Pejuang Cinta, Penyelamat Jiwa
Fadly, seorang dokter spesialis kanker yang dikagumi banyak orang, yang telah menyelamatkan banyak sekali jiwa yang sudah putus asa. Ia adalah orang yang tegar, tetapi baru kali ini dia menangis menjadi-jadi. Ya, di bawah titik kecil pulpen bintang dan bundaran besar spidol bulan. Diantara makhluk-makhluk malam yang mencari mangsa. Diantara semilir angin yang menabrak kedua pipinya, badannya juga.
“Sofia, kenapa sih kamu harus meninggalkan diriku” katanya sambil berlinang air mata.
Dia tertegun, menatap ke langit biru tua yang menampilkan wajah Sofia, mendengar nyanyian jangkrik yang melantunkan setiap suara Sofia, melihat ke bintang yang mendeskripsikan segala hal detail tentang Sofia. Sofia adalah sahabat Fadly dari SMP kelas 2, memang mereka amat akrab satu sama lain, tapi keluarga Sofia dan Fadly sangat amat tidak akrab karena ada persaingan bisnis.
“Aku ingin dirimu tahu, Soph,” katanya sambil mengambil suatu liontin berbentuk hati tak karuan dari kantong kanan celananya, “aku masih mencintai dirimu, dan gelang ini akan selalu membuat diriku terus melakukan yang terbaik dan menyelamatkan orang yang mengidap penyakit sialan itu.”
Nyawa Sofia telah direnggut oleh neoplasma ganas yang menyerang dan menghancurkan sumsum tulang belakang cewek yang bisa disebut tomboy juga feminim itu. Sofia bukanlah seorang yang senang mengeluh, ia selalu menyimpan setiap persoalan besarnya sendiri. Tak pernah berbagi, meski ke sahabat paling dekatnya, bahkan tidak ke orang tuanya sendiri. Dan hal itulah yang membuat neoplasma ganas itu merembet, menjadi kronis, menghancurkan semua masa depannya.
Fadly masih terngiang atas kata-kata manis yang keluar dari mulut cewek pecinta coklat itu. Sofia mengucapkannya ketika hubungan perjalinan cinta mereka berjalan selama 2 tahun.
“Dli, aku mencintaimu bahkan melebihi cintaku pada benda coklat yang manis itu. Aku tak akan pernah meninggalkanmu, meski kamu jatuh, apalagi ketika kamu berdiri kokoh.” Hal inilah yang membuat Fadly tak mau membiarkan hatinya lari ke cewek lain.
Pertama kali Fadly bertatap muka dengan Sofia adalah ketika ia sedang bermain bola sepak dan secara tidak sengaja, bola basket yang dilempar Sofia mengenai tepat di kening Fadly. Sontak Fadly langsung jatuh dan bangun kembali untuk melihat pelaku pelempar bola basket tersebut. Sebenarnya Fadly sangat ingin marah, tetapi ketika melihat wajah Sofia yang penuh dengan kristal peluh itu, hatinya serasa kembali dingin, emosinya menurun, bahkan keningnya yang awalnya sakit itu sampai tidak terasa sakitnya.
“Sori ya, hehe, ndak sengaja, soriii sekali lagi.” inilah ucapan Sofia yang didengar pertama kalinya oleh Fadly, begitu merdu di telinga Fadly, begitu menenangkan jiwa.
“Hmmm, oke oke, tak maafin kok,” kata Fadly dengan senyuman penuh trik, “tapi kamu harus tanggung jawab, ini kening rasanya butuh dikompres pakai air es deh.”
“Ohh, yaya, sori lho yaa,” sahut Sofia yang langsung sigap membantu Fadly berdiri, “ayo ayo sini, sori lho ya.”
Sampailah kedua makhluk berkeringat itu di UKS. Di sana mereka bercengkrama, Fadly yang tertarik kepada Sofia mulai menanyakan segala sesuatu tentang Sofia. Kedua makhluk ini makin lama makin dekat, makin lama makin mengenal satu sama lain. Merekapun bersahabat dan masuk ke SMA yang sama. Waktu berjalan dan kedua manusia itu mulai menyongsong datangnya cinta yang indahnya tak terbayangkan itu.
Mereka berdua sudah lama kenal, tetapi anehnya mereka tidak tahu nama belakang satu sama lain. Bukannya tidak ingin tahun, tapi mereka tidak pernah membahas tentang nama belakang mereka. Fadly pun bertanya, memberanikan diri.
“O iya, Soph. Kita ini lho udah lama kenal, tapi aku kok nggak tau nama belakang kamu ya?” kata Fadly yang suaranya sudah ngebass itu.
“Ohh, haha, iya juga ya, aku juga nggak tau nama belakang kamu. Nama belakangku Setiawan, Dli,” sahut Sofia dengan keceriaannya, “kalau kamu? Nama belakangmu?”
Sebenarnya, ketika mendengar nama Setiawan, Fadly teringat akan saingan bisnis orang tuanya. Orang tua Fadly berkutat dalam bisnis percetakan surat kabar, sama halnya dengan orang tua dari Sofia.
“Ehhmm, nama.ehhmm...nama belakangku,” tenggorokan Fadly seperti tercekik. Ia tak sanggup mengatakan nama belakangnya sendiri, Fadly takut kalau nantinya hubungannya dengan Sofia akan tandas seperti kapal yang tenggelam, “D..D…Darsono, Soph.”
Sofia terpaku. Tatapannya kosong. Sofia tak berharap kalau Fadly adalah anak dari saingan bisnis keluarganya. Tetapi kemudian ia tersenyum manis, mencoba menghilangkan segala sesuatu yang buruk di pikirannya.
“Oohh, anaknya Pak Darsono toh. Kaget aku denger nama itu. Dli, meskipun keluarga kita bersaing,” kata Sofia sambil menepuk-nepuk pundak Fadli dilanjutkan dengan memegang tangan pria bersuara ngebass itu, “kita berdua kan harus merukunkan keluarga kita. Lewat cinta, Dli.” tambah Sofia dengan wajah lugunya, dengan gaya sok romantis.
Mendengar kata-kata yang terucap dari mulut Sofia yang lumayan tebal itu, Fadly langsung bernapas lega, pertama karena Sofia tidak marah, dan yang kedua karena Sofia menyebut kata-kata “cinta”.
“C...C...Cinta? Aku kira kita cuma bisa jadi sahabat saja, Soph.” ujar Fadly yang sekarang mulai senyum-senyum sendiri. Ia memberanikan diri untuk menyatakan cintanya, tanpa persiapan. “Kamu mau kan, Soph jadi...?” tambah Fadly dengan percaya diri.
“Mau apa sih, Dli? Makan? Ya mau lah, secara...aku belum makan pagi. Ya mau lah, ayo ayo. Bakso di sana lho enak.” potong Sofia yang memang orangnya lugu.
“Makan? Yah, anak ini, pikirannya makan terus. Ya bukan makan lah, Soph. Ini lebih penting. Jadi, jadi pacarku, Soph. Katanya dengan cinta? Bersediakah anda menjadi pendamping hidup saya?” tutur Fadly dengan wajah bercanda khasnya itu.
“Ya maulah, Dli! Masak nggak mau jadi pacarnya atlet bola sekolah yang diidam-idamin semua cewek?”sahut Sofia dengan cepat, tanpa berpikir panjang.
“Sofia emang nggak pernah ngeluh. Haha, bahkan pernah kakinya dioperasi karena ada pecahan kaca di sana. Haha,” Fadly mengingat-ingat kejadian-kejadian yang dialami Sofia, pacarnya. Sambil tertawa, juga sambil terisak, “sampai satu tahun terpendam di antara tumpukan daging di dekat mata kakinya, Memang gila anak itu.”
Hubungan Sofia dan Fadly sudah berjalan di pertengahan tahun ketiga. Sampai ada suatu kejadian yang benar-benar menguji kekuatan cinta kedua insan itu, yang benar-benar hampir mengakhiri proses pengukiran cerita cinta ini. Pak Setiawan, ayah Sofia menangkap basah ketika kedua insan itu sedang makan malam di suatu restoran.
“SOFIAA!! Ayo pulang! Ngapain kamu makan sama anak ini?!!” ucap Pak Setiawan dengan lantang, tanpa malu. Padahal tempat mereka sedang berada ini adalah restoran Itali yang cukup ramai pengunjungnya.
Mendengar teriakan yang memekikan telinga itu, Fadly sontak terlempar dari keseriusannya menyantap Spageti, langsung menoleh ke belakangnya, yaitu sumber teriakan yang memekikan telinga itu. Ketika menoleh ke belakang, Fadly tersepak, bukan terlempar lagi dari keseriusannya itu. Sekarang bukan keseriusan menyantap Spageti, tapi keseriusan hubungan mereka.
Pak Setiawan langsung menarik Sofia, anaknya dari kursi yang terbuat dari kayu jati, yang dipoles indah menjadi mengkilat.
“BRAKKKK!!!!!” Kursi jati itu terhempas ke tekel yang lima kali lebih mengkilat dari kursi jati itu.
Fadly tak bisa berkata apa-apa, tak bisa melakukan apa-apa. Ia terdiam, tercengang, tercekik, terkagetkan oleh situasi. Terkagetkan oleh kejadian yang tidak dibayangkannya. Padahal ia sudah mencoba mencari restoran yang lumayan jauh dari tempat kediaman Sofia beserta keluarganya. Tetapi, apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur dan sudah 2 bulan ia tidak bertemu secara privasi dengan Sofia. Rupanya Sofia dilarang ketat untuk bertemu secara langsung ataupun tidak langsung dengan Fadly. Di sekolah saja Fadly bisa memandang wajah Sofia, masih tak bisa bertemu karena Sofia diawasi oleh preman-preman sekolah yang sok berkuasa itu, mereka dibayar Pak Setiawan! Suatu kali, Fadly mencoba untuk berbincang dengan Sofia dan jadinya sekujur tubuhnya biru-biru karena dipukuli.
Kedua manusia yang saling mencintai itu tidak berbincang sampai hari kelulusan dan perpisahan seluruh angkatan terakhir SMA tersebut. Tetapi, Fadly tidak melihat hidung Sofia lagi setelah Ujian Akhir mereka dilakukan. Fadly pun mencari informasi dan mendapati bahwa Sofia sekolah di luar negeri, tepatnya di Australia. Sofia memang seorang pecinta seni. Ia pernah membuat wajah Fadly terlihat sangat elok di lukisan, padahal Fadly itu tidak terlalu elok. Sampai sekarang pun Fadly masih memajang lukisan itu di kamarnya. Sofia juga pernah mengukir inisial mereka berdua di satu pohon di taman masa SMP mereka. Sampai sekarang, Fadly masih sering berjalan ke taman itu di tengah jadwal padat pekerjaannya, menatap pohon berkukirkan dua inisial yang dipersatukan oleh hati itu.
“Lukisan ini, Soph. Ukiran itu, Soph. Liontin ini, Soph. Saksi bisu kisah cinta kita. Tetaplah jadi bintang di langit ya Soph. Tunggu aku di sana ya. Dan..jangan lupa untuk tetap memancarkan sinarmu yang begitu indah itu kepadaku. Supaya cinta kita, Soph. Cinta kita tetap abadi. Untuk selama-lamanya.” kata Fadly sambil memandang dalam-dalam liontin hati tak karuan yang diberikan Sofia untuk dirinya, tetap di bawah bintang dan bulan. Liontin berbentuk hati tak karuan itu hanya ditempa untuk Sofia saja dari Namibia, tepatnya Gurun Namib. Sofia mendapatkannya dari kepala suku setempat ketika Ia melakukan liburan akhir kelas 2 SMA silam.
Sambil memegangi liontin hati yang sebenarnya tak berbentuk hati itu, Fadly kembali teringat akan kejadian buruk, yang benar-benar buruk yang telah memisahkan mereka berdua. Ketika Sofia meninggal karena neoplasma ganas itu!
“DASAR! BRENGSEK! NEOPLASMA BRENGSEKK!!!” kata Fadly menggebu-gebu. Gara-gara kejadian itu, Fadly memutuskan untuk mengambil ilmu kedokteran dan mengambil spesialis kanker, Sofia yang menyuruhnya. Mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyelamatkan orang. Supaya tak ada lagi yang merasa sangat kehilangan, seperti dirinya.
Ketika Sofia kuliah di Australia, Ia dijodohkan dengan beberapa cowok, anak-anak kenalan mamanya. Diberi orang Indonesia yang tinggal di Australia ia tidak mau. Diberi orang Australia pun ia masih tak mau, tak sudi tepatnya. Yang Sofia inginkan adalah Fadly, orang Indonesia yang sedang ada di Indonesia itu, yang masih belum kuliah itu. Yang pada waktu itu mungkin sedang merenungi nasib.
Seperti yang sudah diceritakan, Sofia itu orangnya tidak suka mengeluh. Kawan, sebenarnya ada satu rahasia yang disimpan dirinya sendiri. Ia sering nyeri pada tulang-tulangnya, di persendiannya juga, apalagi di tulang belakang! Tapi Sofia tidak mau pergi ke dokter, ia paling takut disuntik! Makin lama, nyerinya itu makin terasa. Menusuk! Menghujam! Meremukkan! Menghancurkan! Mungkin seperti itulah rasa nyerinya. Sofia pun tidur ketika rasa nyeri itu datang, untuk mengurangi rasa nyerinya. Suatu ketika Sofia terkaget-kaget ketika ia melihat ke cermin setelah ia bangun dari tidurnya.
“Hah? Kenapa ini mukaku? Tanganku juga.” kata Sofia sambil meringis, Ia memegang mukanya dan itu terasa sakit. Badannya lebam-lebam, warnanya biru keungu-unguan diantara warna putih kulitnya. Ia tidak mengindahkan tentang apa yang terjadi di dalam dirinya. Ia memang acuh dan tak pernah mengeluh.
Suatu saat, hal memilukan datang kepada Sofia. Ketika ia mencari tahu di internet tentang hal-hal yang Ia alami, Ia mengetahui bahwa Ia terkena KANKER! LEUKEMIA! NEOPLASMA GANAS! Yang membuat Sofia untuk mencari tahu di internet adalah ketika luka goresan di jarinya karena pisau itu tak kunjung sembuh. Tetapi ia tetap tidak mau ke dokter, ia masih takut kalau dia akan disuntik nantinya! Gusinya mulai berdarah, ia makin kurus! Ia sudah tidak masuk kuliah satu minggu ini. Kampusnya telah menelpon mamanya untuk menanyakan alasan Ia tidak masuk kuliah. Dan mamanya pun datang ke Australia beberapa hari setelah kabar itu terdengarkan.
Ketika Ibu Setiawan, mama Sofia datang ke apartemen Sofia, ia terkejut karena melihat kondisi anaknya. Sofia pucat! Ia demam! Menggigil! Kepalanya serasa mau pecah! Ibu Setiawan cemas! Ia segera membawa anaknya ke dokter. Dokter segera mengutus Sofia ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. SUNGGUH! SOFIA TERKENA LEUKEMIA! Bukan sekedar leukemia biasa tetapi AKUT! Dalam satu minggu Sofia harus menjalani dua kali kemoterapi yang membuat rambutnya semakin tipis. Sering sekali epilepsi menyerang dirinya ketika malam hari. Ototnya tak bisa dikontrol, ia sering kejang. Ia hanya bisa terbaring lesu di tempat tidurnya. Kemana-mana Ia harus diantar suster, itupun naik kursi roda. Ia tak ingin menyia-nyiakan hidupnya! Ia ingin menulis sesuatu untuk kekasihnya di Indonesia, Fadly. Ia sudah diperbolehkan menghubungi Fadly.
“Dear, Fadly
Sayang, sori ya kalo beberapa bulan ini aku nggak nggubungin kamu. Aku nggak boleh berhubungan ama kamu lagi. Dan sekarang mamaku udah mbebasin aku untuk bersenang-senang, dia mbolehin aku buat ngirim kamu surat. Bahkan, kalo aku bisa, aku akan pulang ke Indonesia 1 minggu lagi. Hehe, aku nggak bisa mbayangin ketemu kamu lagi sayang. Aku pengen kita ke taman itu, yang di pohonnya ada ukiranku yang indah itu. Hehe. Sayang, aku pengen kita jalan-jalan keliling Jakarta.
Ditulis dengan cinta, Sofia”
Fadly sontak kaget ketika Ia menemukan satu surat dari Australia. Ia berharap kalau yang mengirim surat adalah Sofia. Ternyata benar! Ia membaca surat tersebut dan sangat amat riang dan segera membalasnya.
“Dear, sayangku Sofia
SAYANGGG!!! AKU KANGEN KAMU!!!! Oke, kita bakal ke taman itu lagi. Tenang aja, pasti kamu tak ajak jalan-jalan lahhh…. Kalo kamu bisa ke Indonesia kasi tau yaa…
Ditulis dengan cinta, Fadly”
Rencananya, empat hari lagi Sofia akan datang ke Indonesia. Waktu semakin dekat dan Fadly masih belum mendapatkan balasan dari Sofia.
Di Australia, keadaan Sofia semakin memburuk. Lebam di tubuhnya semakin banyak. IA SUDAH BOTAK!! Sofia sudah mulai sesak napas. Hal inilah yang membuat ibu Setiawan membolehkan anaknya untuk mengirim surat ke Indonesia. Ibu setiawan diberitahu tim dokter kalau hidup anaknya cuma akan bertahan selama 1 mingu. Ibu Setiawan tidak memberitahu tentang kabar buruk tersebut, ia menyuruh Sofia untuk mengirim surat ke Indonesia. Dan ia juga berjanji, “Sayang, kalau kamu bisa. Kita akan berangkat ke Indonesia 1 minggu lagi ya, Nak.” Setelah itu, Sofia segera mengirim surat ke Fadly.
Ajal sudah semakin dekat dengan diri Sofia, tepatnya tinggal 48 jam lagi, kondisinya semakin parah. Tim dokter pun cuma bisa berharap dan berdoa untuk kesembuhan Sofia. Sofia pun memberanikan diri untuk mengirim surat ke Fadly untuk memberitahukan tentang kondisinya yang parah ini.
“Dear, sayangku Fadly
Sayang, aku mau ngasih tau kalo aku sakit sekarang. Jadi, kemungkinan aku nggak bakal bisa ke Indo 2 hari lagi. Huh, sedih dehh. Aku padahal kan pengen ketemu kamuuuu….
Dari Sofia ”
Beberapa jam setelah Sofia menitipkan surat itu ke susternya. Mamanya datang dan memberitahukan tentang berita buruk yang sudah tidak bisa dipendam oleh mamanya itu, mamanya benar-benar tidak tega kalu anaknya tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Sofia pun menangis, terisak. Dia tidak pernah membayangkan kalau akhir cerita kehidupannya akan diisi oleh penyakit ganas.
“Ma, aku boleh telepon Fadly ya, Ma. Pleaseeee… Terakhir kalinyaa.” kata Sofia sambil terisak dan dengan raut berharap.
“Boleh, nak. Boleh. Kamu masih punya nomernya Fadly kan?” sahut mama Sofia yang make up nya luntur oleh tetesan air mata yang keluar.
“Tutttt….Tutttt…Tutttt….Tuttttt…..This is mailbox. To leave a message pres……” Sofia segera menutupnya. Mungkin Fadly ganti nomor. Atau apa lah.
Sofia selalu mencoba untuk menelpon Faldly. Dan akhirnya di ujung ajalnya, kurang 24 jam perkiraan dokter. Telepon dari Sofia diangkat oleh seseorang yang suaranya farmiliar di telinga Sofia.
“Hallo, ini Fadly kan? Halo? Fadly?” kata Sofia dengan raut muka yang ceria. Mungkin ini terakhir kalinya Sofia bisa memunculkan raut muka seperti ini.
“Halo, iya. SOFIAAA… Sayangg, aku kangen berat ama kamu!! Aku udah bales surat kamu. Ngak papa kok. Nanti aja kalo uda sehat ya.” balas Fadly yang girangnya bukan main ketika itu.
“…………..” Sofia terbungkam. Ia tidak bisa berkata apa-apa
“Halo, Sayang?? Kamu masih di sana kan???” Fadly tidak mendengar suara Sofia di telepon. HENING.
“Ohh, iya, iya. Aku masi di sini kok. Sayang, aku nggak bakal ketemu kamu lagi dehh kayaknya. Aku sakit keras, aku sakit…” ujar Sofia yang belum selesai berbicara tapi langsung dipotong Fadly.
“HOI! KAMU GAK BOLEH NGOMONG GITU! Emang sakit apa sih? Sampe segitunya! Kayak kena kanker akut aja. Berdoa, Sayang! Berdoa.” potong cowok yang sampai sekarang tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, tetap dengan candaan khasnya. Tetapi kali ini, candaan itu bukanlah sekedar canda.
“Hikksss, hikksss, Sayang. Aku emang kena kanker. Kanker, LEUKEMIA!!” Sofia menggebu-nggebu, Ia tahu jika Fadly bermaksud untuk bercanda.
“PRAKKKK…….” Rupanya telepon seluler Fadly jatuh. Fadly kaget! Ia serasa tak bisa bernapas, tercekik seperti ketika Pak Setiawan memergokinya sedang makan malam dengan Sofia.
“Tuttt….Tuttt.Tuutttt….TUTTTTT” Hubungan telepon mereka terhenti. Rupanya telepon seluler Fadly jatuh dan hancur, seperti hati Fadly ketika itu.
Sofia segera menulis surat kepada Fadly.
“Fadly, Sayangku. Maaf aku ga bisa ngasi kamu yang terbaik waktu kita pacaran. Sori. Kamu tau lah, aku bakal terus sayang ama kamu. Kamu cari cewek lain gih. Ya? Jangan berlarut-larut dalam kesedihan ya…” Hanya sampai disini Sofia bisa menulis dengan benar. Ia pingsan!
Terbangun dari pingsannya, ia meminta mamanya menuliskan untuk dirinya di surat yang belum selesai itu.
“Simpen ya lukisan itu. Liontin itu. Ukiran itu tetep dijaga ya. Jangan perbolehkan orang lain untuk memintanya kecuali pacarmu nanti. Sampai ketemu ya sayang. Sampai ketemu di sana. Aku bakal tetep jadi bintang kok buat kamu. Aku bakal tetep menyinari hari-harimu. Aku bakal tetep mewarnai, mewarnai tiap hal yang kamu lakukan. Dan kamu harus cepet kuliah sayang. Aku minta, kamu ambil jurusan kedokteran, spesialis kanker tepatnya. Supaya kamu bisa nyelametin orang-orang kayak aku, Sayang. Aku cinta…” Kalimat tersebut belum selesai, tetapi Sofia sudah menutup mata. Menutup mata untuk yang terakhir kalinya, ia tak akan membuka matanya kembali. Mamanya langsung terisak, menangis menjadi-jadi, membuat surat itu basah oleh tetesan air mata.
Surat itu dibawa ke Indonesia dan diberikan kepada Fadly. Sama halnya seperti tubuh Sofia, juga dibawa ke Indonesia untuk diberikan kepada tumpukan tanah. Benar kata Sofia, cinta pasti bisa menyatukan. Mungkin karena melihat pengorbanan anaknya, keluarga Setiawan meminta maaf kepada keluarga Darsono. Meminta maaf akan segala sesuatu yang sudah terjadi, dan kedua keluarga itupun bergabung untuk membuat satu perusahaan bahan makanan yang teramat sukses dan terdengar sampai ke seluruh Asia Tenggara.
“Sofia Setiawan, namamu bakal selalu kukenang untuk selama-lamanya. Kisah cinta kita yang teramat indah tak akan kulupakan sampai akhir hayatku. Tetep jadi bintang ya buat aku. Tetep pancarin sinarmu ya. Supaya cinta kita tetap abadi. Dan aku sekarang udah jadi dokter spesialis kanker, Sayangku. Supaya aku bisa mengalahkan Neoplasma sialan itu. Kini semua harus berakhir. Tapi aku bakal ngrelain kamu kok. AKU CINTA KAMU SOFIA.” kata Fadly tetap dengan memandang bintang, mengulangi kata-kata cintanya berulang kali. Hatinya kadang senang, kadang sedih ketika mengingat-ingat Sofia. Perjalanan Fadly hanya bisa aku ceritakan sampai di sini. Aku adalah pengganti Sofia, Pratiwi namaku. Jauh-jauh aku datang ke kota Malang ini dari Banyuwangi untuk berobat, dan akhirnya aku sembuh, ya, disembuhkan oleh Fadly. Ya, hanya ini yang bisa aku ceritakan tentang masa lalu Fadly, dan masa depannya adalah diriku. Hal terakhir yang ingin aku sampaikan. Bagiku Fadly itu PENYELAMAT JIWA. Juga seorang PEJUANG CINTA.
TAMAT
Share This Thread