PART 105
penuh kekaguman. "Ahhh, engkau terlalu memuji, Soan Cu. Sebetulnya
adalah Kong‐kongmu yang sengaja mengalah kepadaku," kata Sin Liong, dan
mukanya menjadi merah. Dia maklum bahwa Soan Cu seorang dara remaja
yang berhati polos dan wajar, maka di depan semua orang tanpa segan‐segan
menyatakan kekagumannya dan memegang kedua tangannya begitu saja.
Akan tetapi hal ini tentu saja menimbulkan anggapan salah dan dia sudah
melihat betapa Swat Hong membuang muka dengan wajah diselubungi
kemarahan, bahkan akhirnya dara itu lalu membalikan tubuh dan berlari
pergi! Sampai tiga bulan lamanya Sin Liong dan Swat Hong di Pulau Neraka.
Dengan teliti dan hati‐hati Sin Liong melakukan penyelidikan tentang segala
macam racun yang terdapat di pulau itu, kemudian dia mencarikan obat
penawarnya dan menulis serta melukiskan nama dan bentuk daun, akar,
bunga, atau buah yang berkhasiat sebagai penawar racun‐racun itu. Sibuklah
ketua Pulau Neraka, dan para pembantunya mencarikan bahan‐bahan obat
itu dan setelah tiga bulan, barulah lengkap catatan Sin Liong. JILID 7 Ouw
Kong Ek dan semua penghuni Pulau Neraka merasa berterima kasih sekali
kepada Sin Liong, apalagi setelah terbukti banyak penghuni yang sembuh
dari penderitaan penyakit akibat keracunan setelah menggunakan obat‐obat
seperti yang ditunjuk oleh pemuda itu. Dia dianggap sebagai seorang dewa
penolong mereka dan diperlakukan dengan sikap penuh hormat. Setelah
"terpaksa" tinggal di Pulau Neraka selama tiga bulan, akhirnya Swat Hong
mendapatkan kenyataan bahwa Soan Cu adalah seorang remaja yang benarbenar
tulus, jujur dan wajar sehingga mudah saja di antara mereka terjalin
persahabatan yang akrab. bahkan karena dara Pulau Neraka itu dengan
terangterangan tanpa dibuat‐buat dan tanpa usaha menarik hati Sin Liong
menyatakan suka dan cintanya kepada Sin Liong, Swat Hong menyambut
pernyataan itu dengan hati terharu. Diam‐diam menaruh hati kasihan kepada
dara Pulau Neraka ini karena dia tahu bahwa hati suhengnya itu jauh
daripada cinta! Suhengnya belum pernah mengacuhkan tentang hubungan di
antara mereka, juga suhengnya sama sekali tidak kelihatan menaruh hati
kepada Soan Cu. Dianggapnya suhengnya itu terlalu "dingin" dan sudah
seringkali dia sendiri merasa kecewa melihat suhengnya sebagai seorang
pemuda yang tidak ada semangat! Padahal dia sendiri belum yakin apakah
dia mencintai suhengnya, sungguhpun dia merasa suka sekali kepada
pemuda itu namun sebagai seorang dara remaja, tentu saja dia merasa tidak
puas menyaksikan sikap pemuda yang "dingin" saja terhadapnya. Sebagai
seorang wanita muda yang sehat dan normal, tentu saja Swat Hong juga ingin
agar semua orang, terutama kaum pria, memandangnya dengan kagum dan
suka, bahkan dia pun seperti semua wanita di dunia ini agaknya, akan merasa
bangga kalau semua orang laki‐laki jatuh cinta kepadanya! Hari
keberangkatan mereka meninggalkan Pulau Neraka pun tibalah. Sin Liong
dan Swat Hong diantar oleh semua penghuni Pulau Neraka sampai ke pantai,
dimana telah tersedia sebuah perahu yang lengkap dengan layar, dayung,dan
bekal makanan. Soan Cu mengantar dengan mata berlinang air mata.
Semenjak tadi dara ini menangis, bahkan rewel kepada kakeknya hendak ikut
PART 106
pergi bersama Sin Liong dan Swat Hong. "Hushhh, apakah kau gila?"
demikian kakeknya menjawab. "Kau hendak ikut ke Pulau Es? tidak tahukah
kau bahwa semua penghuni Pulau Neraka dilarang menginjakan kaki ke
Pulau Es? Begitu kau tiba di sana, kau akan dijatuhi hukuman sebagai
seorang pelanggar hukum!" Juga Sin Liong dan Swat Hong melarang dengan
alasan bahwa Swat Hong sendiri sedang menghadapi malapetaka, bahkan dia
bersama suhengnya sedang berusaha mencari ibunya. Selama tiga bulan ini,
Ouw Kong Ek sudah mengerahkan pembantunya untuk mencari Liu Bwee,
bekas istri Raja Han Ti Ong, ke pulau‐pulau kosong di sekitar Pulau Neraka,
namun hasilnya sia‐sia belaka. Tentu saja para penghuni Pulau Neraka yang
mencari itu tidak berani terlalu mendekat Pulau Es. Setelah perahu yang
ditumpanginya Sin Liong dan Swat Hong pergi Jauh, Soan Cu menjatuhkan
dirinya menangis. "Kong‐kong, akupun mau pergi dari sini. Aku tidak tahan
lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka tanpa adanya mereka berdua! Aku
harus pergi, aku harus pergi mencari ayahku, seperti Swat Hong yang pergi
mencari ibunya!" Kong‐kongnya hanya menggeleng kepala, menghela napas
dan menggandeng cucunya yang tercinta itu kembali ke tengah pulau. Hati
orang tua ini khawatir sekali karena dia tahu bahwa cucunya telah mulai
dewasa dan telah tergoda oleh cinta sehingga merasa tidak tahan lagi tinggal
lebih lama di Pulau Neraka. Dia maklum bahwa agaknya takan lama lagi
cucunya itu tentu akan nekat meninggalkan pulau dan kalau hal yang
dikhawatirkan itu terjadi, apalagi artinya hidup baginya di pulau itu?
Puteranya telah lenyap dan satu‐satunya orang yang selamanya ini membuat
hidupnya berarti hanyalah Soan Cu. Ketika perahu mereka mendarat di Pulau
Es, Sin Liong dan Swat Hong saling pandang dengan hati yang berdebar.
Mereka sudah menjelajahi seluruh pulau di sekitar Pulau Es untuk mencari
ibu Swat Hong, namun sia‐sia belaka. Akhirnya mereka mengambil
keputusan untuk kembali ke Pulau Es, dengan harapan mudah‐mudahan ibu
dara itu sudah kembali ke Pulau Es. "Bagaimana kalau ibu tidak berada di
sana? Bukankah berarti bahwa aku telah melanggar janjiku untuk mewakili
ibu yang dibuang ke Pulau Neraka?" Swat Hong bertanya ketika perahu
mereka tadi sudah mendekati Pulau Es. "Jangan khawatir, Sumoi. Suhu
adalah ayahmu sendiri, dan betapapun marahnya, aku percaya bahwa suhu
akan dapat memaafkanmu. Aku percaya akan kebijaksanan Suhu, dia
bukanlah seorang yang berbudi rendah...." "Tapi dia telah terkena racun yang
hebat, racun yang seratus kali lebih kejam daripada racun yang paling jahat
di pulau Neraka! Dia telah terkena hasutan mulut wanita jahat itu..." "Ssttt,
Sumoi, jangan mempersulit keadaan dengan menyangka yang bukan‐bukan.
Sudalah, kekhawatiranmu itu hanyalah permainan pikiran yang
membayangkan hal yang belum terjadi. Singkirkan saja kekhawatiran kosong
itu dan mari kita hadapi kenyataan. Percayalah, apa pun yang akan terjadi,
aku tidak akan membiarkan engkau terancam bencana. Mari kita hadapi apa
saja yang menimpa kita berdua." "Suheng... betulkah? Betulkah kau akan
membela dan melindungi aku?" "Tentu saja, Sumoi." "Menghadapi Ayah
sekalipun?" "Menghadapi siapa saja karena aku yakin bahwa engkau tidak
PART 107
mempunyai kesalahan apa pun." "Kalau begitu, aku menjadi besar hati,
Suheng. mari kita mendarat." Makin tegang hatinya dan juga terheran‐heran
ketika dia melihat betapa beberapa orang penghuni Pulau Es kebetulan
berada di situ, segera berlari pergi menuju ke tengah pulau, bahkan tidak
berhenti ketika dia dan suhengnya memanggil mereka. Makin tidak enak
mereka, namun dengan tenang Sin Liong mengajak sumoinya untuk menuju
ke Istana Pulau Es di tengah pulau itu, menemui Raja Han Ti Ong dan
bertanya tentang Liu Bwee. Tak lama kemudian, keduanya berhenti tiba‐tiba
ketika melihat raja itu sendiri berlari‐laridatang bersama permaisuri dan
pembantu‐pembantu yang terpercaya. Tadinya Swat Hong merasa girang,
wajahnya berseri karena dia mengira bahwa ayahnya datang menyambutnya
dengan girang melihat di pulang. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ayahnya
sudah tiba di depan mereka, langsung raja Han Ti Ong menudingkan
telujuknya ke arah mereka sambil membentak, "Manusia‐manusia rendah!
kalian masih berani menginjakan kaki di Pulau Es? Membikin kotor pulau ini?
*******!" "Ayah...!!" "Suhu...!!" "Plak! Plak!!" Tubuh Sin Liong dan Swat Hong
terguling ketika tangan Raja itu dengan kecepatan kilat telah menampar
mereka. Dengan alis berdiri Raja Han Ti Ong menudingkan telunjuknya
bergantian ke arah muka dua orang muda yang menjadi kaget setengah mati
dan merangkak bangun itu. "Jangan sebut aku Ayah dan Suhu! Kalian berdua
telah minggat dengan diam‐diam, perbuatan yang tak tahu malu dan
mengotorkan nama keluarga Han! Masih berani datang dan menyebut Ayah
dan Suhu kepadaku? Huh!!" "Ayahhhh....apa...apa yang terjadi....? Mana
Ibuku...?" "Ibumu seorang yang hina, dan engkau anaknya pun tidak berbeda
banyak!" "Ayah...!" "Diam! Dan minggat engkau dari sini sebelum kubunuh!"
"Ayah, kalau begitu bunuh saja aku! Aku tidak berdosa...!" Swat Hong yang
berlutut itu menangis sesungguhnya. "Bagus! Kau minta mati?" "Suhu...!"
Suara Sin Liong ini mengandung wibawa sedemikian hebatnya sehingga Han
Ti Ong sendiri sampai terkejut menghentikan langkahnya yang hendak
menghampiri puterinya. Sepasang mata Sin Liong mengeluarkan sinar yang
luar biasa dan sejenak Ha Ti Ong ragu‐ragu. Teringatlah dia akan keadaan
dahulu ketika anak ajaib ini menyuruhnya menolong The Kwat lin,
menyuruhnya berhenti untuk menguburkan mayat‐mayat. Seperti itu pula
kekuatan mujijat yang keluar dari sepasang mata itu. Sepasang mata yang
sedikitpun tidak membayangkan takut, atau marah, atau kekerasan, hanya
membayangkan kelembutan yang mengharukan. "Suhu, harap suhu bersabar
dulu. Menjatuhkan hukuman tanpa memberitahu kesalahan orang, sungguh
tidak adil sekali, sungguhpun Sumoi adalah puteri Suhu sendiri." Bangkit
kembali marah Han Ti Ong. "Sin Liong, bagus perbuatanmu, ya? Kau masih
berpura‐pura lagi? Dia pergi tanpa pamit, hal itu masih belum apa‐apa, akan
tetapi dia pergi lalu kau susul, bersamamu pergi sampai berbulan‐bulan,
pantaskah itu? Kalian tidak tahu malu, dan menodakan nama baik keluarga
KerajaanHan!" Diam‐diam Sin Liong terheran. mengapa suhunya berubah
seperti ini? Tentu saja dia tidak tahu betapa para keluarga yang membenci
Liu Bwee telah menggunakan kesempatan selagi terjadi peristiwa
PART 108
penghukuman atas diri Liu Bwee itu untuk membakar hati raja ini, terutama
sekali melalui mulut permaisuri! "Ayah, jangan menuduh yang bukan‐bukan.
Aku memang pergi dan bertemu dengan suheng, akan tetapi apakah salahnya
dengan itu?" "Hemm, apa, salahnya, ya? Tidak salahkah kalau seorang
pemuda dan seorang dara berdua saja sampai hampir setengah tahun
lamanya? Mingkinkah tidak akan terjadi apa‐apa antara kalian, di tempat
sunyi, hanya berdua saja! Hem...hemmm... siapa percaya tidak akan terjadi
apa‐apa yang kotor?" ucapan ini keluar dari mulut permaisuri, The Kwat Lin
yang tersenyum mengejek. "Ibu, kalau Enci Hong dan Suheng melakukan
hubungan gelap, kawinkan saja mereka, mengapa ributribut?" Tiba‐tiba Bu
Ong, putera raja yang baru berusia kurang lebih delapan tahun itu, berkata
dengan suara nyaring. "Hussshhh! Tutup mulutmu!" Kwat Lin membentak
puteranya yang segera cemberut, tapi memandang kepada Swat Hong dan
Sin Liong dengan pandang mata mengejek. Hampit saja Swat Hong tak dapat
percaya akan apa yang didengarnya. Ayah dan ibu tirinya menuduh dia
berjinah dengan Sin Liong! Dengan dada sesak dan kemarahan yang meluapluap,
Swat Hong lupa diri dan meloncat bangun, menjerit dengan kata‐kata
yang seperti dilontarkan kepada ayahnya, "Ayah! Mengapa ada fitnah sekeji
ini? Ayah, insyaflah, Ayah telah dikelabui, Ayah telah mabuk oleh rayuan..."
"Plak! Desss!!" Tubuh Swat Hong terlempar dan terguling‐guling ketika
terkena tamparan dan pukulan tangan ayahnya sendiri. "Suhu, ini tidak adil
sama sekali!" "Plak! Desss!!!" Tubuh Sin Liong juga terjungkal, Akan teapi
pemuda ini sudah meloncat bangun kembali. Sedikit pun tidak merasa takut,
bahkan kini dia memandang tajam kepada Han Ti Ong. "Suhu, andaikata Suhu
memukul tee‐cu sampai mati sekalipun, suah sepatutnya karena karena teecu
hanyalah seorang murid yang telah menerima banyak kebaikan dari Suhu
dan tee‐cu rela membalasnya dengan nyawa. Akan tetap, Sumoi adalah puteri
Suhu sendiri, darah daging suhu sendiri! Mengapa Suhu begitu tega? Di
manakah rasa kasih di hati Suhu?" "*******!" Han Ti Ong memaki dengan
suara gemetar saking marahnya. Melihat betapa Sin Liong berani
menantangnya untuk membela Swat Hong makin besar kepercayaannya akan
desas‐desus bahwa puterinya main gila dengan muridnya ini. "Kau mau
memberi kuliah kepadaku? Kalau dia orang lain, aku tidak akan perduli apa
yang dilakukannya. Justru karena dia anaku dan aku cinta kepada anakku,
maka aku perlu mengajarnya!" "Hemmm, begitulah cinta di hati Suhu? Cinta
suhu siap untuk berubah menjadi kemarahan, kebencian yang meluap karena
Suhu merasa bahwa puteri Suhu tidak menyenangkan hati suhu? itu bukan
cinta, Suhu! Suhu hanya mementingkan diri sendiri, kalau disenangkan hati
Suhu, biar orang lain sekalipun akan Suhu perlakukan dengan baik, akan
tetapi kalau hati Suhu dikecewakan, biar anak sendiri akan dibunuh!" "Plakplak!
Dess...!" Kembali tubuh Sin Liong terjungkal dan kini darah mengucur
dari mulut dan hidungnya. "Suheng...! Ahhh, Ayah... Jangan...!" Swat Hong
sudah meloncat ke depan dan menubruk suhengnya. "Anak durhaka, murid
murtad! Dess!" kini Swat Hong yang mengeluh dan terjungkal terkena
tendangan ayahnya yang sedang marah itu. Masih untung bagi mereka
PART 109
berdua bahwa Han Ti Ong hanya berniat mengajar dan menghukum, kalau
berniat membunuh, tentu mereka sudah tak benyawa lagi. Saking marahnya,
biarpun melihat murid dan puterinya sudah beberapa kali dihantam dan
ditendangnya sampai mulut dan hidung mengeluarkan darah dan muka
mereka bengkak‐bengkak, Han Ti Ong masih saja menghajar mereka. "Ongya,
harap ampunkan mereka...." Tiba‐tiba beberapa orang pembantu utama
berlutut di depan Raja yang marah ini dan menyabarkan hatinya. Han Ti Ong
berdiri dengan napas terengah‐engah, mata terbelalak dan muka merah
sekali. dia menjadi hampir putus napasnya saking marahnya. "Hemmm,
mereka ini bocah‐bocah kurang ajar yang layak dibunuh!" katanya. "Ongya,
sejak dahulu belum pernah ada hukuman dilaksanakan tanpa diadili lebih
dulu, harap Ongya ingat akan keadilan Kerajaan Pulau Es yang sudah
terkenal semenjak ratusan tahun," kata seorang pembantu yang sudah
berusia lanjut. Han Ti Ong menghela napas panjang dan dia teringat.
Sebetulnya, dia sedang berada dalam keadaan duka dan kecewa. duka
mengingat akan istrinya, Liu Bwee, yang kini menimbulkan penyesalan di
dalam hatinya karena dia pun mulai meragukan kesalahan istrinya itu.
Kecewa karena serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya,
mengganggu ketentraman hidupnya di Pulau Es. "Anak durhaka, untung
engkau belum kubunuh! Kau boleh membela diri, kalau memang masih ada
yang akan kau katakan!" Dengan tubuh sakit‐sakit dan hampir pingsan, Sin
Liong masih dapat membantu Sumoinya, bangkit duduk, bahkan tidak
memperdulikan keadaan dirinya sendiri, dia menyusuti peluh, air mata dan
darah dari muka sumoinya, kemudian menarik sumoinya untuk berlutut di
depan raja yang sedang marah itu. "Sumoi, laporkanlah semuanya kepada
Suhu..." bisiknya. "Apa gunanya? Biarlah aku dibunuh! Biarlah, Ibu lenyap tak
berbekas dan akan dibunuhnya... tentu akan puas hatinya...hu‐hihuuuuukkk...."
Swat Hong menangis terisak‐isak. Melihat keadaan puterinya
ini, tersentuh juga rasa hati Raja Han Ti Ong. "Sin Liong, hayo ceritakan apa
yang terjadi! kami semua menuduh kalian berdua selama berbulan‐bulan dan
tentu kalain telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Mengakulah!
Awas, kalau kau membohonng, akan kubunuh kau sekarang juga!" "Suhu
boleh membunuh teecu kalau teecu berbohong. Bahkan kalau teecu tidak
membohong sekalipun, teecu menyerahkan nyawa teecu kepada suhu.
Sebetulnya, ketika melihat sumoi pergi membuang diri ke Pulau Neraka dan
melihat Subo juga pergi, teecu merasa kasihan dan berkhawatir sekali. Maka
teecu diam‐diam lalu mengejar dan menyusul ke Pulau Neraka." kemudian
dengan panjang lebar dan jelas Sin Liong menceritakan semua pengalaman
mereka di Pulau Neraka dan mengapa mereka sampai berbulan‐bulan berada
di pulau itu. Berkerut Raja Han Ti Ong. Di lubuk hatinya, dia percaya kepada
muridnya ini. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat membohong
dengan sikap seperti yang diperlihatkan muridnya. Tidak, tentu muridnya
tidak berbohong. Akan tetapi hatinya masih marah dan ia makin marah
ketika mendengar betapa Pulau Neraka telah berani menahan puterinya
sebagai sandera! "Swat Hong! Benarkah cerita Sin Liong?" bentaknya kepada
PART 110
dara yang masih menangis sesenggukan itu. "Apa gunanya Ayah bertanya
kepadaku? Lebih baik Ayah menyelidiki sendiri ke Pulau Neraka. Kalau aku
dan suheng berbohong, boleh bunuh seribu kali juga tidak apa." Memang
sejak dahulu Swat Hong bersikap manja kepada ayah bundanya, pula dia
memiliki watak keras, tidak takut mati, maka dalam keadaan seperti itu pun
dia bersikap berani dan menantang! "Siapkan pasukan, tiga puluh orang
untuk ikut bersamaku ke Pulau Neraka!" Raja itu memerintah kepada
pembantunya dengan suara marah dan pada hari itu juga dia berangkat
bersama tiga puluh orang pasukan menuju ke Pulau Neraka! Dapat
dibayangkan betapa gagetnya para penghuni Pulau Neraka ketika diserbu
oleh pasukan Pulau Es yang dipimpin Oleh Raja Han Ti Ong sendiri! Ouw
Kong Ek sendiri yang maju dan berusaha melawan, dalam belasan jurus saja
telah dirobohkan dan dipaksa menceritakan apa yang terjadi ketika puteri
Raja Pulau Es itu berada di Pulau Neraka. Dengan kebencian dan dendam
yang makin mendalam, Ouw Kong Ek menceritakaan keadaan sebenarnya,
tepat seperti yang telah didengar oleh Han Ti Ong dari mulut Sin Liong. Maka
mulailah raja ini merasa menyesal mengapa dia telah terburu nafsu
menghajar, bahkan hampir saja membunuh Sin Liong dan Swat Hong yang
sebetulnya tidak berdosa. Mulailah dia teringat bahwa kemarahanya itu
timbul karena bujukan dan kata‐kata yang membakar dari permaisurinya.
Dia menjadi marah sekali dan kemarahannya itu dilampiaskannya di Pulau
Neraka. Pulau itu diobrak‐abrik, sebagai hukuman telah berani menahan
puterinya. Bahkan kitab catatan Sin Liong tentang racun dan pengobatanya,
dihancurkan dan dibakarnya! Setelah puas melampiaskan kemarahanya, Han
Ti Ong memimpin pasukannya meninggalkan Pulau Neraka, meninggalkan
para penghuni yang banyak menderita luka lahir batin itu dan Raja ini telah
menanamkan dendam yang makin menghebat di dalam hati para penghuni
Pulau Neraka. Sepekan kemudian, barulah rombongan Han Ti Ong tiba
kembali di Pulau Es dan wajah Raja ini seketika pucat setelah dia mendengar
berita yang lebih hebat dan mengejutkan lagi, yaitu bahwa sehari setelah dia
dan pasukanya berangkat, permaisuri dan pangeran telah pergi
meninggalkan Pulau Es! Dan belum pulang . Makin terpukul lagi bathin Raja
Han Ti Ong ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab‐kitab pusaka Pulau
Es telah lenyap, berikut banyak harta benda berupa mas dan permata yang
disimpan didalam kamarnya! Hampir saja dia roboh pingsan mendapat
kenyataan bahwa permaisurinya, The Kwat Lin, gadis yang ditolongnya itu,
ternyata telah berkhianat! "Mengapa tidak kalian larang mereka pergi?
Mengapa? Sin Liong, engkau muridku, mengapa engkau mendiamkan saja
pergi membawa pusaka‐pusaka kita?" dalam bingung dan marahnya dia
menegur Sin Liong. "Suhu, Subo pergi hanya memberi tahu bahwa Subo
bersama Sute hendak menyusul ke Pulau Neraka. Siapa yang berani
menghalangi Subo? Kami semua tidak ada yang mengira bahwa Subo tak kan
kembali, dan tidak ada yang tahu bahwa Subo membawa sesuatu, harap
maafkan teecu." Han Ti Ong membanting‐banting kakinya, lalu berlari
memasuki kembali istana setelah tadi dia memeriksa dan melihat kehilangan
PART 111
pusaka Pulau Es. Ketika dia memanggil dua orang muda menghadap, Sin
Liong dan Swat Hong melihat perubahan hebat terjadi pada diri raja sakti ini.
wajahnya menjadi suram dan gelap, sepasang mata yang biasanya bersinar
dan berpengaruh itu, menjadi redup seperti lampu kekurangan minyak. Dan
rambut yang tadinya hanya sedikit putihnya, mendadak berubah hampir
seluruhnya, dan suaranya tidak bersemangat ketika berkata, "Sin Long...,
Swat Hong..., kalian ampunkan aku..." "Suhu...!" Sin Liong berlutut dan
menundukan muka. "Ayah... jangan berkata begitu Ayah...!" Swat Hong
meloncat menubruknya. Ayah dan anak itu saling rangkulan dan Sin Liong
makin menundukan mukanya ketika mendengar suhunya menangis
mengguguk seperti anak kecil ! Setelah Han Ti Ong dapat menguasai kembali
hatinya dia mencium dahi puterinya dan menyuruhnya duduk kembali. Swat
Hong menyusuti air matanya dan berlutut di dekat Sin Liong. "Aku telah
bedosa. Sekarang baru aku tahu...aku telah berdosa. Mungkin sekali... tidak,
aku yakin sekarang, bahwa ibu Swat Hong tidak bersalah apa‐apa, hanya
terkena fitnah... aih, apa yang telah kulakukan? Dan aku hampir saja
membunuhmu, Sin Liong, dan kau Swat Hong anaku. Orang macam apa aku
ini? Dan aku mengaku cinta kepada anakku? Huh, huh, engkau benar, Sin
Liong. Tidak ada cinta di dalam hatiku yang kotor, yang ada hanya nafsu
berahi sehingga mudah saja aku dipermainkan oleh wanita itu.
Aihhhh....kalian maafkan aku. Swat Hong, hanya satu pesanku kepadamu,
anakku. Kau... kau menjadilah jodoh Sin Liong. Jadilah kalian suami istri, baru
akan terobati hatiku..." "Suhu...!" "Ayah...!" "Muridku....anakku....,maukah
kalian melegakan hatiku? Aku ingin menebus kesalahanku... aku ingin
melihat kalian menjadi suami istri, kalian anak‐anak malang..." "Suhu, teecu
mohon ampun. Teecu...tidak ada dalam hati teecu untuk memikirkan soal
jodoh..." "Ayah, mengenai jodoh tidak dapat ditentukan begitu saja. Biarkan
kami menentukannya sendiri..." Han Ti Ong menarik napas panjang,
memejamkan mata sebentar, kemudian bangkit berdiri, membalikan tubuh
dan berjalan memasuki kamarnya meninggalkan dua orang muda yang masih
berlutut itu. Semenjak saat itu, sampai berhari‐hari lamanya, Raja itu tidak
pernah keluar dari kamarnya sehingga membuat gelisah semua
pembantunya. Keadaan di Pulau Es tidak seperti biasa, semua penghuni
dapat merasakan ini. Semenjak terjadinya peristiwa yang memalukan dan
menyedihkan menimpa keluarga Raja Han Ti Ong, keadaan Pulau Es sunyi
dan semua wajah para penghuni kelihatan muram. bahkan cuaca juga seolaholah
berubah suram, seringkali malah menjadi gelap oleh mendung tebal.
Hati semua orang merasa gelisah tanpa mereka ketahui sebabnya, seolaholah
merupakan tanda rahasia bahwa akan terjadi hal‐hal lebih hebat lagi.
Peristiwa yang menyedihkan yang menimpa Han Ti Ong bisa menimpa diri
setiap orang, dan memang kita sebagai manusia hidup selalu terlupa bahwa
mengejar kesenangan sama artinya dengan memanggil kesengsaraan! Kita
hidup dibuai khayal akan keadaan yang lebih baik, lebih menyenangkan dari
pada keadaan seperti apa adanya. Kita tidak pernah membuka mata, tidak
pernah menghayati keadaan saat ini, tidak dapat melihat bahwa saat ini
PART 112
mencakup segala keindahan. Dengan membandingkan keadaan kita dengan
keadaan lain, kita selalu menganggap bahwa keadaan buruk tidak
menyenangkan, dan kita selalu memandang jauh kedepan, mencari‐cari dan
menghayalkan yang tidak ada, keadaan yang kita anggap lebih
menyenangkan. Karena kebodohan kita inilah maka kita hidup dikejar‐kejar
oleh kebutuhan setiap saat, detik demi detik kita mengejar kebutuhan.
Kebutuhan adalah keinginan akan sesuatu yang belum tercapai, yang kita
kejar‐keja. Lupa bahwa kalau yang satu itu dapat tercapai, didepan masih
menanti serbu yang lain yang akan mejadi keinginan dan kebutuhan kita
selanjutnya. Maka, berbahagialah dia yang tidak membutuhkan apa‐apa!
Bukan berarti menolak segala kesenangan, melainkan tidak mengejar apaapa
sehingga kalau ada sesuatu yang datang menimpa diri, bukan lagi
merupakan kesenangan atau kesusahan, melainkan dihadapi sebagai suatu
yang sudah wajar dan semestinya sehingga tampaklah keindahan yang
murni! Demikian pula keadaan Raja Han Ti Ong. Dia seorang yang sakti dan
bijaksana namun tiba saatnya dia lengah dan menganggap bahwa dia
menemukan kebahagiaan dalan diri The Kwat Lin. Padahal yang dia temukan
hanyalah kesenangan yang timbul dari kenikmatan badani, dari
terpuaskannya nafsu. Dia seolah‐olah hidup dialam khayal, di alam mimpi.
Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang manis menjati pahit bukan
main, baru sadar bahwa perubahan dari senang ke susah sama mudahnya
dengan membalikan telapak tangan! Dan mengalah, suka dan duka hanyalah
dwi muka (kedua muka) dari sebuah tangan yang sama! Perahu kecil itu
terayun‐ayun kekanan kiri seperti menari‐narikarena tidak dikuasai oleh
layar maupun dayung, melainkan sepenuhnya dikuasai oleh air laut yang
tenang. Dua orang yang duduk diperahu itu seperti dua buah arca, diam dan
pandang mata mereka melayang jauh ke kaki langit, melayang‐layang di
permukaan laut seperti mencari‐cari sesuatu yang hilang. Dan memang
fikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu, sedang mencaricari
jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. pulau Es hanya kelihatan
sebagai sebuah garis mendatar putih dekat kaki langit. mereka berangkat
pagi‐pagi meninggalkan Pulau Es, setelah tiba di tempat jauh yang sunyi ini,
mereka menggulung layar dan membiarkan perahu mereka dibuai
gelombang kecil. Mereka sudah lama berdiam diri seperti itu, dibuai oleh
lamunan masingmasing, lamunan yang timbul karena keadaan di Pulau Es
yang menyedihkan. "Suheng..." Suara panggilan Swat Hong ini lirih saja,
namun karena sejak tadi mereka tidak mendengar suara apa‐apa, maka suara
panggilan ini seolah‐olah mengandung getaran hebat yang memenuhi
seluruh ruang kesunyian. Sin Liong menoleh dan dia pun seolah‐olah baru
sadar dari alam mimpi. "Hemmmm...?" jawabannya masih ragu‐ragu. "Suheng
mengajakku meninggalkan pulau dan setelah tiba disini, mengapa suheng
tidak lekas bicara melainkan melamun saja?" "Aku terpesona akan keindahan
alam yang sunyi ini, Sumoi...." "Aku pun tadi terseret, Suheng. Akan tetapi
melihat batu karang menonjol di depan itu, aku tersadar. Apakah aku akan
menjadi setua batu karang itu yang kerjanya hanya termenung di tempat
PART 113
sunyi! Suheng, kau tadi bilang bahwa untuk membicarakan urusan kita,
engkau mengajakku ketengah laut. Mengapa? "Engkau sudah mengerti
sendiri. Fitnah yang dilontarkan kepada kita, bahwa ada terjadi sesuatu yang
rendah di antara kita, membuat aku merasa tidak enak kalau mengajak kau
bicara berdua saja di tempat sunyi di atas pulau itu. Dapat menimbulkan
prasangka yang bukan‐bukan. Karena itulah maka kuajak kesini, agar kita
dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada yang mendengar dan
melihat. Pula, kuharap ditempat yang sunyi ini, yang membuat kita seolaholah
berada di dalam alam lain, kita akan menemukan ilham..." Swat Hong
tertawa. Timbul kembali kegembiraan dara ini setelah dia tidak berada di
Pulau Es yang membuat dia selama ini ikut muram dan berduka. "Wah,
Suheng! Kadang‐kadang kau bicara seperti seorang pendeta saja! Apa sih
yang akan dibicarakan sampai‐sampai kau membutuhkan ilham segala?"
"Mari kita bicara tentang cinta, Sumoi." Wajah dara muda jelita itu terheran,
matanya memandang terbelalak dan perlahan‐lahan kedua pipinya menjadi
agak kemerahan. "Aihh... apa maksudmu, Suheng?" Sin Liong menarik napas
panjang, dan menyentuh tangan sumoinya. "Perlukah aku menjelaskan lagi?
Suhu, Ayahmu sedang dilanda duka dan kedukaannya yang terakhir sekali ini
adalah menyangkut hubungan antara kita. Suhu menghendaki agar kita
berjodoh, dan kita secara jujur telah menyatakan tidak setuju akan
kehendaknya itu. Dan memang kita benar, Sumoi. Perjodohan tidak bisa
ditentukan begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi
seseorang, akan melekat selama hidupnya. Akan tetapi bagaimana kita tahu
kalau hal ini tidak kita bicarakan secara terus terang? Maka, agar kita dapat
mengambil keputusan yang tepat tentang kehendak Suhuini, marilah kita
bicara tentang cinta!" "Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa‐apa," Kata Swat
Hong yang tentu saja merasa malu untuk bicara tentang hal yang asing
baginya itu. "Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?" Dara itu makin merah
mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya akan bertanya secara langsung
seperti itu sehingga dia merasa seperti diserang dengan tusukan pedang
yang amat dhasyat! Dia mengangkat muka memandang suhengnya dengan
bingung. "Aku...aku...ah, aku tidak tahu..." dan dia menundukan mukanya.
"Sumoi, sudah sering aku melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah‐marah
ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu berbuat
baik kepadaku, dan kau tidak senang melihat Kongkongnya hendak
menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi, aku tidak tahu apa cemburu itu
tandanya cinta? Akan tetapi, jawablah demi pemecahan persoalan yang kita
hadapi ini. Cintakah kau kepadaku?" Disinggung‐singgung tentang sikapnya
di Pulau Neraka yang jelas menadakan rasa cemburunya, Swat Hong menjadi
makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia bertemu
pandang dengan suhengnya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya
mukanya dengan kedua tangan, kepalanya digeleng‐gelengkan dan dia
berkata, "Aku tidak tahu...aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau
saja yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!" Dan kini dia
menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya yang bening itu kini
PART 114
dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong! Sin Liong menarik napas
panjang. "Itulah yang membingungkan hatiku selama ini,Sumoi. Mau bilang
tidak mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan tetapi untuk
menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak
tahu bagaimana sesungguhnya cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu
terhadap ibumu yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? ataukah
seperti cintanya Ibumu kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin
dan suhu? Hemm, mengapa semua cinta itu demikian palsu dan
mengakibatkan hal yang amat menyedihkan? Aku menjadi ngeri melihat
cinta macam itu, Sumoi." Swat Hong memandang heran. "Ahhh, aku tidak
pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini, suheng." "Mudah
saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The Kwat Lin.
Seperti itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian,
dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu, aku ngeri dan aku
tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun, Sumoi.
Karena, kalau hanya seperti itu akibatnya, maka cinta yang kunyatakan
hanyalah merupakan kembang bibir elaka, hanya cinta palsu belaka.
Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita berdua, sejak kecil sampai sekarang
menjelang dewasa, tidak pernah ada pertentangan dan tidak pernah ada
urusan apa‐apa. Akan tetapi, setelah kita berdua mengaku cinta, lalu timbul
soal‐soal ceburu, kecewa dan lain‐lain. Apalagi setelah menjadi suami
istri...hemm, betapa mengerikan kalau melihat contoh yang kita saksikan di
Pulau Es ini." Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab. Persoalan
yang diajukan oleh Sin Liong itu terlampau berat baginya, sulit untuk
dimengerti. Baginya, sebagai seorang wanita, dia haus akan cinta kasih, akan
perhatian, akan pemanjaan dari seorang pria yang menyenangkan hatinya,
seperti suhengnya ini. Akan tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong
tentang cinta yang diambilnya peristiwa di Pulau Es sebagai contoh, dia pun
ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu. "Aku tidak tahu, Suheng..,
aku tidak mengerti. Terserah kepadamu sajalah..." Sin Liong kembali menarik
napas panjang. Dia memang sudah mengambil keputusan di dalam hatinya
bahwa dia harus membalas budi kebaikan suhunya yang sudah berlimpahlimpah
diberikan kepadanya. Satu‐satunya jalan untuk membalas budi hanya
dengan menyenangkan hati suhunya yang sedang berduka itu. Dia harus
menerima keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong!
Akan tetapi dia tidak boleh membuat dara itu menderita dengan
keputusannya ini, maka dia harus tahu terlebih dahulu bagaimana pendirian
Swat Hong. Dan sekarang, dara itu sama sekali tidak berani mengaku tentang
cinta. "Sumoi, sekarang begini saja. Andai kata aku memenuhi permintaan
suhu, yaitu mau menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu,
bagaimana dengan pendapatmu?" Swat Hong menunduk dan menggigit
bibirnya. Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak tahu, terserah kepadamu
dan kepada ayah..." "Maksudku, apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal
ini menyenangkan hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau
kau, seperti aku, tidak bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kukatakan
PART 115
apakah ikatan jodoh ini tidak menimbulkan penyesalan bagimu?" Swat Hong
tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. "Kalau begitu, andaikata aku
menerima, engkau pun akan menerimanya dengan senang hati?" Swat Hong
mengangguk! "Kalau begitu, mari kita pergi menghadap Ayahmu. Aku akan
menerima permintaannya, karena betapapun juga, kita harus menghiburnya,
menyenangkan hatinya. Aku telah berhutang banyak budi dari suhu, maka
kalau dengan penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya, aku akan
merasa senang." Sin Liong mengambil dayung perahu itu dan menggerakan
dayung. "Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? jadi kau...kau
tidak cinta kepadaku?" "Sumoi aku tidak berani berlancang mulut mengaku
cinta. Aku telah banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan
kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali cinta diucapkan dengan mulut,
maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya,
maka aku tidak berani lancang mengaku, Sumoi..." "Ahhh...!!" Jeritan Swat
Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan juga kekangetan hebat,
matanya terbelalak memandang kedepan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong
cepat menengok dan pada saat itu terdengar ledakan dahsyat dibarengi
dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah‐olah membakar dunia. Tampak
oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi sekali
disusul asap dan api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan
Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak
berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba‐tiba karena
perahu mereka dilontarkan keatas, dalam saat lain perahu itu telah
dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara
mengguruh memenuhi telinga mereka dan keheningan yang baru saja
mencekam lautan itu kini terisi dengan kebisingan yang sukar dilukiskan. Sin
Liong berteriak, "Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!"
keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur
keseimbangan perahu. Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat
dahsyat itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang
pemuda itu adalah tokoh‐tokoh Pulau Es sekalipun? Perahu mereka menjadi
permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas, disambut dan diseret
kebawah, seolah‐olah tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang
menyeret perahu ke dasar laut, akan tetapi tiba‐tiba dihayun lagi keatas,
ditarik ke kanan, didorong kekiri sehingga kedua orang murid Raja Han Ti
Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan! Mereka tidak ingat akan
waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka diombang‐ambingkan air laut,
tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka tidak sempat
menggunakan pikiran lagi. Yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri,
menjaga sekuat tenaga agar perahu mereka tidak sampai terguling dan
tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu. Dengan
tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong memegang
lengan kanan sumoinya. Betapapun juga, dia tidak akan melepaskan
sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu,
sekali ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau
PART 116
hebat keganasan air laut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang
setinggi gunung yang seolah‐olah setiap saat hendak mencengkram dan
menelannya itu! Tiba‐tiba Swat Hong menjerit. Segulung ombak besar datang
dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena ditelan air, kemudian
mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas. "Brukkk...!"
Keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan.
Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang.
Ternyata perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh
batu karang, sebuah pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecilkecil
sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol tinggi. "Sumoi,
lekas..., kita naik ke sana...!!" Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang
terasa sakit semua, membantu sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan
lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi gadis itu pun agaknya tidak
merasakan semua ini, tersaruk‐saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan
menyeret perahu ke atas, kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas
puncak batu karang itu dengan susah payah. Akhirnya mereka tiba di puncak
batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benarbenar
menggetarkan jantung. Air di sekeliling mereka. Air yang menggila,
bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung, suara yang
gemuruh seolah‐olah semua iblis dari neraka bangkit. Batu karang besar ,
atau lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu tergetar‐getar, seolah‐olah
menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai yang mengamuk. Tidak
tampak apa‐apa pula selain air, air dan kegelapan, kadang‐kadang diseling
cahaya menyambar dari atas, seperti lidah api seekor naga yang bernyalanyala,
"Ouhhhh..!" Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suhengnya.
Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek‐robek. "Tenanglah... tenanglah,
Sumoi...." Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya
sumoinya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga!
Pengalaman ini sungguh dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama
hidupnya. Kebesaran dan kekuasan alam nampak nyata. membuat dia merasa
kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang
dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu.
Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya kegelapan, air, dan kadangkadang
kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air, angin
menderu, dan kadang‐kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan
merasakan apa‐apa, yang ada hanya takjub dan ngeri! Di luar tahunya dua
orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam!
Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi
di bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih
bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun,
akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah
kabut terusir pergi. Tampaklah lautan luas terbentang di bawah dan baru
sekarang ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk dipuncak
batu karang yang amat tinggi! Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat
tubuhnya, betapa luka‐luka kecil dari kulitnya yang lecet‐lecet, dan betapa
PART 117
haus dan lapar leher dan perut! "Sumoi, badai sudah mereda. Mari kita turun.
Aihh, itu perahu kita. Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia
menggandeng tangan sumoinya, menuruni batu karang. Perahu mereka tidak
pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu
itu, membawanya turun kebawah. "Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar
kudayung dengan kedua tangan." Swat Hong duduk didalam perahu,
mengeluh lagi dan berkata penuk kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es?
Badai mengamuk demikian hebatnya, Suheng." Aku tidak tahu, mudahmudahan
mereka selamat. Maka, kita harus cepat pulang." dia lalu
menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak,
meluncur di atas air yang tenang dan licin seperti kaca, sama sekali tidak ada
tanda‐tanda di permukaan air bahwa air itu telah mengamuk sedemikian
hebatnya baru‐baru ini. Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan dayung
yang dipatahkan dari batang pohon yang hanyut di air. Agaknya pulau‐pulau
kecil disekita tempat itu telah diamuk badai sedemikian hebatnya sehingga
pohon‐pohon tumbang dan terbawa air. Setelah keadaan cuaca terang
kembali, Sin Liong dapat menentukan arah perahu dan tak lama kemudian
tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa, sebuah
pualu keputihan memanjang di kaki langit, berkilaun tertimpa sinar
matahari. Hati mereka lega. Dari jauh kelihatannya tidak terjadi perubahan di
pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana di
Pulau Es, maka legalah hati mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar tegang
ketika perahunya sudah menepel di Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi. Sunyi
dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak
sebuah perahu pun. Dan bukit‐bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau
tidak karuan dan berubah bentuknya! Dengan hati tidak enak kedua orang
muda itu belari‐lari ketengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah
mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan juga pondok‐pondok yang
biasanya terdapat di sana‐sini, sekarang habis sama sekali. Tidak ada sebuah
pun pondok yang tampak! Seolah‐olah semua telah disapu bersih, tersapu
bersih dari pulau itu. "Auhhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat,
kedua kakinya menggigil. "Mari kita ke istana, Sumoi!" Sin Liong yang berkata
dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya dan diajaknya dara
itu lari ke dalam istana. Beberapa kali terdengar Swat Hong mengeluarkan
seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget bukan main. Mereka seperti
memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas‐bekasnya
tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik prabot‐prabotan istana
maupun manusia‐manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun benda atau
seorang pun manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriakteriak
memanggil, yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri!
"Oughhh...!!" Swat Hong tidak menahan himpitan perasaan yang ngeri dan
berduka, tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat
disambar oleh Sin Liong. "Sumoi...!" Akan tetapi suara ini kandas
dikerongkongannya dan tanpa disadari pula, kedua pipi Sin Liong basah oleh
air matanya yang mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia
PART 118
memondong tubuh sumoinya yang pingsan itu ke dalam kamar. Akan tetapi
dia termangu‐mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang terbuka,
karena kamar itu pun kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun
prabotannya. terpaksa dia merebahkan tubuh sumoinya di atas lantai, dan
dia sendiri merebahkan kepala diatas kedua lututnya sambil menangis.
terlampau hebat peristiwa yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih
oleh badai! Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun
manusia yang tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang tinggal,
kecuali bangunan istana yang memang amat kuat itu. Setelah siuman, Swat
Hong menangis, "Aih, mengapa..? Mengapa...? ayah, kasihan sekali Ayah...!"
Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membujuknya. Mereka berdua lalu
mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar‐benar
Pulau Es telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi
sehingga pulau itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong
pakaian yang tersangkut di batu‐batu dan dengan hati terharu penuh
kedukaan mereka mengumpulkan pakaian itu, entah punya siapa, sebagai
barang peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa
istana. Memang ada beberapa benda yang masih tertinggal di dalam kamar di
bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua habis dan lenyap.
"Suheng, lihat ini...!" tiba‐tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke
dinding. Sin Liong cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan
tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang penuh
tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu itu! "Sin Liong dan Swat Hong,
maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah
kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong
bukanlah puteraku, dia keturunan Ki‐ong." Pendek saja "surat dinding" itu,
namun cukup jelas isinya. Sin Liong menarik napas panjang. Kasihan dia
kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu! "Suheng lihat ini..."
Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari‐jari tangan mencengkram
dinding. Mudah saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan
keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi
amukan badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk
mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkram dinding dan
sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar
dari pada kekuatanya menyeret keluar dari istana dan bahkan dari pulau itu!
"Kasihan sekali suhu..." Sin Liong menghapus air matanya. Swat Hong
mengepal tinjunya. "Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas
kembali pusaka Pulau Es,juga menghukumnya! Dialah yang mencelakakan
ibuku, yang mencelakakan Ayahku!" Sin Liong menarik napas panjang. Sudah
diduganya ini. Tentu akan terjadi balas‐membalas. Dendam tak kunjung
habis! "Sumoi, Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali
pusaka‐pusaka itu...." "Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis
betina itu!" Swat Hong berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm,apa
pula artinya ini? Bukan putera ayah?" "Sumoi, tenanglah dan dengarlah
penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib
PART 119
wanita itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau apa yang
telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum ditolong ayahmu?" Sin Liong lalu
menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua belas
orang suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis
yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu telah diperkosa di antara
mayat para suhengnya. "Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu
menyatakan bahwa Bu Ong adalah keturunan Kai‐ong, teringatlah aku. Jelas
bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas orang anak murid
Bu‐tongpai itu, sehingga anak yang dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah
keturunan Kai‐ong yang memperkosanya dan membunuh para suhengnya."
Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya,
Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat
kepadanya adalah Raja Pengemis itu, mengapa dia membalasnya kepada ibu?
Dan dia telah menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus
mencarinya dan membalaskan sakit hati ibu dan Ayah." Sin Liong maklum
bahwa membantah kehendak sumoinya ini percuma, hanya akan
menimbulkan pertentangan saja. Maka diam‐diam dia mengambil keputusan
untuk selalu mendamping sumoinya, selain menjaga keselamatan dara ini,
juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh nafsu dan
dendam. Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini
kehilangan ayah bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah
satu‐satunya orang yang patut melindunginya, sebagai suhengnya. Ataukah
sebagai calon suami? Sin Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan.
Biarlah hal perjodohan itu diserahkan kepada keadaan kelak. Dia tidak
membantah ketika sumoinya mengajaknya meninggalkan Pulau Es yang telah
kosong itu, untuk mencari ibunya, dan kalalu masih juga tidak berhasil, untuk
pergi ke daratan besar mencari The Kwat Lin. Beberapa hari kemudian,
setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di antara penghuni Pulau
Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong
berangkat meninggalkan Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka dayung
itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong memandang kearah pulau
dengan air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka
mengingat akan nasib para penghuni Pulau Es yang mengerikan itu. Mereka
berdua mendayung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perjalanan
ini mereka menemukan bukti‐bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam
yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di bawah laut itu. Ada pulau
yang lenyap sama sekali , dan ada pula pulau yang baru muncul begitu saja,
pulau yang amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas kelihatan bahwa
pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan segala keindahannya, dengan
mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu
karang dengan bermacam bentuk. Banyak pulau yang mengalami nasib
serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama sekali tetumbuhan
atasnya. diam‐diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat
kekuasan alam. Andaikata semua lautan yang mengamuk seperti beberapa
hari yang lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat keadaan
Share This Thread