Dampak Serangan Israel
Rabu, 31 Desember 2008 | 00:24 WIB
Sikap keras kepala Israel, yang menolak menghentikan serangan ke Jalur Gaza, sekali lagi membuktikan bahwa dunia sulit mengendalikan negeri itu. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun tak segera menunjukkan sikap keras. Resolusi yang mereka keluarkan agar Israel menghentikan serangan sama sekali bukan resolusi yang mengikat. Jangan pula berharap pada Organisasi Konferensi Islam (OKI). Organisasi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim ini justru menunda jadwal pertemuan darurat dari Sabtu lalu ke Rabu hari ini. Menunda pertemuan untuk sebuah tragedi yang begitu besar hanya menunjukkan bahwa OKI tak terlalu serius merespons nasib yang dialami bangsa Palestina.
Apa yang terjadi di Palestina memang pantas disebut tragedi. Lebih dari 370 orang tewas, sebagian di antara mereka adalah wanita dan anak-anak. Dari sisi jumlah korban dan eskalasi serangan, inilah salah satu serangan Israel paling masif sejak konflik meletus 60 tahun lalu. Korban jiwa dipastikan akan bertambah karena Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak menyatakan bahwa mereka tak akan mundur mengikuti kecaman dunia yang menuntut agar serangan dihentikan.
Barak tahu persis bahwa dunia memang tak akan serius menghentikan aksi pasukannya. Apalagi serangan ini jelas bukan sekadar aksi membungkam serangan sporadis kelompok Hamas ke wilayah Israel. Dibanding kekuatan militer Israel, serangan roket jarak jauh itu cuma ibarat sengatan nyamuk. Dari sekian banyak lontaran roket Hamas, korban yang jatuh hanya satu orang warga Israel. Maka, jika Israel menyebut serangan ini sebagai pembalasan, sungguh sulit diterima akal.
Yang tentu saja tak pernah disebut Israel adalah motif serangan yang juga didorong oleh situasi politik dalam negeri mereka. Pada 10 Februari nanti Israel akan menggelar pemilihan umum. Dalam beberapa bulan terakhir, kelompok oposisi, yaitu Partai Likud, terus menanjak popularitasnya karena membawa tema kampanye untuk bersikap keras terhadap Palestina. Pilihan kampanye ini segera memancing simpati warga Israel yang bosan atas sikap lunak Kadima, partai berkuasa, di bawah pimpinan Tzipi Livni, menteri luar negeri.
Jika sekarang Israel menggempur total Palestina, inilah bagian dari kampanye Livni untuk merebut simpati pemilih. Dengan serangan masif itu, Livni ingin membentuk citra bahwa partainya pun berani bersikap keras terhadap Hamas dan Palestina. Sekaligus dengan serangan itu, Livni ingin mengubah citra buruk partainya, yang terjerat skandal korupsi Perdana Menteri Ehud Olmert (mengundurkan diri Juli lalu). Bagi Partai Kadima, serangan ke Palestina adalah sebuah pilihan taktis, meski untuk ini mereka harus mengorbankan ratusan nyawa warga Palestina sekaligus menutup jalan perdamaian yang pernah dirintis.
Sebaliknya, bagi Hamas, serangan ini justru meningkatkan popularitas mereka, yang sebelumnya sangat merosot sejak gagalnya perundingan Mesir yang disponsori Liga Arab. Buntut serangan itu adalah meningkatnya sikap garis keras di Palestina sekaligus makin luasnya gerakan radikal terhadap negara-negara Barat pendukung Israel. Ini artinya aksi teror terhadap Israel dan negara-negara Barat akan meningkat. Sayangnya, Barat, yang dimotori Amerika, tak mau peduli pada risiko ini.
Share This Thread