Page 4 of 8 FirstFirst 12345678 LastLast
Results 46 to 60 of 113
http://idgs.in/424444
  1. #46
    imsuppaCOOL's Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Posts
    1,559
    Points
    1.92
    Thanks: 86 / 58 / 52

    Default

    wah, berbakat nih TS
    kenapa ga coba post di sini ? ato uda ada ?
    here is mine . mo nglanjutin tapi ga bersemangat . dari dulu chapter 1 terus
    dota mengalihkan dunia otaku gw
    Righteousness exalts a nation, but sin is a disgrace to any people.

  2. Hot Ad
  3. #47
    Forgiven's Avatar
    Join Date
    Nov 2011
    Posts
    167
    Points
    42.54
    Thanks: 0 / 1 / 1

    Default

    Wah saling membantu sesama anggota yak?
    mudah2an sukses buat yang bikin scifi sendiri...

  4. #48
    LordTauren's Avatar
    Join Date
    Mar 2007
    Location
    Red Land of Orchis
    Posts
    1,209
    Points
    564.22
    Thanks: 42 / 29 / 21

    Default

    lama updatenya ...... msti balik ke chap sebelomnya lagi ==a
    tp gpp deh sebanding koq penantian selama ini........


    brb baca coment menyusul

    hmmmmm kali ini gak ada unsur pertempurannya ya ^^
    tp ttp bertempur jg melawan maut hahaha......

    overall bagus mnurut saya
    tapi ntah napa ada yg terkesan janggal sama tu kakek2 =3=
    Last edited by LordTauren; 23-11-11 at 15:13.
    From nothing get a thing... And from everything back to nothing

  5. #49
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    belom bisa nerusin, dimohon kesabarannya...

    ga hiatus kok tenang aja, uda ada kerangkanya dari awal sampe tamat, cuma ga ada waktu nulisnya aja gitu


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #50
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 13 :

    ================================================== ==
    Chapter 13: Poorest Among the Poor ~ The Angel’s Prayer (Part 2)
    ================================================== ==


    Berakhir sudah misa Minggu ketigaku di gereja biara ini, mengikuti ibadah yang berbeda denominasi dengan yang kuanut. Yah…itu tidak masalah, yang penting aku tidak melupakan Tuhan sepanjang pelarianku.

    Ya, sudah tiga minggu aku dan Resha menghabiskan waktu di tempat ini. Semuanya sudah kuceritakan pada bapa Thomas, dan hebatnya…dia tidak berubah membenciku sama sekali. Bahkan, dia menerimaku untuk membantu para pasien, dengan alasan kekurangan tenaga. Mungkin…perjalananku harus berakhir di sini, menolong sebanyak mungkin nyawa manusia.

    Gereja ini sudah sepi sekarang, dan aku duduk seorang diri di bangku deretan kedua dari kiri, baris ketiga dari depan. Total ada 4 deret bangku panjang dengan 12 baris bangku di tiap deret.

    Sekali lagi, kulayangkan pandanganku ke seluruh bangunan gereja, yang menurut cerita bapa Thomas didirikan sekitar 300 tahun yang lalu. Entah mengapa, setiap kali kupandangi seisi bangunan, perasaan damai dan tenang menyelimuti bagian dalam dadaku ini. Dan sekarang…hatiku merasa terdorong untuk berdoa…

    Kuturunkan tekanan udara paru-paruku dengan cara membuat otot-otot tulang rusukku berkontraksi, perlahan-lahan. Udara luarpun perlahan masuk. Kutahan selama sedetik. Kemudian, kunaikkan tekanan udara paru-paruku dengan membuat otot-otot tulang rusukku berelaksasi. Sisa karbon dioksida dari tubuhkupun keluar melalui lubang hidung.

    Posisi tanganku kini sudah seperti selayaknya orang yang sedang berdoa, lalu kupejamkan mataku…

    Kutinggikan namaNya.
    Kuagungkan namaNya.
    Kuberterima kasih padaNya.
    Kubersyukur atas segala kebaikanNya selama ini.

    Bagaimana aku tidak bersyukur? Pikirkan saja, nyawaku dan Resha terancam sepanjang perjalanan. Namun, tidak ada satupun helaian rambutku yang jatuh tanpa seizin Yang Mahatinggi. Orang-orang yang mengincarku juga tidak dapat menyentuhku sama sekali. PerlindunganNya selalu membuatku takjub.

    Kuucapkan syukurku padaNya atas segala berkatNya, atas segala penyediaanNya, atas segala manifestasi kuasaNya untuk menjaga agar tubuhku dapat terus berfungsi secara normal.

    Bagaimana aku tidak bersyukur? Sejak aku dan Resha melarikan diri dari Liberion, tidak ada satupun kebutuhan jasmaniku maupun Resha yang tidak terpenuhi. Tidak ada kata kelaparan, tidak ada kata telanjang, tidak ada kata menggelandang. Selalu ada saja caraNya dalam mencukupkan segalanya.

    Kuucapkan syukurku padaNya atas perjalanan ini, yang benar-benar mengubah cara pandangku mengenai hidup.

    Bagaimana aku tidak bersyukur? Pada awalnya aku hanyalah seorang idealis maniak yang memandang rendah nyawa orang-orang yang melakukan kejahatan, para kriminal. Untunglah, atas seizinNya, aku mampu melakukan perjalanan ini, yang membuatku berpikir kalau siapapun, siapapun itu, berhak untuk terus hidup. Jikalau orang itu bersalah sekalipun, dia layak mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.

    Kuucapkan juga syukurku padaNya, untuk…Resha.

    Resha…jika bukan karena dirinya, aku tidak mungkin menjalani ini semua. Seseorang yang sendirian, kesepian, ditolak, dan ditinggalkan. Namun…dia kembali meraih senyumannya. Aku yakin, ini semua adalah kehendakNya.

    Aku tahu ya Tuhan, Engkau sendiri yang mengirimkan dia untukku.

    Harus kuakui, dia seperti malaikat yang diutusNya untuk selalu bersamaku. Dia mengajariku banyak hal. Keceriaan, kesederhanaan, dan kekuatannya dalam menjalani hidup benar-benar membuatku seperti dihantam palu besar di kepalaku. Jika bukan karena dirinya, mungkin aku akan terus menjadi pencabut nyawa.

    Pada awalnya aku mengira kalau akulah yang diutusNya untuk menyelamatkan Resha dari hukuman mati. Namun, aku salah. Dialah yang diutus oleh Tuhan untuk mengubah hidupku.

    Kumohon ya Tuhan…jangan ambil Resha dariku.

    Satu hal lagi ya Tuhan, jangan pernah lepaskan penyertaanMu hingga akhir…

    Amin…



    ………

    ………

    Kubuka kembali mataku. Aku merasa jauh lebih lega sekarang.

    Hmm? Suara langkah kaki? Kuarahkan wajahku ke pintu masuk gereja, ada seseorang yang masuk, seorang pria, dan sepertinya orang Barat. Penampilannya seperti orang-orang yang biasa mengendarai motor besar, Harley Davidson. Lengkap dengan jaket kulit, celana jeans, untaian rantai logam di sisi pinggan sebelah kanan, dan kalung logam. Rambut coklat gondrongnya juga agak urakan. Ditambah lagi dia berjanggut, dan berkumis.

    Tanpa basa-basi dia menghampiriku dan duduk di sebelah kananku.

    “Hei bro, ada apa? Tatapanmu aneh begitu?”

    “Oh…maaf, Tuan. Tapi misa sudah selesai untuk hari ini.”

    “Hei, hei, tapi tidak ada larangan untuk masuk ke sini kan? Semua orang seharusnya boleh berdoa di rumah Tuhan kapanpun.”

    “Ah…anda benar. Anda ingin berdoa secara pribadi di sini? Kalau begitu saya permisi dulu.”

    “Eits, tunggu sebentar, jangan buru-buru. Kita ngobrol-ngobrol sebentar dulu.”

    Duh, orang ini. Penampilannya sama sekali tidak pantas untuk masuk ke dalam gereja. Tidak bisakah dia tampil lebih rapi?

    “Kenapa bro? Heran lihat tampilan begini?”, tanyanya seakan bisa menebak jalan pikiranku.

    “Ya…saya rasa anda seharusnya lebih rapi jika ingin datang ke sini.”

    “Ohoho…tapi bukankah ada tertulis, ‘Manusia melihat rupa, namun Tuhan melihat hati’? Jadi kurasa yang penting itu kesungguhan hati.”

    “Kata-kata anda memang benar. Tapi sayangnya tidak semua orang nyaman melihat penampilan seperti anda sekarang.”

    “Hahaha…maaf kalau begitu.”, dia menepuk bahu kananku. “Tadi kukira tempat ini akan sepi, sehingga aku tidak akan bertemu orang lain yang akan menilai penampilan begini. Tapi ternyata ada kamu di sini. Ya sudah deh, sudah terlanjur.”

    “Jadi, apa yang ingin anda doakan sampai harus ke tempat ini? Bukankah lebih praktis kalau berdoa di rumah saja jika urusannya privat?”

    “Rumahku banyak bro. Nggak cuma satu, walau sebenarnya bukan rumahku juga sih.”

    “Hah? Rumah banyak tapi bukan rumah anda?”

    “Ahaha, sudah kuduga pasti kamu akan bingung. Simpelnya begini. Di rumah-rumah tersebut, aku bisa dianggap tuan rumahnya, dan tiap tamu yang datang harusnya bisa ketemu aku. Begitu loh…”

    “Saya jadi makin bingung…”, aku sedikit menggaruk-garuk kepala.

    “Nggak usah terlalu dipikir lah. Oh iya, tadi kamu bertanya yah apa yang mau kudoakan?”, aku merespon dengan sekali menangguk.

    Dia melanjutkan, “Sekarang ini sih aku mau berdoa buat dua orang. Mereka sudah bantu aku dalam banyak hal. Kamu sendiri gimana? Tadi aku lihat kamu juga baru selesai berdoa.”

    “Saya cuma mengucap syukur pada Tuhan. Itu saja.”

    “Mengucap syukur kan bisa untuk banyak hal. Untuk apa aja?”

    “Yah…pokoknya banyak. Yang jelas untuk semua, segala hal. Saya bisa hidup sampai sekarang hanya karena pertolonganNya. Bahkan ketika nyawa sudah di ujung tanduk sekalipun…”

    “Hahaha…namanya juga Tuhan, apa aja pasti bisa dilakukanNya. Apalagi katanya kamu ini dari tempat yang jauh, dan punya masalah yang serius.”

    Eh? Orang ini tahu darimana…? Apa dia bertanya pada bapa Thomas atau para suster di sini?

    “Yah, anda benar. Untuk itu saya juga berdoa agar Tuhan terus menyertai hingga akhir…”

    “Bagus, bagus.”, dia menepuk bahu kananku dua kali. “Senang rasanya mendengar ada orang yang bisa berdoa seperti itu. Yah, tahu sendiri kan, jaman sekarang orang-orang maunya instan, sekali berdoa langsung dapet yang diinginkan.”

    “Itu karena saya percaya, kalau Tuhan sedang memproses hidup saya melalui apa yang saya alami. Bukan begitu?”

    “Yap, betul. Tuhan senang lihat proses. Coba perhatikan sekitar kamu. Semua ada prosesnya kan? Pohon kalau mau berbuah, harus tunggu beberapa bulan. Bumi, supaya balik lagi ke tempatnya semula setelah mengitari Matahari, perlu 365 1/4 hari. Manusia juga, nggak ada yang keluar dari rahim langsung jadi dewasa.”

    Wow. Orang ini sepertinya cukup ahli dalam mendalami Firman. Walau kata-katanya santai dan sedikit abnormal, tapi yang keluar dari mulutnya selalu benar.

    “Yang jelas sabar aja. Mungkin sekarang kamu sedang diproses jadi orang yang lebih baik.”, dia melanjutkan.

    “Tentu. Apalagi dengan pertolonganNya, saya yakin bisa melalui ini semua.”

    “Oke, terus semangat ya, aku yakin Dia akan terus mendengarkan kamu dan juga teman kamu itu.”

    Tunggu. Sejak tadi aku belum bercerita tentang Resha, namun dia bisa menebaknya. Siapa orang ini sebenarnya?!

    Orang itu lalu melihat jam tangan di tangan kirinya. “Waduh, maaf ya, aku masih ada janji di tempat lain. Aku yakin, nanti kita bisa ketemu lagi. Sampai ketemu, Daleth.”

    Diapun bangkit berdiri. Sebelum dia melangkah lebih dari dua langkah…

    “Tunggu, siapa anda sebenarnya?”

    “Oh iya, ada juga tertulis, ‘Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah’. Sudah tahu kan siapa aku?”

    “A-Anda…”

    “Yap, aku yakin kamu sudah tahu. Aku bangga sama kamu. Meski kamu punya otak yang encer dan punya sesuatu yang sudah bisa membuat kamu dianggap ‘tuhan’, kamu tetap berdoa dan memohon kekuatan dari Tuhan.”

    Tanpa sadar, air mataku mengalir. Aku…tidak menyangka hal ini…

    Thanks juga sudah menolongku tiga minggu lalu. Tenang aja, aku nggak akan pernah meninggalkan kalian berdua. Yang jelas, tugas kalian belum selesai. Terus berjuang sampai garis akhir dan selesaikan dengan baik, oke?”

    Dia terus berjalan keluar, dan tiba-tiba saja menghilang disertai dengan cahaya menyilaukan tepat di depan pintu gereja. Refleks aku berlari keluar, namun orang itu sudah tidak ada. Berarti, aku sudah…astaga.



    Dari arah kiriku, Resha berlari sambil memanggil-manggil namaku. Raut wajahnya terlihat seperti orang yang baru mengalami sesuatu yang mengagetkan. Jangan-jangan…

    “Daleth, apa kamu lihat seseorang berjaket kulit tadi ke sini?!”

    “Ya, aku lihat. Baru saja dia mengobrol denganku di dalam tadi. Kamu juga bertemu dengannya?”

    “Iya, iya.”, dia mengangguk-angguk dengan semangat. “A-Aku benar-benar tidak menyangka…seseorang yang sudah menghabisi nyawa 14 juta orang sepertiku masih bisa melihat…”

    Resha menangis. Ini bukan tangisan kesedihan, namun kebahagiaan. Kupeluk dirinya agar dia bisa meluapkan kegembiraannya itu melalui air matanya.

    Aku yakin selama ini Resha merasa sangat berdosa. Namun…Dia melihat kesucian hatinya. Dengan kata lain, semua kejadian di Liberion adalah benar-benar tidak disengaja. Resha tidak punya maksud untuk menghabisi orang-orang di Beth-Sheol waktu itu. Dia seperti…dijebak.

    Beberapa menit Resha berada di pelukanku, hingga tangisannya berhenti. Tak lama, aku dikagetkan dengan kemunculan suster Agnes dari sisi kananku, sisi kanan bangunan gereja.

    “Daleth, Resha, kalian melihat orang yang kalian tolong waktu itu?”

    “Tidak, suster Agnes. Memangnya ada apa?”, tanyaku.

    “Tak lama setelah misa selesai, aku melihatnya berjalan di sekitar bangunan gereja. Akupun mengikutinya, tapi…”

    “Orang itu tidak bisa suster temukan?”, sahut Resha.

    “Iya, dia seperti menghilang begitu saja.”

    “Tunggu. Jangan-jangan orang tua itu juga adalah…”, refleks aku menelan ludah karena terkejut.

    “Daleth…ini semua…adalah rencanaNya…”, jawab Resha.

    Aku tidak sanggup berkata-kata lagi dan merespon Resha hanya dengan sekali mengangguk. Orang tua yang kutolong dan juga orang urakan itu, keduanya adalah sama. Ternyata…semua yang aku dan Resha lakukan selama ini tidaklah sia-sia…



    Sore harinya, aku dan Resha mengembalikan semua peralatan yang digunakan untuk misa tadi di ruang penyimpanan. Selagi beres-beres, bapa Thomas memanggil kami berdua untuk minta tolong. Ternyata dia ingin kami mengambilkan sesuatu di gudang. Namun karena letaknya yang tinggi dan tidak ada satupun suster yang bisa meraihnya, dia meminta tolong padaku.

    “Uh…tinggi sekali. Aku tidak bisa meraihnya.”, aku berusaha mengulurkan tanganku.

    Yang ingin diambil bapa Thomas adalah sebuah kotak, ukurannya sekitar 40x30x10 sentimeter. Letaknya di atas sebuah lemari kayu tua, yang tingginya 1,5 kali tinggi diriku. Jelas saja aku tidak bisa meraihnya.

    “Resha, naik ke pundakku.”

    “E-Eh…?! D-D-Daleth, i-ingat, ini di lingkungan g-gereja…!”

    “Heh, siapa juga yang mau berbuat aneh-aneh. Kamu kuminta naik ke pundakku supaya kamu bisa mengambil kotak yang di atas itu.”

    “O-Oh begitu…baiklah...”

    Resha naik ke punggungku, lalu mengambil kotak itu. Bahannya dari logam, sepertinya berumur sangat tua.

    “Maaf sudah merepotkan kalian berdua. Aku hanya ingin tahu benda apa itu sebenarnya. Sudah puluhan tahun aku berada di sini namun tidak pernah tahu apa isinya.”

    “Tidak apa-apa bapa Thomas, sudah sewajarnya kami membantu.”, jawabku.

    “Ini…isinya apa ya?”, tanya Resha. Dia berusaha membuka kotak itu. Untung saja, kondisinya tidak terkunci, hanya saja tertutup rapat. “Wah, terbuka.”

    Yang kulihat di dalamnya adalah lembaran-lembaran kertas kuno. Dilihat dari tulisannya, ini adalah alfabet Helenos. Sayang sekali banyak tulisannya yang telah memudar sehingga aku tidak bisa membaca kalimat yang tertulis di situ.

    “Sudah, jangan disentuh lebih lanjut. Kertas tua seperti ini rawan rusak jika disentuh.”, kuperingatkan Resha.

    “Oke, oke. Tapi ini kira-kira apa tulisannya ya? Kamu bisa membacanya?”

    “Aku sempat belajar bahasa Helenos, jadi aku bisa membacakannya jika tulisannya jelas. Sayang sekali…sudah banyak yang pudar.”

    “Ah…aku ingat sesuatu. Setahuku di Constantinople ada institut yang mau menerima dokumen-dokumen bersejarah seperti ini. Mungkin jika dikirim ke sana, apa yang tertulis di sini bisa dipulihkan.”, sahut bapa Thomas.

    Aku pernah dengar institut itu. Namanya Hagia Sophia, di kota Constantinople, tepat di perbatasan antara Helenos dan Anatolia. Sebuah kota kuno yang pernah menjadi pusat perkembangan gereja. Apakah mungkin inilah yang Dia maksud kalau tugasku dan Resha belum berakhir?

    “Bapa Thomas, biarkan kami berdua yang mengantar dokumen-dokumen ini ke sana.”, sahutku.

    “Kamu tahu tempatnya?”, tanya Resha.

    “Belum, tapi aku pernah dengar mengenai tempat itu. Setahuku tidak begitu sulit dicari karena seluruh kota, bahkan seluruh Helenos dan Anatolia tahu tempat itu.”

    “Oooh…oke, oke. Berarti kita jalan-jalan lagi?”

    “Heh…seenaknya saja. Ini tugas penting. Jika dokumen ini rusak, maka habislah salah satu benda yang mungkin bisa menguak masa lalu.”

    “Hmm…baiklah jika kalian berdua mau mengantarnya ke sana. Aku sendiri tidak begitu percaya pada jasa pengiriman paket antar negara untuk benda bersejarah seperti ini.”, kata bapa Thomas.



    Dan…perjalanan kamipun kembali dimulai.

    Setelah sekitar tiga minggu kami berada di Bharata, sebuah misi baru diberikan. Aku tahu, ini pastilah rencanaNya, karena tugasku dan Resha belum selesai. Aku tidak tahu rintangan apa lagi yang akan ada di depan. Namun satu hal yang pasti, aku tidak akan takut lagi, karena Dia berjanji akan terus menyertai.

    “Daleth, bisa kamu buka kotak itu lagi?”, tanya Resha ketika kami sudah berada dekat perbatasan antara Bharata dengan Parthia di timur.

    “Mau diapakan? Jangan sampai rusak…”

    “Tidak kok, aku hanya benar-benar penasaran. Boleh yah, yah, yah?”

    Duh, kalau sudah begini aku tidak mungkin menolak permintaannya. Akhirnya kubuka lagi kotak itu.

    “Bagaimana, sudah puas?”

    “Ng…Daleth, sepertinya kertas yang paling bawah tidak rusak separah yang lain. Coba kamu lihat deh.”

    “Hmm, kamu benar.”, kuangkat kertas terbawah dengan amat sangat hati-hati agar tidak merusak kertas itu maupun yang lainnya. “Kertas yang ini masih punya banyak tulisan yang bisa terbaca.”

    “Kamu bisa membacanya kan? Coba kamu bacakan sedikit saja.”

    “Oke…coba kulihat…”, entah mengapa mataku langsung menuju ke satu deretan alfabet Helenos yang berada di bagian bawah kertas. Eh…?

    “Hei, ada apa? Kenapa bengong saja?”, tanyanya melihat wajahku yang terkejut.

    “Maaf, maaf. Akan kubacakan, tapi maaf kalau sedikit keliru dalam lafalnya. Amen legou humin, eph hoson epoiesate heni touton ton adelphon mou ton elachiston, emoi epoisate.

    “Artinya?”

    “Itu artinya ‘Sesungguhnya…segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini…kamu telah melakukannya untuk Aku…’”

    Sekarang, giliran Resha yang terlihat terkejut.

    “Daleth…ini seperti…”

    “Yap, kita seperti mendapat legitimasi langsung dari surga.”, kutersenyum padanya.

    Resha membalas dengan senyuman lebar, “Aku jadi ingin cepat-cepat sampai di Constantinople.”

    “Sabarlah, kita harus melalui Parthia, lalu Anatolia, barulah bisa sampai ke kota itu. Sepertinya masih cukup lama jika kita harus melalui jalan darat.”

    “Sudah, tidak apa-apa. Aku sudah belajar untuk tidak sering-sering mengeluh jika harus mengambil jalur darat. Maaf ya kalau selama ini aku sering mengomel di jalan…”

    “Tapi aku sedikit kangen dengan gaya mengeluhmu itu, kamu jadi terlihat lebih menggemaskan…hehehe…”, maksudku sih hanya menggoda saja.

    “A-A-Apa?! K-Kurang ajar!! Kamu mau aku lebih cepat tua gara-gara sering marah-marah hah?!”, wajahnya berubah merah.

    “Lho…sekarang kamu sudah marah-marah…”

    “AAAAAHHH!!! Sudah jangan bawel!!”, dia menginjak kakiku.

    “Heh, jangan main injak sembarangan!! Bagaimana kalau dokumen-dokumen kuno ini jatuh lalu berhamburan?!”

    “Huh…itu tetap tanggung jawabmu, dasar lolicon…”



    Misi baru, tempat yang baru. Itulah yang akan kutuju bersama Resha. Namun, aku tetap tidak boleh melupakan hal yang paling utama. Sejauh apapun aku melangkah, janjiku pada Resha untuk tidak membunuh siapapun dan menolong sebanyak mungkin orang harus tetap kupenuhi, siapapun itu. Tidak peduli apapun dosaku dan Resha di masa lalu, yang ada selanjutnya hanyalah masa depan yang bisa diubah dengan apa yang dilakukan sekarang.

    Ya, sekarang.

    Yah, siapa tahu Dia akan muncul lagi…Tuhan memang senang bekerja dengan cara yang misterius. Benar begitu?


    Sekalian ngucapin Merry Christmas buat yang ngerayain...

    ===================================

    Spoiler untuk Trivia :

    Sebelumnya maaf ya kalo menjurus ke arah kekristenan banget
    Soalnya kan Daleth di sini based on myself, jadi ya nyaris segalanya bahkan sampe ke kepercayaannya pun based on mine juga

    • Terasa agak aneh ya figur "Dia" di sini? Emang sih, Daleth pun ngaku kalo "Dia" dalam wujud manusia yg di chapter ini tuh rada abnormal (gw sendiri yakin kalo Dia ada di jaman modern, penampilannya juga modern seaindainya Dia jalan" di Thamrin/Sudirman, masa mau pake jubah"an 2000 taun lalu? )
    • ada tertulis, ‘Manusia melihat rupa, namun Tuhan melihat hati’ = I Samuel 16:7, cuma disederhanain aja kalimatnya
    • ‘Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah’ = Matius 5:8
    • Constantinople = nama kuno dari kota Istanbul, Turki. Yah...ketauan deh Anatolia itu negara apaan
    • Hagia Sophia = artinya "Holy Wisdom".
      Nama gereja kuno di Istanbul sewaktu masa Byzantine Empire, jadi masjid pas kekuasaan Ottoman Empire, sekarang jadi museum.
    • Amen legou humin, eph hoson epoiesate heni touton ton adelphon mou ton elachiston, emoi epoisate. = Matius 25:40, kalimat terakhir. In Greek of course ~ (yang ngerti bahasa Koine Greek bakalan ngakak pasti...soalnya itu ngambil dari Alkitab bahasa Modern Greek -- tapi gw ga ngakak krn ga pernah baca yg Koine Greek punya )

    Last edited by LunarCrusade; 27-12-11 at 03:36.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  7. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  8. #51
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    baru sempet baca sekarang, soalnya kmaren full oL pke hp

    wew, suasananya religius banget ya,

    ceritanya sengaja dibikin begini karena masih suasana natal?

    atau..

    emang uda direncanain, cerita ini dipost pas natal

  9. #52
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    direncanain udah dari lama *banget*

    tapi karena sesuatu dan lain hal, akhirnya baru dikebut nulis pas natal

    dan gw juga pas hari itu dapet semangat buat nulis (mungkin karena kejadian seharian itu yang gw alami... )

    anyway, di tiap post yang ada ceritanya, gw taro Trivia...jadi bagi yang bingung mengenai asal nama, kejadian, dst dkk, bisa ngintip sebentar




    ini chapter 14 gw lagi nulis, ditunggu aja, paling ntar malem juga jadi kok


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  10. #53
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spesial 2 chapter


    Spoiler untuk Chapter 14 :


    ================================================== ===
    Chapter 14: Electric, Magnetic, Lunatic ~ Protecting an Empire (Part 1)
    ================================================== ===


    “Tuaaann…!! Tolong berhenti sebentar!! Kami butuh tumpang---“, teriakku.

    *NGEEENNGG~~ Satu lagi mobil berlalu begitu saja.

    Sekarang kami berdua tersesat di tanah kekaisaran Parthia, sebuah negara besar yang membentang dari perbatasan dengan Bharata di barat, Varangia di utara, Samudera Indicus di selatan, Quraish di tenggara, Anatolia di timur laut, dan Eretz Adonai di timur.

    Bagaimana kami bisa tersesat? Yah…sebenarnya tidak 100 persen tersesat, hanya saja aku tidak tahu nama daerah di sekitar sini. Resha juga tidak bisa membaca tulisan Parthia, jadinya…

    Percaya atau tidak, kami berhasil masuk ke Parthia, walaupun negara ini dalam ancaman peperangan dengan Eretz Adonai. Sesampainya di perbatasan Bharata-Parthia, kami menumpang mobil pick-up yang menampung beberapa orang bersenjata. Anehnya, walaupun mereka terlihat ganas dan sangar, ditambah lagi dengan AK-47 yang mereka bawa, kami bisa terus berkomunikasi dengan mereka walau kemampuan berbicara bahasa Anglia mereka lumayan buruk. Ternyata benar, jika Yang Mahatinggi sudah melindungi, tidak ada satupun yang bisa mencelakakan kami berdua.

    Sayang sekali, orang-orang itu, yang ternyata adalah tentara bayaran, tidak bisa mengantar kami hingga ke Anatolia karena masih teramat jauh. Mereka harus berhenti 200 kilometer arah barat dari tempat kami sekarang. Nah, kami bisa sampai di tempat ini karena terus-menerus menumpang beberapa orang.

    Hmm…negara ini dalam ancaman peperangan, namun orang asing seperti kami tetap boleh masuk? Aneh…



    “Mau minum?”, tawarku pada Resha.

    “Sudah, buatmu saja. Air di sini lebih mahal dari bensin…jadi tidak mungkin aku menghabiskan semuanya sendirian.”, matanya langsung berpaling ke arah jalanan di belakangku. “Hei, itu ada mobil lagi, coba kamu berhentikan.”

    “Oke.”, kulambaikan tanganku ke arah jalan. “Tuan!! Tolo—“

    Hei, mobilnya berhenti…! Dari mobil turun seorang pria, masih muda, mungkin seumuran denganku. Tingginya sedikit di bawahku dengan rambut dan mata hitam. Dia tidak berjanggut ataupun berkumis lebat seperti kebanyakan orang-orang Parthia atau Quraish. Rajin dicukur, barangkali?

    “Ya? Ada apa, orang asing?”

    “Kami ingin menumpang mobil anda…”, jawabku.

    “Kalian ingin ke mana?”

    “Anatolia.”, jawab Resha.

    “Wah, itu sih masih jauh sekali. Aku tidak mungkin mengantar kalian sampai ke sana.”

    “Kalau begitu, boleh kami minta tolong diantarkan sejauh mungkin? Ke mana saja boleh, asalkan kami bisa dengan mudah melanjutkan perjalanan dari situ.”

    “Hmm…oke, oke. Kalau itu tidak masalah. Naiklah.”

    Mobilnya biasa-biasa saja, bahkan tipe seperti ini sudah jarang ditemui di jalanan Liberion. Pria ini…bahasa Anglianya cukup baik. Jarang sekali ada orang di negara ini yang seperti dia.

    “Boleh kami tahu, sekarang kami ada di mana?”, tanyaku.

    “Sebentar lagi kita akan sampai di Persepolis, ibukota kekaisaran.”

    Ah, masuk akal. Di ibukota pasti akan banyak pilihan transportasi yang dapat kugunakan untuk ke Anatolia.

    Di sepanjang perjalanan, ada pemandangan yang janggal. Terlihat beberapa orang berseragam militer Varangia. Ada urusan apa mereka kemari…?

    “Maaf Tuan, boleh saya tahu kenapa ada beberapa orang Varangia di jalan?”

    “Oh…mereka. Ini semua karena permintaan Ayahku.”

    Eh? Ayahnya? Tunggu. Jangan-jangan…

    “Anda Darayavahush Haxamanish?! Putra mahkota, anak kaisar Kurosh Haxamanish?!”

    Aku benar-benar kaget. Penampilannya sangat sederhana, bahkan mobil yang digunakannya tidaklah mewah. Tutur katanya juga tidak arogan, berbeda dengan putra kaisar Qing yang kasar dan beringas itu. Pantas saja pelafalan bahasa Anglianya sangat baik.

    “Hahaha…kamu kaget? Yah, wajar saja, bahkan terkadang rakyatku sendiri tidak mengenaliku kalau aku sedang berjalan-jalan di luar istana. Penampilanku terlalu biasa untuk seorang putra mahkota.”

    “M-Maaf, s-saya tidak ada maksud sama sekali…”, aku langsung panik.

    “Sudah, tidak apa-apa. Dan kurasa kamu jangan berteriak-teriak terlalu keras, temanmu itu sedang tidur.”

    Kulihat Resha yang duduk di sebelah kananku tertidur pulas. Mungkin dia terlalu lelah…ya sudahlah, mungkin hari ini aku akan mencari tempat menginap.

    “Mmm…kalau begitu Tuan, anda bisa menurunkan saya dan teman saya ini di penginapan terdekat…”

    “Kalian berdua kuberi ijin untuk menginap sementara di istana. Bagaimana?”

    “E-Eh…? Kurasa itu tidak diperlukan…cukup kami menginap di penginapan saja.”

    “Kalian mau ditarik oleh tentara Varangia jika menginap di luar istana? Citra negara ini bisa runtuh kalau membiarkan orang asing diikutsertakan begitu saja dalam peperangan. Itu tidak bisa kubiarkan. Untuk kali ini, turuti perintahku, oke?”, dia tersenyum. Seketika ia mengambil ponselnya, mungkin akan menelepon ke istana.

    Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Putra mahkota yang satu ini terlalu baik. Tapi aku tidak boleh menurunkan tingkat kewaspadaanku. Ancaman bisa datang kapanpun, dimanapun. Apalagi ada benda yang harus kulindungi sampai tujuan, Constantinople.



    Begitu sampai, Resha terbangun, dan setengah terkejut begitu mengetahui kalau aku dan dia diijinkan tinggal di istana sementara waktu. Saat turun, pelayan-pelayan istana dengan sigap menunjukkan kamar yang bisa kami tempati, lalu menaruh barang kami di dalamnya. Setelah kami tahu di mana letak ruangannya, Daraya, panggilan putra mahkota, memanggil kami untuk bertemu dengan kaisar sendiri, Kurosh, di sebuah ruangan besar. Aku sendiri masih bingung dengan posisi ruangan-ruangan di sini, jadi…salah sedikit bisa-bisa aku tersesat di bangunan seluas ini.

    Kaisar Kurosh Haxamanish memiliki postur tinggi besar, lebih tinggi dariku, dan terlihat sangat jantan dengan kumis dan janggutnya itu. Para petinggi Liberion sedikit kesal padanya karena sering sekali melakukan lobbying dalam sidang internasional, jika ada saran ataupun keputusan pemerintah Liberion yang dirasa tidak menguntungkan negaranya. Sangat buka-bukaan dan tegas. Jika dia tidak ada, mungkin Liberion sudah mengacak-acak daerah ini sejak lama.

    “Ayah, ini dua orang asing yang akan menginap sementara di sini. Bagaimana, apakah Ayah mengijinkannya?”, tanya Daraya.

    “Ah…tentu saja boleh, anakku. Yah, walaupun mereka datang di saat yang kurang tepat.”, kaisar menaglihkan pandangannya padaku dan Resha. “Nama kalian? Dan…dari mana asal kalian?”

    “Namaku Daleth Reshunuel, dan ini Resha Gimmelia. Kami dari Liberion. Ada misi penting yang harus kami selesaikan, mengantarkan dokumen bersejarah ke Constantinople, Tuan.”, jawabku.

    “Di Anatolia? Itu masih jauh sekali. Untuk sementara beristirahatlah dahulu di sini. Kalau kalian sudah merasa dapat melanjutkan perjalanan, kalian boleh pergi. Ah…satu lagi, walaupun kalian sering menlihatku mengintervensi pemerintah kalian, tenanglah, aku tidak membenci satupun dari orang-orang sebangsa kalian. Hanya pemerintahnya saja.”

    Mendadak muncul seseorang dari pintu ruangan.

    “Dan itulah yang membuat anda lemah, hei kaisar!!”

    Seorang perempuan, berseragam militer Varangia, dengan sepatu boot kulit berwarna hitam. Masih muda, kurasa umurnya sedikit di bawahku. Rambutnya mirip seperti Resha, semi-long, hanya saja berwarna coklat. Matanya berwarna kehijauan, klop dengan seragam militernya itu.

    “Tidak sopan!! Valentina, keluar!!”, seru Daraya.

    “Hmmph. Aku tidak mau diperintah anak lemah sepertimu. Oh, jadi ini dua orang Liberion yang menyusup kemari? Cih…hei kaisar Kurosh!! Bagaimana bisa anda membiarkan orang seperti mereka tinggal di sini begitu saja?!”

    “Mereka tidak berbahaya, Valentina. Menurut kabar dari para pengawal, mereka tidak membawa senjata sama sekali, hanya sebuah kotak logam yang berisi dokumen bersejarah. Dan…maaf untuk kalian berdua, aku sudah memerintahkan pengawal membongkar barang-barang kalian tanpa ijin. Tapi tenang saja, aku bisa memastikan tidak akan ada yang rusak atau hilang.”

    Resha terlihat kesal melihat kelakuan perempuan itu. O-Ow…aku merasa sedikit lagi akan ada…

    “Heh ****** gurun!! Jaga mulutmu!!”, seru Resha.

    Hah? ****** gurun? Duh…aku jadi ingin tertawa…hehehe.

    “Bicara apa kamu, anak kecil?! Bagaimanapun juga setiap orang asing yang masuk ke negara ini dalam kondisi seperti sekarang tidak bisa diterima begitu saja!! Termasuk kalian!!”

    “Jadi kamu mencurigai kami sebagai penyusup?! Dasar perempuan *******!! Bicara sembarangan tanpa ada buktinya!! Kaisar sendiri sudah bilang tidak ada yang mencurigakan dari apa yang kami bawa!!”

    “Mana ada penyusup yang mau mengaku, hah?! Cih…lihat saja, akan kubuktikan kalau kalian memang orang brengsek!! Hmmph.”, dia langsung beranjak pergi.

    “Huh…orang itu…Ayah, kenapa sih dia yang harus bertugas membawa pasukan Varangia ke sini? Tidak bisakah Ayah meminta orang yang setidaknya lebih sopan?”, sahut Daraya.

    “Menurut militer Varangia, itulah orang terbaik yang mereka punya untuk saat ini…Daleth, Resha, maaf jika dia terlalu kasar. Bagaimanapun juga, negara ini sangat membutuhkan bantuan Varangia…”

    Pembicaraan beralih topik, dan kaisar Kurosh menceritakan semua yang terjadi selama beberapa bulan terakhir.

    Entah kebetulan atau bukan, tepat ketika Beth-Sheol hancur, pihak intelijen mengetahui adanya pendaratan pasukan Liberion di Eretz Adonai. Tentu saja, karena negara itu adalah sekutu kuat Liberion.

    Beberapa waktu sebelum kejadian tersebut, kaisar bercerita kalau tim arkeologi nasional menemukan sesuatu di daerah Babylon. Lebih tepatnya…sisa-sisa Tower of Babylon, ya, menara yang dibangun atas kesombongan manusia itu. Aku pernah menonton beritanya di televisi saat sisa-sisa menara itu ditemukan. Dan mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa tentara Liberion diam-diam memasukkan tentara di Eretz Adonai.

    Setelah aku dan Resha pergi dari Liberion, tepatnya ketika kami berada di Seihou, Liberion mengumumkan perang dengan Parthia. Mereka akan menginvasi Parthia dalam waktu dekat. Untuk itulah kaisar meminta bantuan Varangia, dan mereka setuju untuk membantu. Dan perempuan itu, Kolonel Valentina Kosmodemyanskaya, dialah yang memimpin pasukan Varangia pertama kali ke tempat ini.

    Hmm…mungkinkah sisa-sisa menara itu dan Resha ada hubungannya…?

    “Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan negara manapun, namun…karena kepanikanku…”, kaisar tertunduk lemas.

    “Sudahlah, Ayah. Yang jelas kita harus bersiap menghadapi perang, kapanpun itu.”, Daraya berusaha menenangkan. Tidak kusangka, seorang pemimpin yang selalu terlihat tegas di mata internasional, bisa mengalami kepanikan juga seperti ini.

    Malam harinya, aku tidak bisa tidur, entah kenapa. Kudapati Resha sudah tertidur sangat pulas di kamar. Aku jadi kasihan padanya…selama beberapa hari ini dia memang kesulitan tidur karena kami harus terus menerus mencari tumpangan. Ditambah lagi jalanan luar kota di Parthia tidak begitu baik kondisinya, membuat tidur menjadi lebih sulit. Tapi dia berubah, dia tidak lagi sering mengeluh seperti sebelumnya. Aku jadi makin kagum padanya…



    Tunggu. Suara siapa itu?

    Di salah satu balkon istana ini, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Dia…ah, ternyata si Kolonel.

    “Ada apa, hei Kolonel Valentina?”

    “Mengawasimu.”

    “Hah? Buat apa? Aku tidak akan macam-macam…bukankah sudah kubilang kalau aku dan Resha tidak akan berbuat sesuatu yang mencelakakan negara ini?!”

    “Lalu…untuk apa E.L.O.H.I.M. Project itu ada di tanganmu?! Jawab!!”

    APA?! Dia tahu nama sarung tanganku yang sebenarnya?!

    Tingkat kewaspadaanku langsung meningkat. Wajahku berubah garang, seakan ingin membunuh orang. Nada bicaraku juga berubah datar dan dingin.

    “Kamu…siapa kamu sebenarnya?”

    Dengan cepat aku mengambil posisi di belakangnya dan mengunci kedua pergelangan tangannya. Dia tidak bisa bergerak sekarang.

    “Kamu kira aku bodoh sampai-sampai ingin memberitahukan siapa diriku?”

    “Kamu…harus dimusnahkan.”

    “Ha!! HAHAHA!! Membunuhku?! Apa kamu bilang? Dengar!! Aku sudah tahu kamu tidak akan bisa membunuh orang lain lagi karena anak itu!!”

    Aku langsung tersentak dan melonggarkan kuncianku terhadapnya. Dia benar. Tapi…kenapa aku harus takut? Bukankah Dia sudah berjanji akan selalu melindungiku? Aku yakin tidak akan terjadi apapun terhadapku sekarang.

    “Sudah kuduga. Kamu tidak akan berani macam-macam, Execution Angel.”

    “Berhenti memanggilku dengan panggilan itu…”, aku langsung terduduk lemas.

    “Kamu tidak melawan sama sekali? Aneh. Padahal menurut yang data intelijen yang kudengar, walaupun tidak akan membunuh siapapun, kamu pasti akan melakukan perlawanan.”, wajahnya terlihat keheranan.

    “Tentu saja tidak, karena aku tahu kamu juga tidak akan melukaiku sedikitpun sekarang.”, aku kembali berdiri dan memandang ke luar.

    “Huh, tidak kusangka. Ternyata pengguna alat itu, E.L.O.H.I.M. Project, lebih baik dari yang kukira.”

    “Aku sudah banyak berubah. Lewat perjalanan ini, aku mempelajari banyak hal. Jadi tenanglah…aku benar-benar tidak akan membahayakan kalian, bahkan aku tidak ada hubungannya sama sekali dengan tentara Liberion di Eretz Adonai. Aku jujur. Silakan bunuh aku jika aku berbohong. Resha juga, dia tidak ada hubungannya sama sekali dengan semua ini.”

    “Oke, aku pegang kata-katamu itu, setidaknya untuk kali ini. Aku hanya heran, menurut data intelijen, pasukan Liberion mulai bergerak setelah kejadian menghebohkan di Liberion itu. Dan…besar kemungkinan itu ada hubungannya dengan temanmu. Ditambah lagi, kalian berdua masuk ke negara ini di saat genting seperti sekarang. Untuk itulah aku sempat curiga dengan kalian.”

    “Aku juga berpikir sama sepertimu mengenai Resha, dan aku pasti akan menemukan jawabannya suatu hari nanti. Mungkin…itulah tugasku dalam hidup sekarang ini.”

    “Hahaha!! Kamu terlalu melankolis, pak profesor!!”, sekarang dia malah menepuk-nepuk pundakku sambil tertawa. Hmm…kenapa ya, cara tertawanya itu…déjà vu?

    Sepanjang malam, aku malah menceritakan seluruh kehidupanku pada Valentina. Jujur saja, selama aku melakukan perjalanan dengan Resha, aku belum pernah bercerita sedetail ini padanya. Tapi…sekarang aku malah bercerita banyak dengan orang di sebelahku ini, seseorang yang baru saja kutemui tadi siang. Walaupun sedikit kasar, dia tidak seburuk yang kukira.

    “Kisah hidup yang aneh…”

    “Ahaha…aneh ya? Yah, menurut sebagian orang mungkin memang tidak wajar.”

    “Setidaknya kamu merasakan kasih dari keluarga sendiri dalam waktu lama…sedangkan aku, tidak. Ayahku pergi dari rumah, ibuku meninggal sesaat sebelum aku memutuskan untuk masuk militer, dan kakek dari pihak ibuku menghilang sejak lama. Menyedihkan…”

    “Oh…maaf. Aku tidak tahu hal itu…”

    “Cih, tidak usah sok peduli begitu. Sekarang aku sudah merasa nyaman dengan hidupku. Yah, setidaknya banyak tantangannya, walau jelas bisa membahayakan nyawa sendiri. Apalagi…jika benar-benar terjadi perang nanti.”

    “Peperangan…menurutmu, apa hal itu bisa dicegah?”

    “Sayangnya, tidak. Pihak Liberion sulit untuk diajak kompromi. Yah, kamu tahu sendiri kan? Negara sok kuat, mengaku superpower, padahal sebentar lagi juga akan jatuh.”

    “Untuk itulah Liberion menghalalkan segala cara untuk memantapkan pengaruhnya di dunia. Salah satunya, dengan alat yang kugunakan itu. Untung saja aku sempat bertindak sebelum jatuh ke tangan yang salah.”

    “Hahaha…!! Baguslah, aku jadi makin yakin kalau kamu tidak sebusuk orang-orang di negaramu. Ah iya, seandainya, asumsikan saja yang terburuk, kalian terjebak dalam perang ini dan tidak bisa keluar sebelum pertempuran selesai, apa yang akan kalian lakukan?”

    “Aku akan tetap di sini. Aku tidak mau terus-menerus lari. Tentu saja, aku akan berusaha supaya tidak mati sebelum semuanya selesai.”

    “Jika melanggar janjimu sendiri, akan kutembak kamu di tempat, oke?”

    “Coba saja kalau bisa. Kamu tidak tahu ya? Perisai energi yang dibuat sarung tanganku itu bahkan bisa menahan misil Harpoon.”

    “Oh ya? Bagaimana kalau…”, dia memegang tangan kananku. “Begini.”

    *ZZZTTT~ AW!! Sengatan listrik?! Memang tidak berbahaya, namun aku benar-benar kaget dan refleks menarik tangan kananku itu.

    “HEI?! Apa yang kamu lakukan?! Apa yang ada di tanganmu?!”

    “Aku tidak membawa apa-apa kok. Lihat saja tanganku.”

    Benar. Dia tidak membawa apapun. Berarti…

    “Kamu…bisa mengontrol medan elektromagnetik?!”

    “Yap, tepat sekali. Kamu tahu kenapa aku yang dikirim oleh militer Varangia ke sini? Itu karena mereka yakin kalau aku bisa menghabisi seluruh tentara Liberion itu dalam waktu singkat. Yang tadi itu baru sebagian kecil, sangaaaaattt kecil, dari kekuatanku.”

    “Jangan bilang kalau kamu bisa mendatangkan petir dari langit atau semacamnya…”

    “Tentu saja bisa!! Itu hal mudah!! Aku hanya perlu membuat supaya muatan awan-awan di atasku menjadi jauh lebih negatif dibanding target, dan…ZZZTTT!!”

    Bah…Electromagnetic Girl. Kuharap dia tidak segila satu-orang-Varangia-lain-yang-pernah-kukenal.

    “Hmm…karena kamu sudah berjanji tidak akan kabur, mungkin aku bisa memberitahukan hal ini padamu. Sebenarnya, aku pernah mendapat informasi kalau di jajaran pemerintah Parthia sendiri ada seorang penyusup. Aku masih tidak tahu siapa orangnya, namun intelijen melacak kalau ada data-data kekuatan militer negara ini yang dikirim ke luar Parthia…”

    “Lalu…?”

    “Aku mengharapkan bantuanmu, dasar bodoh!! Aku tahu kamu punya kecerdasan yang lumayan!! Dan jangan memasang wajah pura-pura bodoh seperti itu!!”

    “Ahaha…maaf, maaf. Kalau begitu, apa saja yang sudah kamu dapatkan mengenai orang itu?”

    “Nah, itu dia masalahnya. Intelijen hanya mengendus ada pengiriman data keluar Parthia, dan sulit sekali dilacak. Sepertinya dia menggunakan transmisi khusus atau jasa pengiriman pribadi, tidak melalui jalur publik seperti internet atau semacamnya.”

    “Hmm, berarti orang ini cukup cerdas. Tapi jika benar orang itu menggunakan saluran transmisi khusus, apa kekuatanmu itu tidak bisa melacaknya?”

    “Eh…? Maksudmu?”

    “Ck…tidak kusangka ternyata ada tentara sebodoh dirimu.”

    “Berhenti meledekku dan cepat katakan apa yang ada di pikiranmu!!”

    “Iya, iya. Begini. Kamu bisa mengendalikan medan elektromagnetik kan? Aku yakin seharusnya kamu juga bisa tahu kalau ada frekuensi janggal yang ditransmisikan lewat udara. Interferensi elektromagnetik. Jika orang itu menggunakan frekuensi yang tidak umum digunakan dalam komunikasi, kamu pasti bisa merasakannya. Kamu sendiri juga bilang kalau setruman kecil tadi hanyalah sebagian kecil, kecil sekali, dari kekuatanmu. Aku yakin kamu bisa memancarkan gelombang elektromagnetik seluas negara ini.”

    “Bagaimana seandainya jika dia meminta tolong pada seseorang atau semacamnya?”

    “Sudah pasti akan diketahui dengan cepat!! Apakah militer kalian setolol itu dalam mengawasi perbatasan? Bukankah kalian bisa menggunakan satelit atau semacamnya untuk melihat pergerakan orang keluar masuk perbatasan?”

    “Ah…kamu benar. As expected from the Head of E.L.O.H.I.M. Project. Aku akan mencobanya mulai besok. Terima kasih untuk sarannya.”

    Paginya, Valentina mencoba apa yang kusarankan itu. Sambil beraktivitas seperti biasa, dari tubuhnya terpancar gelombang elektromagnetik berfrekuensi sama seperti gelombang radio yang umum digunakan dalam komunikasi militer. Dia akan terus menggeser-geser frekuensinya jika dirasa tidak ada yang aneh di satu frekuensi tertentu. Tentu saja, tidak ada yang bisa merasakan hal itu. Hanya sarung tanganku yang memungkinkan untuk melacak adanya perubahan tingkatan energi dalam atom-atom di udara, yang disebabkan oleh gelombang yang dipancarkan Valentina. Kuharap ini berhasil.

    “Bagaimana, ada yang aneh?”, tanyaku saat berpapasan dengannya di istana.

    “Hmm…sejak jam setengah 6 pagi tadi belum ada yang aneh. Sudah 2 jam lebih dan belum ada yang mencurigakan. Bahkan aku sudah mencoba mencari hingga frekuensi gelombang mikro.”

    Mendadak, Resha muncul. Dia terlihat…panik? Bersamaan dengan itu, ada seorang tentara Varangia juga yang berlari ke arah Valentina. Keduanya memberitahu hal yang sama:

    “Tentara Liberion sudah memasuki perbatasan!!”

    Gawat. Penyusupnya belum diketahui, tentara Liberion sudah mulai menyerang…

    “Bagaimana kamu juga tahu hal itu?!”, tanya Valentina pada Resha.

    “Aku sempat main-main dengan para tentara di luar sebentar, dan tiba-tiba ada kabar seperti itu…jadinya yah…begitu deh.”

    “Kamu tahu mereka bukan orang-orang yang bisa kamu ajak bermain seenaknya?!”

    Tentara yang baru masuk itu menyelak pembicaraan, memberitahu Valentina kalau ternyata Resha sebenarnya banyak membantu, walau hanya sekitar 2 jam. Mulai dari latihan fisik, sampai membahas tentang beberapa taktik militer. Aku tahu Resha cukup cerdas, tapi…sampai bisa ikut membicarakan taktik militer…ini terlalu luar biasa.

    “Aaaahh!! Oke, oke!! Kalian berdua, ikut ke garis depan!!”, diikuti dengan respon terbengong-bengong dariku dan Resha.

    “Tunggu apa lagi?! Ini PE.RIN.TAH!! Daleth, ambil segera sarung tangamu itu!! Resha, tetap berada dengan bagian komunikasi!! Aku akan memberitahukan hal ini segera pada kaisar, lalu kita berangkat!!”

    “S-Siap komandan!!”, entah mengapa kami berdua refleks mengambil posisi tegap dan memberi hormat.

    Dengan kata lain, kami berdua…ikut berperang?! Ini gila!!



    Spoiler untuk Chapter 15 :


    ================================================== ===
    Chapter 15: Electric, Magnetic, Lunatic ~ Protecting an Empire (Part 2)
    ================================================== ===


    Di gerbang istana, ada yang sudah menunggu. Tebak siapa? Darayavahush.

    “Hei, hei. Buru-buru sekali kalian. Ada apa?”

    “Apa kamu gila? Negaramu diserang dan kamu santai-santai saja di sini?!”, seru Valentina.

    “Bukankah sudah ada kalian? Kuserahkan semua urusannya pada kalian, hei tentara Varangia!! Dan kalian berdua…kalian ingin terlibat dalam perang ini?”

    “Saya tidak akan lari. Kurasa ini adalah salah satu rintangan yang harus kami berdua lalui sebelum sampai di Anatolia.”, jawabku.

    “Baiklah, terserah kalian saja. Yang jelas, aku tidak akan ikut campur masalah ini.”, dia langsung pergi begitu saja ke dalam istana.



    Agar kami bisa sampai lebih cepat, sudah ada helikopter yang menunggu di luar kota Persepolis. Tipenya…aku tidak tahu. Sepertinya asli buatan Varangia. Siang harinya, kami sudah sampai di sungai Tigris. Helikopter ini kembali menyentuh tanah di pangkalan militer di dekat sungai tersebut, kira” 150 kilometer sebelah timur laut Teluk Parthia, yang tersambung dengan Samudera Indicus. Resha langsung menuju ke stasiun komunikasi di pangkalan tersebut.

    “Test, test. 1. 2. 3. Kalian bisa mendengarku?”, Resha bicara lewat mikrofon, dan terdengar melalui perangkat headset di telingaku.

    “Ya, semuanya jelas, Resha. Ingat!! Selalu awasi pergerakan musuh dari sana, mengerti?!”, perintah Valentina.

    “Iya, iya, aku juga tahu. Jangan anggap remeh aku ya. Begini-begini aku pernah mengoperasikan sistem navigasi salah satu kapal besar yang negara kalian miliki…”

    “Eh?”, Valentina terlihat terkejut. Duh, Resha terlalu banyak omongggg!!

    “Sudah, jangan dipikirkan. Dia sedang meracau…”, sahutku.

    “Heh!! Lolicon sialan!! Bukankah itu be---“

    “Jangan berisik!! Konsentrasilah saja di sana!!”, teriakku.

    “Kalian berdua tenanglah!! Oke, Resha, sekarang coba kamu mulai aktifkan perangkat radarnya, atur radiusnya hingga 220 kilometer. Jika tidak mengerti, coba tanyakan dengan orang-orang di ruangan itu.”

    “Oke…sebentar ya.”, beberapa belas detik transmisi menjadi sunyi. “Yap, sudah. Tunggu…yang bulatan-bulatan merah ini apa?”

    “Bulatan merah? Sebanyak apa?”

    “Satu…dua…tiga…empat…uhhh, banyak sekali!! Terlalu banyak!! Bergeraknya sih ke arah sini…”

    “Berarti mereka mengirimkan persenjataan berat dalam jumlah besar untuk menyerang. Hmm…baiklah, tetap siaga di sana, beritahu terus apa yang terjadi, mengerti?”

    Sebentar. Bulatan merah? Dalam jumlah besar? Ini tidak seperti taktik militer Liberion…ada apa ini sebenarnya?

    “Daleth, kamu bisa terbang?”, tanya Valentina.

    “Bisa. Kenapa memangnya?”

    “Tentu saja agar bisa sampai lebih cepat, dasar *****!! Mau naik helikopter lagi? Bisa-bisa kita habis ditembaki!!”

    “Hei kalian!! Cepatlah!! Bulatan-bulatan merah itu bergeraknya cepat sekali!! Baru beberapa belas detik dan pergerakan mereka sudah sangat signifikan!!”

    Aneh. Ini aneh!! F-22 Raptor kah? F-117 Nighthawk kah? Bukankah keduanya tidak bisa terdeteksi radar karena memiliki stealth technology? Atau…varian F-18 Hornet? Tidak mungkin mereka mengirimkan terlalu banyak pesawat tempur dalam sekali serang!!



    Dan ini dia, aksi dari Electromagnetic Girl. Dengan kekuatannya, dia membuat tanah di bawahnya terinduksi dengan kuat oleh medan magnet. Tidak hanya itu, jalur di depannya juga diinduksi, namun berganti-gantian dengan kutub magnet yang berlawanan. Utara, selatan, utara, selatan, begitu seterusnya setiap jarak tertentu. Di sekeliling tubuhnya, dia menciptakan medan magnet yang berputar, namun selalu memiliki kutub yang berlawanan dengan medan magnet yang terbentuk di tanah. Karena itulah, dia bisa terbang tanpa merasakan gesekan dengan tanah. Ini mirip seperti cara kerja motor linear.

    Selagi terbang…

    “Valentina, sepertinya yang menuju ke sini bukan persenjataan biasa.”

    “Eh? Maksudmu?”

    “Bersiaplah untuk yang terburuk...dan perintahkan semua pasukan konvensional untuk mundur. Aku berani jamin, mereka akan habis dalam waktu singkat. Aku khawatir ini adalah…”

    “Kalau memang itu saranmu, baiklah, akan kuminta mereka mundur sampai ke pangkalan.”, seluruh infantri dan artileri diperintahkan kembali.

    Sekarang, di depan kami membentang sungai Eufrat. Menurut data radar dari Resha, mereka akan sampai dalam waktu tidak lama lagi. Di dekat sini juga ada pos militer, menurut Valentina. Namun…

    “ADA APA INI?! Kenapa…kenapa tempat ini hancur?!”, dia terlihat kaget begitu kembali menginjakkan kaki di tanah dekat pos militer yang dimaksud.

    Yang terlihat di sini hanyalah kehancuran. Pos militer ini hancur total, seluruh bangunannya runtuh, ditambah lagi…mayat-mayat di sini, yang terlihat masih segar, mati dengan cara yang tidak wajar. Ada yang mati karena sayatan yang terlalu besar untuk ukuran sebuah bayonet, ada juga yang mati karena tembakan peluru yang ukurannya terlalu besar untuk sebuah senapan mesin biasa. Beberapa orang kukenali sebagai orang-orang yang memberiku dan Resha tumpangan ke negara ini. Mungkin setelah menurunkan kami, mereka bergabung dengan satu unit, lalu diperintahkan menuju ke pos ini. Semoga kebaikan mereka dapat membawa mereka ke surga…

    Terlalu cepat. Terlalu cepat!! Unit-unit itu baru saja bergerak tadi pagi dan sudah berhasil menghancurkan pos militer ini, yang ratusan kilometer jauhnya dari perbatasan dengan Eretz Adonai?! Mungkinkah yang digunakan Liberion adalah…

    “Mereka semua…mati dengan cara yang aneh.”, sahutku.

    “K-Kamu benar. AAAAHHH!!! BRENGSEEEKKK!!”, dia terlihat depresi.

    “Valentina, tenangkan dirimu!! Mereka sepertinya mati belum lama…bisa jadi mereka…”

    Transmisi masuk.

    “Daleth!! Valentina!! Musuh terdeteksi di sekitar kalian!! Berhati-hatilah!!”

    Dan…benar dugaanku. Dari dalam pasir di sekitar pos yang hancur itu, keluar sesuatu. Robot.

    “Oi Daleth…makhluk-makhluk apa itu…?!”

    Ukuran robot-robot ini cukup besar, lebih besar dari manusia biasa. Menurut pengamatanku, tingginya sekitar 2 meter dari ujung kepala hungga ujung kaki, dan panjang hampir 3,5 meter dari depan hingga pangkal ekor. Robot-robot itu memiliki tubuh dan kaki seperti lembu, kepala seperti manusia, dan sepasang sayap seperti sayap burung. Tidak hanya itu, di ekor mereka terdapat gatling cannon, siap menembak. Yang muncul di sini ada 30 unit.

    Shedu Project…”, jawabku.

    “Proyek ******* apalagi itu?!”

    “Ya ini, yang ada di depanmu sekarang!! AWAAAASSSS!!”

    Ketigapuluh unit yang berada di hadapan kami ini menembakkan gatling cannon nya secara bersamaan, sehingga aku mengaktifkan Energy Barrier seketika itu juga. Peluru-peluru yang ditembakkan memang lebih besar dari peluru biasa. Berarti benar kalau yang menghancurkan pos militer di sini adalah robot-robot ini.

    “Oi Valentina, kamu tidak apa-apa?!”

    “Ha!! Tenanglah, selama peluru-peluru itu terbuat dari logam, aku bisa menyingkirkannya dengan kekuatanku!!”

    “Oke…kalau begitu pancing mereka ke arah yang berlawanan denganku!! Akan kutembaki mereka satu persatu!!”

    “Beres!!”

    Valentina berlari sedikit menjauh, dan sebagian robot mengikutinya. Namun, di depanku masih ada 7 unit. Hanya sedikit. Kalau begitu akan kuhancurkan dengan cepat.

    Atomic Vibration!!”, kupukul tanah di bawahku, menybabkan getaran di tanah tempat robot-robot itu berdiri. Lima terkena batuan-batuan besar yang terhempas akibat Atomic Vibration, sementara yang dua berhasil menghindar dengan melayang. Selanjutnya…

    Photon Blaster. Charge up!!”

    Tidak mungkin men-charge Photon Blaster dalam waktu lama, karena mereka terus menembak. Aku sendiri tidak bisa menggunakan Energy Barrier sambil menembakkan Photon Blaster bersamaan. Baiklah, cukup…dan…*WHOOOSSH~ Aku berhasil mengenai bagian kepala mereka, yang berisi pusat pengontrol. Sebelumnya, aku pernah melihat blueprint robot-robot ini, Shedu Project, yang sebenarnya adalah opsi pertama yang dipilih para petinggi militer Liberion. Namun, karena dirasa terlalu menguras biaya, mereka mengalihkan perhatiannya pada E.L.O.H.I.M. Project yang kupimpin. Walaupun kenyataannya...ada satu proyek lagi di samping Shedu Project

    “Oi, kenapa lama sekali!! Aku berhasil menjatuhkan 10 unit lebih dulu nih!!”, teriaknya dari kejauhan. Astaga…sudah 10 unit?

    “Cih…sombong sekali. Photon Blaster. Charge up!!”

    Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam. Lima…

    “Hoi!! Kamu ingin menembakku juga?!”

    Empat. Tiga…

    “Sudah jangan banyak omong!! Cepat menyingkir dari situ!!”

    Dua. Satu. *BHUMMMMMMMM~~ Valentina sempat menghindar sepersekian detik sebelum Photon Blaster ku menghancurkan sisa 13 unit yang mengelilinginya.

    “Dasar gila!! Bagaimana jika aku terbunuh?!”, gerutunya.

    “Masa bodo…lagipula aku tahu kamu pasti bisa menghindar. Hehehe.”

    “Wah kurang ajar juga kamu…”

    Sebelum dia memakiku lebih jauh, ada transmisi lagi masuk.

    “Kalian berdua!! Yang tadi…ternyata hanya pancingan saja!! Lebih banyak unit sudah menyebrangi sungai Eufrat selagi kalian bertarung!!”

    “Siaaaaallll!! Resha, di mana posisi mereka sekarang?!”, tanya Valentina.

    “Hanya 7 kilometer arah utara dari tempat kalian. Cepat habisi mereka sebelum sampai ke sini, lalu masuk lebih jauh!!”

    “Roger. Ah iya, bisa aku bicara dengan salah seorang tentara di sana? Siapapun itu terserah, aku akan memerintahkan mereka untuk siaga penuh, siapa tahu robot-robot ******* itu berhasil sampai ke sana.”, jawabnya.

    “Robot? Jadi semua bulatan merah di radar ini…robot?!”

    “Yah, kamu tahu sendiri, Liberion sedang giat-giatnya mencari alternatif persenjataan baru…”, sahutku melalui mikrofon di headset.



    Setelah Valentina memerintahkan orang-orang di pangkalan untuk siaga, kami langsung terbang dengan kecepatan penuh, dan berhasil menyusul robot-robot tersebut. Jumlahnya…terlalu banyak. Astaga, bagaimana ini?!

    “Heh, ada apa? Takut?”, sahut Valentina.

    “Sedikit. Aku hanya belum pernah melihat robot-robot dalam jumlah banyak seperti ini. Yang jelas aku heran, kapan orang-orang Liberion membuat robot sebanyak ini…?”

    “Tidak perlu memikirkan hal itu sekarang. Yang jelas, kita harus mencegahnya bergerak lebih jauh.”

    “Kamu benar…”, aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Oh iya, apa kamu kepanasan?”

    “Ck…jangan main-main, Daleth!!”

    “Aku serius!!”

    “Baiklah…udaranya memang panas. Seluruh Parthia memang didominasi iklim kering.”

    Aku langsung terbang ke udara dengan Plasma Directing, lalu…

    Energy Absorber. Cryogenic Shift!!”, kurentangkan kedua tanganku ke depan, ke arah robot-robot itu.

    “H-Hei..apa yang kamu laku--- astaga…!!”

    Dengan Energy Absorber, aku menyerap udara panas di sekitar, sehingga terbentuk balok-balok es besar di udara. Tentu saja, langsung mengenai barisan terdepan dari robot-robot itu. Selagi mereka belum maju lebih jauh, kutembaki mereka dengan Photon Blaster.

    “Hoi!! Jangan habisi mereka semua sendirian!! Sisakan untukku!!”

    Dengan kekuatannya, Valentina membuat pasir-pasir di sekitarnya, yang kaya akan mineral logam, menyatu dan menjadi keras. Partikel-partikel pasir itu terus membesar, lalu dilemparkan ke arah robot-robot tersebut.

    “Kamu kira ini jaman batu?! Kenapa tidak sambar saja mereka, hah?!”, teriakku karena tidak sabaran.

    “Kalau begitu jangan terus terbang di dekat robot-robot itu, dasar bodoh!! Kamu mau ikut gosong?!”

    Aku mundur hingga ke belakang Valentina. Perlahan, dia menarik nafas, memejamkan mata. Sedang berkonsentrasi barangkali. Tak lama, dari langit terdengar suara gemuruh. Ah, dia pasti sedang memisahkan muatan positif dan negatif di langit. Tak lama...*JEGHERRR!!~ Sebuah sambaran menyambar di tengah-tengah kumpulan robot itu. Tidak, tidak hanya sekali!! Dua…tiga…empat…lima…enam…tujuh sambaran!!

    “Coba saja kalau kamu tidak mundur. Mungkin kamu sudah jadi daging panggang…hahaha…”

    “Iya, iya. Tidak perlu sok kuat begitu ah. Tapi sepertinya masih banyak yang harus dihabisi…biar kuhubungi Resha.”, kunyalakan transmisi.

    “Ya, ada apa?”

    “Masih banyak tidak?”, tanyaku.

    “Masih Daleth, masih. Kalian bahkan belum menghancurkan setengahnya!!”

    Apa…? Belum setenganya?! Ini gila. Gila!! Apa aku harus bertarung sampai mati agar semuanya hancur?!

    Valentina menarik nafas, wajahnya berubah serius.

    “Daleth, siap menghadapi apapun yang akan terjadi?”

    “Eh…? Maksudmu?”

    “Ada banyak nyawa yang menjadi tanggung jawab kita sekarang. Lebih jauh lagi mereka maju, maka…”

    “Baiklah, aku mengerti.”, aku menepuk bahu kirinya. “Bukankah aku sudah berjanji tidak akan mundur?”



    Robot-robot itu semakin mendekat ke arah kami berdua. Jumlah ini terlalu banyak, mungkin tidak akan bisa dihadapi dalam waktu singkat. Aku tahu sarung tangan ini punya kekuatan untuk menghadapi semuanya. Namun…tidak dengan tubuhku. Memanipulasi energi sama saja dengan memberikan beban tambahan pada tubuhku, yang jika dilakukan terus menerus, apalagi dengan Overdrive System yang bisa jadi harus kugunakan sekarang…akan membuatku…

    “Resha, jika aku tidak kembali, tetap antarkan kotak itu ke Constantinople…”

    “Eh? Daleth!! Apa maksudmu?! Hei!! Ada a---“, kumatikan transmisi.

    “Huh, jangan sok pahlawan deh…kamu kira ini seperti di filim-film box office Liberion?”, sahut Valentina. “Ya sudah, kulihat sepertinya kamu sudah siap. Bisa kita mulai?”

    “Tentu. Tapi sebelumnya, dengarkan rencanaku ini. Coba pancarkan frekuensi antara 3 sampai 300 Terrahertz selagi bertarung, namun sekali-sekali saja agar tidak menyebabkan ionisasi berlebih di udara.”

    “Untuk apa?”

    “Mencari penyusup itu. Andaikata, asumsikan saja yang terburuk, misalnya nyawa kita tidak selamat, penyusupnya akan tetap tertangkap.”

    “Dan kenapa harus frekuensi tersebut? Bukankah itu sudah masuk rentang frekuensi inframerah?”

    “Ya, karena dia menggunakan transmisi inframerah. Itulah mengapa kamu tidak bisa menemukan keanehan sewaktu memancarkan frekuensi radio dan gelombang mikro biasa. Pengembangan komunikasi inframerah itu mulai digunakan militer sejak 3 tahun lalu, agar tidak mudah dilacak musuh.”

    “Huh…dasar orang pintar. Baiklah, akan kucoba. Lalu, bagaimana orang itu akan bisa ditangkap?”

    “Mudah saja. Interferensi gelombang inframerah yang kamu pancarkan akan mengacaukan sinyal dari pemancarnya, menyebabkan perangkatnya akan mengalami overheating yang hebat karena energinya jauh di atas gelombang radio dan mikro yang cukup untuk membakar kulit. Aku yakin, dia pasti menggunakan perangkat komunikasinya itu sekarang, untuk memberitahu pergerakan kita pada pihak Liberion. Otomatis, tangan penggunanya akan mengalami luka bakar sewaktu menggunakannya. Dan…”

    “Dengan memeriksa mereka satu per satu, pelakunya akan diketahui!! Ide bagus!! Aku hanya perlu memeriksa orang-orang yang dicurigai intelijen saja!! Hahaha…!! Ternyata kamu memang berguna, pak profesor!!.”

    “Hmmph, kamu terlalu meremehkanku. Yang jelas, sekarang…”, robot-robot itu sudah berada kurang dari 20 meter di depan kami.

    Kuaktifkan Overdrive System, lalu menghajar robot-robot itu secara bergantian dengan Photon Blaster ataupun Atomic Vibration. Valentina juga terlihat menyerang mereka dengan sambaran listrik, atau menginduksi robot-robot itu dengan medan magnet yang kuat agar mereka rusak.



    Selama lebih dari setengah jam, kami terus menghajar robot-robot itu, tanpa henti. Bayangkan, dua orang melawan…ah, aku sudah tidak sanggup menghitungnya. Yang jelas, seingatku, yang sudah kuhancurkan sekitar 600 unit, itupun 10 menit yang lalu. Valentina mungkin menghancurkan dalam jumlah yang tidak jauh berbeda. Tubuhku…mulai kelelahan. Kakiku benar-benar sakit, ditambah bagian pergelangan tangan dan bahuku terasa seperti ditusuk-tusuk. Dadaku juga…seperti ditimpa beban yang berat, nafasku mulai kacau. Kondisi Valentina juga…sepertinya cukup berantakan. Aku melihatnya batuk mengeluarkan darah dua kali.

    “H-Habis?”, tanyaku.

    “S-Sepertinya…sudah.”, jawabnya lemas.

    “Berapa yang kamu hancurkan?”, aku terduduk lemas.

    “800, mungkin. Kamu sendiri…?”, sama denganku, dia terduduk lemas, dan bersandar di punggungku.

    “Sial…sepertinya aku kalah. 15 menit yang lalu kalau tidak salah sekitar 600-an unit. Mungkin hanya bertambah 100…”

    “Hahaha…kamu kalah ya?”, dia kembali batuk setelahnya.

    “Oi, oi…sudah, santai saja. Mereka sudah habis. Istirahatlah sejenak sambil menunggu pertolongan, atau mungkin…musuh berikutnya.”

    “M-Masih ada lagi? Oh tidak…”

    “Kamu tahu? Shedu Project bisa diibaratkan sebagai pesawat tempur milik angkatan laut.”

    “Stop. Jangan bilang kalau akan masih ada ‘kapal induk’nya…?”

    Leviathan Project. Itu ‘kapal induk’nya. Menurut yang apa yang kuingat, panjangnya 10 kali lipat dari robot-robot kecil tadi.”

    “Hah? Kecil? Kamu gila?! Itu sudah lebih besar dariku maupun dirimu!!”

    “Ahaha…yah, berharap saja kali ini Liberion tidak menurunkan Leviathan Project. Kalau iya…habislah---“

    Panjang umur. Baru saja dibicarakan, robot itu, Leviathan Project, langsung muncul. Potongan-potongan baja setebal 30 sentimeter, ditambah elemen-elemen semikonduktor, dirakit menjadi sesosok ular besar sepanjang 30 meter. Sekarang dia berada dalam posisi berdiri, seperti ular kobra. Persenjataannya setahuku lebih lengkap dibanding Shedu Project. Kalau tidak salah, yang ini dilengkapi banyak misil dan penembak napalm dari mulutnya.

    “Hei, kamu tidak lupa memancarkan gelombang inframerah kan?”

    “Sejak tadi aku sudah melakukannya, dasar bawel. Tinggal perlu memeriksanya saja nanti. Jadi…sebaiknya aku tidak mati kali ini.”

    “Kamu bisa berdiri?”, kurangkul dia di sisi kiriku selagi dia berusaha berdiri.

    “Hmmph. Ini bukan apa-apa. Selama nafas masih keluar masuk paru-parumu, tidak boleh ada kata menyerah!!”

    “Kamu benar…tapi kata-katamu itu sepertinya pernah kudengar…kapan ya?”

    “Ah, kamu ini, selalu memikirkan yang tidak penting!! Lihat, ular besi itu makin mendekaaaaatttt!!”

    Dari mulutnya tersembur cairan napalm yang terbakar, tepat mengarah ke kami berdua. Untunglah kami sempat menghindar ke arah yang berlawanan.

    “Dasar ular busuk…”, lagi-lagi terdengar gemuruh di langit setelah Valentina menggerutu. Yak, bersiap untuk sambaran!!

    *BLEGHEERRR!!~ Satu sambaran tepat mengenai robot itu. Tapi…sayang, tidak berefek apa-apa. Kurasa di balik tubuh logamnya itu sudah dipasang isolator untuk menghindari sambaran petir dari luar. Baiklah, tapi apa dia bisa menahan yang satu ini…?

    Photon Blaster. Gamma Ray shift. Charge up!!”, Overdrive System ku masih aktif.

    “Oi, Daleth!! Jangan nekat!! Bukankah sistem itu hanya akan memperburuk kondisi tubuhmu?!”

    Aku tidak menghiraukan kata-katanya. Jika aku harus mati, maka matilah. Aku sudah tidak takut lagi menghadapi kematian. Resha, yang seharusnya dihukum mati, mampu menghadapinya dengan tegar. Kenapa aku tidak bisa seperti itu? Ditambah lagi, aku mati karena melindungi sesuatu yang besar. Negara ini, kekaisaran Parthia. Nyawa 70 juta penduduk kekaisaran Parthia bergantung padaku dan Valentina saat ini.

    “Matilah kau ular brengseeeeeeeekkkk!!!”, teriakku ketika Photon Blaster ditembakkan. Tentu saja kena, karena setahuku robot itu cukup lambat, tidak mungkin menghindar.

    Bagus!! Robot itu kena!! Eh? Tunggu…tidak ada goresan satupun di luarnya?! Bukankah hanya lapisan baja yang biasa ada di tank yang melapisi bagian luar robot itu?! Argh…yang ini pasti sudah dimodifikasi!!

    “Tidak terjadi apa-apa…hei, Daleth!! Tembakanmu kurang kuat!!”

    “Mau kuat bagaimana lagi hah?! Lapisan luarnya sudah dimodifikasi, bahkan Photon Blaster dengan frekuensi sinar gamma tidak mampu menembusnya!! Bagian luarnya mampu menahan spektrum gelombang elektromagnetik dengan energi terkuat…”

    “Jadi…kita mati?”

    “Mungkin? Tapi setidaknya buatlah agar kematian kita tidak sia-sia!!”

    “Hahaha…!! Oke!! Akan kubuat robot itu masuk ke pembuangan besi tua!!”

    Belum sempat Valentina melancarkan serangan, robot ular itu menembakkan misil dari sisi-sisi tubuhnya. Aku tidak kuat lagi membuat Energy Barrier, sehingga aku hanya menghindar sebisaku. Sesekali aku berlindung di balik sisa-sisa robot Shedu Project yang hancur agar tidak terkena serangan langsung.



    Transmisi masuk…? Ah…Resha pasti khawatir. Begitu kunyalakan, suara Resha terdengar panik, dia menangis.

    “Dasar *****!! Beraninya kamu membuatku khawatir seperti ini!!”

    “Ahaha…m-maaf…”, aku berusaha menahan sakit. “Kondisinya makin buruk saja di sini. Ada masalah apa?”

    “Kamu masih bisa tenang begitu, hah?! Daleth …aku sudah kelewat panik!! Ini, ada transmisi masuk untuk kalian berdua!! Untunglah…thanks God…”

    Aku dan Valentina saling bertatapan, kebingungan. Transmisi dari siapa…?

    Tiba-tiba…*BHUMMMM!!!~ Ada yang menembaki Leviathan Project dengan meriam yang cukup besar. Di headset, ada suara orang lain, bukan suara Resha.

    “Pasang perisai pelindung!! Sekarang!!”, suara ini…

    “Igor Gvozdev?! Beruang tua??!!”, seruku.

    “Kakek?! Ini benar kakek Igor?!”, Valentina berubah ceria.

    “Ya, ini aku, kakekmu!! Kalian berdua, cepat pasang perisai berlindung!! Jangan banyak tanya lagi!!”, setelah itu, aku mendengar orang tua gila itu berteriak, mungkin ke orang-orang di belakangnya.

    “A-Aku sudah tidak kuat membuat Energy Barrier…”

    “Sudah, biar aku saja.”, Valentina memasang medan magnet yang kuat di sekitarku dan dirinya.

    Dan kapal besar itu, yang dihidupkan kembali olehku, Resha, dan orang tua itu, muncul dari sebelah kanan si ular logam. Rentetan tembakan meriam terus menghujani Leviathan Project. Namun tetap saja, tidak tergores sama sekali.

    “Valentina…”

    “Ya…?”

    “Kenapa kamu tidak bilang kalau dia itu kakekmu, hah??!!”, teriakku. Pantas saja cara tertawa mereka berdua mirip sekali…

    “Ehehe…maaf, sejujurnya aku belum pernah bertemu dengannya sejak dia kembali membawa Arkhangelsk Mikhail.”

    Arkh…apa?”

    “Dalam bahasamu, Archangel Michael. Kapal besar itu lho…”

    “Jadi itu nama kapalnya…dia tidak pernah bilang sama sekali padaku maupun Resha.”

    “Lupa, barangkali? Dia kan sudah tua.”

    “Lalu, bagaimana kamu bisa tahu kalau dia itu kakekmu?”

    “Dari cerita ibuku. Aku sebenarnya tahu kalau dia kembali membawa kapal besar itu, namun aku tidak sempat bertemu dengannya karena aku harus ke tempat ini atas permintaan kaisar Kurosh.”

    “Cih…ular besi itu keras sekali. Oi, anak muda!! Tidak adakah cara untuk menghancurkannya?!”

    “Bagian luarnya sudah dimodifikasi. Harus ada sesuatu yang bisa melucuti bagian luarnya!!”

    “Hmm…baiklah.”, dia lalu memerintahkan sesuatu pada orang-orang yang mungkin ada di belakangnya, dalam bahasa Varangia.

    “Tunggu…sejak kapan ada peluru meriam anti-matter di kapal itu…?”, Valentina menggumam sendirian setelah mendegar orang tua itu meracau dalam bahasa yang tidak kukenal.

    “Oi, ada apa? Tadi kamu menyebut anti-matter?”

    “Ya, kakekku memerintahkan untuk mengganti peluru meriam dengan peluru anti-matter.”

    “HAH?! Kapal itu memiliki peluru anti-matter seukuran meriam kapal itu?! Setahuku saat aku dan Resha ada di---“

    “Kalian pernah ke kapal ituuuuuuuu????”, serunya.

    “E-Eh…iya…aku dan Resha ikut membawanya pulang ke Varangia.”

    “AAAAHHH!! Dasar brengseeeekkk!!”, dia menarik-narik kerah bajuku. “Aku ingin sekali naik ke sana, dan kalian, yang bukan orang Varangia, malah pernah naik lebih dulu?!”

    “Oi, tenang!! Sepertinya tembakan sudah dilancarkan…pasang lagi pelindung medan magnetmu itu!! Anti-matter yang meleset bisa menguraikan struktur atom di tubuhmu!!”

    “Wohohohooooo!! Ini seru sekali!! Hahaha…!! Sudah lama aku tidak melihat ledakan seperti ini!! Ahaha…ohookkk…”

    “Heh, orang tua…bukankah sudah kubilang, jangan terlalu banyak tertawa? Bisa-bisa dirimu tersedak ludahmu sendiri…”

    “Ini terlalu menyenangkan, anak muda!! Sejak di laut itu, aku ingin sekali menghajar musuh lagi, seperti saat aku masih seumuran denganmu!! Hahaha…!!”



    Beberapa kali tembakan, dan…ular itu jatuh. Leviathan Project tidak lagi bergerak. Ternyata anti-matter sukses menguraikan pelindung luar dari robot itu. Fiuh…untung saja…kalau tidak, aku sudah mati kali ini.

    Kapal itu, Arkhangelsk Mikhail, mendarat tidak jauh dari kami berdua. Beruang tua itu, Igor Gvozdev, turun dari kapal. Kali ini dia mengenakan seragam militer, dan ada…wow, bintang empat di bahu kiri dan kanannya. Berarti dia sudah naik pangkat menjadi Admiral sekarang. Mungkin karena rasa rindunya, Valentina berlari dan memeluk orang tua itu. Akhirnya, dirimu bertemu keluargamu lagi, hei orang tua…

    “Dirimu cepat sekali naik pangkat, orang tua.”

    “Tentu saja, anak muda. Bagaimana aku tidak naik pangkat setelah membawa kapal ini? Hahaha…!!”

    “Yah…bagaimanapun juga aku harus mengucapkan terima kasih padamu, orang tua. Mungkin aku sudah mati jika dirimu terlambat datang.”

    “Sama-sama, anak muda. Bukankah kita sudah berjanji akan minum vodka bersama-sama setelah semuanya selesai?”

    “Sayangnya masalahku dan Resha belum selesai. Sepertinya harus ditunda dulu.”

    “Tenanglah, aku akan menunggu. Ingat janjimu untuk tidak mati lebih dahulu!! Oke?”

    Selagi mengobrol, terdengar suara helikopter dari kejauhan. Mendarat, dan…Resha turun dari situ.

    Awalnya, Resha berjalan perlahan. Sedikit dipercepat. Dipercepat. Makin cepat. Dia berlari, ke arahku, dan…memelukku hingga aku jatuh telentang. Dia berada di atasku.

    “H-Hei…ada apa?”, tanyaku.

    “Masih bertanya juga, hah?! Apa kamu tahu apa yang sudah kamu perbuat?!”, Resha bertanya sambil menangis.

    “Menyelamatkan Parthia…eh?”

    *PLAK!!~ Sebuah tamparan melayang ke pipi kiriku. Orang tua itu dan Valentina hanya merespon dengan sebuah “Ooooww…”

    “Daleth…ini sudah kedua kalinya setelah di Qing…kenapa kamu…kenapa selalu…” tangisannya makin menjadi, lalu memelukku dengan erat.

    Mulutku serasa terkunci, aku tidak bisa menjawabnya. Aku…membuatnya terlalu khawatir. Mungkin aku terlalu ceroboh tadi. Dia…pasti merasa berat jika harus ditinggal olehku sekarang. Perasaan bersalah ini…ah. Maafkan aku, Resha. Maafkan aku. Aku hanya bisa memeluk sambil membelai rambutnya perlahan selama beberapa saat.

    “Ehem…enak sekali ya, setelah bertempur langsung bermesraan begitu…”, sahut Valentina.

    “H-Heh!! S-Siapa yang bermesraan?!”, sahutku.

    “Yah…biasa lah, namanya juga anak muda. Benar begitu, cucuku?”, giliran orang tua itu ikut meledekku.

    “Uuuhh…kakeekk…aku juga ingin dong dipeluk seorang lelaki setelah bertempur seperti ini…tolong carikan satu untukku yah nanti. Hahahaha...”, lagi-lagi Valentina.

    Refleks, Resha melepaskan pelukannya dariku, tangisannya sudah berhenti. Wajahnya amat sangat merah.

    “J-Jangan salah s-sangka!! A-Aku hanya tidak ingin kamu mati sebelum sampai ke t-tujuan!!”, Resha mendadak gagap.

    “Aaaahh…sudah…jangan malu-malu begitu…aku sudah tahu sejak dari Anchorage, kalau kalian sebenarnya punya perasaan terhadap masing-masing…hahahaha…!!”

    “Heh, diam orang tua!! Urusi kapalmu itu!!”, sahutku.

    Entah mengapa, setelah itu aku langsung tertawa, diikuti oleh Resha, lalu pasangan kakek-cucu itu. Mungkin itu adalah ungkapan perasaan bahagia kami semua karena berhasil menghentikan serbuan robot-robot aneh ini. Perasaan bahagia karena dapat bertemu kembali dengan orang terdekat. Perasaan bahagia karena…jujur saja, aku belum pernah sebahagia ini bisa kembali bertemu dengan Resha, padahal kami baru berpisah beberapa jam saja…mungkinkah ini…



    Dan…benar dugaanku, pelakunya tertangkap, dengan tangan mengalami luka bakar. Tebak siapa pelakunya? Darayavahush, putra mahkota. Aku tidak mencurigainya sama sekali sebelumnya. Namun…saat dia tenang-tenang saja berada di depan gerbang istana ketika invasi terjadi, itu membuatku sangat curiga.

    Karena dia jugalah, kami berdua bisa masuk ke Parthia dengan mudah. Sebelumnya, Daraya mengontak seluruh penjaga perbatasan, agar mengijinkan orang Liberion, siapapun itu, masuk ke Parthia. Kenapa? Karena ternyata…ada dua mata-mata Liberion yang dijanjikan oleh pemerintah Liberion akan datang ke istana, tepat di hari dimana kami menumpang mobil putra mahkota itu. Mungkin dia mengira kalau aku dan Resha adalah orang yang dimaksud. Tetapi, itu salah. Kedua orang itu batal datang atas perintah atasan mereka, para petinggi militer Liberion. Atas permintaanku dan Resha, dia tidak dihukum mati, hanya hukuman kurungan.

    Akhirnya, perbatasan Parthia-Anatolia, setelah beberapa hari beristirahat untuk memulihkan kondisi tubuhku.

    “Terima kasih atas bantuan kalian, Daleth, Resha. Sekali lagi maaf, aku sempat mencurigai kalian sebelumnya.”

    “Tidak apa-apa, Valentina. Kurasa itu hal yang wajar dilakukan oleh tentara sepertimu dalam kondisi darurat.”, kataku.

    “Yah…itu benar. Maaf juga sudah mengataimu sebelumnya.”, sahut Resha.

    “Tidak masalah. Kalian sudah berjasa besar baik untuk Parthia maupun Varangia. Sayang sekali kalian tidak bisa tinggal terlalu lama, padahal kaisar Kurosh ingin memberikan penghargaan untuk kalian.”

    “Kami masih punya misi penting. Kalau sempat, mungkin kami akan kembali ke Persepolis suatu hari nanti. Yah, sekedar jalan-jalan saja. Benar begitu, Resha?”

    “Yap, apalagi kalau di istana…makanannya enaaakkk…hehehe…”

    “Sampaikan salam kami juga pada kakekmu. Sayang sekali dia harus kembali cepat-cepat ke Varangia.”, kataku.

    “Oke, akan kusampaikan. Kalau begitu, aku ucapkan selamat jalan...semoga perjalanan kalian ke Constantinople selalu aman dan menyenangkan.”



    Seperti orang tua itu, Valentina juga memberikan hormat pada kami berdua sebelum kami berpaling dan menginjakkan kaki di tanah Anatolia. Selamat jalan, Valentina. Selamat jalan, Parthia. Aku berjanji, aku pasti akan menguak misteri sisa-sisa Tower of Babylon itu dan menemukan hubungannya dengan Resha…




    Abis ini gw bikin prequelnya dulu mungkin, 1 chapter, buat menguak latar belakang dari sarung tangannya Daleth


    Dan...

    Ga kerasa udah setengah jalan


    ========================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Parthia di sini:
      Pemerintahannya based on Achaemenid Empire
      Tapi,
      Wilayahnya based on (kira") Parthian Empire
    • Eretz Adonai = Hebrew language, artinya "Land of The Lord". Kata "Adonai" juga digunakan oleh orang-orang *Eretz-Adonai-di-dunia-nyata* (selain "Elohim" dan "Ha'Shem") untuk memanggil nama Tuhan, yg mereka sendiri amat sangat takut untuk menyebut nama aslinya (YHWH). Tau kan negara apa yang dimaksud?
    • Quraish = a powerful Arabian tribe sebelum era Islam (dan Muhammad berasal dari suku Quraish ini). Udah tau dong jadi negara apa yg dimaksud?
    • Persepolis = bener" ibukota Achaemenid Empire
    • Kurosh = old Persian language, Latinized version: Cyrus (pernah denger Cyrus II the Great?)
    • Darayavahush = old Persian language, Latinized version: Darius (ga based on Darius I, II, atau III sih soalnya Darius I sendiri bukan anaknya Cyrus II, apalagi Darius II sama Darius III )
    • Haxamanish = old Persian language, Latinized version: Achaemenes (yes, he's the ancestor of Cyrus II the Great who established Achaemenid Empire in 559 BC, gw jadiin nama keluarga kekaisaran)
    • Our colonel, Valentina Kosmodemyanskaya = nama terakhirnya diambil dari nama Zoya Kosmodemyanskaya, seorang wanita yang merupakan pahlawan nasional di era Soviet.
    • F-22, F-117, dan F-18 ada di dunia nyata.
    • Shedu = male counterpart dari Lamassu, makhluk yang...penjelasannya sama seperti di cerita, tapi yang jelas bukan robot (sering muncul di relief bangunan" Mesopotamia kuno, kayak Babylon, Assyria, Persia, dst)
    • Leviathan = monster berwujud ular besar, beberapa kali disinggung di Alkitab. Bisa disamakan dengan Tiamat, Yam, dan Nehebkau...mungkin?

    Last edited by LunarCrusade; 21-02-13 at 13:39.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  11. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  12. #54
    Kaixa's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    di pelukan Tae Yeon SNSD & Jessica SNSD
    Posts
    6,719
    Points
    1,549.12
    Thanks: 274 / 205 / 173

    Default

    mantap nil, jd penasaran nunggu chapter berikutnya.

    btw, dibuat file zipnya bagus nih. itung2 buat jd sumber info krn banyak trivia yg cukup berguna nih
    Ten no michi o iki, Subete o Tsukasadoru otoko



    Kono machi wa boku no uchi. Boku wa dareka mo naite ga hoshikunai



    Prinsip berteman ala gw : Lo baek, gue lebih baek. Lo jahat, gue lebih kejam 10x lipat


    "It's... It's Lu Bu !!!"



  13. #55
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    tunggu tamat baru gw pack skalian sama chapter terakhirnya sekalian



    anyway, ga jadi gw bikin prequelnya dolo, ntar aja kalo dah mo tamat baru gw kasih


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  14. #56
    Kaixa's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    di pelukan Tae Yeon SNSD & Jessica SNSD
    Posts
    6,719
    Points
    1,549.12
    Thanks: 274 / 205 / 173

    Default



    ok nil, ditunggu nih prequelnya.

    Ten no michi o iki, Subete o Tsukasadoru otoko



    Kono machi wa boku no uchi. Boku wa dareka mo naite ga hoshikunai



    Prinsip berteman ala gw : Lo baek, gue lebih baek. Lo jahat, gue lebih kejam 10x lipat


    "It's... It's Lu Bu !!!"



  15. #57

    Join Date
    Sep 2009
    Location
    follow @JoyNathanK
    Posts
    6,023
    Points
    915.90
    Thanks: 529 / 464 / 322

    Default

    trivianya imba

  16. #58
    Kaixa's Avatar
    Join Date
    Nov 2006
    Location
    di pelukan Tae Yeon SNSD & Jessica SNSD
    Posts
    6,719
    Points
    1,549.12
    Thanks: 274 / 205 / 173

    Default

    eh ya nil, saran aja.

    kalo mau dibuat prequelnya...sebaiknya dibuat macam flash back gitu atau 1 chapter khusus di 3/4 cerita. kayak cerita Begins Night nya Kamen Rider W yg seting waktunya flash back diantara eps 13-17.
    Ten no michi o iki, Subete o Tsukasadoru otoko



    Kono machi wa boku no uchi. Boku wa dareka mo naite ga hoshikunai



    Prinsip berteman ala gw : Lo baek, gue lebih baek. Lo jahat, gue lebih kejam 10x lipat


    "It's... It's Lu Bu !!!"



  17. #59
    Lov3's Avatar
    Join Date
    Dec 2009
    Location
    明日の青空
    Posts
    305
    Points
    265.64
    Thanks: 6 / 8 / 7

    Default

    bagus oi ceritanya
    jadi iri gw
    bakat terpendam apa emang niat buat ditekunin tuh?

    coba bikin novel gih.. laku keras kali

  18. #60
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Lov3 View Post
    bagus oi ceritanya
    jadi iri gw
    bakat terpendam apa emang niat buat ditekunin tuh?

    coba bikin novel gih.. laku keras kali
    niat ditekunin...nanti liat ke depannya kalo emang Tuhan bilang jalan hidup gw harus jadi penulis, maka jadilah




    Spoiler untuk Chapter 16 :


    ==========================================
    Chapter 16: Road to Exaltation ~ Re:Genesis (Part 1)
    ==========================================


    Constantinople, pukul 05.07 PM waktu setempat ketika kami tiba.

    Sebuah kota kuno yang penuh dengan sejarah. Banyak bangunan masih menjaga keaslian arsitektur masa lalunya, khususnya bangunan-bangunan yang berada di dalam tembok kota. Tembok? Ya, kota ini memiliki beberapa lapis tembok yang tebal, peninggalan masa lalu. Kombinasi arsitektur dan tembok kuno itulah yang membuat suasana antik di sini sangat terjaga, meski bagian kota yang baru dibangun pada era modern di luar tembok tidak berbeda jauh dengan kota-kota di belahan dunia lain pada umumnya.

    Beberapa bagian tembok dan menara tidak lagi lengkap akibat peperangan di masa lampau. Namun, sisi kota kuno ini mendapat status sebagai warisan budaya dunia, sehingga tidak heran kalau terkadang bisa kujumpai penggalian, perbaikan, ataupun pembangunan kembali terhadap bangunan atau pahatan di kota ini.

    “Duh, sudah terlalu sore. Institut di Hagia Sophia pasti sudah tutup…”, sahutku saat menatap langit yang berubah jingga. “Sebaiknya kita cari penginapan atau semacamnya. Besok saja kita antar kotak itu ke sana.”

    “Oke, oke. Aku juga sudah terlalu lelah menggendong tas berisi kotak berat itu seharian.”, sahut Resha.

    Meski kaisar Kurosh tidak sempat memberikan apapun secara langsung, dia tetap membantu kami dengan membuatkan rekening di salah satu bank internasional di Parthia. Tentu saja, dengan sejumlah uang yang lumayan. Dengan begini kami tidak perlu khawatir akan kekurangan apapun sepanjang perjalanan.

    Sebuah hotel, hotel Bereshyt. Hotel bintang dua di tengah-tengah kota. Kami akan menginap sementara di sini. Meski bukan hotel bintang lima, kulihat cukup banyak turis dari luar Helenos ataupun Anatolia. Mungkin karena posisinya yang strategis, sehingga mereka bisa menikmati tur wisata keliling kota dengan mudah.

    Check in, selesai. Kamar kami berada di lantai empat, tidak terlalu besar. Baguslah, aku bisa santai melihat pemandangan kota ini di waktu malam dengan jelas karena letak kamar yang tinggi. Dari sini terlihat cahaya-cahaya kecil dari lampu yang menerangi kota, dan tembok-tembok kuno itu. Suasananya memang berbeda antara siang dan malam hari.



    Secara spesifik, ada empat lapis utama tembok di kota ini, dengan jarak yang berjauhan. Lapis pertama, tembok Byzantinos, yang tertua. Tembok ini berada di ujung paling barat. Hagia Sophia berada di antara tembok ini dan laut di sebelah baratnya. Lapis kedua, tembok Severus yang berada 500 meter sebelah timur tembok Byzantinos. Ada istana kekaisaran dari masa lalu yang berada di antara tembok Byzantinos dan Severus. Lapis ketiga, tembok Constantinos, terpisah 2,8 kilometer sebelah timur tembok Severus. Hotel ini berada di antara tembok Severus dan Constantinos. Dan tembok terakhir, tembok Theodisios, berada 1,5 kilometer sebelah timur dari tembok Constantinos.



    Pagi hari tiba. Tidak terasa sudah sekitar 8 bulan aku melakukan perjalanan, dan hampir setengah dari keliling planet ini sudah kulewati. Atau sudah setengahnya ya…?

    Suara pintu kamar diketuk. Room service barangkali? Aku langsung beranjak dari tempat tidur dalam kondisi masih sedikit mengantuk.

    “Yaaa…tunggu sebentaaar…”, kugerakkan kakiku yang masih terasa berat ke pintu kamar.

    Begitu kubuka…eh? Tidak ada orang? Ah, pasti orang iseng. Namun, begitu aku menengok ke bawah…

    “Surat? Dari siapa…?”, aku membungkuk dan memungutnya.

    Room service?”, tanya Resha. Dirinya terlihat segar. Mungkin sudah mandi?

    “Bukan. Tapi…coba lihat.”, kutunjukkan surat itu.

    “Surat? Coba buka, aku mau lihat isinya.”

    Bunyi surat ini:

    “Hei, Daleth!! Resha!! Sampai juga akhirnya ya?”, tulisan itu terlihat rapi, dengan jenis tulisan menyerupai Times New Roman yang biasa ada di komputer-komputer.

    Hanya segitu saja? Siapa pula yang mengirimkan surat ini? Pengirimnya pastilah kenal denganku dan Resha. Tapi siapa…? Keluarga Wellington? Militer Varangia? Iwanaga-senpai? Keluarga Kekaisaran Qing atau Parthia? Atau mungkin dari biara di Bharata?

    Mendadak isi suratnya berubah. Maksudku…tulisannya benar-benar berubah!! Goresan tinta di kertas itu bergerak, membentuk susunan huruf baru, kalimat baru. Astaga. Resha juga terlihat kaget melihat kejadian aneh bin ajaib tersebut. Siapa yang memiliki benda seperti ini? Tunggu. Jangan-jangan…

    “Ck…belum juga 2 bulan dan kalian udah lupa?”

    “Resha…i-ini…”

    “Uh-huh…ini aneh. Tapi…menurutku hanya ada satu orang, yang kenal dengan kita, dan sangat mungkin menghubungi kita dengan cara seperti ini.”

    “Hmm…kalau Dia yang kamu maksud…”

    “Ahaha…udah bisa tebak ya? Oke, cukup deh basa-basinya. Aku tahu semuanya, dan Aku mau bantu kalian.”


    “Membantu bagaimana?”, tanyaku.

    “Itu loh…kertas-kertas tua yang di dalam kotak yang kalian bawa. Aku bisa bantu memperbaikinya. Mau?”


    “Wow…baiklah, boleh saja. Aku juga penasaran sebenarnya apa tulisan yang ada di kertas-kertas itu.”

    “Oke, Resha, coba kamu ambil dan buka kotak itu, dan taruh di depan kertas ini.”

    “Yap, sudah. Selanjutnya?”, tanya Resha setelah menaruh kotak besi itu di tengah kamar, tepat di depan kertas surat tadi yang kuletakkan di lantai.

    “Sekarang…lihat.”

    Lembaran-lembaran kertas di dalam kotak itu melayang, jumlahnya ada tujuh lembar. Perlahan ketujuhnya bersinar, namun…

    “Tidak terjadi apa-apa?”, tanyaku sambil memperhatikan.

    “Ck…nggak seru dong kalau langsung Kuperbaiki. Supaya lebih asyik, Aku punya tugas untuk kalian. Ada tujuh yang rusak. Setiap kalian bisa selesaikan satu tugas, satu lembaran akan bisa terbaca lagi. Bagaimana? Terima tantanganKu?”

    “Err…tidak akan kelewat mustahil diselesaikan kan?”, tanya Resha.

    “Tentu saja tidak!! Mana pernah Aku kasih sesuatu yang nggak bisa ditanggung manusia sama sekali? Nah, untuk tugas ini, Aku tahu cuma kalian yang bisa. Ayolaaahhh…daripada kalian serahkan ke Hagia Sophia sekarang, lalu nggak tahu sama sekali isi dari lembaran-lembaran tersebut? Kan lebih baik kalau kalian tahu isinya dulu, baru serahkan ke sana.”

    “Resha, bagaimana?”

    “Benar juga, kita bisa tahu isinya lebih dulu dibanding orang-orang museum. Oke, siapa takut? Hehehe…”

    “Nah gitu dong. Sekarang, kalian makan dulu sana. Sarapan. Selesai sarapan, siap-siap ya…tugas pertama akan langsung Aku kasih. Oh iya, kertas ini juga jangan lupa dibawa. Semua petunjuk akan Kutulis langsung di sini.”



    Kami langsung menuju ke restoran penginapan di lantai bawah. Hmm…western-styled breakfast. Baiklah, saatnya menikma---

    “Aaaaa…maaf, maaf, maaf. A-Aku tidak sengaja…”, suara Resha terdengar kaku. Dia yang berjalan sedikit di belakangku menabrak seseorang, sehingga makanan yang mereka berdua bawa terjatuh.

    “Ck…Resha…!! Jangan ceroboh seperti itu…” Ternyata yang ditabrak Resha seorang perempuan.

    “Maaf atas kecerobohan ini. Anda tidak apa-apa?”

    “Oh…tidak apa-apa kok.”, dia tersenyum. “Bajuku juga tidak sampai kotor. Mungkin ini salahku juga, tidak melihatnya berjalan di depanku.”

    Resha terlalu pendek barangkali…? Hehehe. Postur perempuan itu dapat dikatakan ideal, dengan tinggi sekitar 167-168 sentimeter. Pengucapan bahasa Anglianya terdengar cukup baik. Rambut panjangnya…eh? Biru pucat? Umm…cat rambut? Tanpa sadar aku terus memperhatikan rambutnya yang mencolok itu.

    “Ng…maaf, ada yang salah?”, tanya perempuan itu.

    “Tidak, tidak. Hanya saja rambut Anda…dicat?”

    “Ini…alami.”, aku dan Resha hanya tercengang mendengar pengakuannya. Pandangannya beralih ke arah Resha, “Umm…kalian mau tahu lebih lanjut? Anggap saja untuk mencairkan suasana, karena sepertinya kamu merasa bersalah sekali.”

    Resha dan perempuan itu kembali mengambil jatah sarapan yang tersedia selagi aku mencari meja yang kosong. Sementara itu, aku terus menebak-nebak. Rambutnya itu…alami? Kelainan genetik? Zat kimia? Atau radiasi? Ah, membingungkan. Mereka berduapun kembali.

    “Err…jadi benar, itu rambut asli Anda?”, tanyaku.

    “Benar, sudah sejak kecil rambutku begini. Ayah dan ibuku bilang, ini akibat radiasi dari sebuah meteor yang pernah jatuh di dekat rumahku ketika aku kecil.”

    “Wow!! Cat rambut alami, begitu? Keren sekali!!”, Resha terlihat antusias.

    “Ahaha…begitulah. Tapi tidak cocok juga kalau dibilang cat. Ini permanen, tidak akan hilang dengan cara apapun.”

    “Tapi kamu terlihat benar-benar keren!! Seperti di anime-anime saja…”

    “Hush, Resha, jangan bicara keras-keras seperti itu…”

    “Sudah, tidak apa-apa. Ini pertama kalinya ada yang mengagumi rambutku ini. Biasanya hanya akan ada dua respon. Menjauhiku karena aku dirasa aneh, atau tenang-tenang saja seakan mengabaikan warna rambut ini.”, dia menelan sedikit potongan roti. “Oh iya, maaf belum memperkenalkan diri. Namaku Helena Ouranoxiphos, 23 tahun. Kalian?”

    “Saya Daleth Reshunuel. Dan yang menabrak anda---”

    Resha langsung menyambar cepat, “Resha!! Resha Gimmelia!!”

    “Hmm…turis?”

    “Ya…bisa dibilang begitu.”, jawabku.

    “Oh ya, kalian sudah mengunjungi Hagia Sophia? Itu salah satu museum terbaik di dunia lho. Sayang sekali kalau turis seperti kalian belum pernah ke sana.”

    “Rencananya begitu. Mungkin akan jadi tujuan terakhir kami di kota ini.”



    Dan tak terasa…makanan yang kami makan sudah habis. Ah iya, tugas pertama!!

    Mendadak langit di luar menjadi gelap. Maksudku…gelap total. Ini bukan seperti gerhana. Lebih tepat disebut tiba-tiba berubah menjadi malam hari, tanpa bulan, tanpa bintang. Ruangan inipun diliputi kegelapan total. Dan anehnya, tidak ada satupun lampu yang bisa menyala. Semua alat listrik yang dapat memancarkan cahaya juga tidak bisa dinyalakan. Hmm…ada suara sayup-sayup, suara tombol ponsel yang ditekan, namun tidak ada cahaya layarnya yang terlihat dari sini. Berarti, alat komunikasi masih bisa digunakan. Untunglah…

    Di tengah kegelapan total seperti itu, hanya ada satu yang bercahaya, kertas surat itu. Tulisannya berubah lagi.

    “Nah, ini dia tugas pertamanya. Masalahnya sederhana, kalian harus memecah kegelapan ini. Satu petunjuk dariKu…Daleth, alatmu tetap berfungsi normal.”

    “H-Hei…apa itu?”, tanya Helena.

    “Nanti akan saya jelaskan. Resha, tetaplah di sini untuk menjaganya. Aku akan mengambil sesuatu di kamar.”

    Selagi menuju kamar, aku mencoba memikirkan cara untuk menyelesaikan tugas pertama ini. Hmm, kegelapan ya…ditambah lagi E.L.O.H.I.M. Project masih bisa berfungsi normal. Kalau begitu aku akan mencari gardu listrik terdekat, dan…

    Tulisan di kertasnya berubah lagi.

    “Hei, hei. Aku tahu yang ada di pikiran kamu. Percuma saja, semua sarana penerangan kota ini nggak akan nyala. Toh sebenarnya nggak ada mati listrik sama sekali…buktinya, peralatan komunikasi masih bisa menyala semua. Aku cuma menghalangi cahaya aja. Cari cara lain yaaa…”

    “APA?! Jangan bercanda!! Apa aku harus mengaktifkan Photon Blaster dalam spektrum optik lalu menyalakannya terus menerus, begitu?!”, kuteriaki kertas itu.

    “Nah, tuh kamu tahu…hehehe. Selamat berjuang ya.”

    Astaga. Ini gila!! Ah, tapi ya sudahlah. Aku dan Resha sudah setuju, dan tentu saja tugas ini harus diselesaikan. Ini kan dari Dia sendiri. Aku yakin Dia akan memberikan kekuatan untuk menyelesaikannya.

    Oke, ini dia sarung tanganku. Terbang dengan Plasma Directing sampai ketinggian…hei? Di atas sini, sekitar ketinggian 1 kilometer di atas permukaan laut, masih terang benderang. Aku juga melihat, ternyata yang diselimuti kegelapan hanya Constantinople dan sekitarnya, berbentuk seperti setengah bola dengan radius seluas kota itu dan tinggi sekitar 200 meter. Daerah-daerah lain di sekitarnya tidak tertutup kegelapan sama sekali. Kembali aku masuk ke dalam kegelapan itu, dan melayang di ketinggian sekitar 175 meter dari permukaan tanah.

    Tanpa pikir panjang…

    “Photon Blaster. Optical Spectrum shift. Charge up!!”

    Berarti aku harus menahan charge ini selama…berapa lama ya? Ah masa bodo, yang penting kota ini tetap tersinari, dan penduduknya bisa terus beraktifitas. Nah, tulisan di kertas itu berubah lagi sekarang.

    “Yap, benar sekali. Ini yang harus kamu lakukan untuk tugas pertama. Selamat!! Kamu berhasil memecahkannya. Tapi…tahan sampai malam ya…nanti malam semuanya kembali normal. Sekali-sekali puasa 12 jam nggak apa-apa kan? Makanya tadi Aku suruh kamu makan dulu.”

    “HEH?! 12 jam?! Tanganku harus seperti ini selama 12 jam?!”

    “Lho…kamu kok jadi ragu begini. Udah, tenang aja, pasti kuat kok. Kutinggal dulu yaaaa…” Kertas itu langsung berubah bersih, kosong, tanpa tinta setitikpun.

    Dan…hampir 12 jam berlalu. Argh…tanganku pegal. Baru tugas pertama saja sudah seperti ini. Bagaimana keenam tugas berikutnya?! Duh, aku harap tugas-tugas berikutnya tidak terlalu melelahkan seperti ini. Hei, tapi benar kataNya, aku tidak merasakan kelelahan parah walau sudah 12 jam terus menahan posisi seperti ini. Tanganku memang sedikit pegal, tapi aku tidak merasa lapar, apalagi lemas. Huh…aku heran, kenapa Dia iseng begini sih…

    Akhirnya, lampu-lampu di kota menyala kembali. Ah…ini saatnya untuk mematikan Photon Blaster. Oh, itu dia Resha dan Helena, ada di bawah, dan ada banyak penduduk kota di sekitar mereka. Begitu aku mendarat, mereka menyambutku dengan tepuk tangan yang sangat meriah.

    “Ck…kamu main terbang saja…”, kata Resha.

    “Ahaha…maaf, kalau aku menunda waktu sedikit saja, bisa-bisa sudah banyak kecelakaan terjadi di kota.”

    “Hebat, Daleth. Hebat. Aku tidak menyangka kota ini akan diselamatkan oleh turis sepertimu. Yang tadi itu alatmu ya?”, tanya Helena.

    “Betul sekali. Untunglah sarung tangan ini masih bisa berfungsi dengan normal.”

    Tanpa basa-basi aku langsung makan malam di restoran hotel, lalu ke kamar untuk tidur. Ah…aku ngantuk sekali. Aku sudah tidak kuat melakukan apa-apa lagi sepanjang sisa hari ini. Besok akan ada apa lagi ya…?



    Matahari terbit seperti biasanya. Resha…oh, masih tertidur. Jarang-jarang dia begini, biasanya selalu bangun lebih pagi dariku. Setelah menyegarkan diri, kulihat tulisan-tulisan di satu buah kertas tua di kotak itu kembali bisa terbaca, dan bagian-bagian yang berlubang menjadi tertutup. Hmm…ini bagian dari Kitab Suci, seperti halnya satu lembar yang rusaknya paling minimal itu. Dan…ini dia, kertas surat yang kemarin, melayang di depanku. Muncul tulisan baru.

    “Oke, sudah siap dengan hari kedua? Resha…biarkan saja. Nggak usah dibangunkan.”

    “Baiklah, apa tugas kedua?”

    “Sudah bisa baca polanya belum?”

    “Eh? Ada polanya? Ada petunjuk supaya aku bisa tahu polanya?”

    “Coba ya…kemarin, hari pertama, gelap total. Kamu harus menerangi seluruh kota dengan cahaya. Kalau kamu hubungkan dengan satu kisah…”

    “Tunggu. Penciptaan?”

    “Yap, benar sekali. Kamu hafal urutannya kan? Kalau udah ketemu jawabannya, pasti Aku hubungi lagi. Oke, selamat berjuang untuk menyelesaikan tugas di hari kedua ya!!”, tulisannya langsung hilang.

    “O-Oi!! Tunggu!!”

    Hanya itu? Argh…apa yang harus kulakukan di hari kedua?!

    Kutarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Aku harus tenang. Oke, hari kedua adalah terciptanya langit, sang cakrawala. Fungsinya adalah memisahkan air dari air, sehingga ada air di permukaan Bumi serta air di atas, yaitu awan dan segala bentuk uap air. Air di permukaan Bumi berkumpul menjadi laut, dan bagian yang kering menjadi darat. Hmm…apa ada hubungannya dengan laut? Kota ini berada di pinggir laut…oke, mungkin aku akan menemukan jawabannya di pantai.

    Setelah makan pagi, kuambil sarung tanganku dan kertas surat itu, lalu kutelusuri jalan dari hotel hingga ke pantai, tepatnya pantai selatan yang berada di antara tembok Theodisios dan Constantinos. Warga kota ini pasti melontarkan senyum padaku saat berpapasan, mungkin karena kejadian kemarin. Hebat juga…mereka langsung hafal wajahku. Oke, ini dia, laut.
    Kulihat kertas surat itu…kosong. Eh?! Berarti yang ada di pikiranku salah total?!

    Kuambil posisi telentang di tanah sambil berpikir. Hmm…apa yang salah ya? Langit…apa ada hubungannya dengan langit? Tidak, tidak. Aku yakin tugas kali ini berhubungan dengan semua yang ada di hari kedua di kisah penciptaan. Semua…ya, semua. Selagi merenung…

    “Hei, bengong saja.”, perempuan berambut biru pucat itu lagi, Helena.

    “Ah…ternyata anda.”, aku langsung terduduk.

    “Tidak usah terlalu formal begitu. Menurut cerita teman kecilmu itu, umurmu lebih tua setahun dariku. Jadi…santai saja.”

    “Ahaha…maaf, aku terbiasa begitu dengan orang yang baru kukenal. Ya sudah, terserah kamu saja. Ada keperluan apa bisa sampai ke sini?”

    “Hari ini tidak ada banyak pekerjaan, jadi aku bisa santai sejenak.”

    “Kerja? Kerja apa?”

    “Ng…tidak bisa kuceritakan sekarang. Tapi tenang saja, pekerjaanku bukan sesuatu yang melanggar hukum. Nah, kamu sendiri?”

    “Masih ada hubungannya dengan kejadian luar biasa kemarin…”

    “Lho? Masih akan ada lagi kejadian aneh?”

    “Nah, itu dia…aku tidak tahu. Kalau memang iya, seharusnya sudah sejak tadi ada sesuatu yang menghebohkan. Tapi sekarang…”

    “Kemarin gelap total, kamu harus menyinari kota ini. Jangan-jangan sekarang kamu harus menurunkan hujan…ahahaha…”

    “Eh? Hujan?”

    “Entah kenapa, aku langsung teringat kisah penciptaan sewaktu kejadian kemarin. Jika hari pertama adalah cahaya, maka hari kedua adalah hujan.”

    “Apa…hubungannya?”

    “Dari wajahmu aku tahu kalau yang kukatakan tepat sasaran. Oke, sekarang coba kamu telusuri baik-baik kalimat di Kitab Suci. Semuanya bicara mengenai air, benar begitu?”

    “Aku tahu. Lalu, kenapa hujan?”

    “Menurutmu, kenapa substansi yang sama, air, harus dipisahkan satu sama lain? Ada ‘air yang ada di bawah cakrawala’ dan ‘air yang ada di atasnya’. Jika substansinya sama, bukankah sewaktu-waktu mereka bisa disatukan melalui metode tertentu?”

    “Tunggu. Aku tahu…siklus hidrologis!!”

    “Nah, itu dia. ‘Air di bawah’ akan kembali menjadi ‘air di atas’, begitu sebaliknya. Air di seluruh permukaan Bumi, entah dari laut, sungai, danau dan lainnya, akan menguap…terus menguap, hingga mengembun di langit. Jika sudah terlalu berat…”

    Kertas surat itu terbang ke depan wajahku, dan tulisannya berubah.

    “Ting tong!! Yap, benar!! Tunggu apa lagi? Cepat turunkan hujan sekarang…!”


    “I-Itu…kertas yang kemarin kulihat di hotel?”

    “Err…akan kuceritakan lain kali. Jika polanya mengikuti kisah penciptaan, berarti aku akan ada di sini sampai 5 hari ke depan. Kalau sempat, aku akan menceritakannya padamu nanti. Sekarang aku harus menurunkan hujan dulu...sampai ketemu nanti ya!!”

    Aku terbang hingga ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut, lalu mengaktifkan Energy Absorber untuk mendinginkan udara sekitar hingga mengembun dan menjadi awan. Kertas itupun melayang di depanku, dan…

    “Oh iya, jangan lupa, seperti kemarin yah.”

    “Seperti…kemarin? 12 jam?!”

    “Duh…masa kamu lupa sih? ’Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ke sekian’. Hari ini memang udah jadwalnya hujan, tapi Aku mau kamu yang membuatnya.”

    12 jam hujan…mudah-mudahan Constantinople tidak kebanjiran seperti beberapa kota di belahan dunia ini. Tapi ini memang sudah jadwalnya hujan ya? Kalau begitu aku bisa tenang. Selama 12 jam, tanah Constantinople bermandikan hujan buatanku. Tulisan di kertas surat itu memberitahuku untuk berhenti setelah 12 jam berlalu. Sekali lagi, aku terlalu lelah untuk beraktifitas di sisa hari kedua ini. Makan, memeriksa kertas yang telah diperbaiki, lalu tidur.



    Oke, hari ketiga.

    “Sudah tahu apa yang harus kamu lakukan hari ini?” Kertas itu melayang di depanku setelah aku menyegarkan diri.

    “Ada hubungannya dengan tanaman?”

    “Yap, benar. Oh ya, ada satu petunjuk tambahan. Mau nggak mau, kamu harus minta bantuan orang lain untuk tugas kali ini, soalnya kamu nggak punya sesuatu yang bisa bantu menyelesaikannya. Segitu aja ya, sisanya pikir sendiri.”, tulisan langsung menghilang.

    Mungkin Resha bisa membantu? Kucoba mencari Resha di seluruh ruangan kamar, tapi tidak ada tanda-tandanya sama sekali. Sudah ke bawah untuk makan barangkali? Kuambil sarung tangan dan kertas surat itu, kemudian menggunakan lift ke lantai dasar.

    Di lantai dasar, tidak ada tanda-tanda Resha sama sekali. Hmm…ke mana dia ya? Ah sudahlah, nanti saja kucari dia. Aku yakin batas waktu kali ini juga 12 jam, jadi tidak boleh buang-buang waktu. Akan kuusahakan mencarinya setelah tugas ini selesai. Baiklah, aku akan makan dulu---

    Mendadak kertas itu melayang di depanku. “Eits, tunggu dulu. Sebelum tugasnya selesai, kamu hanya boleh makan sesuatu yang berasal dari tanaman. Susu ataupun telur juga nggak boleh. Mengerti?” Yah…hari ini aku tidak boleh makan daging deh…huhuhu. Ya sudah, aku ambil salad saja.

    Oke, makan selesai. Aku akan keluar hotel untuk mencari petunjuk lain. Jalanan kota dari bebatuan tampak masih basah, sesekali kujumpai genangan air akibat hujan yang kuturunkan kemarin.

    ‘Tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan berbiji, dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji’, itu yang tertulis di kisah penciptaan. Apa aku harus mencari semua jenis pohon buah yang hidup di kota ini? Tidak, tidak. Itu terlalu mudah. Dua hari terakhir ini, tugas yang diberikan semuanya di luar akal sehat manusia. Jika hanya disuruh mengumpulkan jenis-jenis tumbuhan, sebentar saja pasti sudah selesai, tidak perlu sampai malam hari. Tunggu. Jangan-jangan…

    *BRAAAAK!!~ Selagi berjalan sambil berpikir, aku menabrak seseorang. Dia lagi, Helena.

    “M-Maaf, aku tidak sengaja…”, kubantu dia berdiri.

    “Iya, tidak apa-apa. Aku juga tidak melihat jalan tadi, jadi…seharusnya aku juga minta maaf. Sudah masuk hari ketiga ya?”

    “Betul. Hanya saja aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan hari ini. Sesuatu yang berhubungan dengan tumbuhan…”

    “Hanya itu?”

    “Petunjuk yang diberikan padaku hanya itu. Oh, ada satu lagi, aku harus mencari bantuan orang lain, karena aku tidak punya sesuatu untuk menyelesaikannya. Aku masih bingung mengenai apa yang dimaksud.”

    “Apa mungkin kamu harus mengumpulkan data seluruh tumbuhan di kota ini? Apalagi kamu bukan penduduk asli kota ini.”

    “Sepertinya tidak mungkin. Itu terlalu mudah dibanding dua tugas sebelumnya. Aku yakin kali ini sama gilanya.”

    “Benar juga ya. Kalau begitu, apa kamu punya pemikiran lain?”

    “Ada satu sih, tapi…sepertinya kelewat mustahil. Aku sempat berpikir kalau tugas kali ini adalah menumbuhkan suatu jenis tumbuhan tertentu dalam tempo 12 jam, dimulai dari menanam bijinya hingga menjadi pohon. Sepertinya tidak mungkin…”

    “Aku bisa membantumu.”

    “Eh?! Yang benar?”

    “Ng…sebenarnya ini rahasia, tidak diketahui orang banyak. Tapi…melihat kejadian-kejadian aneh yang berhubungan denganmu, akan kuberitahu. Aku bisa mengontrol kehidupan.”

    “Hah? Mengontrol kehidupan? Maksudnya?”

    “Membuat makhluk hidup tumbuh lebih cepat, mempercepat pembelahan sel, menambah tingkat kesuburan hewan ternak, mencegah kematian, bahkan…membangkitkan orang yang sudah mati. Itu maksudku.”

    “Jangan bercanda!! Seumur hidup, aku sudah sering bertemu hal-hal yang aneh, tapi yang ini…”

    “Tidak percaya?” Dia langsung merentangkan tangan kanannya ke arah sebuah pohon yang daun-daunnya sedikit, tidak rimbun. Yang kulihat benar-benar mengejutkan. Dedaunan perlahan tumbuh dari cabang-cabang dan ranting-rantingnya, membuatnya lebih rimbun.

    “O-Oke, aku percaya padamu. Jika benar itu tugasnya, berarti masih ada dua masalah. Biji apa yang harus ditanam, dan di mana.”

    Kertas itu kembali melayang, dan muncul tulisan, “Sip, kamu sudah bisa tahu apa yang harus dilakukan dan udah dapat bantuan. Aku kasih petunjuk lagi deh…pohonnya terserah yang penting punya biji dan buah, tapi lokasinya…coba cari tahu apa yang sama dari kisah penciptaan dan kota ini.”
    “Yang sama? Helena, kamu tahu sesuatu?”

    “Hmm…apa ya. Sebentar. Kisah penciptaan berlangsung selama tujuh hari. Mungkin ada hubungannya dengan angka tujuh tersebut.”

    “Tujuh? Mungkin kita harus menanamnya di tujuh tempat berbeda di kota ini?”

    “Bisa jadi. Tapi…di mana? Tidak mungkin menanamnya secara acak.”

    Tujuh. Tujuh. Apa yang ada tujuh di kota ini? Tembok? Tidak, tidak. Tembok di kota ini hanya ada empat lapisan. Pelabuhan? Sepertinya tidak...ini tidak ada hubungannya dengan laut atau kapal.

    “Ah!! Aku tahu!! Bukit!!”, serunya.

    “Bukit?”

    “Ya, kota kuno Constantinople berdiri di atas tujuh buah bukit!! Aku yakin itu pasti tempatnya!!”

    “Yak, 100 untuk kalian!! Sekarang cepat lakukan tugasnya!!”

    Setelah Helena menunjukkan sebuah toko tanaman dimana aku bisa membeli benih pohon yang akan ditanam, langsung saja kami menuju bukit pertama. Letaknya 200 meter dari Hagia Sophia, sebelah barat laut. Yang kubeli adalah bibit pohon ara, sangat umum ditemukan di daerah Mediterania mulai dari pantai timur Parthia dan Eretz Adonai, seluruh pantai utara Benua Hitam, Anatolia, Helenos, hingga ke Iberia. Sengaja kupilih pohon itu karena buahnya berkarbohidrat tinggi, cocok untuk memulihkan energi dengan cepat.

    “Biji pertama…yak, sudah.”, kututup lagi lubang di tanah yang kubuat sebelumnya.

    “Nah, sekarang bagianku.”, dia menaruh tangan kanannya di atas tanah, tepat di tempatku menanam biji pohon ara tadi. Setelah sekitar satu menit, terlihat tunas tumbuh.

    “W-Wow…ini berhasil.”, nada bicaraku sedikit terbata-bata.

    “Jangan senang dulu. Sepertinya…tugas yang diperintahkan padamu itu mewajibkan agar biji ini tumbuh menjadi pohon, hingga berbuah, seperti yang tertulis di kisah penciptaan.”

    1 jam lebih 40 menit berlalu. Astaga, lama sekali untuk satu biji pohon ara dibuat tumbuh hingga berbuah?! Belum lagi ketujuh bukit itu tidak bisa dibilang dekat satu sama lain…apa akan sempat? Kalau begitu…

    “Naiklah.”, aku menawarkannya untuk digendong di punggungku.

    “E-E-Eh…? T-Tidak perlu repot begitu…!!”, wajahnya sedikit memerah.

    “Dengan ini bisa lebih cepat, karena sarung tanganku memungkinkan kita untuk bisa terbang. Waktu kita terbatas, hanya 12 jam. Kota ini cukup besar dan akan buang-buang banyak waktu jika harus berjalan kaki.”

    “B-Baiklah…”, jawabnya ragu sambil perlahan naik ke punggungku.

    Dengan Plasma Directing, kami terbang di atas kota ini untuk menuju ke bukit-bukit berikutnya. Bukit kedua, hampir 400 meter di sebelah timur Hagia Sophia, dengan tembok Severus terbentang di atasnya. Lahan kosong didapat, dan…1 jam 45 menit. Bukit ketiga, dengan jarak yang hampir sama, berada di sebelah timur laut bukit kedua. Kali ini 1 jam 30 menit. Bukit keempat, 1 kilometer lebih timur laut bukit kedua, di tepi tembok Constantinos, 1 jam 50 menit. Bukit kelima, 500 meter sebelah timur laut bukit kedua, 1 jam 45 menit. Bukit keenam, 1 kilometer timur laut bukit kelima, 1 jam 35 menit. ARGH !! Kurang dari dua jam lagi !!

    “Helena, masih kuat?”, tanyaku ketika sudah sampai di bukit ketujuh, hampir 1,5 kilometer sebelah tenggara bukit keenam.

    “I-Iya…t-tidak apa-apa kok.”, jawabnya pelan, nafasnya terengah-engah.

    “Sudah, istirahatlah dulu. Ini sudah bukit ketujuh, kita masih punya sedikit waktu.” Sengaja kukatakan itu agar dia lebih tenang. Nyatanya…sisa waktu amat terbatas.

    “Tidak. Biar kulanjutkan…”

    Kembali, tangannya diletakkan di atas tanah tempatku menaruh benih, dan perlahan benih itu tumbuh. 5 menit, 10 menit, 15 menit, 30 menit, 1 jam…Helena berhenti. Nafasnya makin terengah-engah, keringatnya juga mengucur deras.

    “O-Oi…sudah kubilang, istirahatlah sejenak. Sejak tadi kamu belum makan apapun, hanya minum air saja.”

    “A-Aku masih kuat kok. T-Tenang saja…”, dia kembali melanjutkan.

    5 menit, 10 menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit, 30 menit, 35 menit…nyaris berbuah. Dan…1 jam 40 menit. Buah-buah pohon ara yang telah matang keluar dari cabang-cabang pohon. Seketika itu juga, Helena pingsan. Kusandarkan dia di batang pohon yang baru tumbuh itu.

    “H-Hei!! Helena!!”

    “M-Maaf…aku sudah membuatmu khawatir…b-berhasilkah?”, tanyanya dengan suara lemah.

    “Huh…membuatku kaget saja. Tentu saja berhasil.” Kuambilkan satu buah dari pohon. “Makanlah. Buah ara punya karbohidrat yang tinggi namun rendah lemak, cocok untuk memulihkan energi dengan cepat.”, kuberikan buah itu padanya.

    “Ah…terima kasih…”

    “Akhirnya, hari ini selesai juga. Untung aku memilih pohon ara untuk ditanam. Kalau tidak, aku mungkin sudah bingung akan memberimu makan apa dalam kondisi sangat lemas seperti itu.”

    “Ahaha…maaf, aku hanya terlalu bersemangat saja…sampai lupa makan.”

    “Ternyata kamu tidak jauh berbeda denganku. Kalau sudah melakukan sesuatu yang membangkitkan semangat, hal lain bisa dilupakan begitu saja…ehehe…”

    “Oh iya, bagaimana dengan temanmu itu? Kenapa dia tidak ikut?”

    “Sejak pagi aku tidak menemuinya. Mungkin dia sedang jalan-jalan. Sekarang pasti dia sudah kembali ke hotel. Matahari sudah terbenam begini.”

    “Hmm…ya sudah, sampaikan saja salamku untuknya. Satu lagi, jangan mengabaikan temanmu itu dalam waktu lama…sepertinya dia butuh banyak perhatian darimu.”

    “Ah, biarkan saja dia, kadang memang suka kekanak-kanakan. Baiklah, terima kasih banyak sudah membantuku hari ini. Aku akan mengantarmu ke hotel, bagaimana?”

    “Oh, itu tidak perlu. Urusanku di sana sudah selesai 2 hari lalu. Sampai bertemu lagi ya.”

    Hari ketiga selesai dengan sukses. Sejauh ini, tugas-tugasnya tidak begitu sulit untuk dipecahkan. Hanya saja, pengerjaannya butuh waktu 12 jam. Lagi-lagi, karena terlalu lelah, aku langsung terkapar di kasur hotel begitu selesai memeriksa lembaran ketiga yang kembali bisa terbaca. Aku juga terlalu kenyang makan buah ara hari ini…mengantuk sekali…



    Hari keempat.

    “Benda langit?”, kutebak begitu saja saat kertas itu tepat melayang di depan wajahku pada pagi hari.

    “Kamu mau buat matahari, bulan, dan bintang seperti yang ada di luar angkasa sana? Coba aja kalau bisa…”

    “Lho, lalu apa yang harus kulakukan?”

    “Jelas saja kamu nggak akan bisa buat sama persis. Lakukan apa yang kamu bisa aja, asal semaksimal mungkin.”, seketika tulisan-tulisannya menghilang.

    Duh. Apalagi yang harus kulakukan hari ini? Aku yakin hari ini ada hubungannya dengan benda-benda langit. Tapi, dari kata-kataNya, sepertinya Dia tidak mengharapkanku membuat matahari, bulan, dan bintang-bintang seperti yang Dia ciptakan. Ya sudah, aku makan dulu di bawah.

    Hmm, ada yang aneh dengan Resha. Selama sarapan, responnya dingin. Ketus. Hanya menjawab dengan singkat. Selesai makan, dia kembali begitu saja ke kamar.

    “Hei…dia ngambek tuh.”

    “Sudah, biarkan saja. Besok juga dia akan kembali seperti sediakala. Jadi, aku harus apa?”

    “Pemikiranmu udah benar, tentang benda langit. Kamu harus membuatnya di sepanjang kota ini. Kutambahkan satu petunjuk. Cukup sampai batu ketiga, usahakan semirip mungkin. Oke?”

    “Sepertinya aku mengerti. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal itu sendirian. Boleh minta bantuan kali ini?”

    “Boleh. Eh…maksudku, harus. Kalau nggak dibantu, nggak akan selesai 12 jam.”

    “Tidak terbatas berapa orang yang boleh membantu?”

    “Iya, boleh berapa aja. Satu kota kamu ajak juga silakan. Nggak Kularang.”

    Begitu keluar hotel, aku langsung terbang dengan Plasma Directing di langit kota hingga ketinggian dimana aku bisa melihat ujung barat hingga timur kota ini. Hmm…empat lapis tembok, menyerupai empat lintasan orbit. ‘Matahari’ di tembok Byzantinos, ‘Merkurius’ di tembok Severus, ‘Venus’ di tembok Konstantinos, dan ‘Bumi’ di tembok Theodisios. Meski perbandingan jarak antar tembok dan orbit sebenarnya tidak sama, itu tidak jadi masalah. Yang jadi masalah adalah bagaimana aku menaruh ‘bintang-bintang’. Baiklah, aku harus bergegas. Jalankan saja dulu, nanti juga akan terpikirkan bagaimana membuat sisanya.

    Begitu aku mendarat, tepatnya di antara tembok Severus dan Konstantinos, dia lagi…Helena. Aku heran, apa dia membuntutiku ya?

    “Hei, bagaimana untuk hari ini?”, tanyanya dengan penuh semangat.

    “Replika tata surya. Oh, tapi hanya sampai Bumi saja. Harus semirip mungkin pula…”

    “Begitukah? Sebentar…biar kuhubungi seseorang.”

    Dia melangkah sepelemparan batu jaraknya dariku, lalu menelepon seseorang. Jika dalam kondisi gawat darurat, aku pasti sudah mencurigainya habis-habisan. Namun tidak dengan sekarang.

    “Tunggu sebentar ya, dalam 10 menit mereka akan datang.”, ujarnya begitu selesai menelepon dan kembali padaku.

    “Mereka…?”

    Kira-kira 10 menit kemudian, beberapa puluh orang datang. Tidak ada yang spesial dari penampilan mereka, sepertinya penduduk kota ini.

    “Tukang kayu, pandai besi, pembuat cermin, pemahat, hingga arkeolog lokal. Mereka di bawah komandomu sekarang, Daleth.”

    “Hah?! Mereka semua akan membantu?!”

    “Tidak usah kaget begitu. Sudah, sekarang lebih baik kamu katakan apa yang ada di dalam pikiranmu pada mereka.”

    Para pemahat yang ada kutugaskan untuk mencari tiga batuan berbentuk mirip bola, dengan perbandingan diameter ketiganya sama dengan perbandingan diameter Bumi, Venus, dan Merkurius. Patokannya adalah ‘Bumi’ yang kuminta berdiameter 2,6 meter, dengan asumsi kasar bahwa diameter Bumi sesungguhnya sekitar 13 ribu kilometer. Seluruh pandai besi dan tukang kayu kutugaskan untuk membuat penyangga yang dapat diputar mengikuti rotasi planet di kondisi sebenarnya, replika orbit ‘Bulan’, dan juga rel di atas masing-masing lapis tembok agar replika ketiga planet dapat digerakkan. Para pembuat cermin kuminta membuat cermin ‘Bulan’ dengan diameter ¼ dari diameter ‘Bumi’. Para arkeolog kumintai saran dan pendapatnya, bagaimana agar aku bisa membangun semuanya itu tanpa merusak tembok-tembok yang ada.

    Pengerjaan dimulai. Awalnya, hanya tukang-tukang itu yang bekerja dengan diawasi olehku, Helena, dan para arkeolog. Tetapi, tiap jamnya, jumlah pekerja bertambah. Dari mana penambahan tersebut? Dari para penduduk kota yang penasaran dengan apa yang akan dibuat di kota mereka. Semua yang masih punya fisik yang dikategorikan baik dapat turun langsung untuk membantu. Sementara itu, orang-orang tua, wanita, dan anak-anak mendukung dalam hal logistik pada para pekerja. Singkat kata, seluruh kota ikut ambil bagian.

    Lewat tengah hari, matahari sedikit condong ke arah barat sekitar 10 derajat.

    “Helena…”

    “Hmm? Ada apa?”

    “Jujurlah, siapa kamu sebenarnya?”

    “A-Aku…tidak bisa mengatakannya sekarang.”, jawabnya ragu.

    “Tenanglah, tidak perlu takut. Aku yakin kamu bukan orang jahat atau semacamnya. Tidak mungkin Dia mengizinkanmu membaca instruksi yang disampaikan padaku, jika kamu tidak berkenan di hadapan-Nya. Ya sudah, jika kamu belum bisa beritahu, tidak apa-apa.”

    “Di hari ketujuh kamu akan tahu dengan sendirinya. Jadi, sabar sedikit ya.”, dia tersenyum.

    “Ya sudah kalau begitu. Aku akan ke tembok Theodisios sebentar, ‘Bumi’ sedikit lagi selesai.”

    Satu jam sebelum langit di Constantinople berubah gelap.

    “Wah, kreatif juga kamu. Diameter ‘planet’nya sesuai perbandingan. Masalah jaraknya tidak apa-apa, jarak tembok tidak bisa diubah.”, tulisan kembali muncul di kertas itu, sambil melayang di depanku.

    “Tapi aku masih tidak tahu bagaimana membuat ‘bintang’nya…”

    “Sarung tanganmu tidak bisa melakukan apa-apa?”

    “Sepertinya hanya bisa membuat Matahari saja. Photon Blaster seperti hari pertama.”

    “Lho…kan bisa diprogram lagi sesuai maumu. Dicoba dulu, siapa tahu kamu bisa buat replika bintang-bintang.”

    “Benar juga…baiklah!! Aku tahu apa yang akan kuprogram di sarung tangan ini!!”

    Secepat kilat aku kembali ke hotel, melepas sarung tanganku, menghubungkannya dengan kabel konektor ke laptopku. Sedikit modifikasi code, dan…selesai. Sarung tangan ini bisa membuat orb cahaya sekarang. Whoa, tinggal 15 menit lagi!!

    Langit pun berubah hitam. Bergegas aku menuju ke atas tembok Byzantinos. Sekarang saatnya!!

    Photon Blaster. Condensator shift, set up!!

    Perlahan muncul butiran-butiran orb cahaya dari kedua tanganku, melayang terus ke atas. Selama beberapa menit kutahan mode itu, agar terlihat kelap-kelipnya di langit. Begitu selesai, Photon Blaster mode normal langsung kuaktifkan, menyinari ketiga ‘planet’ yang ada di masing-masing orbit. Pantulan cermin ‘Bulan’ itu juga terlihat menyinari sisi belakang dari replika Bumi yang ada.

    “Oke, udah cukup. Sudah 12 jam, dan kamu berhasil. Sekarang…lihat ke bawah. Para penduduk udah nunggu kamu. Ada makan-makan tuh.”

    “Huff…selesai juga. Aku ingin tanya satu hal. Sebenarnya untuk apa sampai-sampai seluruh kota diizinkan ikut serta? Sementara tugas-tugas sebelumnya pasti harus kukerjakan sendiri, setidaknya boleh dibantu oleh satu orang saja.”

    “Mereka udah terlalu lama tinggal dalam keegoisan dan saling curiga. Tugas kali ini nggak cuma berguna untuk kamu, tapi juga untuk mereka. Lihat deh, udah lama Aku nggak lihat pemandangan seperti ini di kota.”

    Suasana meriah tercipta. Di sudut-sudut jalan, yang kulihat hanya keceriaan, kebahagiaan. Semua orang berbaur menjadi satu dalam keramah-tamahan. Taburan bola-bola cahaya kecil dari langit malam yang kubuat tadi menambah aura kehangatan yang sudah tercipta. Tanah ini memang tanah yang asing untukku, namun…di suasana seperti ini, aku merasa menjadi bagian dari mereka.

    Kemeriahan itu berlanjut hingga hampir tengah malam. Segera aku mohon diri karena sudah terlalu lelah.



    Begitu aku masuk ke kamar hotel, terlihat Resha sedang duduk di sofa, memandang kosong ke arah luar jendela.

    “Hei, kemana saja kamu? Tidak ikut pesta tadi?”, tanyaku.

    Dia tidak menjawab.

    “Ck…ada apa sih denganmu? Sejak tadi pagi kamu begini terus.”

    Dengan wajah marah, dia memakiku. “Masih juga berani tanya ‘ada apa’?! Dasar brengsek!!”

    “Resha!! Jaga mulutmu!! Aku terlalu lelah untuk mendengar ocehanmu itu!!”

    “Ha!! Teruskan saja, teruskan!! Kamu memang sudah lelah dengan diriku kan?!”

    Kemarahanku makin menjadi. Jelas saja, aku tidak melakukan apapun padanya, dan dia marah-marah tidak jelas seperti ini?! Di tengah emosi yang memuncak itu, tanpa sadar aku menggerakkan tanganku, ingin menamparnya.



    TO BE CONTINUED...



    ============================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Constantinople is based on the real old Constantinople in Istanbul, Turkey.
    • Nama hotel, Bereshyt = Hebrew language, artinya "Kejadian" (Genesis)
    • The story based on creation story in Genesis 1
    • Seluruh tembok dan bukit yang ada di kota ngikutin peta aslinya, tapi dibalik 180 derajat (yg barat jadi timur, yang timur jadi barat)
      Spoiler untuk Peta :

    • Our new character, Helena Ouranoxiphos:
      Helena = feminine style dari "Greek" (Hellas) itu sendiri (kalo orang" Yunani = Hellenes)
      Ouranoxiphos = Greek language. Ouranos = sky/heaven, nama primordial deity yang melahirkan Cronus (bapaknya Zeus). Xiphos = pedang.
      Kalo diartiin mungkin "Heavenly Sword of the Greek"
      TAPI !! UNTUK KALIAN HEI PARA OTAKU !!
      Coba perhatikan nama belakangnya, yang bisa juga ditulis "Heavensword"
      Apakah kalian keinget dengan nama..."Hellscythe"? Eucliwood Hellscythe adalah nama salah satu karakter anime "Kore wa Zombie Desu ka?", rambutnya juga biru pucat kek Helena di cerita ini (silakan diblok)

    Last edited by LunarCrusade; 01-07-12 at 06:20.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  19. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
Page 4 of 8 FirstFirst 12345678 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •