Page 2 of 14 FirstFirst 12345612 ... LastLast
Results 16 to 30 of 200
http://idgs.in/569960
  1. #16
    Z-CYBER's Avatar
    Join Date
    Nov 2007
    Location
    Palembang City
    Posts
    9,090
    Points
    1,446.63
    Thanks: 173 / 236 / 166

    Default

    ohhhh soalnya w belom perna ketemu panjang lingkaran nil
    biasa bergaul sama orang juga bilangnya
    diameter lingkaran
    bukan panjang lingkaran
    jd rasanya bagi w si ga srek wkwkwk

  2. Hot Ad
  3. #17
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Z-CYBER View Post
    ohhhh soalnya w belom perna ketemu panjang lingkaran nil
    biasa bergaul sama orang juga bilangnya
    diameter lingkaran
    bukan panjang lingkaran
    jd rasanya bagi w si ga srek wkwkwk
    baca baik"...gw menyebut DIAMETER, hanya nilai DIAMETERNYA SAMA PANJANG dengan dst dll


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  4. #18
    Z-CYBER's Avatar
    Join Date
    Nov 2007
    Location
    Palembang City
    Posts
    9,090
    Points
    1,446.63
    Thanks: 173 / 236 / 166

    Default

    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    baca baik"...gw menyebut DIAMETER, hanya nilai DIAMETERNYA SAMA PANJANG dengan dst dll


    ada kok gw baca itu pas dia ketemu bole emas berdiameter sepanjang jari kelingking

    mana tehillim 4 na nil

  5. #19
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Z-CYBER View Post
    ada kok gw baca itu pas dia ketemu bole emas berdiameter sepanjang jari kelingking

    mana tehillim 4 na nil
    Terus bagusnya gimana kalo menurut lu?

    Soalnya bagi gw kalimat itu nggak salah, gw mengadakan comparison antara benda bulat dengan benda lain yang strukturnya gak sama.
    Dan karena di sekitar Da'ath gak ada benda berbentuk bola, maka dia pasti bandingin dengan apapun yang ada.
    Yang simpel ya jarinya sendiri.

    Kalo gw hilangkan kata "panjang", malah TAMBAH ANEH.
    "...berdiameter sekelingking." <<< asli bahasanya jelek bener klo gini. Gramatically still correct, tapi ga enak dipandang.

    Seandainya gw ganti, "...diameternya memiliki nilai yang sama dengan panjang jari kelingkingku."
    Aneh kah?
    Bagi gw sih aneh. Ini genre Fantasy, bukan Science Fiction.
    Kalo Sci-Fi malah gw malah berusaha seilmiah mungkin nulis bahasanya, contoh tuh AAaAR.

    Well, gw tunggu pendapat mahasiswa FMIPA UI jurusan matematika dolok deh (si Pierrot)


    Sabar lah, lu kira 1 chapter bisa sehari jadi gitu


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #20
    Z-CYBER's Avatar
    Join Date
    Nov 2007
    Location
    Palembang City
    Posts
    9,090
    Points
    1,446.63
    Thanks: 173 / 236 / 166

    Default

    oke tar kabarin lagi

    yg diameter kan menurut w doang wkwkkw

  7. #21
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Sip, chapter 3.
    Ngg, nama jurus2 nya makin aneh, yang sebelomnya bahasa Inggris sih masih ngerti, kalo ini...
    oke, terus si orang(?) dari masa depan udah dateng ya. Gue udah menduga bakal ada yang begituan
    senjata yang ngga sesuai zamannya, sih. Antara primitif ato modern, sayang di zaman primitif plasma belom bisa diapa2in. Jelas lah ini pasti ada hubungannya sama masa depan.

    Chapter ini...jeder2 nya banyak, tapi kok kurang mantep ya. Dibilang detail, ngga se detail aaaar juga. Intens nya agak kurang. Gue bacanya cuma kayak "Oh...ada jurusnya, beres deh.."
    Apa ya, penggambaran situasinya kurang mantep. Gue kayak bukan membaca "Lunar", gara2 dicekokin 30an chapter yang begituan sih kemaren ini

    ampon....

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  8. #22
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    gw bakal pake bahasa Ibrani sama Yunani sebanyak mungkin di cerita ini

    baru 3 chapter say, santai...AAaAR juga pas baru 3 chapter belom ada apa"nya


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  9. #23
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    BUAPAKMU
    aaaar chapter 3 sih jeder2nya belom, tapi apaan itu istilah2 semua gue pusing. brengsek di alur yang berbeda

    ehm...tapi ada benernya juga
    pokoknya yang jeder2 heboh masih ditunggu.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  10. #24
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Tehillim 4 :


    ============================================
    Tehillim 4: A Human, An Archangel, and A Living Metal
    ============================================




    Hari berikutnya, aku dan Raqia harus tetap berada di desa Ferrenium. Untuk mengawasi senjata berjalanku tentunya.

    Rencananya, begitu seluruh puing sudah bersih, perjalanan akan dilanjutkan. Tapi, berhubung nyaris sepertiga bangunan di desa hancur, sepertinya aku harus berada di sini lebih lama…mungkin beberapa hari. Untuk itu pula, kuperintahkan kaleng berjalan itu untuk bekerja tanpa henti. Untung saja dia tidak butuh makan, minum, ataupun tidur.

    Dan…agar mudah untuk memanggil manusia kaleng itu, kami berdua sepakat untuk memanggilnya Plasma. Tanpa embel-embel “Rifle”.

    “Mungkin dalam dua hari bisa kubereskan semua. Apa perlu kubantu membangun kembali bangunan-bangunan yang runtuh?”, tanya Plasma.

    “Dengan kata lain, besok bisa diselesaikan?”, aku balik bertanya.

    “Uh-huh. Memindahkan semua ini tidaklah sulit untukku.”

    “Hmm…biar kubicarakan dulu dengan kepala desa. Jika dia memintamu membangun kembali apa yang sudah kamu hancurkan, turutilah.”

    “Beres.”

    Ini dia saatnya menghadap kepala desa. Maksudku…ayah angkatku, Barzel Tubal-cain.



    Semenjak menjadi kepala desa 2 tahun lalu, dia makin jarang menekuni bidang mengolah logam. Tapi, demi menjaga tradisi keluarga Tubal-cain, tak lama setelah mulai diadopsi olehnya, aku mulai diajari kemampuan-kemampuan seorang blacksmith. Usiaku masih 8 tahun waktu itu. Selama 11 tahun berikutnya, kami berdua selalu mengerjakan apapun bersama-sama mulai dari membuat hiasan-hiasan, peralatan rumah tangga, onderdil untuk kereta kuda, hingga senjata untuk para Angel-class.

    Namun entah kenapa, jumlah besi dan beberapa jenis logam lain di alam makin menipis. Padahal menurut ayah angkatku, seharusnya cadangan logam di sekitar desa hingga beberapa hari perjalanan jauhnya masih dapat bertahan untuk puluhan tahun. “Mungkin mereka ditelan Bumi.”, begitu kata ayahku kira-kira 2 tahun yang lalu, beberapa hari sebelum dipilih menjadi kepala desa Ferrenium, tepat pada usiaku yang ke-19.

    Aneh memang, tapi aku tidak dapat berbuat apapun untuk membuat logam-logam itu muncul kembali. Yang bisa kulakukan hanyalah berpindah ke tempat lain yang lebih menguntungkan…Shamayim misalnya.



    Terik matahari mulai digantikan oleh langit jingga ketika aku masuk ke rumah. Sebuah rumah kayu dua lantai, beratapkan genteng tanah liat. Untunglah rumahku tidak terkena serangan Plasma kemarin.

    Seorang pria setengah baya berambut pirang pendek duduk di ruang tamu. Mata kehijauannya itupun menatapku begitu kakiku melangkah masuk ke rumah.

    “Ah, anakku Da’ath rupanya. Bagaimana? Apa senjata berjalanmu itu bekerja dengan baik?”, tanyanya, lalu menyeruput sedikit secangkir teh di hadapannya.

    “Lancar, ayah. Dia hanya menanyakan, apa perlu dia membangun kembali semua itu.”

    “Hmm…sebaiknya begitu. Tapi, bukankah kalian akan pergi ke selatan? Ayah tidak mau menunda hal itu lebih lama.”

    “Oh, tidak apa-apa. Aku tidak terburu-buru---“

    “Da’ath!! Aku bisa dengaaaarrr!!”, seru Raqia, setengah berteriak. Pasti dia kesal begitu mendengar kata-kataku tadi.

    Bukan hanya itu, aku juga mendengar bunyi pisau yang berbenturan dengan alas kayu untuk memotong. Dia pasti ada di dapur, berada di balik tembok kayu yang membagi rumah menjadi 2 bagian utama.

    Aku melangkah ke arah dapur, lalu berdiri bersandar pada kusen yang terdapat di tembok, sebagai jalur penghubung antara ruang depan dan belakang. “He? Kamu bisa masak?”

    “Da’ath, jangan begitu. Nona Raqia sudah banyak membantu sejak tadi.”, ujar seorang perempuan setengah baya, masuk dari pintu belakang. Rambut kecoklatannya yang dikuncir sedikit berubah warna karna terpaan cahaya jingga matahari senja.

    Itu suara ibu angkatku, Zahav. Dengan sekeranjang sayuran hijau yang terlihat basah ---mungkin habis dicuci---, dia mendekati kami berdua.

    “Hee…begitukah?”, tanyaku, setengah tidak percaya.

    Mungkin karena kesal, Raqia mempercepat tempo memotongnya. Padahal yang dipotongnya hanya beberapa buah wortel dan kentang. Mengerikan juga sih…seakan dia ingin membunuhku kapan saja.

    “Oke, oke. Aku percaya.”

    Mendadak pisau yang dipegangnya melambat.

    “Jangan lupa panggil peliharaan kalengmu itu. Siapa tahu dia ingin makan juga.”, ujar ibu.

    Pffft. ‘Peliharaan kaleng’. Cocok sekali untuk Plasma.

    “Baiklah, nanti akan kupanggil jika makanannya sudah matang.”



    Beberapa waktu berlalu, semua telah siap di atas meja makan, tidak jauh dari ruang tamu. Hmm…aromanya benar-benar mantap. Sudah beberapa hari ini aku tidak makan masakan rumah.

    Ah iya, akan kupanggil Plasma untuk masuk. Begitu aku membuka pintu depan, kudapati dia berada hanya beberapa puluh langkah dari teras rumah.

    “Heeeeii…Plasmaaaaa!! Masuklaaaaah!!”

    Mata kuningnya yang menyala itu menengok ke arahku, tanda kalau dia mendengar.

    “Uh? Ada apa?”, tanyanya, saat sudah berada di hadapanku.

    “Masuklah. Apa kamu tidak ingin makan?”

    “Bukankah sudah kukatakan, aku tidak butuh makanan sama sekali?”

    “Sudah, masuk saja. Lama-lama aku juga merasa tidak enak meninggalkanmu berlama-lama di luar. Hari sudah malam begini pula…”

    Beberapa saat Plasma hanya terdiam, dengan celah persegi yang terbuka--- maksudku, mulutnya sedikit menganga.

    “Oke, aku akan masuk. Sebenarnya sudah lama juga aku tidak mencicipi makanan manusia.”

    Hmm, mungkinkah dia terdiam karena berusaha mengingat apa yang pernah dilakukannya sebelum ini?

    Tanpa basa-basi, Plasma pun masuk dan duduk di salah satu kursi yang kosong, terletak di antaraku dan Raqia. Awalnya, dia sempat ragu untuk memasukkan makanan ke mulutnya. Namun masakan ibuku menggodanya lebih kuat. Malahan, beberapa kali dia mengomentari kelezatan semua hidangan yang ada di meja. “Ini jauh lebih enak dibanding yang pernah dibuat pemilikku dulu.”, begitu katanya ketika selesai mencicipi semua yang ada. Tentu saja, kata-katanya itu membuat ibuku senang. Aneh juga sih, ada kaleng hidup yang makan makanan manusia…hehehe.

    Bukan hanya Plasma, Raqia juga membuatku kembali terkagum. Baru sehari berada di sini, dia sudah terlihat nyaman berbicara dengan ayah dan ibuku. Yah, memang waktu itu dia sempat membuatku kesal. Tapi, dia bukanlah seseorang yang senang menutupi emosinya dengan senyuman palsu. Jika dia gembira, maka dia tersenyum dan tertawa. Jika kesal, maka dia akan menggerutu dan marah, sama seperti saat perjalanan ke sini. Dengan kata lain, suasana rumahku yang kecil ini ---jauh berbeda dengan istana super megahnya--- mampu menjaga sifat cerianya. Baguslah, sepertinya aku tidak perlu khawatir dengannya.

    Sayang sekali suasana ini tidak dapat kunikmati terus-menerus selama beberapa waktu ke depan…



    ”Belum mengantuk?”, tanya Raqia, yang duduk di kursi dekat jendela. Berhubung rumah ini hanya punya 2 kamar, sejak kemarin malam Raqia tidur di kamar yang sama denganku.

    “Sepertinya begitu…”

    Dari posisi telentang, aku segera duduk. Entah karena aku harus tidur di lantai, atau…

    Raqia menghela nafas satu kali. “Padahal sudah kubilang tadi…Archangel sepertiku tidak butuh tidur. Kamu bisa menggunakan kasurmu sendiri kalau mau. Malah berlagak jantan dengan menawarkan diri untuk tidur di lantai…begini kan akibatnya?”

    “Bukan, bukan itu masalahnya. Hanya saja…”

    Berdiri, lalu kugerakkan kakiku menuju sebuah meja tak jauh dari posisi Raqia berada sekarang.

    “Masih terpikir mengenai Biblos Gnostikos?”, tanyanya begitu tanganku mengambil buku tersebut, yang tergeletak di atas meja. Tadi pagi Tzafon mengantarnya beserta kedua kuda yang kami tinggalkan. Sengaja Plasma tidak kuberitahu lebih dulu, karena besar kemungkinan perjalanan akan tertunda lebih lama lagi jika langsung kuberikan padanya.

    “Begitulah. Yang aku heran, kenapa bisa…”, kubuka buku itu, tebalnya kira-kira setengah tinggi telapak tanganku. “Beberapa halaman awalnya terisi? Bukankah sebelumnya kosong total?”

    “Berarti…apapun yang kamu lakukan sejak kemarin tiba di desa hingga buku itu kembali tadi pagi, itulah yang dapat mengisinya. Mungkin ada kaitannya dengan kemunculan Plasma?”

    “Sepertinya tidak. Jika benar kemunculan Plasma mempengaruhi tulisan di buku ini, seharusnya buku ini sudah penuh sekarang. Kecuali, ada Plasma lain di luar sana.”

    “Hmm…benar juga katamu. Sejauh yang kutahu, tidak ada satupun senjata yang serupa dengan yang kamu punya. Plasma juga merasa nyaman dengan senjata itu, yang dikatakan sebagai ‘tubuh’nya.”

    “Nah, itu dia. Artinya, di dunia ini hanya ada satu makhluk seperti dia.”

    Sejenak, Raqia terdiam dan menatap keluar jendela.

    “Mungkin…angka itu.”, tiba-tiba dia kembali bersuara.

    Divine Proportion?”

    “Uh-huh. Jujur saja, sebelumnya aku tidak tahu-menahu mengenai angka tersebut. Wajar saja, banyak hal di Shamayim dilakukan dengan hal-hal supranatural. Hanya perlu sedikit imajinasi untuk membuat benda-benda yang rumit.”

    Mendadak aku menyadari sesuatu.

    Kupandang ke arah Biblos Gnostikos. “Hei…sepertinya aku tahu apa yang dapat mengisi buku ini.”

    “Benarkah?”, dia terlihat setengah tidak percaya.

    “Memang harus dibuktikan lebih jauh, tapi…kalau kamu, aku yakin pasti bisa.”

    “Eh? Jadi, aku yang dapat mengisi buku itu?”

    “Dari tidak mengetahui, menjadi mengetahui. Dengan kata lain, kamu harus belajar. Uh-huh, belajar berbagai macam ilmu.”

    “Tunggu, tunggu, tunggu.”, ujarnya cepat. “Tidak masuk akal. Kenapa harus aku?”

    “Mungkin karena kamu seorang Archangel?”

    “Masih ada enam Archangel lainnya…bagaimana sih kamu ini.”

    “Itulah kenapa tadi kukatakan, hipotesis tadi belum bisa dibuktikan. Setidaknya harus ada Archangel lain yang dapat melakukan hal yang sama untuk mematahkan hipotesisku. Dan jika hipotesis itu benar, aku yakin, kamu tetap dapat melakukannya.”

    “Bagaimana kamu bisa begitu yakin…?”

    “Mengingat dua puluh delapan juta orang saja sanggup, apa iya kamu tidak bisa belajar beberapa hal baru hinga buku ini penuh? Tidak masuk akal bagiku.”

    “Huh…baiklah. Tapi ingat, kita harus tetap menemui semua Archangel untuk mengonfirmasi keberadaan Crusader-Saint, yang mungkin sekali adalah dirimu.”

    “Tidak masalah. Yang jelas aku ingin semuanya cepat selesai.”, kembali kutaruh buku tebal itu di atas meja.

    “Bagus.”, ujarnya sambil beranjak berdiri, lalu melangkah ke kasur.



    “Tadi katamu, Archangel tidak butuh tidur….”

    “Memang tidak.”, diapun duduk di tepi kasur. “Kalau kamu sulit untuk tertidur, taruhlah kepalamu di pangkuanku. Manusia akan lebih mudah tertidur dengan cara demikian. Atau mau kubelai juga?”

    “Hah?! Apa kamu gila?!” Jelas saja aku terkejut. Itu sama saja dengan menggoda keinginan duniawiku lebih lanjut!!

    Raqia menatapku tajam. “Kamu pasti berpikiran yang aneh-aneh, benar kan?”

    “Err…anu…itu…ng…”

    “Tenang saja. Sekali kamu berbuat yang tidak sepantasnya, akan kulempar tubuhmu keluar jendela.”, katanya santai.

    “Mengerikan…”

    “Sudah, sudah. Yang jelas kamu butuh tidur sekarang. Aku tidak bisa membiarkanmu jatuh sakit hanya karena hal sepele seperti itu. Jadi, bagaimana?”

    “Baiklah jika kamu memaksa…”, jawabku pelan. Sebenarnya sih, hatiku girang setengah mati.

    Sedikit gemetar, kuarahkan kakiku ke arah ranjang. Tiap langkah diwarnai dengan detak jantungku yang terasa makin kencang. Jujur, ini seperti bermimpi. Berbaring di pangkuan seorang Archangel? Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan seumur hidupku.

    Perlahan kuangkat tubuhku ke atas kasur. Lalu, kutaruh kepalaku di atas pangkuannya, dengan tidak menghadap ke arah perut atau wajahnya.

    “J-Jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.”

    “Kamu tidak akan berani melakukannya, Da’ath. Aku bisa merasakan hal itu.”

    Telapak tangannya yang lembut itupun menyentuh pipiku. “Pipimu kenapa panas begini? Jangan-jangan kamu sakit?”

    “B-Bukan begitu, aku hanya---“

    “Ahaha…iya, aku juga mengerti.”, potongnya cepat. “Meski sebenarnya…ini aneh. Tidak seharusnya kamu merasa malu-malu dengan hal ini. Apa ritual pemurnian waktu itu gagal ya?”, gumamnya.

    “Aku…tidak mengerti. A-Aku hanya ingin tanya satu hal. Apa kamu tahu akibatnya jika kamu berlaku seperti ini? Apa kamu tahu, ini semua hanya akan menyebabkanku salah paham…”

    “Da’ath…Da’ath. Tentu saja aku tahu, aku mengerti, aku paham. Ingat? Sudah dua ribu tahun penduduk Shamayim berkonsultasi denganku dalam masalah apapun. Tapi kami, para Archangel, tidak mungkin bisa merasakan langsung hal yang demikian.”

    “J-Jadi, jika aku mengatakan kalau aku---“

    “Belum dua minggu kita saling kenal, dan kamu mau mengungkapkan cinta? Tidak masuk akal. Itu nafsu belaka, bukan cinta yang sesungguhnya. Lagipula…”

    “Lagipula?”, kupindah posisi kepalaku, menghadap langsung ke wajahnya.

    Dia tersenyum sejenak, lalu berkata, “Boleh kuceritakan sesuatu? Mungkin ini juga dapat membantumu terlelap.”

    “Boleh saja.”

    “Ini adalah sebuah legenda kuno, yang mungkin sudah sama tuanya dengan cerita tentang akan kembalinya Crusader-Saint. Pernahkah kamu mendengar tentang Nephilim?”

    “Belum.”

    Mulutnya mulai berkata-kata, menceritakan legenda tentang Nephilim tersebut. Mungkin karena aku sudah setengah mengantuk, detail ceritanya tidak kuperhatikan dengan baik. Namun intinya adalah mengenai seorang Archangel yang jatuh cinta pada manusia. Archangel itupun dikucilkan oleh Archangel lainnya, para Angel-class, bahkan manusia. Dan Nephilim, itulah sebutan untuk keturunan Archangel yang terbuang tersebut. Setengah Archangel, setengah manusia, tidak murni, tidak suci.

    “Yah, tapi itu hanya cerita belaka. Jika benar Nephilim itu ada, maka mereka sama najisnya dengan Akatharton. Lagipula hal itu mustahil nyata di dunia ini, karena ketujuh Archangel adalah makhluk yang kudus dan suci. Artinya, bentuk cinta yang kami miliki hanya satu, cinta yang sama rata terhadap semua makhluk yang mengikuti perintah kebaikan yang ada di Kitab Suci.”

    “Begitu ya…”

    Aku benar-benar merasa berdosa mendengar hal itu. Tidak sepantasnya selama ini aku berpikir mengenai menjadikan Raqia sebagai pasangan hidup…

    “Suaramu terdengar kecewa. Apa kamu benar-benar---“

    Seketika aku bersujud di hadapannya, masih di atas ranjang.

    “Maaf, Raqia. Aku benar-benar minta maaf. Lebih tepatnya…aku mohon ampun.”

    “Eh…? Tidak perlu sampai begitu, Da’ath. Melihatmu menyadari kesalahan, itu saja sudah membuatku senang. Jadi, tolong angkat kembali kepalamu.”

    Akupun mengangkat kepalaku. “Tapi, aku sudah terpikir untuk---“

    “Apa hal itu sudah berbuah menjadi dosa? Belum kan? Lain halnya jika kamu sudah berani menyentuhku di bagian-bagian yang tidak sepantasnya, mungkin tulang-tulangmu sudah patah sekarang.”, ditutupnya dengan kembali tersenyum, tapi…seakan ada hawa membunuh yang amat dahsyat tersembunyi di baliknya.

    “Jadi, apa aku diampuni?”

    “Tentu saja. Kulihat kamu sudah menyadari kesalahanmu, jadi tidak ada gunanya lagi menghukum dirimu. Ya sudah, sekarang lebih baik kamu tidur. Apa mau berbaring di pangkuanku lagi?”

    “Lagi-lagi kamu berusaha menggodaku…”

    “Begitukah? Padahal aku tidak bermaksud demikian sama sekali.”, ujarnya, sambil memiringkan kepala sedikit ke kanan. “Tapi…baiklah kalau itu maumu. Sekarang, kuperintahkan kamu untuk tidur di kasurmu sendiri. Mengerti?”

    “Lantas bagaimana denganmu?”

    “Huh…masih juga…”, tangan kanannya ditaruh di dahi. “Sudahlah, lebih baik aku menemui Plasma. Jika aku tetap di kamar ini, bisa-bisa kamu tidak tidur sama sekali.”, Raqia mulai melangkah ke arah pintu.

    “T-Tapi---“

    Sambil mengacungkan telunjuknya ke arahku, Raqia berujar, “Stop, atau kuikat dirimu. Ini perintah.”

    “O-Oke…”



    Mataharipun kembali bersinar di langit.

    “Hahaha!! Da’ath, Da’ath. Kebiasaanmu waktu kecil ternyata muncul lagi…!!”

    Ayahku langsung terbahak-bahak mendengar cerita Raqia ketika sarapan, di meja makan. Apa yang terjadi tadi malam, diceritakan seluruhnya oleh Raqia pada ayah.

    “Jadi, Da’ath juga suka tidur di pangkuan nyonya Zahav sewaktu kecil?”

    Ibuku menimpali, “Apalagi kalau sedang hujan deras disertai petir, Da’ath pasti tidak mau lepas dari saya…ahaha…”

    “Cih, dasar anak manja.”, ledek Raqia.

    Aku hanya bisa tertunduk malu mendengar percakapan mereka. Sial…

    “Tapi aku bisa mengerti, karena semua ini memang terlalu mendadak. Kulihat wajahnya begitu cemas dan lelah semalam, jadi…kupikir hal itu dapat membuatnya tenang.”, Raqia menambahkan.

    Tiba-tiba pintu depan rumah dibuka dari luar. Oh, itu Plasma.

    “Permisi, maaf mengganggu waktu sarapan kalian.”

    “Ya, kemarilah.”, jawab ayah.

    “Aku hanya ingin melapor, kalau semuanya sudah bersih.”

    “Ah…bagus, bagus.”, sahut Raqia. “Da’ath, kalau begitu hari ini juga kita pergi.”

    “Baiklah, sebelum tengah hari kita berangkat. Bagaimana?” Dijawabnya dengan mengangguk beberapa kali.

    “Kalau begitu nanti akan ayah persiapkan kudanya. Kalian berdua berkemaslah begitu selesai sarapan.”



    Matahari belum begitu tinggi saat kami selesai berkemas. Kami berduapun beranjak keluar rumah ditemani ayah dan ibu, menuju kuda yang telah disiapkan. Sebelumnya, Plasma telah kuperintahkan untuk menunggu dan menjaga kuda-kuda kami.

    “Sudah waktunya ya? Baiklah, sepertinya aku harus berubah menjadi bentuk rifle---“

    Kupotong kata-kata Plasma sebelum berubah. “Ini, oleh-oleh untukmu.”, kuberikan Biblos Gnostikos padanya.

    “Ah, akhirnya.”, ujar Plasma, sambil mulai membuka halaman awalnya.

    “Tapi maaf kalau masih banyak bagian yang kosong.”

    “Hmm…ya, memang aneh. Hanya ada beberapa halaman yang terisi.”

    “Sebelumnya malah kosong sama sekali.”, sahut Raqia.

    “Uh? Begitukah? Lantas bagaimana buku ini bisa terisi sedikit?”

    “Nanti akan kuceritakan di perjalanan. Sekarang, lebih baik kamu---“

    Giliran Plasma memotong kata-kataku. “Kalian tidak perlu kuda kali ini.”

    “Eh? Maksudmu---“

    Requesting access.”, begitulah suara yang terdengar dari mulut Plasma. Kemudian…

    Cahaya yang amat menyilaukan terpancar dari buku itu dan juga tubuh Plasma. Refleks, aku dan Raqia mendekat ke arah ayah dan ibuku, berusaha melindungi mereka. Kupikir akan ada ledakan atau semacamnya, ternyata tidak.

    Administrator recognized. Authorization completed. Sonic Glider form, password confirmed. Access granted.

    Kali ini Biblos Gnostikos berbicara!!

    Intensitas cahaya di sekitar kamipun mulai berkurang, dan aku bisa melihat sesuatu di depanku…benda yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Bentuknya makin jelas, makin jelas, makin--- HAH?! Apa itu?!

    Entah apa namanya, yang jelas di hadapanku sekarang ada sebuah benda berbentuk segitiga besar dengan 2 sisi panjang dan 1 sisi pendek. Segitiga sama kaki. Cukup tebal, mungkin tingginya sekitar 2 kali tinggi badanku. Dari ujung depan hingga belakang, panjangnya sedikit lebih besar dibanding panjang rumahku dari pintu depan ke pintu belakang. Satu lagi, benda itu…mengambang sekitar 3 jengkal di atas permukaan tanah.

    “A-Apa ini…?”, tanya Raqia, sambil melangkah ke arah benda tersebut meski terlihat ragu, diikuti olehku dari belakang.

    “P-Plasma, apa ini…dirimu?”, tanyaku sambil memegang permukaannya, yang jelas terbuat dari bahan yang sama dengan Plasma.

    Benda aneh itupun menjawab, “Yap, ini aku, Plasma. Biar kujelaskan, sekarang aku berada dalam bentuk Sonic Glider. Dengan mode ini, kalian bisa menaikiku untuk bepergian ke tempat yang jauh. Sekarang, masuklah ke kokpit.”

    “Eh? Kokpit? Apa itu?”, Raqia terdengar keheranan.

    Kapsul kaca yang berada di tengah-tengahnyapun membuka. Mungkinkah itu yang disebut dengan kokpit?

    “Kaca kokpitnya sudah kubuka. Kalian bisa naik.”

    “B-Biar aku dulu.”, ujar Raqia, lalu melompat masuk ke dalamnya. Dia memilih duduk di depan.



    “T-Ternyata senjatamu itu punya kemampuan yang luar biasa…”, sahut ayah.

    “Untuk yang satu ini, aku belum pernah mengetahuinya…”

    “Hmm…baiklah. Sepertinya kalian memang tidak membutuhkan kuda jika ada benda itu. Kalau ayah lihat-lihat, mungkin dia dapat bergerak dengan sangat cepat.”

    “Uh-huh, sepertinya begitu.”

    “Da’ath!! Ayo cepatlaaahh!! Kursinya empuk sekali lho…”, seru Raqia sambil melambaikan Biblos Gnostikos, terdengar ceria.

    Kutengok ke arahnya, “Iya, tunggulah sebentar!!”

    “Da’ath, bawalah ini selama di perjalanan.”, ibuku menunjukkan sesuatu di tangan kanannya, sebuah kalung berbentuk salib.

    “Ini…kalung apa?”, tanyaku, sambil menerima kalung tersebut.

    “Selain peliharaan kalengmu, hanya benda ini yang ada bersamamu saat ibu dan ayah menemukanmu. Ibu rasa ini dapat membantumu menguak semuanya.”

    “J-Jadi...ini…”

    Ayah menepuk bahu belakangku keras-keras sambil berkata, “Sudah, jangan membuat nona Archangel yang manis itu menunggu lama.”

    “I-Iya…tidak perlu keras-keras begitu, ayah…”

    Kupeluk ayah dan ibuku erat-erat sebelum masuk ke dalam Plasma. Langkahku terasa begitu mantap saat berjalan mendekati benda itu.

    “Kembalilah secepatnya begitu urusanmu selesai. Jika nona Raqia tidak keberatan, kamu boleh mengajaknya lagi ke sini.”, ujar ibu.

    “Hati-hatilah di perjalanan, nak. Dan juga jangan banyak-banyak bertengkar dengan nona Raqia. Itu tidak baik.”, kali ini giliran ayah yang bicara.

    Kupalingkan wajahku sesaat ke arah ayah dan ibu, mengangguk satu kali, lalu melambaikan tangan pada mereka berdua.

    “Tuan Barzel, nyonya Zahav, kami mohon diri.”, Raqia mohon pamit.

    “Jangan lupa sampaikan permintaan maafku pada penduduk desa, tuan Barzel.”, ujar Plasma, dijawab oleh 3 kali anggukan kepala dari ayah.

    Kapsul kaca itu segera menutup begitu aku duduk di kursi belakang. Kemudian, terdengar suara dari arah bawah, disusul dengan Sonic Glider yang mulai bergerak secara vertikal ke atas.



    “Jadi, ke mana tujuan kita?”, tanya Plasma, yang wajahnya terpampang dalam sebuah persegi bening tak jauh dari depan Raqia.

    “Teruslah terbang ke arah selatan, nanti akan ada hutan yang sangat luas. Nah, itulah tempat tinggal Mama Deshiel.”, jawab Raqia.

    “Huh? Mama? Itu ibumu?”, tanyaku penasaran.

    “Bukan begitu juga sih…tapi dia sudah dianggap seperti ibu oleh Archangel lainnya karena sifatnya yang keibuan. Kecantikan, keanggunan, dan kelembutannya membuat Mama juga disenangi oleh banyak orang.”

    “Hee…begitu ya. Lalu kenapa kamu ingin menemuinya lebih dulu dibanding Archangel yang lain?”, kembali kubertanya.

    “Di antara Archangel yang lain, Mama Deshiel paling mudah untuk diajak bicara mengenai hal-hal aneh seperti ini. Nanti bisa kamu buktikan sendiri ketika berhadapan langsung dengannya.”

    “Baiklah, kalau begitu…”, terdengar suara Plasma, lalu sebuah pita lebar muncul dari atas kedua bahu dan dekat kedua sisi pinggangku, begitu juga dengan Raqia. “Tidak perlu takut, itu namanya sabuk pengaman. Benda itu untuk memastikan kalian tidak terpental saat aku menambah kecepatan.”, Plasma menambahkan, disusul dengan pita-pita lebar itu yang terikat kencang.

    Suara yang cukup keras terdengar dari arah belakang, kemudian…Sonic Glider ini segera melesat dengan kecepatan tinggi, terbang menuju tujuan berikutnya. Yap, untuk menemui Deshiel Tsamach. Mother Nature, sang Archangel ketiga yang mengawasi daerah hutan yang luas di selatan benua.


    Spoiler untuk Tehillim 5 :


    ================================================== ===
    Tehillim 5: Green Angelocracy Part I || Three Colors, Two Variables
    ================================================== ===




    “Jadi Raqia harus belajar hal-hal yang dia tidak ketahui untuk mengisi Biblos Gnostikos?”, tanya Plasma, ketika kami masih berada di udara. Sebelumnya aku sempat menjelaskan hipotesisku mengenai bagaimana cara mengisi Biblos Gnostikos.

    “Itu baru kesimpulan sementara, Plasma. Kalaupun benar, aku masih tidak paham mengenai hubungan antara Raqia dengan Biblos Gnostikos.”

    Raqia pun menyelak, “Hei, apa kamu benar-benar tidak ingat apapun? Tentang Crusader-Saint, dan juga tentang diriku?”

    “Saat ini memang masih banyak data yang tersimpan pada memoriku, namun setelah kuperiksa, ternyata ada beberapa yang hilang. Itu termasuk data mengenai pemilikku sebelumnya, kondisi dunia sewaktu diriku masih sering digunakan pemilik lama, dan namaku yang sebenarnya. Jadi…Raqia, aku mohon maaf. Sekarang hal itu belum dapat kulakukan.”

    Mendengar hal itu, Raqia tertunduk lesu. “Mmm…ya sudah. Tidak apa-apa.”

    “Tidak perlu khawatir. Yang perlu dilakukan hanyalah mengisi Biblos Gnostikos hingga penuh, dan akupun bisa mengakses keseluruhan backup data. Jika itu terjadi, aku bisa mengingat kembali apapun yang telah terjadi, yang tidak kalian ketahui.”, hibur Plasma.

    “Lalu bagaimana kamu bisa berubah menjadi kendaraan terbang seperti ini?”, tanyaku.

    “Oh…itu karena beberapa halaman awal Biblos Gnostikos sudah terisi. Untunglah dia tidak mengalami kerusakan, sehingga password lamapun masih bisa kugunakan. Masih ada beberapa mode lagi yang dapat kuaktifkan setelah tadi mengakses Biblos Gnostikos, tidak hanya Sonic Glider ini saja.”

    “Hee…aku jadi ingin lihat, kemampuan apa lagi yang kamu punya.”



    Tiba-tiba pandangan Raqia berubah, menatap ke kejauhan. “Ah, itu dia. Hutan tebalnya sudah nampak di kaki langit.”

    Menurut apa yang kudengar, hutan tersebut bernama Ya’ar HaMalakh, sebuah hutan yang begitu luas membentang dari tengah benua hingga ke selatan. Belum ada yang pernah mengukurnya secara pasti, namun menurut beberapa Angel-class yang pernah kutemui di desa Ferrenium, luasnya mungkin sekitar setengah luas benua bagian utara. Aku jadi penasaran, kenapa seorang Archangel mau berada di tengah hutan rimba yang sedemikan besarnya?

    “Baiklaaaahh…akan kutambah kecepatannya!!”, seru Plasma.

    “P-Plasma!! T-Tunggu du--- WAAAAAA!!“

    Terlambat. Belum selesai aku bicara, Sonic Glider ini langsung…

    *WHUUUUZZZZ~

    Cepatlah mendarat, cepatlah mendarat, cepatlah mendaraaaaattt!! Aku tidak mau terlalu lama melaju sekencang ini!!

    Tiba-tiba…

    Kendaraan terbang ini menabrak sesuatu. Aku sendiri tidak tahu apa itu, karena sejak Plasma menambah kecepatan, aku hanya menutup mata. Anehnya, begitu kubuka kedua kelopak mataku...benda ini berhenti. Ya, berhenti, seakan ada sesuatu yang tidak terlihat menahan lajunya.

    “A-Ada apa ini?”, tanya Plasma.

    “Divine Barrier. Kalau begitu ada sesuatu yang gawat…”, jawab Raqia.

    “Eh? Apa katamu tadi? Gawat?”, Plasma kembali bertanya.

    “Lebih baik kita turun sekarang, nanti akan kujelaskan.”

    Plasma pun mendarat di tempat yang agak terbuka, tak jauh dari lokasi barrier. Setelah kami berdua turun dan membawa barang, dia kembali berubah menjadi mode manusia kalengnya.

    “Jadi, apa yang kamu maksud dengan Divine Barrier?”, kali ini aku yang bertanya.

    “Para Archangel yang ada bukanlah orang yang tertutup, Da’ath. Semuanya akan mengijinkan siapapun keluar masuk, setelah didapati tidak ada tujuan jahat pada orang-orang itu.” Raqia melangkah ke arah barrier, lalu menaruh tangan di permukaannya, yang bentuk dan wujudnya tidak dapat kulihat. “Nah, Divine Barrier adalah pelindung yang dapat dibuat oleh para Archangel, termasuk diriku, untuk melindungi kota yang dipimpinnya dari ancaman pihak luar.”

    “Hmm…dengan kata lain ada ancaman eksternal yang membahayakan hutan ini.”, sahut Plasma sambil menaruh tangan kanannya di dagu. “Apa kamu tahu apa yang membuat Archangel ketiga itu mengurung diri seperti sekarang ini?”

    “Nah, itu dia, aku juga tidak tahu. Karena itu, kita harus segera masuk.”, jawab Raqia.

    “Caranya?”, Plasma kembali bertanya.

    “Harus kutebas, tapi seingatku ada aturan untuk menebasnya.”

    “Kalau begitu, lakukanlah.”

    “Ng…masalahnya…aku lupa aturannya itu…ehehe…”, ujar Raqia sambil menggaruk-garuk kepala.

    “Dua puluh delapan juta penduduk sanggup kamu ingat, namun cara membuka Divine Barrier ini saja bisa lupa…payah. Aku jadi ragu denganmu.”, aku menimpali.

    Wajahnya berubah merah, lalu berkata, “A-Aku sudah lama tidak kemari, tahu!!”

    Sambil menoleh ke kiri dan kanan, Plasma berujar, “Apa tidak ada petunjuk atau semacamnya?”

    “Ng…ada sih, kalau tidak salah. Seingatku ada batu-batu berwarna merah, biru, dan kuning yang menjadi petunjuk cara membukanya. Kalau kulihat, mungkin aku bisa ingat apa yang harus kulakukan untuk membuka barrier. Seharusnya sih…berada tidak jauh dari pohon itu.”, Raqia menunjuk salah satu pohon besar, beberapa puluh langkah di sebelah kirinya.



    Tanpa basa-basi, akupun berlari ke arah pohon yang ditunjuk. Hmm, sepertinya pohon beringin. Kukelilingi batang pohon besar itu, dan…itu dia, batu-batu yang dimaksud Raqia.

    “Hei!! Benar, di sini ada beberapa batu!!”, kupanggil mereka berdua. Keduanyapun langsung berlari ke tempatku berdiri.

    “Nah, ini dia. Hmm…sepertinya total batunya berubah…”

    “Menurutku wajar saja.”, Plasma menyahut. “Jika benar batu-batu itu adalah kode pengaman, sangat masuk akal jika diubah setiap selang waktu tertentu.”

    “Ah…kalau berubah begini aku jadi tidak mengerti. Aku memang tidak pernah tahu cara sesungguhnya untuk memecahkan kode ini…”, Raqiapun terduduk lemas di tanah.

    Yang kulihat adalah dua baris batuan seukuran kelereng. Baris pertama terdiri dari berturut-turut kelompok 7 batu merah, 5 batu biru, dan 56 batu kuning. Sementara baris kedua memiliki kelompok 3 batu merah, 4 batu biru, dan 37 batu kuning. Bah…aku jadi bingung, apa maksudnya semua batu ini.

    “Kalau saja baris atas punya dua batu merah, tiga batu biru, lima batu kuning, sementara baris kedua punya tiga batu merah, satu batu biru, dan empat batu kuning…”, keluh Raqia.

    “Memangnya kenapa kalau total batunya demikian?”, tanya Plasma.

    “Aku hanya perlu menebas Divine Barrier itu secara horizontal satu kali, dan vertikal satu kali pula. Dan seingatku, hal itu tidak pernah berubah selama ratusan tahun.”

    Mendadak Plasma tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai terguling-guling di tanah. “Bwahaha!! Soal semudah itu kamu tidak bisa?! Memalukan!! Seingatku, anak umur dua belas tahunpun sanggup melakukannya!! Ahahaha….!!!!”

    Raqia terlihat kesal, nampak dari kedua pipinya yang menjadi lebih kembung. “Uh…Plasma…jangan bicara saja bisanya.”

    “Ahaha…duh, maaf. Tapi ini benar-benar konyol. Persamaan linear dua variabel saja tidak bisa kamu selesaikan?”

    “Sekali lagi kamu meledek, akan kucincang dirimu.”, ujar Raqia datar.

    “O-Oke, oke.”, Plasma terlihat ketakutan, bahkan mengangkat sedikit kedua tangannya. “Jika kamu mau, akan kuajari caranya. Dan mungkin…dengan begitu, Biblos Gnostikos akan terisi lebih banyak.”

    Raqia mengangguk beberapa kali dengan cepat.

    “Da’ath, mau kuajari sekalian?”

    “Boleh…jadi, bagaimana caranya?”



    “Agar aku tidak terlalu panjang bicara, akan kumisalkan saja batu-batu itu. Anggaplah batu merah adalah x, dan batu biru adalah y.”

    Plasma pun menulis dengan jarinya sebuah huruf x di tanah, lalu y sekitar satu jengkal di sebelah kanannya. Tanahnya cukup lunak dan lembab, sehingga mudah untuk ditulisi.

    “Yang kuning?”, tanya Raqia.

    “Itu adalah hasilnya. Akan kutulis lima puluh enam di sebelah kanan huruf y.”

    Di baris kedua, Plasma menulis hal yang sama. Huruf x, lalu huruf y sejengkal di sebelah kanan, namun kali ini angka 37 di paling kanan.

    “Sekarang, akan kutaruh jumlah batu merah dan birunya.”

    Tulisan di tanah kali ini menjadi 7x 5y 56 di baris atas, dan 3x 4y 37 di baris kedua.

    “Lalu, tanda operasi matematikanya. Akan lebih mudah jika kutaruh tanda tambah untuk menghubungkan variabel x dan y. Oh, dan tentunya tanda sama dengan.”

    Tulisanpun menjadi 7x + 5y = 56 pada baris pertama, dan 3x + 4y = 37 pada baris kedua.

    “Sampai sini, apa kalian mengerti?”

    “Oh…jadi kamu memisalkan batu-batu itu dengan angka dan huruf ini? Lalu, selanjutnya?”, Raqia terlihat lebih bersemangat kali ini.

    “Sebenarnya ada tiga cara penyelesaian, tetapi kali ini akan kugunakan cara tercepat. Langkah pertama, kita harus mengeliminasi salah satu huruf, yang kita sebut variabel. Ingin x atau y dulu?”

    Raqia menjawab, “Huruf y dulu saja.”

    “Oke. Karena koefisien angka untuk variabel y di baris pertama dan kedua tidaklah sama, maka keduanya harus disamakan untuk mengeliminasinya.”

    “Oh, aku tahu. Baris yang atas harus dikali empat, dan yang bawah dikalikan lima, agar kedua angka di sebelah huruf y tersebut menjadi sama-sama dua puluh. Itu adalah angka bulat terkecil yang bisa didapat, dengan keduanya sebagai faktor bersama.”, kali ini aku yang menjawab.

    “Hei, kamu pintar juga ternyata.”, ujar Plasma.

    “Berhubung aku sering membuat peralatan logam, menghitung dengan angka-angka sebelum membuat sesuatu adalah hal yang biasa.”, jawabku bangga.

    “Cih…sombong sekali kamu.", Raqia menatapku sesaat, lalu kembali memperhatikan Plasma. "Ya sudah, teruskan.”

    Plasma menulis agak jauh di sebelah kanan untuk perhitungan selanjutnya. Dia mengalikan baris pertama dengan 4 dan baris kedua dengan 5, maka jadilah 28x + 20y = 224 untuk baris pertama, dan 15x + 20y = 185 untuk baris kedua.

    “Tadi katamu, variabel y ini harus hilang ya? Kalau begitu, seharusnya dua baris ini dikurangkan.”

    “Yap, benar sekali, Raqia. Dengan demikian yang tersisa adalah…”

    Plasma menulis agak jauh lagi di kanannya, menyisakan 13x = 39.

    “Nah, dengan demikian kita bisa memperoleh nilai x nya dengan membagi angka tiga puluh sembilan ini dengan tiga belas. Hasilnya, nilai x sama dengan tiga.”, Plasma menulis x = 3 tepat di bawah 13x = 39.

    “Bagaimana dengan y?”, Raqia nampak makin penasaran.

    “Untuk y, kita bisa gunakan persamaan awal. Pilih saja, ingin baris atas atau bawah.”, jawab Plasma, sambil menunjuk set persamaan yang ditulisnya pertama kali.

    “Bawah saja.”, Raqia menunjuk ke baris 3x + 4y = 37.

    “Baiklah…karena kita sudah mendapatkan x sama dengan tiga, maka nilai x itu dapat digunakan untuk menggantikan x yang ada di persamaan yang kamu tunjuk. Jadinya…”

    Di sebelah kiri set persamaan awal, Plasma menulis 3 . 3 + 4y = 37, lalu 9 + 4y = 37 sedikit di bawahnya, dan terakhir, 4y = 28 di bawahnya lagi.

    “Jadi, y sama dengan tujuh? Aku mendapatkannya dari membagi dua puluh delapan dengan empat.”, Raqia terdengar ragu-ragu.

    “Yap, betul sekali. Dan masih ingat apakah sebenarnya x dan y ini?”

    “Huruf x ini adalah batu merah, sementara huruf y adalah batu biru…ah!! Aku tahu!! Berarti aku harus menebas Divine Barrier secara horizontal sebanyak tiga kali, lalu secara vertikal sebanyak tujuh kali!! Jadi hanya semudah itu cara memecahkan kode ini…?!”, kali ini Raqia terlihat gembira.

    “Bagaimana? Tidak sulit kan?”, kata Plasma, sambil melipat kedua tangannya di dada.

    “Hei…ternyata mengasyikkan juga ya. Boleh kucoba lagi satu soal saja?”

    “Hahaha…baru mencoba sekali, sudah ketagihan begitu. Baiklah, akan kuberi satu soal lagi.”

    Plasma menulis 8x + 5y = 34 di baris pertama, lalu 10x + 12y = 54 di baris kedua. Hebatnya, kali ini Raqia dapat menyelesaikannya dengan cepat tanpa bertanya. Jawaban akhir yang Raqia tulis adalah x = 3 dan y = 2.

    “Yap, jawabanmu benar. Sepertinya kamu sudah paham…lain kali akan kuajari jika bilangannya negatif. Ya sudah, sekarang lebih baik kamu hilangkan Divine Barrier---“



    Belum sempat satupun dari kami berdiri, Biblos Gnostikos muncul di hadapan kami bertiga, melayang. Halaman-halamannyapun membuka dengan cepat lalu berhenti di halaman yang kosong, tepat satu halaman sesudah yang telah terisi. Butir-butir cahayapun muncul di atas halaman kosong tersebut. Lalu entah bagaimana caranya, cahaya itu seakan menulis di atas kertas. Huruf-huruf berwarna hitampun muncul setelahnya. Setelah kira-kira 4 halaman, butir-butir cahaya itu menghilang dan Biblos Gnostikos kembali menutup, lalu jatuh ke tanah.

    Kuambil buku itu lalu berkata, “Ternyata hipotesisku benar, Raqia. Kamu harus belajar hal-hal yang tidak kamu ketahui untuk mengisi buku itu.”

    “Tapi kalau belajarnya seperti tadi, sepertinya tidak jadi masalah untukku. Dan untuk itu, Plasma, mungkin kamu bisa jadi guru privatku.”

    “Boleh saja. Apapun yang aku tahu, akan kuajarkan jika kamu berminat.”

    “Baiklah. Sekarang…”, Raqiapun berdiri. “Angel Knight form, release.”, diapun berubah menjadi malaikat bersayap 6 dengan pakaian tempur dan pedang besar. “Kita tidak boleh berdiam lebih lama lagi. Kita harus mencari tahu apa yang salah dengan Ya’ar HaMalakh dan Mama Deshiel.”




    =================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Barzel Tubal-cain
      ---> Barzel = besi
      ---> Tubal-cain = father of blacksmith yg tercantum di Kejadian 4:22
    • Zahav = emas
    • Nephilim = makhluk hybrid yg tercantum dalam Kejadian 6:4.
      Alkitab bahasa Indonesia menerjemahkannya sebagai "raksasa", dan identitas sebenarnya dari Nephilim ini belum bisa disepakati...
      Tapi ada satu interpretasi, kalo Nephilim ini adalah keturunan malaikat yang kawin dengan manusia.
      Menurut kitab apokrif Book of Enoch, malaikat yg menghasilkan Nephilim ini adalah "fallen angels", yang dalam kitab tsb disebut "Watchers/Grigori"
    • 3rd Archangel, Deshiel Tsamach
      ---> Deshiel = deshe + i + El
      ------> Deshe = grass/herb/vegetation
      ------> El = God
      ------> i = conjuction
      Literally, vegetation of God.
      ---> Tsamach = tumbuh/bertunas/sprouted/growing
    • Ya'ar HaMalakh
      ---> Ya'ar = hutan
      ---> Ha = partikel "of" klo English
      ---> Malakh = malaikat
      Literally, forest of angel.
    • Btw pada bisa semua kan ngerjain persamaan linear 2 variabel? Ntar diketawain si Plasma loh kalo ga bisa...

    Last edited by LunarCrusade; 15-11-12 at 01:04.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  11. #25
    Z-CYBER's Avatar
    Join Date
    Nov 2007
    Location
    Palembang City
    Posts
    9,090
    Points
    1,446.63
    Thanks: 173 / 236 / 166

    Default

    nil tar kalo bole
    minta gambaran si plasma kek gmn
    lu gambarin

  12. #26
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    baru baca sampe chap 3 mas, jangan ngebut2 dong

    oke chap 3, disini terbukti bahwa "dalam cerita dengan sudut pandang orang pertama, karakter utamanya itu rata2 mirip sama penulisnya." in this case, sama2 mesum demen loli.

    tapi wawasannya si Daath keterlaluan luas deh (buat ukuran tukang besi.). Jaman busur & tombak bisa nemuin/emang udah tau? aplikasi deret fibonacci dari urutan 13 keatas (hebatnya, pas lagi berantem). Sedangkan Heroine yang archangel berumur 2000 taun kok kesannya cuma tau jedar-jeder doank

    btw Jaman sekarang yang tau begituan paling cuman,

    - pengagum freak leonardo davinci,
    - matematikawan jenius,
    - remaja biasa yang baca komik QED,
    - Om2 penggemar loli dan rajin googling.

    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    Kalo gw hilangkan kata "panjang", malah TAMBAH ANEH.
    "...berdiameter sekelingking." <<< asli bahasanya jelek bener klo gini. Gramatically still correct, tapi ga enak dipandang.

    Seandainya gw ganti, "...diameternya memiliki nilai yang sama dengan panjang jari kelingkingku."
    Aneh kah?

    Bagi gw sih aneh. Ini genre Fantasy, bukan Science Fiction.
    Kalo Sci-Fi malah gw malah berusaha seilmiah mungkin nulis bahasanya, contoh tuh AAaAR.

    Well, gw tunggu pendapat mahasiswa FMIPA UI jurusan matematika dolok deh (si Pierrot)
    apaan lu manggil2. Ga usa dipanggi juga gua stay tune disini tapi cuman seminggu sekali

    eh, ga ada hubungannya sama matematika kali, itukan pembahasaan buat ngedeskripsiin sesuatu (in this case, pikiran si tokoh utama) jadinya lebih masuk ke bahasa dong. Well gua rasa juga gak masalah sih,

    tapi bisa juga kegini kali ya "Mungkin diameternya sama dengan jari kelingkingku"

  13. #27
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Z-CYBER View Post
    nil tar kalo bole
    minta gambaran si plasma kek gmn
    lu gambarin
    masa dikasih kata-kata manusia kaleng/kaleng berjalan ga bisa bayangin gimana bentuknya

    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    baru baca sampe chap 3 mas, jangan ngebut2 dong

    oke chap 3, disini terbukti bahwa "dalam cerita dengan sudut pandang orang pertama, karakter utamanya itu rata2 mirip sama penulisnya." in this case, sama2 mesum demen loli.

    tapi wawasannya si Daath keterlaluan luas deh (buat ukuran tukang besi.). Jaman busur & tombak bisa nemuin/emang udah tau? aplikasi deret fibonacci dari urutan 13 keatas (hebatnya, pas lagi berantem). Sedangkan Heroine yang archangel berumur 2000 taun kok kesannya cuma tau jedar-jeder doank

    btw Jaman sekarang yang tau begituan paling cuman,

    - pengagum freak leonardo davinci,
    - matematikawan jenius,
    - remaja biasa yang baca komik QED,
    - Om2 penggemar loli dan rajin googling.



    apaan lu manggil2. Ga usa dipanggi juga gua stay tune disini tapi cuman seminggu sekali

    eh, ga ada hubungannya sama matematika kali, itukan pembahasaan buat ngedeskripsiin sesuatu (in this case, pikiran si tokoh utama) jadinya lebih masuk ke bahasa dong. Well gua rasa juga gak masalah sih,

    tapi bisa juga kegini kali ya "Mungkin diameternya sama dengan jari kelingkingku"
    gw emang berencana "messing up the readers mind" dulu kok
    genre Fantasy emang gak se-logical Sci-fi, jadi sengaja gw bikin chaos dolok di detail cerita (tapi nanti semua bakal ada hubungannya, semua bakal dijelasin. I promise, gak akan ada yg missed)


    well, ini baru 5 dari *mungkin* 40-an chapter (asumsi 1 arc cerita yg menuju ke/berada di domain 1 Archangel antara 4-6 chapter, tambah sama ending arc)

    so...kalo masih banyak yg ga jelas dan aneh ya akoh mohon maap


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  14. #28
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    DAPUKKKKKK!!!!!!!!
    ALJABAR, SPLDV!!!!
    Lun, lu bukannya bikin gue kaget, tapi mengingatkan gue akan kenangan pahit semasa SMP ini mah

    Beneran, SPLDV itu brengsek.

    Ehm, ehm... Gue udah pusing... Lupakan dulu hal itu...
    Jadi, Sonic Glider semacem mini jet begituan? Kalo begini ngga lama lagi si Plasma bisa berubah jadi Gundam.
    Mama Deshiel, ya... Gue pas bacanya pas lagi baca Magi juga, ada emak2 nya pula, gue jadi ngebayanginnya...

    Oke, gue tunggu aja gimana kabar si mama sebenernya...

    Btw,
    Spoiler untuk asd :
    jadi... ini yang lu bilang cerita campur materi pelajaran?
    besok2 jelasin kalor, proses ekskresi manusia, sama tabel unsur ye...

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  15. #29
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Mendadak Plasma tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai terguling-guling di tanah. “Bwahaha!! Soal semudah itu kamu tidak bisa?! Memalukan!! Seingatku, anak umur dua belas tahunpun sanggup melakukannya!! Ahahaha….!!!!”
    Yep, umur 12. Kita belajar SPLDV pas kelas 1 SMP.

    Terus di Aljabar Linear Elementer ada cara alternatif buat nyelesain persamaan linear yang variabelnya 4 keatas, pake eliminasi gauss jordan. Harusnya lo bikin yang itu buat chapter 5 (sekalian gua bisa ngereview buat UTS bulan depan)

    Chapter 6 bikin soal fisika buat first year college donk *ngarep.com
    Last edited by -Pierrot-; 20-09-12 at 09:49.

  16. #30
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    DAPUKKKKKK!!!!!!!!
    ALJABAR, SPLDV!!!!
    Lun, lu bukannya bikin gue kaget, tapi mengingatkan gue akan kenangan pahit semasa SMP ini mah

    Beneran, SPLDV itu brengsek.

    Ehm, ehm... Gue udah pusing... Lupakan dulu hal itu...
    Jadi, Sonic Glider semacem mini jet begituan? Kalo begini ngga lama lagi si Plasma bisa berubah jadi Gundam.
    Mama Deshiel, ya... Gue pas bacanya pas lagi baca Magi juga, ada emak2 nya pula, gue jadi ngebayanginnya...

    Oke, gue tunggu aja gimana kabar si mama sebenernya...

    Btw,
    Spoiler untuk asd :
    jadi... ini yang lu bilang cerita campur materi pelajaran?
    besok2 jelasin kalor, proses ekskresi manusia, sama tabel unsur ye...
    Pokoknya baca cerita ini siap" beneran belajar
    Tenang aja, gak bakal sampe materi kuliah gw ditaro di sini kok /"

    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Yep, umur 12. Kita belajar SPLDV pas kelas 1 SMP.

    Terus di Aljabar Linear Elementer ada cara alternatif buat nyelesain persamaan linear yang variabelnya 4 keatas, pake eliminasi gauss jordan. Harusnya lo bikin yang itu buat chapter 5 (sekalian gua bisa ngereview buat UTS bulan depan)

    Chapter 6 bikin soal fisika buat first year college donk *ngarep.com
    hari gini pake Gauss-Jordan, gw pake MATLAB cukup coy

    hah gilak kaw...
    gw paling bakal ngasih materi SMP-SMA aja lah, kasian soalnya...gak semua yang baca ini adalah anak FT/FMIPA


    =================================

    Awas ada loli ijo ijo

    Spoiler untuk Tehillim 6 :


    ==============================================
    Tehillim 6: Green Angelocracy Part II || Cooking with Light
    ==============================================




    Matahari nampak makin turun mendekati kaki langit selagi Sonic Glider masih berada di udara. Nampak kontras dengan langit, yang ada di bawah hanya ada warna hijau, hijau, dan hijau. Sesekali memang kulihat beberapa cabang sungai, namun apalah artinya semua itu dibanding dengan tutupan pepohonan yang ada.

    “Raqia, seberapa jauh lagi tempat tujuan?”, tanya Plasma. Sonic Glider kali ini tidak terbang segila tadi.

    “Harusnya tidak begitu lama lagi.”, tangannya lalu menunjuk sebuah sungai besar di sebelah kiri depan, mungkin beberapa belas kali lipat lebih besar dibanding yang sejak tadi tertangkap mataku. “Lihat sungai itu? Hanya perlu mengikutinya berlawanan dengan arah aliran sungai untuk menemukan tempat tujuan.”

    Benar kata Raqia. Saat langit mulai berubah jingga, nampak sesuatu yang menakjubkan di kejauhan. Perasaan ini sama ketika aku melihat Shamayim untuk pertama kalinya.

    “Nah, itu dia kotanya, Pardes.”, ujar Raqia, menatap ke pemandangan penuh cahaya di tepi sungai besar yang kami ikuti sejak tadi.



    Sebatang pohon yang besar, amat besar, menjulang tak jauh dari tepian sungai. Entah apa jenisnya, namun yang jelas sebelumnya belum pernah kulihat sama sekali, bahkan di desa asalku dan Shamayim sekalipun. Menurut perkiraanku, tingginya kira-kira 4 hingga 5 kali lipat tinggi pepohonan biasa yang ada di Ya’ar HaMalakh. Pohon besar itu dikelilingi banyak pohon besar lainnya hingga jarak beberapa jauh, yang kira-kira tingginya 2 kali lipat pohon biasa, terlihat rimbun dan subur. Akar-akar besar ---yang ukurannya sangat tidak wajar bagiku--- menjalar di antara pepohonan besar itu, namun tetap dalam pola yang rapi dan teratur. Meski nampak sangat ‘alami’, tetapi struktur sebuah kota benar-benar terpancar dari sana.

    Tidak hanya itu, butir-butir cahaya keemasan yang tak terhitung jumlahnya bertebaran mengelilingi kota yang bernama Pardes tersebut, membuat pohon besar dan pepohonan yang lebat di sekitarnya ikut berkilauan. Semua itu membuat Pardes terlihat hangat, berbeda dengan Shamayim yang terasa begitu megah dengan bangunan-bangunan dan tembok besar bercahayanya.

    Tetapi…belum juga dekat ke Pardes, nampak puluhan Angel-class terbang dari arah kota, tepat menuju ke Sonic Glider. Pasukan pengamanankah?

    “Plasma, tolong berhenti dan buka kacanya.”

    Perintah Raqia segera dituruti Plasma. Suara bising dari belakang Sonic Glider berubah pelan, lalu kaca kokpitpun terbuka setelah benda terbang ini berhenti di udara.

    Dengan mantap, Raqia beranjak dari duduknya, lalu berjalan keluar dari kokpit dan berhenti di bagian depan Sonic Glider. Jujur saja, aku sempat terkesima dengan kemegahan yang dipancarkannya sewaktu berdiri menantang langit, dengan rambut perak panjangnya yang kali ini berkilauan agak keemasan, karena terpaan cahaya matahari senja.

    “Angel Knight form, release.”

    Para Angel-class, yang awalnya terlihat siaga dengan senjata masing-masing, langsung menurunkannya ---beberapa malah terlihat menghilang begitu saja dari genggaman--- begitu melihat Raqia, berdiri tegap lengkap dengan keenam sayapnya yang terkembang penuh. Semuanya nampak hormat melihat Raqia. Hanya satu yang…



    “Raqiaaaaaaaa….!!!!!”

    Teriakan yang nyaring terdengar dari arah kumpulan Angel-class di depan, suara seorang perempuan. Lebih tepatnya…suara anak-anak. Dari asal suara, nampak sesosok makhluk bersayap sepasang, terbang melesat ke arah Raqia.

    “Uh? Viri---“

    Belum sempat Raqia menyelesaikan kata-katanya, Angel-class itu langsung memeluk Raqia erat-erat. Tingginya hanya sedikit lebih rendah dibanding pundak Raqia. Ew, pendek sekali? Selama ini, Angel-class yang kutemui selalu lebih tinggi dari Raqia.

    Hmm…mereka terlihat akrab. Terlihat jelas dari Raqia yang balas membelai rambut hijau sepunggung Angel-class itu, yang serupa warna daun yang masih muda. Sudah pasti dia adalah salah satu kenalan Raqia di tempat ini.

    “Uh…Raqia, ke mana saja kamu selama tiga ratus tahun terakhir? Sudah lama sekali kamu tidak mampir…”, ujar Angel-class itu dengan nada memelas.

    “Ng…maaf yah, Viridia. Bukannya aku tidak ingin kemari, tapi kadang aku harus membasmi makhluk-makhluk jahat di banyak tempat di dunia….jadinya tidak sempat.”

    Tatapan mata Angel-class yang bagai zamrud itu beralih ke arahku. “Raqia, itu temanmu?”

    “Oh ya, perkenalkan, namanya Da’ath Ruachim. Sebenarnya aku kemari karena ada hubungannya dengan dia.”

    “Hee…begitu ya.” Mendadak Angel-class itu melompat masuk ke kokpit, lalu berlutut di bangku depan dengan wajah menghadap kepadaku, sambil tersenyum ceria. “Perkenalkan, namaku Viridia, kepala pasukan pengamanan Pardes divisi dua.”

    Aku langsung terkejut mendengar kalimat perkenalannya, bahkan mendadak bangkit berdiri dari kursi. “Hah?! Kamu kepala pasukan pengamanan kota?!”

    “Da’ath, sopanlah sedikit.”, ujar Raqia dengan datar, sambil menatapku tajam.

    “E-Eh…m-maaf, maaf. Aku hanya tidak percaya kalau Angel-class sekecil dirimu---“

    Terdengar suara “hmmmph” yang keras dari mulut Raqia. Wajahnya juga terlihat kesal.

    “Ahaha…iya, iya. Tidak apa-apa kok. Aku tahu banyak orang juga akan kaget begitu tahu hal itu.”, kata Viridia, sambil menggaruk-garuk kepala.

    Anak kecil itupun berdiri di kursi lalu menengok ke kanan ke kiri, mengamati Sonic Glider. “Mmm…lebih baik kalian segera mendaratkan kaleng terbang ini di kota, karena sebentar lagi gelap. Nanti akan kutunjukkan tempat untuk memarkirkannya.”

    “Hei…aku bukan kaleng terbang biasa…”, sahut Plasma.

    Wajah Viridia berubah pucat.

    “HAH???!!! B-B-Benda ini bisa bicara??!!”

    “Ceritanya panjang, Viridia. Nanti akan kuberitahu kisah lengkapnya.”, jawab Raqia.



    Akhirnya, tanah Pardes. Kami bertiga ---tentu saja dengan Plasma yang berubah kembali ke mode manusia kaleng--- langsung melangkah mengikuti Viridia, menuju ke tengah kota. Kudengar Raqia juga menceritakan apa saja yang terjadi sebelum kami semua tiba di sini.

    Pemandangan menakjubkan yang kulihat dari kejauhan tadi sekarang sudah berada tepat di depan mata. Pepohonan yang begitu tinggi membuatku harus mendongak terus dari bawah sini agar dapat melihat bagian teratasnya. Tak henti-hentinya kuperhatikan pohon-pohon besar ini selagi berjalan menuju tengah kota. Luar biasa. Kebanyakan bangunan di Shamayim pun tidak ada yang setinggi satupun dari pohon di Pardes.

    Yang lebih mengejutkanku, ternyata tiap pohon adalah…tempat tinggal. Rumah, maksudnya. Satu pohon dapat menampung puluhan hingga sekitar seratus manusia dan Angel-class. Itulah alasannya mengapa luas kota Pardes sedikit lebih kecil dari setengah luas Shamayim, namun penduduknya dapat menyentuh angka 14 juta jiwa. Pohon-pohon ini juga dapat memperbaiki dirinya sendiri jika terluka, terbakar, ataupun patah. Alasannya hanya satu…

    “Kita sampai.”, kata Viridia, saat berhenti di depan pintu kayu besar di dasar pohon dengan gagang besar berwarna hijau, sepertinya terbuat dari zamrud.

    Yap, ini dia alasannya. Pohon terbesar di Pardes, yang berdiri menjulang di tengah-tengah kota. Dapat dikatakan kalau pohon inilah, Etz HaChayyim, yang menjadi sumber energi bagi seluruh pohon-rumah di Pardes. Begitu besarnya, sampai-sampai membuatku merasa begitu kecil dibandingkan pohon itu. Kamipun melangkah masuk ke dalamnya…

    Wow. Hanya kekaguman yang bisa kurasakan begitu berada di dalam. Ada dua alasan. Pertama, aku tidak menyangka kalau bagian dalam pohon memiliki ruang besar layaknya istana di Shamayim. Kedua, aura keilahian yang terpancar juga terasa sama kuatnya.

    Beberapa batu berbentuk bola berwarna hijau muda yang bercahaya nampak berjajar di sisi jalan masuk hingga ke sebuah pintu besar lainnya di dalam. Kali ini adalah sebuah pintu kaca yang bening, merefleksikan kondisi ruangan ini yang begitu terang namun terasa hangat. Yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika masuk melewati pintu kaca itu.

    Sebuah kristal. Ya, terdapat sebuah kristal yang begitu besar berada di tengah ruangan, melayang beberapa kaki di atas permukaan tanah. Lagi-lagi benda berwarna hijau muda ---mungkin Archangel ketiga menyukai warna itu---, berbentuk seperti dua buah piramida yang saling menempel di bagian alasnya. Viridia menjelaskan bahwa kristal itulah yang membuat Deshiel Tsamach, Mother Nature, dapat mengetahui apapun yang terjadi di Ya’ar HaMalach.



    Seketika setelah tatapan Plasma mengarah ke kristal itu…

    “Tunggu. Bukankah itu adalah Biophotonic Decoder? Kenapa bisa ada di tempat ini?!”

    Langkahku, Raqia, dan Viridia mendadak berhenti. Tidak ada satupun yang tidak menatap ke arah Plasma saat ini.

    “Plasma, apa maksudmu?”, tanyaku.

    “Data mengenai kristal itu masih utuh di memoriku, jadi aku dapat mengenalinya dengan baik. Benda itu adalah Biophotonic Decoder, berfungsi untuk mengubah sinyal cahaya yang diterima jenis-jenis makhluk hidup tertentu menjadi sebuah gambar. Semua makhluk hidup yang bisa melakukan fotosintesis dapat dijadikan alat penerima. Setahuku benda itu punya jangkauan dua hingga tiga ribu kilometer.”

    “Eh? Maksudnya?”, Raqia nampak bingung.

    “Hmm…bagaimana ya menjelaskannya agar mudah dimengerti…ah, begini saja. Anggaplah semua makhluk yang dapat berfotosintesis yang berada dalam jangkauan adalah mata dari kristal itu.”

    “Lalu, fotosintesis itu apa?”, Raqia lanjut bertanya.

    Plasma pun menepuk dahinya dengan tangan kanan. “Benar juga…di zaman seperti ini mana ada yang tahu soal fotosintesis…”

    Percakapan kami dipotong oleh kedatangan seseorang. Dari salah satu lorong yang berada di seberang kami, ada yang berjalan keluar. Perlahan sosoknya mulai jelas terlihat…



    Seorang perempuan, nampak dewasa dan begitu elegan. Tinggi badannya mungkin hanya satu jengkal lebih pendek dariku. Dia mengenakan long dress putih berlengan panjang, dengan sebuah aksesoris menyerupai sebuah tiara emas bertahtakan zamrud, melingkar di kepalanya. Rambut emasnya yang lurus begitu panjang dan dibiarkan terurai hingga nyaris menyentuh lantai. Tatapan mata kehijauannya itu…

    “Wah…ada tamu rupanya.”, ujarnya dengan lembut sambil tersenyum kecil.

    Ah, sekarang aku mengerti kenapa dia dipanggil dengan sebutan “Mama” oleh para Archangel lainnya, termasuk Raqia. Paras wajah dan suara lembutnya itu bahkan membuatku ikut merasakan aura keibuan yang terpancar darinya.

    “Mama Deshieeeeeel….!!!” Kali ini Raqia tidak ada bedanya dengan Viridia, saat kami masih berada di udara tadi. Melihat hal itu, aku hanya bisa tersenyum.

    “Apa Raqia selalu begitu tiap kali ke tempat ini?”, tanya Plasma.

    “Uh-huh, tiga ratus tahun yang lalu juga begitu. Wajar saja, Yang Mulia Deshiel memang sudah seperti ibu sendiri bagi para Archangel, bahkan bagi seluruh Pardes.”, jawab Viridia.

    Kali ini aku mendengar Archangel itu bertanya pada Raqia, “Apa dua orang itu temanmu?”

    “Yep, betul sekali. Pria yang itu kemungkinan besar adalah Crusader-Saint, jadi aku harus meminta Mama dan Archangel lain untuk memeriksanya.”

    Dengan wajah terkagum-kagum, sang Mother Nature itu mendekat ke arahku, lalu menggenggam kedua tanganku. “Wuah…begitukah? Namamu siapa?”

    “E-Err…nama saya Da’ath Ruachim. Saya sendiri masih belum tahu, Yang Mulia. Masih banyak keanehan yang membuat diri saya belum bisa disebut sebagai Crusader-Saint itu.”, jawabku ragu.

    “Hmm…begitu ya. Tapi tenang saja, aku punya cara untuk memastikan hal itu. Yah, kuharap kamu benar-benar Crusader-Saint.”
    Diapun melepaskan genggamannya, lalu beralih menatap Plasma. “Dan…yang satu ini…sepertinya terlihat kurang alami.”

    “Ahaha…maaf, Yang Mulia. Saya memang tidak terbuat dari bahan yang seratus persen organik. Jadi, mohon dimaklumi.”

    Archangel ketiga itu menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Menurut legenda yang kuingat, Crusader-Saint memang punya satu asisten yang bukan makhluk hidup seutuhnya, dan deskripsinya mirip denganmu. Kalau begitu, namamu?”

    “Da’ath dan Raqia memanggil saya dengan sebutan Plasma, Yang Mulia.”, ditutup Plasma dengan sekali menundukkan kepala.

    “Oke…jadi namamu Da’ath”, dia menunjukku. “Lalu namamu, Plasma.”, sekarang Plasma yang ditunjuk. “Aku hanya ingin mengucapkan, selamat datang di Pardes.”, ditutupnya dengan tersenyum.

    Meski menurutku dia begitu cantik, namun anehnya aku tidak merasakan hal yang sama seperti saat pertama kali melihat Raqia. Aku hanya menganggap parasnya luar biasa, itu saja. Apa karena dia bukan tipeku? Atau…ada hal lain?

    “Oh ya, kebetulan di Etz HaChayyim ini masih banyak ruangan kosong, yang bisa kalian gunakan untuk beristirahat. Viridia, nanti tolong antarkan mereka ke kamarnya masing-masing.”

    “Baik, Yang Mulia.”, respon Viridia sambil membungkukkan badan.

    Tetapi, baru saja kami berempat ingin berjalan ke arah yang berbeda dengan nona Deshiel, dia kembali memanggil. “Oh ya, nanti tolong datang ke ruangan belakang. Raqia, kamu tahu kan ruangan yang dimaksud?”

    “Iya, aku tahu. Nanti mereka akan kuantar ke sana.”

    Berhubung Plasma tidak memerlukan kamar tersendiri, dia memilih untuk berada di kamarku dan berubah menjadi mode Plasma Rifle jika sudah waktunya tidur. Baiklah, sekarang aku harus memenuhi undangan nona Deshiel. Viridia sendiri langsung keluar dari pohon-istana ini setelah menunjukkan ruangan.



    Aku, Plasma, dan Raqia sekarang sedang menyusuri lorong saat melihat Archangel ketiga itu untuk pertama kali. Cukup besar, lebarnya sekitar 3 kali lebar rentang tanganku. Terus mengikuti Raqia, hingga sampai di depan sebuah pintu. Diapun membukanya, lalu…

    “Oh, selamat datang.”, sapa nona Deshiel yang sedang duduk di sebuah kursi. Kali ini dia menggenggam…kacamata? Pakaiannya juga nampak lebih sederhana dibanding tadi, bahkan tidak terlihat tiara yang sebelumnya dikenakan. Tak hanya itu, aku menangkap keberadaan beberapa lembar kertas berada di sebelah kanannya, menumpuk di atas meja kayu.

    Ruangan ini memang jauh lebih kecil dibanding aula tengah tempat kristal berada, namun bagiku masih terasa lega, meski terdapat begitu banyak barang di tempat ini. Entah apa saja yang ada di sini, aku belum pernah melihatnya sama sekali.

    “Whoa…banyak sekali peralatan laboratorium di sini.”, sahut Plasma, beberapa kali memegang tabung-tabung kaca yang ditaruh dalam penyangga kayu, yang membuat tabung-tabung itu dapat berdiri.

    “Kamu tahu semua benda-benda ini ya?”, tanya nona Deshiel.

    “Ya, saya tahu. Benda-benda semacam ini umum ditemui saat saya masih sering beraktivitas bersama pemilik lama, yang mungkin…”, Plasma berhenti sejenak. “Adalah Crusader-Saint yang anda maksud.”

    “Hee…begitu ya. Tapi suaramu terdengar tidak yakin.”

    “Begitulah, Yang Mulia. Data yang saya miliki saat ini belum cukup untuk menyimpulkan hal itu.”

    “Tidak apa-apa, Plasma. Tidak usah memaksakan diri jika belum saatnya. Sebenarnya aku hanya ingin kalian melihat ruangan ini saja, apalagi begitu Raqia menyebutkan kalau…”, nona Deshiel menatap ke arahku. “Kamu, adalah Crusader-Saint.”

    “Maaf jika terdengar tidak sopan, Yang Mulia. Tapi saya penasaran, apa hubungan Crusader-Saint dengan semua benda di ruangan ini?”, tanyaku.

    “Aku hanya punya firasat kalau dia pasti tahu semua yang ada di sini, termasuk…”

    Nona Deshiel menggeser kursinya, sehingga nampak olehku sebuah benda aneh yang tadi tertutup tubuhnya, berada di atas meja kayu.

    “Wah, sebuah mikroskop!!”, malah Plasma yang menyahut.

    “Ooo…jadi itu namanya. Mikroskop.”, nona Deshiel pun mengangguk-angguk beberapa kali.

    “Apa yang Mama Deshiel lakukan dengan benda ini?”, tanya Raqia.

    “Coba kamu lihat melalui tabung yang di atas sini.”, nona Deshiel menunjuk ke bagian paling atas mikroskop, berupa sebuah tabung hitam dengan lensa di ujungnya.

    Raqia menuruti kata-katanya, lalu mengintip lewat tabung itu. “Hei…apa ini? Ada butir-butir mengumpul, agak hijau-hijau bergerak begitu…”

    “Maaf Raqia, boleh kulihat juga?”, ujar Plasma.

    “Oh ya, boleh, boleh.”, jawab Raqia dengan cepat.

    Giliran Plasma yang melihat melalui mikroskop. “Hmm…mikroorganisme. Ini Nostoc azollae, mudah ditemukan di air tawar.”

    “Tadi siang memang kuambil sedikit air dari tepi sungai, lalu menaruhnya di bawah mikroskop ini.”, ujar nona Deshiel.



    Entah apa yang merasuki diriku, namun seakan ada dua kata yang muncul di pikiranku. Setengah tidak sadar, akupun menyahut…

    “Filum Cyanobacteria…”

    Tidak ada satupun yang tidak terkejut mendengar kata-kataku.

    “Da’ath, bagaimana kamu bisa tahu?!”, seru Plasma.

    “Eh...? Eh? Tapi memang benar kan?”, suaraku terdengar ragu.

    “Bukan itu masalahnya!! Kamu ini seorang blacksmith!! Bagaimana bisa tahu hal itu? Apalagi dengan kondisi dunia yang seprimitif ini…”

    “Tidak salah lagi. Da’ath, kemungkinan kalau kamu adalah Crusader-Saint meningkat kali ini.”, sahut Raqia.

    “Ah…aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa tahu hal itu.”, akupun menghela nafas.

    “Sudah, sudah.”, potong nona Deshiel. “Mungkin Da’ath memang pernah mendengarnya entah di mana. Yang jelas sekarang…aku ingin tahu sesuatu. Aku curiga kalau makhluk-makhluk kecil itulah yang membantuku dapat melihat seluruh ruangan ini. Lewat semak dan pepohonan, itu sudah pasti. Namun bisa kalian lihat sendiri, di ruangan ini tidak ada tumbuhan berdaun hijau sama sekali. Plasma, apa kamu tahu sesuatu?”

    “Oh, jelas saya tahu Yang Mulia. Kristal besar itu, Biophotonic Decoder, menggunakan semua makhluk yang dapat berfotosintesis sebagai alat penerima. Untuk itulah, Yang Mulia bisa melihat ruangan ini melalui kristal sejak membawa bakteri-bakteri itu masuk.”

    Raqia langsung menyambar, “Hmm…fotosintesis itu lagi. Sebenarnya apa sih yang dimaksud fotosintesis?”

    “Itu adalah cara yang digunakan beberapa jenis makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan bakteri-bakteri tertentu, untuk membuat makanannya sendiri.”

    “Wah? Maksudmu, mereka punya dapur dan kompor sendiri?”

    “Hmm…mudahnya mungkin bisa kamu bayangkan seperti itu. Apa kamu mau tahu lebih lanjut?”

    Raqia terlihat bersemangat, lalu mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali dengan cepat.



    “Fotosintesis adalah sebuah proses yang memanfaatkan energi dari cahaya, khususnya cahaya matahari, untuk diubah menjadi energi kimia yang dapat dimanfaatkan untuk beraktifitas. Tetapi, hanya tumbuhan hijau dan jenis-jenis bakteri tertentu saja yang dapat melakukannya, khususnya yang seperti Da’ath bilang, yang tergolong filum Cyanobacteria.”

    “Hmm…jadi mereka menggunakan cahaya untuk memasak makanannya? Bagaimana bisa?”

    “Kamu lihat warna kehijauan pada bakteri di mikroskop itu? Nah, itulah penyebabnya. Zat berwarna tersebut dinamakan klorofil. Fungsinya adalah menangkap cahaya matahari yang berguna untuk proses fotosintesis.”

    “Oh, oh, oh, aku mengerti.”, ujarnya cepat. “Jadi cahaya matahari dapat dimisalkan sebagai api dalam kompor, benar begitu?”

    “Hmm…ya, bisa dikatakan begitu.”, Plasma menaruh tangan kananya di dagu.

    “Lantas apa yang digunakan sebagai bahan makanannya?”

    “Hanya dua bahan, Raqia. Air dan karbon dioksida.”

    “He? Karbon…dioksida? Apa itu?”

    “Suatu jenis gas, dapat kamu temui dengan mudah jika manusia menghembuskan nafas.”

    Kali ini aku menimpali. “Jadi, kalau aku bernafas begini…”, kutarik nafas dalam-dalam. “Akan banyak karbon dioksida...”, kuhembuskan nafas. “Dari apa yang kukeluarkan barusan?”

    “Nah, itu dia. Proses fotosintesis memanfaatkan gas itu untuk membuat makanan.”

    “Lalu, bagaimana dengan airnya?”, Raqia kembali bertanya.

    “Hmm…akan lebih baik jika kutulis di sebuah kertas. Yang Mulia, apa ada sesuatu yang bisa kugunakan untuk menulis?”

    “Ya, ada…tunggu sebentar.”, nona Deshiel membuka laci paling atas yang berada di meja itu, lalu dikeluarkannya beberapa lembar kertas. Diapun mengambil botol tinta beserta dua buah bulu yang sudah tercelup sejak tadi, terletak tak jauh dari mikroskop.

    Plasmapun mengambil salah satu dari bulu itu. “Bahan utamanya ada dua, karbon dioksida dan air.” Anehnya, Plasma tidak menulis kata ‘karbon dioksida’ maupun ‘air’, namun CO2 dan H2O.

    “Uh? Kenapa kamu menulisnya begitu?”, Raqia terdengar bingung.

    “Karena komposisi atomnya memang demikian. Molekul karbon dioksida memiliki satu atom karbon, disingkat C, dan dua atom oksigen, disingkat O. Sementara itu, molekul air memiliki satu atom oksigen dan dua atom hidrogen, disingkat H. Akan menghabiskan waktu hingga besok jika aku harus menjelaskan mengenai teori atom dari awal, jadi kulewatkan saja untuk kali ini. Tidak apa-apa kan?”

    “Hmm…baiklah, toh kali ini aku hanya penasaran tentang cara makhluk-makhluk itu membuat makanannya saja. Ya sudah, lanjutkan.”



    Layaknya persamaan matematika waktu itu, Plasma menulis tanda tambah di antara keduanya. Yang tercantum sekarang adalah CO2 + H2O.

    Lagi-lagi ada yang muncul di kepalaku.

    “Hasilnya adalah glukosa dan oksigen…”

    “Da’ath, lagi-lagi kamu…”, ujar Plasma, suaranya terdengar berat. Beralih kembali ke arah kertas, Plasma melanjutkan, “Well, tapi kata-katanya memang benar. Hasilnya adalah molekul glukosa dan oksigen.”

    Yang ditulisnya kali ini adalah C6H12O6, O2, dan sebuah tanda tambah, berjarak sedikit lebih jauh di sebelah kanan persamaan karbon dioksida dan air di awal. Persamaannya menjadi CO2 + H2O di sebelah kiri, dan C6H12O6 + O2 di sebelah kanan.

    “Glukosa? Apa itu?”, Raqia nampak keheranan.

    “Sejenis gula.”

    “Jadi, tumbuhan suka makan yang manis-manis ya?”, tanya Raqia, kepalanya sedikit dimiringkan ke kanan. Entah sudah berapa kali dia bertanya dengan posisi kepala seperti itu.

    “Hmm…tidak dapat kusangkal kalau rasanya memang manis. Tapi tumbuhan kan tidak punya lidah. Tentu saja mereka tidak akan tahu rasanya.”

    Kembali ke kertas, Plasma menuliskan sebuah tanda panah di tengah-tengah kedua persamaan. Jadi,

    CO2 + H2O ---> C6H12O6 + O2.

    Tidak ada sesuatu yang muncul di kepalaku, namun kali ini aku menyelak, “Tunggu. Sepertinya ada yang aneh dengan persamaanmu itu. Ruas kiri dan kanan…tidak sama. Ada satu C di kiri, namun ada 6 C di kanan.”

    “Yep, memang belum kusamakan koefisien reaksinya. Da’ath, coba kamu yang menyamakannya.”

    Meski ragu, aku ingin nekat mencoba. “Mmm…baiklah, akan kucoba.”

    Kuambil bulu dari tangan Plasma, mencelupkannya ke tinta, lalu mulai berpikir. Akan lebih mudah jika kulihat dari yang jumlahnya terbanyak, yaitu H. Di kiri ada 2, sementara di kanan ada 12. Berarti, aku harus menaruh angka 6 di sebelah kiri H2O agar ruas kiri dan kanan sama-sama memiliki 12 H. Kutulis, lalu persamaan menjadi:

    CO2 + 6H2O ---> C6H12O6 + O2.

    Belum selesai. Tadi aku menyadari kalau C nya tidak sama. Ada satu C di kiri dan 6 C di kanan. Artinya, aku harus menuliskan angka 6 di sebelah kiri CO2.

    6CO2 + 6H2O ---> C6H12O6 + O2.

    Sekarang, aku beralih ke O. Di sebelah kiri menjadi ada 12 O dari 6CO2, dan 6 O dari 6H2O. Total 18 O. Di sebelah kanan, ada 6 O dari C6H12O6, dan 2 O dari O2. Total 8 O. Jika kutaruh 6 di sebelah kiri O2…ah, tepat.

    6CO2 + 6H2O ---> C6H12O6 + 6O2

    18 O di kiri maupun kanan. 6 C di kiri dan juga kanan. 12 H di kiri dan kanan. Selesai.

    “Hmm…yap, betul.”, Plasma mengangguk beberapa kali. “Apa kali ini ada jawabannya langsung di kepalamu, sama seperti saat kamu menyahut ‘filum Cyanobacteria’ tadi?”

    “Tidak, Plasma. Aku hanya melihat apa yang kamu sebut sebagai molekul seperti variabel biasa, serupa matematika.”



    “Sebentar. Kapan cahaya digunakan?”, Raqia menyahut.

    “Jika kamu melihat persamaan ini, proses fotosintesis terlihat sederhana karena yang tertulis hanya masukan dan keluarannya saja. Namun kenyataannya, prosesnya jauh lebih rumit dan melibatkan banyak zat.”

    “Hmm…jadi yang ini hanya kesimpulan secara keseluruhan saja?”, tanya Raqia.

    “Yap, benar. Baiklah, akan kujelaskan sesingkat mungkin. Sebenarnya, proses fotosintesis memiliki dua proses besar. Pertama, reaksi terang. Di situlah cahaya bertindak untuk memecah air, dengan oksigen sebagai sisanya. Kedua, reaksi gelap. Dikatakan ‘gelap’ karena tidak memerlukan cahaya. Di situ berlangsung pengikatan karbon dioksida dan hasil dari reaksi terang, menjadi molekul gula. Pada tumbuhan hijau, tempat utama berlangsungnya fotosintesis adalah di satu tempat, yaitu daun.”

    “Berarti, daun adalah dapur. Klorofil adalah kompor. Cahaya adalah api kompor. Sementara karbon dioksida dan air adalah bahan makanannya. Benar begitu?”, kali ini Raqia tersenyum. Sepertinya dia sudah paham.

    “Yep, masuk akal jika dimisalkan demikian.”

    Sejak Plasma mulai menjelaskan, tidak ada yang memperhatikan nona Deshiel. Ternyata dia…

    “Uh? Eh? Sudah selesai?”, tanyanya, saat kami bertiga menengok ke kursi tempatnya duduk. Ternyata sejak tadi dia mencatat apa saja yang telah dijelaskan, lengkap dengan kacamata yang terpasang.

    “Anda masih ingin tahu lebih banyak, Yang Mulia?”, Plasma menawarkan.

    Nona Deshiel mengangguk satu kali. “Uh-huh. Aku masih tidak mengerti masalah---“



    Benda itu lagi, Biblos Gnostikos. Tiba-tiba saja muncul di hadapan kami semua, membuat nona Deshiel terkejut. Kalau aku sih…sudah tidak kaget lagi. Dan seperti saat itu, Biblos Gnostikos membuka, lalu berhenti tepat satu halaman setelah halaman yang sudah terisi. Butir-butir cahayapun muncul, lalu menulisi sekitar 10 halaman. Entah apa alasannya kali ini dapat terisi lebih banyak. Begitu selesai, butir cahaya menghilang, buku menutup, lalu jatuh.

    “I-Itu…Biblos Gnostikos?”, tanya nona Deshiel, terdengar kaku.

    “Benar, Yang Mulia. Mungkin karena Raqia berhasil memahami sesuatu yang baru, buku itu muncul dan mengisi dirinya sendiri.”, jawab Plasma, lalu memungut buku itu dari lantai.

    “Wuah…menarik, menarik. Sebenarnya aku juga masih ingin tahu lebih banyak, tapi…”, Archangel ketiga itu menengok ke arahku. “Sepertinya kamu terlihat lelah, Da’ath. Bagaimana kalau kita sudahi saja hari ini?”

    Archangel tidak butuh tidur, begitu juga dengan Plasma. Ya sudah, malam ini aku saja yang mengalah.

    “Tidak apa-apa, Yang Mulia. Saya akan kembali ke kamar. Silakan dilanjutkan.”

    “Da’ath, benar tidak apa-apa?”, tanya Raqia.

    “Iya, lagipula tidak enak rasanya menghalangi dirimu untuk belajar lebih dalam. Yah, kuharap begitu aku bangun, yang terisi sudah lumayan banyak.”

    “Hehehe…serahkan saja padaku.”, Raqia tersenyum bangga.



    Meski pohon-istana ini begitu besar, namun jalan dan lorong-lorongnya tidak sulit dihafalkan. Tak lama setelah keluar dari ruangan itu, aku berhasil kembali ke kamarku sendiri. Lantai dua, lengkap dengan sebuah balkon. Hmm…mungkin aku akan duduk-duduk sebentar di kursi balkon sebelum aku tidur. Ada dua kursi kayu di balkon, kemudian akupun duduk di salah satunya.

    Berbeda dengan sore tadi, butir-butir cahaya yang menyelimuti Pardes turun sedemikian rendah hingga beberapa kaki dari tanah ketika malam. Langit menjadi nampak begitu indah, lengkap dengan bulan sabit dan taburan bintang-bintangnya. Udaranyapun begitu sejuk…

    Selagi merasakan lembutnya udara malam yang memeluk tubuhku, tiba-tiba…

    “Hai!!”

    Kaget, refleks aku berteriak. “WAAAAAAA!!!”

    Angel-class mini itu lagi, Viridia, muncul tiba-tiba entah dari mana.



    =================================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Pardes (Aramaic) = taman-hutan
      Maksudnya, taman yg didesain kayak hutan.
      Kata ini muncul 1 kali di Alkitab untuk menyebut taman raja Persia, Artaxerxes ---ke berapa entah, kurang jelas di kitab Nehemia---
    • Viridia (Latin) = warna hijau
    • Etz HaChayyim (Hebrew):
      ---> Etz = pohon
      ---> Ha = partikel "of" klo English
      ---> Chayyim = hidup
      Literally, Tree of Life.
    • Menurut klasifikasi katanya opa Carl Woese tahun 1990, Domain dalam taksonomi ada 3: Eukarya, Bacteria, Archaea.
      Nah, Filum Cyanobacteria ini masuk ke Domain Bacteria.
      FYI, yang diajarin di sekolah" (5 kingdom) itu adalah klasifikasi Robert Whittaker tahun 1969.
    • Belom pernah liat Nostoc azollae? Nih:
      Spoiler untuk gambar :



      Imut kan
    • Btw, tau apa yang namanya fotosintesis kan? Di cerita cuma jelasin reaksinya aja kok.

    Last edited by LunarCrusade; 28-12-12 at 08:18.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 2 of 14 FirstFirst 12345612 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •