Page 8 of 28 FirstFirst ... 45678910111218 ... LastLast
Results 106 to 120 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #106

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 105
    penuh kekaguman. "Ahhh, engkau terlalu memuji, Soan Cu. Sebetulnya
    adalah Kong‐kongmu yang sengaja mengalah kepadaku," kata Sin Liong, dan
    mukanya menjadi merah. Dia maklum bahwa Soan Cu seorang dara remaja
    yang berhati polos dan wajar, maka di depan semua orang tanpa segan‐segan
    menyatakan kekagumannya dan memegang kedua tangannya begitu saja.
    Akan tetapi hal ini tentu saja menimbulkan anggapan salah dan dia sudah
    melihat betapa Swat Hong membuang muka dengan wajah diselubungi
    kemarahan, bahkan akhirnya dara itu lalu membalikan tubuh dan berlari
    pergi! Sampai tiga bulan lamanya Sin Liong dan Swat Hong di Pulau Neraka.
    Dengan teliti dan hati‐hati Sin Liong melakukan penyelidikan tentang segala
    macam racun yang terdapat di pulau itu, kemudian dia mencarikan obat
    penawarnya dan menulis serta melukiskan nama dan bentuk daun, akar,
    bunga, atau buah yang berkhasiat sebagai penawar racun‐racun itu. Sibuklah
    ketua Pulau Neraka, dan para pembantunya mencarikan bahan‐bahan obat
    itu dan setelah tiga bulan, barulah lengkap catatan Sin Liong. JILID 7 Ouw
    Kong Ek dan semua penghuni Pulau Neraka merasa berterima kasih sekali
    kepada Sin Liong, apalagi setelah terbukti banyak penghuni yang sembuh
    dari penderitaan penyakit akibat keracunan setelah menggunakan obat‐obat
    seperti yang ditunjuk oleh pemuda itu. Dia dianggap sebagai seorang dewa
    penolong mereka dan diperlakukan dengan sikap penuh hormat. Setelah
    "terpaksa" tinggal di Pulau Neraka selama tiga bulan, akhirnya Swat Hong
    mendapatkan kenyataan bahwa Soan Cu adalah seorang remaja yang benarbenar
    tulus, jujur dan wajar sehingga mudah saja di antara mereka terjalin
    persahabatan yang akrab. bahkan karena dara Pulau Neraka itu dengan
    terangterangan tanpa dibuat‐buat dan tanpa usaha menarik hati Sin Liong
    menyatakan suka dan cintanya kepada Sin Liong, Swat Hong menyambut
    pernyataan itu dengan hati terharu. Diam‐diam menaruh hati kasihan kepada
    dara Pulau Neraka ini karena dia tahu bahwa hati suhengnya itu jauh
    daripada cinta! Suhengnya belum pernah mengacuhkan tentang hubungan di
    antara mereka, juga suhengnya sama sekali tidak kelihatan menaruh hati
    kepada Soan Cu. Dianggapnya suhengnya itu terlalu "dingin" dan sudah
    seringkali dia sendiri merasa kecewa melihat suhengnya sebagai seorang
    pemuda yang tidak ada semangat! Padahal dia sendiri belum yakin apakah
    dia mencintai suhengnya, sungguhpun dia merasa suka sekali kepada
    pemuda itu namun sebagai seorang dara remaja, tentu saja dia merasa tidak
    puas menyaksikan sikap pemuda yang "dingin" saja terhadapnya. Sebagai
    seorang wanita muda yang sehat dan normal, tentu saja Swat Hong juga ingin
    agar semua orang, terutama kaum pria, memandangnya dengan kagum dan
    suka, bahkan dia pun seperti semua wanita di dunia ini agaknya, akan merasa
    bangga kalau semua orang laki‐laki jatuh cinta kepadanya! Hari
    keberangkatan mereka meninggalkan Pulau Neraka pun tibalah. Sin Liong
    dan Swat Hong diantar oleh semua penghuni Pulau Neraka sampai ke pantai,
    dimana telah tersedia sebuah perahu yang lengkap dengan layar, dayung,dan
    bekal makanan. Soan Cu mengantar dengan mata berlinang air mata.
    Semenjak tadi dara ini menangis, bahkan rewel kepada kakeknya hendak ikut

  2. Hot Ad
  3. #107

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 106
    pergi bersama Sin Liong dan Swat Hong. "Hushhh, apakah kau gila?"
    demikian kakeknya menjawab. "Kau hendak ikut ke Pulau Es? tidak tahukah
    kau bahwa semua penghuni Pulau Neraka dilarang menginjakan kaki ke
    Pulau Es? Begitu kau tiba di sana, kau akan dijatuhi hukuman sebagai
    seorang pelanggar hukum!" Juga Sin Liong dan Swat Hong melarang dengan
    alasan bahwa Swat Hong sendiri sedang menghadapi malapetaka, bahkan dia
    bersama suhengnya sedang berusaha mencari ibunya. Selama tiga bulan ini,
    Ouw Kong Ek sudah mengerahkan pembantunya untuk mencari Liu Bwee,
    bekas istri Raja Han Ti Ong, ke pulau‐pulau kosong di sekitar Pulau Neraka,
    namun hasilnya sia‐sia belaka. Tentu saja para penghuni Pulau Neraka yang
    mencari itu tidak berani terlalu mendekat Pulau Es. Setelah perahu yang
    ditumpanginya Sin Liong dan Swat Hong pergi Jauh, Soan Cu menjatuhkan
    dirinya menangis. "Kong‐kong, akupun mau pergi dari sini. Aku tidak tahan
    lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka tanpa adanya mereka berdua! Aku
    harus pergi, aku harus pergi mencari ayahku, seperti Swat Hong yang pergi
    mencari ibunya!" Kong‐kongnya hanya menggeleng kepala, menghela napas
    dan menggandeng cucunya yang tercinta itu kembali ke tengah pulau. Hati
    orang tua ini khawatir sekali karena dia tahu bahwa cucunya telah mulai
    dewasa dan telah tergoda oleh cinta sehingga merasa tidak tahan lagi tinggal
    lebih lama di Pulau Neraka. Dia maklum bahwa agaknya takan lama lagi
    cucunya itu tentu akan nekat meninggalkan pulau dan kalau hal yang
    dikhawatirkan itu terjadi, apalagi artinya hidup baginya di pulau itu?
    Puteranya telah lenyap dan satu‐satunya orang yang selamanya ini membuat
    hidupnya berarti hanyalah Soan Cu. Ketika perahu mereka mendarat di Pulau
    Es, Sin Liong dan Swat Hong saling pandang dengan hati yang berdebar.
    Mereka sudah menjelajahi seluruh pulau di sekitar Pulau Es untuk mencari
    ibu Swat Hong, namun sia‐sia belaka. Akhirnya mereka mengambil
    keputusan untuk kembali ke Pulau Es, dengan harapan mudah‐mudahan ibu
    dara itu sudah kembali ke Pulau Es. "Bagaimana kalau ibu tidak berada di
    sana? Bukankah berarti bahwa aku telah melanggar janjiku untuk mewakili
    ibu yang dibuang ke Pulau Neraka?" Swat Hong bertanya ketika perahu
    mereka tadi sudah mendekati Pulau Es. "Jangan khawatir, Sumoi. Suhu
    adalah ayahmu sendiri, dan betapapun marahnya, aku percaya bahwa suhu
    akan dapat memaafkanmu. Aku percaya akan kebijaksanan Suhu, dia
    bukanlah seorang yang berbudi rendah...." "Tapi dia telah terkena racun yang
    hebat, racun yang seratus kali lebih kejam daripada racun yang paling jahat
    di pulau Neraka! Dia telah terkena hasutan mulut wanita jahat itu..." "Ssttt,
    Sumoi, jangan mempersulit keadaan dengan menyangka yang bukan‐bukan.
    Sudalah, kekhawatiranmu itu hanyalah permainan pikiran yang
    membayangkan hal yang belum terjadi. Singkirkan saja kekhawatiran kosong
    itu dan mari kita hadapi kenyataan. Percayalah, apa pun yang akan terjadi,
    aku tidak akan membiarkan engkau terancam bencana. Mari kita hadapi apa
    saja yang menimpa kita berdua." "Suheng... betulkah? Betulkah kau akan
    membela dan melindungi aku?" "Tentu saja, Sumoi." "Menghadapi Ayah
    sekalipun?" "Menghadapi siapa saja karena aku yakin bahwa engkau tidak

  4. #108

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 107
    mempunyai kesalahan apa pun." "Kalau begitu, aku menjadi besar hati,
    Suheng. mari kita mendarat." Makin tegang hatinya dan juga terheran‐heran
    ketika dia melihat betapa beberapa orang penghuni Pulau Es kebetulan
    berada di situ, segera berlari pergi menuju ke tengah pulau, bahkan tidak
    berhenti ketika dia dan suhengnya memanggil mereka. Makin tidak enak
    mereka, namun dengan tenang Sin Liong mengajak sumoinya untuk menuju
    ke Istana Pulau Es di tengah pulau itu, menemui Raja Han Ti Ong dan
    bertanya tentang Liu Bwee. Tak lama kemudian, keduanya berhenti tiba‐tiba
    ketika melihat raja itu sendiri berlari‐laridatang bersama permaisuri dan
    pembantu‐pembantu yang terpercaya. Tadinya Swat Hong merasa girang,
    wajahnya berseri karena dia mengira bahwa ayahnya datang menyambutnya
    dengan girang melihat di pulang. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ayahnya
    sudah tiba di depan mereka, langsung raja Han Ti Ong menudingkan
    telujuknya ke arah mereka sambil membentak, "Manusia‐manusia rendah!
    kalian masih berani menginjakan kaki di Pulau Es? Membikin kotor pulau ini?
    *******!" "Ayah...!!" "Suhu...!!" "Plak! Plak!!" Tubuh Sin Liong dan Swat Hong
    terguling ketika tangan Raja itu dengan kecepatan kilat telah menampar
    mereka. Dengan alis berdiri Raja Han Ti Ong menudingkan telunjuknya
    bergantian ke arah muka dua orang muda yang menjadi kaget setengah mati
    dan merangkak bangun itu. "Jangan sebut aku Ayah dan Suhu! Kalian berdua
    telah minggat dengan diam‐diam, perbuatan yang tak tahu malu dan
    mengotorkan nama keluarga Han! Masih berani datang dan menyebut Ayah
    dan Suhu kepadaku? Huh!!" "Ayahhhh....apa...apa yang terjadi....? Mana
    Ibuku...?" "Ibumu seorang yang hina, dan engkau anaknya pun tidak berbeda
    banyak!" "Ayah...!" "Diam! Dan minggat engkau dari sini sebelum kubunuh!"
    "Ayah, kalau begitu bunuh saja aku! Aku tidak berdosa...!" Swat Hong yang
    berlutut itu menangis sesungguhnya. "Bagus! Kau minta mati?" "Suhu...!"
    Suara Sin Liong ini mengandung wibawa sedemikian hebatnya sehingga Han
    Ti Ong sendiri sampai terkejut menghentikan langkahnya yang hendak
    menghampiri puterinya. Sepasang mata Sin Liong mengeluarkan sinar yang
    luar biasa dan sejenak Ha Ti Ong ragu‐ragu. Teringatlah dia akan keadaan
    dahulu ketika anak ajaib ini menyuruhnya menolong The Kwat lin,
    menyuruhnya berhenti untuk menguburkan mayat‐mayat. Seperti itu pula
    kekuatan mujijat yang keluar dari sepasang mata itu. Sepasang mata yang
    sedikitpun tidak membayangkan takut, atau marah, atau kekerasan, hanya
    membayangkan kelembutan yang mengharukan. "Suhu, harap suhu bersabar
    dulu. Menjatuhkan hukuman tanpa memberitahu kesalahan orang, sungguh
    tidak adil sekali, sungguhpun Sumoi adalah puteri Suhu sendiri." Bangkit
    kembali marah Han Ti Ong. "Sin Liong, bagus perbuatanmu, ya? Kau masih
    berpura‐pura lagi? Dia pergi tanpa pamit, hal itu masih belum apa‐apa, akan
    tetapi dia pergi lalu kau susul, bersamamu pergi sampai berbulan‐bulan,
    pantaskah itu? Kalian tidak tahu malu, dan menodakan nama baik keluarga
    KerajaanHan!" Diam‐diam Sin Liong terheran. mengapa suhunya berubah
    seperti ini? Tentu saja dia tidak tahu betapa para keluarga yang membenci
    Liu Bwee telah menggunakan kesempatan selagi terjadi peristiwa

