukaan pasir. Angka pada indikator detak jantung juga tidak turun banyak.
Tenebria mulai bersuara.
“Mmm…”
Dia kembali masuk dalam jangkauan layar.
“Aku… benar-benar tidak jadi di---“
“Tidak.”
Detak jantung tetap abnormal, tetapi Uriel bisa menjaga nada suaranya tetap tenang? Tidak kusangka. Dia pandai sekali mengenakan topeng emosi!! Aku taruhan ekspresinya tetap tajam jika bisa kuamati jelas dari sini.
“Boleh kutahu kenapa?”
“Aku sudah tidak punya alasan lagi. Itu saja.”
Hening 3 detik, Tenebria angkat bicara.
“Maaf atas kejadian hari ini.”
“Kenapa minta maaf?”
“Ini… ini semua karena Papaku---“
“Itu salahnya, bukan salahmu.”
Tenebria sedikit tercengang. Bukan hanya dia, aku dan Raqia juga demikian. Maksudku, ini Uriel yang arogan dan keras kepala itu… kan?
Sepertinya aku mengerti. Kutengok Raqia. Sorot matanya seakan berkata, “Pikiranku sama denganmu.”
Tapi sejak kapan? Ketika menghajar Tenebria, tak ada keraguan sama sekali---
Ah… bisa kutebak.
Senyuman kecil terbentuk di bibir Tenebria. Tanpa menatap Uriel, dia berkata,
“Ternyata… kamu tidak seburuk yang kukira.”
Dan… dor! Detak jantung naik menjadi 130.
Argh! Sudah cukup!
Gelak tawapun meledak. Bukan hanya diriku, Raqia juga. Kami memutuskan untuk menunjukkan diri, tak lagi bersembunyi.
“A-Aku minta maaf atas kejadian hari ini.” Raqia berusaha menirukan Tenebria.
“Tenanglah. Ini bukan salahmu.” Kujawab sambil berlagak sok ganteng.
“Ternyata.. kamu tidak seburuk yang kukira.”
“PFFFFTTTTT… BWAHAHAHAHA…!!”
Lagi-lagi aku dan Raqia tertawa lepas. Duh, perutku sampai sakit begini.
Meski sulit, kucoba berkata, “Uriel, t-ternyata kamu ini sadist sejati… pffttt…”
Raqia menimpali, “Aku juga baru tahu kalau perempuan submisif adalah seleramu--- Mwahahahahaha…!!!!”
That’s it. Titik baliknya adalah ketika Tenebria memohon maaf sampai bersujud. Ada 2 kemungkinan yang wajar jika seseorang menghadapi peristiwa seperti itu. Pertama, orang itu akan tetap melancarkan hukuman, apalagi seorang Archangel yang seharusnya wajib menjalankan hukum dengan tegas. Kedua, hatinya akan tersentuh dan malah memaafkan, kemudian tak lagi berlaku keras. Yang ini mungkin akan dilakukan olehku dan Raqia.
Dalam kasus Uriel? Bukan keduanya. Nada bicaranya masih mengesalkan, tetapi dia membiarkan Tenebria tetap hidup. Maka muncullah kemungkinan ketiga yang terpikirkan olehku dan Raqia. Seleranya memang sesuatu yang demikian, yaitu perempuan yang menyerahkan diri tanpa syarat. Perilakunya digunakan untuk menutupi sesuatu yang berkecamuk dalam dirinya setelah melihat kejadian tersebut. Jika dia benar-benar benci pada Tenebria, aku yakin paksaan Nuachiel tadi pun tidak ada artinya.
“Photonica, Multibeam Lightdrone.”
Eh?
“H-Hei, Uriel!! Stop!! A-Aku sedang tidak mengenakan Sacred Armor!!”
Oke, kata-kataku tak dihiraukannya. Puluhan bola cahaya muncul di sekitarnya.
Tunggu. MANA BIBLOS?! Dia kan juga harus bertanggung jawab!---
Ledakan. Tak jauh di sebelah kananku.
“Uri!! H-Hentikan!! D-Da’ath bisa kena---“
Ledakan lagi.
Evakuasi daruraaaaatttt!! Tanpa pikir panjang langsung kugendong Raqia, princess carry mode. Dan… lari yang kencaaaannngg!!
“JANGAN KABUR KALIAN!!!!”
Ledakan berikutnya. Lagi. Dan lagi.
“K-Kamu tidak perlu menggendongku begini kan?!”
“Diam dan tenanglah!! Aku tidak mungkin membiarkanmu kena tembak juga!!"
“T-Tapi aku kan bisa---“
*DUAAAAAARRRR*
Bweh, hidungku kemasukan pasir.
“Plasmaaaaa!! Toloooooonnnnggg!!”
Respon Plasma? Hanya menaruh tangan di dahi, menggeleng-gelengkan kepala.
===============================
Spoiler untuk Trivia :
- Metatron (W | JE) adalah nama salah satu malaikat yang disebut dalam kitab 3 Henokh. Konon katanya dia adalah malaikat dengan tingktan tertinggi.
- Sandalphon (W | JE) adalah nama salah satu malaikat dalam Merkabah mysticism dan Kabbalah, dan konon katanya adalah saudara dari Metatron.
- Mephistopheles adalah nama iblis dalam cerita rakyat Jerman, mengisahkan seorang bernama Faust yang mengadakan kontrak dengannya.
Last edited by LunarCrusade; 16-11-13 at 12:49.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Sekali" ganti sudut pandang
Spoiler untuk Tehillim 45 :
==============================================
Tehillim 45: Reverie of Secrets ~ From Blood-colored Eyes
==============================================
“Ternyata Metatron belum mematikan alat itu.”
“M-Maaf, maaf!! Ini, kukembalikan.”
“Jika dia memutuskan untuk belum mematikannya, berarti kamu masih membutuhkan. Pergunakan hingga Metatron sendiri yang mengambil.”
“Apa benar tidak apa-apa?”
“Tidak masalah, Tenebria. Apalagi itu juga permintaan Raqia.”
***
Masih terbayang jelas dialog 2 hari lalu, ketika pertama kalinya dia menyebut namaku. Mengganggu tiap saat hingga malam begini, ketika aku berada di atas tembok kota Ohr-Nisgav yang tebal dan bercahaya lembut.
Sudut-sudut otakku terus mengamuk. Jujur, aku masih takut padanya. Aku tahu dan menghargai usahanya untuk mengubah citra diri agar tidak lagi menakutkan untukku. Tapi pukulannya masih membuatku trauma. Maksudku, dia nyaris sama dengan Papa pada detik itu. Aura kemarahannya tak berbeda. Padahal aku sudah memutuskan untuk berubah menjadi orang yang lebih lembut dan terbuka…
Sayang sekali Charles masih dalam perbaikan. Entah apa yang dilakukan Papa waktu itu sehingga sistemnya rusak parah. Kalau saja dia ada, pasti aku sudah bicara dengannya tentang hal ini. Tapi… sekarang---
“Yo.”
“Waaaaaaaaaa!!!!”
Astaga. Jantungku nyaris lepas dari tempatnya.
Yang membuatku lebih kaget adalah, orang yang mengganggu pikiranku belakangan ini sekarang ada di hadapanku!! Uriel Yehiy’or, atau yang Papa kenal sebagai Uriah Melchizedek. Masih dibalut jubah kebesaran, dirinya nampak selaras dengan kemilau tembok kota. Bahkan ketika sayapnya menghilang pun aku masih terkesima memandangnya. Hanya saja ada satu benda yang tidak match: tas kulit yang tergantung di bahunya.
“Tidak perlu berteriak. Bagaimana jika ada yang terbangun di bawah sana?” Uriel menunjuk ke arah pemukiman di bawah dengan jempol kiri.
Refleks, kututup mulutku. “M-Maaf…”
Sesaat tak ada suara. Aku benar-benar kesulitan membuka pembicaraan jika berhadapan dengannya.
“M-Mmm… ada yang ingin kamu bicarakan?”
“Ya, ada.”, jawabnya sambil membetulkan kacamata.
Sejenak dia menatap ke arah Bulan. Mulutnya membuka-buka sedikit, seperti ingin mengatakan sesuatu.
Mendadak dia meninju tepian tembok. “Argh, kenapa sulit sekali rasanya!!”
Ketakutanku muncul lagi. Jangan-jangan dia ingin menghajarku saat tidak ada orang seperti saat ini?! Penjaga-penjaga terdekat masih beberapa ratus meter jauhnya. Jika sudah malam, posisi antar penjaga memang lebih renggang. Lagipula tidak mungkin aku minta tolong pada mereka. Bisa-bisa aku dikira ingin menjelek-jelekkan Uriel.
Tidak, tidak. Aku tidak boleh berpikiran buruk. Kucoba tersenyum sedikit.
“T-Tenangkan dirimu dulu…”
Astaga. Dia malah membenturkan kepalanya sendiri ke tepi tembok!!
“U-Uriel, hentikan!! Kepalamu--- maksudku, temboknya bisa runtuh nanti!!”
Plasma ---lebih enak kuucapkan dibanding Metatron--- memberitahu kalau para Archangel punya kekuatan fisik yang di atas manusia rata-rata. Itulah kenapa aku lebih khawatir dengan tembok dibanding kepalanya. Apalagi menurut Plasma ada sesuatu di tembok ini… bisa-bisa rusak nantinya.
Uriel menoleh. “Benar juga katamu.”
Diapun merapikan kembali pakaian dan posisi kacamata.
“Baiklah. Sebenarnya…”
Wajahnya berubah kaku. Dan dia kembali ingin membenturkan kepala!!
“Urieeeelll!! Stoooopp!!” Sampai harus kutarik dirinya.
“Maaf. Sepertinya aku berlaku kurang pantas.”
Ekspresinya kembali serius!! Aku benar-benar tidak mengerti orang yang satu ini!!
“Sebenarnya sulit bagiku untuk mengatakannya. Tapi… kuminta satu hal.”
“Uh?”
“Jangan tertawa.”
“Atas dasar apa aku harus tertawa…?”
“Cukup berjanji untuk tidak tertawa.”, jawabnya tegas.
“B-Baiklah… aku janji.”
Dia menarik nafas, menutup mata. Perlahan otot-otot wajahnya menjadi lebih rileks.
“Aku ingin minta maaf.” Uriel menunduk.
Yang membuatku bingung adalah, yang seperti ini bukan untuk ditertawakan. Dan dia khawatir kalau aku akan menertawainya?
“Maaf sudah memukulmu. Maaf sudah menghinamu. Maaf sudah menganggapmu lebih rendah dibanding hewan. Aku tidak tahu bagaimana merangkai kata yang baik, jadi hanya itu yang bisa kukatakan.”
Dia serius. Juga tulus. Tidak ada kepalsuan dalam nada bicaranya. Tegas, namun dapat menyentuh lembut telingaku. Bagaimana mungkin…
Ada sesuatu yang mendesak keluar dari dalam hatiku. Terus hingga…
“Terima kasih banyak, Uriel. Terima kasih.”
Kurasa ini adalah senyuman terbaik yang pernah kulakukan seumur hidup.
Dia menoleh ke arah lain. “S-Syukurlah. Kupikir kamu akan tertawa atau mengejekku.”
“Kenapa bisa berpikiran begitu?”
“Terkadang aku berpikir terlalu jauh.”
“Hmm… begitu ya. Lalu kenapa baru sekarang kamu meminta maaf? Kalau saja sejak kemarin, aku tidak akan pusing seperti ini.”
Hei, wajahnya… merah? Sayangnya hanya sebentar pemandangan itu nampak.
“B-Baiklah.” katanya sembari menyentuh kacamata. “Rasanya tidak enak jika aku hanya mengucapkan maaf. Aku juga punya sesuatu.”
Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kulit itu. Sebuah kantong kertas--- wow. Baunya lezat!
“Untukmu. Ini buatanku sendiri. Silakan dimakan.”
Kuterima kantong itu. Kubuka…
“Wuaaaaahh!~”
Mungkin ekspresiku saat ini sama dengan Raqia ketika penasaran akan suatu hal. Astaga. Ini… ini choco cookie!! Sesuatu yang hanya pernah diberikan Inferna sekali seumur hidupku!! Ah, sudah berapa ratus tahun waktu Bumi berlalu sejak saat itu ya?
Terhipnotis aroma coklat, aku segera duduk bersandar pada tepian tembok. Kuambil satu. Kugigit perlahan…
“MMMMMMMMMM!!!!”
Astaga astaga astaga!! Benar-benar renyah!! Butiran-butiran tepung yang membaur dengan coklat menyebar ke seluruh mulutku. Perlahan meleleh. Menyelimuti seluruh lidah, memanjakannya dengan rasa manis yang masih hangat. Ma. Sih. Ha. Ngat!! Terlalu sempurna untuk mewarnai dinginnya malam!!
“Sudah kuduga. Kebanyakan perempuan mudah sekali dipancing dengan coklat.” Tidak menatapku, dia sedikit tersenyum.
“Tapi aku sudah lama sekali tidak makan yang begini!!”
Matanya melebar, kebingungan. “Kamu serius?”
“Inferna hanya memberikanku sayuran dan ikan. Dagingpun jarang. Segala yang manis hampir tidak pernah diberikan. Untuk minum aku hanya diberi air putih dan sesekali teh hijau…”
“Pantas saja---“
Uriel segera memutus kata-katanya. Dia mau berkomentar apa…?
“Tidak jadi.” Kembali dia membetulkan kacamata. “Silakan jika ingin dihabiskan.”
Tiga kali sudah dia menyentuh bingkai keperakan itu, padahal tidak miring sama sekali. Biblos ---lebih enak kuucapkan dibanding Sandalphon--- pernah memberitahu, terkadang perilaku seseorang dalam kondisi tidak wajar akan nampak aneh. Apa mungkin…
“Kamu gugup?”
“S-S-S-S-Siapa pula yang g-gugup, hah??!!”
Wajahnya langung panik. Dia juga berlagak membersihkan kacamata dengan lengan jubahnya dengan tangan gemetaran. Tawa kecil pun lolos dari mulutku.
“K-Kenapa tertawa?!”
“Ahahaha… Maaf. Aku hanya tidak menyangka, ternyata kamu bisa lucu juga.”
“Aku tidak pernah bicara dengan wanita selain Archangel berdua saja begini!! Jadi mohon maaf kalau kelakuanku agak aneh!! Dan kenapa kamu diam saja?! Tolong katakan sesuatu!!”
Menahan tawa, maka kujawab, “Dasar aneh.”
Ya, dia memang aneh.
“Aneh, tetapi baik hati dan sedikit pemalu.”
Kugigit satu cookie lagi. Karena Uriel tidak berkomentar apa-apa, maka kulanjutkan.
“Dan juga tidak semenakutkan yang kukira.”
Aku lega. Ternyata tabiat aslinya bukanlah seorang yang kasar.
“Lagipula tidak mungkin seorang berhati baja dan bertangan besi bisa membuat sesuatu yang manis seperti ini.”
Ketika cookie terakhir masuk ke mulutku, dia berkata, “Kamu juga.”
Aku menoleh. “Maksudmu?”
“Maaf sebelumnya, tetapi aku sempat mengira kalau dirimu tak ada bedanya dengan iblis. Ternyata…”
Dia tersenyum sedikit.
“Kamu cuma gadis biasa yang suka coklat.”
Bahkan Da’ath tidak pernah berkata seperti itu!! Ah, kenapa ada yang aneh di dalam diriku… Tenang, Tenebria. Tenangkan dirimu. Pikirkan apa yang akan kamu jawab berikutnya.
“Ini semua karena Da’ath, Raqia, juga yang lainnya. Kalau aku tidak pernah bertemu mereka… mungkin saat ini aku sedang menaruh pedang di lehermu.”
“Sebegitu besarkah dampak yang mereka berikan?”
“Karena merekalah aku memutuskan untuk ikut mereka, agar bisa menjadi orang yang lebih baik. Aku juga jadi menyadari kalau keluargaku benar-benar tidak beres.”
Mendadak kerutan muncul di dahi Uriel.
“Tunggu. Soal keluargamu… Kamu benar-benar anak Raziel?”
Kenapa pembicaraan malah mengarah ke situ…? Uh, sepertinya aku salah bicara.
“Tenebria, jawablah. Ini penting.”
Tidak menatapnya, kujawab ya atas pertanyaannya.
“Perempuan setengah mesin itu… putri Raziel adalah…”
Kubenamkan wajahku di kedua lutut. Aku tidak ingin menjawab yang ini.
“Ternyata begitu. Aku tidak menduga.”
“Kumohon, jangan dilanjutkan.”, ujarku lesu.
“Tidak bisa. Siap atau tidak, kamu harus dengar hal ini.”
Uh, dia memaksa. Tapi bagaimana jika yang akan dikatakannya adalah hal yang terlalu penting untuk dibiarkan?
Kuangkat kepalaku perlahan. Kutatap langit berhiaskan debu emas. Kuambil udara sejuk masuk ke dalam paru-paru.
“Kurasa kamu sudah siap. Baiklah. Sebelumnya akan kuajukan pertanyaan. Apa kamu tahu alasan kenapa Raziel, ayahmu, benci setengah mati pada Da’ath?”
“Ada semacam dendam… sepertinya.”, jawabku ragu. Sebenarnya aku asal tebak.
“Itu dia. Raziel menaruh dendam pada Da’ath. Tapi penyebabnya adalah kesalahannya sendiri, yaitu berhubungan badan dengan perempuan setengah mesin itu, ibumu, I---“
Kali ini dia memegang sisi kepala.
“Tunggu tunggu tunggu. Siapa nama ibumu?”
“In… ferna…”
Kerutan yang timbul di wajahnya semakin dalam. “I-Inferna…? Apa kamu yakin itu nama ibumu?”
“Sangat yakin.”
“Kenapa aku merasa namanya bukan Inferna? Padahal Da’ath juga menyebutkan nama itu sebelumnya…”, gumam Uriel.
Kebingungan menghantam kepalaku. Apa maksudnya?
“Sudah kuduga. Ada beberapa nama yang hilang dari dunia ini.”
“Uriel, tolong jelaskan. Aku makin tidak paham ke mana arah pembicaraan ini.” Nada bicaraku agak panik.
“Sebaiknya kumulai dari mana…” gumamnya. “Begini. Sebenarnya ada yang aneh dengan dunia ini--- tidak. Bukan dunia, tetapi seluruh makhluk berakal budi yang ada di dalamnya. Otak mereka mengalami kelainan yang tidak bisa diamati dari perilaku sehari-hari.”
Hei, ternyata suaranya ketika bicara serius cukup enak didengar. Konsentrasiku tersedot oleh kata-katanya.
“Pertama, rasa ingin tahu segala makhluk berakal budi, tanpa kecuali, ditekan hingga ke titik terendah. Mereka tidak punya keinginan untuk menggali pengetahuan secara mandiri, sehingga harus diajari ATAU tahu secara tidak sengaja. Entah apa yang menekan, aku sendiri tidak tahu. Yang jelas hal itu menyebabkan perkembangan tekonlogi di dunia ini menjadi amat sangat tidak wajar. Kamu tahu berapa waktu berlalu setelah kejadian entah apa terjadi? Dua ribu tahun. Di masa lalu, rentang waktu itu cukup untuk mengubah penyampaian informasi menjadi beribu-ribu kali lebih cepat.”
“Aku pernah dengar hal itu. Plasma pernah menjelaskannya tak lama ketika aku bertemu dengannya dan yang lain.”
“Bagus. Aku lanjutkan ke poin kedua. Keanehan lain, memori orang-orang menjadi kacau. Khusus hal ini, yang mengalami kelainan hanyalah orang-orang yang hidup lebih dari dua ribu tahun. Itu termasuk diriku. Ingat penjelasan poin pertama tadi? Apa kamu bisa menyebutkan apa yang aneh dari penjelasanku barusan?”
Kusentuh daguku sejenak. Ah!
“Kamu tidak bisa menjelaskan peristiwa entah apa itu, padahal kamu mengaku berumur lebih dari dua ribu tahun?”
“Betul. Aku adalah pelaku sejarah, namun anehnya aku tak bisa mengingatnya sama sekali. Beberapa hal sudah kucoba untuk memancing ingatanku, tetapi percuma. Dari situ aku bisa menyimpulkan satu hal. Peristiwa entah apa itulah yang mengubah segalanya. Keanehan lainnya, aku masih bisa mengingat beberapa kejadian sebelumnya. Hanya yang entah apa itulah yang tidak. Tapi yang paling mengherankan adalah…”
Tanpa sadar aku menelan ludah.
“…poin ketiga. Ada beberapa sosok yang telah hidup lebih dari dua ribu tahun yang kulupakan namanya. Lebih tepatnya bukan lupa, tetapi lenyap dari ingatan seakan aku tidak pernah tahu nama mereka sama sekali. Aku menerima nama yang mereka sebutkan begitu saja tanpa banyak tanya. Namun jika kucoba memikirkan, akan seperti tadi hasilnya. Kepalaku terasa berputar.”
“Termasuk Inferna?”
“Dia salah satunya.”
“Bagaimana dengan Papa?”
“Raziel? Dia anomali. Itu adalah nama aslinya. Mungkin peristiwa entah apa itulah yang menyebabkan namanya menjadi pengecualian.”
“Bagaimana kamu bisa tahu seseorang memiliki nama asli atau tidak?”
“Mereka haruslah masih hidup setelah kejadian entah apa itu berlangsung. Semua Archangel termasuk di dalamnya. Juga Da’ath, sang Crusader-Saint. Dan kalau timbul sesuatu yang menggelitik kepalaku, maka aku akan bertanya-tanya dalam pikiran mengenai nama yang mereka sebut. Jika mendadak kepalaku terasa sakit, nama itu palsu.”
Sebentar…
“Ada apa, Tenebria? Kamu terlihat keheranan.”
“Raqia memberitahu kalau Da’ath itu… pernah menjadi seorang bayi. Dia pernah bicara dengan kakak angkat Da’ath, dan informasi itu dapat dipercaya. Tapi kamu bilang, orang itu harus pernah mengalami kejadian entah apa, benar? Artinya orang itu harus berumur dua ribu tahun. Memangnya kamu pernah menemui bayi berumur dua ribu tahun?”
“A-Apa…?!” Uriel tercengang. “Kamu serius?!”
“Aku bersumpah akan dengan senang hati menerima pukulanmu yang terkeras jika terbukti berbohong.”
Pandangannya berlari sesaat ke arah lain. “Apa mungkin ini informasi yang belum lengkap itu…”, gumamnya.
“Informasi?”
“Maaf, maaf. Aku hanya bicara sendiri.”
Oke, akan kulewatkan untuk sekarang. Tapi jika kucerna baik-baik penjelasannya tadi, timbul sesuatu yang menggelitik otakku.
“Sebenarnya masih ada yang aneh. Raqia.”
“Ada apa dengan Raqia?”, tanyanya heran.
“Kemarin Da’ath memberitahu semua nama Archangel yang ada. Kamu, Uriel. Lalu…”
Ah, harus kuingat lagi tentangnya.
“…yang pernah kuserang kotanya, Deshiel. Yang kekasihnya pernah bekerjasama denganku, Maoriel. Yang kotanya nyaris dihancurkan Inferna oleh alat di luar angkasa sana, Kanaphiel. Lalu ada Tselemiel, yang Divine Energy-nya nyaris disedot habis oleh Inferna. Yang sekarang menumpang di istanamu, Nuachiel. Dan… teman terbaikku, Raqia.”
“Lantas apa yang aneh?”
“Pola nama Raqia berbeda sendiri.”
Seakan disambar sesuatu, Uriel langsung membatu.
“Jika benar penjelasanmu tadi, seharusnya nama memegang peranan penting di sini. Lalu kenapa nama Raqia tidak diakhiri akhiran ‘el’ seperti kamu dan yang lain? Bukankah dia juga Archangel?”
Menyentuh dahi, Uriel berkata, “Kenapa aku tidak pernah menyadari hal ini…?!”
“M-Maaf, maaf.”, sahutku. “Bukannya aku mencurigai rekanmu. Lagipula Raqia adalah teman terbaikku, seorang yang membuatku berubah… Tidak mungkin aku berprasangka buruk mengenai dirinya.”
“Tidak, tidak. Kamu benar. Dia… Raqia…”
Uriel kembali memegangi kepala. Dahinya mengkerut tajam.
Panik, kusentuh bahunya. “Uriel?! Hei, kamu tidak apa-apa?! Jangan terlalu dipikirkan jika tidak bisa kamu ingat!”
“L-Lebih buruk. Aku tidak bisa mengingat sosoknya di masa lalu.”
Seperti ada yang memukul jantungku. Ah, firasat apa ini…? Padahal sebelumnya aku tidak pernah berhubungan dengan Raqia, Da’ath, Uriel, maupun yang lainnya. Tapi… tapi kenapa…
Memijat kepala sebentar, lalu dia menghela nafas panjang. Uriel berkata, “Sepertinya tidak ada pilihan lain. Kita harus menunggu Chrono Scroll selesai diperiksa Metatron dan Sandalphon.”
Saat ini Chrono Scroll sedang berada dalam genggaman Plasma dan Biblos. Keduanya mengurung diri dalam sebuah ruangan di istana Uriel sejak malam 2 hari lalu untuk memeriksanya, sambil memperbaiki Charles. “Datanya super banyak. Aku butuh setidaknya dua hari untuk menyelesaikan scanning.” Begitulah kata Plasma waktu itu. Artinya, seharusnya malam ini, atau selambat-lambatnya besok pagi, bisa selesai.
“Tenebria,”
“Mmm?”
“Bagaimana seandainya… Raqia bukan seperti yang kita kira? Ini kemungkinan saja, kemungkinan terburuk.”
Pertanyaan sulit. Ini sama saja seperti, “Bagaimana seandainya Raqialah yang harus dimusnahkan pada akhirnya?”
“Aku akan membelanya habis-habisan.”
Ya, itu yang akan kulakukan. Terserah apa kata seluruh dunia. Dia adalah salah satu orang paling baik yang pernah kutemui.
“Sudah kuduga.” Uriel tersenyum lega. “Ternyata kamu seseorang dengan pengabdian luar biasa.”
Pujian lagi. Lama-lama aku jadi merasa tidak enak begini…
“Dan satu hal. Jangan beritahu hal ini pada Raqia dan Da’ath. Aku tidak mau perasaan mereka terluka karena sesuatu yang belum pasti.”
“Plasma? Biblos?”
“Boleh. Keduanya pastilah dapat mengambil kesimpulan lebih objektif. Tapi pastikan mereka tidak bersama siapapun ketika kamu mengatakannya. Aku yakin kamu tidak mau ada rumor jelek mengenai Raqia menyebar ke seluruh dunia.”
Aku mengangguk-angguk setuju. “Akan kulakukan seperti katamu.”
Namun masih ada satu hal yang belum dikatakan Uriel. Ya, tentang keluargaku. Bukankah di awal tadi dia ingin membahas soal itu?
Bibirku terasa berat. Lidahku kelu. Tidak, Tenebria. Tidak bisa. Harus dilanjutkan.
“Hei, Uriel… boleh kutanya sesuatu?”
“Jika itu bisa kujawab, akan kujawab.”
“Aku ingin tahu lebih banyak tentang Papa. Juga Inferna.”
“Mereka… ya.”
Matanya sedikit turun, juga ujung-ujung bibirnya. Dari mulutnya lolos nafas berat.
“Baiklah.” Dia berlagak batuk sesaat.
Aliran darahku berdesir. Ketegangan merasuk ke sela-sela tulang. Aku… aku akan tahu segalanya tentang keluargaku.
“Seperti yang kamu lihat saat pertarungan itu, aku memang sudah mengenal Raziel sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Kami adalah teman baik sejak remaja. Beberapa tahun kemudian, kudengar dia meraih pangkat cukup tinggi di militer. Sementara aku menjadi murid seorang imam rumah ibadat. Kondisi dunia juga sangat labil saat itu. Perang besar dapat pecah kapanpun kamu mau. Ketika ibumu, I---“
Lidahnya mendadak kelu. Kulanjutkan ucapannya. “Inferna.”
“Inferna, berumur dua belas tahun, kamipun bertemu dengan Crusader-Saint. Oh ya, aku tidak akan menyebutnya dengan nama Da’ath di cerita ini.”
“Ya, karena kamu tidak yakin apakah itu adalah namanya yang asli.”
Dia mengangguk. “Betul. Akan kulanjutkan. Tiga tahun setelahnya, perang benar-benar terjadi. Bukan lagi perang antar manusia di dunia, namun dengan…”
Kepalanya menengadah, jarinya menunjuk satelit alami planet ini. Inferna memang pernah memberitahu sesuatu tentang tempat tinggal manusia di Bulan.
“…Bulan. Aku ikut berperang dengannya di bawah komando Crusader-Saint, yang saat itu dapat dikatakan sebagai pimpinan de facto atas Bulan.”
Aku menahan nafas. “D-Dia pimpinan Bulan?!”
“Lebih tepatnya karena ada sesuatu di sana saat itu. Kamu bisa bertanya pada Archangel Kanaphiel mengenai detailnya.”
“B-Baiklah. Teruskan.”
“Kami hampir kalah waktu itu. Kamu tahu penyebabnya? Ayah dan ibumu.”
“Mereka berkhianat atau semacamnya?”
Dia menggeleng. “Karena mereka berdosa. Perlu kamu ketahui, Archangel Core hanya dapat digunakan oleh pengguna dalam kondisi yang kudus. Jika orang itu melakukan salah satu dari tiga dosa ketika memegang Archangel Core, benda itu akan keluar dengan sendirinya dari tubuh pengguna dan tidak dapat dipakai lagi oleh orang yang sama.”
“Tiga dosa?”
“Menghujat nama Tuhan, membunuh tanpa dasar hukum yang sah, dan melakukan penyimpangan seksual. Ayah dan ibumu dimasukkan dalam kategori terakhir karena mereka adalah ayah dan anak.”
“Lantas… apa hubungannya dengan kekalahan kalian…?”
Ah, suaraku makin lemah.
“Maaf, aku tidak ingat jelas soal itu.”, jawabnya pelan. “Yang kutahu hanyalah kami nyaris kalah karena dosa Raziel. Chrono Scroll mungkin bisa menjawabnya. Setelah itu pastilah terjadi peristiwa entah apa. Dan aku tidak menyangka. Ternyata hasil dari hubungan mereka adalah…”
“Aku… kan?”
“Kamu telah mengatakannya.”
“Jadi… ternyata dirikulah…” Rasanya ingin kubenamkan lagi kepalaku di lutut.
“Jangan katakan hal itu.”, ujarnya tegas. Berhasil mengangkat kepalaku kembali. “Kamu tidak punya andil apapun dalam nyaris kalahnya kami waktu itu. Mereka yang berdosa, bukan dirimu.”
“Tapi itu berarti… itu berarti aku juga sama…”
Ya, aku telah melakukan dosa yang sama. Sebelumnya aku tidak dapat membedakan mana yang baik dan jahat, sehingga hal itu kuanggap normal. Namun setelah mengunjungi Bumi untuk pertama kali, ada sesuatu yang mengganjal. Terlebih lagi ketika bertemu Da’ath, Raqia, dan yang lainnya…
Aku menengadah ke langit kelam. Tanpa sadar, air mataku jatuh. Hanya sedikit, namun mengandung penyesalanku yang terdalam.
“Ini.”
Suara lembutnya mengalihkan perhatianku. Di tangannya ada sebuah saputangan putih.
“Maaf.” Kuambil saputangan itu. Perlahan kuhapus jejak air mata.
Menyentuh kacamata, dia berkata, “M-Membuatku kaget saja.”
Aku hanya diam. Lebih tepatnya tidak berani bicara. Duduk di sebelah kiriku seorang Archangel pemimpin kota besar, yang selalu hidup dalam kekudusan. Sementara aku…
“Tenebria…?”
“Ternyata buah memang tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya… ya…?”
“Yang kecil itu?”
“Eh?”
Dia bisa tebak?
“Wajahnya mirip denganmu.”
“Kamu… tahu?”
“Awalnya kupikir dia itu adikmu. Tapi mendengar kata-katamu tadi, aku menyimpulkan kalau dia---“
Kata-katanya terhenti seketika.
“Maaf. Tidak sepantasnya kuungkit tentang itu.”
Lesu, aku menggeleng. “Kamu benar. Dia anakku dan Papa. Namanya Atra.”
Aku tidak kuat lagi untuk menatap Guidance Light di hadapanku. Perasaan malu dan terhina ini sudah mencapai titik maksimum.
“Tidak ada orang yang sempurna. Termasuk Archangel.”
Wajahku masih berpaling darinya.
“Dulu, Tselemiel adalah seorang diplomat yang lebih sering memanfaatkan karisma kejantanan dibanding otaknya. Tak jarang dia berhubungan badan dengan petinggi-petinggi wanita di pihak lawan, agar keputusan negara musuh berubah dan tidak lagi merugikan negaranya.”
Telingaku mulai fokus pada suaranya, meski tidak dengan mataku.
“Kanaphiel? Divine Empress paling gagal sepanjang sejarah Bulan. Entah sudah berapa juta nyawa melayang di tangannya hanya karena tak mampu mengendalikan emosi. Penduduk Bumi sampai menyebutnya dengan julukan Lunatic Exterminator.”
Aku setengah tak percaya. Maksudku, penampilannya begitu santai dan wajahnya nampak tenang.
“Maoriel tidak berbeda jauh. Dulu dia adalah penjahat perang paling kejam yang pernah ada. Orang-orang yang sudah menyerah tetap dibantainya. Bukan hanya itu, dia tidak pilih-pilih sasaran. Wanita dan anak-anak juga tidak luput, habis seketika."
Tapi tidak kutemui aura pembunuh di matanya!
“Aku tidak ingin bicara buruk mengenai Deshiel, tapi… kenyataan bicara lain. Sebelum bertemu Crusader-Saint, dia adalah ilmuwan gila yang sering menggunakan manusia hidup sebagai kelinci percobaan.”
Dan Raqia bisa menganggapnya sebagai ibu sendiri?!
“Lalu… aku.”
Kata ‘aku’ berhasil mengikat pandanganku. Mengubah arah sorot mataku.
“Aku hanyalah seorang pengidap ********* yang hipokrit. Sok agamawi tapi berkelakuan bejat. Entah sudah berapa gadis kecil yang menjadi korban.”
Suaranya dipelankan, kepalanya sedikit tertunduk.
“Untunglah aku tidak melakukannya pada Inferna. Aku masih menghargai Raziel sebagai temanku. Kelakuanku di masa lalu itulah penyebab kenapa emosiku meluap ketika Da’ath berkata ‘Ataukah kamu sudah merasa menjadi orang paling suci di muka Bumi’. Sebenarnya aku tidak marah saat itu. Aku hanya malu sejadi-jadinya, merasa kalau dosaku yang lama diungkit kembali.”
“Uriel, jangan mengada-ngada.” Suaraku sedikit gemetar.
“Chrono Scroll akan membuktikannya, Tenebria. Aku tidak berbohong.”
“Tapi bagaimana bisa kamu sekarang---“
“Pertemuanku dengan Crusader-Saint yang mengubah semuanya.”, potongnya. “Jika dia tidak ada, mungkin aku sudah berada di neraka saat ini. Diantar oleh lemparan batu dari puluhan orang di rumah ibadat.”
Tak sengaja aku menelan ludah. Maksudku, Uriel yang nampak begitu agung dan ilahi ini…
“Kelakuan menjijikkanku ketahuan saat itu. Sebagai hukuman, aku harus mati dirajam.”
“Lalu dia menyelamatkanmu?”
“Bukan dia, tapi…”
Nama yang disebutnya sungguh tidak terduga.
“…Nuachiel. Dia sedang bersama Crusader-Saint.”
“Archangel ketujuh?”
“Hei, dia belum jadi Archangel saat itu.”
“Benar juga...”
“Entah bagaimana caranya dia bisa masuk ke halaman rumah ibadat. Satu yang tidak bisa kulupakan. Dia… dia berdiri di depanku, di antara aku dan orang-orang itu. Dengan polosnya dia berteriak ‘Jangan lempari paman ini!!’. Bahkan dia memelukku tanpa merasa takut. Ironis sekali, seorang ********* diselamatkan oleh anak kecil… Dia masih tujuh tahun waktu itu. Crusader-Saint mengintervensi setelahnya, mengajakku untuk ikut dengannya.”
Ujung-ujung bibir Uriel naik sedikit. Matanya memandang ke kejauhan.
“Sejak itu aku bersumpah untuk tidak melakukan dosa yang sama lagi.”
Aku kagum padanya. Dia dapat menuturkan kisah hidupnya yang tercemar tanpa hambatan. Sempat timbul rasa tidak percaya akan ceritanya, tetapi sekali lagi aku lebih percaya kalau dia bukanlah seorang pembohong.
“Bagaimana bisa… kamu mengatakan semuanya…”
“Karena semuanya sudah berlalu.”, jawabnya santai. “Aku telah sungguh-sungguh bertobat dan menjalankan sumpah dengan baik.”
Crusader-Saint ternyata dapat mengubah banyak orang. Aku, Atra, bahkan Uriel. Aku benar-benar bersyukur bisa bertemu dengannya…
“Dan kamu tidak perlu terus-menerus merasa berdosa. Cukup bertobat sungguh-sungguh dan tidak melakukan dosa yang sama lagi.”
Senyum Uriel terasa begitu hangat. Melebur bersama panggung cahaya lembut tembok kota. Aku merasa dia sedang memelukku saat ini, meski tangannya tak menyentuhku sama sekali. Di hadapanku bukan lagi duduk seorang pemimpin bertangan besi, namun sosok manusia yang kudus dan lemah lembut.
Dia segera menyentuh kacamata. “Maaf kalau bicara terlalu panjang. Bukan maksudku untuk berkhotbah.”
Responku? Hanya tertawa kecil. Lagi-lagi rasa gugupnya menghampiri.
“K-Kenapa tertawa?”
“Tidak kok… tidak apa-apa.” Aku tak bisa menahan senyum geli.
Tiba-tiba saja dia berdiri.
“Sepertinya udara mulai dingin.”
Dingin? Dia bisa merasa kedinginan?
Tidak menoleh padaku, dia melanjutkan, “Aku ingin minum teh hangat kalau sudah begini.”
Lagi, dia membersihkan lensa kacamata dengan lengan jubah. Cepat sekali kotornya?
“Kamu juga mau?”
Eh? Dia mengundangku?
“Jangan diam saja.”
Ini kesempatanku. Aku ingin hubunganku dengannya membaik. Langkah awal sudah kulakukan, dan tidak boleh berhenti sampai di sini.
“Mmm! Tentu aku mau.”
Kembali kuberikan senyum terbaikku.
Charles, orang yang memusuhiku berkurang satu! Aku janji akan cerita banyak padamu nanti!
========================================
Spoiler untuk Trivia :
N/A
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
HOLAAAA
saya datang kembali
Spoiler untuk sopeler :seriously...gue sangat amat males buka forum belakangan ini, dan akirnya agak nyesel karena gue ketinggalan beberapa apdet cerita ini.
yang bikin nyesel sih sebenenya chapter 42-43an doang sih...
kebetulan gak kayak sebelomnya, ingetan gue tentang chapter 39-40an masih cukup lumayan jadi gue gak bingung pas mulai baca 41..
so...okay, I enjoyed that. gue udah cukup lama gak baca cerita yang eksyen begini.. hmm hmm
ngg, entah disengaja ato enggak, tapi gue cukup bingung sama si Uriel....... pertama tama tuh dia kayak tua bersahaja super kaku, tapi belakangan kayaknya nggak se "tua" itu...
no problem, sih..
sebenernya jadi problem di 44-45
Tenebria?
terus ngg, masih soal Uriel...doi fanatis banget ya, yang ngehujat Tuhannya aja disiksa.emang agama lu paling bener?
ini salah satu yang bikin gue bingung. dia "tua"apa enggak, sih..
karakternya bisa ganti ganti gitu hahaha
dan kemudian, Raziel? uhh, sebagian gue sempet denger soal yang namanya Raqia itu.... tapi begitu miripnya sama orang ini kok firasat buruk...
brengsek sih... ATRA GUE DIAPAIN ITU SAYTON!??
sialan sialan
beneran jleb itu pas scene aneh aneh
err...sudahlah.. tapi pas disitu rame banget. serius, seru.. cuman agak gimana ya... si Raziel jadi kayak overpower abis... meskipun Nuachiel muncul kayaknya dia masih gampang aja ga ada beban..
Metatron keluar, eh... akirnya... tapi kurang ganteng munculnya.
terus abis itu juga Lunginos ilang...ya? hmm hmm
NAH, pas Metatron sama Sandalphon keluar ini... Raziel yang overpower tiba tiba kedesak..terus Chereb HaMemad nya juga kayaknya beda kekuatannya dibanding pas dipake Raqia..super sangat gitu...
jadi makin berasa aneh soalnya gue pas baca entah kenapa udah ngerasa si Raziel itu final boss....
pace nya cepet juga ya, baru juga berantem sama Uriel, masuk menara, terus ketemu Raziel.
terus kebiasaan elu nih, lagi tense tiba tiba suasana langung berubah ceria... dan buat gue masih kerasa agak ngeganggu.. ya,buat gue doang sih....
well anyway sampe chapter 44 itu udah okee... nah pas 4 gue sempet bingung...ganti sudut pandang, kok harus Tenebria? oh ternyata ada pengembangan juga... new flag
daaaan~~~ yey gue udah baca sampe 45~
I DEMAND MORE ATRA!![]()
Spoiler untuk jebret :
- Uriel itu tsundere. Makanya kalo di depan banyak orang keliatannya kaku kadang ngetroll, tapi kalo udah berhasil ditembus jadinya nyep nyes jebret. Kata seseorang sih cowo tsundere itu mati aja... KWOAKWOAKWOAKWOAKW
- Anjrit gw kira transform Plasma ke Metatron uda keren banget pake efek" kentut... ga taunya masih kurang
- Raziel itu imba BANGET karena kekuatannya seperti yg uda dijelasin Plasma/Metatron. Tapi berhubung aslinya Plasma/Metatron itu NOL dan Biblos/Sandalphon itu TAK HINGGA, maka kekuatannya Raziel ga ada efeknya. (coba itung pake kalkulator... 2-2nya pasti undefined hasilnya)
- Pace sengaja gw bikin cepet. Action pace lambat itu bete total, kayak video dilambatin jadinya
- Nah ini... sori kalo gw masih kacau soal pergeseran emosi
Berhubung yg jadi influence gw itu anime + LN yang seringkali demikian... ya... maap
- Dari awal gw emang udah ada rencana jodohin Uriel - Tenebria
Tapi karena ini bukan romance mainstream, jadi triggernya rada S&M gitu... AOWKOAEKAOSKOAKOA
#heboh
Btw update ke depan mungkin agak lambat, gw ada 'sesuatu' yang lain yang harus dikerjakan![]()
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk Fuyukai-desu :Dulu pernah nebak kalo si pops itu Da'ath di masa lalu. Oke deh, gua ngaku salah disini.
Abiliti tu divide every damn thing. So not mainstrim! bahkan gue nggak pernah kepikiran kalo pembagi bisa dijadiin kayak gini. Good!
Adegan kisu2 sama Atra kok bikinngacengngamuk aja sih. Ehm.. pokoknya Raziel imba, oke. Emang udah jadi budaya nggak tertulis kalo last bost muncul untuk pertama kalinya di hadapan main chara, si main chara pasti masih keteteran. Gak seru kan kalo Daath bisa ngimbangin Raziel padahal baru ketemu?
Ambil lah kasus demon lord yang ketemu yuusha di suatu encounter 'tak sengaja'
Intinya, gue bakal kecewa berat kalo disini Raziel jadi villain kelewat arogan maca demon lord diatas. Tapi kalo daath mati ditempat cerita kelar dong?DL : Manusia rendah! makhluk sepertimu bahkan tak pantas untuk dijadikan penghabis waktu luang.
Dan sang demon lord pergi begitu saja. Tapi beberapa ratus level kemudian, yuusha balik dengan armor dari odin, dan excalibur yang bisa one hit KO semua general-nya.
So, in order tu save daath ass, the almighty Lunyan sent all those MUSE personil en nauchiel yang super duper mega imbalatoz, dan langsung mentalin si bishonen raziel dan harem-haremnya sekaligus. Kayak gandalf yang bawa pasukan bantuan dikala pasukan aragon mulai terbantai, despair pun berubah menjadi harapan.
Tapi, ibarat dinamo gagal kilik yang cuma bisa kenceng beberapa detik, Nauchiel kehabisan gas dan langsung lemah syahwat. Raziel pun kembali memimpin. Tendangan macan hyuga menyenter muka si culun morisaki, menurunkan moral tim nankatsu yang tadinya memimpin.
Sekarang, apa lagi yang bisa digunakan untuk membalikkan keadaan?
Itu dia, akhirnya greymon dan garurumon berevolusi menjadi wargreymon dan metal garurumon! 0 dan tak hingga, tak akan bisa dibagi! of course! kenapa yang ini juga gua gak kepikiran? Actually, kalau pake definisi limit, tak hingga bisa dibagi dan hasilnya adalah 0! tapi lupakan dulu sejenak.
Plasma dan biblos berubah! (cmiiw, tapi biblos disini bentuknya berubah jadi loli beneran kan?) Tendangan gabungan tsubasa dan misaki berhasil mengoyak gawang wakashimapan! Raziel pun pulang bersama dayang-dayangnya.
Tarik nafas dulu..
SWEET MOTHER OF GOD! ternyata Plasma dan Biblos itu malaikat dari surga!? wtf men.
hembuskan nafas..
URII, ternyata kau Tsundere. Sadis pulak. Padahal ada certain guy yang bilang kalau tsundere cowok mati aja.
Ya sudah, mati saja sana.
Spoiler untuk tebakan baru, karena tebakan lama udah gagal :
Another mindfahk, ternyata RaqIA itu namanya beda sendiri dari archangel lain1
dan lebih mindfahknya lagi, namanya RaqIA justru sama kayak TenebrIA, AtrA, dan InfernA!
terus satu nama yang terlupakan.
bisikan aneh itu.
apa archangelcore raqia memeang sebenernya milik raziel?
dan pops itu bukan last boss?
justru musuh terkahirnya mom?
dan mom itu raqia? ato seenggaknya punya hubungan sama raqia.
Raqia disengajakan hilang ingatannya untuk menjalin cinta sama daath, supaya daath nggak bisa ngelukain raqia?
masih banyak lagi teori konspirasi dari pierrot-sama ini. Tapi kasian kalo dibeberkan semua. Siapa tau bener, gak enak sama TS-nya :v
okeh itu dulu, sampai jumpa lain waktu
Last edited by -Pierrot-; 08-12-13 at 16:13.
anjrit komennya![]()
hidup Nankatsu
YES! The Divider!
Gw bete sama kemampuan" supranatural/scientific yang begitu" doang. Maka dari itu, berangkat dari simple math, jadilah kekuatan tsb
gw sebenernya ada rencana buat masukin "causality manipulation" sama "boundary manipulation" sbg ability 2 chara entah siapa, tapi... kalo banyak physical action jadinya susah, kecuali cerita ini murni battle of wits, dimana kemampuan gw belom sampe situ
masalah tebak"an nya gw ga mau bilang apapun, pokoknya nikmati aja kalo ada keluar baru
tentu twist" tambahan akan tersedia ke depannya, dengan resiko ditanggung pembeli... #plak
![]()
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Mau triple release... tapi dipisah aja ya, 2 chapter dulu baru 1 lagi di post berikutnya
Spoiler untuk Tehillim 46 :
===========================================
Tehillim 46: Chrono Scroll Part I ~ Open the Timeline
===========================================
Aku, Raqia, dan Clio sedang melangkah menuju suatu ruangan dalam istana Uriel. Belasan pasang pilar marmer berikilauan berdiri di sepanjang koridor. Lantainya sangat berkilau, bahkan dapat bayanganku sendiri terpantul cukup jelas.
“Mmm… Yang Mulia,” ujar Clio ragu.
“Ya?”
“Kenapa saya harus ikut juga?”
“Kamu yang menemukan benda itu, maka kamu juga yang harus menjelaskan pada mereka jika ditanya.”
Pada Plasma dan Biblos, maksudnya.
Dua hari sudah mereka ---beserta Charles dan Photonica--- mengurung diri di ruangan itu. Untuk membongkar isi data Chrono Scroll, tentunya. Juga memperbaiki Charles. Tengah malam tadi Biblos menghubungi via Archangel Core Raqia, memberitahu kami agar datang ke ruangan ini menjelang fajar.
Tibalah kakiku tak jauh dari pintu kayu raksasa. Tingginya cukup untuk memaksaku mendongak agar dapat melihat ornamen emas bertahtakan batu rubi di ujung atas. Ingin kusentuh gagang emasnya, tetapi… tanganku menabrak sesuatu. Riak cahaya terbentuk di udara.
Aku lupa. Ada barrier yang dipasang melindungi ruangan, kira-kira dua langkah dari dinding. Kuketuk barrier-nya. Kuhitung mundur 10 hingga 1 dalam hati. Pintunya dibuka dari dalam.
“Ah, kalian rupanya!” seru Biblos riang, mode malaikat. “Masuklah, barrier sudah kumatikan.”
Raqia melangkah lebih dulu, kemudian Clio. Barulah diriku.
Oh wow. Berantakan sekali.
Beberapa layar holografik mengambang di udara. Mesin berdiri di mana-mana. Kabel rebah ke sana ke mari. Untung saja ruangannya cukup terang. Semua dapat kulompati tanpa tersandung selagi berjalan menuju Plasma di tengah-tengah ruangan. Dia nampak sibuk mencabuti beberapa kabel yang terpasang di tubuhnya.
Benda-benda di ruangan ini tak mampu membuatku dan Raqia terkejut ---kami sudah terbiasa melihat hal aneh---, namun berbeda dengan Clio. Mata pimpinan Indagator itu terus mengamati segala yang ada di ruangan, sesekali lidahnya berdecak kagum. Suara-suara seperti “Heee…” dan “Wuaaah…” juga terucap dari bibirnya meski pelan.
“Yang Mulia Uriel mana?” tanya Biblos.
“Sebentar lagi jadwal doa pagi, kan? Mungkin dia sedang bersiap, “ jawab Raqia.
“Kalian tidak ikut?”
“Jika datang ke ruangan ini dapat membuatku mengetahui apa yang salah dari dunia ini, kurasa itu sama baiknya dengan berdoa.”
Biblos mengangguk-angguk setuju. Kemudian dia bertanya, “Nuachiel?”
Kujawab, “Tadi kulihat masih tidur sambil memeluk Longinus.”
Dia adalah satu-satunya Archangel yang butuh tidur secara rutin. Entah apa alasannya, Nuachiel maupun Longinus sendiri tidak bisa menjelaskannya secara detail.
“Lalu… Tenebria?”
Semburan tawa nyaris lolos dari mulutku ketika Raqia menjawab, “Mengikuti Uriel dengan setia.”
“Ya sudahlah, mereka bisa menyusul.”
Tiba-tiba saja muncul tiga kursi kayu di belakang kami bertiga. Dari motif ukirannya, aku bisa menebak bahwa kursi ini dipindahkan dari ruangan lain di istana ini.
“Duduklah,” Biblos mempersilakan. Aku duduk di tengah, Raqia dan Clio masing-masing di kiri dan kananku.
Selagi tangan logamnya mencabut seutas kabel ---kabel terakhir--- dari tengkuk, Plasma berkata, “Baiklah. Karena kalian bertiga sudah di sini, aku langsung saja.”
Tak sengaja kutelan ludahku sendiri. Tetes peluh membasahi pelipis. Entah kenapa suasana hatiku mendadak tegang.
Plasma meraih gulungan merah bertepian emas. Benda itu melayang sejengkal di atas tiang logam setinggi perutnya.
“Inilah Chrono Scroll yang selama ini kucari,” ujar Plasma.
Plasma menyentuh Chrono Scroll. Gulungan itupun melayang secara horizontal di dekat dirinya. Benda itu membuka, lalu terbentanglah layar biru kehijauan semi-transparan di antara kedua silinder. Bentangannya cukup panjang, namun tidak ada tulisan apapun di situ.
Dilanjutkannya dengan pertanyaan, “Nona Clio, di mana anda menemukan benda ini?”
Menelan ludah sejenak, dia menjawab kaku, “S-Sekitar seminggu perjalanan berkuda dari tembok timur Shamayim. Tepatnya di padang rumput.”
Plasma tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk sambil menatap langit-langit.
Kutepuk pelan bahu Clio. “Tidak perlu tegang begitu. Plasma memang berasal dari surga, tapi dia bukanlah seseorang yang menakutkan. Santai sajalah.”
Mengusap keringat di dahi, kemudian dia menjawabku, “B-Begitu ya. Jujur saja, saya masih merasa tegang berhadapan dengannya. Apalagi setelah pertarungan kemarin…”
“Tapi kakak bisa menakutkan juga lho,” sahut Biblos.
Tinju Plasma melayang indah ke kepala si malaikat kecil itu.
“Tuh kan… apa kubilang…” ujarnya lesu, seperti ingin menangis.
Lama-lama aku kasihan pada Biblos. Apa Tuhan tidak pernah menghentikan hal itu ya…?
“Jadi, kalian siap?” tanya Plasma.
Raqia bertanya balik, “Huh? Siap untuk apa?” Kepalanya sedikit miring ke kanan.
“Siap untuk…”
Plasma sedikit mengangkat tangan kanannya. Muncul bola cahaya putih di situ.
Tangan lainnya menyeret layar, sehingga nampaklah batangan panjang berwarna hijau dari dekat ujung kiri ke dekat ujung kanan gulungan. Lebar batangan itu kira-kira sejengkal. Hei, tidak hijau semuanya. Di paling kiri batangan ada sedikit bagian yang berwarna merah. Malaikat logam itupun menyentuhkan telunjuk kirinya pada batas bagian merah-hijau.
“…ini.”
Semburan huruf-angka-simbol keemasan keluar dari bola cahaya. Deret demi deretnya mengorbit di sekitar kursi.
Baru saja aku ingin bertanya mengenai apa yang akan Plasma lakukan…
Ruangan ini sekejap berubah gelap. Yang tersisa di sekitarku hanya deretan tulisan bercahaya, Plasma, Biblos, Raqia, dan Clio. Kemudian bola cahaya itu menyedot seluruh deret huruf-angka-simbol, termasuk semua yang ada. Sekelilingku mengerucut ke satu titik.
“HUAAAAAAAAAAAAAAAAA…!!!!”
Tubuhku seperti ditarik tali tak terlihat. Kecepatannya begitu tinggi, bahkan membuat sekitarku berubah menjadi garis-garis cahaya. Sedikit mual juga sih… Hei, tapi lihat sisi baiknya. Sekarang aku bisa membayangkan bagaimana rasanya tercabik-cabik dalam pusaran tornado! Bah.
***
Semuanya berlangsung hingga aku tak mampu lagi mengenali apa yang ada di hadapanku. Hanya ada sinar menyilaukan, dan…
*BRAAKKKK!*
Aku menabrak sesuatu. Tubuhku telungkup. Beberapa saat aku hanya bisa menggeliat. Sakit juga rupanya… Batukah? Atau lantai?
Ternyata bukan.
Ketika Raqia membantuku bangkit perlahan, aku melihat tanah berumput. Tapi kenapa keras sekali? Tekstur tanah kan tidak sekeras itu?
“Kamu tidak apa-apa? Ada yang sakit?” tanya Raqia lembut. Alis matanya sedikit turun.
“Cuma sedikit pusing kok. Tidak perlu khawatir.” Kupasang senyum terlebarku.
Dan aku benar-benar jujur. Aneh, meski tadi aku merasa mual dan linglung hebat, namun semuanya sirna dalam waktu cepat. Karena Raqia, atau…?
“I-Ini…”
Suara Clio memancing perhatianku. Kutegakkan tubuh dan kepala. Langit biru berawan tipis plus matahari terik, sangat biasa---
Tanpa sadar, mulutku sudah membuka lebar.
Astaga.
Di mana ini?!
Maksudku, bukankah tadi aku berada di istana Ohr-Nisgav? Lantas kenapa sekarang berubah menjadi padang rumput begini?! Ada para Angel-class mondar-mandir pula! Eh, bukan hanya itu. Ada juga tenda-tenda dalam jumlah besar serta tumpukan puing, sekitar 8 atau 9 gundukan pendek tersebar pada jarak yang tak begitu jauh.
Kulihat Plasma berdiri di sebelah kanan depanku. Maka kupanggil dia.
“Plasma, ada apa ini sebenarnya?”
“Kita di Shamayim. Dua ribu tahun yang lalu.”
Tak sengaja kutelan ludahku.
“Raqia, apa itu benar?” tanyaku setengah panik.
“Uh-huh. Dulu Shamayim memang begini,” jawabnya sambil memperhatikan semua itu, “Masih padang rumput, belum ada rumah-rumah bagus.”
“Jadi kamu kenal semua yang di sana itu?” Kutunjuk ke arah kerumunan.
“Tentu saja.”
Raqia mulai menyebut beberapa nama sambil menunjuk sosok yang dimaksud.
“Dan itu…”
Lidah Raqia mendadak kelu. Jarinya diturunkan, kemudian dia menoleh ke arah Clio.
“Ayahku,” jawab sang mantan panglima Shamayim. “Tapi… seharusnya sudah tidak ada.”
Plasma segera berkata, “Maaf sudah membuat anda mengingat kenangan yang tidak enak, Nona.”
Clio tersenyum kecil.
“Tidak apa-apa,” jawabnya pelan, “Setidaknya aku jadi yakin kalau semua ini hanya ilusi.”
“Sebenarnya tidak cocok juga dikatakan ilusi…”
“Betul sekali~”
Tiba-tiba Biblos menyambar, lalu melompat ke punggung Plasma. Digendong.
“Semuanya nyata kok. Benar-benar kejadian dua ribu tahun yang lalu.”
“Kita benar-benar terlempar ke masa lalu?” tanya Clio keheranan.
“Salah~!”
Oke, kali ini aku bingung. Ilusi bukan, perjalanan waktu juga bukan.
“Bisa-bisa aku dan kakak dihukum Tuhan kalau melempar orang sembarangan ke masa lalu. Itu hak prerogatif-Nya.”
Gadis berambut hitam itu hanya bisa garuk-garuk kepala ketika Biblos mengatakan kalau semua ini adalah panggung multi-dimensional sementara. Gilanya, penjelasan dilanjutkan. Mengenai sistem vektor ruang-waktu yang ada di alam semesta, barulah tentang ‘panggung’ sementara ini.
Ajaib, aku bisa paham. Intinya adalah seperti menonton pertunjukan, dengan panggung yang tidak dibatasi di depan saja. Seluruh dimensi ruang-waktu dilibatkan sehingga mampu memberikan gambaran akurat tentang kejadian di waktu tertentu. Itulah alasannya kenapa rumputnya begitu keras. Yang di bawah sini adalah rumput biasa yang sedang ‘ditayangkan’ di ‘layar’.
Dan layaknya pertunjukan, aku sebagai penonton tidak bisa berinteraksi dengan ‘aktor’ yang ada. Sempat kucoba meninju Angel-class yang lewat di kiriku, dan hasilnya… kepalanku menembus tubuhnya. Dia juga berlalu tanpa hambatan.
Maka kujelaskan pada Clio dalam bahasa yang lebih mudah dipahami. Kali ini dia mengangguk-angguk mengerti.
“Jangan samakan Clio denganku, Biblos,” ujarku sambil menyentil dahinya.
“Uuu~ Maaf…”
“We can’t waste our time anymore. Kita periksa ke sana.”
Plasma melangkah ke arah kerumunan sambil menggendong Biblos di punggung. Aku dan yang lainnya mengekor.
“Yang sekarang perlu kita periksa adalah… puing-puing itu.” Plasma menunjuk pada satu gundukan sampah, kira-kira setinggi perutku. Ada kayu, batu, logam, dan material-material tak wajar.
Biblos melompat turun. Jongkok, kemudian mendekatkan wajahnya pada suatu lempengan putih bersih. Kenapa benda semacam itu rasanya pernah kulihat…?
“Titanium-polikarbonat bukan ya?” tanya Biblos pada dirinya sendiri. “Aaah~! Tidak bisa kupegang sih…”
Menyentuh dagu, Plasma merespon, “Sepertinya benar. Tekstur permukaannya sama persis dengan piramid itu.”
“Piramid?”
“Kamu belum terbangun saat itu. Masih buku bisu.”
Ternyata benar. Benda serupa memang pernah kulihat, tepatnya pada piramid di Ya’ar HaMalakh. Sama-sama putih bersih namun tidak seperti kayu, batu, ataupun logam.
“Tapi sayang sekali ini tidak bisa jadi petunjuk. Seingatku bahan ini memang umum digunakan sebagai material bangunan.”
“Bahan bangunan? Benda seperti itu? Apakah itu logam?” tanya Clio.
“Bukan, Nona. Bukan logam. Itu adalah material campuran hasil rekayasa manusia.”
Plasma menoleh padaku dan Raqia. Meski wajah mekaniknya tak berekspresi, namun wajah bisunya seakan bertanya, “Bolehkah kuceritakan padanya?”
Kutengok Raqia sejenak. Dia menangguk mantap.
Plasma melanjutkan, “Perlu anda ketahui, beberapa waktu sebelum apa yang ada di depan mata anda ini berlangsung, peradaban manusia jauh, jauh lebih canggih. Bulan sudah menjadi tujuan wisata yang wajar di waktu liburan, hanya perlu menumpang kendaraan khusus yang diciptakan para ahli. Berkendara di perkotaan dengan kotak besi melayang adalah hal yang sangat biasa, tidak perlu sayap. Makanan buatan yang baru akan basi setelah lima puluh tahunpun ada. Dan… Chrono Scroll yang anda temukan serta beberapa benda milik para Archangel, itu juga merupakan produksi manusia. Hanya saja tergolong spesial.”
“Kamu serius?! Manusia mampu membuat semua itu?!” Kelopak mata Clio melebar.
“Begitulah, Nona.”
“Lantas kenapa saat ini begitu berbeda?”
“Meski masih ada data--- maksudku, ingatan yang belum kembali sepenuhnya, namun aku tidak bisa menyangkal lagi kalau peradaban manusia pernah mengalami pemusnahan-nyaris-total. Dan seperti yang bisa anda lihat, menyisakan sesuatu yang agak primitif seperti ini. Juga puing-puing.”
Menyaksikan segala peninggalan masa lalu yang super hebat membuatku tak mampu lagi memungkiri perkataan Plasma. Maksudku, lihat apa yang dipegang para Angel-class di hadapanku. Nyaris tidak ada bedanya dengan pedang-pedang yang aku dan ayahku pernah buat. Hanya saja tidak begitu berkilau, mungkin karena pengolahan besinya yang belum baik.
Aku jadi membayangkan seberapa mengerikan kehancuran saat itu.
“Sayangnya sewaktu kamu lahir, semua puing itu sudah dibuang ke laut.”
Tiba-tiba saja Raqia masuk dalam pembicaraan.
“Kamu membuang semuanya begitu saja?!” seru Biblos sambil mengguncang-guncang pundak Raqia.
“Y-Y-Ya… mana a-aku tahu? Kukira semuanya sa-sampah--- Biblooosss!! Sudah cukuuupp!!”
“Bagaimana jika ada hal penting yang terbuang?!”
“Mana kutahu?! Aku tidak ingat apa kegunaan sampah-sampah itu! Untuk memanfaatkannya kembali pun tidak ada yang bisa!”
“Stop. Kamu tidak bisa memaksa Raqia.”
Tangan kanan Plasma mengangkat Biblos seperti sebuah tas atau keranjang, kemudian ditaruh di bahu besarnya. Biblos hanya bisa cemberut.
“Bukankah ingatan semua orang di jaman ini memang kacau? Akupun demikian. Lagipula di tumpukan ini tidak ada yang mencurigakan. Raqia, apa hanya sebanyak ini yang kamu temukan?”
“Kalau tidak salah… selama beberapa tahun rakyatku masih menemukan puing-puing seperti ini seiring meluasnya kota. Tapi tidak banyak.”
“Bagaimana dengan tembok kota?”
“Sudah ada. Aku sendiri sempat bingung kenapa tiba-tiba ada tembok berdiri tanpa ada yang membangun…”
Layar holografik kecil muncul di hadapan Plasma. Dia menyentuhnya sesaat.
“Baiklah. Sekarang kita akan berpindah lagi.”
“Akan membuat pusing dan mual lagi atau tidak?” tanyaku ketus.
“Kali ini tidak. Kita hanya akan berpindah tempat, bukan menuju waktu berbeda.”
Bagus.
Plasma menjentikkan jari. Seketika pemandangan berubah. Aku bisa tebak kalau kali ini lokasi tembok yang akan ditayangkan---
Lagi-lagi apa yang kulihat sukses memaksaku menganga.
Memang benar ada tembok tinggi menjulang, membentang hingga ujung-ujungnya lenyap ditelan batas cakrawala. Tetapi…
“…tembok macam apa ini…”
Tidak ada secuilpun batu yang menjadi material penyusunnya, berbeda dengan tembok yang beberapa waktu lalu kulihat! Yang ini menyerupai bahan yang disebut titanium-polikarbonat itu. Putih menjadi warna dominan penyusun tembok, dihiasi corak biru lembut di beberapa titik. Dan satu hal lagi, tembok ini memancarkan cahayanya sendiri.
“Raqia, apa benar ini bagian dari kotamu?” tanyaku keheranan.
“Uh-huh. Dulu temboknya memang begini. Tapi setelah Shamayim makin ramai, kuperintahkan orang-orangku untuk melapisnya dengan batu biasa supaya cocok dengan rumah-rumah yang sudah ada. Biar enak dilihat. Hebatnya, batu yang terpasang malah ikut bercahaya.”
“Dan kamu tidak merasa aneh dengan itu?”
“Mmm…” Raqia mendengung beberapa saat sambil menyentuh dagunya. “Tidak tuh. Semuanya juga tidak ada yang heran. Malah yang tinggal di dekat tembok merasa senang karena tidak perlu menyalakan lampu di malam hari.”
“Bagaimana dengan bola-bola melayang itu? Dan orang-orang yang bisa melayang? Lalu kemampuan yang, katamu, dimiliki olehmu dan penduduk Shamayim dalam menciptakan benda-benda?”
“Kalau masalah bola-bola penerang di pinggir jalanan Shamayim, entah kenapa mereka bisa muncul dengan sendirinya selama beberapa ratus tahun. Masalah orang-orang yang bisa melayang di permukaan jalan… itu aku tidak tahu. Begitu pula dengan kemampuan membuat benda-benda.”
Telapak tangan logam menggenggam erat bahuku, juga Raqia.
“Kita ke Shamayim. Sekarang,” ujar Plasma. Suaranya terdengar serius.
Spoiler untuk Tehillim 47 :
==========================================
Tehillim 47: Chrono Scroll Part II ~ Buried Treasure
==========================================
Malamnya, kami segera terbang ke Shamayim. ‘Kami’ yang kumaksud adalah total penumpang Sonic Glider yang bertambah 4. Raqia memerintahkan Clio untuk ikut serta ---mengatasnamakan ‘tanggung jawab’---, sementara Plasma meminta Erato dan Euterpe untuk turut dalam penerbangan. Nuachiel… sudah jamnya tidur lagi. Maka kugendong dia hingga ke dalam. Ukuran ekstra, tentunya. Nuachiel serta ketiga Eleutherian-class itu duduk di deret belakang.
Oh ya, penumpang memang bertambah 4, tetapi… berkurang 1.
Tenebria meminta untuk tetap tinggal di Ohr-Nisgav.
“Kenapa kami juga?” tanya Euterpe, tepat ketika semua sudah duduk di jok Sonic Glider.
“Saya merasa kemampuan anda dan Nona Erato akan berguna nantinya.”
Ternyata itu tujuan Plasma.
Hmm… biar kupikir sebentar. Euterpe dapat mengendalikan tanah. Apa mungkin…
“Apa mungkin ada sesuatu di bawah Shamayim?”
Pertanyaanku sukses memancing seluruh pasang mata. Kecuali yang sedang tidur, tentunya.
“Kemungkinan sih begitu,” sahut Biblos, mode buku. Menempel pada singgasana khususnya di kokpit.
Muncul layar holografik di dekat tubuh bukunya. Katalog Divine Technology. Tulisan-tulisannya meluncur hingga menunjukkan sebuah “---N/A---“ tepat di atas Chaos Restriction.
“Kamu ingat kan kalau ada dua produk Divine Technology yang hilang? Satu sudah ditemukan, Chaos Restriction. Yang satu lagi…”
Biblos langsung terdiam.
“Nanti kamu juga tahu. Sabar ya~”
Tapi bagaimana dengan Erato? Apakah ada yang perlu disambar di sana?
***
Sonic Gliderpun mendarat di halaman istana Raqia. Sepanjang perjalanan aku tertidur, sehingga aku tak tahu apa-apa mengenai waktu tempuh perjalanan. Yang jelas matahari berada cukup rendah ketika aku tiba. Senja.
Aku turun sambil menggendong Nuachiel ---masih tertidur--- di punggungku. Ternyata ringan juga. Dan untunglah Longinus dapat berubah menjadi gelang ungu mulus. Akan repot jika harus kugendong sekaligus tombak itu beserta pemiliknya.
Biblos? Dengan semangat, dia segera berubah ke mode malaikat, kemudian menaruh telapak tangannya di tanah. Tangannya bercahaya beberapa saat hingga Plasma menghampirinya.
“Ternyata benar. Ada sesuatu yang besar terkubur di bawah sini…”
Biblos terbelalak, menelan ludah.
“Diameternya mungkin sekitar 1 kilometer.”
Menyentuh dagu, Plasma berkata, “Lantas kenapa tidak kurasakan Divine Energy dari dalam tanah? Ketika di depan gerbang Ohr-Nisgav itu kamu juga tidak mendeteksi apapun selain tembok.”
“Mana kutahu,” jawab Biblos, mengangkat bahu. “Tapi secara bentuk sih seharusnya tidak salah lagi.”
“Kalian menemukan sesuatu?” tanyaku.
Jari Biblos menunjuk ke bawah. “Betul. Ada di dalam sini, sesuai dugaan. Dan jika dicocokkan dengan sisa data yang aku dan kakak miliki, seharusnya itu adalah satu dari dua Divine Technology yang hilang.”
Mendengar ukurannya tadi, mungkin hanya Golden Arrow yang mampu menandingi Divine Technology yang dimaksud.
“Baiklah, tidak bisa kita tunda lagi,” ujar Plasma, “Sebaiknya kupanggil Nona Euterpe---“
Oh wow. Raqia serta ketiga anggota Indagator itu sedang sibuk dengan kerumunan.
“Sepertinya nanti saja. Toh aku juga harus membaringkan si kecil ini di dalam.”
Melambaikan tangan, Raqia memanggil, “Da’ath!! Kemari sebentar!!”
Entah sejak kapan Angel-class mengumpul seperti itu. Dua puluh? Tiga puluh? Kurasa lebih.
“Wuaaah! Jadi itu Crusader-Saint? Tampan juga rupanya!”
“Menggendong Yang Mulia Nuachiel seperti itu, dia sepertinya cocok jadi ayah ya?”
“Uuuh~ Aku juga mau menikah dengannya… lalu punya seorang putri yang menggemaskan seperti Yang Mulia Nuachiel…”
“Katanya dia itu blakcsmith? Kalau begitu aku mau memakai pedang buatannya!”
“Kudengar dari temanku di Avodah, katanya dia juga pintar. Bahkan mampu mengajari para blacksmith di sana!”
Begitulah kalimat-kalimat yang terlontar dari para Angel-class wanita. Mata mereka terus berbinar-binar menatapku.
“Mereka bilang ingin melihatmu dari dekat,” ujar Raqia.
Raqia tersenyum. Namun jika kuperhatikan baik-baik ke dalam matanya, dia… tidak begitu senang. Senyum itu hanyalah topeng agar dirinya tetap nampak berkarisma di depan rakyatnya.
Suasana bertambah ricuh ketika sebuah mulut bertanya, “Yang Mulia Crusader-Saint! Boleh minta tanda tangannya?”
Tatapan Raqia makin sayu. Oke, oke.
“Maaf, Nona-Nona. Ada ‘bawaan’ yang harus kutaruh terlebih dulu.” Kumiringkan kepala ke arah Nuachiel. “Dan jika semua urusanku di kota ini sudah selesai, kalian boleh minta tanda tanganku.”
Ditambah langkah tegas Plasma ke arahku, semua mulutpun terkunci. Tidak ada nada protes terlontar.
“Cepat sekali dirimu terkenal,” kata Raqia ketus, ketika kami melangkah ke arah istana.
Tertawa kecil, lalu kubalas, “Cemburu ya?”
Beberapa kali pandangannya berlari ke arah lain. “Mmm… s-sedikit.”
“Jika kamu bilang aku tidak boleh menemui mereka, maka tidak akan kulakukan.”
“Janji?”
“Lempar aku ke laut jika aku berbohong,” jawabku penuh keyakinan.
“Jangan bohong ya.” Tinjunya menyentuh pelan bahuku. Bibirnya melekuk malu-malu.
“Tapi mereka itu santai sekali ya? Benar-benar berbeda dengan Ohr-Nisgav. Kalau di sana, wajahnya serius semua…” komentar Biblos.
“Kuharap mereka selalu siaga. Apalagi dengan kondisi dunia yang kurang stabil seperti saat ini,” balas Plasma.
***
Baru sekali aku menginjakkan kaki ke istana megah ini, tepatnya ke ruang tahta, sehingga aku tidak tahu-menahu tentang bagian-bagian istana lainnya. Dan baru menjelang pagi ini aku tahu kalau ada sebuah taman di tengah-tengah istana. Panjang dan lebarnya mungkin beberapa puluh meter, lengkap dengan jalan-jalan setapak dari batu kotak-kotak yang tersusun rapi. Ada beberapa bangku tersebar, ada juga air mancur di tengah-tengah taman.
“Raqia, boleh di sini?” tanya Plasma. Kami semua berada di halaman berumput saat ini.
“Silakan.”
“Baiklah. Nona Euterpe, anda bisa mulai menggali.”
Eleutherian-class heterochromia biru-kuning itu memunculkan kapak besar bermata dua di tangannya. Dia mengangkat kapak itu tinggi-tinggi, kemudian memukulkannya keras-keras pada permukaan tanah. Muncul emblem cahaya di situ.
“Seberapa dalam?” tanyanya.
“Sampai menabrak sesuatu.”
Jawaban Plasma sempat membuat Euterpe terdiam.
“Kalian semua, tolong mundurlah.”
Semua melangkah mundur. Jauh. Dan…
“Earthburst.”
Tepat ketika nada suara Euterpe lenyap, tanah pada titik pukulan kapak menyembur seperti ada yang mendesak dari dalam Bumi. Partikel-partikelnya melompat begitu tinggi, mungkin 2 hingga 3 kali lipat tinggi Plasma. Segera Raqia mengaktifkan Magen agar tidak ada satupun butiran tanah mengenai yang lain.
Semua berlangsung hingga kudengar bunyi keras, seperti sepotong besi yang dihajar palu besar.
“Sepertinya sudah, Metatron,” kata Euterpe. Beberapa titik di wajahnya tercoreng tanah.
“Terima kasih banyak, Nona.”
Plasma dan Biblos melangkah lebih dulu menuju lubang yang terbentuk, barulah aku dan yang lain. Diameter lubangnya cukup untuk memasukkan 5 orang seukuranku sekaligus.
“Dan sepertinya… nanti harus bersih-bersih,” komentar Raqia ketika memandang sekeliling. Hijau rumput di sekitar ternodai merah kecoklatan.
“M-Maaf, Yang Mulia. Maafkan saya.” Euterpe berkali-kali menunduk.
“Tidak masalah. Toh aku yang mengijinkan.” Raqia beralih menoleh ke dalam lubang. “Karena aku penasaran sekali mengenai apa yang ada di dalam sana… Kalau sesuatu yang berbahaya kan bisa gawat.”
Entah seberapa dalam lubang yang terbentuk, yang jelas aku tak bisa melihat apapun di dasarnya. Gelap.
“Kita turun?” tanya Biblos pada kakaknya.
Mengangguk satu kali, kemudian Plasma berkata, “Da’ath, aktifkan mode Heavenly Saint. Kita turun lebih dulu.”
Berhubung aku juga terlalu penasaran, maka kuturuti kata-katanya tanpa banyak tanya. Begitu tubuhku tertutup sempurna, aku melompat ke dalam lubang. Biblos juga ikut denganku.
Melayang turun… perlahan… perlahan… terus…
“Wow…”
Aku tak bisa menutupi keterkejutanku.
Suatu permukaan ---entah logam entah bukan--- menutupi dasar lubang. Untunglah tubuh Biblos memancarkan cahaya lembut, sehingga aku tak menabrak permukaan itu.
“Plasma, benda apa ini?” tanyaku ketika sudah menapak pada permukaan. Kuinjak beberapa kali untuk memastikan tingkat kekerasannya.
“Kamu tidak ingat?”
Aku menggeleng.
“Kalau begitu kita masuk. Siapa tahu kamu bisa mengingat sesuatu di dalam.”
Aku hanya bisa mengangguk dan menelan ludah. Tetes peluh mulai kurasakan di pipi. Kenapa mendadak merinding begini…
Biblos menaruh telapak tangannya pada permukaan itu. Tiba-tiba saja sebidang kecil permukaan lenyap tak berbekas. Tanpa ledakan, tanpa semburan, tanpa getaran. Kalau begitu kenapa harus repot-repot membuat thermite waktu itu… huh.
“Raqia, turunlah. Oh, dan Nona Erato juga. Yang Mulia Nuachiel juga boleh kalau mau,” ujar Biblos pada sebuah layar holografik di hadapannya. Kulihat wajah Raqia di situ.
“Oke, kami turun.”
***
Setelah Raqia, Nuachiel, dan Erato masuk, kumatikan mode Heavenly Saint.
“Yang lain?” tanyaku pada Raqia.
“Bersih-bersih taman. Aku juga meminta mereka memanggil orang untuk memagari pinggiran lubang. Berbahaya jika ada yang terperosok.”
“Hoo… begitu.”
Tapi kenapa Erato tetap diminta turun…? Ya sudahlah, nanti juga aku tahu.
Kamipun melangkah. Dipandu cahaya tubuh Biblos di depan, dikawal Plasma di paling belakang.
Interior tempat ini mirip dengan Golden Arrow. Beberapa pintu geser menghiasi dinding yang didominasi warna putih, plus panel pembuka di sisi tiap pintu. Pipa-pipa mengular di langit-langit, ditemani kabel-kabel. Ada beberapa lampu di atas sana, tetapi tidak ada satupun yang menyala. Semua itu sukses membuat Eleutherian-class yang ikut turun berdecak kagum.
Dan Plasma benar.
Aku merasa pernah berada di dalam sini. Segalanya begitu akrab di mata, meski aku belum bisa ingat apa fungsi dari benda yang terkubur di bawah istana ini. Jika semua benda di hadapanku punya mulut, kurasa mereka akan bersorak menyambutku.
“Da’ath, kamu tidak apa-apa…?” tanya Raqia khawatir. Tanpa sadar aku sudah menyentuh kepala karena berusaha mengingat.
“Aku baik-baik saja. Tenanglah, tidak ada yang salah denganku.” Kepalaku memang tidak terasa sakit kali ini.
“Apa tempat ini membuatmu mengingat hal buruk?” tanyanya lagi.
“Sejauh ini tidak. Atau belum. Tapi… aku memang tahu tempat ini. Pernah berada di sini. Kalau kamu?”
Raqia menggeleng. Sebenarnya cukup aneh bagiku, karena sejauh ini hanya dialah Archangel yang paling jarang menceritakan apapun tentang masa lalu. Tembok amnesia bekerja terlalu baik bagi kepalanya.
“Hei, aku ingat tempat ini!”
Tebak seruan siapa itu?
Nuachiel.
Sejak tadi dia nampak masih setengah mengantuk. Namun begitu turun dan menginjakkan kaki ke tempat ---entah apa namanya--- ini, wajahnya mendadak segar dan terus mengamati serius apapun yang dilewati.
“Ulala~ Benar juga, my little lady,” sahut Longinus, mode gelang. “Tempat--- bukan. Maksudku, pesawat ini memang pernah kita tinggali.”
“Mmm, mmm!” Nuachiel mengangguk-angguk cepat. “Kalau tidak salah, namanya…”
Nuachiel dan Longinus berseru riang, bersamaan.
“Shamayim!”
Sebuah “Huh?!” refleks terlontar dari mulutku.
“Nana-chan, apa maksudmu?”
Raqia selalu memanggil Nuachiel dengan nama ‘Nana-chan’. Aku sudah mendengarnya sejak di Ohr-Nisgav. Ketika kutanya alasannya, Raqia hanya menjawab, “Supaya lebih singkat memanggilnya.” Mungkin dia tipe orang yang suka menyebut orang lain dengan nama khusus.
“Ya itu nama benda ini. Shamayim.”
“Tapi… kotaku juga…”
“Ehem!”
Suara batuk pura-pura dari Biblos mengalihkan perhatian.
“Da’ath, coba lihat itu sebentar.”
Tiba-tiba sebuah layar holografik sudah terpampang di depanku. Lagi-lagi katalog Divine Technology, tetapi tidak ada lagi tulisan “---N/A---“ di atas Chaos Restriction. Yang menggantikannya adalah…
Mobile Fortress, Shamayim.
Raqia, yang ikut melihat nama itu, bertanya, “Kenapa namanya sama dengan kotaku ya?”
“Alam bawah sadar,” jawab Plasma, “Nama itu merasuk sedemikian rupa ke alam bawah sadarmu sehingga tidak terlepas dari ingatan, meski aku yakin telah terjadi sesuatu di dunia ini yang mengacaukan ingatan banyak orang. Dan itulah yang menjadi dasar bagimu untuk menamai kotamu sendiri.”
“Hee… begitu ya? Ternyata masih ada sesuatu dari masa lalu yang menempel di otakku.”
Keraguanku akan Raqia sedikit luntur. Mungkin memang butuh waktu lebih lama baginya untuk bisa mengingat segalanya.
“Tapi aku tidak menyangka,” sahut Erato, “Ada benda sebesar ini di bawah istana Yang Mulia Raqia. Apa ini peninggalan masa lalu juga?”
“Betul, Nona Erato,” Plasma mengiyakan. “Ingat cerita saya sewaktu perjalanan? Chrono Scroll dan Mobile Fortress ini adalah salah satu buktinya.”
Saat itu aku memutuskan untuk tidur saja. Toh yang diceritakan Plasma hanyalah rangkuman dari semua yang pernah kudengar sebelumnya.
“Bagaimana dengan fungsi tempat ini?” tanyanya lagi.
“Benda ini adalah senjata sekaligus pangkalan militer.”
Menurut data yang ada pada Plasma, Mobile Fortress adalah sebuah Divine Technology supermasif yang dibangun di Bulan. Dan benar dugaanku, secara ukuran adalah yang terbesar kedua setelah Golden Arrow. Perbedaannya adalah, Mobile Fortress telah dirancang sebagai Divine Technology sejak awal, sementara Golden Arrow hanya diinjeksi Divine Energy sehingga dikategorikan Divine Technology.
Di antara semua Divine Technology, Mobile Fortress adalah yang paling krusial sifatnya. Karena sering digunakan untuk menyerang ke tempat-tempat berbeda yang berjauhan, benda raksasa ini haruslah multifungsi.
Sampai di sini, teoriku tentang Raziel cocok 100% dengan penjelasan Plasma. Raziel hanya mampu mengingat Ohr-Nisgav pada awalnya karena Shamayim pada masa lalu bukan sebuah kota, namun benda yang bisa berpindah-pindah.
Selain untuk kepentingan bertahan dan menyerang, jalur suplai yang solid jelas merupakan poin wajib dalam peperangan. Untuk itulah di dalam Mobile Fortress ini juga ada beberapa mesin yang memproduksi amunisi atau bagian-bagian senjata.
“Jadi semua yang ada di jalanan Shamayim itu senjata ya…” gumamku.
“Jalanan?” tanya Plasma, menyahut. “Maksudmu, bola-bola itu?”
“Uh-huh. Kamu sempat lihat?”
“Malam tadi aku dan Biblos memang sempat berkeliling di sekitar istana. Dan bola-bola yang kamu maksud ternyata adalah salah satu produk Divine Technology yang paling sederhana, Lighting Orb. Fungsinya hanya untuk menerangi sekitar. Tidak lebih.”
Wow. Ternyata ada juga Divine Technology yang memiliki tujuan tak berhubungan dengan perang. Tapi… kalau begitu…
“Kenapa hasil produksinya diganti? Tadi katamu Mobile Fortress adalah pabrik senjata, bukan pabrik lampu.”
Plasma tidak langsung menjawab. Dibentangkannya Chrono Scroll, namun kali ini hanya selebar bahunya. Pada layar, lagi-lagi kulihat batangan hijau dengan sedikit bagian merah di ujung kiri batangan. Disentuhnya bagian merah itu, sehingga membesar nyaris menutupi layar.
Hei, tidak merah semuanya! Ada garis-garis hijau tipis di situ, letaknya berjauhan.
Plasma menyentuh satu garis hijau, kemudian muncul sebuah foto. Rumah-rumahkah? Err… bentuknya lagi-lagi terasa tidak sesuai jaman.
“Ini adalah data masa lalu yang masih utuh. Foto ini menunjukkan pemandangan Shamayim enam bulan sebelum batas antara data yang kacau dengan yang tidak. Sebuah kompleks tempat tinggal.”
“Jadi sejak dulu Shamayim sudah merupakan kota?”
Plasma menggeleng.
“Tempat pengungsian,” jawabnya, penekanan pada kata ‘pengungsian’.
Dia melanjutkan, “Di saat itu, perang sudah mulai mereda. Keberadaan benda raksasa ini juga sudah tidak begitu dibutuhkan untuk perang besar-besaran. Kamupun memutuskan untuk mendaratkannya kira-kira dua bulan sebelum waktu pada gambar ini, sementara aku memiliki ide untuk mengumpulkan dan menolong orang-orang yang masih tersisa di sekitar lokasi pendaratan. Dan tentu saja tempat pengungsian membutuhkan benda penerang di malam hari.”
Jadi begitu asal-usul Lighting Orb di jalanan Shamayim. Mesin produksinya pastilah belum berhenti bekerja setelah perang usai. Lupa dimatikan, mungkin?
Dan jika kupikir-pikir, keberadaan Chrono Scroll yang berada tidak jauh dari Shamayim jelaslah dikarenakan pendaratan tersebut. Mungkin di masa lalu benda itu dipegang olehku, Plasma, atau Biblos sehingga tidak aneh jika Clio menemukannya tak jauh dari kota ini.
“Dan akan masih ada kejutan-kejutan lain dari Mobile Fortress,” tambahnya.
Hmm… aku jadi makin penasaran…
***
Percakapan terhenti ketika kami tiba di hadapan sebuah pintu putih. Pintu otomatis, tentunya. Dua angka “0” besar tercetak di masing-masing sisi pintu.
Biblos hanya perlu melakukan trik biasa, pintupun terbuka. Tanpa keraguan, dia melangkah lebih dulu.
“Masuk saja. Di ruang pembangkit energi utama ini tidak ada yang berbahaya kok. Toh semuanya mati.”
Raqia dan Erato melangkah masuk bersama Biblos, sementara Nuachiel…
“Kamu tidak masuk?” tanyaku.
Langkahnya terhenti di depan pintu.
“Emm… dulu aku dilarang main ke ruangan ini. Terlalu berbahaya, katanya.”
“Huh? ‘Katanya’? Kata siapa?”
“Papaku.”
“Ah… jadi dulu Papamu pernah menjadi bagian dari pasukan---“
Sambil tersenyum polos, tangan Nuachiel terangkat perlahan. Telunjuknya mengarah pada…
…diriku.
Sebenarnya aku punya beberapa pertanyaan lagi tentang pesawat raksasa ini, tetapi jari Nuachiel menguapkan semua itu. Buyar sudah.
“A-A-Aku…?” tanyaku kaku. Argh, susah sekali rasanya menggerakkan lidah!
Bibirnya melekuk indah. Diapun mengangguk.
Kutaruh tanganku pada kedua bahunya.
“N-Nuachiel, kumohon jangan bercanda.”
“Aku serius… Pa.”
Air mata pun jatuh. Mengalir di pipinya yang mulai memerah.
“Sewaktu Papa menggendongku kemarin… aku bermimpi… aku bermimpi tentang Papa. Dan aku tahu, yang kuimpikan itu pernah terjadi dulu… dulu sekali…”
Aku bingung. Semua sendi-sendi tubuhku terkunci. Bibirku juga kelu. Apa yang harus kulakukan? Memeluknya? Apa malah menyangkalnya, karena aku buta sama sekali tentang itu?
Kebuntuan terpecahkan ketika Plasma angkat bicara.
“…dia benar, Da’ath. Dia anakmu.”
Bentangan Chrono Scroll sudah melayang di hadapannya.
“Kamu baru memeriksanya sekarang?! Hal sepenting ini?!”
“Maaf, Da’ath. Tapi jangka waktu dua hari tidaklah cukup untuk membaca keseluruhan konten data. Yang kulakukan bersama Biblos adalah merekonstruksi struktur data dan membaca secuil bagian yang sangat penting saja.”
Nuachiel memelukku. Erat. Sepertinya… tubuhku mulai mengenali kehangatan ini.
“Tapi… baiklah,” lanjut Plasma, “Aku minta maaf atas kelalaian ini, Da’ath. Seharusnya aku tidak terburu-buru.”
Plasma membungkuk hormat. Seorang malaikat surga menyampaikan permohonan maaf terdalamnya padaku…? Aku sempat menyangka kalau apa yang ada di depanku hanyalah ilusi.
“Aku khawatir akan ada serangan ke Ohr-Nisgav waktu itu, sehingga kupikir segalanya harus dilakukan secepat mungkin. Seandainya kuperpanjang satu atau dua hari…”
Tadinya aku memang kesal, sedikit. Tetapi keberadaan Nuachiel dalam dekapanku sangat mujarab untuk menurunkan kadar emosiku.
“Ya… sudahlah. Mungkin memang sekaranglah waktu yang tepat. Kita tidak tahu lagi apakah semuanya sempat untuk terungkap jika ditunda lebih lama.”
Terisak-isak, Nuachiel terus memanggilku “Papa”. Berulang-ulang, hingga menggema di pikiranku. Jelaslah ini bukan kebohongan, bukan pula kejahilan. Akupun balas memeluk dan membelainya.
Tetapi, ada yang terlihat tidak senang.
Raqia.
Dia melangkah cepat keluar, melewatiku dan Plasma begitu saja. Mengaktifkan mode Angel Knight, kemudian terbang menjauh. Ingin kukejar, namun tak mungkin kutinggalkan Nuachiel.
Argh, bagaimana ini…
***
“Raqia…!! Hei, Raqia! Kumohon bukalah!”
Sejak keluar dari Mobile Fortress hingga sore ini, Raqia mengurung diri di kamarnya, lantai 3 istana. Tidak ada satupun yang berhasil membujuknya keluar. Plasma, Biblos, Clio, Euterpe, Erato, Nuachiel… nihil. Bahkan ini sudah ketiga kalinya aku menggedor pintu kamarnya yang terlalu agung untuk dipasang pada kamar rakyat biasa, terhitung sejak pagi tadi.
“Tapi tidak ada masalah dengan tubuhnya kan?” tanyaku pada Plasma.
“Meski tadi sempat kudeteksi fluktuasi Divine Energy, namun masih dalam level yang dapat ditoleransi. Bukan trauma.”
Kulepaskan nafas lega.
“Kalau kamu ingin kembali memeriksa Mobile Fortress, pergilah. Biar aku saja yang berusaha membuatnya keluar.”
“Baiklah. Jika sampai besok Raqia belum keluar juga, kita dobrak pintunya. Atau yang lebih halus, dihilangkan oleh adikku.”
“Oke. Aku setuju.”
Kembali kupanggil nama Raqia keras-keras setelah Plasma pergi.
“Ayolah, Raqia! Ini cuma salah paham!! Ijinkan aku bicara!!”
“Apalagi yang harus dibicarakan??!! Sana, pergilah!!!!”
Terdengar suara *DHUG* cukup keras. Sepertinya Raqia menendang pintu.
“Justru itu kamu harus dengar!!!! Tolong buka pintunya!!!!”
“Tidak mau!!!!”
“Memalukan. Tindakanmu kali ini benar-benar memalukan!! Seperti anak kecil!! Apa jadinya jika seluruh Shamayim tahu kelakukanmu yang seperti ini??!!”
Duh, kelepasan. Mudah-mudahan aku tidak dihajar setelah ini.
Tidak memerlukan detik ketiga bagi pintu itu untuk terbuka. Seandainya saja sejak tadi kulakukan… huh.
Tetapi… aku salah.
*DHUAAGHH!!*
Aku tetap dihajar. Secara spesifik, ditinju di perut.
“Masuk,” katanya datar.
Kenapa aku harus menderita terlebih dulu sih… Tapi ya sudahlah, yang penting berhasil membuatnya mau membuka pintu.
Meski masih terasa agak nyeri di perut ---dan resiko untuk dihajar lebih lanjut meningkat---, kuputuskan melangkah masuk.
Sebuah kamar besar, mungkin sekitar 20 meter dari ujung ke ujung. Lantai marmernya begitu berkilau. Sebentang karpet biru persegi mendominasi tengah-tengah ruangan. Tepat di seberangku ada sepasang pintu kaca yang didesain menyerupai jendela, mungkin tingginya nyaris 2,5 meter.
Kutengok kiri… ada tiga lemari besar dan dua rak menempel pada dinding. Ada juga sebuah meja kayu yang tergolong lebar, plus beberapa benda seperti buku dan kertas di atasnya. Kutengok kanan… ada sebuah ranjang ukuran 4 orang. Rangka kayunya nampak mengkilap, berhiaskan ornamen-ornamen emas di beberapa titik. Di masing-masing sisinya berdiri dua laci kayu pendek yang seragam.
Satu hal yang pasti, kekosongan sangat terasa di kamar ini. Segalanya terletak berjauh-jauhan.
Raqia melangkah ke ranjang, lalu duduk di tepinya. Akupun duduk di sebelah kirinya.
Kutatap wajahnya.
“Kamu… menangis?” tanyaku ketika mendapati lingkar matanya yang agak merah. Sepertinya dia menangis nonstop sejak pagi.
Dia membisu.
Kugenggam tangannya. “Kumohon maafkan aku, Raqia. Aku tidak tahu hal itu membuatmu sedih setengah mati.”
Tiba-tiba air matanya jatuh. Entah sudah keberapa kalinya, aku tak tahu.
“Aku… aku takut… aku takut, Da’ath.”
“Takut?”
“Jika benar yang dikatakan Nana-chan… mungkin… mungkin istrimu masih ada…”
Jadi itu alasannya. Dia takut selama ini telah mencintai seseorang yang telah beristri. Aku bisa mengerti. Aku juga akan stress setengah mati jika ternyata Raqia sudah bersuami.
Kudekap tubuh mungilnya. Kubisikkan selembut yang kubisa, “Tidak perlu takut, Raqia. Tidak perlu khawatir.”
