==============================================
Tehillim 6: Green Angelocracy Part II || Cooking with Light
==============================================
Matahari nampak makin turun mendekati kaki langit selagi Sonic Glider masih berada di udara. Nampak kontras dengan langit, yang ada di bawah hanya ada warna hijau, hijau, dan hijau. Sesekali memang kulihat beberapa cabang sungai, namun apalah artinya semua itu dibanding dengan tutupan pepohonan yang ada.
“Raqia, seberapa jauh lagi tempat tujuan?”, tanya Plasma. Sonic Glider kali ini tidak terbang segila tadi.
“Harusnya tidak begitu lama lagi.”, tangannya lalu menunjuk sebuah sungai besar di sebelah kiri depan, mungkin beberapa belas kali lipat lebih besar dibanding yang sejak tadi tertangkap mataku. “Lihat sungai itu? Hanya perlu mengikutinya berlawanan dengan arah aliran sungai untuk menemukan tempat tujuan.”
Benar kata Raqia. Saat langit mulai berubah jingga, nampak sesuatu yang menakjubkan di kejauhan. Perasaan ini sama ketika aku melihat Shamayim untuk pertama kalinya.
“Nah, itu dia kotanya, Pardes.”, ujar Raqia, menatap ke pemandangan penuh cahaya di tepi sungai besar yang kami ikuti sejak tadi.
Sebatang pohon yang besar, amat besar, menjulang tak jauh dari tepian sungai. Entah apa jenisnya, namun yang jelas sebelumnya belum pernah kulihat sama sekali, bahkan di desa asalku dan Shamayim sekalipun. Menurut perkiraanku, tingginya kira-kira 4 hingga 5 kali lipat tinggi pepohonan biasa yang ada di Ya’ar HaMalakh. Pohon besar itu dikelilingi banyak pohon besar lainnya hingga jarak beberapa jauh, yang kira-kira tingginya 2 kali lipat pohon biasa, terlihat rimbun dan subur. Akar-akar besar ---yang ukurannya sangat tidak wajar bagiku--- menjalar di antara pepohonan besar itu, namun tetap dalam pola yang rapi dan teratur. Meski nampak sangat ‘alami’, tetapi struktur sebuah kota benar-benar terpancar dari sana.
Tidak hanya itu, butir-butir cahaya keemasan yang tak terhitung jumlahnya bertebaran mengelilingi kota yang bernama Pardes tersebut, membuat pohon besar dan pepohonan yang lebat di sekitarnya ikut berkilauan. Semua itu membuat Pardes terlihat hangat, berbeda dengan Shamayim yang terasa begitu megah dengan bangunan-bangunan dan tembok besar bercahayanya.
Tetapi…belum juga dekat ke Pardes, nampak puluhan Angel-class terbang dari arah kota, tepat menuju ke Sonic Glider. Pasukan pengamanankah?
“Plasma, tolong berhenti dan buka kacanya.”
Perintah Raqia segera dituruti Plasma. Suara bising dari belakang Sonic Glider berubah pelan, lalu kaca kokpitpun terbuka setelah benda terbang ini berhenti di udara.
Dengan mantap, Raqia beranjak dari duduknya, lalu berjalan keluar dari kokpit dan berhenti di bagian depan Sonic Glider. Jujur saja, aku sempat terkesima dengan kemegahan yang dipancarkannya sewaktu berdiri menantang langit, dengan rambut perak panjangnya yang kali ini berkilauan agak keemasan, karena terpaan cahaya matahari senja.
“Angel Knight form, release.”
Para Angel-class, yang awalnya terlihat siaga dengan senjata masing-masing, langsung menurunkannya ---beberapa malah terlihat menghilang begitu saja dari genggaman--- begitu melihat Raqia, berdiri tegap lengkap dengan keenam sayapnya yang terkembang penuh. Semuanya nampak hormat melihat Raqia. Hanya satu yang…
“Raqiaaaaaaaa….!!!!!”
Teriakan yang nyaring terdengar dari arah kumpulan Angel-class di depan, suara seorang perempuan. Lebih tepatnya…suara anak-anak. Dari asal suara, nampak sesosok makhluk bersayap sepasang, terbang melesat ke arah Raqia.
“Uh? Viri---“
Belum sempat Raqia menyelesaikan kata-katanya, Angel-class itu langsung memeluk Raqia erat-erat. Tingginya hanya sedikit lebih rendah dibanding pundak Raqia. Ew, pendek sekali? Selama ini, Angel-class yang kutemui selalu lebih tinggi dari Raqia.
Hmm…mereka terlihat akrab. Terlihat jelas dari Raqia yang balas membelai rambut hijau sepunggung Angel-class itu, yang serupa warna daun yang masih muda. Sudah pasti dia adalah salah satu kenalan Raqia di tempat ini.
“Uh…Raqia, ke mana saja kamu selama tiga ratus tahun terakhir? Sudah lama sekali kamu tidak mampir…”, ujar Angel-class itu dengan nada memelas.
“Ng…maaf yah, Viridia. Bukannya aku tidak ingin kemari, tapi kadang aku harus membasmi makhluk-makhluk jahat di banyak tempat di dunia….jadinya tidak sempat.”
Tatapan mata Angel-class yang bagai zamrud itu beralih ke arahku. “Raqia, itu temanmu?”
“Oh ya, perkenalkan, namanya Da’ath Ruachim. Sebenarnya aku kemari karena ada hubungannya dengan dia.”
“Hee…begitu ya.” Mendadak Angel-class itu melompat masuk ke kokpit, lalu berlutut di bangku depan dengan wajah menghadap kepadaku, sambil tersenyum ceria. “Perkenalkan, namaku Viridia, kepala pasukan pengamanan Pardes divisi dua.”
Aku langsung terkejut mendengar kalimat perkenalannya, bahkan mendadak bangkit berdiri dari kursi. “Hah?! Kamu kepala pasukan pengamanan kota?!”
“Da’ath, sopanlah sedikit.”, ujar Raqia dengan datar, sambil menatapku tajam.
“E-Eh…m-maaf, maaf. Aku hanya tidak percaya kalau Angel-class sekecil dirimu---“
Terdengar suara “hmmmph” yang keras dari mulut Raqia. Wajahnya juga terlihat kesal.
“Ahaha…iya, iya. Tidak apa-apa kok. Aku tahu banyak orang juga akan kaget begitu tahu hal itu.”, kata Viridia, sambil menggaruk-garuk kepala.
Anak kecil itupun berdiri di kursi lalu menengok ke kanan ke kiri, mengamati Sonic Glider. “Mmm…lebih baik kalian segera mendaratkan kaleng terbang ini di kota, karena sebentar lagi gelap. Nanti akan kutunjukkan tempat untuk memarkirkannya.”
“Hei…aku bukan kaleng terbang biasa…”, sahut Plasma.
Wajah Viridia berubah pucat.
“HAH???!!! B-B-Benda ini bisa bicara??!!”
“Ceritanya panjang, Viridia. Nanti akan kuberitahu kisah lengkapnya.”, jawab Raqia.
Akhirnya, tanah Pardes. Kami bertiga ---tentu saja dengan Plasma yang berubah kembali ke mode manusia kaleng--- langsung melangkah mengikuti Viridia, menuju ke tengah kota. Kudengar Raqia juga menceritakan apa saja yang terjadi sebelum kami semua tiba di sini.
Pemandangan menakjubkan yang kulihat dari kejauhan tadi sekarang sudah berada tepat di depan mata. Pepohonan yang begitu tinggi membuatku harus mendongak terus dari bawah sini agar dapat melihat bagian teratasnya. Tak henti-hentinya kuperhatikan pohon-pohon besar ini selagi berjalan menuju tengah kota. Luar biasa. Kebanyakan bangunan di Shamayim pun tidak ada yang setinggi satupun dari pohon di Pardes.
Yang lebih mengejutkanku, ternyata tiap pohon adalah…tempat tinggal. Rumah, maksudnya. Satu pohon dapat menampung puluhan hingga sekitar seratus manusia dan Angel-class. Itulah alasannya mengapa luas kota Pardes sedikit lebih kecil dari setengah luas Shamayim, namun penduduknya dapat menyentuh angka 14 juta jiwa. Pohon-pohon ini juga dapat memperbaiki dirinya sendiri jika terluka, terbakar, ataupun patah. Alasannya hanya satu…
“Kita sampai.”, kata Viridia, saat berhenti di depan pintu kayu besar di dasar pohon dengan gagang besar berwarna hijau, sepertinya terbuat dari zamrud.
Yap, ini dia alasannya. Pohon terbesar di Pardes, yang berdiri menjulang di tengah-tengah kota. Dapat dikatakan kalau pohon inilah, Etz HaChayyim, yang menjadi sumber energi bagi seluruh pohon-rumah di Pardes. Begitu besarnya, sampai-sampai membuatku merasa begitu kecil dibandingkan pohon itu. Kamipun melangkah masuk ke dalamnya…
Wow. Hanya kekaguman yang bisa kurasakan begitu berada di dalam. Ada dua alasan. Pertama, aku tidak menyangka kalau bagian dalam pohon memiliki ruang besar layaknya istana di Shamayim. Kedua, aura keilahian yang terpancar juga terasa sama kuatnya.
Beberapa batu berbentuk bola berwarna hijau muda yang bercahaya nampak berjajar di sisi jalan masuk hingga ke sebuah pintu besar lainnya di dalam. Kali ini adalah sebuah pintu kaca yang bening, merefleksikan kondisi ruangan ini yang begitu terang namun terasa hangat. Yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika masuk melewati pintu kaca itu.
Sebuah kristal. Ya, terdapat sebuah kristal yang begitu besar berada di tengah ruangan, melayang beberapa kaki di atas permukaan tanah. Lagi-lagi benda berwarna hijau muda ---mungkin Archangel ketiga menyukai warna itu---, berbentuk seperti dua buah piramida yang saling menempel di bagian alasnya. Viridia menjelaskan bahwa kristal itulah yang membuat Deshiel Tsamach, Mother Nature, dapat mengetahui apapun yang terjadi di Ya’ar HaMalach.
Seketika setelah tatapan Plasma mengarah ke kristal itu…
“Tunggu. Bukankah itu adalah Biophotonic Decoder? Kenapa bisa ada di tempat ini?!”
Langkahku, Raqia, dan Viridia mendadak berhenti. Tidak ada satupun yang tidak menatap ke arah Plasma saat ini.
“Plasma, apa maksudmu?”, tanyaku.
“Data mengenai kristal itu masih utuh di memoriku, jadi aku dapat mengenalinya dengan baik. Benda itu adalah Biophotonic Decoder, berfungsi untuk mengubah sinyal cahaya yang diterima jenis-jenis makhluk hidup tertentu menjadi sebuah gambar. Semua makhluk hidup yang bisa melakukan fotosintesis dapat dijadikan alat penerima. Setahuku benda itu punya jangkauan dua hingga tiga ribu kilometer.”
“Eh? Maksudnya?”, Raqia nampak bingung.
“Hmm…bagaimana ya menjelaskannya agar mudah dimengerti…ah, begini saja. Anggaplah semua makhluk yang dapat berfotosintesis yang berada dalam jangkauan adalah mata dari kristal itu.”
“Lalu, fotosintesis itu apa?”, Raqia lanjut bertanya.
Plasma pun menepuk dahinya dengan tangan kanan. “Benar juga…di zaman seperti ini mana ada yang tahu soal fotosintesis…”
Percakapan kami dipotong oleh kedatangan seseorang. Dari salah satu lorong yang berada di seberang kami, ada yang berjalan keluar. Perlahan sosoknya mulai jelas terlihat…
Seorang perempuan, nampak dewasa dan begitu elegan. Tinggi badannya mungkin hanya satu jengkal lebih pendek dariku. Dia mengenakan long dress putih berlengan panjang, dengan sebuah aksesoris menyerupai sebuah tiara emas bertahtakan zamrud, melingkar di kepalanya. Rambut emasnya yang lurus begitu panjang dan dibiarkan terurai hingga nyaris menyentuh lantai. Tatapan mata kehijauannya itu…
“Wah…ada tamu rupanya.”, ujarnya dengan lembut sambil tersenyum kecil.
Ah, sekarang aku mengerti kenapa dia dipanggil dengan sebutan “Mama” oleh para Archangel lainnya, termasuk Raqia. Paras wajah dan suara lembutnya itu bahkan membuatku ikut merasakan aura keibuan yang terpancar darinya.
“Mama Deshieeeeeel….!!!” Kali ini Raqia tidak ada bedanya dengan Viridia, saat kami masih berada di udara tadi. Melihat hal itu, aku hanya bisa tersenyum.
“Apa Raqia selalu begitu tiap kali ke tempat ini?”, tanya Plasma.
“Uh-huh, tiga ratus tahun yang lalu juga begitu. Wajar saja, Yang Mulia Deshiel memang sudah seperti ibu sendiri bagi para Archangel, bahkan bagi seluruh Pardes.”, jawab Viridia.
Kali ini aku mendengar Archangel itu bertanya pada Raqia, “Apa dua orang itu temanmu?”
“Yep, betul sekali. Pria yang itu kemungkinan besar adalah Crusader-Saint, jadi aku harus meminta Mama dan Archangel lain untuk memeriksanya.”
Dengan wajah terkagum-kagum, sang Mother Nature itu mendekat ke arahku, lalu menggenggam kedua tanganku. “Wuah…begitukah? Namamu siapa?”
“E-Err…nama saya Da’ath Ruachim. Saya sendiri masih belum tahu, Yang Mulia. Masih banyak keanehan yang membuat diri saya belum bisa disebut sebagai Crusader-Saint itu.”, jawabku ragu.
“Hmm…begitu ya. Tapi tenang saja, aku punya cara untuk memastikan hal itu. Yah, kuharap kamu benar-benar Crusader-Saint.”
Diapun melepaskan genggamannya, lalu beralih menatap Plasma. “Dan…yang satu ini…sepertinya terlihat kurang alami.”
“Ahaha…maaf, Yang Mulia. Saya memang tidak terbuat dari bahan yang seratus persen organik. Jadi, mohon dimaklumi.”
Archangel ketiga itu menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Menurut legenda yang kuingat, Crusader-Saint memang punya satu asisten yang bukan makhluk hidup seutuhnya, dan deskripsinya mirip denganmu. Kalau begitu, namamu?”
“Da’ath dan Raqia memanggil saya dengan sebutan Plasma, Yang Mulia.”, ditutup Plasma dengan sekali menundukkan kepala.
“Oke…jadi namamu Da’ath”, dia menunjukku. “Lalu namamu, Plasma.”, sekarang Plasma yang ditunjuk. “Aku hanya ingin mengucapkan, selamat datang di Pardes.”, ditutupnya dengan tersenyum.
Meski menurutku dia begitu cantik, namun anehnya aku tidak merasakan hal yang sama seperti saat pertama kali melihat Raqia. Aku hanya menganggap parasnya luar biasa, itu saja. Apa karena dia bukan tipeku? Atau…ada hal lain?
“Oh ya, kebetulan di Etz HaChayyim ini masih banyak ruangan kosong, yang bisa kalian gunakan untuk beristirahat. Viridia, nanti tolong antarkan mereka ke kamarnya masing-masing.”
“Baik, Yang Mulia.”, respon Viridia sambil membungkukkan badan.
Tetapi, baru saja kami berempat ingin berjalan ke arah yang berbeda dengan nona Deshiel, dia kembali memanggil. “Oh ya, nanti tolong datang ke ruangan belakang. Raqia, kamu tahu kan ruangan yang dimaksud?”
“Iya, aku tahu. Nanti mereka akan kuantar ke sana.”
Berhubung Plasma tidak memerlukan kamar tersendiri, dia memilih untuk berada di kamarku dan berubah menjadi mode Plasma Rifle jika sudah waktunya tidur. Baiklah, sekarang aku harus memenuhi undangan nona Deshiel. Viridia sendiri langsung keluar dari pohon-istana ini setelah menunjukkan ruangan.
Aku, Plasma, dan Raqia sekarang sedang menyusuri lorong saat melihat Archangel ketiga itu untuk pertama kali. Cukup besar, lebarnya sekitar 3 kali lebar rentang tanganku. Terus mengikuti Raqia, hingga sampai di depan sebuah pintu. Diapun membukanya, lalu…
“Oh, selamat datang.”, sapa nona Deshiel yang sedang duduk di sebuah kursi. Kali ini dia menggenggam…kacamata? Pakaiannya juga nampak lebih sederhana dibanding tadi, bahkan tidak terlihat tiara yang sebelumnya dikenakan. Tak hanya itu, aku menangkap keberadaan beberapa lembar kertas berada di sebelah kanannya, menumpuk di atas meja kayu.
Ruangan ini memang jauh lebih kecil dibanding aula tengah tempat kristal berada, namun bagiku masih terasa lega, meski terdapat begitu banyak barang di tempat ini. Entah apa saja yang ada di sini, aku belum pernah melihatnya sama sekali.
“Whoa…banyak sekali peralatan laboratorium di sini.”, sahut Plasma, beberapa kali memegang tabung-tabung kaca yang ditaruh dalam penyangga kayu, yang membuat tabung-tabung itu dapat berdiri.
“Kamu tahu semua benda-benda ini ya?”, tanya nona Deshiel.
“Ya, saya tahu. Benda-benda semacam ini umum ditemui saat saya masih sering beraktivitas bersama pemilik lama, yang mungkin…”, Plasma berhenti sejenak. “Adalah Crusader-Saint yang anda maksud.”
“Hee…begitu ya. Tapi suaramu terdengar tidak yakin.”
“Begitulah, Yang Mulia. Data yang saya miliki saat ini belum cukup untuk menyimpulkan hal itu.”
“Tidak apa-apa, Plasma. Tidak usah memaksakan diri jika belum saatnya. Sebenarnya aku hanya ingin kalian melihat ruangan ini saja, apalagi begitu Raqia menyebutkan kalau…”, nona Deshiel menatap ke arahku. “Kamu, adalah Crusader-Saint.”
“Maaf jika terdengar tidak sopan, Yang Mulia. Tapi saya penasaran, apa hubungan Crusader-Saint dengan semua benda di ruangan ini?”, tanyaku.
“Aku hanya punya firasat kalau dia pasti tahu semua yang ada di sini, termasuk…”
Nona Deshiel menggeser kursinya, sehingga nampak olehku sebuah benda aneh yang tadi tertutup tubuhnya, berada di atas meja kayu.
“Wah, sebuah mikroskop!!”, malah Plasma yang menyahut.
“Ooo…jadi itu namanya. Mikroskop.”, nona Deshiel pun mengangguk-angguk beberapa kali.
“Apa yang Mama Deshiel lakukan dengan benda ini?”, tanya Raqia.
“Coba kamu lihat melalui tabung yang di atas sini.”, nona Deshiel menunjuk ke bagian paling atas mikroskop, berupa sebuah tabung hitam dengan lensa di ujungnya.
Raqia menuruti kata-katanya, lalu mengintip lewat tabung itu. “Hei…apa ini? Ada butir-butir mengumpul, agak hijau-hijau bergerak begitu…”
“Maaf Raqia, boleh kulihat juga?”, ujar Plasma.
“Oh ya, boleh, boleh.”, jawab Raqia dengan cepat.
Giliran Plasma yang melihat melalui mikroskop. “Hmm…mikroorganisme. Ini Nostoc azollae, mudah ditemukan di air tawar.”
“Tadi siang memang kuambil sedikit air dari tepi sungai, lalu menaruhnya di bawah mikroskop ini.”, ujar nona Deshiel.
Entah apa yang merasuki diriku, namun seakan ada dua kata yang muncul di pikiranku. Setengah tidak sadar, akupun menyahut…
“Filum Cyanobacteria…”
Tidak ada satupun yang tidak terkejut mendengar kata-kataku.
“Da’ath, bagaimana kamu bisa tahu?!”, seru Plasma.
“Eh...? Eh? Tapi memang benar kan?”, suaraku terdengar ragu.
“Bukan itu masalahnya!! Kamu ini seorang blacksmith!! Bagaimana bisa tahu hal itu? Apalagi dengan kondisi dunia yang seprimitif ini…”
“Tidak salah lagi. Da’ath, kemungkinan kalau kamu adalah Crusader-Saint meningkat kali ini.”, sahut Raqia.
“Ah…aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa tahu hal itu.”, akupun menghela nafas.
“Sudah, sudah.”, potong nona Deshiel. “Mungkin Da’ath memang pernah mendengarnya entah di mana. Yang jelas sekarang…aku ingin tahu sesuatu. Aku curiga kalau makhluk-makhluk kecil itulah yang membantuku dapat melihat seluruh ruangan ini. Lewat semak dan pepohonan, itu sudah pasti. Namun bisa kalian lihat sendiri, di ruangan ini tidak ada tumbuhan berdaun hijau sama sekali. Plasma, apa kamu tahu sesuatu?”
“Oh, jelas saya tahu Yang Mulia. Kristal besar itu, Biophotonic Decoder, menggunakan semua makhluk yang dapat berfotosintesis sebagai alat penerima. Untuk itulah, Yang Mulia bisa melihat ruangan ini melalui kristal sejak membawa bakteri-bakteri itu masuk.”
Raqia langsung menyambar, “Hmm…fotosintesis itu lagi. Sebenarnya apa sih yang dimaksud fotosintesis?”
“Itu adalah cara yang digunakan beberapa jenis makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan bakteri-bakteri tertentu, untuk membuat makanannya sendiri.”
“Wah? Maksudmu, mereka punya dapur dan kompor sendiri?”
“Hmm…mudahnya mungkin bisa kamu bayangkan seperti itu. Apa kamu mau tahu lebih lanjut?”
Raqia terlihat bersemangat, lalu mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali dengan cepat.
“Fotosintesis adalah sebuah proses yang memanfaatkan energi dari cahaya, khususnya cahaya matahari, untuk diubah menjadi energi kimia yang dapat dimanfaatkan untuk beraktifitas. Tetapi, hanya tumbuhan hijau dan jenis-jenis bakteri tertentu saja yang dapat melakukannya, khususnya yang seperti Da’ath bilang, yang tergolong filum Cyanobacteria.”
“Hmm…jadi mereka menggunakan cahaya untuk memasak makanannya? Bagaimana bisa?”
“Kamu lihat warna kehijauan pada bakteri di mikroskop itu? Nah, itulah penyebabnya. Zat berwarna tersebut dinamakan klorofil. Fungsinya adalah menangkap cahaya matahari yang berguna untuk proses fotosintesis.”
“Oh, oh, oh, aku mengerti.”, ujarnya cepat. “Jadi cahaya matahari dapat dimisalkan sebagai api dalam kompor, benar begitu?”
“Hmm…ya, bisa dikatakan begitu.”, Plasma menaruh tangan kananya di dagu.
“Lantas apa yang digunakan sebagai bahan makanannya?”
“Hanya dua bahan, Raqia. Air dan karbon dioksida.”
“He? Karbon…dioksida? Apa itu?”
“Suatu jenis gas, dapat kamu temui dengan mudah jika manusia menghembuskan nafas.”
Kali ini aku menimpali. “Jadi, kalau aku bernafas begini…”, kutarik nafas dalam-dalam. “Akan banyak karbon dioksida...”, kuhembuskan nafas. “Dari apa yang kukeluarkan barusan?”
“Nah, itu dia. Proses fotosintesis memanfaatkan gas itu untuk membuat makanan.”
“Lalu, bagaimana dengan airnya?”, Raqia kembali bertanya.
“Hmm…akan lebih baik jika kutulis di sebuah kertas. Yang Mulia, apa ada sesuatu yang bisa kugunakan untuk menulis?”
“Ya, ada…tunggu sebentar.”, nona Deshiel membuka laci paling atas yang berada di meja itu, lalu dikeluarkannya beberapa lembar kertas. Diapun mengambil botol tinta beserta dua buah bulu yang sudah tercelup sejak tadi, terletak tak jauh dari mikroskop.
Plasmapun mengambil salah satu dari bulu itu. “Bahan utamanya ada dua, karbon dioksida dan air.” Anehnya, Plasma tidak menulis kata ‘karbon dioksida’ maupun ‘air’, namun CO2 dan H2O.
“Uh? Kenapa kamu menulisnya begitu?”, Raqia terdengar bingung.
“Karena komposisi atomnya memang demikian. Molekul karbon dioksida memiliki satu atom karbon, disingkat C, dan dua atom oksigen, disingkat O. Sementara itu, molekul air memiliki satu atom oksigen dan dua atom hidrogen, disingkat H. Akan menghabiskan waktu hingga besok jika aku harus menjelaskan mengenai teori atom dari awal, jadi kulewatkan saja untuk kali ini. Tidak apa-apa kan?”
“Hmm…baiklah, toh kali ini aku hanya penasaran tentang cara makhluk-makhluk itu membuat makanannya saja. Ya sudah, lanjutkan.”
Layaknya persamaan matematika waktu itu, Plasma menulis tanda tambah di antara keduanya. Yang tercantum sekarang adalah CO2 + H2O.
Lagi-lagi ada yang muncul di kepalaku.
“Hasilnya adalah glukosa dan oksigen…”
“Da’ath, lagi-lagi kamu…”, ujar Plasma, suaranya terdengar berat. Beralih kembali ke arah kertas, Plasma melanjutkan, “Well, tapi kata-katanya memang benar. Hasilnya adalah molekul glukosa dan oksigen.”
Yang ditulisnya kali ini adalah C6H12O6, O2, dan sebuah tanda tambah, berjarak sedikit lebih jauh di sebelah kanan persamaan karbon dioksida dan air di awal. Persamaannya menjadi CO2 + H2O di sebelah kiri, dan C6H12O6 + O2 di sebelah kanan.
“Glukosa? Apa itu?”, Raqia nampak keheranan.
“Sejenis gula.”
“Jadi, tumbuhan suka makan yang manis-manis ya?”, tanya Raqia, kepalanya sedikit dimiringkan ke kanan. Entah sudah berapa kali dia bertanya dengan posisi kepala seperti itu.
“Hmm…tidak dapat kusangkal kalau rasanya memang manis. Tapi tumbuhan kan tidak punya lidah. Tentu saja mereka tidak akan tahu rasanya.”
Kembali ke kertas, Plasma menuliskan sebuah tanda panah di tengah-tengah kedua persamaan. Jadi,
CO2 + H2O ---> C6H12O6 + O2.
Tidak ada sesuatu yang muncul di kepalaku, namun kali ini aku menyelak, “Tunggu. Sepertinya ada yang aneh dengan persamaanmu itu. Ruas kiri dan kanan…tidak sama. Ada satu C di kiri, namun ada 6 C di kanan.”
“Yep, memang belum kusamakan koefisien reaksinya. Da’ath, coba kamu yang menyamakannya.”
Meski ragu, aku ingin nekat mencoba. “Mmm…baiklah, akan kucoba.”
Kuambil bulu dari tangan Plasma, mencelupkannya ke tinta, lalu mulai berpikir. Akan lebih mudah jika kulihat dari yang jumlahnya terbanyak, yaitu H. Di kiri ada 2, sementara di kanan ada 12. Berarti, aku harus menaruh angka 6 di sebelah kiri H2O agar ruas kiri dan kanan sama-sama memiliki 12 H. Kutulis, lalu persamaan menjadi:
CO2 + 6H2O ---> C6H12O6 + O2.
Belum selesai. Tadi aku menyadari kalau C nya tidak sama. Ada satu C di kiri dan 6 C di kanan. Artinya, aku harus menuliskan angka 6 di sebelah kiri CO2.
6CO2 + 6H2O ---> C6H12O6 + O2.
Sekarang, aku beralih ke O. Di sebelah kiri menjadi ada 12 O dari 6CO2, dan 6 O dari 6H2O. Total 18 O. Di sebelah kanan, ada 6 O dari C6H12O6, dan 2 O dari O2. Total 8 O. Jika kutaruh 6 di sebelah kiri O2…ah, tepat.
6CO2 + 6H2O ---> C6H12O6 + 6O2
18 O di kiri maupun kanan. 6 C di kiri dan juga kanan. 12 H di kiri dan kanan. Selesai.
“Hmm…yap, betul.”, Plasma mengangguk beberapa kali. “Apa kali ini ada jawabannya langsung di kepalamu, sama seperti saat kamu menyahut ‘filum Cyanobacteria’ tadi?”
“Tidak, Plasma. Aku hanya melihat apa yang kamu sebut sebagai molekul seperti variabel biasa, serupa matematika.”
“Sebentar. Kapan cahaya digunakan?”, Raqia menyahut.
“Jika kamu melihat persamaan ini, proses fotosintesis terlihat sederhana karena yang tertulis hanya masukan dan keluarannya saja. Namun kenyataannya, prosesnya jauh lebih rumit dan melibatkan banyak zat.”
“Hmm…jadi yang ini hanya kesimpulan secara keseluruhan saja?”, tanya Raqia.
“Yap, benar. Baiklah, akan kujelaskan sesingkat mungkin. Sebenarnya, proses fotosintesis memiliki dua proses besar. Pertama, reaksi terang. Di situlah cahaya bertindak untuk memecah air, dengan oksigen sebagai sisanya. Kedua, reaksi gelap. Dikatakan ‘gelap’ karena tidak memerlukan cahaya. Di situ berlangsung pengikatan karbon dioksida dan hasil dari reaksi terang, menjadi molekul gula. Pada tumbuhan hijau, tempat utama berlangsungnya fotosintesis adalah di satu tempat, yaitu daun.”
“Berarti, daun adalah dapur. Klorofil adalah kompor. Cahaya adalah api kompor. Sementara karbon dioksida dan air adalah bahan makanannya. Benar begitu?”, kali ini Raqia tersenyum. Sepertinya dia sudah paham.
“Yep, masuk akal jika dimisalkan demikian.”
Sejak Plasma mulai menjelaskan, tidak ada yang memperhatikan nona Deshiel. Ternyata dia…
“Uh? Eh? Sudah selesai?”, tanyanya, saat kami bertiga menengok ke kursi tempatnya duduk. Ternyata sejak tadi dia mencatat apa saja yang telah dijelaskan, lengkap dengan kacamata yang terpasang.
“Anda masih ingin tahu lebih banyak, Yang Mulia?”, Plasma menawarkan.
Nona Deshiel mengangguk satu kali. “Uh-huh. Aku masih tidak mengerti masalah---“
Benda itu lagi, Biblos Gnostikos. Tiba-tiba saja muncul di hadapan kami semua, membuat nona Deshiel terkejut. Kalau aku sih…sudah tidak kaget lagi. Dan seperti saat itu, Biblos Gnostikos membuka, lalu berhenti tepat satu halaman setelah halaman yang sudah terisi. Butir-butir cahayapun muncul, lalu menulisi sekitar 10 halaman. Entah apa alasannya kali ini dapat terisi lebih banyak. Begitu selesai, butir cahaya menghilang, buku menutup, lalu jatuh.
“I-Itu…Biblos Gnostikos?”, tanya nona Deshiel, terdengar kaku.
“Benar, Yang Mulia. Mungkin karena Raqia berhasil memahami sesuatu yang baru, buku itu muncul dan mengisi dirinya sendiri.”, jawab Plasma, lalu memungut buku itu dari lantai.
“Wuah…menarik, menarik. Sebenarnya aku juga masih ingin tahu lebih banyak, tapi…”, Archangel ketiga itu menengok ke arahku. “Sepertinya kamu terlihat lelah, Da’ath. Bagaimana kalau kita sudahi saja hari ini?”
Archangel tidak butuh tidur, begitu juga dengan Plasma. Ya sudah, malam ini aku saja yang mengalah.
“Tidak apa-apa, Yang Mulia. Saya akan kembali ke kamar. Silakan dilanjutkan.”
“Da’ath, benar tidak apa-apa?”, tanya Raqia.
“Iya, lagipula tidak enak rasanya menghalangi dirimu untuk belajar lebih dalam. Yah, kuharap begitu aku bangun, yang terisi sudah lumayan banyak.”
“Hehehe…serahkan saja padaku.”, Raqia tersenyum bangga.
Meski pohon-istana ini begitu besar, namun jalan dan lorong-lorongnya tidak sulit dihafalkan. Tak lama setelah keluar dari ruangan itu, aku berhasil kembali ke kamarku sendiri. Lantai dua, lengkap dengan sebuah balkon. Hmm…mungkin aku akan duduk-duduk sebentar di kursi balkon sebelum aku tidur. Ada dua kursi kayu di balkon, kemudian akupun duduk di salah satunya.
Berbeda dengan sore tadi, butir-butir cahaya yang menyelimuti Pardes turun sedemikian rendah hingga beberapa kaki dari tanah ketika malam. Langit menjadi nampak begitu indah, lengkap dengan bulan sabit dan taburan bintang-bintangnya. Udaranyapun begitu sejuk…
Selagi merasakan lembutnya udara malam yang memeluk tubuhku, tiba-tiba…
“Hai!!”
Kaget, refleks aku berteriak. “WAAAAAAA!!!”
Angel-class mini itu lagi, Viridia, muncul tiba-tiba entah dari mana.
Share This Thread