=================================================
Tehillim 13: Astronomical Feeling Part II || Motion Experiment
=================================================
Chalal. Kota terbesar di dunia, berdiri menghadap samudera di sebelah baratnya.
Dengan penduduk sekitar 70 juta jiwa, luas kota ini begitu luar biasa. Raqia memberitahuku kalau kota ini luasnya nyaris 2 kali lipat luas Shamayim. Batas kotapun tidak nampak dari tempatku sekarang, dari dalam Sonic Glider. Sejauh mata memandang hanya ada bangunan-bangunan beratap merah atau coklat dengan tinggi yang bervariasi. Meski demikian, peletakan bangunan yang ada di kota tergolong rapi. Yang lebih tinggi biasanya lebih berfokus di sebelah timur kota, sementara yang lebih pendek di sebelah barat, lebih dekat ke pantai.
Meski supermasif dan ---menurutku--- luasnya tidak masuk akal untuk sebuah kota, namun kenyataannya tempat ini tetaplah menjadi tujuan banyak orang untuk menetap. Raqia juga mengatakan kalau pertumbuhan penduduk kota ini adalah yang tercepat di antara keenam kota besar yang ada.
Penyebabnya hanya satu, sang Celestial King.
Yap, Maoriel adalah salah satu Archangel yang paling disukai orang-orang di seluruh dunia. Jika diadakan pemungutan suara untuk menentukan popularitas seorang Archangel, mungkin dialah yang akan menjadi pemenangnya. Bahkan Raqiapun mengakui kalau Archangel yang satu itu lebih baik darinya dalam menangani orang banyak.
Kediaman Maoriel sendiri terletak kira-kira di tengah kota, berada pada sebuah areal tanah yang sedikit lebih tinggi dibanding sekitarnya. Sebuah istana besar ---jauh lebih besar dibanding rumah Raqia di Shamayim--- dikelilingi tembok merah yang tidak begitu tinggi, lengkap dengan arsitektur yang khas. “Terasa begitu oriental”, begitulah komentar Plasma saat melihat istana dan juga bangunan-bangunan penduduk yang ada. Atap istana didominasi warna merah dan beberapa ornamen emas, dibalut warna-warna seperti putih, coklat, hijau, dan kuning tua untuk tembok. Satu lagi, semua kusen tidak ada yang berwarna coklat kayu. Hanya ada emas, emas, dan emas.
Meski begitu, nuansa kota ini terasa masih “manusiawi”. Berbeda jauh dengan Shamayim yang membuatku merinding dan berdecak kagum, ataupun Pardes yang pemandangannya terasa menghangatkan pikiran. Tidak ada lampu bola yang melayang di tepi jalan, tidak ada butiran-butiran cahaya di udara.
Pendaratan di halaman istana berlangsung lancar karena Raqia turun terlebih dahulu untuk memberitahukan kedatangan Sonic Glider. Uh-huh, tidak lagi dicegat seperti ketika memasuki Pardes. Sekarang kira-kira jam setengah 4 sore menurut jam internal Plasma. Dan berhubung Sonic Glider bisa terbang lebih cepat dibanding seorang Angel-class, kami bisa tiba lebih awal dibanding apa yang sudah kujabarkan tadi pagi. Yah…meski aku harus menahan mual sesekali. Sola, Luna, dan Stella sendiri memilih untuk tetap di Batavia hingga esok untuk memastikan kota tetap aman.
“Yo, aniki!!”
Begitulah sapaan Raqia pada Maoriel, yang kudapati sedang menyiram tanaman dengan sebuah ceret besar kekuningan. Jenis tanaman yang sama dengan yang kutemui di balai kota Batavia.
“Aniki?”, kutanya Plasma yang berdiri di sebelah kiriku.
“Panggilan untuk kakak laki-laki, namun kesannya lebih jantan.”, jawabnya.
Maoriel, yang mendengar suara Raqia, menengok ke arah kami.
Seorang pria yang bertubuh cukup ideal ---meski tidak nampak terlalu berotot seperti Chloros---, tingginya tidak jauh berbeda dariku. Warna rambutnya sama persis dengan Raqia, yaitu perak berkilau, dan kira-kira sepanjang telinga. Bedanya, mata Archangel yang satu itu berwarna kuning cerah seperti halnya Sola. Plasma memberitahuku ---mungkin wajahku nampak keheranan melihat penampilannya--- kalau yang dikenakannya disebut yukata, disalut warna biru tua. Satu lagi, tidak ada sayap. Mungkin semua Archangel dapat menyembunyikan sayapnya jka diinginkan.
“Oh!! Raqia rupanya.”
Kedua Archangel itupun melakukan sebuah…brofist. Astaga.
“Bagaimana? Perjalanannya lancar?”, dia bertanya seakan sudah tahu kalau kami akan ke tempat ini.
“Tidak juga sih…”, Raqia menggaruk-garuk kepala. “Ada beberapa gangguan yang terjadi sehingga aku terlambat sampai. Maaf ya, padahal aku sudah menyuruh beberapa Angel-class yang dikirim ke Pardes untuk memberitahukannya padamu. Eh…malah aku yang terlambat.”
“Hahaha…sudah, tidak masalah. Yang penting kamu sudah tiba.”, pandangannya beralih padaku dan Plasma. “Lalu, siapa saja yang kamu ajak itu?”
Pertama, kuperkenalkan Plasma. Kedua, kusebutkan namaku. Lalu…
“Dia Crusader-Saint.”, sahut Raqia.
Alat penyiram air itu jatuh dari genggamannya. Mulutnya bergerak-gerak kaku, namun tidak bersuara sama sekali.
“B-Benarkah?!”, dia langsung memegang kedua pundakku, diwarnai keterkejutan yang hebat.
“Sudah dikonfirmasi sih…dan ternyata benar.”, jawabku perlahan.
Dia mundur selangkah, lalu menunduk dengan sangat hormat.
“E-Eh…tidak usah sampai seperti itu…”, ujarku.
“Ini harus saya lakukan, Da’ath-sama!! Saya…merasa berhutang pada anda. Entah apa itu, yang jelas ada sesuatu di hati kecil saya yang mengatakan hal tersebut.”
Apa aku pernah menolong orang ini di masa lalu? Ah, sekarang masih belum dapat kuingat. Ya sudahlah, mungkin memang belum saatnya kuketahui lebih jauh mengenai Maoriel. Yang jelas sekarang…aku masih punya hutang pada Raqia. Mengajarinya.
Malam hari.
“Hah…”, Raqia menghela nafas. “Selesai juga.”
Dirinya langsung tiduran di meja berbarengan dengan Biblos Gnostikos yang mengisi 9 halaman, setelah kuajari dia mengenai apa yang terjadi di Batavia tadi pagi. Yep, mengenai gerak lurus. Kami duduk bersebelah-sebelahan, tepat di belakang jendela yang menghadap ke laut.
“Terima kasih untuk pelajarannya.”, ujarnya lembut sambil menatapku, dengan tetap tiduran di meja. Dia duduk di sebelah kananku.
“Sama-sama. Toh ini sudah jadi kewajibanku juga jika Plasma berhalangan.”
Plasma sendiri entah ke mana, namun kuduga dia sedang bersama Maoriel.
“Sebagai rasa terima kasih, bagaimana kalau kuceritakan sesuatu?”, kepalanya kembali ditegakkan.
“Sepertinya kamu suka sekali bercerita.”, aku bertopang dagu dengan tangan kiri. “Baiklah, mau cerita apa?”
“Dia, Maoriel. Kamu pasti penasaran mengenai detail dirinya.”
“Hmm…ya. Tidak bisa kukatakan tidak. Oke, silakan dimulai.”
Raqiapun memulai ceritanya.
Cerita dimulai dengan digambarkannya kondisi 2000 tahun yang lalu, ketika masa-masa awal para Archangel mengumpulkan manusia-manusia yang terserak.
Fokus mulai dialihkan pada Maoriel. Raqia berkata kalau ada satu hal yang menjadi kelebihan Maoriel untuk menarik manusia-manusia pada jaman itu, yang disebutnya dengan ‘cinta yang sama rata untuk semua orang’. Percaya atau tidak, prinsip Maoriel itulah yang menjadi pionir untuk dicontoh kelima Archangel lainnya dalam hal menarik manusia. Siapapun orangnya, pastilah didengarkan dan berusaha dimengerti oleh sang Celestial King. Dengan kata lain, Archangel yang satu itu menggunakan pendekatan personal. Memang pada awalnya Chalal adalah yang paling sepi di antara kota-kota besar lainnya ---kurasa karena strateginya yang tidak bisa dijalankan dengan cepat---. Namun dalam waktu 400 tahun, penduduknya sudah berkembang menjadi yang terbanyak di dunia.
“Sepanjang empat ratus tahun itu dia bekerja sangat keras demi orang-orang di sekitarnya. Sekecil apapun kebutuhan mereka, pastilah berusaha dipenuhi. Aku harus mengaku kalah dalam hal itu. Namun ada satu hal lagi.”, Raqia melanjutkan sebelum aku sempat berkomentar.
Kali ini dia mulai bercerita tentang Omoikane. Sebenarnya Raqia sendiri merasa heran kenapa Angel-class yang satu itu malah berbalik melawan Maoriel.. Karena ternyata…dia adalah Angel-class pertama yang menemani Maoriel di masa-masa sulit itu, meski dia tidak pernah melakukan serangan langsung ke Chalal selama 500 tahun terakhir. Entah bagaimana detailnya Omoikane bisa bersama dengan Maoriel sejak hari itu, Raqia sendiri mengaku tidak ingat.
Ditambah lagi, jika bukan karena bantuan Omoikane, mungkin Chalal tidak akan menjadi seperti sekarang. Angel-class ---mantan Angel-class, maksudnya--- yang satu itu ternyata sering sekali menyebarkan suatu cerita mengenai Maoriel.
Cerita itu menggambarkan bagaimana Maoriel yang berada di dalam sebuah gubuk kecil bersama seorang gadis yang terluka. Baik ketika panas maupun hujan, Archangel itu terus melindunginya agar tidak kepanasan, tidak kehujanan. Karena gadis itu tidak dapat bergerak jauh dari tempatnya, Maoriel lah yang harus memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya dari apapun yang ada di sekitar. Akhir ceritanya? Gadis itu tetap meninggal. Tetapi, dia meninggalkan dunia ini dengan sebuah senyuman. Kisah tersebut sangat efektif untuk menyentuh hati orang-orang, bahkan membuat mereka bersedia mengikuti Maoriel hingga dapat menemukan tempat yang tepat untuk membangun Chalal yang sekarang.
“Hmm…begitu rupanya. Sekarang aku jadi ikut heran, kenapa Angel-class yang satu itu malah memberontak dan menjadi Elilim-class…”, kutengadahkan kepalaku.
“Nah, itu dia. Anehnya lagi, selama lima ratus tahun terakhir ini Maoriel sama sekali tidak melakukan usaha untuk melakukan serangan. Padahal aku mau saja membantunya jika diminta.”
“Yah, jika dia tidak mau…kita tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi Sola memberitahu kalau masalahnya dengan Omoikane bekisar mengenai masalah pribadi. Tidak enak mengorek lebih jauh tentang hal ini jika dia tidak menghendaki.”
“Bagaimana kalau kamu yang memaksanya? Dengan posisimu sebagai Crusader---“
Kujitak kepalanya.
“H-Hei!! Kenapa main pukul segala?!”
“Tidak mau. Kita boleh membantu, tapi jangan memaksa. Pelan-pelan saja, nanti juga kita akan tahu.”, sambil kuusap-usap lembut kepalanya, tepat di bagian yang kujitak tadi.
“Mmm…baiklah.”, pipinya sedikit memerah.
It’s super effective!! Sekarang aku mengerti bagaimana caranya menjinakkan Archangel mini yang satu ini.
“Ya sudah, tidur sana. Aku tahu kamu sudah lelah.”, ditutup dengan senyuman kecil.
Belum sampai dia melangkah ke pintu, kutanya, “Ngomong-ngomong, Omoikane itu perempuan ya?”
“Uh-huh. Kenapa memangnya?”
“Tidak apa-apa, hanya bertanya saja…”
Suatu mimpi muncul. Seorang lelaki. Seorang gadis. Keduanya duduk tergolek bersandar pada tembok, keduanya memiliki beberapa bekas luka. Sebuah bangunan yang setengah hancur. Sesekali kudengar suara keras di kejauhan… mimpi apa ini sebenarnya?
Kurasakan ada yang mencolek-colek pipiku. Siapa…
“Heh, bangun. Sudah pagi.”
Raqia rupanya. Berhubung kamar ini menghadap ke arah berlawanan dengan matahari terbit, suhunya pun tidak begitu hangat meski sudah beranjak pagi. Rasanya aku ingin tidur lagi. Tetapi…dibangunkan oleh makhluk lucu dan menggemaskan seperti dirinya, pikiranku segar seketika.
“Maoriel ingin menunjukkan sesuatu padamu. Ganti pakaianmu, nanti akan kuantar ke sana. Aku tunggu di depan.”
Hmm? Ada apa sebenarnya? Ya sudahlah, karena rasa kantukku sudah hilang, aku menurut saja.
Yap, selesai. Begitu keluar kamar, kuikuti langkahnya menyusuri koridor-koridor istana yang…membingungkan. Di langit-langitnya terpasang beberapa lampu gantung yang mirip dengan balai kota Batavia, sebuah kombinasi yang menurutku tidak cocok dengan arsitektur bangunannya.
Karena luasnya yang jauh lebih besar dibanding kediaman Raqia maupun Etz HaChayyim, sulit bagiku untuk mengingat-ingat jalurnya. Hingga akhirnya sampailah kami berdua di sebuah pintu yang letaknya terasing, berdiri sendiri dan jauh dari pintu-pintu lain yang kulihat sebelumnya.
Pintu merah dengan paku-paku emas itupun dibuka oleh Raqia…
Uh? Masih ada koridor panjang rupanya. Cukup gelap, namun aku masih bisa melihat jalurnya yang lurus tanpa belokan. Baguslah, aku tidak perlu takut tersesat. Setelah beberapa lama, aku bisa melihat adanya berkas cahaya di kejauhan. Makin besar, makin besar…
Ruangan. Kosong. Hanya ada putih di seluruh tembok dan langit-langitnya. Anehnya lagi, tidak ada tanda-tanda sambungan plafon. Semuanya putih polos dan mulus. Tempat apa ini…?
Tidak. Ternyata tidak seluruhnya kosong. Jauh di depan, ada sebuah pintu lagi yang berwarna keabu-abuan, dengan bentuk persegi panjang yang meninggi. Di depannya sudah ada Maoriel dengan yukata hitam, dan juga Plasma.
“Sampai juga akhirnya.”, ujar Maoriel saat menengok ke arah kami.
“Sebenarnya…tempat apa ini?”, tanyaku.
“Anda akan tahu segera, Da’ath-sama.”
Archangel bermata kuning itu menaruh telapak tangan kanannya di depan pintu. Seketika pintu itu membuka layaknya pintu otomatis, mirip seperti piramida yang waktu itu. Tapi…ada pintu lagi di depannya.
Berhubung yang lainnya segera melangkahkan kaki, akupun mengikuti dan memasuki pintu itu. Ada ruangan cukup kecil di antara pintu pertama dan pintu kedua.
Plasma berkata, “Da’ath, aktifkan mode Heavenly Saint mu.”
“Hmm? Ada apa memangnya?”
“Karena udaranya akan dikosongkan. Ruangan yang berada di balik pintu itu adalah ruang hampa udara. Kamu tidak akan bisa bernafas jika tidak mengaktifkan mode Heavenly Saint.”, Plasma menunjuk pintu yang di depan. Artinya, kemarin dia sempat ke tempat ini.
Maoriel menambahkan, “Ya, ruangan yang setelah ini tidak memiliki udara. Sengaja saya membuatnya seperti itu agar koleksi saya tidak berkarat.”
Kuturuti saja kata-katanya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Raqia mengaktifkan mode Angel Knight nya, sementara keenam sayap Maoriel muncul begitu saja tanpa dia harus bicara.
“Aku juga akan menghubungkan Archangel Core kalian berdua denganku agar kalian tetap dapat saling berkomunikasi. Searching for Divine Technology device. Archangel Core detected in range. Establishing connection…success.”
Dengan kata lain, Archangel Core adalah produk Divine Technology juga.
Tak lama kemudian, pintu yang di depanpun terbuka. Mendadak kepalaku dilindungi oleh sesuatu seperti helm dari bahan yang sama dengan armorku, ditambah permukaan biru bening di depan mata. Benar, aku masih bisa bernafas setelah ditutup helm ini. Hebatnya, Raqia dan Maoriel tidak memerlukan alat bantu apapun untuk bernafas. Ah iya, mereka kan Archangel…
Begitu kami memasuki ruangan, aku menyadari ada yang aneh. Bukan, bukan karena banyaknya senjata yang ada di ruangan ini, tapi…suara. Ya, suara. Aku tidak dapat mendengar apapun.
“Plasma, aku tidak bisa mendengar langkah kaki mereka. Apa helm ini membuatku tidak bisa mendengar?”
“Suara butuh medium untuk merambat hingga ke telinga. Jadi, wajar saja kalau kali ini kamu tidak dapat mendengar langkah kaki mereka karena tidak ada udara yang menjadi mediumnya. Kalaupun kamu bisa mendengarku, itu disebabkan oleh bagian dalam helm ini yang masih berisi oksigen dan telingamu yang begitu dekat dengan headset ini.”
“Hmm…jadi itu sebabnya kamu menghubungkan Archangel Core mereka denganmu…”, beberapa kali aku mengangguk-angguk.
Sementara Maoriel terus melangkah, kuperhatikan sekelilingku. Benar-benar koleksi senjata yang luar biasa. Berbagai jenis senjata ada di sini baik pedang, tombak, busur, pisau, gada, dan lain sebagainya. Semuanya ditaruh dalam rak-rak, penyangga kayu ---diikat dengan kawat atau rantai ke lantai---, ataupun dipaku ke tembok. Yah, meski ada beberapa yang bentuknya aneh. Entah berapa banyak senjata yang ada di sini, tapi menurut perkiraanku ada ribuan. Satu lagi. Ruangan ini sangat, sangat besar, bahkan tidak bisa kulihat ujung-ujungnya jika kupandang ke kiri dan kanan. Masih ada langit-langitnya sih…
“Hei, apa mungkin ada produk Divine Technology juga di ruangan ini?”
“Tidak ada, Da’ath. Kemarin malam aku dan Maoriel sempat bercakap-cakap beberapa lama, dan kujelaskan semua mengenai Divine Technology padanya. Begitu dia mengajakku ke ruangan ini, tidak kudapati satupun. Di dalam ruangan ini memang tidak ada, tapi…ruangan ini sendiri adalah hasil dari Divine Technology.”
“Whoa?! Ruangan ini?!”
“Ingat kubus untuk menyimpan Quetzalcoatl? Prinsip ruangan ini sama seperti itu. Apa kamu sadar kalau ruangan ini jauh lebih besar dari kelihatannya?”
“Hmm…ya. Entah seberapa besarnya, tapi jelas ini lebih besar dibanding yang kelihatan dari luar tadi.”
“Sebenarnya luas ruangan ini, yang memiliki nama Artificial Dimensonal Storage, berukuran lebih besar dari istana.”
“Tapi pasti akan sulit bagi mereka untuk mencuri ruangan ini, eh?”, aku merujuk pada para Nephilim itu.
“Hahaha…jelas saja sulit. Kecuali mereka menggunakan teleport untuk memindahkannya…”
Plasma seakan menyadari sesuatu, terucap sebuah “oh” dari kedua sisi telingaku.
“Raqia, aku punya ide bagus. Berhubung tempat ini hampa udara, aku ingin mengajarkan sesuatu padamu.”
Kedua Archangel itu berhenti melangkah, diikuti olehku.
Terdengar suara Raqia pada kedua bulatan yang menutupi telingaku ini. “Hmm? Mau mengajari apa?” Mulutnya tidak nampak membuka. Artinya…ini semacam telepati.
“Sedikit hukum tentang gerak. Yang Mulia Maoriel, bolehkah kugunakan ruangan ini dan senjata-senjata yang ada di dalamnya untuk contoh?”
Tanpa membuka mulut, Maoriel mengangguk beberapa kali. Terdengar juga suaranya dari headset, “Boleh saja, asal tidak ada yang rusak.”
“Bagaimana, Raqia?”, tanya Plasma.
“Oke, aku siap. Bagaimanapun juga, belajar hal-hal baru adalah salah satu tanggung jawabku.”
“Kalau kamu, Da’ath? Siapa tahu yang akan kuajari ini dapat berguna ke depannya.” Diapun menambahkan, “Oh, kalau kamu ingin bicara pada mereka berdua, kamu cukup bicara seperti biasa saja.”
“Sepertinya menarik. Aku merasa akan ada sesuatu yang tidak biasa yang akan kamu ajarkan.”, jawabku.
“Baiklah. Yang Mulia Maoriel, maaf jika meminta ijin anda lagi. Tapi bolehkah jika sedikit kuatur gaya gravitasi di ruangan ini?” Dijawab oleh Archangel bermata kuning itu dengan sekali mengangguk.
“Requesting access to Artificial Dimensional Storage. Access granted. Turning gravity level to zero.”
“Lalu? Untuk apa kamu mematikan sesuatu yang kamu sebut dengan ‘gravitasi’ itu?”, tanya Raqia.
“Cobalah sekarang kamu melompat. Pelan saja, tidak perlu mengepakkan sayap, jangan berbelok ke manapun. Lurus ke atas.”
Sedikit merendahkan badan, kemudian Raqia melompat. Yang terjadi berikutnya adalah dia terus melayang, terus melayang, terus…hingga…terbentur langit-langit.
“Tunggu. Plasma, ini aneh!! Apa yang terjadi pada Raqia?!”
“Sedikit mengenai gravitasi, itu adalah sesuatu yang menahan kalian agar dapat tetap berjalan di permukaan Bumi. Berhubung aku bisa mengakses data ruangan ini, akupun bisa membuat sistem dimensionalnya lepas dari Bumi untuk sementara waktu. Nah, Da’ath, apa yang bisa kamu simpulkan dari gerakan Raqia tadi?”
Sekarang Raqia menginjakkan kakinya di langit-langit, menghentakkannya, lalu meluncur kembali ke dekatku.
“Sebenarnya aku disuruh apa sih tadi…kepalaku agak sakit nih.”, wajahnya berubah cemberut lengkap dengan tangan kiri menggosok-gosok bagian kepala yang terbentur. Lucu juga rupanya jika pipnya menggembung tanpa bicara seperti itu…hehehe.
“Aku masih tidak paham, Plasma. Dia melompat, lalu?”
“Menurutmu adakah sesuatu yang janggal dari gerakannya?”
“Dia hanya terus naik…tunggu.”, aku terdiam sejenak. “Kecepatannya konstan…”
“Yap, itu dia. Itulah hukum pertama tentang gerak. Benda yang mengalami total gaya sama dengan nol hanya memiliki dua kemungkinan. Pertama, dia sedang diam. Kedua, dia sedang bergerak dengan kecepatan konstan. Raqia melompat untuk memberi percepatan sesaat hingga kecepatannya mencapai nilai yang tetap. Setelah itu, dia akan terus bergerak dengan kecepatan konstan. Kalau kutulis…”
Papan tulis yang waktu itu muncul, namun kali ini dari pergelangan tangan kananku. Muncul tulisan:
ΣF = 0
Artinya, huruf F ini adalah gaya yang dimaksud Plasma.
“Sepertinya yang ini mudah dipahami. Jadi itu tujuanmu mematikan apa yang kamu sebut dengan ‘gravitasi’ tadi?”, tanya Raqia sambil menaruh tangan kanan di dagu.
“Betul. Jika ada gaya gravitasi Bumi seperti normalnya, percobaan semacam ini sulit dilakukan kecuali kita berada di luar angkasa sana. Bagusnya, tempat ini sudah hampa udara dari awalnya, sehingga tidak ada gesekan udara ketika kamu melompat tadi. Kemarin malam aku sempat bicara panjang dengan Yang Mulia Maoriel, dan dia mengijinkanku untuk melihat-lihat tempat ini. Kupikir tempat ini bisa jadi sarana yang bagus untukmu belajar.”
“Dan kamu bilang itu hukum pertama? Berarti masih ada hukum kedua?”, Raqia bertanya lagi.
“Yap, kali ini akan kunormalkan lagi gaya gravitasinya. Artificial Dimensional Storage, setting gravity level to normal.” Suasana hening sejenak dan pijakanku terasa mantap kembali, kemudian Plasma berujar, “Gravitasinya sudah kembali normal. Sekarang, hukum kedua. Ini juga masih mudah dipahami. Da’ath, sekarang cobalah mendorong satu rak ataupun platform tempat senjata-senjata itu diletakkan, yang mana saja.”
Di sebelah kiriku terdapat sebuah rak besi beroda setinggi perut dengan etalase kaca, terikat pada lantai dengan empat buah rantai. Di dalamnya terdapat beberapa buah pedang dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Menyadariku yang menegok ke arah rak besi itu, Plasma berkata, “Ingin mencoba yang itu? Baiklah, akan kulepas rantainya.”
Tanpa menyentuh apapun, Plasma melepas rantai-rantai itu dengan rapi. Entah bagaimana caranya, tapi kurasa dia sudah punya akses penuh terhadap tempat ini.
Kudorong rak besi itu hingga bergeser sedikit. Berat juga.
“Sekarang coba dorong satu lagi, yang kelihatannya lebih berat atau lebih ringan.”
Rantai-rantainya kembali mengikat dengan sendirinya ketika pandanganku tertuju pada sebuah etalase kaca yang tinggi. Etalase itu berisi sebuah tombak besar berhiaskan batu-batu merah, diikat dengan kawat ke dasarnya. Etalase tersebut juga memiliki dasar kayu yang ujung-ujungnya dipakukan ke lantai. Lagi-lagi Plasma dapat melepas paku-paku itu tanpa menyentuhnya.
Kulakukan hal yang sama, mendorongnya hingga bergeser sedikit.
“Lebih sulit mendorong yang mana menurutmu?”, tanya Plasma. Nampak paku-paku itu kembali menancap pada tempatnya.
“Hmm…yang rak besi tadi terasa lebih berat meski beroda. Apa ada hubungannya dengan hukum kedua yang kamu sebutkan tadi?”
“Lagi-lagi soal gaya, Da’ath. Benda dengan massa lebih besar akan membutuhkan gaya lebih besar jika ingin digerakkan, yang artinya, diakselerasi. Begitu pula sebaliknya. Dan tanpa sadar, sebenarnya semua orang sudah mengaplikasikan hukum kedua ini tanpa harus menghitung. Satu hal lagi, aku lebih suka menyebutnya dengan massa dibanding berat, karena sebenarnya keduanya punya pengertian yang berbeda. Jika kuformulasikan…”
Papan tulis holografik itu muncul kembali, kali ini dengan tulisan:
F = m.a
Jika F adalah gaya dan a adalah percepatan, berarti m adalah massanya.
Plasma menambahkan, “Rak besi tadi massanya dua puluh delapan kilogram, sementara etalase dengan tombak memiliki massa tujuh belas kilogram. Raqia, jika Da’ath ingin menggeser keduanya pada percepatan dua meter per detik kuadrat, berapa gaya yang harus diberikan? Gesekan bisa kamu abaikan karena lantai ini cukup licin.”
“Hmm…pakai rumus yang ini ya? Sebentar…”
Raqia melangkah ke papan tulis yang muncul lagi dari pergelangan tangan kananku, lalu jari telunjuknya menulis:
Frak = 28 . 2
Frak= 56
Fetalase = 17 . 2
Fetalase = 34
“Satuan keduanya adalah newton. Itu satuan standar untuk gaya, disimbolkan dengan huruf N.”, tambah Plasma.
“Kalau begitu, Da’ath harus memberikan gaya yang lebih besar untuk rak besi agar dapat bergerak?”, tanya Raqia. Kali ini dengan pose khasnya, namun dengan mulut yang tetap tertutup.
“Benar. Itulah inti hukum kedua tentang gerak. Nah, unik untuk gravitasi Bumi, semua benda yang jatuh pasti akan memiliki percepatan sekitar sembilan koma delapan meter per detik kuadrat jika kita mengabaikan gesekan dengan udara.”
“Tunggu, Plasma.”, potongku. “Itu artinya, secara alamiah…semua benda yang berada di Bumi memiliki sebuah bentuk gaya yang seragam….”
“Tepat. Semua benda yang berada di Bumi punya sesuatu yang disebut gaya berat. Massa tubuhmu sekitar tujuh puluh dua kilogram, dan percepatan gravitasi konstan sembilan koma delapan meter per detik kuadrat. Gaya beratmu?”
“Tujuh ratus lima koma enam newton. Benar?”
“Tinggal dikalikan juga ya?”, tanya Raqia.
“Uh-huh. Sekali lagi tempat ini memungkinkan perhitungan mengenai gaya dengan ideal, tanpa harus ada gangguan dari bentuk-bentuk gaya yang lain.”
“Oh ya, bagaimana seandainya ada gesekan udara yang kamu maksud tadi?”, Raqia kembali mengajukan pertanyaan.
“Gaya gesek dengan udara biasanya sulit untuk diukur secara pasti, karena volume udara yang berubah-ubah di setiap titik. Tapi…akan kuberi contoh satu soal. Jika kamu menjatuhkan Da’ath dari udara yang memiliki gaya gesek dua newton, berapa total gaya yang Bumi lakukan untuk menarik tubuh Da’ath?”
“Oi, oi, kenapa contohnya brengsek begitu…”, suaraku terdengar suram.
“Bahahaha…sudah, diam saja. Aku tahu Raqia akan senang dengan hal itu. Oh ya, kuberi petunjuk. Gaya gesek selalu berlawanan dengan arah gerak.”, ucap Plasma.
Tanpa berkomentar, Raqia kembali menulis.
F = m.a – fgesek
F = 72 . 9,8 – 2
F = 705,6 – 2
F = 703,6 N
“Benar seperti ini?”
“Giliran ada acara lempar-melempar saja….kamu langsung pintar begini.”, sahutku.
“Ehehe…aku jadi malu.”, lidahnya sedikit terjulur.
“Oke, sepertinya sudah lancar ya? Aku akan melanjutkan ke hukum yang ketiga.”
Plasma melanjutkan, “Hukum ketiga tentang gerak bicara tentang aksi reaksi. Raqia, cobalah mendorong tubuh Da’ath.”
Tangan kanannya diletakkan di bahu kananku, lalu melakukan sedikit gerakan mendorong.
“Tadi kamu memberikan gaya sekitar lima belas newton. Tahukah kamu? Sebenarnya tubuh Da’ath juga mendorongmu dengan gaya yang sama, hanya saja berlawanan arah.”
Muncul tulisan di papan tulis:
F1 = -F2
“Kamu pasti merasakan sedikit tekanan pada telapak tanganmu. Itulah bukti hukum aksi reaksi tersebut.”
“Jadi itu gaya yang tubuh Da’ath berikan?”
“Yap, benar sekali. Jika hukum ketiga ini tidak ada, maka semua orang akan terus masuk ke permukaan tanah ketika berpijak, karena tanah tidak memberikan reaksi saat diinjak.”
“Hee…menarik juga ya. Namun masih ada yang membuatku bingung. Misalkan aku terus mendorong sebuah balok kayu kecil tanpa berhenti pada jarak yang jauh. Itu artinya aku memberikan gaya pada balok itu. Jika hukum ketiga itu benar, kenapa aku tetap bisa mendorongnya? Bukankah seharusnya dia tidak akan bergerak karena bereaksi melawanku?”
“Untuk menjawabnya, akan kuberikan satu contoh. Anggap saja gaya yang kamu berikan sebesar sepuluh newton. Massa tubuhmu sendiri kalau kukira-kira mungkin sekitar tiga puluh kilogram. Dengan hukum kedua dan ketiga, coba hitung-hitunglah sedikit. Kuberi bantuan, misalkan F1 adalah gaya yang kamu berikan, dan F2 adalah reaksi dari balok. Karena F2 bekerja pada tubuhmu, maka massa yang kamu masukkan untuk F2 adalah massa dirimu sendiri.”
Raqia menulis:
F1 = -F2
F1 = 10 N
F2 = -10 N
F2 = maku . a
-10 = 30 . a
a = -0,33 m/detik2
“Dan itulah penyebab kenapa kamu tidak merasakan apapun dari balok. Percepatan sekecil itu tidak akan mampu memperlambat tubuhmu yang massanya tiga puluh kilogram itu, jauh lebih besar dibanding balok. Katakanlah balok itu memiliki massa nol koma satu kilogram, itu artinya balok itu akan mengalami percepatan seratus meter per detik kuadrat. Sebuah nilai percepatan yang amat besar untuk massa yang kecil. Karena itulah Kamu bisa membuat balok itu bergerak, sementara tidak untuk sebaliknya.”
Oke, aku mengerti semua yang diajarkan Plasma tadi. Ternyata, banyak hal-hal yang kualami sehari-hari dapat diungkapkan dalam bahasa indah nan eksotik yang disebut matematika. Perlahan mengerti banyak hal seperti ini, lama-lama aku merasa seperti seorang anak kecil yang begitu gembira ketika diberi sebuah mainan baru…
Kedua mata Raqia sedikit melebar, lalu terdengar suaranya di telingaku. “Yap, aku sudah paham teori dasar dan sedikit contoh perhitungannya. Terima kasih banyak, Plasma.”
Ini dia tamu yang sudah tidak asing lagi, Biblos Gnostikos. Seketika diambil oleh Raqia begitu jatuh ke lantai. Dua belas halaman…banyak juga ya. Maoriel sempat kaget melihat kemunculan buku itu. Namun setelah kujelaskan, dia bisa paham.
“Yang Mulia Maoriel, sekarang giliran anda.”, tutur Plasma.
Maoriel kembali berjalan beberapa jauh, lalu berhenti di depan sebuah pintu ---lagi---. Dengan cara yang sama diapun membukanya. Bah…ada ruangan kecil lagi, lengkap dengan pintu LAGI yang identik di depannya. Kenapa banyak sekali pintu berderet di tempat ini…
Begitu aku masuk, pintu yang di belakang langsung menutup.
“Kamu bisa mematikan mode Heavenly Saint, Da’ath. Setelah ini udaranya akan normal.”, ucap Plasma. Kuturuti saja perintahnya. Seketika, dia sudah berdiri di kiri belakangku.
Dan…pintu yang di depan membuka otomatis. Benar kata Plasma, aku bisa bernafas kali ini. Kulihat Raqia dan Maoriel tidak lagi berada dalam mode Archangelnya. Kali ini ada ruangan yang lebih kecil di depan, lengkap dengan--- wow. Apa itu?
Sebuah bola kuning sebesar kepala ditaruh di atas sebuah penyangga tiang berwarna perak, setinggi perutku. Nampak berkilau, entah dari apa bahannya.
“Boleh kusentuh?”, tanyaku pada Maoriel.
“Boleh, tentu saja boleh, Da’ath-sama.”
Kusentil-sentil bola itu. Bunyinya seperti sebuah kaca. “Ini…apa?”
“Produk Divine Technology. Namanya adalah---“
Sebelum Plasma mengatakan namanya, dua buah kata muncul di dalam kepalaku.
“Recovery Orbiter.”, aku dan Plasma berkata bersamaan.
“Oh? Kamu ingat benda ini?”
“Belum, Plasma. Hanya saja mendadak namanya terbersit di pikiranku. Fungsinyapun aku tidak tahu.”
“Recovery Orbiter berfungsi untuk memulihkan apapun, selama benda itu berada dalam jangkauan.”
“Apapun?”
“Yap, apapun. Entah itu benda mati ataupun makhluk hidup, bisa diperbaiki olehnya. Misalkan, tangan yang hilang bisa ditumbuhkan kembali. Tapi tetap saja tidak bisa membangkitkan orang yang sudah mati.”
“W-Wow…hebat sekali fungsinya. Apa benda ini diciptakan olehku sendiri?”
“Hmm…sepertinya tidak, karena setiap benda yang kamu ciptakan memiliki signature khusus di dalam code nya. Meski begitu, aku yakin kamu membantu sebagian besar perancangannya. Bagaimanapun juga kamu adalah orang yang mempelopori pembuatan Divine Technology untuk pertama kalinya.”
“Sepertinya ingatanmu sudah banyak yang kembali ya?”
“Haha…begitulah. Makin banyak Biblos Gnostikos terisi, akan makin banyak pula data-dataku yang kembali.”, suaranya terdengar bangga.
Kalau kuperhatikan ada empat tiang lain yang serupa, masing-masing dua di kiri dan kanan tiang yang ini, letaknya agak berjauhan. Namun tidak memiliki bola di atasnya…
“Sebentar. Maoriel, kalau boleh kutahu, keempat tiang itu buat apa?”
“Seharusnya keempatnya diletakkan bola yang sama. Tetapi keempatnya diambil oleh Omoikane lima ratus tahun yang lalu, Da’ath-sama.”, jawab Archangel bermata kuning itu.
Sekali lagi ada yang janggal. Kenapa dia tidak mengambil kelimanya sekaligus?
Tunggu. Dengan kata lain, keempat Recovery Orbiter lainnya sudah berada dalam kendali kedua Nephilim itu!!
“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi kalau kelimanya berhasil didapatkan?”, tanya Raqia.
“Kemampuan memulihkannya akan naik tujuh ratus persen. Bayangkan saja begini. Kamu berhasil menebas sayap seorang Nephilim, lalu sayap itu pulih dalam waktu kurang dari satu detik…”, jawab Plasma.
Kelopak mata Raqia membuka makin lebar. “Itu sama saja mereka…nyaris tidak bisa mati…”, ujarnya perlahan.
“Kalau begitu yang satu ini tidak boleh mereka dapatkan... Raqia, kita harus mengambil keempatnya kembali.”
“Tentu saja. Itu juga yang kurencanakan. Ingin sekarang?”, tanyanya sambil mengedipkan sebelah mata.
“Besok saja, aku masih lelah hari ini. Tidak apa-apa kan?”
Sorot matanya berubah kecewa.
“Huh…padahal kamu sendiri yang memberi saran. Ya sudahlah. Untuk hari ini, kamu boleh bersantai sepanjang sisa hari.”
“Da’ath-sama, apa anda ingin saya memandu anda berkeliling keluar istana sebentar?”
“Oh, tidak perlu repot-repot, Maoriel. Aku lebih suka melihat-lihat tempat baru sendirian saja. Lebih bebas rasanya.”
Bukannya aku tidak mau, karena jelas kejadian ini harus ditangani secepat mungkin. Hanya saja…masih terlalu banyak pertanyaan di dalam kepalaku mengenai kejadian aneh di kota ini. Ada baiknya seharian ini kumanfaatkan untuk memikirkan mengenai hubungan semuanya itu.
Sambil berjalan-jalan di luar tentunya. Istana ini membuatku bingung saja sih…
Share This Thread