Dia membalas pelukku. Masih terisak-isak. Tiap detik aku hanya dapat merasakan kehangatan peluknya, sambil menutup mata.
“Aku hanya milikmu seorang, Raqia. Tidak ada yang lain,” kataku lembut di telinganya.
Berusaha menahan tangis, dia merespon, “T-Tapi… Nana-chan bilang…”
Kutarik nafas dalam-dalam. Kutatap jauh ke dalam mata biru langitnya.
“Nuachiel itu…”
Aku berusaha tersenyum lembut.
“…anak angkat.”
Aliran air matanya seketika membeku.
“Plasma sudah memeriksa Chrono Scroll, dan dia tidak menemukan satupun tanda-tanda tentang istriku. Sewaktu perang berlangsung pun tidak ada data mengenai dirinya. Lokasi kuburnya juga nihil, seandainya memang dia sudah tiada sebelum perang.”
Mengusap-usap mata, Raqia berkata, “J-Jadi… kamu…”
Kusentuh pipinya. “Tidak pernah punya anak kandung dari perempuan manapun. Nuachiel kuadopsi atas permintaan neneknya sendiri sebelum perang terjadi.”
“K-Kamu… tega sekali…” Dia memukul-mukul dadaku, lemah. “Kenapa… k-kenapa tidak bilang s-sejak tadi…” Lagi-lagi tangisnya jatuh.
Huh… Raqia, Raqia. Sejak tadi kamu mengunci pintu! Mana bisa kuberitahu kalau begitu?! Meski Biblos dapat membantuku masuk dengan mudah, aku menolak tawarannya karena masih menghormati privasi dirimu!
Tapi harus kuakui kalau aku suka sekali jika dirinya seperti ini. Her cuteness is at maximum level!
Kupeluk kembali dirinya. Gemas.
***
Menjelang malam. Lantai dasar, tak jauh dari pintu utama istana. Lebih besar dibanding semua pintu ruangan yang ada di sini.
“Semuanya, maaf sudah merepotkan. Maaf jika emosiku tidak terkendali.”
Sambil membungkuk, Raqia mengucapkan permintaan maafnya kepada yang lain. Dan ini salah satu hal yang sangat kusukai darinya. Dia tidak pernah ragu mengakui kesalahannya sendiri. Yah, meski kadang mengungkapkannya secara malu-malu jika permintaan maaf itu adalah untukku.
“Khususnya padamu, Nana-chan. Maaf.”
“Tidak perlu khawatir. Aku tidak marah kok,” jawabnya. “Lagipula…”
Nuachiel tersenyum cerah.
“…aku tidak mungkin benci pada calon Mamaku sendiri.”
Raqia langsung kehabisan kata-kata. Darah naik ke pipinya. Emm… sebenarnya aku juga. Pipiku terasa agak hangat. Ternyata aku belum siap jika orang lain yang mengatakan hal tersebut.
Mendadak Erato menyahut. Kitab Suci sudah terbuka di tangannya.
“Ehem! Jadi… apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh dipisahkan---“
“Bukan sekaraaaaang!!!!” teriakku dan Raqia bersamaan.
Tiba-tiba sebuah suara lembut menghampiri telingaku. Asalnya dari pintu utama.
“Wah, wah… ramai sekali ya di sini.”
Terdengar akrab. Siapa…?
Aku memalingkan pandangan pada pintu raksasa itu.
HAH?!
Tunggu tunggu tunggu. Ini tidak mungkin. Coba kugosok-gosok mataku sebentar…
Sosok itu tidak lenyap. Ternyata bukan mimpi. Ini sungguhan!
Archangel ketiga, Deshiel Tsamach, berdiri di sana!
Rambut panjang keemasan, mata hijau daun, gaun putih panjang hingga lantai, dan senyum lembut itu… Tidak salah lagi. Itu Deshiel!
Namun dia tidak sendiri. Sosok lain menyertai di sebelah kanannya. Dia mengenakan kemeja hijau dan celana panjang coklat, dibalut jas laboratorium seperti yang pernah dipakai Deshiel waktu itu. Plus sepatu kulit hitam.
Seorang pria, hampir sama tinggi dengan Plasma. Namun berbeda dengan Plasma, dirinya sama sekali tidak mekanik. Tubuh pria itu juga cukup ramping. Rambut hijau lembutnya lurus terurai hingga sedikit melebihi bahu. Sorot mata kehijauan orang itu memancarkan aura ramah tanpa kepalsuan, tidak seperti si busuk Raziel. Ada juga enam sayap putih besar di punggungnya, sama seperti para Archangel.
Tetapi, ada satu objek yang meyakinkanku bahwa dia bukan makhluk sembarangan.
Cincin emas holografik yang mengambang di kepalanya. Sama persis dengan yang ada di kepala Biblos.
Artinya, dia adalah…
“Raphael?!”
Itulah nama yang dilontarkan cukup keras oleh Plasma dan Biblos.
============================
Spoiler untuk Trivia :
- Ini kayaknya ketinggalan: Longinus, menurut tradisi gereja, adalah nama prajurit Romawi yang menombak lambung Yesus ketika Dia disalib.
Kata-kata Erato diambil dari ayat yang pasti dibacakan dalam pemberkatan nikah di gereja: Matius 19:6b, Markus 10:9...apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh dipisahkan...
Therefore what God has joined together, let not man separate.
Last edited by LunarCrusade; 08-02-14 at 09:43.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk Tehillim 48 :
=========================================
Tehillim 48: Guest from Heaven ~ Messenger of Life
=========================================
Nuachiel segera melesat ke arah Deshiel yang melangkah kemari, kemudian memeluk sang Mother Nature itu erat-erat. Meraung, dia menyebut ‘Mama Deshiel’ berulang-ulang.
“A-Aku sempat dengar kabar kalau Mama… m-mengalami hal buruk, dan---”
Deshiel membelai Archangel kecil itu. “Sudah tidak apa-apa, sayangku. Sudah tidak apa-apa.”
Bahkan Raqia tak dapat menahan haru. Tetes demi tetes mulai jatuh dari matanya.
“Selamat datang kembali, Mama Deshiel,” ucapnya. Diapun ikut memeluk wanita berparas lembut itu.
“Sepertinya mereka sayang sekali terhadapmu,” kata pria yang disebut ‘Raphael’ itu pada Deshiel.
Archangel ketiga itu mengangguk beberapa kali. “Sejak kejadian itu, pastilah mereka khawatir. Apalagi Nuachiel yang tidak melihat sendiri.”
Plasma segera masuk dalam pembicaraan. “Jadi, ada urusan apa kamu kemari, Raphael?”
Pria itu menghela nafas panjang. “Metatron, Metatron. Bicaramu selalu saja begitu. Tidak heran kalau malaikat lain jarang mau mendekatimu.”
Agak sulit kupercaya. Setidaknya, Plasma tidaklah menyeramkan bagiku. Juga bagi Raqia. Diajak bicarapun enak.
“Bukan begitu. Aku hanya heran kenapa bukan Gabriel.”
“Dia agak sibuk. Itulah kenapa aku yang menggantikan.”
“Sandalphon, turun. Jangan membuat malu,” perintah Plasma. Err… ternyata Biblos sudah bersarang di punggung malaikat berambut hijau itu. Digendong, maksudku.
“Tidak mau. Bweee~” ledek Biblos, menjulurkan lidah.
“Jangan sampai kutarik paksa.” Plasma mulai menggeram.
“Masih juga keras terhadap adik sendiri, eh? Sudah, biarkan saja. Sudah lama juga tidak begini,” kata pria itu. Dia dan Biblos nampak sudah akrab.
Plasma menaruh tangan di dahi. “Huh… oke, oke. Sekarang, kembali ke persoalan utama. Untuk apa kamu kemari?”
Raphael dan Deshiel bertatapan sejenak.
“Mengantar Nona cantik ini,” jawab Raphael.
Plasma menyahut, “Kupikir aturannya tidak begitu.”
“Bisa, jika kondisinya darurat.”
“Baiklah, aku paham. Apa ada yang lainnya?”
Aku hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar pembicaraan keduanya.
***
Duduk pada sebuah kursi kayu berhiaskan ukiran-ukiran rumit, Raphael menyeruput tehnya.
“Biar kuperkenalkan diri terlebih dulu, Crusader-Saint,” ujar Raphael. Kemudian ditaruhnya cangkir keramik putih yang dipegangnya.
Sekarang aku sedang duduk berhadap-hadapan dengannya dan Plasma di ruang khusus untuk menyambut tamu. Yang lainnya sedang menuju Mobile Fortress bersama Biblos.
“Namaku Raphael, Heavenly Archangel of Life Force. Aku punya akses pada kehidupan seluruh makhluk di muka Bumi, mulai dari bakteri hingga manusia.”
Kemampuan mengerikan lainnya. Jika Tuhan mengijinkan, mungkin penduduk Bumi akan dibunuh dalam sekejap olehnya.
Tunggu.
“Emm… maaf, Tuan---“
“Bicaralah seperti sedang bicara dengan Metatron,” potong Raphael, “Aku ini hanyalah hamba, sama sepertimu.”
“Oke. Itu berarti kamu melakukan sesuatu pada Deshiel?”
“Tentu saja. Aku yang memasukkan rohnya kembali ke tubuh aslinya.”
“Persisnya, apa yang kamu lakukan?”
“Melakukan manipulasi pada Biophotonic Decoder untuk mengeluarkan rohnya, lalu melakukan yang kukatakan tadi.”
Apa yang dikatakan Raphael berikutnya nyaris membuat teh menyembur dari mulutku.
“Bagaimanapun juga, akulah yang merancang produk Divine Technology yang satu itu.”
“Hah?! Kamu yang...!”
Refleks kutaruh cangkir. Untung saja tidak kubanting menghantam meja hingga pecah.
“Plasma, apa maksud semua ini? Bukankah kamu bilang kalau Divine Technology itu buatan manusia?!”
“Yang memproduksi memang manusia. Namun yang merancang tetaplah kami malaikat surga. Setiap komandan legiun malaikat surga bertanggung jawab atas blueprint produk-produk Divine Technology tertentu. Untuk Spirit Materializer, Biophotonic Decoder, dan Recovery Orbiter, ketiganya dirancang oleh Raphael.”
“Kalau kamu?”
“Paling banyak,” jawab Plasma bangga, “Itu termasuk Chrono Scroll, Chaos Restriction, semua Archangel Core, seluruh senjata mode Heavenly Saint, Artificial Dimensional Storage, DSCM Container, hingga Photonica dan Longinus. Dan juga backup core yang mengamuk sendiri di kampung halamanmu itu. Semua kurancang bersama Biblos.”
“Mobile Fortress?”
Plasma menggeleng. “Itu hasil rancangan Michael, Heavenly Archangel of Divine Leadership. Juga reaktor Divine Energy Golden Arrow dan Anti-Gravity Platform. Untuk sisanya… Field Energizer dan Vecondrius oleh Gabriel, Heavenly Archangel of Majestic Strength. Sementara Celestial Core, Entropic-Thermo Revolver, dan Absolute Zero oleh Uriel, Heavenly Archangel of Infinite Light.”
Sebelum aku bertanya apakah itu Uriel yang sama dengan yang di Ohr-Nisgav atau tidak, Plasma segera melanjutkan.
“Dan dia tentu saja berbeda dengan Uriel yang kamu kenal.”
Mungkin hanya kebetulan namanya sama. Yah, tidak masalah. Toh banyak nama nabi, rasul, ataupun malaikat dalam Kitab Suci yang diberikan orang tua pada anaknya yang baru lahir.
“Wajahmu agak pucat. Perlu energi tambahan supaya segar?” Raphael menawarkan.
“T-Tidak, tidak usah.” Kuteguk sedikit tehku. “Aku hanya sedikit shock saja. Selama ini kupikir Divine Technology adalah seratus persen buatan manusia, hanya saja diberikan Divine Energy oleh Tuhan.”
“Setengahnya benar. Divine Energy-nya memang dari Tuhan, namun hanya kamilah yang mengerti bagaimana memperlakukan Divine Energy itu secara tepat. Itulah kenapa kami yang mendesain segalanya berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah.”
“Tidak kusangka, ternyata para malaikat surga adalah kumpulan jenius…”
“Sebenarnya yang duduk di sebelahku inilah yang paling jenius di antara semua.”
Plasma?!
“Boleh kuceritakan?” tanya Raphael pada Plasma. Senyum lebar tergambar di wajahnya, memperlihatkan jajaran gigi putih bersih.
“Stop. Biar aku saja yang bercerita. Aku tidak mau kamu mengatakan hal-hal lain yang tidak ada hubungannya.”
Kupasang telinga baik-baik.
***
Kerajaan Surga. Tahun, bulan, dan tanggalnya ---bahkan detik--- tidak mungkin diketahui secara dimensi waktu dunia materi.
Aku, Metatron, sedang bekerja di kantor khususku ---segalanya dari emas--- pada suatu area di surga. Yang kulakukan? Mencatat beberapa hal pada Heavenly Scribe. Mencatat perbuatan baik dan buruk manusia, tentu saja.
Sampai akhirnya dia datang. Adikku, Sandalphon. Muncul tiba-tiba tak jauh dari meja kerjaku.
“Kakaaaak…!! Kak Metatrooonnn…!!!!”
“Hmm? Ada apa?”
Melompat-lompat kecil di depan meja, dia menjawab, “Mereka… mereka… mereka mau bertemu kakak!”
Bah, pasti mereka. Aku heran, kenapa mereka tidak pernah datang langsung kemari? Pasti selalu disampaikan melalui adikku.
“Mau apa lagi mereka…”
Menarik-narik lenganku, Sandalphon memaksa, “Sudaaah…! Ikut saja…!!”
“Baiklah… tapi jangan lama-lama.”
Dia menggenggam erat tanganku. Tiba-tiba saja aku tak lagi berada di dalam ruang kantor. Sekelilingku telah berubah menjadi bangunan-bangunan emas dan jalanan permata.
Tak jauh di depan nampak kerumunan. Seseorang di kanan… oh, jelas sekali itu Tuhan. Sementara di kiri ada beberapa malaikat. Para petinggi.
“Ayo kaaakk!!” Sandalphon kembali menarik tanganku.
Ketika aku mendekat, kudengar Tuhan berkata “…ingin kalian lakukan?”
Belum sempat kerumunan malaikat itu merespon apa-apa, salah satunya menengok dan memanggilku.
“Hei! Itu dia Metatron!”
Serempak seluruh mata berpaling padaku. Wajah mereka nampak penuh harap.
Aku dan Sandalphon pun membungkuk sedalam-dalamnya pada Tuhan. “Hormat bagi Raja Segala Raja, Tuhan Semesta Alam.”
“Angkat kepala kalian,” jawab-Nya lembut.
“Terima kasih banyak, Yang Mahatinggi.”
Ketika kutegakkan kepala, salah satu dari malaikat itu maju dan menepuk bahuku. Dia adalah Michael, Heavenly Archangel of Divine Leadership. Kali ini dia sedang mengenakan setelan jas putih, lengkap dengan dasi merah serta sepatu hitam.
“Hei Metatron, tolong mintalah pada Tuhan supaya permintaanku dan teman-teman dikabulkan,” bisiknya. Cahaya rambut pendek keemasannya sedikit menyilaukan kalau terlalu dekat begini…
“Lantas kenapa harus ragu? Bukankah Tuhan pasti sudah tahu sebelum kamu katakan? Tinggal meminta ijin saja, kan?”
Aku hanya bisa memandang kebingungan ke arah Tuhan dan para malaikat itu berganti-gantian. Tetapi… Tuhan nampak kurang senang. Mungkin permintaan mereka terbilang cari gara-gara.
“Oh ayolah, sobat. Tidak ada satupun dari kami yang berani.” Matanya yang bagai nyala api biru itu berubah memelas.
Aku merasa ada yang tidak beres. Tapi baiklah, akan kutanyakan.
Menghela nafas panjang, kemudian aku bertanya pada Tuhan, “Engkau pasti sudah tahu apa yang menjadi permintaan mereka.”
Jawaban Tuhan? Mengangguk tegas, sedikit menggeram.
“Jadi… apa permintaan teman-temanku itu?”
“Mereka. Ingin. Membuat. Benda-benda. Seperti. Manusia. Mereka ingin teknologi!”
Surga agak bergetar kali ini. Oke, ini memang agak keterlaluan.
“Kalian sudah gila?!” teriakku pada kumpulan malaikat itu, “Di sini kalian hidup enak dan punya kekuatan sendiri-sendiri sehingga tidak butuh segala sesuatu dari alam materi. Tidak ada yang susah, tidak ada yang miskin, dan tidak ada yang sakit. Bahkan Tuhan dengan senang hati terus memakai kalian! Dan sekarang kalian ingin mengambil teknologi manusia juga? Masih untung kalian tidak dibuang dari hadapan-Nya seperti Heilel!”
“Kami tidak akan mengambil!” seru Michael.
“Lantas apa namanya kalau bukan mengambil?”
“Kami hanya ingin… menduplikasinya saja. Dan mungkin membuat sesuatu yang baru dengan kemampuan kami sendiri…”
“Tujuannya?”
“Kami---“
“Iri?”
Bingo. Semua terdiam.
“Itu… ada benarnya,” jawab Michael lemah.
“Jadi kalian benar-benar ingin dibuang? Iri hati adalah akar dari banyak dosa!”
“Tentu saja tidak! Metatron, coba kamu lihat baik-baik manusia-manusia itu!”
Sebagian baik, sebagian brengsek. Berbahaya jika kebiasaan brengsek mereka menular pada malaikat-malaikat lain.
“Seburuk apapun mereka, sejahat apapun mereka… tetap saja Tuhan mengasihi mereka!”
“Kamu mulai meragukan kasih-Ku atas manusia?!” tanya Tuhan, suaranya agak naik.
“T-Tidak... b-bukan begitu maksud saya.”
Michael mulai gelagapan. Sebenarnya kurang cocok bagi malaikat yang posturnya tinggi besar ---nyaris sama denganku--- untuk bersikap demikian.
“Lebih tepatnya… kami iri sekaligus marah. Bagaimana tidak? Mereka dikasihi, juga diberikan akal budi yang melampaui segala makhluk hidup. Kurang apa lagi coba? Tapi banyak di antara mereka yang tidak tahu terima kasih! Kecerdasan mereka malah digunakan sebagai alat untuk menghancurkan atas dasar dendam dan ketamakan! Kemajuan teknologi yang mereka raih bukannya untuk kemuliaan Tuhan yang telah menciptakan mereka…” ujar Michael sambil menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan.
Kali ini bibirku terkunci. Kata-kata itu ada benarnya. Hmm… bukan. Bukan ‘ada benarnya’, namun ‘tepat sekali’.
Menghela nafas panjang, kemudian Tuhan berkata, “Oke, sebenarnya Aku hanya menunggumu mengatakan hal itu. Ijin Kuberikan.”
Senyum mengembang lebar pada masing-masing wajah para malaikat itu.
“Tapi! Tetap ada beberapa syarat.”
“Katakan, Tuhan. Katakan,” jawab Michael semangat.
“Aku berhak menghentikan dan mengintervensi apapun yang kalian lakukan.”
“Baik, akan kami patuhi.” Michael membungkuk.
“Kalian juga HARUS memberikan apapun yang kalian buat pada orang yang Kutunjuk jika ingin melakukan uji coba.”
“Tentu---“
“Dan pastilah manusia. Bisa satu, bisa lebih.”
Michael langsung membeku.
“Tenang saja, yang Kupilih pastilah tidak akan memanfaatkannya secara sembarangan. Juga akan Kuminta pertanggungjawaban penuh.”
Tidak ada jawaban.
“So… deal, or no deal?” Tuhan mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman.
Ragu sejenak, Michael balas menjabat tangan Tuhan. “Deal.”
“Good. Sekarang perbuatlah apa yang ingin kalian lakukan. Dan… Metatron, ikut dengan-Ku sebentar. Kamu juga, Sandalphon.”
Baru saja Tuhan maju 3 langkah, dia melemparkan sebuah kubus pada Michael.
“Itu hadiah dari-Ku. Gunakan untuk teknologi yang akan kalian ciptakan.”
Michael menangkapnya. Tanpa mengatakan apapun setelahnya, Tuhan kembali berjalan.
Selagi mengikuti langkah Tuhan dari belakang, timbul sesuatu dalam hatiku. Perasaan yang tidak mengenakkan…
Ya, aku yakin para iblis itu akan bergerak jika teknologi itu sudah diturunkan ke Bumi.
***
“Dan sejak itulah aku dipilih sebagai head researcher.”
Wow. Itu artinya Plasma adalah salah satu malaikat yang disegani di surga.
“Tentang para iblis…” ujar Raphael. Meneguk teh, kemudian dia melanjutkan, “…sepertinya ada satu yang sedang aktif di luar empat vektor dimensi ruang-waktu alam materi, eh?”
“Kamu benar,” Plasma mengiyakan, “Mephistopheles. Iblis yang memberikan pengetahuan apapun pada manusia dengan bayaran roh orang-orang yang meminta.”
“Cuma dia? Kupikir ***** kelas kakap, ternyata hanya teri.” responnya remeh, “Aku sempat khawatir jika itu adalah Heilel, Ashmedai, atau Baal-Zebub. Mammon dan Baal-Peor juga sangat berbahaya.”
“Tapi jika iblis teri itu merasuki mantan pemegang Archangel Core nomor dua, segalanya jadi berbeda. Apalagi kecerdasannya melebihi mereka-mereka yang kamu sebut.”
Malaikat berambut hijau itu memandang langit-langit. “Hmm… begitu.”
“Ada sesuatu yang kamu tahu?”
“Tidak. Aku hanya berpikiran kalau pastilah ada seseorang yang memanggilnya. Dia bukan iblis yang senang keluar rumah, kecuali dipancing sebuah permintaan diwarnai keputusasaan.”
“Siapapun itu tidaklah penting. Yang jelas iblis itu harus segera dilempar kembali ke tempatnya di neraka.”
“Ya, kamu benar. Tapi…”
“Tapi?”
“Sayangnya aku dan kawan-kawan dilarang membantu kali ini.”
“Mandat langsung dari Tuhan?”
“Of course, comrade. Kalianlah yang harus membereskannya. Apa yang ada pada kalian sudah cukup.”
Plasma menarik nafas panjang, kemudian melipat kedua tangan di depan dada. “Jadi tujuanmu kemari hanya untuk Deshiel?”
“Yap, benar. Sekali lagi, itu mandat langsung dari Tuhan. Aku yakin Dia mampu melakukannya, tapi Dia ingin memakaiku kali ini.”
Plasma hanya mengangguk-angguk. “Oke, aku mengerti. Aku hanya ingin bertanya satu hal lagi.”
“Katakan.”
“Bagaimana Unified Data Storage di surga sana?”
“Baik. Kondisinya normal. Seluruh data layer membuka pada tahap-tahap yang benar. Tinggal satu saja yang belum terbuka.”
“Layer terakhir?”
“That’s it. Entah bagaimana cara membukanya, aku sendiri tidak tahu. Dan kali ini Tuhan tidak bersedia memberitahu.”
“Tunggu tunggu tunggu.”
Akupun menyelak setelah hanya bisa terbengong-bengong mendengar percakapan kedua makhluk surga itu.
Penyimpanan data ilahi itu sangat mengganggu pikiranku sejak dulu. Selagi salah satu malaikat yang dapat mengaksesnya dari dekat sedang ada di sini, sebaiknya kutanyakan saja.
“Masalah Unified Data Storage itu… sebenarnya apa saja isinya?”
Raphael menjawab, “Fitur-fitur tubuh mekanik Metatron dan program-program Sandalphon. Juga ingatan.”
“Ingatan?”
“Ya, ingatan. Memori. Apa kamu merasa makin mudah mengingat hal-hal dari masa lalu seiring berjalannya waktu?”
“Bisa kukatakan demikian. Setidaknya aku tidak pernah sakit kepala lagi jika ada ingatan masa lalu yang muncul di dalam sini.” Kusentuh pelipisku.
“Bagus. Itu berarti tidak ada masalah dengan penyimpanan data di surga sana, begitu pula alirannya ke otakmu. Tapi perlu kuberitahu satu hal, Crusader-Saint.”
Aku makin fokus pada kata-katanya. Tubuhku agak condong ke depan, ke arahnya.
“Aku tak tahu apa yang kamu masukkan ke layer terakhir, tapi banyak data yang… aneh.”
“Aneh apanya?”
“Ada yang tidak klop dengan apa yang ada di Bumi.”
“Isinya tentang apa?”
“Tidak ada yang bisa membaca datanya. Kami hanya bisa melakukan scanning dari luar dan mencocokkan hubungan antara data di situ dengan apa yang ada, ataupun pernah ada di Bumi. Yang jelas, itu adalah keanehan.”
Giliran Plasma bertanya, “Mungkin data-data sampah yang tidak sengaja masuk?”
Raphael menggeleng. “Akses data layer terakhir hanya dimiliki oleh Crusader-Saint. Kamupun mustahil memasukkan apapun ke dalamnya. Artinya, Crusader-Saint yang menyimpan semua itu secara sengaja.”
“Hmm… mungkin isinya amat sangat penting,” gumam Plasma sambil menyentuh dagu.
“Logikanya begitu. Bahkan dapat kukatakan kalau tidak ada satupun data fitur tubuh mekanikmu di data layer terakhir. Semua yang ada pada daftar fiturmu tidak ada lagi yang terkunci.”
“Semua sudah bisa kuakses?”
“Sure, comrade. Tinggal dipanggil saja.”
Kembali Raphael menyeruput tehnya. Kali ini hingga habis.
Sambil meletakkan cangkir, dia berkata, “Baiklah, sepertinya aku harus kembali.”
Kutanya, “Tidak menginap dulu sementara?”
“Sayangnya tidak mungkin, Crusader-Saint. Aku ditakdirkan untuk muncul dalam satu chapter saja, seandainya kisah hidupmu ditulis menjadi sebuah cerita.”
Ah, sayang sekali. Padahal aku masih punya pertanyaan-pertanyaan lain. Tapi kalau ini sudah kehendak-Nya, aku bisa bilang apa lagi? Lagipula jika benar apa katanya tadi, yang harus kulakukan adalah memanfaatkan segala sesuatu yang kumiliki saat ini secara maksimal.
Diapun berdiri. “Jadi, di mana dapurnya?”
“Dapur? Kukira kamu akan pulang?” tanya Plasma heran.
“Aku ingin minta daun tehnya. Tidak mungkin kulewatkan begitu saja kombinasi sempurna antara ciptaan Tuhan dan kreativitas manusia dalam cangkir tadi. Benar-benar nikmat.”
Plasma tertawa sejenak. “Masih saja menghargai tinggi budaya manusia, eh?” ledeknya.
Plasmapun berdiri, lalu keluar bersama Raphael. Menuju dapur, pastinya.
Namun masih ada satu hal yang masih membuatku penasaran.
Apa yang Plasma khawatirkan, sehingga dia menawarkan diri untuk bercerita…?
===============================
Spoiler untuk Trivia :
Kita maen *****"an di sini
- Heilel (Hebrew)/Lucifer (Latin) = shining one/morning star. Nama leader of fallen angel yang sudah sangat terkenal. Nama Heilel/Helel/Heylel muncul pertama kali dalam Yesaya 14:12. (NKJV | NIV)
- Ashmedai (Hebrew)/Asmodeus (Latinized Greek) adalah nama iblis yang menjadi antagonis utama dalam salah satu kitab deuterokanonik, Tobit. Iblis yang berkuasa atas nafsu seksual.
- Baal-Zebub (Hebrew)/Beelzebub (Greek) = lord of the flies. Aslinya adalah nama dewa di kota Ekron (sekarang di Tel Miqne, Israel), yang kemudian disebut dalam Alkitab Perjanjian Baru sebagai nama iblis.
- Mammon (Latin)/Mammonas (Greek) adalah personifikasi kekayaan materi yang disebut dalam beberapa ayat di Perjanjian Baru (salah satunya Matius 6:24).
- Baal-Peor (Hebrew)/Beelphegor (Greek)/Belphegor (Latinized) = lord of the gap. Adalah nama dewa yang sempat disembah sebagian orang Israel dalam Bilangan 25:1-28.
Sekarang di-purify
- Uriel (W | JE) (etimologi sudah ada di sini) adalah nama malaikat yang disebut-sebut dalam kitab Henokh dan beberapa kitab apokrif. Disebut sebagai malaikat api.
- Raphael (W | JE) (Hebrew - lit. God heals) adalah nama malaikat yang disebut dalam kitab deuterokanonik, Tobit 12:15, sebagai "one of the seven, who stand before the Lord". Juga cukup sering disebut dalam Jewish mysticism.
- Gabriel (W | JE) (Hebrew - lit. man of God/God is my strength) adalah salah satu malaikat yang disebut namanya dalam kitab Daniel, yang menyampaikan berita pada Zakharia tentang kelahiran Yohanes Pembaptis, juga pada Maria tentang kelahiran Yesus.
- Michael (W | JE) (Hebrew - lit. Who is like God?) adalah nama malaikat yang disebut sebagai pelindung Israel di akhir zaman dalam kitab Daniel, juga pimpinan malaikat surga dalam peperangan melawan iblis di kitab Wahyu.
Last edited by LunarCrusade; 11-02-14 at 15:58.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk Tehillim 49 :
=========================================
Tehillim 49: Enter the Cemetery ~ Skylight Surprise
=========================================
“Jadi dia cuma ingin aku tidak salah paham…”
Aku masih terpikir jawaban Plasma tadi pagi, ketika kukatakan rasa penasaranku. Anehnya, dia sempat terdiam cukup lama sebelum menjawab.
“Aku khawatir pemikiran alamiahmu sebagai manusia akan menerjemahkannya sebagai hal yang tidak-tidak.”
“Jadi kamu mengira diriku akan berpikir mesum tentangmu? Yang benar saja… Kamu berpikir terlalu jauh.”
“Ya… begitulah,” jawab Plasma lesu.
“Tapi kamu juga sempat menggendong Biblos dan Tenebria sekaligus, kan? Kalau begitu, kenapa khawatir?”
“Justru karena bersamaan dengan Nona Tenebria itulah aku tidak merasa khawatir. Orang kebanyakan akan menganggap kalau aku berlaku sama terhadap keduanya.”
Sebenarnya Plasma tidak pernah berkeberatan jika Biblos selalu menempel padanya, berbeda dengan yang seringkali kulihat. Bahkan Plasmalah yang lebih sering mengambil inisiatif untuk mengambil waktu untuk berdua saja dengan Biblos. Contohnya, sekedar duduk-duduk di taman surga sambil mendekapnya ataupun berjalan-jalan sambil menggendongnya di punggung. Di surga sana dia juga jarang melancarkan tinju ke kepala Biblos, kecuali kelakuannya dirasa amat sangat berlebihan.
Ketika Tuhan mengajak keduanya bicara pun, Plasma mendengarkan sambil memangku dan membelai adik kesayangannya itu. Hal inilah yang tidak boleh diketahui olehku hari itu, mengetahui sifat seluruh malaikat surga ---tidak hanya Raphael--- yang selalu berkata apa adanya.
“Jadi… jangan menyebutku mengidap sister complex atau semacamnya. Tuhan hanya ingin melihat simulasi kasih sayang antar kakak-adik di surga.”
Tawaku meledak hebat sesudahnya, bahkan hingga berguling-guling di lantai. Perutku sampai pegal-pegal untuk beberapa lama. Ternyata Plasma punya sisi lucunya tersendiri. Hehehe…
***
“Papa kenapa senyum-senyum sendiriii~?”
Nuachiel ---tanpa keenam sayap--- menarik-narik kedua pipiku. Sekarang dia sedang berada di punggungku. Digendong. Kali ini Longinus ditinggal di istana, karena Nuachiel ingin berdua saja denganku.
“Tidak apa-apa. Aku--- maksudku, Papa cuma teringat sesuatu yang lucu.”
Sepertinya aku harus mulai membiasakan diri menempatkan diriku sebagai seorang ayah di depan Nuachiel.
Namun… entah kenapa, segalanya terasa cukup mudah. Hanya butuh seharian penuh berinteraksi dengannya kemarin, dan pagi menjelang siang ini aku sudah merasa nyaman menggendongnya di jalanan Shamayim. Mungkin ini dapat dikategorikan sebagai ‘alam bawah sadar’ yang sempat disinggung Plasma. Meski aku belum pernah memiliki seorang anak, tetapi Nuachiel…
…dia dapat membangkitkan naluri seorang ayah dalam diriku.
Hei, tapi kalau begini artinya aku punya 2 anak angkat! Bukankah Kanaphiel juga menganggapku demikian?
“Sekarang Papa malah bengong…”
Kudorong sudut-sudut bibirku ke atas. “Maaf, maaf. Oh ya, kamu tidak keberatan kan jika punya seorang kakak?”
“Mmm! Tentu saja tidak,” jawabnya riang, “Memangnya siapa yang Papa maksud? Apa Papa punya anak adopsi lain yang lebih tua dariku?”
“Kanaphiel.”
“Ooo! Kana onee-san ya?”
Aku sempat mengernyitkan dahi mendegar bahasa Chalal itu. Juga cara memanggil yang sama dengan yang Raqia lakukan.
Sejak penemuan Mobile Fortress 2 hari lalu, secara tak sadar aku makin sensitif akan nama dan panggilan khusus. Ini semua karena pernyataan Plasma tentang alam bawah sadar dan reaksi Raqia saat itu. Tapi… sebaiknya kusimpan saja dalam pikiran untuk sekarang.
“Kalau dia sih tidak masalah. Dulu aku juga sering bermain dengannya kok.”
“Begitukah? Berarti sejak dulu kalian sudah dekat ya?”
“Ooo jelas… Malah bisa kukatakan dia sudah jadi kakakku sejak lama. Yah, tapi sayang sekali dia kurang mampu mengontrol emosi.”
“Kurang mampu bagaimana?”
Pertanyaanku hanya pancingan. Sebenarnya aku tahu apa yang akan dikatakan Nuachiel. Tapi ini sangatlah penting, karena aku juga harus mendengar melalui sudut pandangnya.
“Itu… senjata yang di luar angkasa itu… Papa tahu kan?”
"Ya, Papa tahu."
Dia mulai menceritakan kejadian tersebut. Ya, insiden Golden Arrow.
Ketika hari penembakan, lebih dari 2000 tahun yang lalu, Nuachiel sedang berada di Golden Arrow untuk mengantarkan makanan bagi Kanaphiel. Sementara aku sendiri sedang di Bulan. Entah untuk urusan apa, Nuachiel mengaku tidak ingat betul. Berhubung dia ---menurut pengakuannya--- adalah anak yang sangat penurut, tidak hiperaktif, dan tidak suka iseng menekan tombol-tombol, maka soal mengantar makanan tidaklah menjadi masalah bagi orang-orang yang bekerja di Golden Arrow saat itu. Ditambah statusnya sebagai anak angkatku, tidak ada satupun penduduk Silvermoon Empire yang berani macam-macam terhadapnya.
“Aku hampir tiba di ruangan tempat Kana onee-san berada ketika senjata raksasa itu bergetar hebat. Tembakan pertama. Padahal dia bilang hanya ingin melihat-lihat ruang komando Golden Arrow.”
Kepanikan pun melanda seluruh penghuni wahana antariksa milik Silvermoon Empire tersebut, tak terkecuali Nuachiel. Beberapa saat berlalu, tembakan kedua dilancarkan. Nuachiel sudah berhasil mencapai pintu ruang komando.
“Sebenarnya waktu itu ramai sekali, karena banyak orang berusaha mendobrak pintu yang dikunci dari dalam. Mereka juga berusaha mengusirku karena kondisi darurat. Tapi…”
Dia terdiam.
“Hei, ada apa?”
“Papa jangan marah ya?”
“Iya, iya.”
“…aku memaksa untuk diperbolehkan menemui Kana onee-san. Tentu saja sambil setengah mengancam kalau mereka akan kulaporkan pada Papa jika tetap melarangku. Ehehehe…”
Bah. Ternyata dia memanfaatkan kekuasaanku untuk kepentingannya sendiri!
“Kok Papa jadi cemberut begitu…” ujarnya lesu.
Kuhela nafas panjang. “Ya sudahlah, itu sudah lama berlalu. Lagipula Papa sendiri tidak ingat. Lalu, apa yang terjadi setelahnya?”
“Pintunya berhasil didobrak. Aku segera melompat menghampiri Kana onee-san mendahului yang lain.”
Di bawah gravitasi nol, pasti siapapun bisa melakukan lompatan jauh dengan mudah.
“Sayang sekali… telunjuknya sudah kembali menekan tombol penembak tepat ketika kuraih tangannya. Itu tembakan ketiga. Pada layar di depan Kana onee-san, aku melihat beberapa gambar permukaan tanah yang sudah hangus… sesekali ada jasad-jasad manusia. Akupun meraung dan memukul-mukul Kana onee-san. ‘Kenapa onee-san jahat sekali?!’ Kuteriakkan itu berkali-kali.”
Tiba-tiba kurasakan titik-titik air membasahi leher. Kukira itu tetesan hujan, tetapi sepertinya mustahil karena langitnya terlalu cerah untuk dikatakan mendung.
Kudengar suara kecilnya, terisak.
Setengah menengok ke belakang, aku bertanya, “Nana…-chan?”
Tertawa kecil, kemudian dia menjawab, “Kalau mengingat saat itu lagi, rasanya ngeri sekali…”
Tetes demi tetes masih terasa.
“Tapi yang paling mengesalkan bagiku adalah… aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kalau saja aku tiba lebih cepat, mungkin… mungkin… Ah, aku memang tidak berguna.”
“Jangan bicara begi---“
“Tidak, Pa. Itu benar. Aku memang… lebih sering menyusahkan. Yang bisa kulakukan cuma menangis setelah semuanya terlambat. Ketika perang pun, aku lebih sering berada di kamar atas perintah Papa tanpa bisa, setidaknya, menyemangati Papa. Ikut bertempur juga dilarang keras. Papa bilang aku masih terlalu muda, tanganku tidak boleh kotor oleh darah.”
Aku… jadi merasa bersalah. Kenapa aku tidak menitipkannya pada seseorang yang bisa kupercaya di daerah yang tak terjangkau peperangan? Aku yakin Nuachiel selalu ikut denganku saat itu, namun terus berada di Mobile Fortress hingga aku kembali dari medan perang. Buktinya, dia dapat mengingat benda raksasa itu tak lama setelah masuk.
“Aku… aku jadi malu terhadap Oma. Padahal dia berpesan supaya aku tidak menyusahkan, malah kalau bisa harus membantu apapun yang Papa minta…”
Aku tak tahan lagi. Aku bergeser ke tepi jalan dan menghentikan langkah.
“Papa…? Kenapa berhenti?”
“Tolong turun sebentar.”
Dia melakukan tepat seperti yang kukatakan. Akupun berlutut…
…dan…
Kudekap dirinya.
“P-P-Papa?”
Aku berkata lembut, “Maaf, Nana-chan. Maafkan Papamu ini karena sudah membuatmu mengalami masa-masa sulit.”
Otakku memang terasa kosong, tetapi hatiku terus bergejolak. Aku tahu ini adalah rasa bersalah. Aku yakin dia tidak sempat mengalami hal-hal menyenangkan seperti anak-anak lain. Mungkin dia tidak pernah punya teman sebaya kala itu. Ditambah lagi… dia harus melihat kematian demi kematian di usia yang begitu muda.
“Papa… sudah gagal.”
Dia menggeleng di dadaku.
Maka kutatap wajahnya, mata ungunya yang cerah.
“Kamu tidak…?”
Sekali lagi kepalanya mengisyaratkan ketidaksetujuan.
“Aku tidak pernah marah,” jawabnya sambil menyentuh pipiku. “Papa tahu? Papa adalah orang tua terrr…baik di seluruh Bumi. Juga Bulan. Lagipula aku dikelilingi orang-orang yang selalu menyayangiku.”
“Tapi… bukankah kamu sering melihat kematian saat itu?”
“Aku tidak pernah bermasalah dengan itu,” jawabnya polos.
Bibirku sedikit membuka. Aku tercengang. Dia tidak pernah bermasalah dengan kematian?
“Karena sebelum perang aku juga sudah mengerti tentang kematian. Mungkin… hanya itulah satu-satunya hal yang kumengerti jauh melebihi anak-anak lain seusiaku.”
Senyumnya mengembang, secerah matahari siang ini.
“Ketika Oma meninggal, aku tidak menangis sama sekali.”
Wajahnya maju, terus… hingga bibirnya menghampiri pipi kiriku. Mengecupnya singkat. Aku tidak merasakan perasaan seperti ketika Raqia menciumku. Berbeda, sangat berbeda.
“Dan sekarang kita tidak boleh membiarkan Oma menunggu.”
***
Di depan area pekuburan, Nuachiel melompat turun dari gendonganku. Pagi tadi, dia mengatakan ingin mengunjungi tempat ini bersamaku. Ingin melayat, katanya. Sudah lebih dari 400 tahun dia tidak mengunjungi makam neneknya. Nuachiel juga mengatakan kalau neneknya pernah mengenalku. Karena itulah tak mungkin kulewatkan kesempatan ini, siapa tahu aku teringat sesuatu ketika melihat makamnya.
Kamipun melangkah masuk melalui gerbang besi, gerbang utamanya.
Kata “menyeramkan” sama sekali tidak cocok diberikan bagi salah satu lahan peristirahatan terakhir di Shamayim ini. Petak demi petak kubur tersusun rapi berjajar. Batu-batu nisan masih berdiri tegak tanpa ada sedikitpun lumut menutupi. Hamparan hijau cerah membentang layaknya permadani. Pohon-pohon pinus yang berjajar di tepi halaman pekuburan nampak seragam, jauh dari kesan angker.
Namun, jauh di belakang sana ada sebuah pohon yang bentuk dan ukurannya berbeda sendiri. Jauh lebih besar, jauh lebih lebat.
Di kanan depan, aku melihat seorang wanita bersayap dan berambut hitam yang dikuncir. Ketika kulewati sisi kirinya dari jauh, ternyata itu adalah Clio, berpakaian santai. Dia berdiri tepat berhadap-hadapan dengan sebuah nisan.
“Ternyata Clio juga ke sini,” komentar Nuachiel.
“Boleh kita ke sana dahulu?”
“Aku baru saja mau bilang itu.”
Kamipun saling melempar senyum.
“Yo, Clio,” sapaku ketika aku sudah tak jauh lagi darinya.
“Da’ath? Yang Mulia Nuachiel?”
Khusus Clio, dia selalu memanggilku Da’ath tanpa harus kusuruh.
“Melayat juga?” tanyaku.
“Mmm. Ayahku. Aku jadi ingin mengunjunginya setelah menonton kejadian masa lalu itu.”
Baik aku maupun Nuachiel sama-sama tidak bisa mengatakan apapun. Maka kubiarkan Clio meneruskan.
“Bagaimana dengan Anda berdua?”
“Ke Oma-ku sebentar, lalu ke rumah Papa.”
“Rumah?” tanya Clio heran, “Da’ath, kamu punya rumah di sini?”
“Ya, diberikan Raqia ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Tapi setelah mengetahui tanda-tanda Crusader-Saint ada padaku, maka kamipun melakukan perjalanan keliling dunia untuk memastikannya. Setelah ini, aku dan Nana-chan akan mengambil beberapa barang yang kutinggal di sana.”
“Biar aku bantu juga nanti. Bagaimana?”
Ah, kalau dia sudah tersenyum seperti itu, menolak pun sulit.
Kuterima tawarannya, kemudian Clio mohon diri untuk menunggu di depan gerbang.
***
“Jadi… yang mana nisan Oma-mu itu?”
“Nisan? Dia tidak punya nisan kok, Pa.”
Jangan bilang pohon besar yang di depan itu…
“Di sinilah dia tertidur,” kata Nuachiel ketika kami sudah berdiri di depan pohon itu.
Ternyata benar. Dari awal, aku sudah curiga kalau pohon itu adalah entitas yang spesial.
Aku mendongak. Melihat cabang-cabang yang besar. Memandang ranting-ranting yang menyebar. Mengamati daun-daun yang rimbun. Sebuah “Wow” terlontar dari mulutku secara tak sengaja.
Sebentar.
Aku… aku tahu tempat ini.
Kupejamkan mata. Perlahan, siluet peristiwa masa lalu muncul samar-samar dalam khayalku.
……
Plasma ada di depanku, memegang sekop. Menggali, terus menggali. Liang lahat berbentuk persegi panjang akhirnya terpahat di permukaan tanah.
Peti mati. Plasma mengangkatnya bersamaku. Kami menurunkannya perlahan hingga dasar.
Kulihat juga Nuachiel, lebih mungil dibanding yang sekarang. Dia berdiri di tepi. Rambutnya… hitam, bukan perak. Juga jauh lebih panjang dan dikuncir.
Dia terus menatap peti. Tak ada setetespun air mata. Ketika Plasma mengambil satu sekop tanah ke dalam lubang, Nuachiel tersenyum. Senyum manis, senyuman cerah. Dia… sepertinya sudah bisa merelakan. Bukan, bukan merelakan. Lebih tepat kalau kukatakan Nuachiel mengantar kepergian neneknya dengan bangga dan bahagia.
Biblos ada di samping kiri Nuachiel, memeluk. Bahkan wajah malaikat kecil itu tidaklah ceria.
Tanah menutup sempurna. Belum, belum. Masih ada sedikit lubang. Aku mengambil… bibit pohon. Pohon yang masih kecil, batangnya pun hijau. Kutanam di lubang itu.
Tunggu.
TUNGGU! Jangan lenyap dulu!
Tuhan, kumohon! Aku… aku masih ingin melihat semuanya! Masih ada sosok lain di sana!
……
“Papa…!! Papa!!!!”
Seketika mataku terbuka. Teriakan Nuachiel mengembalikanku ke alam sadar. Nafasku tersengal, berat. Peluh mengalir deras.
“Papa tidak apa-apa?!”
Kutarik nafas beberapa kali, lalu kujawab, “T-T-Tidak apa-apa, Nana-chan. Tidak apa-apa.”
Tidak ada sedikitpun rasa nyeri di kepalaku, namun hatiku dilanda sesuatu. Ketakutan? Sepertinya bukan. Ini mirip ketika aku kehilangan suatu benda. Ya, ada yang hilang. Dan aku merasa hal itu adalah amat sangat penting.
Ugh, kakiku terasa lemas. Lebih baik aku duduk bersandar pada pohon ini.
“Ini, Pa.” Nuachiel menyodorkan sebotol air padaku yang dibawanya sejak dari istana, kemudian duduk di sisi kananku.
Kuterima botol itu. “Terima kasih ya.”
Teguk demi teguk air perlahan menenangkan diriku.
“Papa… tadi kenapa?” tanyanya lemah.
“Hanya teringat sesuatu. Kamu benar, Papa sudah mengenal Oma-mu sejak lama. Bahkan Papa ikut menguburkannya.”
Yang menjawab hanya peluknya, melingkari lenganku.
Beberapa saat lamanya, yang terdengar hanya daun-daun yang bergesekan dibelai angin. Sesekali alunan musik para burung dan tonggeret menghampiri telingaku. Detik demi detik berlalu bersama ketenangan.
Maka timbul pertanyaan dalam diriku.
“Apakah kematian akan datang dengan damai padaku?”
***
“Jadi ini rumahmu?” tanya Clio.
Kami bertiga sudah tiba di depan rumahku, kira-kira 2 kilometer dari pekuburan tadi. Untung saja permukaan tanah Shamayim membantuku bergerak lebih cepat. Terbang mengambang, tentunya. Plasma sempat memberitahuku kalau hal itu disebabkan ‘akar’ yang disebar Mobile Fortress ke seluruh penjuru kota. Tapi karena Plasma ingin segera memeriksanya tadi malam ---aku juga sudah mengantuk---, aku tak sempat mendengarkan penjelasan detailnya.
Rumah biasa, tidak ada yang spesial. Dua lantai. Pintu dan kusen kayu, beberapa jendela, genteng tanah liat, plus cerobong asap.
“Tapi kenapa Raqia memberikan rumah ini untukku seorang…? Padahal menurutku masih bisa dihuni delapan sembilan orang.”
Clio menjawab, “Itu sudah sistem yang berlaku di Shamayim. Kamu harus berbagi rumah itu pada siapapun yang ingin tinggal di kota ini di waktu-waktu ke depan. Perlu kamu ketahui, banyak rumah di kota ini bisa dihuni dua atau tiga keluarga. Yang lebih besar malah bisa menampung hingga lima keluarga.”
“Hmm… begitu rupanya. Tapi aku waktu itu datang sendiri. Kenapa dia tidak memberiku rumah yang sudah terisi?”
Kali ini Nuachiel menyahut, “Dia sudah merencanakan agar Papa berkeluarga cepat-cepat.”
“Haaahh…?!” Mulutku menganga lebar kali ini.
“Coba Papa pikirkan. Rumah sebesar ini hanya dihuni olehmu, lalu nanti Papa harus berbagi pada orang-orang lain yang mau tinggal. Bagaimana jika di saat itu Papa berbagi pada satu dua keluarga, sementara Papa belum berumah tangga? Pasti ada rasa tidak enak kan pada mereka? Itulah kenapa Papa dimasukkan menjadi penghuni pertama. Kalau tidak salah, semua pria yang masih sendiri di kota ini juga diperlakukan demikian. Dengan begitu, siapapun pria yang belum menikah dapat ditelusuri dengan cepat. Malah akan dibantu dicarikan jodoh juga, meski dilarang keras untuk tinggal berdua.”
Huh… Raqia, Raqia. Sampai hal begitu pun kamu perhatikan? Tidak heran kalau orang-orang betah tinggal di sini!
Sebentar. Jangan-jangan Raqia sudah menargetkan diriku sejak awal bertemu denganku? Tidak mungkin… kan?
Ah, sudahlah. Sekarang saatnya beres-beres.
Tidak banyak yang harus kuambil. Hanya beberapa pakaian dan peralatan menempa. Rencanaku mendirikan bisnis blacksmith di kota ini memang gagal total, namun sebagai gantinya aku diberikan kedaulatan penuh untuk memulihkan dunia. Tapi tentu saja semua peralatan ini tidak akan kubuang. Mungkin akan tetap kulakukan untuk mengisi waktu luang. Sekedar hobi.
“Aku carikan gerobak dulu ya, Pa!”
Belum sempat kujawab, dia segera keluar kamar di lantai dua ini. Suara kakinya terdengar cukup keras ketika menuruni tangga. Semangat sekali dia hari ini.
“Padahal aku bisa membuatkan gerobak…” ujar Clio sambil menggaruk-garuk pipi.
“Huh? Kamu bisa?”
Aku sempat berpikir kalau dirinya bisa membuat gerobak dengan menyatukan potongan-potongan kayu.
“Aku bisa membuat beberapa benda sederhana. Misalnya…”
Dia mengangkat tangan kanannya. Bercahaya sejenak, dan…
“…pisau. Lalu…”
Benda itu menghilang menjadi butiran cahaya. Tak lama, tercipta benda lain.
“…selimut. Dan juga…”
“Stop stop stop.”
Cahayanya menghilang. Ternyata kemampuan aneh itu yang dimaksudnya.
“Kamu juga bisa melakukan yang seperti itu?”
“Sebagian besar penduduk Shamayim bisa membuat benda-benda seperti ini. Yah, meski untuk benda-benda sederhana saja.”
“Hee… begitu.”
Kali ini aku tidak begitu terkesan. Maka kuambil sebuah kursi kayu, menaruhnya di depan lemari, lalu mengambil barang yang ada di atasnya.
“Kamu nampak tidak terkejut. Apa kamu juga bisa?”
“Tidak. Tapi Raqia pernah melakukannya di hadapanku. Paling-paling kemampuan itu timbul karena efek samping keberadaan Mobile Fortress.”
Tidak ada alasan lain yang lebih logis. Masih ada beberapa hal dalam pesawat raksasa itu yang belum diperiksa, dan mungkin ada sesuatu yang memberikan kemampuan khusus pada penduduk Shamayim.
Apapun itu, yang jelas aku tidak bisa meraih palu yang di atas lemari untuk saat ini.
Gaaaahhh!! Siapa sih yang menaruhnya di atas?!
Kurentangkan tanganku sejauh yang kubisa. Kakiku mulai berjinjit. Terus, terus… terus…
*KRRRRRKK*
Suara apa itu---
“Huaaaaaaa!!”
*BRAAAAKKK*
Ugh… sakit juga. Aku sudah berada di lantai, telungkup.
Eh? Di… lantai? Tapi lantai kan tidak seempuk ini? Lantas, apa yang ada di---
Baru saja aku berusaha bangun…
Sepasang mata biru. Bulat, terbuka lebar. Mata itu memandang jauh ke dalam mataku. Begitu dekat. Hidungku nyaris menyentuh hidungnya. Hembusan nafas hangatnya menyentuh kulit wajahku. Aliran darah naik ke wajahnya, ke kedua pipi.
Entah kenapa, aku tak sanggup menarik diri. Kurasakan jemarinya mulai menyentuh pergelangan tanganku. Aku terjerat.
Dia memejamkan mata.
……
“PAPAAAAAAAAAAAAAAA…!!!!!!!”
Jeritan Nuachiel berhasil melepaskanku. Refleks, aku menoleh padanya yang sudah berdiri di depan pintu.
“Apa-apaan yang kalian lakukan, hah???!!!”
Aku dan Clio segera berdiri.
“B-B-Bukan apa-apa, Nana-chan! I-Itu hanya kecelakaan.”
“B-Benar, Yang M-M-Mulia! Semuanya tidak s-sengaja!”
“Kalau tidak sengaja, kenapa wajah kalian dekat sekali?! Wajah Papa malah bergerak mendekat pula!! Kalau aku terlambat tiga detik saja, mungkin kalian sudah berciuman!!!!”
Aku dan Clio langsung mati kutu. Tidak ada yang mampu menjawab.
Argh, apa yang terjadi padaku?! Kenapa pikiranku malah kosong dan ingin melakukan yang seharusnya hanya kulakukan pada Raqia?!
“Seharusnya Papa bisa menahan diri!! Apalagi Papa adalah Crusader-Saint!! Tidak pantas bagi Papa untuk berhubungan dengan lebih dari satu wanita!!”
Ancaman berikutnya sukses membuatku merinding total.
“Akan kulaporkan semua ini pada Mama Raqia!!”
Sepertinya aku akan benar-benar dilempar ke laut… duh.
===============================
Spoiler untuk Trivia :
N/A
Last edited by LunarCrusade; 10-03-14 at 12:29.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk Tehillim 50 :
========================================
Tehillim 50: Photonic Affection ~ Skylight Kindness
========================================
Sore hari, istana Raqia.
“Kalian… berciuman…?”
Tutur kata Raqia terdengar datar, juga lemah. Matanya terbuka lebih lebar dari biasanya. Saat ini kami berdiri di depan koridor penghubung antara lobi istana dan halaman belakang.
“Sudah kubilang tidak, Raqia! Tidak ada bibir yang bersentuhan! Lagipula itu kecelakaan! Benar begitu, Clio?” ujarku cepat.
“Itu benar, Yang Mulia! Saya hanya mencoba menahannya agar tidak menabrak lantai! Tidak ada maksud apapun!”
“Lalu kenapa kalian mendekat, bukannya menjauh?” potong Nuachiel. “Berarti ada niatan, kan?”
Mataku memang melirik tajam ke arah Nuachiel yang bersandar pada tembok, namun mulutku langsung membeku. Aku tidak bisa menyangkal kalau saat itu kepalaku tertarik ke bawah, mendekat pada Clio. Tapi itu refleks. Refleks! Ah, tapi kurasa percuma saja kukatakan hal itu pada Raqia. Kalau sudah cemburu, mungkin hanya Tuhan yang bisa menghentikannya.
Raqia berbalik, mengambil langkah. Tanpa bicara.
Sebelum dia berjalan lebih jauh, segera kuraih tangannya.
“Da’ath, tolong lepas.”
“Tidak sebelum kita bisa selesaikan ini semua.”
“Apalagi yang harus dibicarakan? Aku tahu itu tidak sengaja. Selesai.”
“Kamu belum bisa menerima. Jelas sekali dari nada bicaramu.”
Tidak ada tanggapan.
“Raqia, tolong lihat mataku.”
Tidak ada respon.
“Raqia, kumohon.”
Tidak ada jawaban.
“Yang Mulia…”
Suara lemah Clio berhasil mengubah arah pandang Raqia, meski masih menyamping dan menatap lantai.
“Saya mohon, Yang Mulia. Semua itu bukan kebohongan. Jika Anda masih tidak percaya…”
Tiba-tiba muncul cahaya di tangan kanannya. Sebuah benda terbentuk, pedang yang digunakannya di padang gurun Ohr-Nisgav. Diapun setengah berlutut di hadapan Raqia. Kedua tangannya menyodorkan pedang itu.
“…tolong akhiri saja hidup saya sekarang juga. Sudah ratusan tahun kita saling kenal, Yang Mulia. Dan jujur saja, saya belum pernah melihat Anda seperti ini. Saya tahu, itu pasti karena perasaan cinta Anda pada Da’ath. Saya sudah bisa melihat buktinya beberapa waktu belakangan ini. Jadi… jika Anda merasa saya menghalangi, tidak apa-apa. Anda boleh melakukannya.”
Raqia berbalik.
“Tapi ketahuilah, Yang Mulia. Saya tidak akan mencuri apapun dari Anda, sekecil apapun itu. Apalagi mencuri orang yang Anda cintai.”
“Clio…”
Kugenggam kedua bahu Raqia. “Raqia, tidak cukupkah itu bagimu?”
Bibirnya hanya bergerak-gerak kaku.
“Terserah kamu mau apakan diriku jika benar aku melakukan semuanya secara sengaja. Matipun aku bersedia.”
“Jangan bicara begitu!” serunya sambil menggenggam erat tanganku. “Aku… tidak ingin kamu pergi…”
Kutatap jauh ke dalam dua biru langit itu. “Kamu bisa percaya sekarang?”
Dia mengangguk pelan. “Ya… aku percaya padamu kali ini.”
Raqia melepaskan nafas panjang.
“Clio, berdirilah. Maaf sudah meragukanmu.”
Sang Skylight Commander berdiri. Dua figur paling dihormati di kota ini saling melempar senyuman lebar.
“Dan kamu, Nana-chan!” Kuraih kerah bajunya ketika dia mengendap-endap ingin menjauh.
“I-I-Iya, Pa?” responnya gemetaran, plus senyum masam.
“Kita perlu bicara.”
Aku sengaja memperdalam nada suaraku, ditambah sedikit geraman. Kemudian kubawa dia menjauh hingga ke taman di samping istana.
“Katakan apa maksudmu mengatakan hal yang membuat Raqia salah paham,” ujarku tegas.
Nuachiel tidak menjawab. Tatapannya berlari ke beberapa arah berbeda.
“Nana-chan.” Sekali lagi kupertegas nada bicaraku.
Tidak merespon.
“Papa yakin tidak pernah mengajarimu berbohong.” Kukatakan meski tidak ada ingatan tentang itu. Namun jika benar kata-katanya kalau aku adalah orang tua terbaik baginya, maka itu mustahil kulewatkan.
“A-Aku cuma… tidak ingin Papa beralih ke orang lain,” jawabnya lemah.
“Hanya itu?”
Dia menunduk. “Iya…”
“Tapi kenapa kamu mengatakannya seperti tadi? Itu bisa merusak persahabatan mereka! Apa kamu tidak suka pada Clio? Apa dia pernah membuatmu kesal?”
“Tidak kok, Pa. Dia… dia juga orang baik. Aku cuma benar-benar tidak mau Papa jatuh ke tangan perempuan lain…”
“Kamu jujur? Sejujur-jujurnya?”
Hanya sebuah anggukan.
“Boleh Papa tahu alasannya?”
“Aku juga tidak tahu kenapa. Aku merasa cuma Mama Raqia yang pantas, bukan orang lain. Bahkan Mama Deshielpun tidak punya sesuatu seperti yang kurasakan pada Mama Raqia…”
Dadaku terasa hangat seperti ada yang memeluknya. Jauh di dalam hati, aku tahu kalau gadis berpita rambut ungu ini tidak berbohong. Tak tahan, tanganku membelai kepalanya.
***
Pagi ini, aku sedang berada di salah satu ruang pembangkit energi Mobile Fortress. Tergolong besar, mungkin sama dengan 3 kali lipat luas kamar Raqia. Di depan pintu gesernya tertera angka “03”. Untuk apa aku di sini? Aku diminta ikut oleh Biblos.
Selain aku dan Biblos, di sini juga ada Erato, Bishop of Pure Love yang suka bermain petir dengan palu besarnya, Electromagentic Exciter. Jujur saja, aku baru tahu nama Divine Technology-nya tadi malam. Diberitahu Plasma.
Ajaib, hanya dalam kurang dari seminggu, gadis bertopi pelaut itu mampu memahami penjelasan Plasma dan Biblos mengenai struktur internal dari tiap pembangkit energi. Tidak hanya itu, seluruh lampu di pesawat raksasa ini berhasil dinyalakan olehnya setelah sedikit diajari elektromagnetika oleh keduanya. Inikah kemampuan otak penduduk Avodah yang sebenarnya?
“Da’ath, tolong kemarikan obengnya!” pinta Erato.
Dan sekarang kenapa dia pakai kacamata bingkai biru segala… Apa supaya terlihat lebih pintar? Tapi tingkat kecerdasan kan tidak dilihat dari penampilan…
“Kenapa malah bengong?”
“Iya, iya. Ini.” Kuserahkan obeng bermata plus padanya.
Erato duduk bersimpuh di lantai. Di depannya, berdiri sebuah silinder berdiameter kira-kira 3 meter. Sebagian besar terbuat dari bahan transparan. Bagian atas dan bawahnya berfungsi sebagai ‘rumah’ bagi tabung bening tersebut. Yang atas terhubung pada banyak pipa dan kabel yang menyebar ke segala penjuru.
Dia memutar obengnya pada sekrup-sekrup salah satu plat logam yang melapisi ‘rumah’ bagian bawah. Dibukanya, kemudian nampaklah olehku sirkuit-sirkuit rumit.
Tidak semua ruang terisi jalur-jalur rumit itu. Ada satu celah yang cukup lebar untuk dimasuki satu tangan. Erato merogoh melalui celah itu.
“Ah, ini dia!” serunya riang.
Sebuah kristal di tangannya. Kehijauan, namun tak bercahaya.
“Sama saja…” keluhnya. “Hei, Sandalphon! Yang ini juga?” panggilnya.
Orang yang dimaksud sedang berdiri jauh dari silinder dekat sebuah panel transparan di dinding. Tubuhnya dikelilingi deretan huruf-angka-simbol. Dua mengalir keluar, ke panel tersebut.
“Iya, yang itu tolong diisi juga ya,” jawab Biblos.
Aku tidak mengerti apa yang mereka maksud. Maklumlah, aku memang tidak pernah ikut memperbaiki bagian apapun dari kapal ini. Bukannya aku tidak mau bekerja, tapi Plasma sendiri yang melarang. “Tidak sepantasnya pemimpin mengerjakan pekerjaan seperti ini. Serahkan saja padaku.” Begitulah katanya sehari setelah menemukan benda ini.
Tanda tanya besar terlukis makin besar di pikiranku ketika Erato memunculkan Electromagnetic Exciter. Dilemparnya kristal itu jauh ke atas…
Muncul emblem cahaya biru pucat tak jauh di depan atas kepalanya.
“Atomic Charge: Electron Excitation!”
Dipukulnya emblem itu dengan palu ajaibnya.
*ZZZZZZZZZZZTTTT*
Wow… Silau…
Untunglah aku masih bisa tahu apa yang terjadi. Lengan-lengan petir menerkam kristal itu beberapa kali. Loncatannya bahkan memaksa kristal itu untuk tetap di udara. Hebatnya, tidak ada satupun lengkung elektrik yang menyambar benda lain. Memang tidak terlalu heboh seperti saat menghadapi Inferna, tapi cukup untuk memaksaku melongo beberapa detik.
Kristal itu menyambut lantai dalam kondisi bercahaya. Erato segera mengambil dan memasukkan kristal itu kembali ke tempatnya.
*NGUUUUUUUNNGGG*
Seluruh silinder menyala kehijauan, sama dengan warna kristal.
“Sudah!” seru Erato pada Biblos.
“Oke… berarti tinggal mengalirkan energinya ke komponen-komponen yang seharusnya.”
Deret huruf-angka-simbol yang mengalir pada panel bertambah, entah berapa. Pesawat ini bergetar pelan karenanya. Mungkin tak akan terasa di permukaan sana.
“Biblos, kapalnya bergetar begini…”
“Tidak apa-apa kok. Memang begini kalau proses distribusi energi sedang berjalan. Nanti juga berhenti.”
Benar apa katanya. Getaran sirna beberapa saat kemudian.
“Nah… sekarang, tolong kamu cek ruang data,” pinta Biblos, menunjuk diriku.
“He? Aku?”
Dia melempar sepotong papan bening padaku. “Pakai peta yah, biar tidak tersesat. Tekan ujung kanan atasnya, nanti petanya keluar. Yang ada ujung hijau itu.”
Keempat sudutnya dilapis bahan mirip karet. Salah satunya berwarna hijau. Mungkin yang ini. Kutekan. Muncul suatu bentuk holografik di atas papan, yaitu susunan lantai-lantai pesawat ini dalam bentuk tiga dimensi.
“Bagaimana, Da’ath? Sudah bisa membaca peta tiga dimensinya?”
Aku mengangguk mantap. Ya, aku tahu betul cara membacanya tanpa perlu penjelasan. Benar apa kata Raphael. Seiring waktu, ingatanku dapat kembali tanpa rasa sakit, tanpa perlu susah-susah mengingat, bahkan tanpa kusadari.
“Ruang datanya ada di lantai atas.” Tangannya melempar beberapa huruf-angka-simbol ke papan bening yang kupegang. “Itu, yang berkedip-kedip kuning. Sementara dirimu disimbolkan dengan titik biru. Kalau sudah di dalam, tolong taruh tanganmu pada panel biru bening tak jauh dari kiri pintu.”
Sekarang aku mengerti kenapa Biblos memintaku ikut kemari. Hanya aku yang bisa menyalakan ruang data.
“Dan bagaimana kamu bisa tahu kalau penyimpanan datanya sudah menyala? Apa ada alat komunikasi di sana?”
“Tenang saja, aku terkoneksi penuh ke seluruh sistem kapal. Aku tahu mana yang menyala dan mati.”
Sebuah “Ooo…” terlontar dari mulutku. “Baiklah, aku ke sana sekarang.”
Begitu keluar ruangan, yang menyambutku adalah keheningan. Tak ada satupun suara di lorong kecuali langkahku sendiri. Meski terang benderang, agak menyeramkan juga rasanya. Hei, tapi buat apa takut? Benda ini kan basis pertahananku, milikku. Di kota ini juga tidak ada orang jahat. Kalau aku bertemu seseorang, hanya ada beberapa kemungkinan: Biblos, Erato, Euterpe, Clio, Nuachiel, dan Raqia. Plasma? Mustahil. Dia sedang berada di tembok Shamayim hingga besok. Memeriksa ‘akar’ Mobile Fortress yang menyebar ke sana, katanya.
Namun masih ada yang bermasalah dari tempat ini.
Terlalu besar!
Untuk mencapai ruang data, aku harus berjalan kaki sekitar lima belas menit ---ada jam di beberapa titik---. Usut punya usut, tempat ini berseberangan dengan ruang pembangkit nomor 03 tadi. Di lantai atas pula!
Sekarang aku yakin kalau dahulu pastilah ada beberapa ratus awak kapal. Seribu juga masih masuk akal. Jika hanya aku, Plasma, Biblos, dan para Archangel, senjata raksasa ini tidak akan bekerja efektif. Bayangkan saja ada kerusakan pada satu bagian pesawat, maka perlu waktu 15 menit bagi orang terjauh untuk sampai dan memperbaikinya. Terbang juga sulit, apalagi jika ada sayap. Kecuali segalanya memang bisa ditangani Plasma dan Biblos berdua saja. Tapi… apa iya ya?
Ah sudahlah, yang penting sekarang tujuan sudah ada tepat di hadapanku. Tidak ada angka tertera di pintu, melainkan gambar buku terbuka. Titik biru dan kuning di peta tiga dimensi juga berhimpitan. Berarti ini benar-benar ruang data. Kutaruh tanganku pada panel hijau sebelah kanan pintu untuk membukanya.
Langkah pertama.
Aku tidak langsung mencari panel yang dimaksud Biblos. Terus berjalan masuk sambil memindai perlahan seluruh ruangan.
Lemari-lemari logam keperakan berdiri gagah, berjajar rapi dalam kolom dan baris, entah ada berapa banyak. Keberadaan mereka membuat ruangan ini terasa sempit, padahal menurut pengamatanku luasnya tidak berbeda jauh dengan ruang pembangkit tadi. Ada juga pipa-pipa ---aku taruhan, pasti isinya kabel--- yang tersambung dari tiap lemari pada langit-langit. Tidak hanya itu, pada beberapa sudut dinding ada beberapa meja tertempel ditemani kursi-kursi berbentuk tak wajar ---mungkin wajar untuk masa itu--- di dekatnya. Nampak pula tonjolan-tonjolan pada meja, berderet dalam 1 lajur. Jaraknya sama tiap tonjolan, sekitar 2 jengkal. Kusentuh… tidak terjadi apa-apa. Hiasankah?
Baiklah, tidak ada yang menarik. Kembali ke dekat pintu. Oh, itu dia panel biru yang dimaksud. Ada garis tipis kebiruan beberapa sentimeter di atasnya, juga sebuah bulatan merah bening di sebelah kanan.
Taruh telapak tangan pada panel…
*BLIP!*
Dari garis tersebut, terproyeksilah sebuah layar holografik kebiruan, mengambang. Tertulis sesuatu di situ.
Please put your eye in front of retina identifier.
Hah? Retina identifier? Apakah bulatan merah ini? Masalahnya… tidak ada hal lain di dekat sini yang seukuran mata. Baiklah, dicoba saja. Toh ini kapalku sendiri. Mana mungkin ada yang membahyakan pemiliknya?
Kuintip melalui bulatan merah itu.
*BLIP!*
Pesan pada layar holografik berubah.
Welcome, Saint! Activate data storage?
Huh? Kenapa bukan ‘Crusader-Saint’? Apa sedikit rusak ya, seperti yang dialami beberapa Divine Technology? Ah biarlah, yang penting tetap ada pilihan Yes dan No. Karena aku diminta menyalakan, maka kusentuh Yes.
Dengungan pelan dinyanyikan lemari-lemari logam itu. Lampu-lampu hijau kecil di tiap lemari juga menyala.
System has been activated. Full access granted. Continue to Main Menu?
Begitulah yang tertera pada layar, plus lagi-lagi pilihan Yes dan No. Kali ini aku tidak melanjutkan karena Biblos hanya memintaku mengaktifkannya. Sekarang lebih baik aku kembali. Kutaruh tangan pada panel pembuka pintu---
Jantungku melonjak seketika. Ada bayangan seseorang di lorong. Siapa?
Kupikir seseorang yang berbahaya, ternyata tidak. Hanya… Clio. Err, kata ‘berbahaya’ sepertinya cukup tepat, mengingat insiden kemarin.
“Ah, ternyata benar kamu di sini,” ujarnya.
“K-Kamu mencariku?”
Argh, lidahku kaku. Sebenarnya setengah dari alasanku kenapa mau saja diminta Biblos kemari adalah ingin menghindar dari Clio. Yah, setidaknya untuk beberapa hari. Tapi kenapa malah bertemu begini?
“Iya.”
“Ada k-keperluan apa?”
Tunggu. Aroma apa ini? Menggoda sekali…
Dia mengangkat sebuah keranjang dari anyaman rotan, atasnya tertutup kain bermotif merah kotak-kotak. “Untukmu.”
Duh, kalau sudah begini, aku tidak bisa kabur. Raqia, maaf. Aku menerimanya atas dasar etika dan kesopanan saja.
Sebuah ucapan ‘terima kasih’, kemudian aku melangkah ke deretan kursi dekat dinding diikuti olehnya.
“Maaf ya soal kemarin,” ujar Clio setelah mengambil duduk di sebelah kananku. Kepalanya sedikit tertunduk.
“Tidak apa-apa. Yang penting Raqia tidak lagi salah paham.”
“Ya… tapi tetap saja aku masih merasa tidak enak padamu. Jadi, kubuatkan sesuatu.”
Tangannya mengambil sesuatu dari dalam keranjang. Sebuah kotak dan sendok abu-abu mengkilap. Oke, itu pasti kotak makan. Dibukanya kotak itu.
Tersenyum, dia menyodorkan kotak itu padaku. “Silakan dimakan.”
Permukaannya tertutup warna kuning dengan beberapa titik kecoklatan. Pasti dipanggang. Tampilan serta aroma yang bertambah kuat makin meyakinkanku kalau makanan itu menggunakan kentang sebagai bahan utama. Sukses mengaktifkan saraf laparku.
Satu suap masuk ke dalam mulut…
Wow. Luar biasa! Tekstur kentang yang dihaluskan ini sangat pas, tidak kelewat lembut. Tingkat kematangannya juga tepat. Tidak hanya itu, lidahku mendeteksi gurihnya butiran-butiran daging yang dibumbui pasta tomat. Ditambah kerenyahan bawang bombay yang dicincang, makanan ini terasa begitu sempurna.
Hei… tapi kenapa rasanya akrab sekali di lidah? Apakah makanan ini pernah kunikmati sebelumnya?
……
Aku ingat sekarang.
“Makanmu lahap sekali,” komentar Clio sambil bertopang dagu, “Enak ya?”
Aku mengangguk cepat. “Masih sama seperti tiga belas tahun lalu.”
Ya, Clio pernah memasak kentang panggang ini 13 tahun lalu ketika mengunjungi Ferrenium.
***
“Bagaimana? Enak kan?” tanya Clio. Dia duduk di salah satu kursi meja makan, tepat di seberangku.
“Iya, kak! Enak sekali! Besok tolong buatkan lagi ya!”
Pagi itu, aku baru saja menghabiskan semangkuk penuh kentang panggang buatannya. Persis seperti yang kunikmati saat ini.
Sejak hari itu aku tak lagi takut pada sang Skylight Commander. Padahal di hari sebelumnya… mendekatpun aku tak mau. Kedatangan kesembilan Eleutherian-class itu ke Ferrenium 2 hari yang lalu mendatangkan ketakutan bagiku. Padahal tujuan mereka murni untuk bersinggah, tidak lebih.
Anggota lainnya tidak mau menghabiskan tenaga dan waktu untuk membantuku mengatasi rasa takutku, entah karena mereka sibuk dengan anak-anak lain ataupun berinteraksi dengan orang-orang dewasa. Sementara Polyhymnia… Clio melarangnya mendekatiku ---dan aku baru tahu alasannya ketika bertemu langsung dengan Polyhymnia beberapa minggu lalu---.
Tapi, Clio berbeda. Mungkin karena kedudukannya sebagai pimpinan Indagator, dia merasa paling bertanggung jawab untuk meninggalkan kesan yang baik bagi dirinya dan rekan-rekannya. Apapun tujuannya kala itu, dia adalah orang ketiga, setelah ayah dan ibu angkatku, yang berhasil mendobrak penjara trauma jiwaku.
“Oh ya, kamu tahu daerah sekitar sini?” tanyanya.
“Tidak…”
Aku ingat betul tertunduk lesu ketika menjawabnya. Yang masuk dalam pandanganku hanyalah lantai kayu. Aku malu saat itu. Aku, yang adalah anak angkat orang yang dihormati di sini, tidak begitu mengerti daerah sekitar. Padahal anak-anak seusiaku terkadang bermain hingga tempat-tempat yang jaraknya beberapa jam dari desa.
“…aku jarang keluar, kak.”
Dia menaruh tangannya di kepalaku, membelainya lembut. “Kalau begitu… bagaimana kalau setelah siang nanti kita keluar? Tapi minta ijin dahulu pada ayah ibumu. Oke?”
Ketika matahari sudah agak turun, kamipun keluar. Tidak ada pelarangan dari ayah dan ibu. Malah ayah mengatakan sambil tersenyum lebar, “Yang jauhpun tidak apa-apa!”
Berbagai tempat kukunjungi bersamanya. Bukit, gunung, sungai, bahkan hutan-hutan yang cukup jauh hanya dalam 4 jam. Hal itu tidaklah mustahil karena sepasang sayap yang dimilikinya. Ya, Clio selalu memelukku erat ketika terbang menuju tempat lain. Setiap detik yang berlalu dalam dekapannya terasa begitu nyaman. Lebih dari kakakku sendiri…
Menjelang sore, kami kembali, namun tidak langsung pulang. Beristirahat sejenak pada hamparan rumput tak jauh dari desa.
Kurebahkan diri di atas rumput. “Ternyata dunia itu luas ya…”
“Jauh lebih luas dari yang sudah kamu lihat.”
“Berarti kak Clio sudah ke banyak tempat?”
“Ooo jelas! Sudah keliling dunia lho.”
Aku segera melonjak duduk. “Kakak serius?!”
Satu anggukan mantap menjadi jawabnya.
“Bagaimana di luar sana? Apakah menyenangkan? Banyak hal-hal menarik? Bagaimana juga dengan orang-orangnya?”
Tertawa sejenak, dia balik bertanya, “Kamu semangat sekali sih? Apa kamu mau juga berkeliling dunia seperti kakak?”
“Tentu saja aku mau! Apalagi katanya kakak ini cukup terkenal di desa, padahal baru sekali ke tempat ini. Pasti karena keliling dunia, kakak jadi dikenal banyak orang!”
Dia tidak langsung menjawab. Bibirnya terkunci sejenak.
“Ya… itu ada benarnya,” jawabnya pelan.
Saat itu, aku tidak mengerti maksud gelagat tersebut. Tapi jika kuhubungkan dengan peristiwa sekarang, aku jadi tahu. Clio tidak ingin memberitahuku alasan sebenarnya kenapa dia membentuk Indagator dan melakukan perjalanan keliling dunia.
“Di luar sana ada apa saja, kak?”
“Wah, banyak sekali. Mulai dari kota-kota besar, pemandangan alam yang aneh-aneh, juga hewan-hewan yang lucu. Tapi perlu kamu tahu satu hal, Da’ath. Tidak semua orang di luar sana adalah orang baik seperti di sini.”
Aku nyaris menangis. “D-Di luar sana… ada orang jahat…?”
Tangannya memukul pelan kepalaku. “Jangan cengeng. Kamu ini laki-laki.”
“T-Tapi, kak… kalau ada yang mau membunuhku… bagaimana…”
Sehari sebelumnya, ayah sudah menceritakan asal-usulku padanya. Aku ditemukan beberapa hari perjalanan dari sini dalam kondisi sangat lemah, menghindari pembantaian yang dilakukan Atra. Aku dan kakakku, Reshita, berhasil kabur meski tidak mudah karena Atra masih mengejar selama beberapa hari. Untunglah bentang alam berupa hutan dan pegunungan membantu menyembunyikan kami berdua. Tapi… di situlah aku terakhir kali melihat kak Reshita, sebelum bertemu kembali bertahun-tahun kemudian.
“Lihat sisi baiknya. Kamu bisa menemukan si pelaku kalau berkeliling dunia!”
Kata-kata itu bukannya memberi semangat, malah membuat tangisku meledak.
Tetapi itu hanya sebentar. Clio mendekapku. Tak hanya dengan tangan, namun juga sayap.
“Tidak perlu takut, Da’ath. Kakak yakin kamu akan jadi orang hebat, mungkin sama hebatnya dengan Yang Mulia Raqia,” ujarnya lembut tepat di telingaku.
Nama itu terdengar asing.
Kuarahkan pandanganku ke matanya. “R-Raqia…?”
“Mmm! Namanya Raqia Gibboreth. Kamu tahu kota Shamayim? Kota megah penuh cahaya itu?”
“Iya… aku pernah dengar dari ayah. Tapi belum pernah ke sana.”
“Dia adalah pemimpinnya. Dan kamu tahu apa lagi? Dia itu hampir sama kecilnya dengan dirimu! Bayangkan saja, seseorang berpostur kecil bisa memimpin dua puluh delapan juta orang. Ditambah lagi dia itu perempuan! Dia saja bisa, kenapa kamu tidak? Bahkan kakak pun dulu adalah bawahannya.”
“Berarti dia lebih hebat dari kakak?”
“Bukan hanya hebat, dia juga lebih kuat dari kakak! Tidak ada seorangpun yang berani melanggar kata-katanya.”
“T-Tapi… kalau begitu… dia pasti galak…”
Clio tertawa kecil. “Salah. Salah besarrrr! Meski amat sangat kuat, dia selalu berlaku lemah lembut terhadap yang lainnya! Bahkan anak-anak pun tidak pernah ketakutan ketika mendekat padanya. Sewaktu-waktu dia memang tegas, pernah juga marah, tetapi tidak pernah sekalipun meledak-ledak. Yah, sama seperti orang tua sajalah. Kadang mereka juga marah dan menghukum kalau anaknya kelewat nakal, tetapi tidak pernah lebih dari itu. Benar kan?“
“Benar juga ya. Jadi karena itu dia lebih hebat dari kakak?”
“Betul sekali! Kakak yakin kamu bisa seperti dia.”
Aku menjawabnya dengan mengeluarkan pernyataan paling ambisius sedunia.
“Kalau begitu aku tidak mau menjadi seperti dia. Aku mau menjadi LEBIH HEBAT darinya!”
***
“Sekarang kata-katamu benar-benar terjadi,” kata Clio.
“Padahal waktu itu aku tak ingat apapun tentang siapa diriku dulu. Hanya asal menjawab saja supaya terdengar hebat.”
Dia meninju pelan lenganku. “Kamu ini terlalu merendah. Punya pasangan kakak-beradik malaikat surga sebagai asisten dan juga benda raksasa ini… Kamu pantas berbangga.”
“Bangga… ya.”
Kuhela nafas, kemudian memasukkan satu suap terakhir.
“Aku malah heran kenapa Tuhan mempercayakan semua ini padaku. Maksudku, apa tidak ada orang yang lebih baik di luar sana?”
“Kenapa tidak tanya saja?”
“Aku selalu bertanya hal itu ketika berdoa. Tapi… belum ada jawaban. Mungkin belum waktunya.”
“Metatron? Sandalphon?”
“Bos Besarnya saja tidak menjawab, apalagi yang hanya bawahan?”
“Benar juga ya…” Pandangannya mengarah ke kotak makan. “Oh? Sudah habis rupanya. Mau minum?”
Aku tidak menolak. Satu buah botol dikeluarkan dan dibukanya. Semerbak aroma teh pun menggoda hidungku. Rasa legitnya mampu menenangkan seluruh saraf otakku. Kuteguk sedikit demi sedikit.
“Tapi… aku memang harus bersyukur.” Kuberikan botol itu pada Clio. “Khususnya untuk satu hal.”
Kata-kataku mengalihkan perhatian Clio yang sedang memasukkan kotak makan dan botol kembali ke keranjang.
“Raqia.”
Bahunya turun. Matanya sayu, pandangan mengarah ke meja.
Terdengar suara kotak makan beradu dengan dasar keranjang. Sepertinya Clio melepaskan genggamannya begitu saja.
Menghela nafas panjang, dia berkata lemah, “Yang Mulia… ya?”
Hei, kenapa gesturnya mendadak lesu? Apa aku salah bicara? Maksudku… dia sudah minta maaf pada Raqia, kan?
Dia mengangkat sudut-sudut bibirnya. “Kurasa dia memang ditakdirkan untukmu. Kalian terlihat sangat cocok.”
Mungkin kecurigaanku terlalu tinggi. Sepertinya sudah tidak ada masalah.
“Tentu. Aku mencintainya lebih dari siapapun di planet ini.”
Clio menggenggam tanganku. “Jaga Yang Mulia baik-baik ya.”
*BLIP!*
Tiba-tiba saja muncul layar holografik mengambang beberapa sentimeter di atas meja. Ternyata tonjolan-tonjolan di meja itu berfungsi sebagai proyektor layar! Nyaris saja aku terpelanting dari kursi…
“Da’ath? Halooo~? Da’ath?”
Ternyata Biblos.
“Ya, aku di sini. Ada apa?”
“Tolong bantu aku memeriksa isi data di ruang itu.”
“Aku?”
“Cuma kamu yang punya akses penuh. Ikuti saja apa yang kukatakan nanti. Tolong yaaa~"
“Oke, oke.”
Clio mengambil keranjangnya, lalu berdiri. “Sepertinya kamu sibuk. Baiklah, aku kembali ke atas dulu.”
Belum sempat kujawab, dia berbalik dan mengambil langkah. Refleks, kuraih lengannya.
“Tunggu.”
Dia tidak menoleh.
“Aku belum bilang terima kasih untuk makanannya.”
Akhirnya, dia menghadapkan wajahnya…
“Tidak usah. Aku sudah merasa senang bisa membuatkannya untukmu.”
…sambil berurai air mata.
Seketika aku dilanda kebingungan, sehingga tak bisa kukendalikan jemariku. Genggamanku otomatis melemah. Lengannya terbebas.
Diapun pergi.
============================
Spoiler untuk Trivia :
N/A
Last edited by LunarCrusade; 12-06-14 at 01:13.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk Tehillim 51 :
=========================================
Tehillim 51: Colour of Heaven ~ Skylight Disclosure
=========================================
“Raqia, yakin tidak mau ikut?” tanya Biblos ketika ingin keluar ruangan kerjaku. Tadi dia mengajakku ke Mobile Fortress.
“Mmm… sepertinya tidak untuk saat ini. Aku masih harus memeriksa beberapa dokumen lagi.”
“Begitu ya… Baiklah, aku saja yang membangunkan Da’ath.”
Aku mengangguk beberapa kali. Mengepakkan sayap, Biblospun pergi.
Oke… mari kita lihat apa saja yang masih harus ditangani.
Penambahan area pekuburan di luar tembok? Setuju. Di dalam kota sudah cukup sesak. Pembangunan 20 lumbung di utara kota untuk persediaan pangan musim dingin? Tidak usah banyak-banyak, 10 juga cukup asalkan besar-besar. Aku tak mau sampai ada mark-up dalam anggarannya. Regulasi kecepatan terbang bagi pengguna jalan Shamayim? Argh… tidak ada nilai batasan jelasnya di sini! ‘Lebih lambat dari laju terbang seekor burung gereja’? Apa maksudnya ini?! Sepertinya aku harus mulai mendidik mereka dengan konsep mekanika dasar terlebih dulu.
Uh, kenapa rasanya jadi lebih memusingkan setelah aku tahu lebih banyak ya…
Kualihkan pandanganku ke jendela setinggi 2 kali lipat tubuhku, beberapa meter di sebelah kiri meja kerjaku. Masih gelap, namun tadi Biblos memberitahu kalau sudah jam 5 pagi. Sudah saatnya bagiku menenangkan diri dalam hadirat Tuhan untuk menyambut hari baru. Kunyanyikan beberapa pujian bagi-Nya, kemudian sujud di tepi kursi untuk berdoa. Untuk rakyatku, untuk kesejahteraan kota ini.
Berbeda dengan Uri, aku lebih merasa nyaman jika menghadap-Nya sendirian. Dengan begitu, aku bebas menyampaikan apapun persoalan pribadiku pada-Nya. Bahkan belakangan ini… terkadang aku berdoa hingga mencucurkan air mata. Rasanya ingin berteriak sekeras-kerasnya karena kesulitan yang kualami berlipat ganda. Sebentar saja perlindungan-Nya diangkat dariku dan Da’ath, maka habislah segalanya. Hanya oleh kekuatan-Nya sajalah aku masih bisa tersenyum di depan semuanya.
Sejak kedatangan Da’ath dalam hidupku, aku juga selalu berdoa baginya. Meski kadang kelakuannya agak kelewatan ---dalam hal membuatku kesal atau… yang lain-lain---, tetapi aku bisa merasakan kalau dialah orang yang diberikan-Nya bagiku. Segala detail mengenai apa yang kusuka diketahuinya secara akurat, contohnya saja… ketika membelaiku. Tekanan dan kecepatannya selalu berhasil membuatku meleleh seketika! Bukan hanya itu, dia juga mampu mengisi kekurangan yang ada dalam diriku. Hanya dia yang berani mengatakan kesalahanku dengan tegas tepat di depanku. Kadang-kadang aku sampai malu sendiri…
Tetapi bukan itu yang membuatku mencintainya. Jika aku ditanya mengenai alasannya, maka hanya ada satu jawaban.
Tidak tahu.
Ya, aku tidak mengerti kenapa. Ketika pertama kali bertemu di luar tembok Shamayim, sesuatu bergolak dalam dadaku. Awalnya kupikir itu adalah kekaguman mengetahui dirinya adalah Crusader-Saint, ternyata bukan. Bukan pula karena sifat alamiahku ---dan semua Archangel--- yang selalu berlaku baik terhadap manusia. Seiring waktu berjalan, aku tahu kalau itu adalah… cinta.
Aku selalu menasihati rakyatku kalau cinta pada pandangan pertama itu omong kosong. Ironis, aku malah mengalaminya. Namun karena keraguan akan hal tersebut, aku tak bisa mengungkapkannya secara lugas. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk bisa jujur pada Da’ath. Untunglah, aku berhasil mengatakan segalanya meski harus sedikit dipancing dengan… Ah, aku jadi ingin tertawa sendiri.
Jadi… ya Tuhan, kumohon terus berikan kekuatan bagiku dan Da’ath. Aku ingin menepati janjiku padanya. Aku ingin hidup bersamanya dalam ikatan kasih-Mu setelah semuanya selesai…
Sebuah ‘amin’ mengakhiri doaku.
Gemilang keemasan menyambut saat kubuka mata. Matahari telah terbangun, mengawali hari yang baru.
Aku kembali duduk. Kuamati meja kayu di hadapanku, yang selama beberapa belas tahun terakhir selalu menemaniku ketika bekerja. Lebarnya yang sekitar 3 meter itu cukup untuk menumpuk beberapa kertas, buku, dan peralatan menulis. Sepertinya tiga tadi adalah yang terakhir. Tidak ada lagi yang harus kuperiksa.
Oh ya, aku ingin tahu bagaimana Tenebria sekarang.
Tengah malam tadi, tepat ketika Plasma mohon diri untuk memeriksa sekeliling kota, Biblos memberitahu satu fitur baru padaku. Fitur itu membuatku dapat menghubungi semua pemegang Archangel Core di seluruh dunia, dia sendiri, dan Plasma. Dengan begitu, aku tak lagi membutuhkan pembawa pesan atau sejenisnya.
“H.O.P.E. Communicator, system on.”
Yap, itu dia. Heptalink Operation and Parallel Extension Communicator. Sebuah sistem komunikasi yang diciptakan Plasma dan Biblos lebih dari 2000 tahun yang lalu. Aku tidak mengerti sisa penjelasannya sih…
Muncul layar holografik biru transparan sekitar 3 jengkal di depan wajahku.
Welcome, Crusader! Please choose the communication mode.
Huh…? Crusader? Apa dulu ini dibuat untuk Da’ath? Tapi kenapa hanya ‘Crusader’ dan bukan ‘Crusader-Saint’? Apa mungkin ada sedikit kerusakan seperti beberapa Divine Technology ya? Tapi ya sudahlah, biar nanti mereka berdua yang memeriksanya. Karena yang kuhubungi hanya 1 orang, maka kupilih Single Link.
*BLIP!*
Please choose the receiver.
Berhubung yang akan kuhubungi adalah pemegang Archangel Core nomor 1, maka namanya ada di paling atas. Kutekan…
*BLIP!*
Establishing link to the first Archangel Core…
Satu. Dua. Tiga.
Connection established. Enjoy!
Seketika muncullah wujud Uri.
“Ada apa?” tanyanya ketus.
“Tidak sopan sekali sih?”
“Aku sibuk.”
“Kalau sibuk, biar Tenebria saja. Toh aku tidak ingin bicara denganmu.”
“Hei, ini… apa?”
Tiba-tiba Tenebria muncul, mendesak dari samping kanan Uri.
“Sejenis alat komunikasi?” Wajahnya menghadap pada Archangel gondrong itu.
“Ya, dua hari lalu Sandalphon sudah melakukan uji coba.”
Jawabannya pada Tenebria begitu sopan dan lembut! Gaaahhh!! Uriiii!! Akan kujambak-jambak rambutmu nanti!!
“Hee… begitu rupanya. Halo, Raqia!” Tenebria melambai-lambaikan tangan. “Selamat… malam?” sapanya, agak ragu.
“Di sini sudah pagi.”
Sebentar.
“Di sana masih malam?”
“Uh-huh.”
“Berdua saja?”
Tenebria mengangguk cepat.
“Uri, tolong jelaskan semua ini.”
Uri mencibir, “Hmmph, apanya yang harus dijelaskan? Bagaimana denganmu sendiri? Aku curiga kamu sering sekali malam-malam mengendap-endap ke kamar Da’ath.”
“Jangan asal bicara. Kalau aku sudah berlaku aneh-aneh, Archangel Core akan lepas dari tubuhku.”
“Jawaban yang sama juga kuberikan untuk interogasi paksa tadi.”
“Huh… terserahlah. Jadi, apa yang sedang kalian lakukan---“
Kalau kuperhatikan baik-baik, latar belakang layar menunjukkan area… dapur? Ya, tidak salah lagi. Aku pernah ke sana beberapa kali. Yang nampak menonjol adalah temboknya. Tampak seperti tembok bata polos, berbeda dengan ruangan-ruangan lain di istana Uri yang temboknya diplester dan dicat.
“…kalian sedang masak?”
“Mmm!” Tenebria tersenyum lebar. “Uriel mengajariku suatu resep.”
Aku tidak bisa menyangkal kalau makhluk bermata ganas itu memang ahli memasak, bahkan masakannya lebih enak dari buatanku. Lidahku takluk jika sudah merasakan hidangannya. Dia juga pandai membuat segala sesuatu yang manis seperti tart atau cookies… Duh, jauh sekali dengan citra luarnya.
“Apalagi nanti akan beberapa tamu di sini. Dengan membuatkan sesuatu, mungkin pandangan mereka terhadapku akan berubah.”
Dahiku mengerenyit. “Tamu? Apa di sana ada akan diadakan pesta?”
Tenebria menggeleng. “Bukan. Acara resmi, penandatanganan perjanjian.”
“Heh Uri, kenapa tidak bilang-bilang?”
“Kupikir kamu tidak ingin bicara denganku,” jawabnya ketus.
“Tolong jangan membuatku emosi. Aku baru selesai berdoa sebelum menghubungi kalian.”
“Maaf, aku tidak tahu.”
Kalau menyangkut segala sesuatu yang rohani, barulah dia agak ‘jinak’.
“Perjanjian masalah kelautan. Kamu pasti masih ingat dengan Argonaut.”
“Tentu. Belum lama ini kami sempat bertemu dengan mereka. Tenebria juga ikut waktu itu.”
“Pantas saja Argos berlaku cukup sopan di depan Tenebria. Baiklah, kulanjutkan. Perjanjian itu akan ditandatangani olehku, Tselemiel, Maoriel, Argos, dan…”
Uri terdiam. Tetapi baru saja aku ingin bertanya kenapa, Tenebria menyahut.
“Keluarganya Da’ath. Mungkin besok atau lusa mereka sampai.”
Mulutku langsung menganga lebar.
“Maksudmu… Reshita?”
“Kamu sudah kenal? Ya, dia juga akan datang beserta suaminya. Tapi yang nanti menandatangani adalah kakeknya.”
Kakek… kakek… kakek…
…!!!!
“Kakek Arya?!”
“Iya, dia. Tapi Uriel bilang kalau dahulu namanya bukan itu.”
“Jangan bilang kalau kamu sudah bertemu dengannya, tapi tidak tahu siapa dia,” kata Uri.
Biar kupikir sebentar. Perjanjian kelautan. Ada Argos. Tselemiel dan aniki juga hadir. Tselemiel dan Uri pernah bermasalah dengan Argonaut. Sementara aniki…
“Kakek Arya… Lord of Iron Angels?!”
“Betul. Nama aslinya adalah Varuna Adhimakara, pimpinan kelompok bajak laut yang menggunakan nama depannya sebagai identitas. Aku yakin kamu pernah dengar nama itu. Setelah pensiun sebagai bajak laut, dia memilih menjadi pedagang. Mungkin pada saat itulah dia menemukan orang yang kamu sebut dengan Reshita itu, lalu mengangkatnya sebagai cucu.”
Jadi selama ini… aku sudah berhadapan muka dengan kriminal kelas kakap?! Pantas saja kakek Arya langsung sujud ketakutan ketika mengetahui identitasku! Reaksinya bukan karena perasaan kekaguman akan Archangel, tetapi ketakutan akan dosa masa lalu! Ah, tapi sudahlah. Aniki juga sudah mengeluarkan keputusan untuk tidak lagi mengejar para bajak laut di daerah lautnya setelah mereka bubar.
“Bagaimana kamu bisa tahu kalau dia orangnya? Padahal akupun melewatkannya…”
“Beberapa waktu lalu, seorang Eleutherian-class bawahan Argos membawakan pesan untuknya. Di situ tertulis kalau Argos sudah menyerah dan tidak mau mengacau lagi. Diapun menemui salah satu bawahan Maoriel di Batavia, memohon ijin untuk menemui Maoriel dan membuka identitasnya. Ketika aku sedang mencoba H.O.P.E. Communicator untuk menghubungi Maoriel, akupun jadi tahu tentang hal tersebut. Segera kuhubungi Tselemiel juga untuk mengadakan perjanjian ini.”
Mungkin awalnya bertemu Sola, Luna, atau Stella. Tapi…
“Untuk apa si botak itu memberitahu kakek? Bukankah dia tahu kalau kakek sudah pensiun?”
“Solidaritas… katanya. Mungkin suatu hubungan rival antar bajak laut yang tidak akan pernah kita mengerti.”
“Begitu ya. Baiklah, pertanyaan terakhir.”
“Katakan.”
“Kanaphiel?”
“Dia juga datang nanti, mungkin bersama rombongan Maoriel. Sebagai pengamat, katanya. Seingatku, di masa lalu sebuah perjanjian antar dua pihak atau lebih selalu diawasi oleh pihak ketiga netral. Mengingat dia adalah mantan penguasa Bulan, pengetahuan seperti itu tidak mungkin dia lewatkan.”
Kusandarkan tubuhku. “Begitu ya…”
Sejenak kupandang langit-langit, kemudian kembali duduk tegak.
“Baiklah, nanti aku menyusul. Mama Deshiel dan Nana-chan juga masih di sini, mungkin akan kuajak juga.”
“Ya, terserah kamu saja. Sudah lama juga kita tidak mengadakan reuni bertujuh.”
Tenebria bertanya kaku, “D-D-Deshiel? Deshiel yang itu…?”
“Tidak usah khawatir,” kujawab sambil tersenyum, “Dia bukan pendendam. Aku yakin kalian bisa bicara baik-baik nanti. Ya sudah, sepertinya itu saja. Aku tidak mau mengganggu kalian. Nanti bisa gosong.”
“Sebetulnya kami baru akan mulai,” jawab Tenebria.
“Begitukah? Yah, tetap saja. Itu kan…” Aku tersenyum sinis sesaat. “…waktu privat bagi kalian. Jangan kelewat batas ya bermesraannya.”
Uri mati kutu seketika, malu-malu menatap Tenebria.
“Baiklah, sampai ketemu nanti. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saja. Oke?”
Jawaban Uri? Hanya mengangguk sekali.
Kumatikan transmisi, layar holografik lenyap.
Ah, aku jadi makin bersyukur. Da’ath masih jauh lebih berani dibanding Uri dalam masalah perasaan. Hehehe…
***
Tidak baik berada dalam ruangan terlalu lama. Jadi, kuputuskan untuk keluar ruang kerja.
Begitu melangkah keluar, kurentangkan tanganku ke atas kuat-kuat, menarik otot-ototnya. Pegal juga. Belakangan ini badanku terus bergerak sih. Sudah lama aku tidak duduk lama-lama seperti tadi.
Namun semua rasa lelah itu sirna ketika aku memandang ke luar jendela yang berjajar di sepanjang tembok koridor. Bentangan biru lembut menghampar di cakrawala, dari ujung satu ke ujung lain. Kupandang jauh ke atas sana. Menarik nafas perlahan… rasa penatku pun berangsur lenyap.
Ah iya, bagaimana kalau bersantai sejenak di atap sambil minum teh? Sepertinya bagus untuk menikmati awal hari yang cerah seperti sekarang ini. Sayang sekali Da’ath harus menemani Biblos ke bawah. Ya sudahlah, sendirian saja. Saatnya ke dapur.
Mungkin ada yang akan bertanya, Archangel sepertiku yang tidak butuh makan, kenapa tetap memiliki sebuah dapur? Cukup besar pula, nyaris sebesar kamarku. Jawabannya, karena aku senang makan bersama orang lain. Setiap beberapa hari, aku mengundang orang-orang luar untuk makan semeja denganku, meski perutku sama sekali tidak merasakan lapar. Jika ada masalah dengan rakyatku, biasanya aku juga mengundang mereka untuk membicarakannya sambil makan. Cara itu terbukti sangat efektif untuk mengetahui dan menindak langsung permasalahan yang ada di kota. Itulah sebabnya tugas koki-koki istana sebenarnya bukan memasak untukku melainkan untuk para tamu, pengawal istana, dan diri mereka sendiri. Kondisi serupa dapat dijumpai di istana para Archangel lain.
Tapi aku tak ingin makan besar pagi ini. Sepertinya sepotong roti panggang beroleskan selai coklat boleh juga. Plus secangkir seduhan daun teh impor dari Chalal… Hmm… sempurna!
Tepat ketika kakiku memasuki koridor yang menuju dapur, kulihat Clio berjalan di seberang sana.
“Hei, Clio!”
Aneh, dia malah mempercepat jalannya hingga menghilang masuk koridor lain. Kenapa menghindar seperti itu ya? Baiklah, akan kukejar.
Terkejar juga. Sosoknya tinggal beberapa langkah di depan.
“Clio, tunggu!”
Dia berhenti. Akupun melangkah ke sisinya.
“Kenapa lari begitu? Ingin ke toilet?”
Matanya melirik bergantian ke kiri ke kanan. “T-Tidak, Yang Mulia. Aku hanya---“
“Jadi… tidak sibuk, kan?"
Sebuah “Mmm” pelan menjadi jawabnya. Apa dia masih merasa bersalah atas peristiwa kemarin? Mungkinkah dia butuh waktu santai?
“Kalau begitu, bisa ikut denganku?”
Dia mengangguk pelan, kemudian mengikutiku ke dapur.
Makin dekat ke ruang dapur, suatu aroma tercium. Kentang…? Oh, mungkin sudah ada yang sarapan. Tetapi ada hal yang janggal. Tidak ada satupun orang yang berada di dapur. Jika benar orang-orang dapur yang membuat, seharusnya mereka sedang menikmatinya saat ini. Aku sendiri yang menasihati mereka untuk tidak sarapan cepat-cepat, agar perut yang kosong semalaman tidak nyeri ataupun kram seandainya mendadak mencerna sesuatu. Lagipula di sini juga ada meja panjang dengan beberapa kursi berderet. Tidak perlu membawanya ke tempat lain jika ingin makan. Tapi… ah, sudahlah. Mungkin mereka ingin makan di bawah cerahnya matahari pagi ini. Yang jelas sekarang aku perlu roti, roti… daun teh… cangkir, cangkir… teko…
Tidak butuh waktu lama untuk mempersiapkan semuanya. Mendidihkan air, memasukkan daun teh, memanggang roti hingga kecoklatan, dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Tak sampai setengah jam semuanya sudah siap, ditaruh di atas nampan perak.
“Perlu… saya bawakan?” Clio menawarkan diri. Emm, aku masih merasa ada yang aneh dengan nada suaranya. Terlalu lesu. Bahkan sorot matanya tidaklah cerah, meski dia berusaha menyembunyikannya dengan sedikit tersenyum.
“Tidak usah, tidak usah.” Kutolak secara halus tawarannya itu. “Mengangkat benda yang ratusan kali lebih berat pun aku sanggup, apalagi kalau hanya seringan ini?”
Akhirnya aku tiba di atap istana, berlantai keramik coklat muda. Kakiku melangkah menuju meja bulat dengan payung biru besar berdiri di tengahnya, lalu menaruh segala yang kubawa. Aku mengambil duduk pada salah satu kursi kayu, sementara Clio pada kursi tepat di seberangku.
“Mmmhh…!” Kurentangkan kedua tanganku ke depan kuat-kuat. “Cuacanya bagus sekali hari ini.”
Kuseruput sedikit tehku. Jeda dua detik, mulutku mulai menyantap roti bakar berlapis selai coklat. Renyah dan hangat. Benar-benar cocok untuk sarapan.
Namun… Clio hanya mematung. Jarinya sama sekali tak menyentuh segala sesuatu yang terhidang, padahal tangannya berada di atas meja. Bicarapun tidak.
Selesai menelan, aku bertanya, “Kamu tidak makan? Nanti dingin lho.”
Tidak ada suara. Kepalanya tertunduk, menggeleng pelan. Sudah kuduga, ada yang tidak beres dengannya. Dia bukanlah tipe orang yang tidak mau makan tanpa alasan spesifik. Misalnya, sedang berpuasa karena ingin melatih diri.
Dan bukan hanya itu. Ada satu hal lagi yang dapat menyebabkan Clio berlaku demikian.
“Clio,” panggilku lembut.
Pandangannya sedikit terangkat. Matanya bertemu dengan mataku.
“Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
“Mmm,” jawabnya pelan, begitu pelan. Jika aku tak memasang telinga baik-baik, suaranya pastilah tidak kuperhatikan.
Déjà vu. Sekitar seratus tahun yang lalu, dia juga bersikap begini. Aku tak mau lagi dia menanggung beban sendirian.
“Mau cerita?”
Kedua jempolnya terus bergerak saling menyentuh, sementara mata biru safirnya bergantian melirik ke kiri ke kanan.
“Clio, kumohon. Kamu pernah begini, kemudian mendadak memintaku melepaskan safir di tangan kananmu esok harinya. Terus terang aku benar-benar kaget saat itu…”
Mungkin karena ucapanku, akhirnya Clio memanggilku pelan, “Yang Mulia…”
“Mmm?”
“Jika… jika saya menceritakan semuanya, kumohon supaya Yang Mulia bisa menahan emosi.”
“Baiklah.”
“Dan…”
Uh? Masih ada lagi?
“…jangan berubah membenci saya.”
Aku punya sedikit bayangan tentang apa yang akan dia katakan, sehingga bisa mempersiapkan diri agar tidak meledak-ledak. Kalau kupikir-pikir, hanya hal itu yang memiliki kemungkinan 99% untuk mengganggu pikiran Clio. Aku malah senang jika dia mau terbuka tentang itu. Mustahil bagiku untuk marah di atas kejujuran. Tapi… membenci dirinya? Marah pun tidak akan, apalagi membenci?
“Aku janji, Clio. Aku janji,” jawabku lembut.
Mungkin saat ini aku harus mencoba bersikap seperti Plasma. Duduk, mendengarkan sudut pandang orang lain, berpikir matang, barulah balas bicara. Jariku berlari ke arah cangkir, mengangkatnya, kemudian meneguk sedikit ekstrak teh nan legit di dalamnya.
“Bicaralah.”
“Soal…” Clio terdiam. Bibirnya bergerak-gerak sesaat. “Da’ath.”
Meski aku sudah tahu kalau dia akan menyebut Da’ath, tapi… uuuhh… kenapa dadaku terasa sesak begini…
“Saya…” Pandangannya beralih sedikit ke kanan. “Saya berbohong.”
Menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, kemudian aku merespon, “Ternyata benar dugaanku. Perilakumu saat minta maaf sangat berlebihan.”
“Anda sudah tahu…? Lalu kenapa anda tidak---”
“Hei, kita ini bukan sekedar atasan dan bawahan. Kita ini teman. Sahabat. Apa iya aku tega mengumbar kesalahanmu di depan Da’ath dan Nana-chan?”
Ujung-ujung bibirnya sedikit naik meski sorot matanya masih lesu. “Anda berubah.”
“Ya, sedikit. Gara-gara lelaki yang satu itu.”
Duh, kenapa aku senyum-senyum sendiri begini…
“Sepertinya anda benar-benar mencintainya… ya?”
“Tentu saja. Aku tidak pernah seyakin ini tentang perasaanku sebelumnya. Dan harus kuakui, banyak hal yang dimilikinya berpotensi memancing hati orang lain.” Kufokuskan pandanganku pada mata Clio. “Benar begitu?”
Lagi, Clio mengalihkan pandangannya ke kanan.
Kucondongkan sedikit badanku ke depan. “Sejak kapan?”
“Sejak…” jawabnya, kemudian terdiam.
“Mmm?”
“…saya rasa sejak di gurun itu.”
“Ah… begitu. Ya, harus kuakui dia benar-benar keren waktu itu. Dengan persenjataan barunya, dia nampak lebih---“
“Bukan itu, Yang Mulia,” potongnya. Arah pandangannya berlari ke kanan. “Jika… jika anda tahu bagaimana dia sebelumnya, maka anda akan merasakan hal yang sama…”
Saklar penasaranku aktif sudah. Maka kuminta Clio menjelaskan apa maksudnya. Diapun menceritakan bagaimana dulunya Da’ath hanyalah anak penakut karena trauma yang dialami.
“…dan sekarang, dia begitu luar biasa.”
Kata-katanya terhenti sejenak. Jarinya bergerak menyentuh piring kecil untuk tatakan cangkir.
“Meski dia adalah orang yang dipilih Tuhan dan mendapat dua malaikat berkedudukan sangat tinggi sebagai rekan… tidak ada sedikitpun saya lihat kesombongan di matanya.”
Hei, dia itu bisa arogan sesekali! Jika sudah memerintahkan sesuatu, maka mau tak mau Plasma harus membantu. Yah… tapi perintahnya selalu mengarah ke sesuatu yang baik sih.
“Saya juga melihat kalau Da’ath juga tak sungkan untuk mengobrol dengan siapapun, entah di istana ataupun di luar.”
Sebelumnya dia hanya orang biasa. Mungkin itu membantunya bersikap rendah hati dan merakyat.
“Bukan hanya itu… Dia terlihat berbeda ketika bersama Yang Mulia Nuachiel. Sorot matanya selalu nampak hangat dan lembut.”
Nana-chan itu masih anak-anak, terkadang perilakunya tidak stabil. Dia benar-benar butuh sosok seperti Da’ath. Apalagi katanya Da’ath adalah ayah angkatnya sejak dulu. Jadi, tidak begitu mengherankan untukku.
“Jadi, kamu suka padanya?”
Pipi Clio merona kemerahan. “M-Mmm.”
Kedua tangannya memegang cangkir putih. Dia mengangkatnya, kemudian perlahan menyeruput teh.
Kuambil nafas panjang.
“Kamu jujur? Sejujur-jujurnya?”
Clio meletakkan cangkir itu, kedua tangan masih menggenggam. Dia mengangguk pelan. Meski singkat, dia sempat memandang lurus ke dalam mataku.
“Baiklah, aku bisa mengerti.”
Tidak, aku tidak akan mengamuk. Tidak adil rasanya, apalagi aku belum menikah dengan Da’ath.
Tetapi aku harus tegas.
“Tapi perlu kamu ingat, Da’ath sudah memilih diriku---“
“Masalah terbesarnya bukan di situ, Yang Mulia…” potongnya.
Huh? Kupikir semuanya selesai dengan pengakuannya itu. Ternyata… tidak, ya?
“Jadi?” Refleks, kepalaku bergerak condong ke kanan.
“S-Saya… saya…”
Tubuhnya gemetar dan…
…air matanya jatuh.
Tetes demi tetes membasahi meja, meninggalkan jejak-jejak bulat yang perlahan menghilang.
“Clio…?”
Isak tangisnya makin menjadi. Makin deras, makin deras. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri.
Astaga, dia belum pernah menangis seperti ini di depanku!
Aku segera berdiri dan menghampirinya. Kugenggam lembut pundaknya.
“Clio…? Kamu kenapa?”
“S-Saya… Aaaaghhh!!” Dia menggebrak meja dengan kedua tangan, sehingga teh di cangkirnya tumpah.
Segera kutarik kedua bahunya. “Clio! Tenangkan dirimu!”
Gawat. Clio sudah mencapai batasnya. Sejak kembali dari pelatihan di Ohr-Nisgav, aku bisa merasakan kalau stress terus menumpuk dalam dirinya. Dan sekarang, ditambah beban perasaannya pada Da’ath…
Tangisnya tidak berhenti. Dia malah meraung makin keras.
Kuguncangkan tubuhnya, “Hei, Clio!!!!”
Argh, dia tidak berhenti juga menangis! Maaf, Clio. Aku tidak mau melakukan ini, tapi…
*PLAAAAAKK!!!*
Kutampar keras pipi kirinya.
Seketika, segalanya berubah hening. Hanya kicau burung yang mampir ke telingaku.
Uh… aku tidak kuat. Sekarang air mataku ikut keluar begini…
“Kumohon, Clio. Berhentilah membuatku khawatir… Kamu yang dulu tidak pernah begini, selalu bicara jika memang ada masalah. Tapi.. sejak dua ratus tahun lalu kamu lebih sering menghindariku, bahkan sampai mundur dari jabatanmu dulu…”
“M-Maaf, Yang Mulia… m-maaf…” jawabnya sambil berusaha menelan tangis. “T-Tapi, saya… saya benar-benar merasa hina…”
Aku tak mengerti maksudnya dengan ‘merasa hina’, dan aku tidak ingin berusaha mengertinya saat ini. Aku hanya ingin dia benar-benar jujur dan terbuka. Dengan begitu, baik aku maupun dia tidak lagi merasa terbeban. Sudah cukup. Aku ingin Clio kembali menjadi sosok ceria dan tegas seperti dulu, ketika masih menjabat sebagai panglima seluruh Angel-class di Shamayim.
“Clio,” panggilku lembut.
Kuhapus jejak air mataku. Maju sedikit, aku berlutut dekat kakinya. Kuraih tangannya, lalu menggenggamnya pelan. Ukuran jemarinya membuatku tersadar kalau dia bukanlah lagi seorang gadis kecil seperti yang kujumpai sekitar 1000 tahun yang lalu.
Kupandang jauh ke dalam dua biru safir itu. “Apa aku… pernah menyakiti hatimu? Membuatmu kesal? Atau ada dendam terhadapku? Kalau ya, katakanlah. Kalau kamu ingin marah, marahlah. Bahkan silakan pukul diriku jika kekesalanmu tidak bisa ditahan lagi. Tidak apa-apa jika itu memang perlu. Aku… aku hanya ingin tidak ada lagi yang membebani dirimu sampai seperti ini…”
Mengusap-usap mata, dia menjawab, “Tidak, Yang Mulia. Bukan… bukan itu. Anda tidak pernah sengaja menyakiti saya. Ini… ini semua salah saya sendiri.”
“Lantas apa yang membuatmu begini? Kumohon, beritahukan padaku. Jika aku bisa membantu menyelesaikan, akan kulakukan. Kulakukan secepat yang kubisa.”
“Haruskah…”
Aku mengangguk beberapa kali. “Aku siap mendengar apapun darimu.”
“B-Begitu ya… Baiklah, a-akan saya katakan,” jawabnya gemetaran. “S-Saya mohon jangan merasa jijik mendengarnya.”
Hening. Beberapa saat dalam kebisuan sempat menggelitik otakku. Merasa jijik? Untuk apa merasa begitu---
“S-Saya… mencintai Anda, Yang Mulia.”
Huh?
“S-Seperti seorang pria mencintai seorang w-wanita…”
BLARRR!!!!
Kata-kata itu membombardir dadaku layaknya ledakan beruntun Spatial Breaker. Tiap suku katanya menggempur lubuk hatiku yang terdalam. Mengguncang setiap sudut idealisme yang kupegang teguh.
Mencintaiku? Clio?
Lidahku kelu, namun aku tetap berusaha memanggil namanya. “C-Clio…a-apa benar---“
“Tentu saja itu benar, Yang Mulia!” potongnya, setengah berteriak dan mendekatkan wajahnya padaku. “S-Saya tidak tahan lagi… perasaan ini terus membuat saya tertekan. Terserah apa kata anda, tapi… tapi… sudah tidak ada lagi yang saya tutupi dari anda…”
“Kenapa---“
Lagi-lagi dia memotong, setengah berteriak.
“Karena anda terlalu baik!”
Air mata kembali jatuh dari matanya, membasahi tanganku. Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Terus, dan terus. Aku dapat merasakan kesedihannya dalam genggamanku. Perasaannya hancur, benar-benar hancur.
“S-Sejak saya kecil… anda tidak pernah sekalipun mengabaikan saya. Ketika ayah saya meninggal… hanya anda yang ada di samping saya. Sewaktu saya sakit… anda selalu berada di samping tempat tidur saya. Saat saya bermasalah dengan bawahan pun… cuma anda yang selalu memberi kekuatan. D-Dan dua ratus tahun terakhir ini… s-saya… saya makin menyadari perasaan cinta itu…”
Aku tak bisa membalas kata-katanya. Semuanya benar. Ibunya meninggal ketika dia lahir, sehingga secara tak sadar aku terkadang bertindak layaknya seorang ibu. Tapi tidak kusangka, semua kebaikanku itu…
Masih berurai air mata, Clio menggenggam erat tanganku dan melanjutkan, “Segala sifat dan p-perilaku anda… benar-benar mengikat perasaan saya. Bahkan sifat tersembunyi anda yang manja di hadapan Da’ath pun… s-saya menganggapnya sebuah kualitas dari diri anda…”
Kesimpulannya, dia menyukai segala hal dari diriku, yang akhirnya mengantar hatinya pada suatu bentuk romantika. Sekarang aku paham betul kenapa dia merasa dirinya begitu hina.
“I-Itulah kenapa… saya merasa makin tercabik-cabik ketika juga menyukai Da’ath…”
Namun… tetap saja, perasaannya itu adalah sebuah dosa. Maksudku, dia itu perempuan! Tuhan hanya merestui hubungan antar lawan jenis dalam pernikahan, tidak ada yang lain. Ingin rasanya kunasihati dirinya, tetapi…
…dia berlutut di depanku.
Dierendahkannya tubuh hingga pipinya menyentuh tanganku.
“M-M-Maafkan saya, Yang Mulia… Maafkan saya yang menjijikkan ini… Anda b-bisa menghukum saya jika anda berkenan…”
Raungan maaf terus digemakannya.
Aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Memang benar perasaannya padaku adalah sebuah dosa, tetapi… jika sudah begini, apa iya aku harus menghukumnya?
Huh… Da’ath, Da’ath. Aku benar-benar beryukur bisa bertemu denganmu. Jika tidak, mungkin aku sudah membuat undang-undang khusus untuk menghukum dosa jenis ini.
Ya, aku tidak akan menghukumnya.
Kupeluk Clio. Kubelai pelan rambut hitamnya yang berkilau itu.
“Sudah ya, jangan menangis lagi,” ujarku lembut. Mungkin sekitar 10 menit kudekap dirinya hingga isak tangisnya beranjak pelan.
Kulepaskan pelukku, lalu menatap lurus ke dalam matanya.
“Seingatku tidak ada hukuman yang cocok untukmu. Lagipula perasaanmu itu masalah pribadi. Hukum Shamayim hanya berurusan dengan perkara yang meresahkan rakyat banyak.”
“T-Tapi… s-saya telah berdosa---“
Aku menggeleng singkat.
“Hati nurani sudah menghukummu begitu berat. Tidak adil rasanya jika ditambah lagi.”
Aku menaruh tangan kananku di kepalanya, lalu membelainya pelan. Sama seperti yang sering Da’ath lakukan.
“Sekarang, kembalilah ke kamarmu dan tenangkan diri. Kamu juga harus berdoa dan mengakui dosamu di hadapan Tuhan.”
“A-Anda serius…?” tanyanya ragu sambil mengusap-usap mata.
Aku mengangguk. “Amat sangat serius sekali, Clio. Aku tidak akan menghukummu ataupun menasehatimu panjang-panjang. Toh kamu sudah merasa sangat berdosa dan menyesal. Dan aku tahu tidak ada kebohongan.”
Namun tetap ada satu hal yang harus dilakukan Clio.
“Satu saja permintaanku, beritahukan hal ini pada Da’ath. Bagaimanapun juga kamu sudah menyembunyikan fakta darinya.”
Clio tertunduk lesu. Maka kukembangkan senyum terlebar yang kubisa.
“Jangan khawatir. Jika dia bereaksi aneh-aneh, akan kulempar dia dari atap istana.”
Ujung-ujung bibirnya perlahan naik. Tawa kecil pun lolos dari situ. Hatinya sudah terlepas, penuh kelegaan, tak ada lagi beban. Air mata yang masih membasahi matanya hanyalah bekas kesedihan yang sudah berlalu.
***
“Di sini kamu rupanya.”
Aku baru saja membuka pintu ruang data. Beberapa puluh menit yang lalu aku turun ke Mobile Fortress untuk menemui Da’ath. Menemui Biblos ---untuk bertanya posisi Da'ath saat ini--- sih mudah dengan adanya H.O.P.E. Communicator. Tapi… jarak antara Biblos ---di ruang mesin--- dan Da’ath ---di ruang data--- cukup jauh. Harus jalan kaki pula. Sayapku terlalu lebar untuk ukuran koridornya…
“Huh? Kamu bisa buka pintunya?” tanya Da’ath keheranan. Dia sedang berdiri tak jauh dari sebuah kotak logam besar keperakan pada posisi baris pertama kolom kedua jika dihitung dari pintu.
“Heh, aku ini Archangel, mungkin dulu juga mantan kru kapal ini. Sudah pasti aku punya akses ke segala ruang di sini.”
“Hoo… benar juga ya.” Da’ath hanya mengangguk-angguk. “Lalu?”
“Ikut aku ke atas sebentar.”
“Maaf, tapi aku tidak bisa."
“Sibuk… ya?” tanyaku sambil membentur-benturkan kedua jari telunjuk, beberapa sentimeter di bawah dagu. Otot-otot wajahku juga terasa melemas. Bagaimana tidak? Ini masalah penting! Bukannya aku tidak suka melihatnya bekerja, namun aku ingin masalah tentang Clio harus dituntaskan hari ini juga. Lagipula benar-benar hanya sebentar, mungkin tak akan sampai 2 jam.
“Begitulah. Bukannya aku tidak mau, tapi segala sesuatu di ruangan ini hanya bisa diakses olehku. Karena itu…”
Da’ath terdiam, memandangku sejenak, kemudian menarik nafas panjang.
“Oke, oke. Aku ke atas."
Aku tersenyum cerah. “Naaah… begitu dong. Kalau sudah selesai, kamu bisa lanjut bekerja kok. Toh aku sudah minta ijin pada Biblos.”
“Oh? Sudah minta ijin? Baiklah, kalau begitu tidak masalah. Biar kumatikan dulu ruang datanya.”
“Biar aku saja. Yang mana tombolnya?”
“Cuma perlu taruh tangan di panel biru itu, lalu mengintip ke bulatan merahnya,” jawab Da’ath, menunjuk ke arah objek yang dimaksud, berada di dinding sebelah kiri tak jauh dari pintu, “Tapi---“
Belum selesai Da’ath bicara, aku sudah menaruh tanganku di atas panel biru. Muncul pesan dalam layar holografik kebiruan.
Please put your eye in front of retina identifier.
Oke, mengintip ke bulatan merah di sebelah kanan…
Welcome, Crusader! Deactivate data storage?
Pesan yang sama muncul setiap kali aku mengaktifkan H.O.P.E. Communicator. Kusentuh tulisan Yes pada layar holografik. Seluruh kotak di belakangkupun berhenti mendengung.
“Sudah kumatikan. Sekarang, ayo kita ke---“
Da’ath tak bergerak dari tempatnya. Dahinya berkerut. Telunjuknya mengarah padaku, sedikit gemetar.
“K-Kamu… bisa mematikannya?” tanyanya pelan.
Refleks kumiringkan kepalaku ke kanan. “Eh? Ada yang aneh dengan itu?”
“Biblos bilang tidak ada yang punya kontrol atas ruang data ini selain diriku!”
Ini adalah kedua kalinya aku mendapat hadiah dentuman 'Spatial Breaker', tepat di jiwaku.
================================
Spoiler untuk Trivia :
N/A
Last edited by LunarCrusade; 05-04-14 at 01:19.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Spoiler untuk Tehillim 52 :
=========================================
Tehillim 52: Theoria Part I ~ Eye of Transcendence
=========================================
“Kakaaaakk!! Kak Metatroooonn!!”
Suara seseorang memanggil, tepat ketika kaki kiriku sudah keluar batas pintu utama istana. Siapa lagi pemilik suara nyaring itu kalau bukan Sandalphon, adikku? Padahal sudah tengah malam begini…
“Jangan lupa suratnya.”
Dia menyerahkan sesuatu padaku. Sebuah amplop.
“Ah… hampir saja ketinggalan.” Kuterima dengan tangan logamku. “Terima kasih banyak.” Kubelai sesaat rambut perak bercahayanya.
Well, pekerjaan beberapa hari terakhir sukses membuatku sedikit tidak konsentrasi. Padahal surat itu ---surat ijin khusus yang langsung ditandatangani Raqia--- penting sekali bagiku agar tidak dicurigai patroli Shamayim. Apalagi sekarang sudah tengah malam.
“Jadi, apa rencana dua puluh empat jam ke depan?”
“Nanti pagi akan kuminta Erato untuk menyalakan ruang mesin nomor tiga. Crusader-Saint juga, karena hanya dia yang bisa mengakses beberapa hal di Mobile Fortress. Dan masih ada lagi beberapa hal yang harus kutunjukkan pada Deshiel, karena sepertinya dia ingat sesuatu. Semoga Tuhan mengijinkan semuanya lancar.”
“Jangan lupa ‘Yang Mulia’nya. Sekedar untuk kesopanan saja. Bagaimanapun juga, dia tetaplah pemimpin empat belas juta orang.”
Menggaruk-garuk kepala, dia menjawab, “Ehehe… iya. Maaf, maaf. Maksudnya, Yang Mulia Deshiel.”
Raphael memang meminta Yang Mulia Deshiel tinggal di sini untuk sementara, namun aku masih belum mengerti tujuannya.
“Baiklah, aku pergi dulu. Tolong tengok-tengok Raqia juga.”
Baru saja aku ingin berbalik, tanganku ditarik.
“Kenapa lagi?”
“Menunduk sebentar dong… kak,” jawabnya malu-malu.
Huh, dasar anak manja. Tapi ya sudahlah. Akupun setengah berlutut di depannya.
Bibirnya mengecup pipiku sesaat.
“Hati-hati ya.”
***
Melayang di atas jalanan Shamayim, aku melaju ke suatu area sekitar 20 kilometer di sebelah timur istana. Pekerjaanku malam lalu terhenti di daerah itu karena datangnya pagi. Jika ada yang bertanya apa tujanku ke sana, maka jawabannya hanya satu.
Memeriksa ‘akar’.
Ya, ‘akar’. Entitas semi-organik yang berasal dari Mobile Fortress. Menurut hasil scanning, ‘akar’ tersebut menyebar ke segala arah pada kedalaman beberapa belas meter, berpusat pada benteng logam raksasa yang terkubur itu, nyaris menutupi seluruh bawah tanah Shamayim. Karena sebarannya itulah aku memutuskan untuk menyelidikinya. Jika terjadi abnormalitas pada ‘akar’, maka seluruh penduduk kota adalah taruhannya. Sebagai salah satu komandan legiun pasukan malaikat yang bertugas menjaga alam semesta dan mengawasi manusia, hal itu mustahil kuabaikan.
Akhirnya, aku tiba di titik tujuan. Layaknya kemarin, kusentuh sesaat batu jalanan keabuan dengan telunjukku. Dari titik sentuhan, terbentuk batang cahaya keemasan setinggi 1 meter. Batangan itulah yang membantuku melakukan scanning, mengirimkan citra lapisan tanah di bawah kakiku.
Sebuah layar holografik muncul di depanku, menanyakan apakah aku ingin melakukan loading data yang kemarin. Kutekan Yes, maka muncul 7 layar holografik berbeda. Tiap layarnya menampilkan citra kedalaman tanah, komposisi kimianya, kepadatan, hingga biota apa saja yang ada dalam radius beberapa ratus meter. Dan ada satu hal menarik yang kutemukan.
Unsur radioaktif.
Memang yang terdeteksi tidaklah besar, bahkan dapat kukatakan sedikit di bawah ambang batas normal. Namun satu keanehan, unsur-unsur itu mengalami penurunan dalam segi kadar dari hasil pemeriksaan kemarin. Untunglah segala fiturku super sensitif sehingga mampu mendeteksi penurunan meski hanya 1 atom sekalipun.
Anehnya lagi, unsur-unsur tersebut tidaklah meluruh. Hukum yang bekerja di alam semesta ini mengatakan, segala unsur radioaktif berat ---nomor atomnya biasanya besar-besar--- akan meluruh seiring waktu, berubah menjadi unsur beberapa nomor di bawahnya. Sementara yang kutemui kali ini… menghilang. Ya, unsur-unsur itu lenyap begitu saja tanpa ada sisa-sisa peluruhan. Begitu kuselidiki lebih lanjut, ternyata ‘akar’ itulah pelakunya, menyerap unsur-unsur radioaktif.
Ada faktor kesengajaan di sini. Artinya, fungsi ‘akar’ tersebut diatur sedemikian rupa untuk melakukan tugas itu. Kuharap kurang dari 24 jam, adikku bisa menemukan apa yang mengatur ‘akar-akar’ itu. Dalam Mobile Fortress, tentunya.
Dari sini aku bisa menarik kesimpulan sementara.
‘Akar’ itu berfungsi memulihkan tanah dari unsur yang tidak seharusnya ada.
Pertanyaannya, bagaimana unsur-unsur itu bisa ada dalam tanah?
Mengingat unsur radioaktif sangat jarang ditemui secara alamiah di Bumi, sangatlah aman untuk mengatakan bahwa semua itu buatan manusia. Jika buatan manusia, pastilah memiliki kepentingan tertentu.
Ada 2 kepentingan. Pertama, sumber pembangkit energi. Jika asumsi ini benar, maka sisa radioaktif dalam tanah ini adalah kebocoran reaktor nuklir yang pernah terjadi di masa lalu. Dan kepentingan kedua adalah…
…perang.
Berhubung Unified Data Storage di surga sana nyaris terbuka seluruhnya, maka banyak sekali ingatan yang kembali padaku. Salah satunya detail tentang perang itu. Kekuatan pasukan Bulan saat itu JAUH melebihi teknologi militer Bumi. Ya, karena Divine Technology. Jurang peradaban tersebut membuat pemerintah-pemerintah Bumi begitu putus asa dalam menghdapi kami, berujung pada tindakan ultra-destruktif tanpa pikir panjang.
Senjata nuklir.
Program anti senjata nuklir yang digaungkan orang-orang Bumi jauh sebelum perang menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan. Entah berapa puluh yang diluncurkan untuk menghajar Mobile Fortress dan front peperangan di berbagai lokasi. Seingatku, pasukan Crusader-Saint memang mengalami kehilangan, namun orang-orang Bumilah yang merasakan dampak paling buruk.
Bukan hanya kehilangan nyawa, tetapi juga… planet ini.
Kota-kota tak lagi bisa didiami. Kualitas udara menjadi begitu buruk. Bahkan sisa vegetasi dalam area luas hanya tersisa di sekitar lokasi Pardes sekarang, dan kepulauan tempat Batavia berada. Dan tanah ini… pastilah sempat menjadi target serangan nuklir.
Well, aku harus membuktikannya dengan memeriksa satu sampel tanah lagi di dalam kota untuk memastikan, lalu memeriksa yang di luar tembok. Jika unsur-unsur radioaktif di luar sana lebih tinggi meski hanya sedikit, maka pemikiranku tadi memiliki kemungkinan 99% benar.
Jika harus kuhubungkan dengan kemampuan yang dimiliki penduduk Shamayim, aku bisa membayangkan bagaimana mekanisme ‘akar’. Jawabannya hanya satu, ‘akar’ itu mendistorsi ruang-waktu dalam skala amat kecil, dan diprogram supaya menghilangkan partikel-partikel yang tidak diinginkan. Mungkin dipindahkan ke dimensi berbeda, mungkin juga dikonversi menjadi energi. Berhubung alat bawah tanah itu sudah ditinggal sekian lama ---tanpa Divine Energy---, maka kerusakan atau kelainan pada programnya sangat mungkin terjadi.
Baiklah, mungkin nanti akan kudiskusikan dengan Sandalphon. Saatnya bergerak kembali, melayang di atas jalanan kota.
Tunggu.
Aku melihat sosok seseorang. Malam ini agak berkabut, sehingga sensor visualku tidak bisa diandalkan 100%.
Ingin kunyalakan penglihatan inframerahku, tapi… sudah tidak penting lagi. Berkonsentrasi sesaat, aku bisa merasakan Archangel Core. Makin dekat, pita ungu dan rambut perak sebahu yang berkilau itu sudah jadi petunjuk jelas.
Sosok bersayap enam itu mendarat di hadapanku. Sekejap keenamnya menghilang.
“Hai!” sapanya riang.
Nuachiel. Maksudku… Nana. Dia mengenakan setelan piyama ungu.
“Kamu rupanya. Kupikir kamu sedang tidur.”
“Naaah… aku ingin tanya itu.”
“Bertanya tentang tidur?” tanyaku heran.
“Iya, tapi jangan di sini. Kita cari dulu tempat duduk yang enak. Taman, mungkin?”
Dekat sini memang ada sebuah taman kecil. Well… karena aku sebenarnya juga ingin bicara dengannya, kuladeni saja.
***
Luas taman ini kira-kira hanya sedikit lebih luas dari ruang mesin Mobile Fortress. Ada dua pohon besar di sini, keduanya berdiri berjauhan. Nuachiel duduk pada salah satu bangku panjang dekat salah satu pohon. Akupun mengambil duduk di sebelah kirinya setelah menghilangkan sayap foton semi-padat di punggungku.
“Aku langsung saja ya. Kenapa kadang-kadang aku merasa mengantuk, tapi kadang-kadang tidak?” tanyanya.
“Sebelum kujawab, aku juga ingin bertanya. Kenapa baru bertanya sekarang?”
“A~aahhh!! Kok kamu malah balik tanya…” Ekspresinya berubah cemberut.
“Hahaha…!! Ternyata kamu masih sama saja seperti dulu, Nana.” Kuacak-acak rambutnya, gemas. Meski dalam hal ini aku mirip dengan Da’ath, tapi aku selalu menahan diri agar tak melakukannya di depan banyak orang.
Cemberut itu segera berubah menjadi senyuman. “Ternyata kamu masih ingat namaku, ya… Terima kasih banyak, Meta-san.”
“Dan kebiasaanmu memanggilku dengan bahasa Chalal itu belum juga hilang, meski dulu bahasa itu digunakan orang-orang yang tinggal di kepulauan Yamato di seberangnya. Well, nenekmu memang lama tinggal di kepulauan itu, kan?”
“Iya, Oma pernah tinggal di sana hampir delapan tahun sebelum bertemu Opa, lalu kembali ke sana ketika Papa dan Mama kandungku menikah. Dan…”
Wajahnya berubah murung.
Kugerakkan sedikit tanganku, membelainya. “Sudah, jangan diingat lagi."
Ayah dan ibu kandungnya meninggal ketika dia berusia 3 tahun. Sejak hari itu, Nana diasuh oleh neneknya.
“Aku tidak sedih kok.”
“Ya, aku tahu. Bahkan kamu tidak meneteskan air mata waktu itu.”
“Bagaimana aku bisa menangis, mengetahui kalau Tuhan sendiri yang menjemputnya secara spesial? Tapi… sejak ke kuburan Oma waktu itu, rasanya sedikit… sepi.” Nana menyentuh dadanya. “Di dalam sini.”
“Bukankah kamu sudah bertemu lagi dengan ayah angkatmu? Lantas kenapa masih merasa kesepian?”
“Aku… masih merasa ada yang kurang. Papa juga merasakan hal yang sama.”
Kusentuh daguku. Berpikir sejenak, kulontarkan sebuah pertanyaan.
“Apa ada yang hilang? Maksudku, seseorang yang seharusnya ada, namun tidak bisa diingat lagi oleh siapapun saat ini.”
Nana melongo sesaat.
Dia menarik-narik lengan logamku, gemas. “Meta-saaaann!! Aku heran kenapa dari dulu kamu jenius sekaliiii??!!”
“Ahaha… kamu benar-benar tidak berubah, selalu saja begini setiap aku maupun adikku bisa menebak isi pikiranmu. Padahal yang kami lakukan sederhana saja. Mengamati, mengamati, mengamati, lalu menyimpulkan.”
“Tapi aku kan… tidak bisa seperti kalian…” Pipinya mengembung.
“Yang jelas pernyataanku benar, kan?”
“Iya, Papa juga bilang seperti itu. Papa malah bisa tahu ada sosok yang hilang sewaktu bayangan tentang masa lalu mampir di kepalanya.”
“Begitu rupanya. Baiklah, apa kamu mau dengar pemikiranku?”
Dia mengangguk cepat. Antusiasmenya mengingatkanku pada Archangel kecil yang satunya lagi.
“Aku akan pelan-pelan saja.”
Pandangannnya fokus padaku. Diapun menelan ludah.
“Pertanyaan. Dari siapapun yang pernah kamu ingat, adakah yang kamu rasa janggal? Tidak usah buru-buru. Kuberi satu petunjuk, mulailah mengingat orang-orang yang sangat akrab denganmu.”
Memandang langit, Nana mulai menghitung dengan jari. Bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. Satu menit... Dua menit…
“Iya, sudah. Lalu?”
“Eliminasi semua yang baru kamu kenal kurang dari dua ribu tahun, dan juga yang nama masa lalunya kamu ketahui.”
Hening. Satu. Dua. Tiga…
“Mmmh!!!!!” Matanya terbuka lebar.
“Sisa berapa?”
“Tiga!”
“Yang satu pasti Da’ath. Benar?”
“Nggghh!! Meta-saaaannn!! Kenapa kamu bisa tebak lagiiii??” Tangannya memukul-mukulku manja.
“Hei, itu bukan tebakan. Banyak yang sudah tahu hal itu. Nama Da’ath adalah nama yang diberikan keluarga Ruachim ketika menemukannya dua puluh satu tahun yang lalu. Jadi, jelas sekali dulu namanya bukan itu. Dan berhubung kamu begitu akrab dengannya, maka yang satu adalah dia. Chrono Scroll sudah membuktikannya juga, kan?”
Bibirnya membulat, kepalanya mengangguk-angguk. “Ooo… begitu. Ya, ya, aku mengerti. Jadi, bisa tebak yang dua lagi?”
Kusebutkan nama dua orang itu. Maksudku, nama mereka yang sekarang.
“Bagaimana bisa?!”
“Karena sebagian besar ingatanku sama denganmu. Maksudku, ingatan tentang orang-orang yang pernah ada di masa lalu. Ingat, kita ini sudah kenal akrab sebelum merekrut enam Archangel lainnya. Apalagi segala ingatanku dan adikku sudah banyak yang terbuka karena Unified Data Storage hanya tersisa layer terakhir.”
Aku mengatakan ‘banyak’ karena, jujur saja, aku tidak begitu yakin dengan perkataan Raphael. Aku masih punya hati, dan hatiku merasakan sesuatu seperti Nuachiel. Masih ada yang hilang.
Nana memegang kedua sisi kepala. “Uuuhhh… aku pusing… Jangan bahas-bahas itu dulu.”
Benar-benar mirip seseorang kalau sudah kebingungan.
“Hahaha…!! Oke, oke, maafkan aku. Jadi, mau lanjut atau tidak?”
“Baiklah … tapi jangan menjelaskan yang aneh-aneh yah.”
“As you wish. Kalau begitu, kulanjutkan.”
Kembali matanya fokus padaku.
“Sebenarnya aku bisa tahu salah satu dari dua nama sisa yang kamu lupakan, bahkan tanpa ingatan masa laluku sekalipun.”
“Huh? Bagaimana caranya?”
“Ingat pertempuran di gurun itu?”
“Iya, ingat.”
“Kenapa kamu menyapa ramah orang itu, sementara yang di dekatnya tidak? Padahal mereka keluarga. Sebelum ingatan masa laluku kembali, aku pernah diberitahu kalau keduanya adalah keluarga.”
“Apa mungkin karena… penampilannya berbeda?”
Aku menggeleng. “Yang tidak kamu sapa itu bukan Archangel, bahkan tidak pernah menggunakan Archangel Core. Jadi, tidak ada perubahan penampilan.”
“Lalu…?”
“Karena dia pernah melakukan sesuatu yang gila.”
Dahi Nana berkerut. Dia berusaha mengingat sesuatu.
“Karena mereka melanggar hukum Tuhan, kan?”
“Mereka memang berdosa. Archangel Core nomor dua keluar dari tubuh si pemegang asli sebagai akibatnya. Tapi alasan kenapa nama yang satunya tidak bisa kamu ingat adalah karena dia…” Kuhentikan suaraku sejenak. “…gila. Kuberitahu satu hal. Mereka sekarang tinggal di luar empat dimensi ruang-waktu alam materi---”
“S-S-Stop…!!” serunya. “Permudah… dong,” lanjutnya pelan.
“Mereka tidak tinggal di alam semesta ini.”
“HAH?!” Mulutnya menganga lebar. “Bagaimana bisa?!”
“Kalau kujelaskan tentang teori ruang-waktu, kepalamu bisa meledak. Jadi, kulanjutkan saja.”
“O-Oke.”
“Seandainya dia tidak melakukan kegilaan itu, mungkin Da’ath akan memohon pada Tuhan untuk mengampuni dosa mereka.”
“Eh? Apa ada alasan kenapa Papa tidak memohon pengampunan untuk mereka? Memangnya apa yang mereka lakukan?”
“Yang tidak kamu sapa itu membocorkan seluruh penampungan Divine Energy pada Mobile Fortress. Itulah kenapa sekarang benteng besi raksasa itu tidak bisa dideteksi oleh radar Divine Energy milikku maupun Sandalphon.”
“Tapi bukankah itu berbahaya?! Papa dulu pernah bilang begitu.”
“Betul. Divine Energy bersifat sangat berbahaya jika tidak disimpan dalam device khusus, berbahaya untuk kelangsungan seluruh alam semesta. Itulah alasanku menyebut yang tidak kamu kenali itu sebagai orang gila.”
“Lalu kenapa yang satu lagi tidak mencegahnya?! Bukankah mereka---“
Kupotong kepanikannya itu. “Sudah, Nana. Sudah. Yang satu itu sudah mencegahnya, mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghalau Divine Energy yang bocor sehingga bisa diamankan. Sayangnya dia…”
Sebenarnya aku tidak tega mengatakannya. Tetapi, demi kebenaran…
“…meninggal. Nyawanya tidak terselamatkan karena Archangel Core tidak lagi berada dalam tubuhnya. Dia hanya mengandalkan mutasi genetik yang memperkuat tubuhnya sebagai efek samping penggunaan Archangel Core.”
“Tidak. Itu tidak mungkin.” Dia menggeleng-geleng cepat. “Jadi paman Raziel sudah meninggal sejak dulu?!”
“Ya, benar. Raziel sudah mati sejak lama,” jawabku pelan, “Inferna membawa jasadnya menyusup keluar alam semesta karena adanya distorsi dimensional akibat bocornya Divine Energy. Saat itu aku dan adikku sedang berusaha memperbaiki distorsi tersebut, sehingga tidak sempat mengawasi Inferna secara ketat.”
Nana menggenggam lenganku kuat-kuat. “Lalu siapa yang kulihat waktu itu?!”
“Iblis. Mephistopheles.”
“I-I-Iblis…?” tanyanya ragu, mengonfirmasi.
“Kedatangan comrade Raphael memperjelas hal itu. Dia mengatakan bahwa Mephistopheles hanya akan keluar dari neraka jika merasakan suatu permintaan diwarnai keputusasaan. Kesimpulanku, Inferna memanggil iblis itu karena dia ingin melihat Raziel hidup kembali. Tidak ada permintaan lain yang masuk akal selain ingin melihat seseorang yang kamu cintai hidup kembali dari kematian. Dan perlu kamu tahu, tidak ada satupun iblis yang bisa mengendalikan manusia secara penuh seperti kasus Raziel di gurun itu, kecuali roh orang itu memang sudah tidak ada di tubuhnya.”
“Kalau begitu kamu bisa hubungi teman-temanmu di surga, kan?! Tanyakan pada mereka tentang paman Raziel!” serunya panik.
Kembali kutaruh tanganku di kepalanya, membelai. “Tenangkan dirimu, Nana. Sayang sekali hal itu tak mungkin kulakukan.”
“Kenapa?!”
“Aku memang bertugas mencatat perbuatan semua manusia dan tentu termasuk kapan waktu kematian seseorang, tapi itu di surga sana. Dan… saat ini catatan itu sedang dipegang Tuhan sendiri.”
“Tidak bisakah… Dia dibujuk? Apa aku harus berdoa?”
“Tidak bisa. Sekuat apapun kamu berdoa, jika Tuhan memutuskan kalau saat ini belum waktunya… maka kamu tidak bisa berbuat apapun. Well, tapi tidak ada salahnya mencoba. Toh Dia senang melihat anak-anakNya berdoa sungguh-sungguh, meski jawabannya tetap tergantung padaNya.”
“Baiklah, akan kucoba. Mudah-mudahan Dia mau bicara…”
“Jika tidak dijawab, kuharap kamu tidak kecewa.”
“Tentu saja tidak, Meta-san. Maaf ya sudah meminta yang tidak-tidak…” jawabnya lesu. “Aku hanya menyayangkan… padahal seingatku paman Raziel dulunya baik, humoris, dan sangat ramah. Terkadang aku lebih suka berada di dekatnya dibanding paman Uriel--- maksudku, paman Uriah.”
“Ya, benar apa katamu.” Kulipat tanganku di depan dada. “Di antara berenam, hanya dia tidak memiliki trauma ataupun kelainan sifat, sehingga perilakunya pun demikian. Entah apa yang menyebabkan dia mau saja melakukan dosa itu.”
Sambil mengerutkan dahi, Nana merespon, “Tunggu. Kamu tidak ingat alasannya?”
“Tidak. Bukankah tadi sudah kubilang, semua ini hanyalah pemikiranku? Aku hanya melakukan pengambilan kesimpulan dari data-data dan ingatanku yang masih ada.”
“Tapi tadi katamu… ingatanmu…”
“Banyak yang kembali, tapi tidak semua. Kalau boleh sekali lagi berteori, ini semua ada hubungannya dengan layer data terakhir itu. Sekarang aku ingin tanya. Menurutmu, bagaimana caranya agar seseorang bisa melupakan sesuatu?”
Matanya memandang langit bertabur bintang, jarinya mengetuk-ngetuk dagu. Satu. Dua. Tiga.
Dia mengepalkan tangan, mengangkat keduanya tinggi-tinggi ke udara. “Pukul kepalanya!” jawabnya riang.
Huh… anak ini. Mendengar jawabannya, aku hanya bisa menepuk dahi.
“Belum tentu. Jika otak seseorang tidak, minimal, terguncang hebat, orang itu tidak akan melupakan sesuatu. Jadi harus ada gangguan pada otak. Lebih bagus lagi kalau ada kerusakan. Itu pertama.”
“Uh? Ada lagi?”
“Tentu. Yang kedua adalah menghilangkan eksistensi. Kuberi contoh. Jika eksistensiku dilenyapkan, maka adikku tidak akan pernah mengenal malaikat bernama Metatron seakan dia tidak pernah bertemu diriku sama sekali.”
Matanya melebar, mulutnya membuka, jarinya menunjukku. Sepertinya dia paham.
“Ah! Jadi tiga nama itu…”
“Betul. Aku berani bertaruh kalau tiga nama itulah yang disimpan pada layer data terakhir Unified Data Storage di surga--- Tunggu, kali ini kamu bisa paham, kan?”
“Sedikit. Tadi belum pemanasan otak sih… ehehehe…” Dia tersenyum, menjulurkan lidah sedikit.
“Bagus kalau begitu. Baiklah, kulanjutkan. Tiga nama itu disimpan pada layer data terakhir, karena itulah hanya mereka bertiga yang eksistensinya paling samar-samar.”
“Untuk tujuan apa?”
“Dalam kasus Inferna, tujuannya adalah damnatio memoriae karena dia sudah mempermalukan pasukan Crusader-Saint dengan berdosa sekaligus melakukan kegilaan.”
“Kalau begitu kenapa disimpan, bukan dilenyapkan?”
Kusentuh daguku. “Mengetahui sifat Da’ath… mungkin dia menunggu waktu hingga dirinya siap untuk memaafkan Inferna. Dia bukan orang yang suka menyimpan dendam. Tapi sebagai manusia, dia juga butuh waktu. Mungkin kejadian itu membuatnya amat sangat marah karena membahayakan seluruh makhluk hidup hanya demi emosi pribadi.”
“Oke, aku mengerti. Lalu Papa sendiri?”
“Divine Technology. Ingat, ada beberapa device Divine Technology yang hanya bisa digunakan olehnya. Dengan menghilangkan eksistensinya untuk sementara, maka tidak ada satupun makhluk di surga dan Bumi, kecuali Tuhan sendiri dan katalog Divine Technology, yang mengetahui keberadaan alat-alat itu hingga dia kembali, karena ada hubungan antara eksistensi Da’ath dengan eksistensi alat-alat itu. Pastilah dia tidak ingin benda-benda itu jatuh ke tangan yang salah.”
“Nah, yang satu lagi?”
“Dia yang paling misterius. Aku tidak mau mengatakan teori apapun sebelum datanya cukup.”
“Ayolaaahh…” Dia kembali menarik-narik lenganku. “Kamu kan jenius, pasti bisa memikirkan sesuatu meski data yang kamu miliki cuma sedikit. Tebak-tebakan saja tidak apa-apa kok, ini kan pembicaraan santai. Kamu ini kadang-kadang kaku sekali sih…”
Aku tertawa sejenak. “Hahaha… benar juga katamu. Oke, tapi jangan kaget.”
Tujuh kali anggukan cepat menjadi jawabnya. Semangat sekali dia.
Kuberitahukan dugaanku tentang orang itu. Well, ini masih hipotesis, belum pantas dikatakan teori.
“HAH?!”
“Tidak percaya?”
Berlawanan dengan yang tadi, kali ini tujuh gelengan cepat.
“Da’ath pernah bercerita kalau kamu merasakan sesuatu dari diri orang itu. Apa itu benar?”
Tujuh kali anggukan lagi.
“Coba jelaskan bagaimana rasanya.”
“Hmm… bagaimana ya… pokoknya aku merasa dia itu begitu hangat, mirip sekali dengan yang kurasakan dari---“
Tiba-tiba saja Nana menelan ludah.
“Kamu… kamu benar, Meta-san!”
Sudah kuduga. Kasih sayang yang tulus mampu menembus layer data terakhir, meski tidak sampai membukanya. Menurut hipotesisku, dulu Nana benar-benar menyayangi Da’ath dan orang itu, menganggap mereka seperti orang tua sendiri.
“Itu juga menjawab sesuatu yang hilang dalam dirimu dan Da’ath. Tapi kuminta satu hal, jangan katakan hal ini pada siapapun termasuk Da’ath. Sandalphon pun juga tidak boleh tahu.”
“Huh? Kenapa?”
“Karena belum tentu benar.”
“Tapi kenapa Sacchan tidak boleh tahu juga? Dia kan…”
“Dia itu bisa keceplosan sewaktu-waktu. Mengatakan hal yang belum tentu benar hingga membuat orang lain percaya… itu kejahatan bagi kami para malaikat surga. Untukmu juga, jangan percaya seratus persen kata-kataku tadi. Tapi bolehlah jika kamu ingin mengembangkannya menjadi teori yang tak terbantahkan.”
“Ooo… begitu ya. Kalau begitu, apa yang kamu perlukan supaya penjelasanmu menjadi seratus persen benar?”
“Orang itu harus membuktikan sesuatu. Mungkin sesuatu yang bisa diaksesnya bersama Da’ath, tapi tidak oleh orang lain.”
“Waduh… sulit sekali…” gumamnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Sebenarnya ada cara yang jauh lebih mudah dan cepat, namun resikonya amat sangat besar. Ini mengenai hubungan Da’ath dan orang itu. Kemungkinannya fifty-fifty. Jika cara itu dilakukan dan ternyata dugaanku benar, segalanya terungkap tanpa harus repot-repot membuka layer data terakhir. Tetapi jika sebaliknya… tamat sudah karirku sebagai salah satu Archangel surga, harus bersiap untuk dilempar ke neraka. Keduanya juga akan menerima hukuman berat. Well, sebaiknya kurahasiakan saja pemikiranku yang satu ini. Terlalu riskan.
“Ya sudahlah, lupakan saja. Sepertinya terlalu rumit kalau aku harus melakukan hal itu. Baiklah, terima kasih untuk penjelasannya ya, Meta-san. Aku kembali dulu.”
Tepat ketika dia mengambil langkah kedua, aku tertawa. Keras.
“Heeeii.. Meta-saann!! Jangan keras-kerasss!! Semuanya masih tidur!!” katanya sambil mengacungkan telunjuk di depan bibir.
“Hahaha… maaf, maaf. Tapi kamu lupa sesuatu.”
Kepalanya sedikit miring ke kanan. “Lupa… apa?”
“Coba ingat-ingat lagi apa tujuanmu ingin bertemu denganku.”
Hening. Kesunyian itu tak berlangsung lama, karena dia berjalan cepat menghampiriku.
“Meta-saaaannn!! Lagi-lagi kamu mengerjaikuuu!!” serunya manja, memukul-mukul pelan dada logamku.
Kulepaskan nafas panjang. “Dasar anak-anak.”
“Aku ini umurnya sudah dua ribu lima belas tahun, tahu!”
“Dikurangi dua ribu lebih cocok. Hasilnya dibagi dua pun juga masih sesuai.”
“Jahat. Jahaaatt!” Pukulannya dilanjutkan.
Kucubit kedua pipinya. “Jadi, masih mau diberitahu atau tidak?”
Ah, jawabannya jadi tidak jelas. Kulepaskan jari-jari logamku dari pipinya.
“Mau, mau,” jawabnya cepat.
“Longinus, tombakmu itu, punya tiga fungsi. Pertama, salah satu backup untuk program-programku. Kedua, melindungi otakmu.”
“He? Otakku?” sahutnya.
“Betul. Mengurangi salah satu efek distorsi dimensional yang dihasilkan dari kegilaan Inferna, yaitu mengganggu otak orang-orang di seluruh dunia saat itu. Kemampuan itu ditambahkan karena Da’ath begitu menyayangimu.”
“Oooh… begitu. Yang ketiga?”
“Tujuan utama Longinus berhubungan denganmu. Karena dia dibuat berdasarkan---”
“Stop.”
Nana mengangguk beberapa kali.
“Iya, aku jadi ingat gara-gara kata-katamu. Dibuat berdasarkan permintaanku, kan?”
“Ya, kamu yang meminta.”
Ada dua alasan. Satu, Nana ingin teman yang bisa diajak bicara setiap saat karena dulu dia tidak pernah punya teman sebaya. Efek kurang bergaul itu bisa dilihat hingga saat ini, yaitu kelakuannya masih begitu kekanakan. Dua, program Neural Overclock membantu memperkuat kecerdasan Nana. Sewaktu perang dulu, dia sempat merasa rendah diri karena hanya dialah yang tidak mampu mengerti betul tentang apapun yang dikatakan oleh orang-orang di sekitarnya, tentang strategi perang dan lainnya.
“Inti masalahnya ada di Neural Overclock. Program itu mampu meningkatkan kecepatan berpikir, maksimum hingga tujuh puluh tujuh kali kecepatan berpikirmu secara normal. Nah, kemampuan itu hanya dapat diisi ulang dengan tidur. Peningkatan kecepatan berpikirmu juga berbanding lurus dengan waktu tidur itu. Makin cepat peningkatannya, makin cepat pula ‘baterai waktu tidur’ itu habis.”
“Jadi itu alasannya kenapa aku mengantuk kalau program itu selesai berjalan?”
“Exactly.” Telunjukku mengarah padanya. “Sayangnya terjadi sedikit kerusakan pada Longinus sehingga pengaturan jam tidurmu terkadang berubah. Tapi tidak perlu khawatir. Kerusakannya tidak parah, hanya berefek pada jam tidur saja. Mungkin distorsi dimensional itu mengganggu sistem pada tombakmu. Aku sempat memeriksanya dua hari lalu. Sayangnya aku masih sibuk dengan urusan lainnya, sehingga tidak sempat memperbaiki.”
“Heee… jadi begitu. Aku baru tahu alasannya. Ya sudah, nanti kalau urusanmu selesai, tolong diperbaiki ya.”
“Jika hari ini urusanku bisa selesai, besok akan kulakukan.”
“Janji?”
Kuanggukkan kepalaku dua kali.
“Baiklah, kalau begitu aku kembali dulu. Maaf ya sudah menyita waktumu, padahal kamu masih sibuk…”
“Oh ayolah, tidak perlu sungkan begitu.”
Kembali kubelai kepalanya. Entah sudah yang ke berapa kali dalam tempo kurang dari satu jam. Seingatku dia memang senang dibelai seperti ini.
“Bukankah aku sudah menganggapmu seperti adikku juga?”
Pernyataanku mengangkat ujung-ujung bibirnya. Senyumnya begitu ceria. Mengembang cerah, melukiskan kebahagiaan. Tidak ada satupun benda langit ciptaan Tuhan yang mampu menandingi senyuman anak-Nya yang satu ini.
Hei Bulan di orbit sana! Hei bintang-bintang di segala galaksi! Sembunyikanlah cahaya kalian! Sudah selayaknya kalian merasa minder terhadap adik angkatku yang satu ini! Hahaha...
===================================
Spoiler untuk Trivia :
- Dalam bahasa Jepang, Nana = tujuh.
Yep, nama itu adalah nama asli Nuachiel Yevarech, Archangel ketujuh. Well... gw memang seneng bermain soal nama sih- Damnatio memoriae (Latin) adalah suatu tindakan penghukuman dengan melenyapkan segala sesuatu tentang orang tertentu (orang yang dihukum) agar orang itu tidak diingat-ingat lagi.
Last edited by LunarCrusade; 08-04-14 at 01:18.
+Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
+My Story INDEX
+GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide
The moment you say a word of parting, you've already parted.
So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
So long as you don't say it, you haven't parted.
That is the way of the world:
The Law of Linkage.
Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII
Share This Thread