  5. #109

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 108
    penghukuman atas diri Liu Bwee itu untuk membakar hati raja ini, terutama
    sekali melalui mulut permaisuri! "Ayah, jangan menuduh yang bukan‐bukan.
    Aku memang pergi dan bertemu dengan suheng, akan tetapi apakah salahnya
    dengan itu?" "Hemm, apa, salahnya, ya? Tidak salahkah kalau seorang
    pemuda dan seorang dara berdua saja sampai hampir setengah tahun
    lamanya? Mingkinkah tidak akan terjadi apa‐apa antara kalian, di tempat
    sunyi, hanya berdua saja! Hem...hemmm... siapa percaya tidak akan terjadi
    apa‐apa yang kotor?" ucapan ini keluar dari mulut permaisuri, The Kwat Lin
    yang tersenyum mengejek. "Ibu, kalau Enci Hong dan Suheng melakukan
    hubungan gelap, kawinkan saja mereka, mengapa ributribut?" Tiba‐tiba Bu
    Ong, putera raja yang baru berusia kurang lebih delapan tahun itu, berkata
    dengan suara nyaring. "Hussshhh! Tutup mulutmu!" Kwat Lin membentak
    puteranya yang segera cemberut, tapi memandang kepada Swat Hong dan
    Sin Liong dengan pandang mata mengejek. Hampit saja Swat Hong tak dapat
    percaya akan apa yang didengarnya. Ayah dan ibu tirinya menuduh dia
    berjinah dengan Sin Liong! Dengan dada sesak dan kemarahan yang meluapluap,
    Swat Hong lupa diri dan meloncat bangun, menjerit dengan kata‐kata
    yang seperti dilontarkan kepada ayahnya, "Ayah! Mengapa ada fitnah sekeji
    ini? Ayah, insyaflah, Ayah telah dikelabui, Ayah telah mabuk oleh rayuan..."
    "Plak! Desss!!" Tubuh Swat Hong terlempar dan terguling‐guling ketika
    terkena tamparan dan pukulan tangan ayahnya sendiri. "Suhu, ini tidak adil
    sama sekali!" "Plak! Desss!!!" Tubuh Sin Liong juga terjungkal, Akan teapi
    pemuda ini sudah meloncat bangun kembali. Sedikit pun tidak merasa takut,
    bahkan kini dia memandang tajam kepada Han Ti Ong. "Suhu, andaikata Suhu
    memukul tee‐cu sampai mati sekalipun, suah sepatutnya karena karena teecu
    hanyalah seorang murid yang telah menerima banyak kebaikan dari Suhu
    dan tee‐cu rela membalasnya dengan nyawa. Akan tetap, Sumoi adalah puteri
    Suhu sendiri, darah daging suhu sendiri! Mengapa Suhu begitu tega? Di
    manakah rasa kasih di hati Suhu?" "*******!" Han Ti Ong memaki dengan
    suara gemetar saking marahnya. Melihat betapa Sin Liong berani
    menantangnya untuk membela Swat Hong makin besar kepercayaannya akan
    desas‐desus bahwa puterinya main gila dengan muridnya ini. "Kau mau
    memberi kuliah kepadaku? Kalau dia orang lain, aku tidak akan perduli apa
    yang dilakukannya. Justru karena dia anaku dan aku cinta kepada anakku,
    maka aku perlu mengajarnya!" "Hemmm, begitulah cinta di hati Suhu? Cinta
    suhu siap untuk berubah menjadi kemarahan, kebencian yang meluap karena
    Suhu merasa bahwa puteri Suhu tidak menyenangkan hati suhu? itu bukan
    cinta, Suhu! Suhu hanya mementingkan diri sendiri, kalau disenangkan hati
    Suhu, biar orang lain sekalipun akan Suhu perlakukan dengan baik, akan
    tetapi kalau hati Suhu dikecewakan, biar anak sendiri akan dibunuh!" "Plakplak!
    Dess...!" Kembali tubuh Sin Liong terjungkal dan kini darah mengucur
    dari mulut dan hidungnya. "Suheng...! Ahhh, Ayah... Jangan...!" Swat Hong
    sudah meloncat ke depan dan menubruk suhengnya. "Anak durhaka, murid
    murtad! Dess!" kini Swat Hong yang mengeluh dan terjungkal terkena
    tendangan ayahnya yang sedang marah itu. Masih untung bagi mereka

  6. #110

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 109
    berdua bahwa Han Ti Ong hanya berniat mengajar dan menghukum, kalau
    berniat membunuh, tentu mereka sudah tak benyawa lagi. Saking marahnya,
    biarpun melihat murid dan puterinya sudah beberapa kali dihantam dan
    ditendangnya sampai mulut dan hidung mengeluarkan darah dan muka
    mereka bengkak‐bengkak, Han Ti Ong masih saja menghajar mereka. "Ongya,
    harap ampunkan mereka...." Tiba‐tiba beberapa orang pembantu utama
    berlutut di depan Raja yang marah ini dan menyabarkan hatinya. Han Ti Ong
    berdiri dengan napas terengah‐engah, mata terbelalak dan muka merah
    sekali. dia menjadi hampir putus napasnya saking marahnya. "Hemmm,
    mereka ini bocah‐bocah kurang ajar yang layak dibunuh!" katanya. "Ongya,
    sejak dahulu belum pernah ada hukuman dilaksanakan tanpa diadili lebih
    dulu, harap Ongya ingat akan keadilan Kerajaan Pulau Es yang sudah
    terkenal semenjak ratusan tahun," kata seorang pembantu yang sudah
    berusia lanjut. Han Ti Ong menghela napas panjang dan dia teringat.
    Sebetulnya, dia sedang berada dalam keadaan duka dan kecewa. duka
    mengingat akan istrinya, Liu Bwee, yang kini menimbulkan penyesalan di
    dalam hatinya karena dia pun mulai meragukan kesalahan istrinya itu.
    Kecewa karena serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya,
    mengganggu ketentraman hidupnya di Pulau Es. "Anak durhaka, untung
    engkau belum kubunuh! Kau boleh membela diri, kalau memang masih ada
    yang akan kau katakan!" Dengan tubuh sakit‐sakit dan hampir pingsan, Sin
    Liong masih dapat membantu Sumoinya, bangkit duduk, bahkan tidak
    memperdulikan keadaan dirinya sendiri, dia menyusuti peluh, air mata dan
    darah dari muka sumoinya, kemudian menarik sumoinya untuk berlutut di
    depan raja yang sedang marah itu. "Sumoi, laporkanlah semuanya kepada
    Suhu..." bisiknya. "Apa gunanya? Biarlah aku dibunuh! Biarlah, Ibu lenyap tak
    berbekas dan akan dibunuhnya... tentu akan puas hatinya...hu‐hihuuuuukkk...."
    Swat Hong menangis terisak‐isak. Melihat keadaan puterinya
    ini, tersentuh juga rasa hati Raja Han Ti Ong. "Sin Liong, hayo ceritakan apa
    yang terjadi! kami semua menuduh kalian berdua selama berbulan‐bulan dan
    tentu kalain telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Mengakulah!
    Awas, kalau kau membohonng, akan kubunuh kau sekarang juga!" "Suhu
    boleh membunuh teecu kalau teecu berbohong. Bahkan kalau teecu tidak
    membohong sekalipun, teecu menyerahkan nyawa teecu kepada suhu.
    Sebetulnya, ketika melihat sumoi pergi membuang diri ke Pulau Neraka dan
    melihat Subo juga pergi, teecu merasa kasihan dan berkhawatir sekali. Maka
    teecu diam‐diam lalu mengejar dan menyusul ke Pulau Neraka." kemudian
    dengan panjang lebar dan jelas Sin Liong menceritakan semua pengalaman
    mereka di Pulau Neraka dan mengapa mereka sampai berbulan‐bulan berada
    di pulau itu. Berkerut Raja Han Ti Ong. Di lubuk hatinya, dia percaya kepada
    muridnya ini. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat membohong
    dengan sikap seperti yang diperlihatkan muridnya. Tidak, tentu muridnya
    tidak berbohong. Akan tetapi hatinya masih marah dan ia makin marah
    ketika mendengar betapa Pulau Neraka telah berani menahan puterinya
    sebagai sandera! "Swat Hong! Benarkah cerita Sin Liong?" bentaknya kepada

  7. #111

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 110
    dara yang masih menangis sesenggukan itu. "Apa gunanya Ayah bertanya
    kepadaku? Lebih baik Ayah menyelidiki sendiri ke Pulau Neraka. Kalau aku
    dan suheng berbohong, boleh bunuh seribu kali juga tidak apa." Memang
    sejak dahulu Swat Hong bersikap manja kepada ayah bundanya, pula dia
    memiliki watak keras, tidak takut mati, maka dalam keadaan seperti itu pun
    dia bersikap berani dan menantang! "Siapkan pasukan, tiga puluh orang
    untuk ikut bersamaku ke Pulau Neraka!" Raja itu memerintah kepada
    pembantunya dengan suara marah dan pada hari itu juga dia berangkat
    bersama tiga puluh orang pasukan menuju ke Pulau Neraka! Dapat
    dibayangkan betapa gagetnya para penghuni Pulau Neraka ketika diserbu
    oleh pasukan Pulau Es yang dipimpin Oleh Raja Han Ti Ong sendiri! Ouw
    Kong Ek sendiri yang maju dan berusaha melawan, dalam belasan jurus saja
    telah dirobohkan dan dipaksa menceritakan apa yang terjadi ketika puteri
    Raja Pulau Es itu berada di Pulau Neraka. Dengan kebencian dan dendam
    yang makin mendalam, Ouw Kong Ek menceritakaan keadaan sebenarnya,
    tepat seperti yang telah didengar oleh Han Ti Ong dari mulut Sin Liong. Maka
    mulailah raja ini merasa menyesal mengapa dia telah terburu nafsu
    menghajar, bahkan hampir saja membunuh Sin Liong dan Swat Hong yang
    sebetulnya tidak berdosa. Mulailah dia teringat bahwa kemarahanya itu
    timbul karena bujukan dan kata‐kata yang membakar dari permaisurinya.
    Dia menjadi marah sekali dan kemarahannya itu dilampiaskannya di Pulau
    Neraka. Pulau itu diobrak‐abrik, sebagai hukuman telah berani menahan
    puterinya. Bahkan kitab catatan Sin Liong tentang racun dan pengobatanya,
    dihancurkan dan dibakarnya! Setelah puas melampiaskan kemarahanya, Han
    Ti Ong memimpin pasukannya meninggalkan Pulau Neraka, meninggalkan
    para penghuni yang banyak menderita luka lahir batin itu dan Raja ini telah
    menanamkan dendam yang makin menghebat di dalam hati para penghuni
    Pulau Neraka. Sepekan kemudian, barulah rombongan Han Ti Ong tiba
    kembali di Pulau Es dan wajah Raja ini seketika pucat setelah dia mendengar
    berita yang lebih hebat dan mengejutkan lagi, yaitu bahwa sehari setelah dia
    dan pasukanya berangkat, permaisuri dan pangeran telah pergi
    meninggalkan Pulau Es! Dan belum pulang . Makin terpukul lagi bathin Raja
    Han Ti Ong ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab‐kitab pusaka Pulau
    Es telah lenyap, berikut banyak harta benda berupa mas dan permata yang
    disimpan didalam kamarnya! Hampir saja dia roboh pingsan mendapat
    kenyataan bahwa permaisurinya, The Kwat Lin, gadis yang ditolongnya itu,
    ternyata telah berkhianat! "Mengapa tidak kalian larang mereka pergi?
    Mengapa? Sin Liong, engkau muridku, mengapa engkau mendiamkan saja
    pergi membawa pusaka‐pusaka kita?" dalam bingung dan marahnya dia
    menegur Sin Liong. "Suhu, Subo pergi hanya memberi tahu bahwa Subo
    bersama Sute hendak menyusul ke Pulau Neraka. Siapa yang berani
    menghalangi Subo? Kami semua tidak ada yang mengira bahwa Subo tak kan
    kembali, dan tidak ada yang tahu bahwa Subo membawa sesuatu, harap
    maafkan teecu." Han Ti Ong membanting‐banting kakinya, lalu berlari
    memasuki kembali istana setelah tadi dia memeriksa dan melihat kehilangan

  8. #112

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 111
    pusaka Pulau Es. Ketika dia memanggil dua orang muda menghadap, Sin
    Liong dan Swat Hong melihat perubahan hebat terjadi pada diri raja sakti ini.
    wajahnya menjadi suram dan gelap, sepasang mata yang biasanya bersinar
    dan berpengaruh itu, menjadi redup seperti lampu kekurangan minyak. Dan
    rambut yang tadinya hanya sedikit putihnya, mendadak berubah hampir
    seluruhnya, dan suaranya tidak bersemangat ketika berkata, "Sin Long...,
    Swat Hong..., kalian ampunkan aku..." "Suhu...!" Sin Liong berlutut dan
    menundukan muka. "Ayah... jangan berkata begitu Ayah...!" Swat Hong
    meloncat menubruknya. Ayah dan anak itu saling rangkulan dan Sin Liong
    makin menundukan mukanya ketika mendengar suhunya menangis
    mengguguk seperti anak kecil ! Setelah Han Ti Ong dapat menguasai kembali
    hatinya dia mencium dahi puterinya dan menyuruhnya duduk kembali. Swat
    Hong menyusuti air matanya dan berlutut di dekat Sin Liong. "Aku telah
    bedosa. Sekarang baru aku tahu...aku telah berdosa. Mungkin sekali... tidak,
    aku yakin sekarang, bahwa ibu Swat Hong tidak bersalah apa‐apa, hanya
    terkena fitnah... aih, apa yang telah kulakukan? Dan aku hampir saja
    membunuhmu, Sin Liong, dan kau Swat Hong anaku. Orang macam apa aku
    ini? Dan aku mengaku cinta kepada anakku? Huh, huh, engkau benar, Sin
    Liong. Tidak ada cinta di dalam hatiku yang kotor, yang ada hanya nafsu
    berahi sehingga mudah saja aku dipermainkan oleh wanita itu.
    Aihhhh....kalian maafkan aku. Swat Hong, hanya satu pesanku kepadamu,
    anakku. Kau... kau menjadilah jodoh Sin Liong. Jadilah kalian suami istri, baru
    akan terobati hatiku..." "Suhu...!" "Ayah...!" "Muridku....anakku....,maukah
    kalian melegakan hatiku? Aku ingin menebus kesalahanku... aku ingin
    melihat kalian menjadi suami istri, kalian anak‐anak malang..." "Suhu, teecu
    mohon ampun. Teecu...tidak ada dalam hati teecu untuk memikirkan soal
    jodoh..." "Ayah, mengenai jodoh tidak dapat ditentukan begitu saja. Biarkan
    kami menentukannya sendiri..." Han Ti Ong menarik napas panjang,
    memejamkan mata sebentar, kemudian bangkit berdiri, membalikan tubuh
    dan berjalan memasuki kamarnya meninggalkan dua orang muda yang masih
    berlutut itu. Semenjak saat itu, sampai berhari‐hari lamanya, Raja itu tidak
    pernah keluar dari kamarnya sehingga membuat gelisah semua
    pembantunya. Keadaan di Pulau Es tidak seperti biasa, semua penghuni
    dapat merasakan ini. Semenjak terjadinya peristiwa yang memalukan dan
    menyedihkan menimpa keluarga Raja Han Ti Ong, keadaan Pulau Es sunyi
    dan semua wajah para penghuni kelihatan muram. bahkan cuaca juga seolaholah
    berubah suram, seringkali malah menjadi gelap oleh mendung tebal.
    Hati semua orang merasa gelisah tanpa mereka ketahui sebabnya, seolaholah
    merupakan tanda rahasia bahwa akan terjadi hal‐hal lebih hebat lagi.
    Peristiwa yang menyedihkan yang menimpa Han Ti Ong bisa menimpa diri
    setiap orang, dan memang kita sebagai manusia hidup selalu terlupa bahwa
    mengejar kesenangan sama artinya dengan memanggil kesengsaraan! Kita
    hidup dibuai khayal akan keadaan yang lebih baik, lebih menyenangkan dari
    pada keadaan seperti apa adanya. Kita tidak pernah membuka mata, tidak
    pernah menghayati keadaan saat ini, tidak dapat melihat bahwa saat ini

  9. #113

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 112
    mencakup segala keindahan. Dengan membandingkan keadaan kita dengan
    keadaan lain, kita selalu menganggap bahwa keadaan buruk tidak
    menyenangkan, dan kita selalu memandang jauh kedepan, mencari‐cari dan
    menghayalkan yang tidak ada, keadaan yang kita anggap lebih
    menyenangkan. Karena kebodohan kita inilah maka kita hidup dikejar‐kejar
    oleh kebutuhan setiap saat, detik demi detik kita mengejar kebutuhan.
    Kebutuhan adalah keinginan akan sesuatu yang belum tercapai, yang kita
    kejar‐keja. Lupa bahwa kalau yang satu itu dapat tercapai, didepan masih
    menanti serbu yang lain yang akan mejadi keinginan dan kebutuhan kita
    selanjutnya. Maka, berbahagialah dia yang tidak membutuhkan apa‐apa!
    Bukan berarti menolak segala kesenangan, melainkan tidak mengejar apaapa
    sehingga kalau ada sesuatu yang datang menimpa diri, bukan lagi
    merupakan kesenangan atau kesusahan, melainkan dihadapi sebagai suatu
    yang sudah wajar dan semestinya sehingga tampaklah keindahan yang
    murni! Demikian pula keadaan Raja Han Ti Ong. Dia seorang yang sakti dan
    bijaksana namun tiba saatnya dia lengah dan menganggap bahwa dia
    menemukan kebahagiaan dalan diri The Kwat Lin. Padahal yang dia temukan
    hanyalah kesenangan yang timbul dari kenikmatan badani, dari
    terpuaskannya nafsu. Dia seolah‐olah hidup dialam khayal, di alam mimpi.
    Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang manis menjati pahit bukan
    main, baru sadar bahwa perubahan dari senang ke susah sama mudahnya
    dengan membalikan telapak tangan! Dan mengalah, suka dan duka hanyalah
    dwi muka (kedua muka) dari sebuah tangan yang sama! Perahu kecil itu
    terayun‐ayun kekanan kiri seperti menari‐narikarena tidak dikuasai oleh
    layar maupun dayung, melainkan sepenuhnya dikuasai oleh air laut yang
    tenang. Dua orang yang duduk diperahu itu seperti dua buah arca, diam dan
    pandang mata mereka melayang jauh ke kaki langit, melayang‐layang di
    permukaan laut seperti mencari‐cari sesuatu yang hilang. Dan memang
    fikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu, sedang mencaricari
    jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. pulau Es hanya kelihatan
    sebagai sebuah garis mendatar putih dekat kaki langit. mereka berangkat
    pagi‐pagi meninggalkan Pulau Es, setelah tiba di tempat jauh yang sunyi ini,
    mereka menggulung layar dan membiarkan perahu mereka dibuai
    gelombang kecil. Mereka sudah lama berdiam diri seperti itu, dibuai oleh
    lamunan masingmasing, lamunan yang timbul karena keadaan di Pulau Es
    yang menyedihkan. "Suheng..." Suara panggilan Swat Hong ini lirih saja,
    namun karena sejak tadi mereka tidak mendengar suara apa‐apa, maka suara
    panggilan ini seolah‐olah mengandung getaran hebat yang memenuhi
    seluruh ruang kesunyian. Sin Liong menoleh dan dia pun seolah‐olah baru
    sadar dari alam mimpi. "Hemmmm...?" jawabannya masih ragu‐ragu. "Suheng
    mengajakku meninggalkan pulau dan setelah tiba disini, mengapa suheng
    tidak lekas bicara melainkan melamun saja?" "Aku terpesona akan keindahan
    alam yang sunyi ini, Sumoi...." "Aku pun tadi terseret, Suheng. Akan tetapi
    melihat batu karang menonjol di depan itu, aku tersadar. Apakah aku akan
    menjadi setua batu karang itu yang kerjanya hanya termenung di tempat

  10. #114

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 113
    sunyi! Suheng, kau tadi bilang bahwa untuk membicarakan urusan kita,
    engkau mengajakku ketengah laut. Mengapa? "Engkau sudah mengerti
    sendiri. Fitnah yang dilontarkan kepada kita, bahwa ada terjadi sesuatu yang
    rendah di antara kita, membuat aku merasa tidak enak kalau mengajak kau
    bicara berdua saja di tempat sunyi di atas pulau itu. Dapat menimbulkan
    prasangka yang bukan‐bukan. Karena itulah maka kuajak kesini, agar kita
    dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada yang mendengar dan
    melihat. Pula, kuharap ditempat yang sunyi ini, yang membuat kita seolaholah
    berada di dalam alam lain, kita akan menemukan ilham..." Swat Hong
    tertawa. Timbul kembali kegembiraan dara ini setelah dia tidak berada di
    Pulau Es yang membuat dia selama ini ikut muram dan berduka. "Wah,
    Suheng! Kadang‐kadang kau bicara seperti seorang pendeta saja! Apa sih
    yang akan dibicarakan sampai‐sampai kau membutuhkan ilham segala?"
    "Mari kita bicara tentang cinta, Sumoi." Wajah dara muda jelita itu terheran,
    matanya memandang terbelalak dan perlahan‐lahan kedua pipinya menjadi
    agak kemerahan. "Aihh... apa maksudmu, Suheng?" Sin Liong menarik napas
    panjang, dan menyentuh tangan sumoinya. "Perlukah aku menjelaskan lagi?
    Suhu, Ayahmu sedang dilanda duka dan kedukaannya yang terakhir sekali ini
    adalah menyangkut hubungan antara kita. Suhu menghendaki agar kita
    berjodoh, dan kita secara jujur telah menyatakan tidak setuju akan
    kehendaknya itu. Dan memang kita benar, Sumoi. Perjodohan tidak bisa
    ditentukan begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi
    seseorang, akan melekat selama hidupnya. Akan tetapi bagaimana kita tahu
    kalau hal ini tidak kita bicarakan secara terus terang? Maka, agar kita dapat
    mengambil keputusan yang tepat tentang kehendak Suhuini, marilah kita
    bicara tentang cinta!" "Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa‐apa," Kata Swat
    Hong yang tentu saja merasa malu untuk bicara tentang hal yang asing
    baginya itu. "Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?" Dara itu makin merah
    mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya akan bertanya secara langsung
    seperti itu sehingga dia merasa seperti diserang dengan tusukan pedang
    yang amat dhasyat! Dia mengangkat muka memandang suhengnya dengan
    bingung. "Aku...aku...ah, aku tidak tahu..." dan dia menundukan mukanya.
    "Sumoi, sudah sering aku melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah‐marah
    ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu berbuat
    baik kepadaku, dan kau tidak senang melihat Kongkongnya hendak
    menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi, aku tidak tahu apa cemburu itu
    tandanya cinta? Akan tetapi, jawablah demi pemecahan persoalan yang kita
    hadapi ini. Cintakah kau kepadaku?" Disinggung‐singgung tentang sikapnya
    di Pulau Neraka yang jelas menadakan rasa cemburunya, Swat Hong menjadi
    makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia bertemu
    pandang dengan suhengnya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya
    mukanya dengan kedua tangan, kepalanya digeleng‐gelengkan dan dia
    berkata, "Aku tidak tahu...aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau
    saja yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!" Dan kini dia
    menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya yang bening itu kini

  11. #115

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 114
    dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong! Sin Liong menarik napas
    panjang. "Itulah yang membingungkan hatiku selama ini,Sumoi. Mau bilang
    tidak mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan tetapi untuk
    menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak
    tahu bagaimana sesungguhnya cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu
    terhadap ibumu yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? ataukah
    seperti cintanya Ibumu kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin
    dan suhu? Hemm, mengapa semua cinta itu demikian palsu dan
    mengakibatkan hal yang amat menyedihkan? Aku menjadi ngeri melihat
    cinta macam itu, Sumoi." Swat Hong memandang heran. "Ahhh, aku tidak
    pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini, suheng." "Mudah
    saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The Kwat Lin.
    Seperti itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian,
    dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu, aku ngeri dan aku
    tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun, Sumoi.
    Karena, kalau hanya seperti itu akibatnya, maka cinta yang kunyatakan
    hanyalah merupakan kembang bibir elaka, hanya cinta palsu belaka.
    Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita berdua, sejak kecil sampai sekarang
    menjelang dewasa, tidak pernah ada pertentangan dan tidak pernah ada
    urusan apa‐apa. Akan tetapi, setelah kita berdua mengaku cinta, lalu timbul
    soal‐soal ceburu, kecewa dan lain‐lain. Apalagi setelah menjadi suami
    istri...hemm, betapa mengerikan kalau melihat contoh yang kita saksikan di
    Pulau Es ini." Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab. Persoalan
    yang diajukan oleh Sin Liong itu terlampau berat baginya, sulit untuk
    dimengerti. Baginya, sebagai seorang wanita, dia haus akan cinta kasih, akan
    perhatian, akan pemanjaan dari seorang pria yang menyenangkan hatinya,
    seperti suhengnya ini. Akan tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong
    tentang cinta yang diambilnya peristiwa di Pulau Es sebagai contoh, dia pun
    ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu. "Aku tidak tahu, Suheng..,
    aku tidak mengerti. Terserah kepadamu sajalah..." Sin Liong kembali menarik
    napas panjang. Dia memang sudah mengambil keputusan di dalam hatinya
    bahwa dia harus membalas budi kebaikan suhunya yang sudah berlimpahlimpah
    diberikan kepadanya. Satu‐satunya jalan untuk membalas budi hanya
    dengan menyenangkan hati suhunya yang sedang berduka itu. Dia harus
    menerima keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong!
    Akan tetapi dia tidak boleh membuat dara itu menderita dengan
    keputusannya ini, maka dia harus tahu terlebih dahulu bagaimana pendirian
    Swat Hong. Dan sekarang, dara itu sama sekali tidak berani mengaku tentang
    cinta. "Sumoi, sekarang begini saja. Andai kata aku memenuhi permintaan
    suhu, yaitu mau menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu,
    bagaimana dengan pendapatmu?" Swat Hong menunduk dan menggigit
    bibirnya. Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak tahu, terserah kepadamu
    dan kepada ayah..." "Maksudku, apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal
    ini menyenangkan hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau
    kau, seperti aku, tidak bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kukatakan

  12. #116

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 115
    apakah ikatan jodoh ini tidak menimbulkan penyesalan bagimu?" Swat Hong
    tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. "Kalau begitu, andaikata aku
    menerima, engkau pun akan menerimanya dengan senang hati?" Swat Hong
    mengangguk! "Kalau begitu, mari kita pergi menghadap Ayahmu. Aku akan
    menerima permintaannya, karena betapapun juga, kita harus menghiburnya,
    menyenangkan hatinya. Aku telah berhutang banyak budi dari suhu, maka
    kalau dengan penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya, aku akan
    merasa senang." Sin Liong mengambil dayung perahu itu dan menggerakan
    dayung. "Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? jadi kau...kau
    tidak cinta kepadaku?" "Sumoi aku tidak berani berlancang mulut mengaku
    cinta. Aku telah banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan
    kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali cinta diucapkan dengan mulut,
    maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya,
    maka aku tidak berani lancang mengaku, Sumoi..." "Ahhh...!!" Jeritan Swat
    Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan juga kekangetan hebat,
    matanya terbelalak memandang kedepan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong
    cepat menengok dan pada saat itu terdengar ledakan dahsyat dibarengi
    dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah‐olah membakar dunia. Tampak
    oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi sekali
    disusul asap dan api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan
    Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak
    berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba‐tiba karena
    perahu mereka dilontarkan keatas, dalam saat lain perahu itu telah
    dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara
    mengguruh memenuhi telinga mereka dan keheningan yang baru saja
    mencekam lautan itu kini terisi dengan kebisingan yang sukar dilukiskan. Sin
    Liong berteriak, "Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!"
    keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur
    keseimbangan perahu. Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat
    dahsyat itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang
    pemuda itu adalah tokoh‐tokoh Pulau Es sekalipun? Perahu mereka menjadi
    permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas, disambut dan diseret
    kebawah, seolah‐olah tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang
    menyeret perahu ke dasar laut, akan tetapi tiba‐tiba dihayun lagi keatas,
    ditarik ke kanan, didorong kekiri sehingga kedua orang murid Raja Han Ti
    Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan! Mereka tidak ingat akan
    waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka diombang‐ambingkan air laut,
    tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka tidak sempat
    menggunakan pikiran lagi. Yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri,
    menjaga sekuat tenaga agar perahu mereka tidak sampai terguling dan
    tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu. Dengan
    tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong memegang
    lengan kanan sumoinya. Betapapun juga, dia tidak akan melepaskan
    sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu,
    sekali ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau

  13. #117

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 116
    hebat keganasan air laut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang
    setinggi gunung yang seolah‐olah setiap saat hendak mencengkram dan
    menelannya itu! Tiba‐tiba Swat Hong menjerit. Segulung ombak besar datang
    dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena ditelan air, kemudian
    mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas. "Brukkk...!"
    Keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan.
    Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang.
    Ternyata perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh
    batu karang, sebuah pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecilkecil
    sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol tinggi. "Sumoi,
    lekas..., kita naik ke sana...!!" Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang
    terasa sakit semua, membantu sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan
    lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi gadis itu pun agaknya tidak
    merasakan semua ini, tersaruk‐saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan
    menyeret perahu ke atas, kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas
    puncak batu karang itu dengan susah payah. Akhirnya mereka tiba di puncak
    batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benarbenar
    menggetarkan jantung. Air di sekeliling mereka. Air yang menggila,
    bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung, suara yang
    gemuruh seolah‐olah semua iblis dari neraka bangkit. Batu karang besar ,
    atau lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu tergetar‐getar, seolah‐olah
    menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai yang mengamuk. Tidak
    tampak apa‐apa pula selain air, air dan kegelapan, kadang‐kadang diseling
    cahaya menyambar dari atas, seperti lidah api seekor naga yang bernyalanyala,
    "Ouhhhh..!" Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suhengnya.
    Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek‐robek. "Tenanglah... tenanglah,
    Sumoi...." Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya
    sumoinya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga!
    Pengalaman ini sungguh dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama
    hidupnya. Kebesaran dan kekuasan alam nampak nyata. membuat dia merasa
    kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang
    dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu.
    Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya kegelapan, air, dan kadangkadang
    kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air, angin
    menderu, dan kadang‐kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan
    merasakan apa‐apa, yang ada hanya takjub dan ngeri! Di luar tahunya dua
    orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam!
    Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi
    di bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih
    bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun,
    akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah
    kabut terusir pergi. Tampaklah lautan luas terbentang di bawah dan baru
    sekarang ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk dipuncak
    batu karang yang amat tinggi! Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat
    tubuhnya, betapa luka‐luka kecil dari kulitnya yang lecet‐lecet, dan betapa

  14. #118

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 117
    haus dan lapar leher dan perut! "Sumoi, badai sudah mereda. Mari kita turun.
    Aihh, itu perahu kita. Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia
    menggandeng tangan sumoinya, menuruni batu karang. Perahu mereka tidak
    pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu
    itu, membawanya turun kebawah. "Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar
    kudayung dengan kedua tangan." Swat Hong duduk didalam perahu,
    mengeluh lagi dan berkata penuk kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es?
    Badai mengamuk demikian hebatnya, Suheng." Aku tidak tahu, mudahmudahan
    mereka selamat. Maka, kita harus cepat pulang." dia lalu
    menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak,
    meluncur di atas air yang tenang dan licin seperti kaca, sama sekali tidak ada
    tanda‐tanda di permukaan air bahwa air itu telah mengamuk sedemikian
    hebatnya baru‐baru ini. Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan dayung
    yang dipatahkan dari batang pohon yang hanyut di air. Agaknya pulau‐pulau
    kecil disekita tempat itu telah diamuk badai sedemikian hebatnya sehingga
    pohon‐pohon tumbang dan terbawa air. Setelah keadaan cuaca terang
    kembali, Sin Liong dapat menentukan arah perahu dan tak lama kemudian
    tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa, sebuah
    pualu keputihan memanjang di kaki langit, berkilaun tertimpa sinar
    matahari. Hati mereka lega. Dari jauh kelihatannya tidak terjadi perubahan di
    pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana di
    Pulau Es, maka legalah hati mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar tegang
    ketika perahunya sudah menepel di Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi. Sunyi
    dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak
    sebuah perahu pun. Dan bukit‐bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau
    tidak karuan dan berubah bentuknya! Dengan hati tidak enak kedua orang
    muda itu belari‐lari ketengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah
    mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan juga pondok‐pondok yang
    biasanya terdapat di sana‐sini, sekarang habis sama sekali. Tidak ada sebuah
    pun pondok yang tampak! Seolah‐olah semua telah disapu bersih, tersapu
    bersih dari pulau itu. "Auhhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat,
    kedua kakinya menggigil. "Mari kita ke istana, Sumoi!" Sin Liong yang berkata
    dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya dan diajaknya dara
    itu lari ke dalam istana. Beberapa kali terdengar Swat Hong mengeluarkan
    seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget bukan main. Mereka seperti
    memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas‐bekasnya
    tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik prabot‐prabotan istana
    maupun manusia‐manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun benda atau
    seorang pun manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriakteriak
    memanggil, yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri!
    "Oughhh...!!" Swat Hong tidak menahan himpitan perasaan yang ngeri dan
    berduka, tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat
    disambar oleh Sin Liong. "Sumoi...!" Akan tetapi suara ini kandas
    dikerongkongannya dan tanpa disadari pula, kedua pipi Sin Liong basah oleh
    air matanya yang mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia

  15. #119

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 118
    memondong tubuh sumoinya yang pingsan itu ke dalam kamar. Akan tetapi
    dia termangu‐mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang terbuka,
    karena kamar itu pun kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun
    prabotannya. terpaksa dia merebahkan tubuh sumoinya di atas lantai, dan
    dia sendiri merebahkan kepala diatas kedua lututnya sambil menangis.
    terlampau hebat peristiwa yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih
    oleh badai! Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun
    manusia yang tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang tinggal,
    kecuali bangunan istana yang memang amat kuat itu. Setelah siuman, Swat
    Hong menangis, "Aih, mengapa..? Mengapa...? ayah, kasihan sekali Ayah...!"
    Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membujuknya. Mereka berdua lalu
    mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar‐benar
    Pulau Es telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi
    sehingga pulau itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong
    pakaian yang tersangkut di batu‐batu dan dengan hati terharu penuh
    kedukaan mereka mengumpulkan pakaian itu, entah punya siapa, sebagai
    barang peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa
    istana. Memang ada beberapa benda yang masih tertinggal di dalam kamar di
    bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua habis dan lenyap.
    "Suheng, lihat ini...!" tiba‐tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke
    dinding. Sin Liong cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan
    tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang penuh
    tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu itu! "Sin Liong dan Swat Hong,
    maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah
    kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong
    bukanlah puteraku, dia keturunan Ki‐ong." Pendek saja "surat dinding" itu,
    namun cukup jelas isinya. Sin Liong menarik napas panjang. Kasihan dia
    kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu! "Suheng lihat ini..."
    Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari‐jari tangan mencengkram
    dinding. Mudah saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan
    keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi
    amukan badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk
    mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkram dinding dan
    sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar
    dari pada kekuatanya menyeret keluar dari istana dan bahkan dari pulau itu!
    "Kasihan sekali suhu..." Sin Liong menghapus air matanya. Swat Hong
    mengepal tinjunya. "Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas
    kembali pusaka Pulau Es,juga menghukumnya! Dialah yang mencelakakan
    ibuku, yang mencelakakan Ayahku!" Sin Liong menarik napas panjang. Sudah
    diduganya ini. Tentu akan terjadi balas‐membalas. Dendam tak kunjung
    habis! "Sumoi, Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali
    pusaka‐pusaka itu...." "Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis
    betina itu!" Swat Hong berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm,apa
    pula artinya ini? Bukan putera ayah?" "Sumoi, tenanglah dan dengarlah
    penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib

  16. #120

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 119
    wanita itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau apa yang
    telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum ditolong ayahmu?" Sin Liong lalu
    menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua belas
    orang suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis
    yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu telah diperkosa di antara
    mayat para suhengnya. "Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu
    menyatakan bahwa Bu Ong adalah keturunan Kai‐ong, teringatlah aku. Jelas
    bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas orang anak murid
    Bu‐tongpai itu, sehingga anak yang dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah
    keturunan Kai‐ong yang memperkosanya dan membunuh para suhengnya."
    Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya,
    Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat
    kepadanya adalah Raja Pengemis itu, mengapa dia membalasnya kepada ibu?
    Dan dia telah menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus
    mencarinya dan membalaskan sakit hati ibu dan Ayah." Sin Liong maklum
    bahwa membantah kehendak sumoinya ini percuma, hanya akan
    menimbulkan pertentangan saja. Maka diam‐diam dia mengambil keputusan
    untuk selalu mendamping sumoinya, selain menjaga keselamatan dara ini,
    juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh nafsu dan
    dendam. Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini
    kehilangan ayah bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah
    satu‐satunya orang yang patut melindunginya, sebagai suhengnya. Ataukah
    sebagai calon suami? Sin Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan.
    Biarlah hal perjodohan itu diserahkan kepada keadaan kelak. Dia tidak
    membantah ketika sumoinya mengajaknya meninggalkan Pulau Es yang telah
    kosong itu, untuk mencari ibunya, dan kalalu masih juga tidak berhasil, untuk
    pergi ke daratan besar mencari The Kwat Lin. Beberapa hari kemudian,
    setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di antara penghuni Pulau
    Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong
    berangkat meninggalkan Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka dayung
    itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong memandang kearah pulau
    dengan air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka
    mengingat akan nasib para penghuni Pulau Es yang mengerikan itu. Mereka
    berdua mendayung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perjalanan
    ini mereka menemukan bukti‐bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam
    yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di bawah laut itu. Ada pulau
    yang lenyap sama sekali , dan ada pula pulau yang baru muncul begitu saja,
    pulau yang amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas kelihatan bahwa
    pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan segala keindahannya, dengan
    mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu
    karang dengan bermacam bentuk. Banyak pulau yang mengalami nasib
    serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama sekali tetumbuhan
    atasnya. diam‐diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat
    kekuasan alam. Andaikata semua lautan yang mengamuk seperti beberapa
    hari yang lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat keadaan

Page 8 of 28 FirstFirst ... 45678910111218 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •