=================================================
Tehillim 18: Astronomical Feeling Part VII ~ Love > 2000 Years
=================================================
“Aku akan melakukan deteksi Archangel Core untuk menemukan mereka.”
Begitulah yang dikatakan Plasma saat aku berada di udara, di dalam Sonic Glider. Kami terbang terus ke arah utara kali ini. Meski ini adalah Sonic Glider yang sama, tetapi…terasa sepi. Tidak ada Raqia di jok depan.
“Hei, kenapa bengong begitu?”
“T-Tidak ada apa-apa…”
“Heee…baru saja sehari ditinggal, sudah kangen begitu. Aku tidak menyangka ternyata seorang Crusader-Saint bisa seperti itu juga.”
“Bagaimana ya…aku merasa dia itu berbeda. Dari sekian banyak perempuan cantik atau menggemaskan yang pernah kutemui, hanya dia…”
“Hahaha…sudah, katakan saja perasaanmu nanti kalau memang sudah tidak tahan.”
“Itu sama saja cari mati, Plasma.”, sahutku ketus.
“Ingat Maoriel dan Omoikane? Kalau kupikir-pikir, para Archangel hanyalah menahan diri untuk mencintai seseorang dengan sesuatu yang spesial, bukannya dilarang sama sekali. Mereka hanya merasa dengan memperhatikan satu orang saja, itu akan mengalihkan perhatian mereka dari kota yang mereka pimpin, dan mungkin akan berujung pada diabaikannya rakyat sendiri. Yah, mungkin tidak untuk manusia biasa, karena beresiko melahirkan seorang Nephilim. Tapi kamu kan jelas berbeda, seorang Crusader-Saint. Bukan manusia yang biasa-biasa saja.”
“Jadi…menurutmu, kesempatanku masih terbuka lebar?”
“Masih, Da’ath. Tentu saja masih. Kalau kuamati sebenarnya kalian berdua sangatlah cocok, bisa saling mengisi. Mungkin hanya perlu menggali hatinya lebih dalam saja kalau kamu memang masih ingin menunggu.”
“Sekarang aku yang heran. Kenapa makhluk buatan sepertimu mengerti hal seperti ini?”
“Hahaha…bukankah kamu sendiri yang menciptakanku? Masih lupa?”
“Aku belum ingat sampai ke situ…”
Tiba-tiba dua buah titik terlihat berkedip di layar kokpit. Plasmapun berkata, “Hmm...aku mendeteksi sinyal Archangel Core. Ah, itu mereka.”
Ada suatu bayangan menutupi langit, sosok makhluk-makhluk bersayap. Segeralah aku melompat keluar dari Sonic Glider kemudian mengaktifkan mode Heavenly Saint. Benar apa kata Plasma, kulihat Raqia dan Maoriel ---dengan Sola, Luna, dan Stella terpasang pada badannya--- di depan kerumunan itu. Sayap makhluk-makhluk itu tidak berwarna kuning, putih bersih.
“Da’ath-sama!!”, panggil Maoriel, terbang mendekatiku. “Anda baik-baik saja?”
“Ya, aku tidak apa-apa. Sacred Armor ini ternyata bagus juga, bahkan ledakanmu itu tidak berefek apa-apa pada tubuhku.”
“Syukurlah…saya benar-benar mohon maaf atas kecerobohan yang sudah saya lakukan, Da’ath-sama.”, dia menunduk hormat.
“Sudah, sudah. Sebenarnya itu salahku juga, tidak memperhatikan mu---“
Tidak, Atra bukan musuhku lagi sekarang.
“…tidak memperhatikan Nephilim yang malang itu menarikku dengan rantai.”
“Dan di mana mereka sekarang? Apa anda bertemu dengan salah satunya?”
Duh, ini sulit kujawab. Jika kujawab ya, bisa-bisa Maoriel marah besar karena aku melepaskan orang yang telah melukai Omoikane. Tapi jika kujawab tidak, di mana integritasku sebagai seorang Crusader-Saint?
“Y-Ya, aku sempat bertemu, malah dengan kedua-duanya.”
Refleks kukatakan demikian, meski ucapan yang keluar terdengar agak kaku. Tidak tahan rasanya jika harus berbohong mengenai masalah ini.
“Anda mengeksekusi mereka?”, ekspresinya seakan berharap diriku menjawab “ya”.
“Sayangnya…tidak. Pendekatan persuasif sudah cukup untuk membuat mereka menyerah dan pergi.”
Kupikir Maoriel akan kecewa atau bagaimana, tetapi…
Sambil tersenyum bangga dia berkata, “Seperti yang sudah saya duga. Da’ath-sama, anda memang menakjubkan. Bahkan tidak dibutuhkan ayunan pedang untuk membuat mereka mengaku kalah.”
“Ahaha…yah, begitulah. Satu hal yang kuketahui dari kejadian itu, mereka masih punya sifat manusia. Tidak sulit bicara dengan keduanya---“
“KE MANA SAJA KAMU HAH?!”, mendadak Raqia memakiku. Matanya nampak berkaca-kaca.
“Err…itu…anu…”
“Raqia, sudahlah. Ini bukan salah Da’ath-sama sepenuhnya.”
“
Aniki!! Jangan ikut-ikutan membelanya!!”
“Raqia, aku minta maaf…”
“Terserahlah!! Yang jelas kamu sudah melanggar janjimu sendiri, Da’ath!!”
Eh? Janji yang mana…? Ah sudahlah, bukan waktunya untuk memikirkan hal itu.
Kutanya pada Maoriel, ternyata para Angel-class ini adalah batalion yang bersiaga di Ezo, jumlahnya sekitar seratus ribu. Ternyata kemarin dia dan Raqia terbang ke pulau di utara itu untuk mengatur serangan, seandainya Atra dan Tenebria masih berada di kepulauan ini. Namun karena keduanya sudah pergi, Maoriel ingin memerintahkan mereka untuk kembali. Jelas kucegah hal itu, karena di sini masih banyak Elilim-class yang mungkin tidak mengetahui menyerahnya Omoikane dan perginya kedua Nephilim itu.
“Kristal apa itu, Da’ath-sama?”, tanya Maoriel ketika melihat kristal kuning di tangan kiriku.
“Tenebria yang memberikannya. Nephilim yang menggunakan pedang itu lho…”
“Dia?! Untuk apa?!”
“Tempat Omoikane bersembunyi tidak bisa kita lihat, jadi butuh kristal ini untuk menyingkapkannya. Cara menggunakannya sendiri aku masih tidak tahu, tapi aku percaya kata-katanya. Yah, siapa tahu jika kita sudah dekat, kristal ini akan menyala atau---“
Panjang umur. Kristal itu benar-benar bersinar ketika kami melalui sebuah lembah dengan aliran sungai di tengahnya.
“Di sekitar sini…mungkin. Kalau begitu kita turun.”
Setelah kukatakan itu, Maoriel memerintahkan batalion Angel-class yang bersamanya untuk tetap berada di udara sambil mengawasi sekitar. Raqia? Dia ikut turun, namun tetap tidak mengucapkan sepatah katapun. Masih marahkah…?
Makin dekat ke permukaan, kristal itu bersinar makin terang, dan akhirnya perlahan berubah menjadi butir-butir cahaya kuning yang melaju agak ke sebelah kananku. Lama-kelamaan pepohonan dalam areal tertentu berubah menjadi sebuah bangunan kayu yang cukup besar, disertai tembok batu mengelilinginya. Namun jelas ini jauh lebih kecil dibanding istana Maoriel di Chalal. Satu lagi, aku menemui tanaman itu lagi, Sansevieria, ditanam di beberapa titik.
Beberapa puluh Elilim-class nampak bersiaga di depan pintu utamanya.
Begitu mendarat, kukatakan, “Turunkan senjata kalian. Tidak ada gunanya lagi melawan karena Omoikane sudah setuju untuk pulang. Aku tidak ingin melukai siapapun kali ini.”
Meski awalnya terlihat tidak percaya, akhirnya semua menyingkir dan memberi jalan pada kami bertiga. Maorielpun memanggil salah satunya, meminta menunjukkan arah ke ruangan tempat Omoikane berada.
Setelah menyusuri koridor-koridor bertembok dan berlantai kayu selama beberapa waktu, sampailah kami di sebuah ruangan, pintunya tergolong besar. Elilim-class itu mengetuk pintu dan memanggil, dan terdengarlah suara balasan Omoikane dari dalam. Dia membuka pintunya sedikit, lalu beranjak pergi.
“
Celestial Cores, detach.”
Whoa…membuat kaget saja. Setelah Maoriel berkata seperti itu, ketiga senjata pada tubuhnya berubah menjadi sosok manusia. Siapa lagi kalau bukan Sola, Luna, dan Stella.
“Mmmmh…melelahkan sekali.”, Sola meluruskan kuat-kuat kedua tangannya ke depan.
“Sudah lama tidak seperti ini sih…”, Stella tertawa kecil.
“Eh, ada
onii-chan juga rupanya.”, sahut Luna, disusul dua lainnya ikut menoleh ke arahku.
“Hah? Kalian tidak tahu kalau sejak tadi aku bersama Maoriel?”
“Kalau sudah berubah dan terpasang sebagai senjata, kami memang tidak akan mengetahui apapun tentang lingkungan sekitar.”, jawab Sola.
“Hee…begitu ya.”
Pembicaraan kami terhenti begitu Maoriel melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan yang besarnya sekitar luas kamar Stella. Kamipun mengikutinya perlahan, membiarkannya berjalan di depan.
Di seberang pintu, pada sebuah ranjang. Di situlah Omoikane sedang duduk dan memandang ke luar jendela yang nyaris sepanjang ranjangnya. Hmm…apa mungkin dia masih butuh istirahat karena cederanya? Keempat Recovery Orbiter juga nampak masih mengelilinginya di atas.
“Omoi…kane…”, panggil Maoriel, terdengar ragu.
“Maoriel? Dan…kalian…?”
Ketiga gadis itu hanya tersenyum.
“Kukira siapa yang akan datang. Tidak tahunya kalian semua.”, ujar Omoikane ketus.
“Apa…kamu tidak ingin kami kemari?”, tanya Maoriel, berlutut di samping ranjang.
“Aku hanya berharap kamu saja yang masuk, eh ternyata…”
Ketiganya berubah murung.
Kupikir Omoikane marah atau bagaimana, ternyata dia malah tertawa. “Oh ayolah, aku hanya bercanda. Kemarilah.”
Seperti anak kecil yang sudah rindu bertemu ibunya, ketiganya langsung melompat ke ranjang dan memeluk Omoikane sambil menangis. Pemandangan ini…mengharukan bagiku. Melihat keempatnya berpelukan dengan cahaya matahari pagi menyinari mereka dari jendela, rasanya…seperti ada sesuatu yang hangat masuk ke dalam dadaku. Ternyata ketiga gadis itu masih seperti anak-anak saja. Aku hanya bisa tersenyum sendiri melihat mereka.
“Bagaimana kondisimu?”, tanya Maoriel.
“Sudah baikan. Kamu tidak perlu khawatir, bukankah ada mereka?”, dia menunjuk bola-bola kuning yang melayang di atas.
“Begitu…ya. Kata-katamu kemarin, apa benar---“
Omoikane menaruh telunjuk kanannya pada bibir Maoriel. Ketiga gadis yang duduk di tepi ranjang itupun tersenyum lebar, nampak girang, bahkan Luna sampai menggigit jari dan berteriak “Kyaaa!~” selama dua detik.
Keduanya saling berpandangan, dari mata ke mata.
“Bukankah kamu sendiri yang mengatakan, sebuah janji harus ditepati? Tidak usah khawatir. Aku akan pulang.”
Maorielpun menggenggam tangan Omoikane. “Maaf. Aku terlalu bodoh untuk menyadari semuanya.”
“Huh…kamu ini. Sudah berapa kali kamu mengatakan maaf? Tapi…baiklah. Selama kamu sadar, aku sudah bahagia dengan itu. Jadi…akan kukatakan sekali lagi.”
Wajah keduanya makin dekat. Ketiga gadis itupun semakin berbinar-binar, mungkin siap meledak kapan saja karena situasi ini, yang membuat jantung siapapun yang melihatnya pastilah berdebar-debar.
“…
tadaima, Maoriel.”
“…
okaerinasai, Omoikane.”
Dan…
Bibir keduanya bersentuhan. Makin dalam…
Terlalu indah. Aku yang hanya melihatpun ikut berdebar-debar. Apalagi ketiga gadis itu. Dengan kompaknya mereka menahan nafas sambil menutup mulut dengan kedua tangan. Wajah mereka begitu merah, nampak bahagia. Jika saja bisa kutambah asap putih di atas kepala ketiganya…lengkap sudah. Seakan mereka meledak karena suasana ruangan ini yang penuh cinta.
Baru saja keduanya terpisah…
“
Aniki.”, ucapan Raqia terdengar begitu dingin, seakan ingin membunuh orang.
Argh…kenapa harus dipotong seperti ini, Raqiaaaa??!!
“Ingat sumpah para Archangel?”, tanyanya dengan nada suara yang sama.
Tidak menjawab, Maoriel sedikit memalingkan wajahnya dari pandangan Raqia.
“DI MANA INTEGRITASMU, HAH?! Dan kamu juga, Omoikane!! Aku yakin kamu sudah mengetahui apa yang kumaksud!! Kenapa kalian masih juga…”
Aku sudah bisa tebak apa yang Raqia maksud, yaitu larangan seorang Archangel untuk menjalin hubungan cinta spesial dengan seseorang.
“Tidak ada pilihan lain. Chalal butuh pemimpin baru. Akan kueksekusi kalian sekarang juga.”
Raqia mengambil ancang-ancang, ingin mengayunkan pedangnya. Semua yang ada di ruanganpun terkejut dan langsung mengambil posisi siaga, bahkan Omoikane perlahan berdiri.
“Plasma!! Warp Drive!!”
Tepat waktu. Berpindah ke depan Raqia, kutahan ayunan pedang besarnya dengan Energy Blade.
“Raqia, hentikan!!”
“MINGGIR, DA’ATH!! Seseorang yang tidak mampu menjaga sumpahnya tidak pantas menjadi seorang Archangel!!”
“Sumpah…katamu? Apa kamu tahu kalau cinta mereka sudah bertahan lebih dari dua ribu tahun?! Mereka sudah saling mencintai bahkan sebelum kamu menjadi Archangel!!”
“Perjanjian tetaplah perjanjian!!”
“RAQIA!!!! KUPERINTAHKAN DIRIMU UNTUK BERHENTI!!!!”
Teriakanku kali ini membuatnya tersentak. Pedangnyapun diturunkan. Tanpa kata-kata, dia langsung beranjak pergi keluar ruangan. Ada apa sih dengannya?!
“
Onii-chan.”, panggil Luna. “Tidak baik berteriak pada seorang wanita.”
“Tapi jika tidak kulakukan, mungkin kalian sudah mati sekarang!!”
“Tetap tidak boleh. Itu tidak sopan namanya.”, kali ini Stella menimpali.
Sola menambahkan, “Bukankah kita ada berenam, sementara Yang Mulia Raqia hanya sendiri? Saya yakin kita semua bisa menghentikannya. Saya juga setuju, berteriak-teriak seperti itu tidak sopan.”
Dengan kompaknya mereka bertiga melipat tangan di depan dada, lalu mengangguk-angguk beberapa kali. Kenapa jadi aku yang disalahkan begini…?!
“Da’ath-sama.”, panggil Maoriel. “Saya mengerti apa yang Raqia maksud, dan…kata-kata itu ada benarnya. Tapi…saya sudah terlanjur…”, dia menengok ke arah Omoikane. Keduanya bertatapan sejenak.
“Bukankah anda adalah Crusader-Saint? Saya yakin anda punya otoritas untuk mengubahnya.”, ujar wanita di sebelah Maoriel itu.
Hei…benar juga katanya. Entah apa yang terjadi di masa lalu sehingga ada sumpah semacam itu, namun kurasa sudah tidak relevan untuk sekarang. Apalagi jika kuingat kata-kata Plasma tadi…
“Baiklah. Akan kusimpan perkara ini setelah kita kembali ke Chalal.”
“Ckckck…”, ketiga gadis itu lagi.
“Tidak bisa begitu.
Onii-chan tidak boleh pulang dulu. ”
“Betul, tuan Da’ath. Anda masih punya urusan yang harus diselesaikan.”
“Iya, benar. Kamu harus mencari Raqia. Dia sepertinya marah besar.”
Luna, Sola, dan Stella berurutan mengatakan hal itu.
Kuhela nafas panjang sambil menepuk dahi. “Oke, oke. Kalian semua kembalilah lebih dahulu. Akan kucari Raqia dan bicara padanya.”
Butuh waktu lama untuk menemukannya, meski Plasma sudah berubah menjadi Sonic Glider. Ketika matahari sudah turun cukup jauh di kaki langit, barulah Plasma mendeteksi keberadaan Archangel Core milik Raqia. Dia hanya duduk termenung di pantai, memandang laut. Mode Angel Knight nya sudah tidak aktif. Akupun mendarat cukup jauh darinya, lalu melangkah mendekat.
“Raqia.”
Dia hanya menengok sesaat ke arahku dengan wajah kesal lalu kembali berpaling. Aku tidak ingin terjadi ledakan dan hempasan pasir di tempat ini, jadi kuputuskan untuk bicara baik-baik.
“Kurasa kalian butuh waktu untuk berdua. Aku akan menyingkir sebentar, oke?”, sahut Plasma, kemudian manusia kaleng itu berjalan ke arah pepohonan di belakang.
“Tahu kesalahan apa yang sudah kamu perbuat?”, kuambil duduk di sebelah kirinya.
“Hmmph.”, dia malah membuang muka.
Kupertegas nada bicaraku. “Raqia, aku tidak ingin cari masalah denganmu. Tapi kamu sudah keteraluan kali ini. Sekarang, kita kembali ke Chalal. Minta maaflah pada mereka.”
Dia hanya diam, masih cemberut. Lagi-lagi dia tidak menatapku. Lama-lama kesal juga melihatnya…
Kuraih kedua bahunya, menghadapkan dirinya ke arahku. “Hei, kamu dengar tidak?!”
“Lepaskan tanganmu!! Apa masalahmu, hah?!”
Kueratkan genggamanku. “Seharusnya aku yang bertanya demikian!! Di mana akal sehatmu?! Aku heran, kenapa sih kamu tidak pernah bisa bertindak dengan kepala dingin?! Apa kesalahan yang sudah mereka perbuat?!”
“Dan kamu sendiri bagaimana?! Dua ribu tahun menghilang dan sekarang malah mengintervensi seenaknya!! Apa kamu tahu jika perhatian seorang Archangel teralih pada hal lain, akan lebih sulit untuk mengatur sebuah kota?! Pikirkan orang-orang itu juga, Da’ath!!”
“Itu masa lalu, Raqia. Sudah berlalu!! Sumpah itu dibuat dua ribu tahun yang lalu, benar? Jika pada masa itu manusia masih terserak dan lebih sulit untuk diatur, wajar saja ada hukum seperti itu!! Tapi sekarang? Lihat baik-baik!! Apa salahnya jika keduanya bersama memimpin tujuh puluh juta jiwa? Dua orang lebih baik dari sendiri!!”
“Lalu kamu mau apa, hah? Membatalkan begitu saja?! Kumpulkan dulu tujuh Archangel yang ada, baru kamu bisa melakukan itu!! Semua ada aturannya!!”
“Dan membiarkanmu menghabisi mereka berdua lebih dahulu? Kamu benar-benar sudah gila!! Kamu sudah tahu kalau aku harus mengumpulkan ketujuhnya. Lantas kenapa kamu mengangkat pedangmu untuk membunuh mereka?!”
Entah, mulutku kali ini bergerak sendiri. Ucapanku berubah dingin. “Ah…aku tahu. Hatimu merasa panas melihat mereka. Kamu iri.”
Sepertinya Raqia ingin mengatakan sesuatu, namun mulutnya hanya bergerak-gerak kaku.
“Perasaanmu merasa terusik, karena tidak pernah punya pendamping selama dua ribu tahun ini!! Lalu bagaimana dengan kata-katamu sewaktu di Ferrenium, hah?! Apa semua itu hanya omong kosong---”
*PLAK!!!~
Tangannya mendarat di pipiku. Belum juga berganti hari, dan aku sudah ditampar 2 gadis di pipi yang sama? Mungkin hari ini bukan hari keberuntunganku…
Kulepaskan genggamanku. “Raqia…”
Matanya nampak berkaca-kaca. “Diam!! Kamu tidak tahu apa-apa mengenai diriku, sudah berani bicara begitu?!”
Kami berdua mendadak masuk ke dalam keheningan, hanya ada suara ombak yang dapat kudengar. Aku tidak balas memarahinya kali ini. Dia benar, aku tidak mengerti banyak hal tentang dirinya. Hanya satu hal yang kutahu saat ini.
“Kamu…kesepian. Benar?”, aku berusaha tersenyum meski pipiku masih terasa sakit akibat tamparannya.
Tatapan biru langit itu beralih ke arah lain. Kulihat tangannya yang kecil itu dikepalkan erat-erat, tubuhnya sedikit gemetar.
“Lalu…apa yang akan kamu lakukan jika sudah tahu hal itu…”
Kurasa ini saat yang tepat, mungkin.
“Kamu tidak sendiri lagi, Raqia. Aku akan selalu ada di sisimu.”
“Tapi kemarin…”, matanya nampak memelas.
Ah, jadi itu yang dimaksudnya sebelum tiba di kediaman Omoikane.
“Maafkan aku atas hal itu. Namun jika aku kembali terlalu cepat, sekarang pastilah mereka masih mengacau.”
“B-Begitu…ya...”
Aku mengangguk. “Dan aku harus jujur, aku sempat berdua saja dengan salah satunya semalaman. Meski begitu…tetap saja kamu tidak bisa hilang dari pikiranku.”
Tetes demi tetes air matanya mulai mengalir, berkilau seperti jingganya langit. Kupeluk tubuhnya sambil membelai helaian-helaian perak yang lembut itu.
“Kumohon…lain kali jangan menghilang begitu saja… a-aku khawatir kamu tidak akan pernah kembali…”, kurasakan genggamannya pada bajuku.
“Mmm. Aku tidak akan meninggalkan dirimu.”
Mata kamipun bertemu. Tangannya yang kecil itu berusaha menghapus sisa-sisa air mata yang ada.
Entah, ada sesuatu yang meluap-luap di dalam dadaku. Perlahan kudekatkan wajahku ke arahnya…
“Da’ath.”, ditaruhnya ujung jari jemari tangan kanannya di bibirku. Beberapa kali pula dia menggelengkan kepala.
“Kenapa…”
“Ini…belum saatnya. Aku belum mengerti betul apa yang kamu rasakan saat ini. Seperti yang pernah kukatakan, aku sekedar tahu, belum pernah merasakan. Jadi…maaf, Da’ath. Untuk saat ini, sepertinya tidak…”
“Huh…”, kurebahkan diriku di pasir. “Dua kali, Raqia. Dua kali sudah kamu menolakku.”
“Baru juga dua kali sudah cerewet begitu.”, jawabnya ketus.
“Kamu pikir aku tidak sakit hati, hah?”
Dia hanya tertawa, dan…aku malah ikut tertawa. Mungkinkah hatiku lega karena dia sudah mengetahuinya? Yah, meski masih ditolak sih…
“Mmm…maaf, Da’ath. Aku memang tidak punya perasaan khusus terhadapmu untuk sekarang.”
“Jadi, kalau nanti…apa kamu akan berubah pikiran?”
“Yah, kita lihat saja.”, dia tersenyum.
“Oke. Kalau begitu, kita taruhan.”, aku kembali duduk.
“Eh? Taruhan apa?”
“Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku sebelum berhasil menghabisi dalang di balik kegilaan para Nephilim itu.”
“Kalau aku menang, kamu pergi dari Shamayim. Tinggal saja di kota lain.”
“Cih…kamu ini benci padaku atau bagaimana sih? Tapi baiklah. Bagaimana jika aku yang menang?”
“Ha!! Itu tidak akan mungkin terjadi.”, ujarnya bangga.
“Yakin?”, tanyaku sinis.
“Tentu saja!!”
“Jadi, tidak apa-apa kan kalau aku memintamu menikah denganku, seandainya aku yang menang?”
“HAAAAH???!!!”
Teriakan itu disertai pipinya yang berubah merah seperti tomat…atau udang rebus?
“Kamu takut?”
“T-Tentu saja tidak!! H-Hanya saja…apa kamu sudah gila?! Kamu ini manusia!! Bagaimana jika aku melahirkan seorang Nephilim?!”
Dengan santainya kujawab, “Hoo…jadi kamu sudah berpikiran sampai situ. Tidak kusangka. Ternyata kamu memang sudah ingin melakukan itu.”
“K-Kurang ajar!! Dasar Crusader-Saint mesum!!”, dia melemparkan segenggam pasir padaku.
“O-Oi, tidak perlu sampai begitu!! Aku hanya bercanda...”, kuusap wajahku, membersihkan pasirnya. “Tapi tenang saja, Plasma bilang kalau aku ini bukan manusia biasa. Mungkin anak kita nanti bukanlah seorang Nephilim.”
“MASIH JUGA DIBAHAAAASSSS!!”, dia meninju pipiku, wajahnya malah makin merah.
Dalam sehari sudah dua kali ditampar, satu kali ditinju. Untung saja pipiku tidak bonyok…
*
“
Chrono Scroll?”, tanyaku pada Plasma, ketika kami berjalan keluar istana. Yap, kami ingin ke kota berikutnya, pagi hari.
“Uh-huh. Itu adalah produk Divine Technology yang dapat membantu kita mengungkap semuanya. Fungsinya adalah merekam semua kejadian yang terjadi di muka Bumi, memanfaatkan anomali ruang-waktu yang terjadi setiap siapapun dan apapun melakukan sesuatu hal.”
Wow. Merekam semua hal di muka Bumi? Itu ciptaanku atau orang lain ya? Luar biasa sekali…
“Bentuknya seperti tablet yang kamu temukan di piramid itu, namun bisa digulung. Warna pangkal gulungannya kemerahan dengan tepian emas, dan kalau dibuka akan muncul layar transparan berwarna biru kehijauan---“
“Tunggu. Apa katamu tadi? Gulungan merah dengan tepian emas? Punya layar transparan biru kehijauan?”, potong Raqia.
Plasma bertanya, terdengar bersemangat. “Kamu tahu di mana benda itu?”
“Aku tidak memegangnya saat ini. Tapi…dia…”
“Dia siapa? Raqia, bisa katakan lebih jelas?”
“Clio. Ya, dia. Dia memiliki benda yang deskripsinya sama persis dengan yang kamu sebutkan tadi.”
Oh…orang itu.
“Clio? Maksudmu pimpinan para Indagator itu?”
“Betul, Da’ath. Dia dulunya adalah salah satu panglima terbaikku, sebelum akhirnya dia memintaku untuk melepas safir di tangan kanannya. Ya sudah, karena aku menghormati keputusannya…kubiarkan dia pergi. Aku tahu dia memiliki Chrono Scroll tersebut, karena beberapa tahun yang lalu dia sempat kembali ke Shamayim dan menunjukkan benda itu padaku. Sayangnya…”
“Sayangnya?”, tanya Plasma.
“Aku tidak tahu di mana mereka sekarang. Kesembilan orang itu memang sering berpindah tempat.”
“Hmm…baiklah. Kuharap di perjalanan nanti kita bisa bertemu mereka.”
Kamipun tiba di luar. Maoriel, Omoikane ---kembali bersayap putih dengan kristal
citrine kuning terpasang di punggung tangan kanan---, dan ketiga gadis itu sudah bersiap di halaman istana untuk mengantar kepergian kami.
“Raqia.”
“Iya, iya…aku juga tahu.”, ujarnya ketus. “
Aniki, Omoikane, sekali lagi aku mohon maaf. Aku memang bersalah. Tidak selayaknya aku menghentikan cinta kalian yang sudah bertahan begitu lama…”
“Sudahlah, Raqia. Kemarin kamu sudah minta maaf, dan kami sudah memaafkanmu. Apalagi sekarang…”, Maoriel menatap ke arahku, lalu tersenyum sendiri. “…ada Da’ath-sama yang selalu siap memarahimu…hahaha…”
“Iya, benar. Saya sendiri ingin tertawa melihat Da’ath-sama kemarin memarahi anda di depan kami semua. Saya seperti melihat ayah sedang memarahi anaknya saja…”, Omoikane tertawa kecil.
Kutekan telapak tangan kananku di atas kepalanya, mengusap-usapnya agak kasar. “Anak yang satu ini memang harus sering-sering dimarahi. Kadang sulit diatur.”
“Da’ath!! Jangan keras-keras!!”, kulepaskan tanganku. “Yang begini katanya mau membuatku jatuh cinta padanya…cih…tidak akan---“
Pipiku langsung terasa panas. Archangel mini itu ternyata juga berubah malu.
Reaksi ketiga gadis itu...mata mereka berbinar-binar, lalu menatap kami seakan kami adalah sepiring daging panggang yang luar biasa lezat.
“
Onii-chan. Luarrrrr biasa.”, Luna mengacungkan jempolnya padaku.
“Jadi, apa tadi malam kalian sudah melakukan sesuatu?”, tanya Sola.
“Hmm…aku memang dengar sesuatu dari kamar mereka sih…”, sahut Stella.
“Oi, oi. Itu aku sedang mengajarinya.”, jawabku ketus.
“Yah…tidak seru ah…”, keluh mereka.
“Sudah, sudah. Jangan terus menggoda mereka begitu.”, sahut Omoikane. “Jadi, ke mana tujuan kalian berikutnya?”
“Tzayad, tempat Kana berada. Lebih dari seribu kilometer di sebelah barat dayanya adalah domain Elilim-class yang cukup besar. Ditambah lagi, menurut informasi dari Da’ath, ada seorang Nephilim beroperasi di sana…”, jawab Raqia.
“Oh? Ke tempat Kana-chan?”, sahut Luna.
“Luna, sudah kukatakan, setidaknya panggillah dia dengan Kana-sama.”, sahut Maoriel.
Hee…lucu juga nama panggilannya. Mungkin akan kucoba memanggilnya demikian jika sudah bertemu dengan sang Sacred Hunter itu.
“Baiklah. Kalau begitu…Raqia, Plasma, Da’ath-sama, sampai bertemu lagi. Terima kasih banyak untuk apa yang sudah kalian perbuat.”, Maoriel menunduk, diikuti Omoikane dan ketiga gadis itu.
Akhirnya, perang cinta ini berakhir. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya masalahnya sederhana, keduanya hanya perlu saling mengalah satu sama lain. Satu hal yang bisa kupetik, menyimpan keegoisan berlebihan adalah sangat berbahaya, bahkan bisa mencegahmu untuk saling bertemu selama 500 tahun. Ya sudahlah, yang penting semuanya sudah kembali aman, dan sisa-sisa Elilim-class yang masih ada akan ditangani secepatnya, kembali menjadi pasukan Chalal.
Terbang ke arah timur, ke tujuan berikutnya. Tzayad, sebuah kota yang katanya adalah tempat favorit para pemburu, dikawal oleh para Angel-class yang memiliki kemampuan memanah tingkat tinggi. Diperintah oleh Archangel kelima, Kanaphiel Chetzyammim ---alias Kana-chan---, Sacred Hunter.
Yang selalu punya motto…
one shot, one kill.
Share This Thread