==============================================
Tehillim 25: Golden Arrow Part VII ~ Seal of…Knowledge?
==============================================
“Minggir minggir minggiiiirrr!!!!”
Suara perempuan yang terdengar ceria itu mendekat. Sosok bersayap mulai nampak, melesat dari arah utara. Topi lebar coklatnya itu…oh, aku tahu siapa dia.
Terbang melewatiku, dia mengedipkan sebelah matanya yang biru kehijauan itu ke arahku. Ew, centil juga rupanya.
“Dancing Dolls!!”, serunya, sambil dipetiknya gitar yang dibawa.
Puluhan lingkaran cahaya berwarna jingga terbentuk di langit, lalu turunlah hujan…boneka. Uh-huh, boneka, yang langsung melesat ke arah kumpulan musuh. Dengan jumlah sebanyak itu, mereka mampu membuat barisan terdepan para Elilim-class itu kacau. Jangan tanya berapa banyak boneka yang dikeluarkan, terlalu banyak untuk dihitung.
Satu hal, JANGAN PERNAH tertipu penampilan boneka-boneka yang sekitar 30 sentimeter itu. Meski bentuknya lucu dan imut-imut ---mengenakan seragam
maid, berambut pirang panjang, dan pita biru di belakang kepala---, tetapi semuanya itu menggenggam senjata seperti pedang, perisai, tombak, pisau, hingga gergaji dan palu.
Kemampuan itu hanya dimiliki oleh satu orang. Siapa lagi kalau bukan Terpsichore? Julukannya adalah
Dancing Puppeteer, cocok dengan keahliannya dalam membuat hujan boneka.
Di antara kesembilan Indagator, dialah yang berpenampilan paling santai. Setelan pakaiannya adalah kemeja putih berlengan pendek, rompi dan rok pendek coklat muda, serta sepatu boot hitam. Rambut pendeknya yang berwarna coklat kayu itu sedikit acak-acakan. Kalau kukira-kira, tinggi badannya lebih pendek dari Kanaphiel ataupun Tenebria.
Jari-jemarinya terus memainkan gitar, memperdengarkan melodi-melodi yang ceria dan menyenangkan. Nada-nada yang dimainkannya seakan membuat tarian boneka-boneka lucu itu menggila. Hebatnya lagi, tidak ada satupun boneka yang menyerang tentara Tzayad yang mulai menembak.
Di tengah kondisi kacau begini, ternyata Inferna sudah menghilang entah ke mana. Tenebria juga tidak ada. Jujur saja, aku agak khawatir dengan kondisi Tenebria yang makin parah. Tapi…sudahlah, dia tidak bisa kukejar kali ini, karena aku tidak tahu ke mana perginya. Jika Tuhan mengijinkanku bertemu dengannya lagi, suatu hari nanti pastilah hal itu akan terjadi. Sekarang, lebih baik aku berkonsentrasi menghadapi serbuan Elilim-class yang akan datang.
“Jadi kamu Crusader-Saint itu? Tampan juga rupanya. Lumayan laaah…”, komentar Terpsichore ketika aku dan Raqia menghampirinya.
“Cih, wajahmu langsung gembira begitu.”, Raqia meledekku.
“Heee…kamu cemburu ya?”
“Jangan berisik!! Konsentrasi saja mengendalikan boneka-bonekamu!!”
Dari tenggara dan barat daya, makhluk-makhluk bersayap itu kembali muncul. Jelas saja, karena yang mengikuti Inferna tidaklah sedikit.
Para Indagator tidak mungkin melakukan perjalanan sendirian. Itu artinya…
*WHUUUUUUUZZZZ* Sepasang sayap putih melewati diriku, ditambah kilauan sepasang mata kuning tua.
Telinga kelinci itu…ah, ini sudah pasti dirinya, sang
Starlight Cannon. Bukannya dia memiliki telinga kelinci, hanya saja selalu mengenakan bando dengan hiasan telinga kelinci hitam yang kelihatan tebal. Dia juga selalu membawa boneka kelinci putih.
Tubuh kecilnya itu duduk di atas suatu benda berbentuk mirip bola berwarna hitam yang kehilangan seperempat bagian atasnya. Setahuku, dia memang malas sekali mengepakkan sayap, sehingga selalu menggunakan benda aneh itu dalam perjalanan.
Yang dikenakannya mirip gaun tidur lengan panjang, berwarna biru tua, dan memiliki banyak kerutan. Pada kerah putih lebarnya terikat sehelai pita kuning. Alas kaki? Sepasang sandal tidur. Anehnya lagi, sandal itu ditemani kaus kaki setinggi paha, bermotif garis-garis hitam putih. Aku merasa semuanya itu cocok dengan kulitnya yang agak pucat bagai permukaan Bulan.
“Oiii!! Uraniaaaaa!! Jangan gila sendirian begitu!!”, teriak Terpsichore, dibalas oleh loli berambut sepunggung berwarna ungu pucat itu dengan menjulurkan lidah. Tidak tahan, Eleutherian-class bergitar inipun mengejar Urania. “GAAAAHHH!! Dasar anak bandeeel!!” Aku dan Raqiapun mengikuti mereka.
“Itu…
Anti-Gravitational Platform.”, ujar Plasma, merujuk pada benda yang diduduki Urania.
“Kamu ingat benda itu?”
“Uh-huh. Kamu tahu kenapa Golden Arrow tidak pernah jatuh ke Bumi? Itu karena ada
device tersebut di dalamnya. Benda itu juga termasuk Divine Technology.”
Sambil menekan-nekan kepala Urania, Terpsichore berujar, “Sisakan untukku juga, jangan dihabisi sendirian…!”
Tanpa berkata apapun, Urania memukulkan boneka kelincinya ke wajah Terpsichore. Setahuku dia memang tidak banyak bicara, kecuali…
O-Ow. Ini dia. Berdiri di atas Anti-Gravitational Platform, dia mengulurkan tangan kanannya.
Diapun mengatakan,
“Tenshi no Ryuusei.”, dalam volume yang lebih menyerupai orang yang sedang berbisik.
Dalam sekejap muncul lingkaran-lingkaran cahaya di udara ---entah berapa ratus---, berwarna kuning, dari barat hingga timur. Melesatlah berkas-berkas cahaya kuning yang bentuknya menyerupai bintang jatuh, langsung menuju ke arah musuh dan…meledak. Jika boneka-boneka Terpsichore dapat kukatakan
deadly cuteness, maka serangan Urania adalah
lethal beauty.
Melihat para Elilim-class yang ragu untuk maju, bahkan banyak yang jatuh, kavaleri Sky Horde dari sektor tengah mulai bergerak. Aku tidak tahu berapa banyak yang ada saat ini, namun cukup untuk menutupi tanah di bawahku selama beberapa menit saat mereka melaju.
“Tunggu. Ada satu lagi.”, sahut Raqia.
Benar saja.
Seorang wanita ---kira-kira setinggi Deshiel--- nampak sedang memegang tongkat emas panjangnya secara horizontal, yang memiliki hiasan sepasang sayap putih seukuran telapak tangan pada salah satu ujung.
“Eshel HaKadosh.” Ujung-ujung panah pasukan kavaleripun terbakar secara instan, yang kemudian ditembakkan pada formasi musuh.
Suara lembut itu seakan menyatu dengan angin senja. Rambut panjangnya bagaikan nyala api, begitu selaras dengan langit yang mulai berubah jingga keemasan. Sepatu kristalnya memantulkan cahaya matahari, memberi kesan lidah api sedang membalut kakinya. Siapa lagi kalau bukan Polyhymnia, sang Divine Flame. Benar-benar julukan yang cocok, apalagi dengan adanya bando emas berhiaskan sepasang sayap putih kecil di kepalanya.
Beberapa Elilim-class yang mendekat berubah ketakutan ketika melihat sosok wanita anggun itu, dengan ornamen garis-garis merah pada jubah putih panjangnya. Meski tatapan biru lautnya jauh dari kesan mengerikan, namun reputasinya sebagai Eleutherian-class berkekuatan menakjubkan sudah sangat menyebar. Rumornya, hanya satu orang dari kelas malaikat yang mampu menandinginya dalam pertarungan 1 lawan 1: Clio. Untung saja dia tidak begitu suka pamer kekuatan, hanya mengerahkannya ketika benar-benar terdesak. Kurasa rumor itulah yang membuat pasukan musuh gentar untuk maju lebih jauh. Apalagi ada dua Archangel di sini…jika terus menyerang, cari mati namanya.
“Terima kasih banyak untuk datang tepat waktu.”, ujar Raqia saat Polyhymnia mendekat.
“Sama-sama, Yang Mulia. Namun simpanlah ucapan itu untuk teman buku anda. Jika bukan karenanya, mungkin kami sudah panik dan malah menyingkir dari sini.”, balasnya sopan.
“Ahaha…jangan terlalu kaku begitu.”, dibalas dengan senyuman oleh Raqia. “Oke, kamu tetaplah di sini untuk mendukung para kavaleri, dan serang dengan kekuatanmu jika musuh berada terlalu dekat. Terpsichore, Urania, tahan terus mereka agar tidak maju lebih jauh. Aku akan menyerang dari belakang formasi mereka.”, perintah Raqia.
“Kita ke belakangnya?”, tanyaku.
“Yap. Kamu bisa berpindah ke sana dengan sekejap mata kan?”
“Oke, oke.” Kuraih tangan kirinya, dan… “Warp Drive!!”
Taktik
flanking kavaleri Tzayad lagi-lagi menunjukkan taringnya. Formasi musuh di udara dan darat menjadi lebih menyebar, tidak begitu rapat. Berhubung Raqia sedikit tahu mengenai taktik itu, maka dia memintaku berpindah ke belakang mereka. Tujuannya? Memecah formasi mereka lebih kecil lagi, agar pasukan Tzayad tidak begitu kesulitan. Melihat diriku dan Raqia yang tiba-tiba muncul, beberapa dari barisan belakang musuh langung memisahkan diri untuk menghadapi kami.
“Yang cepat ya. Badanku sudah lumayan pegal bertarung sejak tadi.”, kuambil ancang-ancang.
“Huh, dasar lemah. Tapi…ya sudahlah, aku juga tidak suka berlama-lama.”
“Defenser, manual mode. Maximize.”
Segera kuperbesar perisaiku hingga 50 kali lipat.
“Aku kanan, kamu kiri. Mengerti?”, perintahnya.
Kujawab dengan sekali mengangguk, dan…
Raqia melesat ke arah kanan. “Spatial Breakeeeeer…!!!!”
Bersamaan dengan itu, kulemparkan Hypermassive Defenser ke sebelah kiri, menghantam barisan Elilim-class. Selagi perhatian mereka teralih, kuaktifkan Warp Drive untuk menghajar deretan musuh di depanku. Satu hal yang kutahu, Elilim-class di sini ternyata lebih kuat dan waspada. Jika di kepulauan Yamato perisaiku dapat menghajar beberapa ratus sekaligus, kali ini jelas jauh lebih sedikit. Saat kuhajar satu persatu sambil mengaktifkan Warp Drive pun, mereka juga nampak lebih sigap, bahkan tidak jarang jika terjadi adu pedang sekitar 3 hingga 5 detik. Sebelumnya selalu dapat kujatuhkan dalam tempo sedetik saja. Meski perbedaan kekuatan mereka denganku tetaplah terlalu jauh, aku merasa ada yang berbeda.
Seperti…ada yang membakar semangat mereka.
“Keras juga mereka.”, komentar Raqia, sekarang sudah berada di sebelah kananku.
“Begitulah.”, aku mulai mengambil nafas, mulai lelah. “Masih cukup banyak pula…”
“Kita masuk ke tengah-tengah. Siap?”
“Kapanpun kamu mau.”
“Itu baru namanya Crusader-Saint.”, dia tersenyum puas.
Kugandeng tangannya, Warp Drive, lalu sekejap berada dalam kumpulan musuh.
Makin menggila, tanpa ampun kami menghabisi ribuan sekaligus, mengosongkan sektor tempatku dan Raqia berada. Dan…nampaklah sesuatu yang aneh di antara para Elilim-class agak jauh di depan.
Ternyata jenis senjata. Bentuknya terasa ‘tidak sesuai jaman’, meski suara di kepalaku mengatakan mekanismenya lebih primitif dibanding Plasma Rifle. Tidak banyak di antara mereka yang menggunakannya, dan semuanya itu memuntahkan peluru-peluru logam layaknya
gatling gun Inferna. Bedanya, sekali menembak, satu peluru. Mengetahui kalau senjata itu cukup berbahaya, Raqia segera maju dengan Magennya, lalu membabat habis semua yang dilihatnya sedang membawa senjata itu.
“
Musket rifle…? Bagaimana bisa di jaman ini, mereka memiliki kapabilitas untuk membuat benda itu?!”, Plasma terdengar kaget.
“Maksudmu?”, tanyaku.
“Orang-orang di jaman ini bahkan belum mengenal bubuk mesiu!! Bagaimana mungkin mereka membuat senjata semacam itu?!”
“Apapun itu, yang jelas sangat membahayakan karena dapat menembak sedikit lebih cepat dari para pemanah. Kita harus jatuhkan mereka!!”, seruku dengan penuh semangat.
Terus-menerus serangan dilakukan oleh kedua belah pihak. Entah sudah berapa kali kulihat boneka-boneka menggemaskan yang menari liar, ledakan-ledakan cahaya bagai bintang, pilar-pilar api di udara untuk menghalangi pergerakan musuh, sesekali diselingi berkas cahaya perak yang melaju cepat. Tak bisa dihindari, banyak korban yang jatuh. Sudah pasti, hari ini akan dikenang sebagai pertempuran terbesar dalam sejarah Tzayad.
Begitu kelompok Elilim-class terakhir berbalik mengubah arah, Kanaphiel pun menembakkan pistolnya beberapa kali ke udara, dan…disambut seruan kemenangan pasukan Tzayad yang begitu menggelegar. Jauh lebih dahsyat dibanding yang sebelumnya kudengar.
Akhirnya, mataharipun tenggelam di tapal batas cakrawala. Satu Crusader-Saint, dua Archangel, tiga Indagator, dan 1.000.000 kavaleri Tzayad mengubrak-abrik formasi 1.700.000 Elilim-class dalam medan pertempuran sepanjang hampir 30 kilometer. Korban jiwa? Terlalu banyak. Itu belum termasuk 30.000 orang di selatan yang ternyata, menjadi korban keganasan Inferna saat dia membawa para Elilim-class itu. Habis total. Beberapa Angel-class dikirim ke selatan oleh Kanaphiel untuk mencari tahu keberadaan 3
tumen tersebut, dan itulah yang dilihatnya.
Satu Elilim-class pria bersayap violet berhasil ditangkap hidup-hidup, dan sekarang sudah berada di hadapan kami semua, di tenda Kanaphiel.
Sebagai pemegang otoritas kota ini, Kanaphiel mulai bertanya.
Aku menduga kalau Inferna menjanjikan sesuatu pada mereka agar mau menyerang, dan ternyata benar. Menurut Elilim-class di depanku ini, Nephilim itu memang menemui mereka yang berada di seberang pegunungan Mahameru sekitar 21 tahun yang lalu. Diapun melakukan perencanaan yang benar-benar matang agar serangan dapat dilakukan hari ini atau setidaknya, tidak jauh dari waktu sekarang. Janji itu layaknya candu bagi mereka, sehingga bersedia menyerang Tzayad tanpa banyak tanya. Ditambah lagi, mereka adalah kelas malaikat yang punya dendam tersendiri terhadap para Archangel...lengkap sudah pemicunya.
Begitu dia mengatakan apa yang dijanjikan Inferna, yang tidak lain adalah sesuatu yang kukunci 2000 tahun yang lalu, semua yang berdiri di sini berubah terkejut, tidak terkecuali diriku.
“Segel atas pengetahuan.”
Kata-kata itu seperti merasuk ke dalam setiap nafasku. Menekan dadaku. Berat. Sesak.
Ada apa ini…? Kenapa kepalaku mendadak berputar-putar?! Argh, sial!! Terasa pusing sekali!!
Nyeri tak tertahankan menusuk-nusuk otakku, membuat isi kepalaku benar-benar kacau. Kepalaku rasanya seperti diguncang lautan manusia. Begitu ramai, kisruh. Suara-suara tidak jelas bersahutan ke sana kemari. Telingaku tak lagi mampu mendengar suara di sekitar. Penglihatanku berubah kabur, dan…
…mendadak aku kehilangan kontrol atas tubuhku.
……
……
Entah apa yang terjadi padaku, yang ada hanyalah kegelapan. Namun, tidak selamanya aku berada dalam kegelapan.
Jari-jemariku bisa merasakan suatu bentuk kehangatan. Menyentuh tanganku, menggenggam tanganku dengan lembut.
“Da’ath, sudah bangun?”
Kata-kata itu terucap begitu lembutnya, seakan mengangkatku dari jurang ketidaksadaran. Meski berat, kupaksa membuka kelopak mataku. Perlahan…
“Kamu rupanya.”
Kilauan biru langit itu menatap jauh ke dalam mataku.
“Sudah baikan?”, dia tersenyum.
“Sepertinya…”, perlahan aku berusaha duduk.
“Jangan memaksa kalau masih pusing.”, tangannya menahan tubuhku.
“Tidak, aku sudah tidak apa-apa. Hanya sedikit linglung saja.”
Begitu berhasil duduk dengan stabil, perlahan aku menarik nafas, mengumpulkan kesadaranku yang masih setengah-setengah. Kulebarkan kelopak mata, kudapati api unggun beberapa langkah di depan. Ke atas…oh, ini di dalam tenda. Tangan kiriku juga bisa merasakan selimut. Permukaan tanahnya cukup empuk, mungkin ada beberapa karpet atau kasur gulung yang ditumpuk.
“Benar sudah tidak apa-apa?”
“Uh-huh, kamu tidak perlu khawatir lagi.”
“Haaah…”, Raqia menghela nafas. “Membuat panik saja.”
“Ahaha…maaf, maaf.”, kugaruk-garuk pipi kananku. “Entah, aku kehilangan kesadaran begitu saja.”
“Iya, setelah mendengar kata-kata itu, kamu langsung tergeletak tak sadarkan diri. Langsung saja kamu dibawa ke sini, tenda yang kita tempati sewaktu baru sampai di Tzayad.”
“Kamu yang memindahkanku?”
“Cih, enak saja. Aku tidak sudi menggendongmu.”, jawabnya ketus, memalingkan wajah.
“Begitu…ya…”, tatapanku beralih ke arah api.
“Huh, sepertinya kamu masih belum sadar betul. Ya sudah, kutinggal dulu. Toh kamu sudah tidak apa-apa.”
“Tunggu.”, kugenggam erat tangannya ketika dirinya ingin berdiri.
“W-Waaaaa…!!”
Keseimbangannya goyah, mungkin karena terlalu mendadak kutarik. Tubuhnyapun jatuh ke dalam dadaku.
“Jangan main tarik begitu---“
Kudekap tubuhnya. Sejenak, kubiarkan pipiku menyentuh helaian keperakannya yang halus itu. Kuabaikan segala yang ada di sekitarku, merasakan kehangatan seorang Raqia, seseorang yang kucintai.
“Kumohon, jangan pergi.”
Kupeluk dirinya dalam ketakutan. Ya, aku benar-benar merasa takut. Kata-kata tadi seakan membuka tabir masa laluku, yang mungkin terlalu kelam jika berhasil untuk kuingat. Otakku mungkin melupakan, namun tidak dengan tubuhku. Tanpa sadar, aku sedikit gemetar.
Dia mengangkat kepalanya perlahan. Kedua matanyapun bertemu dengan mataku.
“Kamu…kenapa?”, tanyanya lembut.
“M-Maaf, aku hanya…”, kupalingkan pandanganku.
Seakan mengerti apa yang kurasakan, dia hanya tersenyum, lalu bersandar di sisi kananku. “Kamu belum pernah begini.”, digenggamnya tanganku.
“Aku…tidak tahu. Mendadak ketakutan menyelimuti diriku…”
“Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi tentang itu.”, genggamannya dieratkan.
Kutengok ke arahnya. “Aku suka sikapmu yang begini.”
“Begitu…kah? Ternyata seorang Crusader-Saint manja juga ya.”
“Sama saja denganmu.”
Jawabanku disambut oleh tawa kecil darinya. Melihatnya demikian, akupun tersenyum lebar. Ternyata hanya satu hal yang mampu menghilangkan ketakutanku dalam sekejap, yaitu keceriaannya. Suara tawanya seketika mengangkat kekelaman yang menyelimuti dadaku sejak tadi.
“Ahaha…ya sudahlah. Aku di sini saja.”
“Memangnya tadi kamu mau ke mana?”
“Menemui yang lain. Mereka sedang mengatur para penduduk untuk kembali ke rumah masing-masing, setelah menyingkir sebentar ke utara agar tidak masuk dalam jangkauan ledakan. Diarahkan oleh Biblos sendiri. Tapi…ternyata di sini ada yang lebih membutuhkan bantuan.”
“Cih, meledek ya?”
“Iya.” Lidahnya dijulurkan sedikit. “Biasanya sih, anak manja tidak akan tenang sebelum dipeluk.”
“Aku tidak mau jika bukan kamu yang melakukan.”
“Hmmph. Gombal.”, jawabnya pelan.
Aku tak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Selama beberapa saat tidak ada kata-kata keluar dari mulutku. Aku hanya berusaha merasakan kehangatan tangannya, yang jauh lebih menenangkan dibanding pancaran dari kobaran api unggun di hadapanku. Aku ingin ini berlangsung untuk selamanya…
“Raqia.”
“Mmm?”
“Apa kamu…senang melakukan hal ini? Maksudku seperti menjagaiku, memegang tanganku, dan bersandar pada tubuhku.”
“Tidak. Aku terpaksa.”, jawabnya ketus, namun segera diakhiri dengan sebuah tawa. “Maaf, aku bercanda. Mungkin…”
Kuharap jawabannya seperti yang kuinginkan.
“Ah, aku tidak tahu.” Raqia hanya menatap kosong ke arah api unggun.
Argh, ternyata salah.
“Aku bingung. Aku mulai ragu apakah semua ini kulakukan karena sifat alami seorang Archangel yang sudah seharusnya selalu berbuat baik, atau…ada sesuatu yang lain.”
Meski agak malu, kucoba mengatakannya. “Mmm…a-apa mungkin, perasaanku berhasil membuat hatimu tergerak?”
Kupikir Raqia akan bereaksi heboh seperti memukul atau menendangku, ternyata tidak untuk kali ini. Dia hanya menjawab…
“Aku akan belajar. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini.”, dia mempererat genggamannya.
Memang bukan jawaban lugas yang kuharapkan, tapi…ya sudahlah. Ini lebih baik dibanding ditolak mentah-mentah.
Mendadak wajahnya berubah merah, sangat merah.
“J-J-Jangan salah sangka dulu!! A-Aku hanya mencoba belajar untuk memiliki perasaan yang sama d-denganmu!! Itu saja, tidak lebih!!”, biacaranya berubah gelagapan, bahkan genggamannya padaku dilepaskan.
Kenapa aku jadi ikut tersipu begini? Degup jantungku juga naik…padahal aku yang pertama kali mengatakan hal itu padanya. Argh, cinta memang aneh.
“Mmm…t-terima kasih.”, aku tidak sanggup menatapnya.
“J-Jadi…bagaimana?”, tanyanya, masih terdengar malu-malu.
“Jika itu yang kamu mau, baiklah. Tidak baik juga jika aku terlalu memaksa.”, kucoba sedikit melirik ke arahnya. “Lagipula ini pertama kalinya untukku. Mendengar jawabanmu tadi saja jantungku sudah tidak karuan begini…”
“Iya, sama…ini pertama kalinya bagiku. Jadi…kumohon bantuannya.”
Ekspresinya menunjukkan seakan dirinya meingingat sesuatu, lalu mendadak berdiri.
“T-Tapi jangan kira kalau taruhan itu sudah kamu menangkan!! I-Ini hanya permulaan saja!! Aku belum sepenuhnya milikmu!!”, lagi-lagi gelagapan, kali ini sambil menunjuk ke arahku.
“Haaaahh…”, kuhela nafas panjang, menepuk dahi. “Yang begitu masih kamu ingat saja. Tenangkan dirimu. Kita sama-sama amatiran dalam hal ini, jadi tidak perlu terburu-buru. Oke?”, aku berusaha tersenyum padanya.
“Mmm…kamu benar.”
Dia maju sedikit, dan…
“Terima kasih banyak.”
…sentuhan bibirnya yang lembut dan hangat itu menghampiri pipi kananku.
“Kenapa bibirku tidak sekalian saja?”
EHHHH!! Kenapa mulutku mendadak berkata begitu?!
“Seenaknyaaaaa…!!!!”, dia mencubit pipiku keras-keras.
Huhuhu…sudah dicium kenapa dicubit begini…
“I-Itu hanya akan kulakukan kalau kamu sudah berhasil mendapatkan hatiku sepenuhnya…”, dia melipat tangannya di depan dada.
“Iya, iya...”
Baiklah, sepertinya aku harus menunggu lebih lama. Ini tinggal masalah waktu saja. Dan sekarang, ada urusan yang lebih penting.
Akupun berdiri. “Mau ikut?”
“Ke…?”
“Tadi aku sempat tergores di sini.”, kutunjuk bagian dada-perut, tempat luka karena serpihan Sacred Armor. “Mau mencari obat, biar tidak infeksi.”
“Boleh saja. Kita tanya Kana, dia pasti tahu.”
Agak ragu, aku mencoba bicara, “Mmm…mau coba…menggandeng tanganku?”
Malu-malu, tangannya meraih tangan kananku. Berbeda dengan ketika genggaman ini menghilangkan ketakutanku, kali ini aku merasa tangan kecilnya bicara lembut padaku untuk terus melindunginya.
Kamipun melangkah ke luar, berjalan bersama.
Meski sudah beberapa kali aku bertempur bersamanya dan selalu di sampingnya, tapi…yang ini rasanya lain. Sensasi yang sangat berbeda. Apa mungkin karena kata-katanya tadi? Ah, kuharap langkah awal yang kecil ini dapat menjadi sesuatu yang besar ke depannya.
*
Matahari belum begitu tinggi di langit ketika kami memutuskan ingin pergi. Kali ini tidak hanya kami berdua, ketiga Eleutherian-class itu juga ikut. Sebenarnya tujuan awal mereka pergi ke Tzayad adalah untuk memberitahu Kanaphiel tentang sesuatu yang terjadi di Ohr-Nisgav, dan mengharapkan bantuannya. Tapi, mengetahui semua yang sudah terjadi di kota ini, merekapun mengalihkan permintaannya padaku dan Raqia, karena terlalu beresiko bagi Tzayad jika harus ditinggal kosong. Sekarang kami sudah berada dekat batas kota.
“Oh, jadi Biblos menghubungimu melalui benda itu?”, tanyaku pada Urania, menunjuk pada Anti-Gravity Platform.
“Mmm.”
Dia hanya mengangguk sedikit.
Eleutherian-class bergitar itu menimpali, “Begitulah. Beberapa waktu sebelum sampai ke sini, teman bukumu itu mendadak bisa bicara melalui benda yang sering diduduki anak bandel ini---“
*DHUAAAGHH*
Wajah Terpsichore lagi-lagi menjadi target boneka kelinci Urania.
“Kamu bisa melakukan hal itu?”, sekarang kutanya pada Biblos yang menurutku, adalah pahlawan sebenarnya di hari kemarin.
“Sebenarnya Plasma juga bisa. Tapi karena dia berkonsentrasi membantumu, jadinya ya aku saja. Untung saja tiga-tiganya tidak menolak membantu…”, suaranya terdengar lega.
“Oh ayolah, Tzayad adalah kampung halamanku.”, sahut Terpsichore. “Sudah sewajarnya jika aku mau membantu.”, dia tersenyum lebar.
“Tapi kemampuanmu belum tumpul juga, eh?”, tanya Kanaphiel.
“Hahaha…justru melakukan perjalanan dapat mengasah kekuatanku lebih baik lagi. Sayang sekali Yang Mulia tidak mau ikut.”
“Jika aku ikut, siapa yang akan memimpin tujuh juta pasang telinga yang masih membutuhkan bimbingan ini? Lagipula di sini lebih enak. Lebih santai.”
“Tapi tetaplah waspada, Yang Mulia.”, kali ini Plasma menimpali. “Meski kemarin kita berhasil memukul mundur para Elilim-class, namun jika Nephilim setengah mesin itu muncul lagi…”
“Aku taruhan dia tidak akan kemari dalam waktu lama. Tangannya berhasil kubuat cacat.”, ujarku bangga.
“Jangan sombong begitu.”, ujar Raqia dengan dingin, meremas tanganku kuat-kuat.
“AAAAAAAARGHHHH!! Tidak bisakah kamu lembut sedikit seperti kemarin?!”
Astaga. Kelepasan. Mendadak kurasakan darah naik ke pipiku. Sama seperti Archangel kecil di sisiku ini, dengan wajah yang berubah seperti warna udang rebus.
Semuanya langsung menatap kami berdua dengan tajam. Oh, kecuali Polyhymnia. Dia hanya tersenyum kecil.
“Heee….jadi begitu…”, mereka begitu serempak. Dalam hal begini mereka malah kompak setengah mati…
“Jadi, kapan undangannya?”, tanya Kanaphiel.
“Mereka mau menikah?”, sahut Terpsichore.
“T-Tidak akan!!”, seru Archangel yang sejak tadi memegang tanganku.
Kubalas, “Heh, lalu yang kemarin malam itu apa?!”
“Sudah kukatakan, jangan terlalu percaya diri dulu!!”
“Itu hanya tinggal tunggu waktu saja!!”
Aneh memang. Meski kedengarannya kami sedang berkelahi, tapi…tangannya sama sekali tidak dilepaskan dariku.
Melirik ke arah tanganku dan Raqia yang saling menggenggam, Plasma menyahut, “Mereka hanya malu-malu saja.”
“Kamu jangan ikut-ikutan!!”, kami berdua berseru bersamaan.
“Lihat? Mereka kompak sekaliiii~”, Biblos malah ikut-ikutan.
“B-Berisik!!”, lagi-lagi kami berdua sangat harmonis.
“Mau membuat bayi?”, Urania bertanya dengan wajah yang, jelas sekali, dibuat-buat agar nampak polos.
“ITU TIDAK AKAN TERJADI!!!!”, teriak Raqia.
“Eh? Kupikir sebentar lagi?”, aku berlagak bodoh.
Kurasakan suatu eksistensi asing di perutku. Dan…
“AAAAAAAAAAAHHHH!! OKE OKE OKE!! AMPUUUUUN!!!!”
Perut kananku dicubit sekeras-kerasnya. Aduh…
Bukannya merasa kasihan, semua malah menertawai. Yang sedikit mengejutkan adalah sang Divine Flame, Polyhymnia, jelas sekali tertawa lepas. Jelas aku heran. Menurut rumor, dia adalah yang paling jarang tertawa di antara kesembilan Indagator. Selalu menjaga sifat elegannya, sehingga lebih sering tersenyum kecil saja.
“Hahaha…duh, saya belum pernah tertawa selepas ini seumur hidup. Tidak disangka-sangka hanya Yang Mulia Crusader-Saint yang mampu membuat Yang Mulia Raqia berubah lucu dan sedikit kekanakan.”, dia masih tertawa sedikit setelahnya.
“Ya…itu tidak salah. Bahkan aku sendiri terheran-heran melihat dua orang itu.”, Kanaphiel menunjuk ke arahku dan Raqia. “Namun, bagaimanapun juga…”, dia melangkah kemari, lalu menggenggam tangan kami berdua yang sedang bergandengan.
Dan…dia tersenyum. Sebuah senyuman yang menandakan kelegaan, sangat harmonis dengan langit biru tak berawan pagi ini.
“…terima kasih. Kebersamaan kalian membawa warna baru bagi hidupku.”
Ekspresi Kanaphielpun tiba-tiba berubah.
“Aku tahu belum saatnya untuk mengatakan hal ini, tapi…emm…”, pipnya sedikit merah, matanya tidak menatap kemari. “Jika kalian sudah berhasil menyelesaikan semua ini dan bersatu sebagai suami istri, bolehkah aku…menjadi anak angkat kalian?”
Oke, ini terlalu mengagetkan. Mulutku dan Raqia membeku, tak mampu bicara selama beberapa saat.
“B-Bagaimana…?”, kedua tangannya ditaruh di belakang, sementara ujung kaki kanannya memain-mainkan permukaan tanah.
Entah apa yang merasukinya, wajah tenang dan kerennya itu menjadi benar-benar menggemaskan kali ini. Tapi aku bisa mengerti. Meski usianya sudah lebih dari 2000 tahun, jauh di dalam hatinya dia merindukan kasih sayang sebuah keluarga.
Raqia menatap ke arahku sebentar, seakan bertanya persetujuanku.
“Boleh saja. Yah, meski aneh kalau ibunya punya postur yang jauh lebih kecil…”
Seketika, suatu bentuk lirikan yang memancarkan hawa keganasan yang luar biasa menusuk jiwaku. Ew. Maaf, maaf.
“Kalau begitu, coba panggil kami berdua dengan sebutan Papa dan Mama.”, ujar Raqia.
“Mmm…baiklah…” Walau sempat gusar sejenak, diapun melanjutkan.
Papa Da’ath, Mama Raqia.
Sementara kubelai Kanaphiel, Raqia menggenggam lembut tangannya.
Raut wajahnya nampak begitu bahagia. Sambil menggaruk-garuk pipinya, dia berkata, “Ehehe…maaf ya kalau aku mendadak manja begini. Bagaimanapun juga, aku hanyalah gadis berusia sembilan belas tahun yang kehilangan orang tuanya sejak lama.”
“Eh? Kamu bisa mengingatnya?”, tanyaku.
“Mmm. Sedikit. Hari ulang tahun terakhir yang kuingat yaitu sewaktu berusia sembilan belas tahun. Dirayakan olehmu dan beberapa orang lainnya.”
Ternyata hanya butuh sedikit sentuhan kasih sayang untuk membuka tabir ingatannya lebih jauh. Kuharap sedikit demi sedikit, dia… Tidak. Bukan hanya Kanaphiel, namun semuanya dapat mengingat apa yang terjadi di masa lalu walau perlahan-lahan.
“Ya sudah, aku tidak mau menahan kalian lama-lama di sini. Cepatlah ke Ohr-Nisgav. Aku masih ingin mengurusi korban-korban yang jatuh, termasuk yang habis dibantai di selatan itu…”
“Baiklah. Jaga dirimu dan semua penduduk Tzayad yang masih bertahan. Teruslah tempa mereka menjadi orang-orang yang gagah berani.”, kembali kubelai rambut keemasannya, karena dia nampak murung saat mengatakan hal tadi.
“Benar. Dan jangan lupa, selalu jadilah ‘ibu’ bagi rakyat yang kamu pimpin. Dengan begitu, mereka akan dengan senang hati selalu menuruti perintahmu.”, Raqia tersenyum bangga. Akhirnya, keluar lagi kata-kata bijak dari mulutnya.
“Uuuu~ Kana-chaaaannn~ Aku tidak mau cepat-cepat…”, Biblos melesat, langsung ke dalam dekapan Kanaphiel.
“Nanti kita pasti bertemu lagi. Tenanglah.”, dielus-elusnya Biblos.
“Satu pesanku, Yang Mulia. Tolong hancurkan Quantum Transmitter itu secepatnya, bakarlah dalam api. Saya khawatir jika dibiarkan terlalu lama, benda itu dapat digunakan lagi untuk hal yang membahayakan.”
“Baiklah, akan kulakukan.”, dia mengangguk sekali.
“Yang Mulia, aku berangkat dulu.”, Terpsichore menepuk bahu kanan Kanaphiel. Mereka berdua nampak akrab.
“Mmm. Hati-hatilah.”
Sementara Polyhymnia pamit sambil membungkuk hormat, Urania hanya melambai-lambaikan tangan dengan ekspresi datar, duduk di Anti-Gravity Platform. Aku dan Raqia pun bertatapan sejenak, lalu beralih memandang sepasang mata jingga itu.
“Sampai bertemu lagi, Kana-chan.”
Di luar batas Tzayad, Plasma segera berubah menjadi Sonic Glider yang ukurannya lebih besar. “Data di Baikonur ternyata berguna juga”, begitulah katanya, merujuk pada membesarnya ukuran dan bertambahnya kapasitas tempat duduk kendaraan terbang ini. Aku dan Raqia masuk, disusul ketiga anggota Indagator itu.
Usut punya usut, ternyata masalah yang terjadi pada Ohr-Nisgav adalah sesuatu yang pernah kami temui sebelumnya. Meski baru beberapa hari, tapi rasanya sudah lama aku tidak mendengar kata itu, yaitu…
…Divine Barrier.
Share This Thread