Author : The_Omicron
Site : www.the-omicron.co.cc
Genre : Drama, Romance, Slice of Life
My Underclass Girl is under copyright law © 2009 the-omicron.co.cc
________
www.the-omicron.co.cc presents...
My Underclass Girl
_______
Belakangan ini, kira-kira sejak penerimaan murid baru, sekitar 3 bulan yang lalu, aku merasa seseorang mengamatiku. Selama ini aku tak pernah mengambil pusing perasaan ini. “Toh ini hanya sekedar perasaan, mana mungkin ada orang yang kurang kerjaan mengamatiku” pikirku.
Tetapi lama kelamaan aku merasa semakin tidak nyaman dengan ini. Setiap waktu istirahat aku selalu merasa ada yang melihat ke arahku. Tetapi begitu aku menengok ternyata tidak ada apa-apa. Bisa-bisa nanti aku mengira ada hantu yang mengikutiku.
Permainan itu terus berjalan tanpa aku dapat mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan ini padaku. Tapi, jika seorang gadis yang melakukannya.., hehe, aku tidak keberatan.
Hingga suatu hari, pada waktu istirahat.
Aku sedang makan di kantin bersama dengan 3 orang temanku. Boy, Weber, dan Ari. Seperti biasa, sambil makan kami mengobrol, hingga Weber tiba-tiba bertanya
“Eh, udah tau belum? Katanya ada anak baru yang suka pada Alvi loh”
Aku begitu terkejut kusemburkan minuman yang ada di dalam mulutku.
“Ah masa yang benar?”
Ari bertanya seolah Weber bercanda dengan memberikan wajah sinis seakan takkan ada seorang gadis pun yang mungkin menyukaiku. Dia memang brengsek.
“Oh iya, itu yang sering melirik Alvi ya? Aku dengar dari adikku juga katanya sih begitu..”
Boy menambahkan, ia memperkuat kemungkinan bahwa ada seseorang yang menyukaiku. Bahkan menurutnya, adiknya yang juga berada di kelas 1 bilang begitu.
“Hooo, menarik juga tuh.. aku jadi ingin lihat..”
Ujar Ari yang kemudian berbisik-bisik bertiga dengan Weber dan Boy.
Wah, aku langsung penasaran pada apa yang sedang mereka rencanakan. Apalagi mengingat Ari adalah tipe orang yang cukup nekat dan senang melihat orang dipermalukan. Tampaknya ada yang tidak beres dengan pembicaraan mereka.
Segera saja aku meninggalkan mereka dengan alasan aku sudah kenyang. Kutinggalkan mereka dan keluar dari kantin. Masih dengan rasa lapar. Sementara mereka ikut menyudahi makan mereka dan berjalan di belakangku.
Di tengah jalan, kami bertemu Yudis, adik Boy. Boy tampak ingat sesuatu kemudian memanggil adiknya itu.
“Eh, duluan saja, ada yang mau kubicarakan dengan adikku dulu..”
Boy menyuruh kami agar meninggalkannya. Sementara Ari pamit kepada kami dan berjalan menuju kelasnya. Hanya Ari yang berbeda kelas dengan kami, apalagi jaraknya agak jauh dari kelas kami ber 3.
Sekarang tinggal aku dan Weber. Sesampainya di kelas aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Perutku masih lapar, sementara Weber malah mengobrol dengan pacarnya. “Brengsek, mereka semua sibuk sendiri” pikirku.
Tiba-tiba, terdengar ribut-ribut suara gadis dari luar kelas. Dan dari balik pintu kelas muncullah 2 orang gadis yang sedang mendorong-dorong temannya masuk ke kelasku. Mungkin mereka anak kelas 1 karena aku tak mengenal mereka.. tapi.. tunggu! Anak kelas 1, Gadis, didorong-dorong ke kelasku. Jangan-jangan...
Mereka semakin mendekatiku, semakin mendekat, dan.. salah seorang dari mereka berkata padaku:
“Kak Alvi, ada yang mau kenalan nih!!”
Dengan diiringi memerahnya wajah teman yang mereka tarik dan dorong ke kelasku.
“Cieeee, siapa tu?”
Terdengar suara ledekan dari Weber yang berada di belakang kelas, dan semakin menambah kacau suasana.
Gadis itu kemudian berhasil melepaskan diri dari kedua temannya dan berlari keluar kelas dengan wajah yang merah.
Akupun menjadi bingung pada apa yang sebenarnya terjadi. Dan disaat aku bingung Weber malah tertawa terbahak-bahak, sementara Boy dan Ari yang muncul entah sejak kapan juga ikut tertawa.
“Gimana? Sudah kenalan?”
Tanya Ari dengan nada meledek padaku. Dengan Boy yang masih terpingkal-pingkal di sebelahnya.
Sial! Ternyata kejadian tadi adalah kerjaan mereka! Pantas saja mereka sudah mencurigakan sejak Weber berceletuk tentang seorang anak kelas 1 yang menyukaiku. Rupanya Ari yang merencanakannya, dia menyuruh Boy menanyakan kepada adiknya siapa di kelas 1 yang menyukaiku. Rupanya ia pula yang menyuruh kedua teman anak itu untuk menariknya dan membawanya padaku. Sial, mereka benar-benar brengsek!
Tetapi entah kenapa sejak kejadian itu, aku tak lagi merasakan ada yang memperhatikanku. Mungkinkah anak itu adalah orang yang memperhatikanku selama ini? Mungkinkah ia memperhatikanku karena menyukaiku, seperti yang telah dikatakan oleh Weber? Mungkin memang benar karena kini aku tak merasakan kehadirannya lagi.
Anehnya, entah kenapa aku malah merasa kesepian. Seolah-olah aku kini merasa kehilangan sesuatu. Apakah aku sebenarnya merasa nyaman karenanya? Ah, tapi apapun yang terjadi, Ari dan kawan-kawan memang keterlaluan. Apa mereka tak memikirkan rasa malu yang harus dihadapi oleh anak itu? Dengan pikiran seperti itu aku segera bertanya pada Boy.
“Boy, tahu nama anak yang waktu itu ga?”
Pertanyaanku dijawab dengan raut wajah bingung oleh Boy.
“Itu lho, yang waktu itu dibawa ke kelas..”
“Oh yang suka padamu itu? Kenapa? Kau juga suka padanya?”
“B-bodoh! Sudahlah, tahu tidak?”
Boy malah menertawakanku yang salah tingkah setelah mendengar pertanyaannya.
“Iya, iya, aku tahu, namanya Erin dari kelas 1A”
“Ok, thanks Boy”
Akupun segera berlari menuju kelas 1A, dengan membawa niat meminta maaf atas keusilan teman-temanku waktu itu. Tetapi bagaikan asap tertiup angin. Saat melihatnya duduk di kelas dengan 2 orang temannya, niatku langsung lenyap entah kemana. Aku tak mampu menahan rasa malu jika harus bertemu dengannya di depan teman-temannya. Gosip gila remaja sekolah akan langsung menyebar jika aku nekat melakukannya. Akupun mengurungkan niatku dan berganti menuju rencana B. Menunggunya sepulang sekolah saat ia sendirian.
Nyatanya Rencana B itu rencana yang cukup *****. Maka itu dinamakan Rencana B dari ‘Bodoh’. Aku tak tahu ia mengikuti ekskul basket. Karena aku berprinsip ‘Seorang laki-laki tak akan membuang niatnya begitu saja’ (Yang baru saja kudapatkan beberapa menit yang lalu), maka aku menunggunya sambil melamun di dekat lapangan basket hingga sore.
Akhirnya, ekskul basket selesai. Aku menunggunya di depan gerbang sekolah sambil berharap ia tidak bersama teman-temannya. Mungkin doaku didengar oleh Tuhan. Ia berjalan keluar sekolah sendirian. Ya, sendirian tanpa ditemani oleh 2 orang temannya yang nampak cerewet itu.
Kukumpulkan keberanian untuk menyapanya. Kemudian saat ia melewatiku.
“Hai Erin!”
Kusapa dia dengan berlagak periang. Tapi rupanya ia gadis yang pemalu. bukannya menjawab wajahnya malah memerah. Ia malah gelisah dan bimbang untuk menjawabku.
Kupikir bila aku juga ikut bingung seperti dia nantinya malah tampak seperti 2 orang kebingungan. Dan lagi nantinya permintaan maafku tak akan tersampaikan. Mencari suatu topik untuk membuka mulut gadis manis berambut hitam dan diikat buntut kuda itu, secara otomatis aku memilih basket.
“Eh ya, tadi aku lihat kamu main basketnya jago, udah lama ya?”
Hening. Tetap saja Erin tidak mengatakan sepatah kata pun. Akupun kecewa. Tapi mau bagaimana lagi, tampaknya ia sangat pemalu dan tidak terbiasa berbicara dengan laki-laki. Akupun memutuskan untuk pulang saja, dengan cukup kesal. Karena waktuku sudah terbuang 2 jam hanya untuk menunggunya.
Tetapi saat aku hendak berjalan..
“Ah, tunggu kak!”
Sebuah suara yang manis memanggilku dari belakang. Aku tak percaya, itukah suara Erin? Aku menengok padanya masih tak percaya bahwa suara itu adalah suara yang keluar dari bibirnya.
“Ah.. aku.. bagaimana kakak tahu namaku?”
Aku yang tak siap menerima pertanyaan itu menjawabnya seadanya
“Uh.. Eh.. Bagaimana ya? Hahahaha”
Tetapi bukannya melihatku dengan pandangan yang aneh setelah berkata bodoh begitu ia malah tertawa dan mengatakan:
“Hahaha.. aku tak menyangka, ternyata kakak orangnya lucu..”
Entah kenapa hatiku bagai tergoyahkan oleh kata-katanya. Padahal ia hanya bilang aku orang yang lucu. Apakah mungkin karena suara manisnya? Ah, entahlah, tetapi yang jelas percakapan itu membawa kami ke percakapan lainnya, hingga ia akhirnya pulang setelah supirnya datang menjemput. Kamipun saling melambaikan tangan dan berpisah. Ia pulang ke rumahnya dengan mobilnya, sementara aku dengan sepeda bututku.
Yang penting, sejak saat itu aku jadi mengetahui bahwa ia adalah anak yang manis dan baik. Kami juga menjadi semakin akrab, hingga teman-temanku berpikir bahwa aku dan dia sudah resmi menjadi sepasang kekasih karena kami begitu serasi. Padahal kenyataannya kami bahkan tidak menyadari bahwa kami sedekat itu (setidaknya dari sudut pandangku). Benarkah kami serasi seperti kata mereka? Aku tak tahu, tetapi yang jelas ada suatu kegembiraan aneh yang muncul setiap kali aku bertemu dengannya. Mungkinkah ini yang disebut jatuh cinta?
Jika aku benar-benar telah jatuh cinta dengannya, bukankah itu berarti perasaannya (Jika apa yang dikatakan rumor itu benar) padaku tidak lagi bertepuk sebelah tangan? Akan tetapi, kami berdua tidak mampu saling menyatakan perasaan kami. Seolah ada dinding besar tak terlihat diantara kami.
Hingga aku mengetahui sesuatu yang seharusnya sudah kuketahui dari lama..
Pada saat pengambilan rapor, ibuku datang ke sekolahku untuk mengambil laporan hasil belajarku selama 1 semester itu. Seperti biasa, aku mendapat ceramah dari Pak Guru dan Ibuku karena nilaiku turun sejak pertengahan semester. Kemudian saat kami keluar dari kelasku..
Kami bertemu Erin dan Ibunya.. dan suatu kejadian yang membuatku terkejut terjadi.
“Loh?! Tante Lisa?!”
“Loh Tini?! Anakmu sekolah disini juga toh!?”
Hah? Aku setengah tak percaya mengira telingaku salah mendengar kata-kata ibuku tadi. Benarkah tadi ia bilang ‘tante’ pada ibu Erin? Bukankah itu secara tidak langsung memberitahuku bahwa.. Erin adalah Tanteku!?! Apa-apaan ini?!
Dan ternyata aku tak salah dengar. Ibu dari Erin adalah sepupu dari nenekku. Kini aku shock karena tersadar bahwa selama ini.. aku... jatuh cinta dengan tanteku sendiri! Dan tanteku pun.. jatuh cinta pada keponakannya sendiri! Aku tak pernah menyangka seorang “Tante” bisa lebih muda dari keponakannya.
Kini aku tersadar aku tak bisa melanjutkan apalagi menyatakan cintaku sebagai seorang laki-laki padanya. Akupun tak ingin kenyataan ini membuat kami menjadi jauh. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, kami adalah saudara yang ditubuh kami mengalir darah yang sama. Apalagi ia berada di tingkat yang lebih tinggi dariku. Secara sistematik ia berada di tingkat yang sama dengan ibuku. Apa kata dunia jika kami tetap bersikeras?
Ya, aku menghentikan cintaku sebagai seorang laki-laki padanya. Tetapi aku tahu cinta ini tak akan dapat terputus. Karena itu, mulai saat ini.. aku akan mencintainya dan menyayanginya sebagai seorang saudaraku. Sebagai seorang anggota dari keluarga besarku. Karena hubungan yang telah kami bangun ini tak ingin aku lepaskan begitu saja.
Pada awalnya setelah kami saling mengetahui bahwa kami adalah saudara, tiap kali kami bertemu kami menjadi salah tingkah. Merasa malu telah mengartikan kesaling tertarikan kami dan rasa sayang kami sebagai kisah antara laki-laki dengan perempuan. Bahkan tadinya ia sempat memanggilku dengan “Kakak”. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu.. perasaan malu itu menghilang. Kami menjadi dekat seperti dulu lagi. Hanya saja kali ini kami sudah menyadari perasaan kami masing-masing dan batas-batasnya.
Kami juga sepakat untuk tidak memberitahukan hubungan saudara kami kepada teman-teman kami. Kami tetap sering mengobrol, bercanda, bahkan menonton bioskop bersama. Biar saja mereka menyangka kami adalah sepasang kekasih. Kami malah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang lucu, ya, sesuatu yang lucu yang dapat kami ceritakan ke anak cucu kami masing-masing kelak. Agar mengenal seluruh saudara di keluarganya. Agar jangan sampai kejadian seperti kami ini berulang di depan pelaminan. Tentunya tidak akan lucu lagi nantinya.
Kurasa mataku semakin terbuka setelah bertemu dengannya. Kini setelah aku bertemu dengannya aku mengetahui bahwa cinta tidak hanya bentuk rasa sayang seorang laki-laki kepada perempuan. Tetapi juga seorang manusia kepada saudaranya.
Tetapi ada satu hal yang masih mengganjal pikiranku, sebenarnya apakah dia yang selama ini terus mengamatiku dan memperhatikanku dari jauh? Selama ini aku belum sempat bertanya padanya. Kemudian kali ini Aku harus bertanya padanya..
“Tan- maksudku Erin..” (ia marah bila kupanggil tante)
“Kamu dulu yang sering mengamati dan memperhatikanku dari jauh ya? Seperti stalker saja.. Hahaha”
“Hah? Tidak kok?”
“Jadi...?!”
Ya, penguntit itu tetap menjadi misteri bagiku Meski dalam hati aku berharap wujud sebenarnya dari penguntit itu adalah.. seorang gadis yang manis dan baik seperti Tante Erin.
Share This Thread