================================================== ==
Tehillim 21: Golden Arrow Part III || Equal Heat, Zero Temperature
================================================== ==
“Jadi ini yang kalian maksud sebagai Baikonur Cosmodrome? Kupikir ini hanya tugu peringatan masa lalu…jadinya tidak pernah kuperintahkan untuk diruntuhkan.”, tanya Kanaphiel. Kami baru saja mendarat di dekat lokasi yang dimaksud Plasma.
“Sayangnya bukan, Yang Mulia. Orang-orang di masa lalu selalu menggunakan tempat-tempat semacam ini untuk pergi ke luar angkasa. Saya belum melakukan pemeriksaan lagi secara global, sehingga saya tidak tahu apakah ada lagi tempat seperti ini di lokasi-lokasi lain di dunia.”
Berhubung di sekitar sini ada para penggembala dengan hewan-hewan ternaknya yang cukup banyak, maka tugas pertama adalah: menyingkirkan mereka semua. Untunglah tidak begitu sulit, apalagi bersama Kanaphiel dan Raqia lengkap dengan keenam sayap. “Siapa sih yang ingin sakit jantung mendadak karena berada terlalu dekat dengan tempat peluncuran?”, begitulah kata Plasma.
Sulit untuk menggambarkan tempat ini secara detail, namun yang jelas kudapati konstruksi-konstruksi logam yang dipasang dengan kemiringan tertentu di beberapa titik, agak berjauhan. Beberapa bangunan lain juga tersebar di lokasi peluncuran ini, entah apa fungsinya. Plasma dan Biblos berpencar, kemudian memasuki sekitar 10 bangunan dengan cepat. Memeriksanya, mungkin? Satu hal yang dikatakan Plasma, bangunan besar yang akan kami masuki bersama-sama nanti adalah pusat kontrolnya.
“Ayo masuk masuk masuuukkk…!! Semuanya sudah diperbaiki, masih ada yang bisa menyalaaa…”, Biblos melesat lebih dahulu, menuju sebuah bangunan besar berbentuk balok, bertembok abu-abu.
Gerbang besar bangunan pusat kontrol pun dapat dibuka oleh Plasma dan Biblos setelah mengutak-atik panel di sebelah kanan pintu. Kami memasuki beberapa pintu lagi, lalu sampailah di sebuah ruangan besar yang lengkap dengan debu, sarang laba-laba, dan beberapa kawat panjang ---Biblos menyebutnya kabel--- yang menggantung. Buku hidup itupun memperbaikinya, membuatnya tersambung kembali setelah membuka dan bersinar sesaat.
Tidak hanya itu, kudapati benda-benda menyerupai meja yang memiliki tombol-tombol bening dan beberapa layar di atasnya, berdiri di beberapa titik. Semuanya itu diatur menghadap ke satu arah yang sama. Tentu saja dengan kondisi yang sama kotornya.
Kedua makhluk buatan itu menuju ke salah satu meja paling depan. Plasma mengusap sebentar permukaannya, lalu menekan sesuatu. Dan…
Muncul sebuah layar besar di depan. Ternyata semua meja-meja itu diarahkan agar menghadap ke arah layar itu.
“Bagus. Masih berfungsi.”, ujar Plasma, terdengar lega.
Добро пожаловать на космодроме Байконур
Begitulah kira-kira guratan-guratan garis yang muncul di layar besar itu saat menyala pertama kali. Pada layar ada juga sebuah emblem yang berputar perlahan secara vertikal sebagai latar belakangnya, pastilah simbol tempat ini. Mungkin karena ekspresiku yang, lagi-lagi, keheranan melihat tulisan itu, Plasma pun memberitahu kalau artinya adalah
“Welcome to Baikonur Cosmodrome”.
Plasma berkata, “Untunglah kerusakan tempat ini tidak begitu parah. Setidaknya masih ada satu
launch pad yang bisa digunakan.”
“Yap yap yap!! Seluruh sistem
launch pad LC satu masih bisa diaktifkan meski harus agak dipaksaaaa….”, lagi-lagi Biblos berputar-putar.
“
Well, sekarang bantu aku untuk melakukan
hacking data fisik
launch pad dan semua
log modul luar angkasa yang pernah dikirim dari situ. Mau tidak mau Sonic Glider harus menyesuaikan ukuran dengan
launch pad nya.”
“Okeee….bereeesss…”
Dari ujung jari jemari tangan kanan Plasma keluarlah kabel-kabel, bergerak sendiri ke beberapa titik di atas dan belakang meja terdekat. Sementara itu Biblos membuka dirinya, kemudian keluar berbagai macam huruf, angka, serta simbol berwarna hijau yang tersusun dalam baris-baris, memasuki beberapa meja sekaligus. Semua lampu dan layar pada meja-meja yang ada langsung menyala. Entah teknologi macam apa ini…
Sementara kedua partnerku itu sibuk, Raqia hanya bisa kebingungan. Kanaphiel? Santai-santai saja duduk di lantai setelah mengibaskan debunya. Karena penasaran, aku memutuskan untuk melihat-lihat apa saja yang menyala dan tetera di layar-layar yang ada.
Cukup membingungkan, karena pada hampir semua layar muncul angka-angka, garis-garis, bentuk lingkaran yang dibagi-bagi, dan juga balok-balok dengan beda ketinggian. Ada juga beberapa yang layarnya terbagi atas kotak-kotak kecil yang sama ukurannya, lalu mulai melakukan sesuatu yang sepertinya berhubungan dengan matematika ---mungkin hitungan yang sangat rumit---.
“Baiklah, selesai.”, begitulah yang diucapkan Plasma ketika aku masih berkeliling di ruangan ini.
“Sudah?”, tanya Raqia.
“Uh-huh, sudah. Posisi Golden Arrow juga sudah kuketahui. Kita bisa berangkat sekarang. Kamu dan Yang Mulia Kanaphiel harus mengaktifkan mode Archangel agar dapat tetap bernafas di luar angkasa.”
“Oh…jadi nanti suasananya akan mirip di ruangan besar di istana Maoriel itu?”, tanyanya lagi.
“Yap, benar. Tidak ada gravitasi, tidak ada udara. Sementara kamu, Da’ath…” Plasma menengok ke arah buku melayang tersebut. “Biblos, bisa kamu buatkan pakaian astronot untuknya?”
“Hmm…dicek dulu ya programnyaaa… oke, siap dijalankaaannn…”
Biblos terbang mengitari tubuhku mulai dari ujung kaki hingga kepala. Awalnya ada cahaya yang menyelimuti. Setelah beberapa lama…
“Pakaian macam apa ini…”
Sulit kugambarkan dengan bahasa yang kumengerti. Intinya, di kepalaku terpasang helm agak bulat dari bahan entah apa, memiliki kaca depan biru yang tembus pandang. Di sekujur tubuhku tertempel pakaian yang cukup ketat berwarna perak, dengan beberapa bagian ---entah logam, entah bukan--- terpasang di bahu, punggung telapak tangan, pinggang, lutut, serta kaki. Ada juga kotak tipis seperti tas ransel berwarna abu-abu yang menempel di punggung.
“Kepalamu seperti dipasangi akuarium saja.”, komentar Raqia.
“Bah, akuarium… hei Biblos, pakaian macam apa ini?”
“Itu agar tubuhmu tetap terlindungi saat meluncur dan di luar angkasa nantiiii… helm itu juga berfungsi agar kamu tetap bisa bernafas dengan lancar. Setidaknya jauh lebih nyaman dipakai dibanding model kuno yang tebal dan besar. Yah, meski tetap jelek dilihat sih…hihihi…”
Plasma menambahkan, “Uh-huh. Kamu butuh pakaian itu. Ingat, di luar angkasa sana tidak ada udara dengan tekanan yang sama seperti di Bumi. Kalau kamu tidak mengenakan pakaian pelindung itu, tubuhmu akan hancur berantakan. Penyebabnya adalah tekanan darahmu sendiri yang menekan keluar karena tidak ada tekanan udara seimbang yang melawannya.”
“W-Whoa…mengerikan sekali. Tapi suaraku masih jelas terdengar kan meski ada helm ini?”, kutunjuk kaca helm.
“Masih. Baiklah, kita tidak bisa buang-buang waktu. Kita keluar sekarang.”
Plasma berjalan di depan dengan Biblos di kirinya, diikuti kami bertiga.
Launch pad LC-1, itulah yang akan digunakan.
Plasma mengatakan kalau sistem peluncuran di jamannya jauh lebih praktis dan mudah. Kira-kira sekitar 100 hingga 50 tahun sebelum era Plasma, peluncuran ke luar angkasa selalu dilakukan dengan menara-menara logam yang besar dengan mesin roket besar berkekuatan tinggi. Sangat tidak efisien dan buang-buang biaya serta bahan bakar. Namun tidak dengan sekarang.
Launch pad itu akan melontarkan Sonic Glider hingga puluhan kilometer ke udara dengan kecepatan amat tinggi layaknya ketapel, barulah Plasma akan menyalakan mesin pendorongnya setelah ketinggian tertentu. Entah bagaimana mekanismenya, kurasa belum siap untuk kupahami dengan ilmuku yang masih sekecil biji gandum ini.
Di
launch pad, Plasma segera naik konstruksi logam panjang dan miring itu. Panjangnya mungkin sekitar 1 kilometer, tiap batangnya begitu tebal. Pastilah untuk menahan beban.
“Siap-siap yah. Nanti akan ada guncangan sebentar, tapi tidak akan lama.”, ujar Biblos.
Kedua Archangel itupun bersiap dengan mode tempur dan keenam sayap, lalu naik ke Sonic Glider yang bentuk dan ukurannya berbeda. Sudut-sudutnya nampak lebih mulus, ukurannya lebih besar, kacanya juga terlihat lebih tebal. Sebuah tangga muncul dari sampingnya, kemudian aku naik dari situ. Kali ini Sonic Glider memiliki 3 jok. Raqia ---sudah pasti--- duduk di paling depan, sementara Kanaphiel mengambil tempat paling belakang.
Begitu kuambil tempat duduk, sabuk pengamannya digantikan dengan sesuatu yang kaku, menutup bagian dada dan perutku. Sambungannya ada di dekat kedua pundak. Bentuknya agak berbeda untuk Raqia dan Kanaphiel karena adanya keenam sayap mereka. Kakiku juga diikat oleh sesuatu, entah apa itu karena sudah sulit untuk menunduk.
“Oke…persiapan selesai. Pengaman sudah benar-benar kencang.”
Oh, layar yang biasa ada di Sonic Glider ternyata masih ada.
Biblospun masuk, kaca pengaman ditutup. Kali ini ada lapisan logam yang menutupi kaca bagian luar yang tebal. Oh, tidak hanya itu. Karena kudengar bunyi lagi setelah lapisan pertama menutup sempurna, aku berkesimpulan kalau ada satu lapisan pelindung lagi di atasnya.
“Baiklaaahh…semuanya sudah siaaapp…”, ujar Biblos. Kemudian dia masuk ke sebuah celah seukuran dirinya yang ada di sebelah kanan layar. Celah itu menutup setelah dia masuk.
“Requesting permission to launch. Gaining access to Hyper Launch Enforcement Administration system…”
Beberapa lampu di dekat layar menyala, kemiringan benda ini juga bertambah, mungkin hingga 45 derajat.
“Attempt succesful. Prepare to launch in three…”
Muncul angka ‘3’ di layar.
“…two…”
Angkanya berkurang.
“…one…”
Lagi.
“…and…lift-off!!!!”
Nol.
“WHOOOOAAAAAAAAAAAAAAAA…!!!!!!!”
Guncangan yang amat keras terasa oleh tubuhku. Meski sudah dipasangi pakaian pelindung, namun tekanan yang amat kuat begitu mencengkeram, tepat sesaat setelah Sonic Glider dilempar dengan kecepatan yang luar biasa. Selama beberapa waktu aku hanya berusaha keras menahan rasa tertekan di sekujur tubuh, bahkan sesekali terpikir ‘apakah aku akan mati…?’.
Namun semua itu terbayar setelah Sonic Glider melambat, saat Plasma menyalakan sesuatu yang disebut
nozzle yang berada di moncong kendaraan ini, agar gaya gerak ke depan dapat dikurangi. Dua lapisan logam itupun dibuka…
Wow.
Di kiriku, aku bisa melihat…Bumi. Ya, Bumi. Begitu cantik dengan permukaan birunya, dihiasi warna hijau dan awan putih tipis. Tidak kusangka kalau aku dapat melihat dari luar angkasa tempat yang selama ini kupijak. Pepohonan, semak, dan rerumputan…semuanya menyatu dalam warna hijau yang seragam.
Pemandangan di sebelah kanan lebih luar biasa. Paparan hitam yang luas dihiasi bintang-bintang yang tidak terhitung jumlahnya, jauh lebih banyak dibanding langit malam. Mereka juga terlihat begitu jauh. Ternyata bintang-bintang punya warna yang berbeda, yang sulit untuk dibedakan ketika dilihat dari Bumi. Ada yang kemerahan, jingga, putih, bahkan biru pucat. Dapat juga kulihat Bulan, sedikit lebih besar dibanding yang sering kulihat setiap malamnya.
Ini terlalu luar biasa. Melihat semuanya itu, hatiku berkata kalau aku hanyalah sebutir debu dibanding alam semesta ciptaan-Nya yang begitu luas. Baru kali ini aku merasa begitu kecil dan tak berarti…
“Bagaimana?”, tanya Plasma. Suaranya terdengar dari sisi kiri dan kanan helm kaca ini.
“Aku…tidak tahu harus bicara apa. Menakjubkan. Begitu indah. Aku nyaris tidak percaya kalau aku pernah melakukan perjalanan yang sama sebelumnya…”
“Hahaha…pakailah kesempatan ini untuk menikmati keindahannya sepuas mungkin, karena Golden Arrow tinggal satu jam dari sini dengan kecepatan seperti sekarang.”
“Uh…huh…”, jawabku pelan, terus memperhatikan ke luar kaca.
Dua Archangel di depan dan belakangku tidak berkomentar apapun, mungkin sama tertegunnya dengan diriku.
Tak bosan-bosannya kutatap Bumi dan taburan bintang secara berganti-gantian. Di lokasi yang memiliki pemandangan luar biasa seperti ini…aku merasa kecewa kalau ternyata ada senjata penghancur yang dibangun. Sangat tidak cocok. Aku jadi berpikir, sehebat apakah perang waktu itu sehingga harus dibuat suatu senjata di luar angkasa? Apa agar pasukanku ---yang belum juga bisa kuingat--- dapat melakukan serangan dengan lebih mudah? Atau ada alasan lainnya…?
Itu dia, sang Golden Arrow.
Bentuknya sudah terlihat jelas, suatu kubah besar dan balok panjang mencuat di salah satu sisinya. Semuanya berwarna putih, ditambah garis-garis abu-abu, emas, dan perak yang terpahat di sisi-sisinya. Ukurannya ternyata jauh lebih besar dari Sonic Glider, berpuluh-puluh kali lipatnya. Kupikir akan sangat berbahaya jika benda ini jatuh dan menimpa kota tertentu.
Timbul pertanyaan di kepalaku. Kenapa…warnanya malah dominan putih ya?
Sonic Glider terbang ke bagian ujung balok, berlawanan dengan kubah. Hmm, ada pintu otomatis yang besar di situ.
Nozzle di beberapa sisi pun beberapa kali menyala agar benda ini benar-benar berhenti.
“Biblos, keluarlah dan buka pintunya.”, ujar Plasma.
“Roger roger rogeeeerrrr…!!!!”
Lubang seukuran Biblos terbentuk di bagian atas moncong, kemudian buku itu terbang melayang ke sebelah kiri pintu. Membuka sebentar, bersinar, mengeluarkan deretan huruf-angka-simbol berwarna hijau ke panel di depannya. Pintu besar itupun membuka, lalu si buku cerewet itu kembali ke dalam Sonic Glider.
Roket pendorong di belakang dinyalakan sesaat dan…akhirnya, masuk ke dalam Golden Arrow. Cara berhentinya cukup kasar karena Sonic Glider harus menumbuk sesuatu di depannya. Begitu menabraknya, muncul batang-batang logam berbentuk huruf P, menjepit Sonic Glider di moncong dan bagian belakang. Pastilah untuk menahannya agar tetap di tempat.
Ternyata…sulit juga untuk bergerak di kondisi tanpa gravitasi seperti ini. Gerakan apapun yang kulakukan sepertinya percuma. Mau maju, malah ke atas. Mau mundur, malah ke kiri. Terlalu kacau. Akupun menyerah dan akhirnya hanya melayang-layang di atas Sonic Glider selama beberapa saat.
“Hahaha…ada apa, Da’ath? Sulitkah?”, tanya Plasma setelah berubah kembali menjadi manusia kaleng.
“Uh-huh…”
“Kamu lihat pegangan logam itu?”, Plasma menunjuk silinder logam yang terpasang di tembok yang agak rendah di bawah sana, terus hingga ke dalam. “Orang-orang selalu memegangi
handrail itu untuk dapat berjalan di seluruh konstruksi ini.”
“Kenapa baru bilang…”
“Sabar sebentar. Aku sudah meminta Biblos untuk mengaktifkan sirkuit
oxygen circulator untuk mengisi seluruh Golden Arrow dengan udara. Setelah itu barulah kamu bisa meluncur ke bawah. Cukup melakukan gerakan seperti sedang berenang.”
“Uh? Kenapa begitu?”
“Ingat, tempat ini hampa udara sekarang. Tidak ada satupun yang bisa didorong ke belakang agar kamu bisa maju dengan benar. Aku yakin kamu belum lupa hukum Newton ketiga.”
Ah…aku mengerti. Jika ada udara yang didorong dengan gaya aksi dari tanganku, maka sebagai reaksinya tubuhku akan bergerak maju. Masuk akal.
Sisa lampu di tempat ini mendadak menyala, mungkin perbuatan Biblos. Begitu sosoknya nampak, Plasma berkata, “Kamu boleh melepas helmnya.”
Maka kulepas akuarium berkaca biru yang menempel di kepalaku. “HAAAAAHHH…leganyaaa…” Kemudian kulakukan seperti yang diberitahu Plasma tadi, agar bisa memegang
handrail.
“Keringatmu banyak sekali sih.”, sahut Raqia, yang sejak tadi sudah menunggu di bawah.
“Begitulah…pengap juga helm ini.”, kulepas helm itu begitu saja dari genggaman.
“Baiklah, sekarang kita harus memeriksa ruang kontrolnya. Mudah-mudahan saja tidak ada yang melakukan
hacking…”
Plasma berjalan di depan kami, dengan Biblos di samping kirinya. Kami bertiga hanya mengikuti sambil memegang
handrail, takut tersesat di konstruksi yang luar biasa besar ini. Sambil berjalan, kuperhatikan kiri dan kananku. Ternyata tembok beserta pintu-pintu yang ada masih berada dalam kondisi baik. Hebat juga, meski ditinggal selama 2000 tahun, tidak ada kerusakan berarti. Paling-paling hanya beberapa tombol panel yang lepas.
Beberapa lama kami hanya berjalan terus…terus…terus…hingga sampailah pada ---lagi-lagi--- sebuah pintu otomatis. Kali ini cukup kecil, hanya dua atau tiga jengkal lebih tinggi dari Plasma. Biblos melakukan hal yang sama seperti saat membuka pintu parkir tadi, kemudian meminta ijin masuk terlebih dulu untuk menyalakan lampu ruangan.
“Whoa…”, aku dan kedua Archangel ini hanya bisa menghela nafas. Penyebabnya hanya satu: isi ruangan yang tidak biasa. Mirip dengan apa yang ada di Baikonur Cosmodrome, penuh meja dan layar aneh. Bentuk ruang kontrol ini bertingkat-tingkat ke bawah.
Ah…tidak, tidak. Aku merasa tidak begitu asing dengan ruangan ini. Memang aku tidak bisa menyebutkan satu persatu apa saja kegunaan benda-benda aneh yang ada di sini, namun hatiku berkata kalau aku pernah berada di sini. Kakiku menyisir seluruh ruangan yang bertembok dan berlantai putih bersih ini sambil berpegangan pada
handrail, dan…akhirnya, ada sesuatu yang benar-benar kuketahui karena ada suara di dalam kepalaku.
Tombol.
Uh-huh, sebuah tombol, berada di meja tengah. Berbentuk persegi, berwarna merah dan bening. Ada sebuah tutup transparan di atasnya, lalu kubuka tutup itu.
Plasma berseru, “Hei, jangan disentuh!!!!”
“Tenang, Plasma. Aku tahu fungsi tombolnya. Ini…untuk menembakkan sesuatu dari Golden Arrow, benar? Aku hanya ingin meyakinkan saja dengan membuka tutup transparan ini.”
“Ah…kamu ingat juga ternyata. Benar, itu untuk menembakkan Golden Beam dari kubah. Dan seperti yang kamu tahu, Divine Technology hanya perlu diisi energi sekali untuk selamanya. Jadi…kupikir benda ini masih bisa menembakkannya.”
“Oh ya, bolehkah aku melihat ke dalam kubah? Siapa tahu aku bisa ingat lebih banyak.”
“Baiklah, tapi biarkan kuperiksa dulu keseluruhan sistem. Aku perlu tambahan data keseluruhan Golden Arrow agar lebih lengkap.” Kemudian Plasma mulai menghampiri meja-meja aneh itu.
Sebentar. Ada yang aneh dari gelagat Kanaphiel…
Kuhampiri dirinya ---dengan berlagak ‘berenang’, tentunya--- yang hanya berdiri berpegangan pada
handrail di belakang ruangan, nampak gusar. “Hei, ada apa?”, tanyaku begitu kuraih
handrail di sisi kirinya.
“Tidak…tidak apa-apa.”
Kutembak saja langsung. “Pernah kemari juga?”
“Mmm…sepertinya…”, jawabnya ragu. Matanya nampak sayu, berlawanan dengan sorot matanya selama ini yang selalu tenang dan santai.
Berdasarkan dari apa yang terjadi pada Deshiel, mimpiku di Chalal, dan cara kerja Divine Technology, aku bisa menyimpulkan kalau sebenarnya semua Archangel adalah manusia normal. Archangel Core-lah yang membuat mereka memiliki kapabilitas jauh di atas manusia biasa. Dan…ada kemungkinan masing-masing mereka punya masa lalu yang tidak mengenakkan. Baru satu yang kuketahui, yaitu Maoriel. Mungkin aku bisa mengorek lebih jauh tentang Kanaphiel kali ini.
“Hmm…begitu ya. Apa kamu ingat sesuatu?”
“Saat ini belum. Tapi…dadaku merasa sesak. Hatiku seakan berteriak kalau aku memang pernah berada di sini…”
Refleks, kutaruh tanganku di kepalanya. “Sudah, tidak perlu dipaksakan kalau memang belum ingat. Aku juga begitu.”
“Mmm…tanganmu…”, dia melirik ke arah tanganku.
“Raqia selalu suka jika dielus-elus seperti ini. Membuat dia tenang, begitu katanya. Kurasa kamu butuh terapi semacam ini sesekali.”
“Ahahah…aku jadi malu…”, dia menggaruk-garuk pipi kanannya.
Dari atas sini dapat kulihat Raqia dan Biblos yang nampak asyik sendiri, mengelilingi ruangan sembari berhenti di beberapa meja. Kudengar juga Biblos menjelaskan apa saja yang dilihat, meski jelas sekali kulihat wajah Raqia yang kebingungan jika penjelasannya kelewat rumit.
“Mereka…seperti kakak beradik saja.”, ujar Kanaphiel perlahan.
“Aku juga tidak mengerti kenapa bisa demikian. Mungkin Biblos adalah partnernya di masa lalu, seperti aku dan Plasma---“
Tunggu.
Biblos Gnostikos mendadak muncul saat Tahorah, yang merupakan kemampuan milik Raqia. Biblos harus diisi oleh Raqia. Plasma punya
link khusus dengan Biblos, saling mengenal satu sama lain dengan baik, bahkan saling tergantung. Plasma adalah partnerku yang sangat cocok. Biblos adalah partner yang sangat cocok bagi Raqia. Itu artinya…aku punya hubungan khusus dengan Raqia di masa lalu. Apa karena hal itu aku punya perasaan terhadapnya? Tapi…apa…? Apa hubunganku dengannya di masa lalu? Apakah sekedar Crusader-Saint dan Archangel? Sekedar atasan dan bawahan? Lalu kenapa langsung timbul perasaan di hatiku ketika melihatnya untuk pertama kali…?
“Hei…kenapa berhenti…”
Tanpa sadar, tanganku sudah beranjak dari atas kepala Archangel bermata jingga itu.
“Eh? M-Maaf, maaf. Aku hanya berpikir tentang suatu hal. Ternyata kamu suka dielus juga seperti tadi ya?”
“Mmm…aku merasa…ada yang pernah melakukannya juga. Sudah lama, lama sekali.”, wajahnya agak merah. “Mungkin aku bisa ingat sesuatu kalau kamu melanjutkannya…”
Namun belum sempat kuteruskan belaian saktiku itu, Plasma memberitahu kalau aku boleh memasuki kubah. Karena hal ini jauh lebih penting, maka akupun mengikuti Plasma yang melayang ke sebuah pintu lainnya, masih di ruangan ini. Katanya, pintu yang ini tersambung ke ruang mesin utama kubah.
Menyusuri sebuah lorong sambil memegangi
handrail, hingga ke sebuah ruangan besar dengan…lagi-lagi pintu otomatis, hanya saja lebih besar dibanding pintu masuk ruang kontrol. Tapi ada yang berbeda. Nampak dua buah silinder kaca merah bertutup logam berdiri di sisi kiri dan kanan pintu, tingginya sedikit lebih pendek dari Raqia.
“Yang Mulia, boleh saya pinjam Entropic Thermo-Revolvernya?”, tanya Plasma.
“Oi, oi, kamu tidak akan menembak pintunya kan?”, sahutku ketus.
“Tentu saja tidak!! Kamu pikir aku cukup gila untuk menghancurkan mesin utama penembak Golden Beam dan membuat Golden Arrow jatuh ke Bumi? Yang benar saja…”
Kedua senjata putih itupun diberikan pada Plasma. Satu dimasukkan ke atas silinder yang kiri, sementara satu lagi untuk yang kanan. Keduanya dimasukkan dengan laras senjata masuk ke silinder sementara gagangnya tetap berada di luar. Plasma sendiri bersiap pada silinder yang kiri.
“Yang Mulia, bisa anda pegang senjata yang satunya? Tolong tekan dan tahan pelatuknya jika sudah kuberi aba-aba.”, pinta Plasma. Kanaphiel hanya mengangguk tanpa bicara, kemudian menuju ke silinder satunya. Plasma melanjutkan bicara, “Biblos, bisa kamu aktifkan mode Entropy Normalization pada kedua pistol ini?”
“Bisa, bisa. Sebentar ya…
Requesting access to Entropic Thermo-Revolver. Temporary administrator function achieved. Entropy Normalization, ignition. Nah, sudah.”
“Oke. Yang Mulia, tekan pelatuknya saat selesai kuhitung mundur. Tiga…dua…satu…sekarang!!”
Keduanya menekan pelatuk secara bersamaan, terus ditahan hingga silinder beranjak berubah warna menjadi ungu tua.
*SSSSSHHHHHHHH*
Perlahan pintu itu terbuka…
Jauh di depanku nampak benda aneh lainnya. Sebuah silinder logam menjulang tinggi dan berdiameter sangat besar, mungkin lebih besar dari Sonic Glider. Ada pipa-pipa logam, kabel-kabel, dan panel-panel aneh menempel di sekitar silinder tersebut. Oh, ternyata ada kaca bening yang membatasi, sekitar 3 meter dari silinder utama.
“W-Whoa…apa itu…”, sahut Raqia.
“Mesin utama penembak Golden Beam.”, jawab Plasma, kemudian dia menuju ke pinggir kaca. “Karena diletakkan di luar angkasa, tidak ada karat atau debu yang bisa membuat sistemnya cacat. Jika Entropic Thermo-Revolver diletakkan di situ…”, dia menunjuk
platform putih yang menempel pada kaca, di sebelah kanannya. “...barulah Golden Beam bisa ditembakkan.”
“Lantas kenapa tadi kamu begitu panik ketika aku mendekat ke tombol merah di ruang tadi?”
“Tadi aku belum memeriksa keseluruhan Golden Arrow, karena itulah kupikir tidak ada kunci berlapis.”
“Hmm…begitu ya. Jadi…untuk menembakkan Golden Beam dibutuhkan Entropic Thermo-Revolver yang dimasukkan ke situ, barulah tombol di ruang kontrol tadi berfungsi?”
“Yap, benar sekali. Kurasa itu masuk akal, agar senjata ini tidak bisa ditembakkan oleh pihak-pihak yang tidak punya aksesnya. Hei…”
Plasma terdiam sejenak, seakan menyadari sesuatu.
“Yang Mulia, apa anda---“
“Sepertinya…iya.”, potong Kanaphiel sebelum Plasma sempat melanjutkan kata-katanya. “Pastilah hanya diriku yang bisa menembakkan benda ini…”, tatapannya berubah lesu.
Tunggu. Ternyata itu alasannya kenapa warna dasar Divine Technology supermasif ini sama persis dengan Entropic Thermo-Revolver.
Plasma berkata kalau Golden Arrow hanya sempat ditembakkan tiga kali, lalu tidak lagi karena dirasa terlalu…mengerikan. Sekarang aku mengerti. Perasaannya itu pastilah berasal dari rasa bersalahnya karena pernah menembakkan benda ini lebih dari 2000 tahun yang lalu. Dan jika benar Golden Beam jauh lebih dahsyat dari Luminary Blast, maka…astaga…
“Kanaphiel.”, kupanggil namanya dengan lembut.
Dia hanya menengok ke arahku, tidak menjawab. Sepertinya dia ingin menangis…
“Lupakanlah.”, kembali kutaruh tanganku di atas kepalanya. “Itu sudah lama berlalu. Lagipula…kamu tidak ingat detailnya, benar?”
“Memang tidak. Tapi…tetap saja…bisa jadi aku telah membunuh ribuan--- tidak, bisa jadi jutaan nyawa dalam tiga kali tembakan. Aku…jauh lebih kejam dibanding Elilim-class atau Nephilim manapun…”
“Kita menanggung beban yang sama, Kanaphiel. Aku juga merasa kalau tanganku ini pernah membantai banyak nyawa di masa lalu. Dan jika benda ini adalah Divine Technology…maka aku ikut bertanggung jawab atas perbuatanmu waktu itu.”, kulemparkan senyum padanya.
“Lalu kenapa…kenapa kamu bisa begitu kuat menerima semuanya…”
“Mudah saja.”, kusilangkan tanganku di depan dada. “Itu karena aku tidak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Yang bisa kulakukan hanyalah terus berbuat sesuatu untuk menebusnya, melakukan sesuatu yang jauh lebih baik di masa depan.”
“Ternyata…kamu memang cocok menjadi Crusader-Saint.”, dia tersenyum.
Mendadak aku mendapati cahaya yang bersinar dengan terang, seakan ada…
“HEI!! Aku melewatkan sesuatu ya?!”, seruku pada Raqia dan Biblos, yang sedang asyik sendiri di sisi ruangan yang cukup jauh. Merekapun menghampiri kami berdua.
“Ohohooo…benar sekali!! Raqia, kali ini giliranmu menjelaskan pada Da’ath.”, Biblos membenturkan pelan dirinya ke badan Raqia.
Sambil tersenyum bangga, Raqia mulai membuka mulutnya. Bah…sekarang malah terbalik begini…
“Ehem!!”, dia berlagak batuk. “Wahai muridku Da’ath---“
*DHUAGGGHHH* Kujitak kepalanya.
“Tidak usah sombong begitu!!”
Kedua tangannya memegangi kepala. “Uuuhh…kenapa sih kepalaku terus menerus jadi korban?!”
“Seharusnya tidak masalah dengan kepala batumu itu.”, jawabku santai.
“Huh!! Kalau begitu tidak akan kuajari!!”, dia membuang muka.
“Begitu saja sudah marah…tidak seru ah.”
“Pokoknya tidak mau.”, pipinya mengembung.
“Masih…”, kutaruh tanganku di kepalanya, trik biasa. “Tidak mau?”
Satu detik…dua detik…tiga detik…yak, dia menyerah.
“Aaaaahhh!! Aku kesal kenapa mudah sekali kamu membuatku jadi…uuuhhh…”
Kukeluarkan nada bicara sedikit menggoda. “Suda~h, katakan saja….”
“Huh…baiklah.”, pipinya merah total. “Tapi jangan sering-sering memukul begitu ya…aku bisa pusing...”
Yeah, I’m the winner!! Dia memang lucu dan menggemaskan kalau sudah marah.
“Iya, maaf kalau terlalu keras.”, kubelai lebih lama di titik jatuhnya tinjuku tadi. “Jadi, apa yang kamu pelajari?”, kuangkat tanganku dari kepalanya.
“Lebih jauh tentang Entropic Thermo-Revolver, khususnya menyangkut fungsinya sebagai kunci sistem Golden Arrow.”, kata-katanya mulai serius.
“Hooo…apa ada hubungannya dengan dua silinder di depan tadi?”
“Nah, benar. Kunci pintu di depan dan kunci mesin penembak Golden Beam ternyata memiliki sistem yang sama, memanfaatkan hukum termodinamika ke nol dan ketiga.”
Sekarang malah aku yang bingung. “Heh? Nol? Tiga? Jadi masih ada lagi lanjutan yang waktu itu?”
“Uh-huh, masih ada. Penurunan matematisnya jauh lebih rumit, jadi Biblos memutuskan untuk tidak menjelaskannya. Hanya penjelasan kualitatif kali ini.”
“Baiklah, lanjutkan.”
“Langsung saja ya. Kumisalkan ada tiga sistem termodinamik A, B, dan C. Hukum termodinamika ke nol berbunyi, jika sistem A dan B berada dalam kesetimbangan termal dengan sistem C, maka A juga setimbang dengan B.”
“Kesetimbangan…termal?”
“Itu artinya suhu sistem yang dimaksud seragam dan tidak berubah seiring waktu. Misalnya ketika kamu menyentuhkan besi panas dan dingin. Suhu besi panas pasti akan turun dan yang dingin akan naik karena adanya perpindahan kalor. Nah, pada satu waktu tertentu, pastilah suhu keduanya akan sama. Dapat kukatakan kalau kedua besi itu berada dalam kesetimbangan termal, dengan syarat kuabaikan perpindahan kalor ke udara.”
“Ah…ya, ya. Aku paham. Lalu, apa hubungannya dengan kunci Golden Arrow?”
“Kedua silinder di depan haruslah setimbang secara termal satu sama lain agar pintunya dapat dibuka. Sebenarnya di dalam
platform itu juga ada dua silinder yang sama.”, Raqia menunjuk pada benda yang sama yang tadi ditunjuk oleh Plasma.
“Sebentar. Memangnya Entropic Thermo-Revolver bisa melakukan itu?”
Kali ini Biblos menyahut, “Itulah kenapaaaa…aku mengaktifkan mode Entropic Normalization.”
“Bukan itu maksudku. Apakah perubahan entropi pasti berpengaruh pada suhu sistem?”
“Untuk itulah dimanfaatkan hukum termodinamika ketiga, Da’ath.”, jawab Raqia. “Hukum itu berbunyi, entropi sebuah sistem akan mendekati nilai konstan jika suhunya mendekati nol Kelvin. Oh ya, satuan itu katanya sering digunakan oleh para peneliti di masa lalu untuk mengukur suhu. Pada suhu nol Kelvin, atom-atom, yaitu benda yang amat sangat kecil yang menyusun suatu materi, tidak lagi bergerak.”
Biblos menambahkan, “Naaah…kalau kamu pikir-pikir, bunyi hukum itu bisa dibalik. Pernyataan Raqia menunjukkan kalau suhu nol mutlak harus dicapai agar entropinya menjadi konstan. Kalau kunci di pintu depan tadi dan mesin ini…entropinya harus dibuat konstan agar suhunya menjadi nol mutlak. Begituuuu…”
“Jadi, mode Entropic Normalization berfungsi untuk membuat entropi kedua silinder itu bernilai konstan? Apa ada sesuatu yang memiliki suhu nol mutlak di dalam keduanya?”
“Betul. Lagi-lagi Divine Technology, tipe
core.”, Plasma mendadak ikut serta dalam perbincangan, setelah sejak tadi berkeliling di sekitar silinder besar itu. “Absolute Zero, itulah namanya. Tidak ada lagi benda di muka Bumi yang bisa mencapai temperatur nol Kelvin selain benda itu. Seingatku core Absolute Zero diproduksi beberapa buah, namun aku tidak tahu keberadaan sisanya.”
“Hmm…begitu rupanya. Menarik juga. Tapi dengan begini kita bisa yakin kalau Golden Arrow akan sulit untuk dimanfaatkan pihak luar, karena memerlukan Entropic Thermo-Revolver milik Kanaphiel untuk mengaktifkannya.”, kutaruh tanganku di dagu.
Plasma dan Raqia mengangguk setuju. Kanaphiel sendiri…hanya tersenyum kecil.
“Masih terpikir soal tadi?”
“Iya…sedikit. Tapi jika benar kata-katamu, sepertinya aku bisa tenang.”
“Bagus.”, Raqia tersenyum bangga. “Kalau begitu saatnya kita pulang dan menyusun strategi untuk menyerang balik domain para Elilim-class itu.”
“Eeeee…tunggu dulu.”, potong Biblos. “Plasma, apa kamu tidak tahu kalau ada tambahan data?”
“Tentu saja aku tahu. Kita bisa mengakses
data storage yang sama, jadi tidak mungkin aku tidak mengetahui apa yang kamu ketahui jika datanya kucari di situ. Tapi…apa kamu yakin?”
“Oh ayolaaahh…sebentar saja kok. Siapa tahu kita bisa menemukan hal yang menarik.”
“Kalian bicara apa sih…?”, tanyaku.
“Mau tahuuuu?”
Hanya Plasma dan Biblos yang tidak menunjukkan kebingungan. Keduanyapun keluar diikuti kami bertiga. Kanaphiel sendiri mengambil kembali Entropic Thermo-Revolver saat sudah di depan pintu, lalu pintunya menutup sendiri.
Sepertinya aku kembali ke struktur berbentuk balok tadi, hanya saja kali ini melewati koridor-koridor yang berbeda. Hingga sampailah di depan pintu otomatis besar lainnya…bah. Orang-orang waktu itu ternyata senang sekali dengan model pintu yang begini.
Lagi-lagi sebuah benda aneh kujumpai di dalam ruangan. Kali ini bentuknya adalah cincin besar, lebih tepatnya tiga perempat cincin, berdiri tegak. Tingginya mungkin 2 kali lipat tinggi Plasma. Ada juga empat buah benda berbentuk segitiga menempel di kiri atas, kanan atas, kiri bawah, dan kanan bawah cincin. Tak jauh di depan cincin, kulihat sesuatu berbentuk silinder setinggi kira-kira 1 meter, ada beberapa tombol di atasnya.
Tanpa banyak bicara, Biblos membuka dirinya dan melemparkan deretan huruf-angka-simbol ke arah cincin. Empat segitiga itupun menyala dengan cahaya keperakan. Plasma menekan-nekan tombol di silinder tersebut, lalu muncullah sinar dari keempat segitiga, mengarah ke tengah cincin.
*SHHHHUUUUUUUUUUUUUU*
Keseluruhan bagian dalam cincin tiba-tiba diselimuti lapisan berwarna perak, bersinar terang.
“Da’ath, aktifkan mode Heavenly Saintmu.”
“Eh? Untuk apa?”
“Helmmu ditinggal di garasi tempat Sonic Glider mendarat, benar? Setelah ini ada ruangan hampa udara lainnya sehingga kamu harus ditutup sempurna dengan Sacred Armor.” Karena aku tidak tahu menahu apa yang akan terjadi berikutnya, kuturuti saja nasihat Plasma.
Sambil bersenandung, Biblos memasuki lapisan perak tersebut. Sepertinya dia semangat sekali. Aku jadi penasaran, apa yang ada di balik---
Ruangan, lagi. Namun jelas sekali ruangannya berbeda total.
“Plasma, ini di mana…?”
“Selamat datang di Selenium, ibukota Silvermoon Empire. Kita ada di Bulan.”
HAAAAAAAAAAAAHHHHHHH???!!! BULAAAANNN???!!!
Share This Thread