==========================================
Chapter 16: Road to Exaltation ~ Re:Genesis (Part 1)
==========================================
Constantinople, pukul 05.07 PM waktu setempat ketika kami tiba.
Sebuah kota kuno yang penuh dengan sejarah. Banyak bangunan masih menjaga keaslian arsitektur masa lalunya, khususnya bangunan-bangunan yang berada di dalam tembok kota. Tembok? Ya, kota ini memiliki beberapa lapis tembok yang tebal, peninggalan masa lalu. Kombinasi arsitektur dan tembok kuno itulah yang membuat suasana antik di sini sangat terjaga, meski bagian kota yang baru dibangun pada era modern di luar tembok tidak berbeda jauh dengan kota-kota di belahan dunia lain pada umumnya.
Beberapa bagian tembok dan menara tidak lagi lengkap akibat peperangan di masa lampau. Namun, sisi kota kuno ini mendapat status sebagai warisan budaya dunia, sehingga tidak heran kalau terkadang bisa kujumpai penggalian, perbaikan, ataupun pembangunan kembali terhadap bangunan atau pahatan di kota ini.
“Duh, sudah terlalu sore. Institut di Hagia Sophia pasti sudah tutup…”, sahutku saat menatap langit yang berubah jingga. “Sebaiknya kita cari penginapan atau semacamnya. Besok saja kita antar kotak itu ke sana.”
“Oke, oke. Aku juga sudah terlalu lelah menggendong tas berisi kotak berat itu seharian.”, sahut Resha.
Meski kaisar Kurosh tidak sempat memberikan apapun secara langsung, dia tetap membantu kami dengan membuatkan rekening di salah satu bank internasional di Parthia. Tentu saja, dengan sejumlah uang yang lumayan. Dengan begini kami tidak perlu khawatir akan kekurangan apapun sepanjang perjalanan.
Sebuah hotel, hotel Bereshyt. Hotel bintang dua di tengah-tengah kota. Kami akan menginap sementara di sini. Meski bukan hotel bintang lima, kulihat cukup banyak turis dari luar Helenos ataupun Anatolia. Mungkin karena posisinya yang strategis, sehingga mereka bisa menikmati tur wisata keliling kota dengan mudah.
Check in, selesai. Kamar kami berada di lantai empat, tidak terlalu besar. Baguslah, aku bisa santai melihat pemandangan kota ini di waktu malam dengan jelas karena letak kamar yang tinggi. Dari sini terlihat cahaya-cahaya kecil dari lampu yang menerangi kota, dan tembok-tembok kuno itu. Suasananya memang berbeda antara siang dan malam hari.
Secara spesifik, ada empat lapis utama tembok di kota ini, dengan jarak yang berjauhan. Lapis pertama, tembok Byzantinos, yang tertua. Tembok ini berada di ujung paling barat. Hagia Sophia berada di antara tembok ini dan laut di sebelah baratnya. Lapis kedua, tembok Severus yang berada 500 meter sebelah timur tembok Byzantinos. Ada istana kekaisaran dari masa lalu yang berada di antara tembok Byzantinos dan Severus. Lapis ketiga, tembok Constantinos, terpisah 2,8 kilometer sebelah timur tembok Severus. Hotel ini berada di antara tembok Severus dan Constantinos. Dan tembok terakhir, tembok Theodisios, berada 1,5 kilometer sebelah timur dari tembok Constantinos.
Pagi hari tiba. Tidak terasa sudah sekitar 8 bulan aku melakukan perjalanan, dan hampir setengah dari keliling planet ini sudah kulewati. Atau sudah setengahnya ya…?
Suara pintu kamar diketuk. Room service barangkali? Aku langsung beranjak dari tempat tidur dalam kondisi masih sedikit mengantuk.
“Yaaa…tunggu sebentaaar…”, kugerakkan kakiku yang masih terasa berat ke pintu kamar.
Begitu kubuka…eh? Tidak ada orang? Ah, pasti orang iseng. Namun, begitu aku menengok ke bawah…
“Surat? Dari siapa…?”, aku membungkuk dan memungutnya.
“Room service?”, tanya Resha. Dirinya terlihat segar. Mungkin sudah mandi?
“Bukan. Tapi…coba lihat.”, kutunjukkan surat itu.
“Surat? Coba buka, aku mau lihat isinya.”
Bunyi surat ini:
“Hei, Daleth!! Resha!! Sampai juga akhirnya ya?”, tulisan itu terlihat rapi, dengan jenis tulisan menyerupai Times New Roman yang biasa ada di komputer-komputer.
Hanya segitu saja? Siapa pula yang mengirimkan surat ini? Pengirimnya pastilah kenal denganku dan Resha. Tapi siapa…? Keluarga Wellington? Militer Varangia? Iwanaga-senpai? Keluarga Kekaisaran Qing atau Parthia? Atau mungkin dari biara di Bharata?
Mendadak isi suratnya berubah. Maksudku…tulisannya benar-benar berubah!! Goresan tinta di kertas itu bergerak, membentuk susunan huruf baru, kalimat baru. Astaga. Resha juga terlihat kaget melihat kejadian aneh bin ajaib tersebut. Siapa yang memiliki benda seperti ini? Tunggu. Jangan-jangan…
“Ck…belum juga 2 bulan dan kalian udah lupa?”
“Resha…i-ini…”
“Uh-huh…ini aneh. Tapi…menurutku hanya ada satu orang, yang kenal dengan kita, dan sangat mungkin menghubungi kita dengan cara seperti ini.”
“Hmm…kalau Dia yang kamu maksud…”
“Ahaha…udah bisa tebak ya? Oke, cukup deh basa-basinya. Aku tahu semuanya, dan Aku mau bantu kalian.”
“Membantu bagaimana?”, tanyaku.
“Itu loh…kertas-kertas tua yang di dalam kotak yang kalian bawa. Aku bisa bantu memperbaikinya. Mau?”
“Wow…baiklah, boleh saja. Aku juga penasaran sebenarnya apa tulisan yang ada di kertas-kertas itu.”
“Oke, Resha, coba kamu ambil dan buka kotak itu, dan taruh di depan kertas ini.”
“Yap, sudah. Selanjutnya?”, tanya Resha setelah menaruh kotak besi itu di tengah kamar, tepat di depan kertas surat tadi yang kuletakkan di lantai.
“Sekarang…lihat.”
Lembaran-lembaran kertas di dalam kotak itu melayang, jumlahnya ada tujuh lembar. Perlahan ketujuhnya bersinar, namun…
“Tidak terjadi apa-apa?”, tanyaku sambil memperhatikan.
“Ck…nggak seru dong kalau langsung Kuperbaiki. Supaya lebih asyik, Aku punya tugas untuk kalian. Ada tujuh yang rusak. Setiap kalian bisa selesaikan satu tugas, satu lembaran akan bisa terbaca lagi. Bagaimana? Terima tantanganKu?”
“Err…tidak akan kelewat mustahil diselesaikan kan?”, tanya Resha.
“Tentu saja tidak!! Mana pernah Aku kasih sesuatu yang nggak bisa ditanggung manusia sama sekali? Nah, untuk tugas ini, Aku tahu cuma kalian yang bisa. Ayolaaahhh…daripada kalian serahkan ke Hagia Sophia sekarang, lalu nggak tahu sama sekali isi dari lembaran-lembaran tersebut? Kan lebih baik kalau kalian tahu isinya dulu, baru serahkan ke sana.”
“Resha, bagaimana?”
“Benar juga, kita bisa tahu isinya lebih dulu dibanding orang-orang museum. Oke, siapa takut? Hehehe…”
“Nah gitu dong. Sekarang, kalian makan dulu sana. Sarapan. Selesai sarapan, siap-siap ya…tugas pertama akan langsung Aku kasih. Oh iya, kertas ini juga jangan lupa dibawa. Semua petunjuk akan Kutulis langsung di sini.”
Kami langsung menuju ke restoran penginapan di lantai bawah. Hmm…western-styled breakfast. Baiklah, saatnya menikma---
“Aaaaa…maaf, maaf, maaf. A-Aku tidak sengaja…”, suara Resha terdengar kaku. Dia yang berjalan sedikit di belakangku menabrak seseorang, sehingga makanan yang mereka berdua bawa terjatuh.
“Ck…Resha…!! Jangan ceroboh seperti itu…” Ternyata yang ditabrak Resha seorang perempuan.
“Maaf atas kecerobohan ini. Anda tidak apa-apa?”
“Oh…tidak apa-apa kok.”, dia tersenyum. “Bajuku juga tidak sampai kotor. Mungkin ini salahku juga, tidak melihatnya berjalan di depanku.”
Resha terlalu pendek barangkali…? Hehehe. Postur perempuan itu dapat dikatakan ideal, dengan tinggi sekitar 167-168 sentimeter. Pengucapan bahasa Anglianya terdengar cukup baik. Rambut panjangnya…eh? Biru pucat? Umm…cat rambut? Tanpa sadar aku terus memperhatikan rambutnya yang mencolok itu.
“Ng…maaf, ada yang salah?”, tanya perempuan itu.
“Tidak, tidak. Hanya saja rambut Anda…dicat?”
“Ini…alami.”, aku dan Resha hanya tercengang mendengar pengakuannya. Pandangannya beralih ke arah Resha, “Umm…kalian mau tahu lebih lanjut? Anggap saja untuk mencairkan suasana, karena sepertinya kamu merasa bersalah sekali.”
Resha dan perempuan itu kembali mengambil jatah sarapan yang tersedia selagi aku mencari meja yang kosong. Sementara itu, aku terus menebak-nebak. Rambutnya itu…alami? Kelainan genetik? Zat kimia? Atau radiasi? Ah, membingungkan. Mereka berduapun kembali.
“Err…jadi benar, itu rambut asli Anda?”, tanyaku.
“Benar, sudah sejak kecil rambutku begini. Ayah dan ibuku bilang, ini akibat radiasi dari sebuah meteor yang pernah jatuh di dekat rumahku ketika aku kecil.”
“Wow!! Cat rambut alami, begitu? Keren sekali!!”, Resha terlihat antusias.
“Ahaha…begitulah. Tapi tidak cocok juga kalau dibilang cat. Ini permanen, tidak akan hilang dengan cara apapun.”
“Tapi kamu terlihat benar-benar keren!! Seperti di anime-anime saja…”
“Hush, Resha, jangan bicara keras-keras seperti itu…”
“Sudah, tidak apa-apa. Ini pertama kalinya ada yang mengagumi rambutku ini. Biasanya hanya akan ada dua respon. Menjauhiku karena aku dirasa aneh, atau tenang-tenang saja seakan mengabaikan warna rambut ini.”, dia menelan sedikit potongan roti. “Oh iya, maaf belum memperkenalkan diri. Namaku Helena Ouranoxiphos, 23 tahun. Kalian?”
“Saya Daleth Reshunuel. Dan yang menabrak anda---”
Resha langsung menyambar cepat, “Resha!! Resha Gimmelia!!”
“Hmm…turis?”
“Ya…bisa dibilang begitu.”, jawabku.
“Oh ya, kalian sudah mengunjungi Hagia Sophia? Itu salah satu museum terbaik di dunia lho. Sayang sekali kalau turis seperti kalian belum pernah ke sana.”
“Rencananya begitu. Mungkin akan jadi tujuan terakhir kami di kota ini.”
Dan tak terasa…makanan yang kami makan sudah habis. Ah iya, tugas pertama!!
Mendadak langit di luar menjadi gelap. Maksudku…gelap total. Ini bukan seperti gerhana. Lebih tepat disebut tiba-tiba berubah menjadi malam hari, tanpa bulan, tanpa bintang. Ruangan inipun diliputi kegelapan total. Dan anehnya, tidak ada satupun lampu yang bisa menyala. Semua alat listrik yang dapat memancarkan cahaya juga tidak bisa dinyalakan. Hmm…ada suara sayup-sayup, suara tombol ponsel yang ditekan, namun tidak ada cahaya layarnya yang terlihat dari sini. Berarti, alat komunikasi masih bisa digunakan. Untunglah…
Di tengah kegelapan total seperti itu, hanya ada satu yang bercahaya, kertas surat itu. Tulisannya berubah lagi.
“Nah, ini dia tugas pertamanya. Masalahnya sederhana, kalian harus memecah kegelapan ini. Satu petunjuk dariKu…Daleth, alatmu tetap berfungsi normal.”
“H-Hei…apa itu?”, tanya Helena.
“Nanti akan saya jelaskan. Resha, tetaplah di sini untuk menjaganya. Aku akan mengambil sesuatu di kamar.”
Selagi menuju kamar, aku mencoba memikirkan cara untuk menyelesaikan tugas pertama ini. Hmm, kegelapan ya…ditambah lagi E.L.O.H.I.M. Project masih bisa berfungsi normal. Kalau begitu aku akan mencari gardu listrik terdekat, dan…
Tulisan di kertasnya berubah lagi.
“Hei, hei. Aku tahu yang ada di pikiran kamu. Percuma saja, semua sarana penerangan kota ini nggak akan nyala. Toh sebenarnya nggak ada mati listrik sama sekali…buktinya, peralatan komunikasi masih bisa menyala semua. Aku cuma menghalangi cahaya aja. Cari cara lain yaaa…”
“APA?! Jangan bercanda!! Apa aku harus mengaktifkan Photon Blaster dalam spektrum optik lalu menyalakannya terus menerus, begitu?!”, kuteriaki kertas itu.
“Nah, tuh kamu tahu…hehehe. Selamat berjuang ya.”
Astaga. Ini gila!! Ah, tapi ya sudahlah. Aku dan Resha sudah setuju, dan tentu saja tugas ini harus diselesaikan. Ini kan dari Dia sendiri. Aku yakin Dia akan memberikan kekuatan untuk menyelesaikannya.
Oke, ini dia sarung tanganku. Terbang dengan Plasma Directing sampai ketinggian…hei? Di atas sini, sekitar ketinggian 1 kilometer di atas permukaan laut, masih terang benderang. Aku juga melihat, ternyata yang diselimuti kegelapan hanya Constantinople dan sekitarnya, berbentuk seperti setengah bola dengan radius seluas kota itu dan tinggi sekitar 200 meter. Daerah-daerah lain di sekitarnya tidak tertutup kegelapan sama sekali. Kembali aku masuk ke dalam kegelapan itu, dan melayang di ketinggian sekitar 175 meter dari permukaan tanah.
Tanpa pikir panjang…
“Photon Blaster. Optical Spectrum shift. Charge up!!”
Berarti aku harus menahan charge ini selama…berapa lama ya? Ah masa bodo, yang penting kota ini tetap tersinari, dan penduduknya bisa terus beraktifitas. Nah, tulisan di kertas itu berubah lagi sekarang.
“Yap, benar sekali. Ini yang harus kamu lakukan untuk tugas pertama. Selamat!! Kamu berhasil memecahkannya. Tapi…tahan sampai malam ya…nanti malam semuanya kembali normal. Sekali-sekali puasa 12 jam nggak apa-apa kan? Makanya tadi Aku suruh kamu makan dulu.”
“HEH?! 12 jam?! Tanganku harus seperti ini selama 12 jam?!”
“Lho…kamu kok jadi ragu begini. Udah, tenang aja, pasti kuat kok. Kutinggal dulu yaaaa…” Kertas itu langsung berubah bersih, kosong, tanpa tinta setitikpun.
Dan…hampir 12 jam berlalu. Argh…tanganku pegal. Baru tugas pertama saja sudah seperti ini. Bagaimana keenam tugas berikutnya?! Duh, aku harap tugas-tugas berikutnya tidak terlalu melelahkan seperti ini. Hei, tapi benar kataNya, aku tidak merasakan kelelahan parah walau sudah 12 jam terus menahan posisi seperti ini. Tanganku memang sedikit pegal, tapi aku tidak merasa lapar, apalagi lemas. Huh…aku heran, kenapa Dia iseng begini sih…
Akhirnya, lampu-lampu di kota menyala kembali. Ah…ini saatnya untuk mematikan Photon Blaster. Oh, itu dia Resha dan Helena, ada di bawah, dan ada banyak penduduk kota di sekitar mereka. Begitu aku mendarat, mereka menyambutku dengan tepuk tangan yang sangat meriah.
“Ck…kamu main terbang saja…”, kata Resha.
“Ahaha…maaf, kalau aku menunda waktu sedikit saja, bisa-bisa sudah banyak kecelakaan terjadi di kota.”
“Hebat, Daleth. Hebat. Aku tidak menyangka kota ini akan diselamatkan oleh turis sepertimu. Yang tadi itu alatmu ya?”, tanya Helena.
“Betul sekali. Untunglah sarung tangan ini masih bisa berfungsi dengan normal.”
Tanpa basa-basi aku langsung makan malam di restoran hotel, lalu ke kamar untuk tidur. Ah…aku ngantuk sekali. Aku sudah tidak kuat melakukan apa-apa lagi sepanjang sisa hari ini. Besok akan ada apa lagi ya…?
Matahari terbit seperti biasanya. Resha…oh, masih tertidur. Jarang-jarang dia begini, biasanya selalu bangun lebih pagi dariku. Setelah menyegarkan diri, kulihat tulisan-tulisan di satu buah kertas tua di kotak itu kembali bisa terbaca, dan bagian-bagian yang berlubang menjadi tertutup. Hmm…ini bagian dari Kitab Suci, seperti halnya satu lembar yang rusaknya paling minimal itu. Dan…ini dia, kertas surat yang kemarin, melayang di depanku. Muncul tulisan baru.
“Oke, sudah siap dengan hari kedua? Resha…biarkan saja. Nggak usah dibangunkan.”
“Baiklah, apa tugas kedua?”
“Sudah bisa baca polanya belum?”
“Eh? Ada polanya? Ada petunjuk supaya aku bisa tahu polanya?”
“Coba ya…kemarin, hari pertama, gelap total. Kamu harus menerangi seluruh kota dengan cahaya. Kalau kamu hubungkan dengan satu kisah…”
“Tunggu. Penciptaan?”
“Yap, benar sekali. Kamu hafal urutannya kan? Kalau udah ketemu jawabannya, pasti Aku hubungi lagi. Oke, selamat berjuang untuk menyelesaikan tugas di hari kedua ya!!”, tulisannya langsung hilang.
“O-Oi!! Tunggu!!”
Hanya itu? Argh…apa yang harus kulakukan di hari kedua?!
Kutarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Aku harus tenang. Oke, hari kedua adalah terciptanya langit, sang cakrawala. Fungsinya adalah memisahkan air dari air, sehingga ada air di permukaan Bumi serta air di atas, yaitu awan dan segala bentuk uap air. Air di permukaan Bumi berkumpul menjadi laut, dan bagian yang kering menjadi darat. Hmm…apa ada hubungannya dengan laut? Kota ini berada di pinggir laut…oke, mungkin aku akan menemukan jawabannya di pantai.
Setelah makan pagi, kuambil sarung tanganku dan kertas surat itu, lalu kutelusuri jalan dari hotel hingga ke pantai, tepatnya pantai selatan yang berada di antara tembok Theodisios dan Constantinos. Warga kota ini pasti melontarkan senyum padaku saat berpapasan, mungkin karena kejadian kemarin. Hebat juga…mereka langsung hafal wajahku. Oke, ini dia, laut.
Kulihat kertas surat itu…kosong. Eh?! Berarti yang ada di pikiranku salah total?!
Kuambil posisi telentang di tanah sambil berpikir. Hmm…apa yang salah ya? Langit…apa ada hubungannya dengan langit? Tidak, tidak. Aku yakin tugas kali ini berhubungan dengan semua yang ada di hari kedua di kisah penciptaan. Semua…ya, semua. Selagi merenung…
“Hei, bengong saja.”, perempuan berambut biru pucat itu lagi, Helena.
“Ah…ternyata anda.”, aku langsung terduduk.
“Tidak usah terlalu formal begitu. Menurut cerita teman kecilmu itu, umurmu lebih tua setahun dariku. Jadi…santai saja.”
“Ahaha…maaf, aku terbiasa begitu dengan orang yang baru kukenal. Ya sudah, terserah kamu saja. Ada keperluan apa bisa sampai ke sini?”
“Hari ini tidak ada banyak pekerjaan, jadi aku bisa santai sejenak.”
“Kerja? Kerja apa?”
“Ng…tidak bisa kuceritakan sekarang. Tapi tenang saja, pekerjaanku bukan sesuatu yang melanggar hukum. Nah, kamu sendiri?”
“Masih ada hubungannya dengan kejadian luar biasa kemarin…”
“Lho? Masih akan ada lagi kejadian aneh?”
“Nah, itu dia…aku tidak tahu. Kalau memang iya, seharusnya sudah sejak tadi ada sesuatu yang menghebohkan. Tapi sekarang…”
“Kemarin gelap total, kamu harus menyinari kota ini. Jangan-jangan sekarang kamu harus menurunkan hujan…ahahaha…”
“Eh? Hujan?”
“Entah kenapa, aku langsung teringat kisah penciptaan sewaktu kejadian kemarin. Jika hari pertama adalah cahaya, maka hari kedua adalah hujan.”
“Apa…hubungannya?”
“Dari wajahmu aku tahu kalau yang kukatakan tepat sasaran. Oke, sekarang coba kamu telusuri baik-baik kalimat di Kitab Suci. Semuanya bicara mengenai air, benar begitu?”
“Aku tahu. Lalu, kenapa hujan?”
“Menurutmu, kenapa substansi yang sama, air, harus dipisahkan satu sama lain? Ada ‘air yang ada di bawah cakrawala’ dan ‘air yang ada di atasnya’. Jika substansinya sama, bukankah sewaktu-waktu mereka bisa disatukan melalui metode tertentu?”
“Tunggu. Aku tahu…siklus hidrologis!!”
“Nah, itu dia. ‘Air di bawah’ akan kembali menjadi ‘air di atas’, begitu sebaliknya. Air di seluruh permukaan Bumi, entah dari laut, sungai, danau dan lainnya, akan menguap…terus menguap, hingga mengembun di langit. Jika sudah terlalu berat…”
Kertas surat itu terbang ke depan wajahku, dan tulisannya berubah.
“Ting tong!! Yap, benar!! Tunggu apa lagi? Cepat turunkan hujan sekarang…!”
“I-Itu…kertas yang kemarin kulihat di hotel?”
“Err…akan kuceritakan lain kali. Jika polanya mengikuti kisah penciptaan, berarti aku akan ada di sini sampai 5 hari ke depan. Kalau sempat, aku akan menceritakannya padamu nanti. Sekarang aku harus menurunkan hujan dulu...sampai ketemu nanti ya!!”
Aku terbang hingga ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut, lalu mengaktifkan Energy Absorber untuk mendinginkan udara sekitar hingga mengembun dan menjadi awan. Kertas itupun melayang di depanku, dan…
“Oh iya, jangan lupa, seperti kemarin yah.”
“Seperti…kemarin? 12 jam?!”
“Duh…masa kamu lupa sih? ’Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ke sekian’. Hari ini memang udah jadwalnya hujan, tapi Aku mau kamu yang membuatnya.”
12 jam hujan…mudah-mudahan Constantinople tidak kebanjiran seperti beberapa kota di belahan dunia ini. Tapi ini memang sudah jadwalnya hujan ya? Kalau begitu aku bisa tenang. Selama 12 jam, tanah Constantinople bermandikan hujan buatanku. Tulisan di kertas surat itu memberitahuku untuk berhenti setelah 12 jam berlalu. Sekali lagi, aku terlalu lelah untuk beraktifitas di sisa hari kedua ini. Makan, memeriksa kertas yang telah diperbaiki, lalu tidur.
Oke, hari ketiga.
“Sudah tahu apa yang harus kamu lakukan hari ini?” Kertas itu melayang di depanku setelah aku menyegarkan diri.
“Ada hubungannya dengan tanaman?”
“Yap, benar. Oh ya, ada satu petunjuk tambahan. Mau nggak mau, kamu harus minta bantuan orang lain untuk tugas kali ini, soalnya kamu nggak punya sesuatu yang bisa bantu menyelesaikannya. Segitu aja ya, sisanya pikir sendiri.”, tulisan langsung menghilang.
Mungkin Resha bisa membantu? Kucoba mencari Resha di seluruh ruangan kamar, tapi tidak ada tanda-tandanya sama sekali. Sudah ke bawah untuk makan barangkali? Kuambil sarung tangan dan kertas surat itu, kemudian menggunakan lift ke lantai dasar.
Di lantai dasar, tidak ada tanda-tanda Resha sama sekali. Hmm…ke mana dia ya? Ah sudahlah, nanti saja kucari dia. Aku yakin batas waktu kali ini juga 12 jam, jadi tidak boleh buang-buang waktu. Akan kuusahakan mencarinya setelah tugas ini selesai. Baiklah, aku akan makan dulu---
Mendadak kertas itu melayang di depanku. “Eits, tunggu dulu. Sebelum tugasnya selesai, kamu hanya boleh makan sesuatu yang berasal dari tanaman. Susu ataupun telur juga nggak boleh. Mengerti?” Yah…hari ini aku tidak boleh makan daging deh…huhuhu. Ya sudah, aku ambil salad saja.
Oke, makan selesai. Aku akan keluar hotel untuk mencari petunjuk lain. Jalanan kota dari bebatuan tampak masih basah, sesekali kujumpai genangan air akibat hujan yang kuturunkan kemarin.
‘Tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan berbiji, dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji’, itu yang tertulis di kisah penciptaan. Apa aku harus mencari semua jenis pohon buah yang hidup di kota ini? Tidak, tidak. Itu terlalu mudah. Dua hari terakhir ini, tugas yang diberikan semuanya di luar akal sehat manusia. Jika hanya disuruh mengumpulkan jenis-jenis tumbuhan, sebentar saja pasti sudah selesai, tidak perlu sampai malam hari. Tunggu. Jangan-jangan…
*BRAAAAK!!~ Selagi berjalan sambil berpikir, aku menabrak seseorang. Dia lagi, Helena.
“M-Maaf, aku tidak sengaja…”, kubantu dia berdiri.
“Iya, tidak apa-apa. Aku juga tidak melihat jalan tadi, jadi…seharusnya aku juga minta maaf. Sudah masuk hari ketiga ya?”
“Betul. Hanya saja aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan hari ini. Sesuatu yang berhubungan dengan tumbuhan…”
“Hanya itu?”
“Petunjuk yang diberikan padaku hanya itu. Oh, ada satu lagi, aku harus mencari bantuan orang lain, karena aku tidak punya sesuatu untuk menyelesaikannya. Aku masih bingung mengenai apa yang dimaksud.”
“Apa mungkin kamu harus mengumpulkan data seluruh tumbuhan di kota ini? Apalagi kamu bukan penduduk asli kota ini.”
“Sepertinya tidak mungkin. Itu terlalu mudah dibanding dua tugas sebelumnya. Aku yakin kali ini sama gilanya.”
“Benar juga ya. Kalau begitu, apa kamu punya pemikiran lain?”
“Ada satu sih, tapi…sepertinya kelewat mustahil. Aku sempat berpikir kalau tugas kali ini adalah menumbuhkan suatu jenis tumbuhan tertentu dalam tempo 12 jam, dimulai dari menanam bijinya hingga menjadi pohon. Sepertinya tidak mungkin…”
“Aku bisa membantumu.”
“Eh?! Yang benar?”
“Ng…sebenarnya ini rahasia, tidak diketahui orang banyak. Tapi…melihat kejadian-kejadian aneh yang berhubungan denganmu, akan kuberitahu. Aku bisa mengontrol kehidupan.”
“Hah? Mengontrol kehidupan? Maksudnya?”
“Membuat makhluk hidup tumbuh lebih cepat, mempercepat pembelahan sel, menambah tingkat kesuburan hewan ternak, mencegah kematian, bahkan…membangkitkan orang yang sudah mati. Itu maksudku.”
“Jangan bercanda!! Seumur hidup, aku sudah sering bertemu hal-hal yang aneh, tapi yang ini…”
“Tidak percaya?” Dia langsung merentangkan tangan kanannya ke arah sebuah pohon yang daun-daunnya sedikit, tidak rimbun. Yang kulihat benar-benar mengejutkan. Dedaunan perlahan tumbuh dari cabang-cabang dan ranting-rantingnya, membuatnya lebih rimbun.
“O-Oke, aku percaya padamu. Jika benar itu tugasnya, berarti masih ada dua masalah. Biji apa yang harus ditanam, dan di mana.”
Kertas itu kembali melayang, dan muncul tulisan, “Sip, kamu sudah bisa tahu apa yang harus dilakukan dan udah dapat bantuan. Aku kasih petunjuk lagi deh…pohonnya terserah yang penting punya biji dan buah, tapi lokasinya…coba cari tahu apa yang sama dari kisah penciptaan dan kota ini.”
“Yang sama? Helena, kamu tahu sesuatu?”
“Hmm…apa ya. Sebentar. Kisah penciptaan berlangsung selama tujuh hari. Mungkin ada hubungannya dengan angka tujuh tersebut.”
“Tujuh? Mungkin kita harus menanamnya di tujuh tempat berbeda di kota ini?”
“Bisa jadi. Tapi…di mana? Tidak mungkin menanamnya secara acak.”
Tujuh. Tujuh. Apa yang ada tujuh di kota ini? Tembok? Tidak, tidak. Tembok di kota ini hanya ada empat lapisan. Pelabuhan? Sepertinya tidak...ini tidak ada hubungannya dengan laut atau kapal.
“Ah!! Aku tahu!! Bukit!!”, serunya.
“Bukit?”
“Ya, kota kuno Constantinople berdiri di atas tujuh buah bukit!! Aku yakin itu pasti tempatnya!!”
“Yak, 100 untuk kalian!! Sekarang cepat lakukan tugasnya!!”
Setelah Helena menunjukkan sebuah toko tanaman dimana aku bisa membeli benih pohon yang akan ditanam, langsung saja kami menuju bukit pertama. Letaknya 200 meter dari Hagia Sophia, sebelah barat laut. Yang kubeli adalah bibit pohon ara, sangat umum ditemukan di daerah Mediterania mulai dari pantai timur Parthia dan Eretz Adonai, seluruh pantai utara Benua Hitam, Anatolia, Helenos, hingga ke Iberia. Sengaja kupilih pohon itu karena buahnya berkarbohidrat tinggi, cocok untuk memulihkan energi dengan cepat.
“Biji pertama…yak, sudah.”, kututup lagi lubang di tanah yang kubuat sebelumnya.
“Nah, sekarang bagianku.”, dia menaruh tangan kanannya di atas tanah, tepat di tempatku menanam biji pohon ara tadi. Setelah sekitar satu menit, terlihat tunas tumbuh.
“W-Wow…ini berhasil.”, nada bicaraku sedikit terbata-bata.
“Jangan senang dulu. Sepertinya…tugas yang diperintahkan padamu itu mewajibkan agar biji ini tumbuh menjadi pohon, hingga berbuah, seperti yang tertulis di kisah penciptaan.”
1 jam lebih 40 menit berlalu. Astaga, lama sekali untuk satu biji pohon ara dibuat tumbuh hingga berbuah?! Belum lagi ketujuh bukit itu tidak bisa dibilang dekat satu sama lain…apa akan sempat? Kalau begitu…
“Naiklah.”, aku menawarkannya untuk digendong di punggungku.
“E-E-Eh…? T-Tidak perlu repot begitu…!!”, wajahnya sedikit memerah.
“Dengan ini bisa lebih cepat, karena sarung tanganku memungkinkan kita untuk bisa terbang. Waktu kita terbatas, hanya 12 jam. Kota ini cukup besar dan akan buang-buang banyak waktu jika harus berjalan kaki.”
“B-Baiklah…”, jawabnya ragu sambil perlahan naik ke punggungku.
Dengan Plasma Directing, kami terbang di atas kota ini untuk menuju ke bukit-bukit berikutnya. Bukit kedua, hampir 400 meter di sebelah timur Hagia Sophia, dengan tembok Severus terbentang di atasnya. Lahan kosong didapat, dan…1 jam 45 menit. Bukit ketiga, dengan jarak yang hampir sama, berada di sebelah timur laut bukit kedua. Kali ini 1 jam 30 menit. Bukit keempat, 1 kilometer lebih timur laut bukit kedua, di tepi tembok Constantinos, 1 jam 50 menit. Bukit kelima, 500 meter sebelah timur laut bukit kedua, 1 jam 45 menit. Bukit keenam, 1 kilometer timur laut bukit kelima, 1 jam 35 menit. ARGH !! Kurang dari dua jam lagi !!
“Helena, masih kuat?”, tanyaku ketika sudah sampai di bukit ketujuh, hampir 1,5 kilometer sebelah tenggara bukit keenam.
“I-Iya…t-tidak apa-apa kok.”, jawabnya pelan, nafasnya terengah-engah.
“Sudah, istirahatlah dulu. Ini sudah bukit ketujuh, kita masih punya sedikit waktu.” Sengaja kukatakan itu agar dia lebih tenang. Nyatanya…sisa waktu amat terbatas.
“Tidak. Biar kulanjutkan…”
Kembali, tangannya diletakkan di atas tanah tempatku menaruh benih, dan perlahan benih itu tumbuh. 5 menit, 10 menit, 15 menit, 30 menit, 1 jam…Helena berhenti. Nafasnya makin terengah-engah, keringatnya juga mengucur deras.
“O-Oi…sudah kubilang, istirahatlah sejenak. Sejak tadi kamu belum makan apapun, hanya minum air saja.”
“A-Aku masih kuat kok. T-Tenang saja…”, dia kembali melanjutkan.
5 menit, 10 menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit, 30 menit, 35 menit…nyaris berbuah. Dan…1 jam 40 menit. Buah-buah pohon ara yang telah matang keluar dari cabang-cabang pohon. Seketika itu juga, Helena pingsan. Kusandarkan dia di batang pohon yang baru tumbuh itu.
“H-Hei!! Helena!!”
“M-Maaf…aku sudah membuatmu khawatir…b-berhasilkah?”, tanyanya dengan suara lemah.
“Huh…membuatku kaget saja. Tentu saja berhasil.” Kuambilkan satu buah dari pohon. “Makanlah. Buah ara punya karbohidrat yang tinggi namun rendah lemak, cocok untuk memulihkan energi dengan cepat.”, kuberikan buah itu padanya.
“Ah…terima kasih…”
“Akhirnya, hari ini selesai juga. Untung aku memilih pohon ara untuk ditanam. Kalau tidak, aku mungkin sudah bingung akan memberimu makan apa dalam kondisi sangat lemas seperti itu.”
“Ahaha…maaf, aku hanya terlalu bersemangat saja…sampai lupa makan.”
“Ternyata kamu tidak jauh berbeda denganku. Kalau sudah melakukan sesuatu yang membangkitkan semangat, hal lain bisa dilupakan begitu saja…ehehe…”
“Oh iya, bagaimana dengan temanmu itu? Kenapa dia tidak ikut?”
“Sejak pagi aku tidak menemuinya. Mungkin dia sedang jalan-jalan. Sekarang pasti dia sudah kembali ke hotel. Matahari sudah terbenam begini.”
“Hmm…ya sudah, sampaikan saja salamku untuknya. Satu lagi, jangan mengabaikan temanmu itu dalam waktu lama…sepertinya dia butuh banyak perhatian darimu.”
“Ah, biarkan saja dia, kadang memang suka kekanak-kanakan. Baiklah, terima kasih banyak sudah membantuku hari ini. Aku akan mengantarmu ke hotel, bagaimana?”
“Oh, itu tidak perlu. Urusanku di sana sudah selesai 2 hari lalu. Sampai bertemu lagi ya.”
Hari ketiga selesai dengan sukses. Sejauh ini, tugas-tugasnya tidak begitu sulit untuk dipecahkan. Hanya saja, pengerjaannya butuh waktu 12 jam. Lagi-lagi, karena terlalu lelah, aku langsung terkapar di kasur hotel begitu selesai memeriksa lembaran ketiga yang kembali bisa terbaca. Aku juga terlalu kenyang makan buah ara hari ini…mengantuk sekali…
Hari keempat.
“Benda langit?”, kutebak begitu saja saat kertas itu tepat melayang di depan wajahku pada pagi hari.
“Kamu mau buat matahari, bulan, dan bintang seperti yang ada di luar angkasa sana? Coba aja kalau bisa…”
“Lho, lalu apa yang harus kulakukan?”
“Jelas saja kamu nggak akan bisa buat sama persis. Lakukan apa yang kamu bisa aja, asal semaksimal mungkin.”, seketika tulisan-tulisannya menghilang.
Duh. Apalagi yang harus kulakukan hari ini? Aku yakin hari ini ada hubungannya dengan benda-benda langit. Tapi, dari kata-kataNya, sepertinya Dia tidak mengharapkanku membuat matahari, bulan, dan bintang-bintang seperti yang Dia ciptakan. Ya sudah, aku makan dulu di bawah.
Hmm, ada yang aneh dengan Resha. Selama sarapan, responnya dingin. Ketus. Hanya menjawab dengan singkat. Selesai makan, dia kembali begitu saja ke kamar.
“Hei…dia ngambek tuh.”
“Sudah, biarkan saja. Besok juga dia akan kembali seperti sediakala. Jadi, aku harus apa?”
“Pemikiranmu udah benar, tentang benda langit. Kamu harus membuatnya di sepanjang kota ini. Kutambahkan satu petunjuk. Cukup sampai batu ketiga, usahakan semirip mungkin. Oke?”
“Sepertinya aku mengerti. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal itu sendirian. Boleh minta bantuan kali ini?”
“Boleh. Eh…maksudku, harus. Kalau nggak dibantu, nggak akan selesai 12 jam.”
“Tidak terbatas berapa orang yang boleh membantu?”
“Iya, boleh berapa aja. Satu kota kamu ajak juga silakan. Nggak Kularang.”
Begitu keluar hotel, aku langsung terbang dengan Plasma Directing di langit kota hingga ketinggian dimana aku bisa melihat ujung barat hingga timur kota ini. Hmm…empat lapis tembok, menyerupai empat lintasan orbit. ‘Matahari’ di tembok Byzantinos, ‘Merkurius’ di tembok Severus, ‘Venus’ di tembok Konstantinos, dan ‘Bumi’ di tembok Theodisios. Meski perbandingan jarak antar tembok dan orbit sebenarnya tidak sama, itu tidak jadi masalah. Yang jadi masalah adalah bagaimana aku menaruh ‘bintang-bintang’. Baiklah, aku harus bergegas. Jalankan saja dulu, nanti juga akan terpikirkan bagaimana membuat sisanya.
Begitu aku mendarat, tepatnya di antara tembok Severus dan Konstantinos, dia lagi…Helena. Aku heran, apa dia membuntutiku ya?
“Hei, bagaimana untuk hari ini?”, tanyanya dengan penuh semangat.
“Replika tata surya. Oh, tapi hanya sampai Bumi saja. Harus semirip mungkin pula…”
“Begitukah? Sebentar…biar kuhubungi seseorang.”
Dia melangkah sepelemparan batu jaraknya dariku, lalu menelepon seseorang. Jika dalam kondisi gawat darurat, aku pasti sudah mencurigainya habis-habisan. Namun tidak dengan sekarang.
“Tunggu sebentar ya, dalam 10 menit mereka akan datang.”, ujarnya begitu selesai menelepon dan kembali padaku.
“Mereka…?”
Kira-kira 10 menit kemudian, beberapa puluh orang datang. Tidak ada yang spesial dari penampilan mereka, sepertinya penduduk kota ini.
“Tukang kayu, pandai besi, pembuat cermin, pemahat, hingga arkeolog lokal. Mereka di bawah komandomu sekarang, Daleth.”
“Hah?! Mereka semua akan membantu?!”
“Tidak usah kaget begitu. Sudah, sekarang lebih baik kamu katakan apa yang ada di dalam pikiranmu pada mereka.”
Para pemahat yang ada kutugaskan untuk mencari tiga batuan berbentuk mirip bola, dengan perbandingan diameter ketiganya sama dengan perbandingan diameter Bumi, Venus, dan Merkurius. Patokannya adalah ‘Bumi’ yang kuminta berdiameter 2,6 meter, dengan asumsi kasar bahwa diameter Bumi sesungguhnya sekitar 13 ribu kilometer. Seluruh pandai besi dan tukang kayu kutugaskan untuk membuat penyangga yang dapat diputar mengikuti rotasi planet di kondisi sebenarnya, replika orbit ‘Bulan’, dan juga rel di atas masing-masing lapis tembok agar replika ketiga planet dapat digerakkan. Para pembuat cermin kuminta membuat cermin ‘Bulan’ dengan diameter ¼ dari diameter ‘Bumi’. Para arkeolog kumintai saran dan pendapatnya, bagaimana agar aku bisa membangun semuanya itu tanpa merusak tembok-tembok yang ada.
Pengerjaan dimulai. Awalnya, hanya tukang-tukang itu yang bekerja dengan diawasi olehku, Helena, dan para arkeolog. Tetapi, tiap jamnya, jumlah pekerja bertambah. Dari mana penambahan tersebut? Dari para penduduk kota yang penasaran dengan apa yang akan dibuat di kota mereka. Semua yang masih punya fisik yang dikategorikan baik dapat turun langsung untuk membantu. Sementara itu, orang-orang tua, wanita, dan anak-anak mendukung dalam hal logistik pada para pekerja. Singkat kata, seluruh kota ikut ambil bagian.
Lewat tengah hari, matahari sedikit condong ke arah barat sekitar 10 derajat.
“Helena…”
“Hmm? Ada apa?”
“Jujurlah, siapa kamu sebenarnya?”
“A-Aku…tidak bisa mengatakannya sekarang.”, jawabnya ragu.
“Tenanglah, tidak perlu takut. Aku yakin kamu bukan orang jahat atau semacamnya. Tidak mungkin Dia mengizinkanmu membaca instruksi yang disampaikan padaku, jika kamu tidak berkenan di hadapan-Nya. Ya sudah, jika kamu belum bisa beritahu, tidak apa-apa.”
“Di hari ketujuh kamu akan tahu dengan sendirinya. Jadi, sabar sedikit ya.”, dia tersenyum.
“Ya sudah kalau begitu. Aku akan ke tembok Theodisios sebentar, ‘Bumi’ sedikit lagi selesai.”
Satu jam sebelum langit di Constantinople berubah gelap.
“Wah, kreatif juga kamu. Diameter ‘planet’nya sesuai perbandingan. Masalah jaraknya tidak apa-apa, jarak tembok tidak bisa diubah.”, tulisan kembali muncul di kertas itu, sambil melayang di depanku.
“Tapi aku masih tidak tahu bagaimana membuat ‘bintang’nya…”
“Sarung tanganmu tidak bisa melakukan apa-apa?”
“Sepertinya hanya bisa membuat Matahari saja. Photon Blaster seperti hari pertama.”
“Lho…kan bisa diprogram lagi sesuai maumu. Dicoba dulu, siapa tahu kamu bisa buat replika bintang-bintang.”
“Benar juga…baiklah!! Aku tahu apa yang akan kuprogram di sarung tangan ini!!”
Secepat kilat aku kembali ke hotel, melepas sarung tanganku, menghubungkannya dengan kabel konektor ke laptopku. Sedikit modifikasi code, dan…selesai. Sarung tangan ini bisa membuat orb cahaya sekarang. Whoa, tinggal 15 menit lagi!!
Langit pun berubah hitam. Bergegas aku menuju ke atas tembok Byzantinos. Sekarang saatnya!!
“Photon Blaster. Condensator shift, set up!!”
Perlahan muncul butiran-butiran orb cahaya dari kedua tanganku, melayang terus ke atas. Selama beberapa menit kutahan mode itu, agar terlihat kelap-kelipnya di langit. Begitu selesai, Photon Blaster mode normal langsung kuaktifkan, menyinari ketiga ‘planet’ yang ada di masing-masing orbit. Pantulan cermin ‘Bulan’ itu juga terlihat menyinari sisi belakang dari replika Bumi yang ada.
“Oke, udah cukup. Sudah 12 jam, dan kamu berhasil. Sekarang…lihat ke bawah. Para penduduk udah nunggu kamu. Ada makan-makan tuh.”
“Huff…selesai juga. Aku ingin tanya satu hal. Sebenarnya untuk apa sampai-sampai seluruh kota diizinkan ikut serta? Sementara tugas-tugas sebelumnya pasti harus kukerjakan sendiri, setidaknya boleh dibantu oleh satu orang saja.”
“Mereka udah terlalu lama tinggal dalam keegoisan dan saling curiga. Tugas kali ini nggak cuma berguna untuk kamu, tapi juga untuk mereka. Lihat deh, udah lama Aku nggak lihat pemandangan seperti ini di kota.”
Suasana meriah tercipta. Di sudut-sudut jalan, yang kulihat hanya keceriaan, kebahagiaan. Semua orang berbaur menjadi satu dalam keramah-tamahan. Taburan bola-bola cahaya kecil dari langit malam yang kubuat tadi menambah aura kehangatan yang sudah tercipta. Tanah ini memang tanah yang asing untukku, namun…di suasana seperti ini, aku merasa menjadi bagian dari mereka.
Kemeriahan itu berlanjut hingga hampir tengah malam. Segera aku mohon diri karena sudah terlalu lelah.
Begitu aku masuk ke kamar hotel, terlihat Resha sedang duduk di sofa, memandang kosong ke arah luar jendela.
“Hei, kemana saja kamu? Tidak ikut pesta tadi?”, tanyaku.
Dia tidak menjawab.
“Ck…ada apa sih denganmu? Sejak tadi pagi kamu begini terus.”
Dengan wajah marah, dia memakiku. “Masih juga berani tanya ‘ada apa’?! Dasar brengsek!!”
“Resha!! Jaga mulutmu!! Aku terlalu lelah untuk mendengar ocehanmu itu!!”
“Ha!! Teruskan saja, teruskan!! Kamu memang sudah lelah dengan diriku kan?!”
Kemarahanku makin menjadi. Jelas saja, aku tidak melakukan apapun padanya, dan dia marah-marah tidak jelas seperti ini?! Di tengah emosi yang memuncak itu, tanpa sadar aku menggerakkan tanganku, ingin menamparnya.
TO BE CONTINUED...
Share This Thread